akuraurus

“Kiss me,”

Hwanwoong mendongakkan kepalanya. Tak lupa berjinjit, ia juga mengalungkan tangannya pada leher Keonhee agar dapat meraih bibir kekasihnya di atas sana.

....namun Hwanwoong tetap tidak sampai.

“Ah, kamu terlalu tinggi.”

Keonhee tertawa iseng. Akhirnya, Keonhee menggendong Hwanwoong menghadap kepadanya. Kini wajah mereka sejajar.

Hwanwoong menggesekkan batang hidungnya pada hidung Keonhee. Mencari kehangatan pada wajahnya, menikmati waktu berdua dengannya.

Keonhee menepis jarak di antara wajah mereka. Ia menatap wajah Hwanwoong hangat. “Aku cinta kamu,” Ucap Keonhee kemudian.

“I love me too!” Ujar Hwanwoong sembari mengedipkan sebelah matanya. Lagi-lagi, Keonhee tersenyum lebar dibuatnya.

Mata mereka bertemu. Wajah mereka kian mendekat.

Siang ini, mereka menghabiskan waktu mereka. Hanya berdua. Biarlah mereka jadi dua makhluk paling bahagia di bumi.

Menyalurkan kasih satu sama lain, di bawah pohon pinus. Di hari kasih sayang.


happy valentine! :D

Lampu disko berkedip, warnanya silih berganti menyilaukan mata. Dentuman musik yang keras menggetarkan lantai-lantai ruangan. Kerumunan massa yang berdansa dengan riang menghalangi jalan, mengusik senangnya.

Tubuhnya lunglai, kepalanya berputar.

Seakan dimabuk cinta, yang nyatanya tak pernah ada selama ini. Tubuh mungil itu mulai tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi rapinya dengan mata setengah terpejam. Pemuda mungil itu terus berjalan tanpa mengetahui tempat mana yang akan ia tuju.

Naluri membawanya ke hadapan seorang pria yang asik berdansa dengan pria lain. Matanya memicing yakin. Ia telah membuktikan bahwa dugaannya benar,

bahwa Ia diselingkuhi.

Tubuhnya melemas, lututnya bergetar. Membuat akhirnya ia tersungkur di tengah keramaian.

Hatinya sakit. Napasnya sesak, matanya mulai menitikkan air mata. Tersisa senyum lebar yang tak luput dari wajahnya sedari tadi, suasana ini membuatnya gila. Tangannya mengepal, hendak menghapus air mata yang terus mengalir.

“Kenapa.. hidupku harus semenyedihkan ini?”

Senyum orang yang sedari tadi ia tunggu mulai menyapa penglihatannya. Hatinya makin tersayat melihat senyum yang sama, dalam suasana yang tak lagi sama.

Miris. Ia mengasihani dirinya sendiri.

Orang itu melepas kawan dansanya. Mengulurkan tangannya kepada pemuda lain yang tengah tersungkur dengan pasrah di depan panggung dansa sembari terus mengusak matanya.

“Mari berdansa,”

Pria mungil itu, Yeo Hwanwoong. Pikirnya masih kalut, berlari mencari jawaban yang bahkan tak memiliki pertanyaan.

Dentum musik kian mengeras, riuh suasana semakin menggairahkan. Akalnya kembali tersadar. Ini sesuatu yang Hwanwoong senangi.

Ia menerima uluran tangan tersebut dan berdiri dengan senang hati.

Ia berdiri, “Dengan senang hati.”

Tubuhnya dengan mudah terbawa oleh pria bertubuh jauh lebih jenjang darinya. Ia berputar indah dalam rengkuhan kekasihnya, meski tak mencoba untuk menjadi indah.

Irama musik mengiringi gerak kakinya. Senyumnya makin cerah, air matanya mulai mengering.

Gerakan tubuh pria Yeo itu menarik atensi orang-orang disekitarnya. Begitu indah, memukau.

Mereka berdansa seakan dunia milik mereka. Yeo Hwanwoong dan Lee Keonhee, sepasang insan yang pernah berjalan bersama, dengan kasih dan cinta. Bahkan setelah sampai di titik ini, mereka masih terlihat serasi.

Mereka terlalu sempurna untuk satu sama lain.

Sembari berdansa, Keonhee menatap wajah Hwanwoong lekat-lekat. Wajah itu, wajah indah yang pernah membuat Keonhee jatuh hati dan begitu terpikat pada pandangan pertamanya.

Kini memandangnya saja Keonhee tak sanggup.

Tubuh Hwanwoong terus berputar mengikuti gerakan tubuh Keonhee. Tak diperhatikan pun, Keonhee tak pernah gagal untuk menarik Hwanwoong kembali pada pesonanya.

Hwanwoong tertegun memikirkan bagaimana Keonhee selalu terlihat menawan. Bagaimanapun, bukan berarti Hwanwoong hendak kembali membuka hatinya untuk seseorang yang lebih banyak menyakitinya ini.

Mengakhiri hubungannya adalah skenario terbaik. Meski dramanya akan memiliki akhir yang menyedihkan,

ini adalah akhir yang Ia buat.

Di adegan terakhir, dansa selesai. Musik berhenti, membiarkan sayup bisikan orang menginterupsi pendengaran keduanya.

Hwanwoong tersenyum. Bukankah kini dramanya telah usai? Air matanya tak perlu lagi jatuh tanpa sebab.

Hwanwoong memeluk Keonhee untuk yang terakhir kalinya. Mengusap telinga serta rambutnya dengan lembut, kemudian membisikkan sesuatu.

“You must gone,”

Giwook tengah berjalan keluar dari suatu cafe setelah membeli americano, sampai seorang Omega dengan wujud manusia singa dan harum anyelir yang menyerebak dari tubuhnya memeluk Giwook tiba-tiba.

Giwook mabuk akan harumnya. Omega tersebut sedang heat dan meminta pertolongan. Melihatnya, Giwook berubah menjadi hamster yang terlihat seperti hendak memakan singa di depannya.

Menyadari bahwa ini tempat umum, sang Omega berlari kencang sembari menarik tangan Giwook dengan sisa tenaga yang ia miliki menuju kamar apartemen yang ia tinggali bersama saudara kembarnya.

Awalnya Giwook tak mau mengawininya. Ia takut bahwa Omega menggemaskan dihadapannya ternyata telah memiliki Alpha.

Namun melihat Omega tersebut begitu kesakitan dengan wajah memelasnya, dengan senang hati Giwook menawarkan bantuan.

“With pleasure, i will help you.”

Namun tanpa di duga, muncul lambang bunga anyelir di ceruk leher Omega tersebut saat Giwook menggigitnya. Hal ini tak akan terjadi jika mereka tak berjodoh,

Takdir mempertemukan mereka.

Giwook menatap hangat karya tuhan yang amat indah di bawah kukungannya. Disaat yang bersamaan, sang Omega mempertemukan bibir mereka.

Cahaya mentari pagi menembus memasuki kaca jendela apartemen. Harum anyelir menyerebak ke seluruh penjuru ruangan. Di bawah langit yang hangat, dua insan sedang bercinta dengan bahagianya.

Harum anyelir yang terlampau kuat berbagi cintanya ke indera penciuman mahluk lain di luar kamar.

“Who's your name, sweet?”

“I'm an lion queen, who lives on carnation fields.”

in the middle of too many moments and connections. we were lost, you and i.

“Kak Hoooo! Aku bawa ikan bakar, loh!”

Di tengah hiruk pikuk suasana istirahat sekolah, Keonhee, siswa kelas sebelas. Dengan mantap melangkahkan kakinya masuk menuju kelas dua belas dengan kotak bekal berwarna kuning di tangannya, lengkap beserta dua lembar tisu.

Seoho yang sedang membereskan buku mendongak. Matanya menekuk ramah saat menemukan Keonhee sedang berlari kecil ke arahnya.

“Waaah makasih banyak Hee makanannya! Aku nggak dibawain makanan sih. Dikasih uang jajan doang sama mama. Mau ke kantin, tapi males banget. Uangnya juga mending buat beli pulsa, lagian kan kantin juga rame. Terus nan-”

Mulut Seoho terpaksa Keonhee tutup. Seoho tidak akan selesai bicara kalau tidak dicegah. “Sssstt- udah. Kakak bawa uang, kan? Sini aku beliin air mineral,”

Seoho merogoh saku celananya, “Iya bawa. Eh tapi Hee, aku bawa air minum!” Seoho membongkar isi tas nya. Menunjukkan botol minum kebanggaannya yang akan dibuka, kalau kondisi sudah tidak memungkinkan untuk pergi ke kantin.

“Yes! Sekarang, ayo makan,”

Keonhee dan Seoho, belum lama ini jadi teman baik karena sama-sama lebih suka makan di kelas dan kurang suka jajan ke kantin.

Alasan Seoho gak mau ke kantin : 1. Malas 2. Uangnya sayang, mending beli pulsa 3. Ramai

Tapi beda dengan alasan gak ke kantinnya Keonhee : 1. Mau ketemu Seoho 2. Mau liat Seoho seneng karena ada yang nemenin makan siangnya 3. Seoho dulu, Seoho lagi, Seoho terus

Keonhee dan Seoho juga, suka dibilang sahabat sangat dekat sama teman-temannya. Karena jadi sahabat makan di kelas, mereka kemana-mana jadi bareng terus sih.

Keonhee rela main ke kelas dua belas yang hawanya menakutkan, demi makan bareng Seoho. Kadang juga, Seoho suka nitip susu kotak atau jus ke teman sekelas Keonhee karena malu buat ngasih langsung. Terus ditempelin sticky note, 'semangat!'

Rasanya kayak punya pacar, ya. Tapi kalau dengan status teman saja mereka bisa deket banget, buat apa dijadiin pacar? Keonhee juga sadar, Seoho cuma menganggapnya sebagai sahabat. Kasihan, perasaannya bertepuk sebelah tangan.

Tapi jangan bilang ke Seoho ya, ini rahasia Keonhee!

Derap langkah seseorang terdengar hendak memasuki kelas Seoho. Mengetahui siapa yang datang, Seoho cepat-cepat mengambil tisu lalu mengelap mulutnya yang berantakan sehabis makan.

Keonhee hanya terkekeh melihat tingkahnya. Di mata Keonhee Seoho selalu sangat menggemaskan, sungguh.

Tapi fakta bahwa Seoho selalu ingin tampil sempurna di depan orang yang baru memasuki kelas ini membuat perasaan Keonhee agak terluka.

Juga alasan lain Keonhee belum mau memacari Seoho, tidak lain tidak bukan adalah karena Keonhee tahu kalau Seoho sukanya sama Youngjo.

“Udah bersih,” Ujar Keonhee berbisik.

Seoho tersenyum kecil, kemudian mengacungkan jempolnya.

Youngjo masuk untuk mengambil uangnya di dalam tas Geonhak yang kemarin berhutang padanya. Youngjo sedikit mencuri pandang pada Keonhee yang sedang memperhatikan Seoho sambil makan, sedangkan Seoho memperhatikan Youngjo sendiri.

Youngjo jadi tertawa, semua orang juga tau kalo Keonhee si anggota humas OSIS ini suka sama Seoho.

Youngjo menghampiri Keonhee, menepuk pundaknya. “Sabar aja. Semangat, ya!”

Keonhee senyum balik, “Makasih sob, semangat juga!”

Seoho termenung, lalu memajukan bibirnya karena kesal. “Kenapa gak aku aja yang dapet semangat,”

“Kamu kelihatan semangat terus, sih. Tapi jangan sedih Kak! Aku selalu ada buat kakak. Orang satu-satunya, yang bakal selalu ngasih semangat buat kakak,”

Kan, Keonhee sudah berusaha, kan? Teman-temannya saja tahu kalau Keonhee menyukai Seoho. Masa Seoho tak kunjung menyadarinya?

“Hee! Apa sih,”

Keonhee kembali dibuat terkekeh. “Bener kan? Aku selalu disini! Keonhee buat kak Seoho, kak Seoho buat Keonhee! Haha,”

Keonhee pikir, kata-katanya tadi bakal kedengeran jayus. Karena nyatanya, setiap hari Keonhee bilang gitu buat Seoho. Biasanya Seoho bakal mengalihkan pembicaraan. Tapi tebak kali ini Seoho jawab apa?

Sambil ngangguk-ngangguk lucu, dia jawab. “Iya, iya. makasih banyak buat selalu ada untuk aku, Hee.”

“Oh tentu, sama-sama,”

Seoho lanjut bicara, setelah selesai dengan makanan di mulutnya. “Rasanya nyaman, waktu ada seseorang yang kamu tahu, bakal selalu ada buat kamu. Kayak punya pacar, gak sih? Yah, meski kamu bukan pacarku.”

“Seru kali ya kalau kamu jadi pacarku?”

Wajah Keonhee untuk pertama kalinya, memerah menanggapi balasan Seoho. Keonhee tahu, Seoho pasti cuma asal berceletuk. Ah masa bodoh, Keonhee jadi terlampau senang sekarang.

“Oke sekarang kita pacaran, kak!”

Keonhee tiba-tiba menggenggam kedua tangan Seoho yang sama-sama masih kotor habis makan ikan bakar, sembari menatap mata Seoho antusias. Pipi Seoho yang menggembung karena sedang mengunyah makanan jadi ikut memerah. Ah, kenapa ya?

“Hee? Tiba-tiba???” Tanya Seoho keheranan setelah buru-buru menelan makanan di mulutnya.

Keonhee mengangguk riang. “Iya kak! Kan Keonhee satu-satunya buat kak Seoho,” Ucap Keonhee menunjuk Seoho,

“Kak Seoho satu-satunya buat Keonhee,” Lalu nunjuk dirinya sendiri sambil ketawa-ketawa renyah.

Seoho lepas tangan Keonhee. Reflek, Seoho menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya yang masih kotor. Malu, ish.

now stick to my side, why are you still confused?

“Kak Ho! Aku diterima gak nih,” Tanya Keonhee, lanjut makan.

Seoho memukul perlahan kepala Keonhee. Yang dipukul hanya mengaduh pelan sembari terus mengusap kepalanya.

“Udah jelas diterima!”

“HAH??”

“Hush, berisik.

“Ya, maaf.”

Suasana hening sejenak. Seoho menaikkan kedua kakinya keatas kursi, lalu memeluknya erat.

“Aku yang maaf, Hee.”

Mendengar perubahan nada pada bicaranya Seoho, Keonhee yang sedang makan mendongak dengan tatapan heran. “Eh?”

“Padahal kamu selalu ngomong begitu sejak pertama kali kita jadi suka makan bareng. Harusnya aku tahu kamu suka sama aku. Kamu apa gak kesel nungguin aku lama banget gak kunjung peka begini?” Seoho mengelap air matanya yang tiba-tiba mengalir, menggunakan satu lagi tisu Keonhee yang tersisa.

“Nggak, tuh.” Balas Keonhee yang sedang mengunyah.

“Juga, maafin aku yang kadang ngehindar dari kamu. Rasanya aneh tiap deketin kamu. Kayak pengen terjun dari rooftop gitu, aneh banget kan?”

Keonhee tersenyum jail, “Berarti kakak suka sama aku kan dari dulu?”

“Ah, siapa bilang. Bikin pengen bunuh diri mah iya,”

“Jangan ngelak, sayang.”

Hah

Sebentar. Apa tadi kata Keonhee?

Sayang?

17 tahun Seoho hidup, Seoho tak pernah mengetahui kalau satu 'Sayang' bisa membuat hatinya porak poranda.

Keonhee melambaikan tangannya di depan wajah Seoho, “Kak Ho jangan bengoooongg,”

“Apa sih Hee? udah ah makan,” Ucap Seoho mengalihkan, setelah menggelengkan kepalanya gemas.

Suasana tim makan siang di kelas kali ini jadi sangat berbunga-bunga. Makan siang ditutup dengan Keonhee yang memberi flying kiss untuk Seoho, membuat otak Seoho lagi-lagi tidak bisa berfungsi dengan baik.

“Jumpa lagi,” Ucap Keonhee, sebelum berlari menuju kelasnya.

Seoho masih melamun, sampai akhirnya temannya yang baru saja kembali dari kantin menepuk bahu Seoho. “Ada kemajuan, nih?”

“Eh, apa sih.”

“Tiba-tiba dikecup dia,”

Seoho menggelengkan kepalanya. “Hanya flying kiss, bodoh. Hari ini orang-orang gak jelas semua ah, males. Keonhee, Geonhak, Young-”

Geonhak menutup mulut Seoho, “Ssstt, udah. Pokoknya minta pj, pulsa cukup 50.000 ya Ho,”

“Seoho?”

Tidak mendapat respons, Geonhak melihat Seoho kembali melamun. Ternyata penyebabnya adalah seorang pemuda yang diketahui baru saja resmi menjadi pacar Seoho, sedang tersenyum manis sembari melambaikan tangan kepadanya sebelum memasuki kelas.

Geonhak hanya memutar bola matanya malas. “Cih, aku dicuekkin.”

Bukan Seoho mau mengabaikan, tapi senyum manis Keonhee yang sedang melambaikan tangannya riang terlalu indah untuk dilewatkan.

Masa bodoh dengan rasanya pada Youngjo, ia telah menemukan orang yang tepat sekarang.

Selamanya, saru-satunya di hati Seoho.

Senyumanmu, Yang indah bagaikan candu. Ingin trus ku lihat, walau.

Youngjo berdiri di hadapan kekasihnya dengan begitu bahagia. Mengenakan setelan rapi berwarna putih, menggenggam kedua tangan kukuh kekasihnya dengan senyum indah yang terus merekah. Ia menarik napas lebih dalam, meyakinkan dirinya bahwa ini adalah pilihan yang tepat.

Ia dan kekasihnya, Geonhak akan menikah hari ini. Geonhak dan Youngjo sudah merencanakan ini lebih dari 10 tahun, dan mereka yakin akan pilihannya. Youngjo tidak boleh tiba-tiba meragukan pilihannya sendiri.

Bulan kemarin merupakan tanggal dimana Youngjo mendapat gelar Magister dibelakang namanya. Awalnya Youngjo ragu untuk mengambil tahap ini. Namun saat itu, Geonhak berada disana. Mengusap pipi indah Youngjo dengan lembut dan mengatakan, bahwa semua akan baik-baik saja.

Lalu berjanji untuk menikahinya setelah lulus.

Dirasa Geonhak mulai menggenggam erat kedua tangannya, Youngjo refleks menatap wajah tunangannya yang sangat, sangat indah. Ia terlalu bahagia, sampai hampir menangis kalau tak ingat riasan wajahnya akan luntur. Dilihatnya Geonhak yang sedang merapikan rambutnya, lalu menepuk kepalanya perlahan.

Akhirnya perjuangan dari masing-masing mereka bisa berakhir semanis ini. Dalam ruangan dengan cinta yang mengudara di setiap penjurunya. Berdiri berhadapan dengan kekasihnya tercinta, dan akan berjanji untuk selalu mencintai, selalu bersama.

Sekarang, aku pun sadari. Semua hanya mimpiku yang berkhayalah, Kan bisa bersamamu.

Saatnya mengucap janji pernikahan. Jantung Youngjo berdegup sangat keras. Ia rasa suaranya akan terdengar ke seluruh sudut ruangan. Jiwa dan raganya sangat menantikan hal ini. Ia tak bisa mendeskripsikan betapa bahagia perasaannya hari ini.

Sekitarnya penuh dengan bunga-bunga segar, kupu-kupu beterbangan, pelangi yang indah melukisi langit, dengan gemericik air mancur yang menenangkan. Bersama dengan Geonhak, ini jadi tambah membahagiakan.

Tapi, kenapa?

Geonhak pergi. Berlalu dengan acuh. Melepas genggam tangan Youngjo dengan asanya.

Youngjo cemas. Tubuhnya lemas, bergetar hebat lalu terhempas dengan pasrah ke atas tanah. Ia benar-benar telah menangis sekarang. Rasa sesak, sakit, dingin, dan basah langsung menyerbunya tiada ampun.

Youngjo meraung kencang. Emosinya meledak. Air matanya tak berhenti berjatuhan. Dunia indahnya telah berganti suram. Pilunya ditemani hujan deras dan petir yang ikut merutuki hidupnya. Ia merasa menjadi manusia paling menyedihkan di dunia.

Tangis dan sengguknya tak berhenti. Bahagianya adalah Geonhak. Ia tak tahu apa yang lebih buruk daripada hidupnya. Semua hancur saat Geonhak pergi meninggalkannya sewaktu hendak menghadiri acara kelulusan Youngjo, satu bulan yang lalu.

Sehancur itu, sampai Youngjo pikir ia tak akan pernah mendapat lagi kebahagiaannya.

Youngjo dapat merasakan cahaya terang mulai menyorotnya dari arah kanan. Saat itu juga, ia merasa tuhan telah memberkati hidupnya.

Katakanlah Youngjo sudah gila. Tapi memang begitu kan, nyatanya?

Dihampiri seribu ragu, Hanya membisu.

Masa bodoh dengan sayup-sayup suara orang yang mencegah tindakannya.

Masa bodoh! Ia ingin mengejar bahagianya. Apa alasan ia bertahan hidup? Sudah tidak ada. Tak tersisa sedikitpun. Geonhak membawanya tanpa menyisakan sedikitpun untuk dinikmati.

Sedikitpun.

Saat bising klakson mengiringi sorotan cahaya yang makin lama makin terang, Youngjo tahu bahagianya sedang menunggu, jauh di sana.

Sekarang Youngjo adalah orang yang paling bahagia di dunia. Ia akan segera menyusul bahagianya. Ia akan kembali bahagia. Ia harus kembali bahagia.

Kan?

Youngjo mulai berdiri dengan tertatih. Pilunya membekas begitu dalam di hati, sampai ia tak bisa merasakan sakit yang lain.

Ku berharap.


“Kembali lagi di stasiun televisi 9. Sebuah peristiwa tabrak lari membuat penderita Skizofrenia dengan inisial KYJ yang sebelumnya dikabarkan kabur dari rumah sakit jiwa setempat meninggal dunia. Mayat ditemukan basah kuyup terguyur hujan deras semalaman. Tentang pelaku penabrakan sedang dalam penyelidikan. Kami akan-”

“Hei- hei, Yeo Hwanwoong! Kenapa televisinya dimatikan?”

“Tak ada yang suka mendengar kabar tragis dari orang terkasihnya, Son Dongju.”

Dua orang laki-laki sedang berlari dengan sangat tergesa-gesa di koridor kelas IPS. Yang satu sedang menarik tangan temannya agar mau menemani, yang satu lagi hanya mengikuti kemana temannya menuntun sambil terus bicara dan mengeluh.

Yeo Hwanwoong, namanya. Seusai jam pembelajaran ketiga selesai, ia lekas menarik tangan Keonhee, sahabatnya menuju lapangan utama sekolah mereka.

“Woong!”

“Ah, kak Ra!”

Tujuannya, untuk memastikan kalau kakak kelasnya ini memenangi pertandingan sepak bola yang dia ikuti.

Dilihatnya Youngjo sedang mengangkat piala yang cukup berat sambil melambaikan tangan, Hwanwoong langsung menghampirinya dengan sangat bahagia. Mereka lekas berpelukan erat, sangat erat hingga tubuh Hwanwoong yang mungil dapat Youngjo angkat.

Keonhee hanya berdecak malas, lagi-lagi ia harus terjebak dalam situasi ini.

| lee keonhee!
| kamu dimana??????
| sedang apa?
| kenapa kamu tidak ada berada di kelas mu, hah?

Namun pesan singkat dari orang yang spesial di hatinya itu merubah segalanya.

“Yeo Hwanwoong, aku ke kelas dulu ya!”

Hwanwoong menoleh dan tidak dapat menemukan Keonhee di belakangnya. Hwanwoong mendengus malas mengetahui ia ditinggal sendirian.

Kepala Hwanwoong yang masih tertoleh ke belakang langsung menghadap depan ketika dirasa ada jari yang menyentuh ujung hidungnya.

Hwanwoong tersenyum malu, sedangkan Youngjo terkekeh pelan. Lalu kembali memeluk dan mengusak rambut adik kelasnya itu sampai berantakan. Menghirup wangi rambutnya yang menenangkan hati Youngjo.

Sedangkan Hwanwoong sudah menangis di dalam pelukan Youngjo. Ia memang tak berpengaruh besar dalam pertandingan ini. Malah ia jadi terlihat merepotkan.

Sungguh Hwanwoong sangat tersentuh mengetahui Youngjo si anak yang dikenal keras kepala, kini mau mendengarkan perkataannya. Menggantikannya dalam lomba ini, dan berjanji akan memenangkan lomba ini demi Hwanwoong.

Sekarang, terlihat dua orang penyiar radio berlari tergesa-gesa menuju hall sebuah gedung. Yang satu sedang menarik tangan temannya agar mau menemani, yang satu lagi hanya mengikuti kemana temannya menuntun sambil terus bicara dan mengeluh.

Namanya Kim Hwanwoong, sejak dua bulan yang lalu. Ia bukan lagi anak kelas 10 yang menghampiri kakak kelasnya menuju lapangan utama seusai jam pelajaran ketiga.

Segera setelah jadwal siaran terakhir hari ini berakhir dengan baik, ia langsung menarik tangan Keonhee untuk berlari menghampiri suaminya yang tengah membuka cabang baru dari perusahaannya.

“Woong!”

“Ah, Ra!”

Tujuannya, untuk memastikan apa pembukaan cabang baru dari perusahaan suaminya ini berjalan dengan lancar seperti kerjanya.

Mereka langsung menghambur dalam pelukan, menyalurkan kehangatan dan kasih sayang. Youngjo mengecup pucuk kepala Hwanwoong tanpa henti, menyatakan cinta tak terbatas pada Hwanwoong.

Sedangkan Hwanwoong, sudah menangis terisak di dalam pelukan Youngjo. Ia bahagia. Ia senang, sangat senang hingga air matanya ikut turun untuk turut berbahagia.

Setelah 10 tahun penantian Hwanwoong dan usaha Youngjo, akhirnya mereka dapat berbahagia dalam satu ikatan penuh makna. Berjanji untuk akan saling melindungi, selamanya.

Tak banyak hal yang berubah. Bagaimana Youngjo merentangkan tangannya untuk merengkuh tubuh mungil Hwanwoong, bagaimana Hwanwoong berlari ke arah Youngjo dan menghambur dalam pelukannya. Masih sama.

Saat mata mereka saling bertemu, mereka tahu bahwa masing-masing sedang mengisyaratkan cinta dan kasih sayang. Dan itu tak akan pernah berubah.

Youngjo memegang tengkuk dan mengangkat dagu Hwanwoong. Memperhatikan binar mata Hwanwoong yang indah. Youngjo mengusapnya pelan. Menghapus jejak air mata disana, lalu mengecup matanya yang terpejam dengan indah satu persatu. Hwanwoong terkekeh lalu tersenyum manis.

Seakan pikiran mereka menyatu, mereka segera menyatukan bibir mereka bersamaan. Menautkan rasa cinta lebih erat dalam setiap kecupan, membuat mereka seakan berada dalam dunianya sendiri.

Youngjo melepas tautan itu setelah mengecup bibir indah Hwanwoong, sekali lagi.

Hwanwoong melihat wajah bahagia setiap orang. Ah, ini indah.

Matanya menangkap Keonhee sedang mengalungkan sebuah kalung dengan bandul bulan berhias berlian kepada Seoho, sekretaris Youngjo sekaligus tunangan Keonhee. Membuat hati Hwanwoong menghangat mengingat betapa kerasnya Keonhee berjuang demi membeli kalung indah tersebut.

Meski hanya seorang penyiar radio, Keonhee selalu menjanjikan hidup yang lebih baik untuk Seoho.

Keonhee masih Keonhee, yang seluruh jiwa dan raganya sangat mencintai Seoho.

Youngjo menyenggol bahu Hwanwoong. Mata mereka kembali bertemu. Mereka menggenggam tangan masing-masing lebih erat. Saling menguatkan untuk menjalani hidup dengan lebih baik, bersama.

Some things never change, Like how i'm holding on tight to you.

Sekarang, Yonghoon sedang berkencan dengan Youngjo.

Bukan tempat yang spesial, bukan pula hari yang spesial. Juga bukan dengan makanan, pakaian atau dalam rangka yang spesial. Berkencan di meja kantor kekasihmu pada hari Senin dengan sandwich dan air putih, seragam kantor bahkan di sela jam istirahat akan menjadi sangat spesial bila ditemani orang tercinta.

Yonghoon terkekeh melihat pipi Youngjo yang terlihat lebih lucu saat mengunyah makanan. “Aku mencintaimu,”

Youngjo hanya menatap Yonghoon malas. Ikut terkekeh, lalu melanjutkan acara memakan sandwich nya.

Sejujurnya, Yonghoon mengharapkan balasan dari pengakuannya tadi. Tapi melihat senyum tipis Youngjo yang masih mengunyah saja, Yonghoon tahu kalau Youngjo sedang memikirkan hal yang sama.

Youngjo kembali bekerja setelah menghabiskan sandwich nya. Yonghoon yang membeli dua sandwich melanjutkan makan nya, sambil memantau kerja— ah tidak, lebih tepatnya memantau Youngjo.

Sudah dua hari Youngjo tidak masuk kerja, karena sakit. Akhirnya tugas Youngjo yang menumpuk, jadi makin menumpuk meski beberapa sudah dikerjakan.

Karena pandemi, Yonghoon tidak bisa pergi untuk sekedar menjenguk Youngjo ke rumahnya.

Bisa bertemu kembali dengan Yonghoon menjadi semangat tersendiri bagi Youngjo. Melihat tingkahnya, senyumnya. Sekaligus, Yonghoon yang jabatannya lebih tinggi dari Youngjo bisa jadi mentor baginya. Yonghoon memang terkenal ramah, sih.

Youngjo menoleh ke arah Yonghoon yang ia kira sedang mengawasi kerjanya. Ternyata hidungnya langsung bertabrakan dengan hidung Yonghoon saat itu juga. Yonghoon langsung mengecup ujung batang hidung Youngjo.

Youngjo mematung, masih terkejut dengan perlakuan manis Yonghoon. Tapi setelah Yonghoon menepuk lembut kepalanya dan berkata bahwa dirinya sungguh menggemaskan, tangannya langsung bereaksi untuk memukul dada kekasihnya itu.

Youngjo melanjutkan kerjanya dengan wajah yang memanas dan memerah. Rasanya seperti kepalamu akan matang terpanggang.

Yonghoon tak akan pernah bosan menemani hidup Youngjo. Youngjo tak akan pernah bosan hidup ditemani Yonghoon.

“Raaa, ayo menoleh!”

cekrek!

Satu lembar foto keluar dari kamera polaroid milik Harin yang Yonghoon pinjam. Yonghoon memberikannya kepada Youngjo. Youngjo menerimanya. Sambil tersenyum manis, ia mengambil isolasi kertas dan menempelkan foto tersebut di meja kerjanya. Juga mengambil spidol hitam lalu menuliskan 'ra sayang hoon selamanya,'

Tak lama, rekan kerja Youngjo datang menghampiri. Memberi setumpuk 200 lembar kertas sambil terus-terusan membungkuk meminta maaf, karena telah jadi perantara tugas dari bos nya. Ia merasa bersalah setelah melihat banyaknya tugas Youngjo yang belum diselesaikan.

“Bukan salahmu, ini memang seharusnya jadi tugas ku.”

Yonghoon tersenyum kecut melihat Youngjo yang terlihat senang bertukar senyum dan sapaan dengan rekan kerjanya itu. Meski memang hal kecil, kadang Yonghoon cemburu jika ia kehilangan atensi Youngjo bahkan satu detik pun.

Youngjo tetaplah Youngjo. Ia tak sengaja menjatuhkan separuh dari 200 lembar kertas tersebut hanya untuk mencoba mengecup bibir Yonghoon yang raut wajahnya menunjukkan bahwa ia cemburu.

Ah, iya. Atensi Youngjo akan selalu jadi milik Yonghoon.

Bel tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi tepat saat Yonghoon memberi lembaran kertas terakhir dari yang tadi jatuh tercecer.

Yonghoon lekas berdiri, menyambut tangan Youngjo yang siap untuk memeluk. Tubuh mereka berbaur dalam pelukan kasih sayang, rindu. Menghirup aroma tubuh yang menjadi candu bagi masing-masing dari mereka. Saling bertukar cinta dan kehangatan dalam satu pelukan. Rasanya tak mau berpisah, meski hanya sesaat.

Youngjo mendongak menatap mata indah kekasihnya. Ah, sungguh. Youngjo merasa jadi orang paling beruntung sedunia karena telah mendapatkan Jin Yonghoon.

Hal yang akan selalu terjadi setiap mereka bertemu, berpelukan dan saling mensyukuri keberadaan masing-masing di samping mereka.

Yonghoon pergi ke ruang kerjanya sebari melambaikan tangan, sementara Youngjo masih berdiri mematung di tempat. Sampai Hwanwoong, rekan kerjanya menepuk pundak Youngjo dengan wajah kebingungan.

Yonghoon juga jadi salah tingkah. Ia menabrak beberapa orang, vending machine dan sesekali harus bertumpu pada meja kerja orang lain karenanya.

Mereka menggila karena sesama. Mereka sadar, mereka sangat mencintai satu sama lain. Selamanya akan bersama, tak boleh ada yang memisahkan selain takdir. Tidak ada.

!warn! bxb

Hyungu menggenggam erat tangannya, dingin. Ia menatap pintu putih yang berada di depannya dengan cemas, takut kalau yang ditunggu menolak ajakannya.

Tak lama, pintu itu terbuka. Menampilkan pemuda dengan rambut kusut dan pakaian yang berantakan. Perlu beberapa waktu sampai Harin benar-benar sadar, “Ah, ternyata kamu. Ada apa?”

“Bukannya kamu sudah membaca pesanku?”

Harin menggaruk kepalanya kebingungan. “Sepertinya itu-”

“Dia belum bangun sampai aku melihat pesan darimu. Aku segera membangunkannya karena tak mau kau menunggu lebih lama,” Celetuk adik perempuan Harin dari belakang.

Dengan berlari, Harin segera masuk ke dalam kamarnya untuk mengecek ponselnya. Dan benar, temannya itu sudah menelepon dua kali juga memberinya pesan untuk memastikan apa dia bisa menemaninya berjalan keliling kota hari ini.

Harin kembali pada Hyungu. Ia terkekeh kecil, lalu mempersilahkan Hyungu duduk di sofa. Sambil mencibir sebal, Hyungu masuk.

“Aku akan merapikan diriku terlebih dahulu. Kamu tunggu disini, aku akan bersiap kurang dari lima menit.”

Harin berlari untuk kembali ke kamarnya, lagi. Hyunggu tersenyum tipis melihat tingkah teman yang selalu ada dalam 22 tahun hidupnya, mengisi kesehariannya itu. Sambil menunggu Harin, ia mengecek ponselnya untuk melihat notifikasi yang masuk.

Yonghoon
| aku akan terlambat ㅠㅠ
| maaf membuatmu menunggu. aku akan menjemputmu setelah selesai dengan pekerjaanku

Lagi-lagi, Hyungu tersenyum tipis. Kemarin Yonghoon mengajak Hyungu untuk berkencan, tapi ia mendadak harus datang ke kantor jam 5 pagi. Saat Hyungu sudah bersiap-siap, ia baru membuka ponselnya dan menemukan pesan dari Yonghoon. Yah, Hyungu bisa apa.

Hyungu
| tidak apa apa^^
| aku akan berada di cafe101 bersama Harin nanti
| jadi kalau sudah selesai dengan pekerjaanmu, jemput aku disana

Selesai dengan Yonghoon, tiba-tiba Harin menyodorkan dua pasang sepatu di depan wajahnya. Hyungu yang terkejut menjatuhkan dirinya ke sandaran sofa, lalu memukul bahu Harin yang lagi-lagi hanya terkekeh.

“Pilihkan untukku,” Harin menunjukkan sepatu putih dengan tali hitam, dan yang sebaliknya. Hyungu memilih sepatu hitam dengan tali putih karena ia tidak terbiasa melihat Harin dengan sepatu putih.

Padahal Harin lebih sering memakai sepatu putih.

“Baiklah, terima kasih.” Ucap Harin sembari berjalan keluar dengan sepatunya. Hyungu mengekori dari belakang.

Perjalanan didominasi oleh Harin yang banyak mengoceh dan tertawa. Sesekali ditimpali oleh Hyungu, meski ia lebih banyak menertawai konyolnya Harin. Harin juga selalu menggenggam tangan Hyungu, yang bahkan makin mengerat kalau Hyungu mencoba melepasnya. Hyungu menemukan ini sebagai hal yang menyebalkan, tapi di sisi lain ia bersyukur dipertemukan dengan teman sebaik Joo Harin.

Sesampainya di cafe, Hyungu berubah pikiran. Akhirnya ia mengusulkan untuk hanya membeli minuman dan sepotong kue untuk dimakan di taman. Harin menyetujui itu dengan anggukan riang.

Setelah membeli masing-masing sepotong kue dan minuman yang dipesankan Hyungu, Hyungu duduk di pinggir trotoar dekat taman. Tak biasanya Hyungu mau duduk dipinggir trotoar seperti ini, bahkan saat hanya berlari pagi tiap hari minggu. Katanya sih selain banyak polusi, juga terlihat seperti seorang gembel. Tapi untuk kali ini Harin tidak mau menolak, ia duduk di samping kanan Hyungu.

“Apa yang membuatmu mau duduk di sini?” Tanya Harin sambil terkekeh, mengingat Hyungu tak pernah mau duduk di sini. Apa ini menjadi tempat favorit sahabatnya itu sekarang? Sudah lama sejak ia dan Hyungu tidak menghabiskan waktu bersama untuk sekedar berjalan-jalan. Mungkin sekarang pacar sekaligus mantan kakak tingkat Hyungu, Jin Yonghoon sering mengajak Hyungu ke tempat yang lebih bagus dari taman komplek ini.

Oh iya, Harin tidak tahu kenapa Hyungu mengajaknya kemari.

“Uhum- Harin,”

Harin menoleh, mendapati kanghyun yang tengah menunduk sedang mengetuk-ngetukkan sendok kecilnya diatas kotak kue. Perlakuan yang alami dari Hyungu, tapi merebut seluruh atensi Harin. Sekali lagi, sudah lama sejak Harin dan Hyungu tidak menghabiskan waktu bersama untuk sekedar berjalan-jalan. Melihat Hyungu lagi di hadapannya, hanya bersamanya. Membuat perasaan Harin yang pernah ditaruh pada Hyungu kembali meletup-letup gembira.

Bagaimanapun, sebagai teman yang baik ia harus bisa menyembunyikan ini dengan baik pula.

“Aku tidak memberi tahu mengapa aku mengajakmu berjalan-jalan. Maaf tidak memberitahumu lebih awal,”

Harin sedang mencoba untuk tersenyum. “Tidak apa-apa, setidaknya aku jadi kenyang sekarang. Memangnya untuk apa? Aku kira kau hanya ingin berjalan-jalan karena bosan,”

Hyungu tersenyum mendengarnya. Ia menarik napas dalam-dalam, “Sebenarnya aku sedang menunggu Yonghoon,”

“Oh, pantas.” Batin Harin.

“Ia dipanggil ke kantornya pagi ini. Katanya sih mendadak, jadi kami menunda- ehem, kencan kami. Aku sudah bersiap-siap, daripada menunggu di rumah lebih baik aku mengajak seseorang untuk pergi dulu.”

Ah begitu rupanya, Harin mengerti. Tapi mendengar bahwa kamu bukan tujuan utamanya mengajakmu kemari, rasanya-

agak menyebalkan.

“Kamu tidak masalah dengan ini, bukan?”

Harin tersadar dari lamunannya. Ia jadi ingat, dulu ia pernah meminta Hyungu menemaninya datang ke cafe101 hanya untuk menunggui seseorang yang amat ia cintai selesai bekerja. Iya, Harin telah memiliki pacar. Harusnya rasa ini tidak kembali, karena telah dikubur dalam-dalam dan telah diganti pula dengan cinta yang baru.

“Tidak apa-apa, lagi pula kenapa aku harus mempermasalahkan ini. Anggap aja ini sebagai balasan yang waktu itu,” Harin menggantungkan kalimatnya. Mengingat saat ia belum memberitahu Hyungu bahwa ia telah berpacaran dengan orang yang dimaksud waktu itu, membuat wajahnya memerah.

Hyungu yang menyaksikannya tertawa terpingkal-pingkal. Ia menaik-turunkan sebelah alisnya, menggoda Harin. “Ah, anak itu. Bagaimana, ada kemajuan?”

“Aku bahkan sudah menjadi pacarnya! Jangan jadi menyebalkan begitu,” Balas Harin.

“Wah? Aku tidak percaya,” Ucap Hyungu dengan wajah pura-pura terkejut.

“Kami sudah menjadi sepasang kekasih dua hari sebelum kau mendapat pacar, aku tidak pernah memberi tahu mu soal ini karena kamu sedang patah hati waktu itu. Tapi aku malah benar-benar lupa untuk memberitahumu,”

“Oh, karena Jin sialan Yonghoon itu,”

Hyungu ingat, ia pernah menangis semalaman karena Yonghoon berbohong. Ia memainkan gitarnya semalaman, menyanyikan lagu sedih karena ia memang benar-benar patah hati.

Mendengar bahwa orang kesayanganmu telah berkencan dengan orang lain sama sekali tidak menyenangkan. Tapi setelah ia menangisi Yonghoon semalaman, ternyata esok harinya Yonghoon menghampiri rumah Hyungu dan bilang kalau ini tidak sungguhan.

Dibohongi pria yang tak terlalu dikenal dengan renggang umur 4 tahun diatasmu bukanlah hal yang bagus. Tapi sekarang Yonghoon sudah menunjukkan bahwa ia adalah pria yang baik untuk Hyungu.

“Iyaa itu.” Balas Harin, lagi lagi dan lagi dengan kekehannya.

Hyungu terkekeh. “Haha, lucu kalau mengingat dulu aku sangat membencinya. Tapi sekarang rasanya aku akan mati jika tak bersamanya,”

ting!

Hyungu buru-buru membuka ponselnya karena mendengar suara notifikasi. Setelahnya ia segera berdiri, menengok ke kanan dan kiri.

Yonghoon
| aku dalam perjalanan menuju ke sana! sebentar lagi aku akan sampai
| tunggu di sana ya❤

“Sudah mau datang, ya?”

Hyunggu mengangguk kecil sebagai jawaban. Harin ikut berdiri, mencari keberadaan pacar dari temannya yang katanya hampir sampai itu. Tapi Kang Hyungu selalu, lagi dan lagi merebut atensinya. Rambut pirangnya, mata, hidung, jari-jemarinya, kaki jenjangnya. Semuanya terlihat indah.

Harin menggenggam kedua tangan Hyungu. Yang secara tidak langsung membuat Hyungu memutar tubuhnya, jadi menatap Harin. Dulu tangan indah ini banyak membantunya.

Dulu Harin diejek oleh teman-temannya karena tidak bisa menaiki sepeda. Selalu saja terjatuh. Dan Hyungu selalu ada disana, untuk menolongnya. Mengajarinya, dan menepuk pundak Harin bangga saat Harin bisa melakukannya. Karena itu Harin bersedia untuk selalu berada di samping Hyungu, selama ia bisa.

Harin mengangkat genggaman tangan itu. “Ingat ya, kalau ada apa-apa kamu bisa berlari kepadaku. Kamu bisa memelukku sampai kamu merasa cukup lelah untuk meluapkan apa yang kau rasa. Setelahnya, kita harus mengembalikan apa yang hilang darimu. Kamu harus tetap jadi Kang Hyungu yang aku kenali,”

Hyungu tersenyum perlahan. Hatinya menghangat mendengar perkataan itu. Ini pertama kali dalam seumur hidupnya Harin berkata manis. “Kembalikan kata-kata itu untuk dirimu, dariku. Dan sumpah, aku akan selalu menjadi orang yang kau kenal,”

“Aku akan selalu menyayangimu, kau tau itu.”

Saat melihat bibir Hyungu tersenyum tipis, Harin tahu sahabatnya sedang memikirkan hal yang sama. Mereka melebur dalam pelukan. Saling menghirup wangi tubuh masing-masing, sangat erat seakan tak ada hari esok. Hyungu melerai pelukan itu sebelum terjadi hal yang tidak-tidak.

Kalau Yonghoon lihat, orang itu bisa merajuk semingguan.

Mata mereka bertemu dalam tautan rindu, kasih sayang. Hampir mereka menyelam ke masing-masing tatapan lebih dalam, kalau bunyi klakson motor tidak berbunyi tiba-tiba.

“Ternyata kalian disini,”

Hyungu mengambil tote bag yang ia letakkan di dekat kakinya tadi. Ia melambaikan tangannya dengan riang kepada Harin sebelum naik ke atas motor putih milik Yonghoon.

“Aku kembalikan pacarmu,” Ucap Harin.

“Memang harusnya dikembalikan, haha. Terima kasih telah menjaganya dengan baik, ya. Nanti aku titip lagi,” Balas Yonghoon mengacungkan jempolnya.

“Aku bukan barang, apa sih.” Timpal Hyungu dengan wajah datarnya.

“Iya iya, bukan barang. Aku duluan ya, Joo!” Yonghoon melambaikan tangannya sambil melaju perlahan.

“Iya, hati-hati juga Jin,” Balas Harin yang mungkin sudah tidak bisa di dengar oleh Yonghoon.

Harin menghela napasnya lega. Ia bersyukur temannya jatuh cinta kepada orang yang tepat.

Setelah memastikan Hyungu dan Yonghoon aman sampai menghilang ditelan hiruk pikuk pagi, ia harus pulang sekarang. Namun saat ia berbalik badan, ia menemukan orang dibelakangnya. Harin menyentuh dadanya, terkejut.

“Kelihatannya bahagia sekali, ada apa?”

Mengetahui bahwa itu kekasihnya, ia tersenyum hangat dan segera memeluknya dengan sangat erat. Hal yang selalu terjadi setiap ia bertemu Dongmyeong, waiter cafe101 sekaligus pacarnya.

“Kalau mau bermesraan pulang saja, ini masih pagi.” Celetuk Hyungseob, teman sesama waiter Dongmyeong dari dalam cafe.

Dongmyeong menjulurkan lidahnya sambil memeluk pinggang Harin, “Iri ya? Oh iya, kan Woojin-nya sedang berlibur.”

Harin ikut tertawa mendengarnya. Setelah mendengar bahwa Dongmyeong kemari hanya untuk mengecek jadwal kerjanya, ia memastikan apa Dongmyeong sudah sarapan. Dongmyeong menggeleng, lalu menggenggam tangan Harin.

“Mau pulang saja, mama sudah masak banyaak sekali. Mau ikut?”

Harin mengiyakan tawaran Dongmyeong. Ia merangkul bahu kekasihnya itu selama perjalanan pulang, sembari mendengarkan celotehannya dengan senang hati.

Tolong, Harin sungguh sangat mencintai kekasihnya ini. Senyum hangatnya, tawa renyah nya. Bibir dan keningnya, yang selalu nyaman dijadikan tempat meluapkan kasih sayang. Suara indahnya yang terus berputar di kepala Harin.

Bagaimanapun, Dongmyeong lah tempat hati Harin berpulang. Sungguh Harin berjanji untuk terus bersama Dongmyeong, selamanya. Tak akan berpisah, sampai maut mendatangi.

“Lo gak tau anak OSIS udah kerja keras buat ini? Sampe rela ngabisin tabungan mereka sendiri yang gak seberapa karena kalian yang gak mau bayar kas! Lo tuh harusnya bersyukur ya mereka gak maksa lo buat nyempurnain acara ini karena alasan basi lo itu. Bersyukur lo selama ini anak OSIS nahan gua buat gak ngebantai geng lo. Tapi liat— liat! Liat apa yang lo sama temen-temen lo lakuin.”

“Bukan cuma anak OSIS, semua orang marah sama lo sekarang,”

Lapangan kembali lengang. Menyisakan deru napas Irvan yang masih mencengkram kerah seragam siswa lain yang katanya membuat semua orang marah. Lagi pula siapa yang tidak akan marah, kalau persiapan pentas seni perpisahan yang sudah disiapkan sebaik mungkin dihancurkan begitu saja dengan alibi 'tidak sengaja'?

Sesegera mungkin setelah guru meninggalkan kelas, Irvan yang melihat kejadian itu dari jendela kelasnya langsung berlari secepat kilat dan memukul habis-habisan salah satu anggota geng yang ketahuan menghancurkan persiapan pentas. Mencengkram kerah seragamnya, memarahinya sejadi mungkin. Lalu membantingnya ke tanah dengan sangat kencang, yang suaranya mungkin terdengar sampai ke seluruh penjuru SMA Jembatan Pelangi.

Orang itu kembali berdiri, lalu mendecih. “Gaya banget. Anak OSIS juga bukan! Belagu lo jan-”

Belum selesai dengan kalimatnya, orang itu tersungkur lagi sembari menutup mulutnya yang bersimbah darah. “Pergi,”

Satya datang bersama Keenan dan Hanung yang berusaha menahannya. Terlambat, Satya telah menendang wajah siswa kurang ajar itu terlebih dahulu sebelum Keenan maupun Hanung sempat menghampirinya. Satya menendang wajah orang itu sekencang mungkin sebelum kata-kata buruk dari orang itu sampai di telinga temannya yang sensitif.

Sungguh, Satya tak pernah merasa semarah ini.

Mengenali bahwa Satya adalah salah satu anggota OSIS, orang itu bergegas pergi tanpa perlawanan sekalipun. Jalannya lunglai, menabrak ini dan itu. Tapi siapa yang peduli.

Keenan memeluk Irvan yang deru napasnya masih memburu. Tubuh Irvan bergetar hebat, sebelum ia meneteskan air matanya dalam pelukan Keenan. Hanung menuntun Satya yang masih tenggelam dalam lamunannya menuju kelas Hanung yang berada jauh dari lapangan. Mau tak mau Keenan mengikuti langkah Hanung.

Tangis Irvan mereda. Keenan tetap menepuk-nepuk bahu Irvan untuk menenangkannya.

“Harusnya lo gak usah dateng,” Ucap Irvan sembari mengusak rambutnya.

Satya menaruh kepalanya diatas tangan yang ia tumpukan pada meja. Ia tak mau melihat wajah Irvan sekarang, sungguh. “Gila lo. Orang itu bisa mati kalo gua gak dateng,”

“Nyatanya lo yang bikin dia hampir mati,” Celetuk Keenan sambil mengunyah permen karet yang ia bawa, sembari bermain dengan ponselnya.

“Bang Sat ga usah ngomong dulu. Biar gua wakilin,” Hanung berdehem sebelum memulai kalimatnya. “Bang Do, kenapa lo tiba-tiba mukulin anak itu? Padahal kan anak OSIS pasti bisa nyari solusi lagi,” Hanung menekankan kata 'pasti' yang selalu Satya gunakan. Padahal belum tentu Satya bisa menepati 'pasti' nya itu.

Hanung mengetahui apa yang ingin Satya ucapkan pada Irvan sekarang, jadi Satya hanya mendengarkan.

“Gak tau,” Yaa meski Satya tahu kalau ditanya berapa kali pun Irvan akan menjawabnya dengan jawaban yang sama.

Satya berdiri dengan senyum masamnya sambil menghentak meja. “Lo selalu begini, Do. Lo tuh aneh. Lo peduli banget sama sesuatu yang bukan urusan lo. Tapi lo sendiri? Lo gak pernah peduli udah berapa kali lo di skors karena bikin anak orang celaka. Dan yang bikin gue tambah gak enak itu lo ngelakuin ini semua dengan gue sebagai alasan! Gue-”

Irvan ikut berdiri dan menghentak meja. “Lo tau kan alasan gua begini? Karena lo! Lo gak pernah berusaha buat ngelindungin apa yang lo punya. Lo gak pernah nolak, lo gak pernah ngutarain apa yang mau lo sampein. Kerja keras lo gak pernah dihargain, dan lo pasrah selama lo gak merasa bakal terlibat ke masalah yang lebih jauh. Tapi kalo begini masalah lo gak bakal kelar, Sat!”

Kelas Hanung yang kosong jadi terasa makin kosong setelah Irvan selesai dengan kalimatnya. Satya berdehem, lalu kembali duduk. Irvan masih berdiri, tangannya bertumpu di meja. Wajahnya makin menekuk sekarang.

“Maaf,”

Tak mendapat respon dari Satya, Irvan hanya menghela nafasnya kasar dengan pupil yang bergetar. Celaka, Satya benar-benar marah.

“Maaf, Satya. Gua bikin rusuh mulu. Padahal bukan urusan gua juga, ya kan? Haha. Gua-”

“Ah. Sebenernya kenapa lo begini, sih?” Satya menatap mata Irvan tajam.

Irvan mengangkat kepalanya yang tertunduk. Ia juga tidak tahu kenapa ia rela melakukan semua ini demi Satya? Ia bingung. Ini muncul dengan sendirinya, setiap Satya ataupun segala yang berhubungan dengannya tersakiti.

“Nggak tau,” Irvan menghela napas panjang sembari mengacak-acak rambutnya. Tidak tahu apa yang tiba-tiba membuatnya terlihat seperti orang frustasi.

Keenan terkekeh, “Bilang lah kalo lu sayang, peduli sama dia!”

Hanung ikut tertawa. Mengingat Irvan tak mudah mengungkapkan apa yang ia rasakan, tapi tindakannya menunjukkan hal tersebut. “Intinya bang Ido peduli sama bang Satya, ya. Okaaaay, case closed,”

Sebenarnya hal ini sudah sering terjadi. Satya disakiti, Irvan memukuli siapa yang membuat Satya sakit hati, lalu Satya memarahi Irvan dan bertanya-tanya, kenapa ia bisa jadi seperti ini. Akhirnya Irvan meminta maaf, lalu ulangi.

Tanpa mengungkapkan apa yang dirasa pun, teman-temannya sudah tahu kalau Irvan menyayangi sahabat dengan mata minimalis nya itu.

Keenan tiba-tiba menunjukkan ponselnya kepada Satya. Entah hal apa yang membuat mereka tiba-tiba tertawa lepas. Satya meminjam ponsel Keenan, melakukan sesuatu pada ponsel Keenan sebelum ia pergi dengan kekehannya.

“Oke. Lo, gue maafin. Tapi jangan lupa cek grup wasaf SATUKITA ya Do, see u!” Ucap Satya, sebelum berlari keluar dari kelas Hanung.

Irvan terlihat bingung, “Apa sih Keen?”

Tepat, bel berbunyi. Keenan segera bersiap mengambil seribu langkah mundur untuk kembali ke kelasnya. “Liat aja, sih. Gue saranin sih jangan sampe Evan liat,”

Irvan segera merebut ponsel Hanung untuk melihat grup SATUKITA. Ternyata foto profil grup tersebut Satya ganti menjadi foto Irvan yang sedang menangis tadi.

Ah, ini pasti hasil jepretan Keenan.

Hanung yang baru melihatnya pun ikut tertawa keras. Irvan segera berlari dengan kecepatan maksimal, “sATYAAAAA GUA BETOT LO YA,”

Kiyara menyeruput americano miliknya selagi menunggu orang yang kata Kaerin hendak menemuinya hari ini. Awalnya Ia berniat untuk datang lebih siang. Tapi memikirkan udara segar dan langit cerah yang biasanya hanya datang di pagi hari, membuatnya bersemangat untuk bergegas mendatangi cafe ini.

Ya, siapa yang tahu kalau lima menit setelah ia datang kemari akan turun hujan lebat?

“Kiyara, ya?” Kiyara menoleh. Terlihat gadis dengan rambut yang agak basah, membawa jaket kuning yang disampirkan di bahu kanan dan segelas latte di tangan kirinya.

“Eh? Iya,”

Gadis itu menyerahkan sebuah kartu nama, lalu mengulurkan tangannya. “Aku Jenar, saudara Kaerin yang ingin mengajakmu bertemu lewat Kaerin kemarin.”

“Oh, kamu. Aku Kiyara, bisa dipanggil Kiya.”

Jenar duduk di kursi yang berhadapan dengan Kiyara, setelah ia menyampirkan jaketnya di kursi. Ia meminum latte nya sebelum bicara. “Langsung ke intinya, ya. Aku mau memintamu— ah, bukan. Lebih tepatnya band mu untuk mengikuti acara kompetisi yang akan perusahaanku adakan.”

Kiyara membuka matanya lebar-lebar. “Kompetisi? Perusahaanmu sungguh mau mengundang band ku? Kenapa?”

Jenar mencoba untuk tersenyum setelah mendengar pertanyaan Kiyara. “Sebenarnya perusahaan kami sedang berada dalam keadaan yang tidak bagus. Usaha kami akan segera berakhir kalau acara ini gagal.”

Kiyara merasa bersalah. “Ah, maaf. Karena aku begitu menyukai busana dari perusahaanmu, aku sangat terkejut kalau kau mau mengundang kami. Aku turut bersedih,”

“Tidak apa-apa. Jadi, kami memutuskan untuk mengerahkan seluruh usaha kami untuk menarik perhatian konsumen. Kalau ini berhasil, kami akan sukses seperti sedia kala.” Masih dengan senyumnya, Jenar menjelaskan tujuan dari mengundang band Kiyara. Kiyara jadi ikut bahagia melihat senyumnya.

Tapi beberapa saat kemudian, bahagia itu hilang seiring dengan hilangnya senyum Jenar. “Tapi kalau gagal, kami akan bangkrut sejadi-jadinya.”

Kiyara tampak merengut. Tentu ia tak mau perusahaan busana kesukaannya bangkrut.

“Melihat kalau band belakangan ini sedang diminati oleh orang banyak, kami memutuskan untuk mengundang beberapa band untuk berkompetisi di bawah perusahaan kami. Pemenangnya akan jadi model iklan perusahaan kami nantinya.” Jelas Jenar lebih lanjut. Kiyara hanya mengangguk paham. Atensi Kiyara sekarang tertuju pada senyum Jenar, sepenuhnya.

Cantik.

“Eumm ini brosurnya. Keterangan lebih lanjut ada disini,” Jenar memberi Kiyara sebuah brosur dengan warna dominan ungu. Kiyara berkedip, menyadarkan dirinya dari lamunan. Tangannya bergerak gugup saat hendak mengambil brosur dari tangan Jenar.

Setelah membacanya sekilas, Jenar merapikan jaketnya lalu meminum latte nya yang belum habis. “Kalau tertarik, kamu bisa hubungi kontak ku di kartu itu.” Ujar Jenar dengan senyum hangat di akhir kalimat. Lagi, Kiyara mengangguk paham.

“Tapi,” Kiyara menyeruput americano nya. “Sepertinya aku lebih tertarik dengan senyumanmu dibanding kompetisi ini,”

Wajah Jenar memerah. Jarang berkomunikasi dengan orang, membuat Jenar menjadi gugup kalau harus bicara dengan orang yang belum dikenal. Apalagi digoda? Bisa meledak Jenar.

“Ah, sudah. Aku mau pulang. Kalau tertarik mengikuti kompetisi tersebut jangan lupa untuk menghubungiku,” Rasanya ingin berlari secepatnya menuju rumah.

Tapi baru saja Jenar berdiri dari kursinya, “Di luar kan masih hujan,”

Astaga, bodoh. Bagaimana bisa Jenar menghiraukan suara hujan deras di luar? Jenar meletakkan kembali jaketnya.

Setelah menunggu hujan reda dengan suasana canggung selama 10 menit, Jenar memutuskan untuk membelikan Kiyara kopi dan sepotong kue.

“Harusnya tidak usah repot-repot,” Ucap Kiyara sambil mengunyah kuenya.

“Tidak repot, kok. Ini ucapan terimakasih,”

Kiyara mengerutkan dahinya. “Untuk?”

“Mau terjebak dalam situasi canggung ini karena diriku,” Balas Jenar kikuk. Ia bahkan tak berani menatap Kiyara sekarang.

Kiyara terkekeh. “Padahal tidak apa-apa. Oh iya, melihat kartu namamu ternyata kamu lebih muda dariku. Aku kira-”

“Menyebalkan, kamu bukan orang pertama yang berkata seperti itu kepadaku,” Jenar mencibir sebelum ia meletakkan sendoknya diatas piring, selesai makan.

“Eh, bukan maksudku menghina,”

Setelah mengobrol singkat, hujan deras telah berubah menjadi langit cerah. Harum tanaman yang telah disirami hujan masuk ke indra penciuman Jenar. Harumnya tak pernah gagal membuat Jenar merasa lebih baik.

Setelah melihat jam di tangannya, Jenar berdiri. “Aku akan pulang sekarang,”

Kiyara melambaikan tangannya dengan riang. “Iya, hati-hati di jalan!”

“Sampai jumpa Kiya,” Jenar tersenyum balik. Ia melambaikan tangannya ke arah Kiyara sebelum benar-benar pergi. Sungguh, Jenar telah merebut seluruh atensi Kiyara.

Manik manis Kiyara tak dapat melepaskan pandangannya terhadap Jenar, sampai hiruk pikuk kota menyembunyikan Jenar darinya.

Ingatkan Kiyara untuk berterimakasih pada Kaerin, ya.