aclinomaniaxx

#Sarapan

Suara bising dari arah dapur membangunkan Rindou dari tidur nyenyaknya, berjalan dengan santai karena sekali pun itu maling dia jago beradu tinju dan memiliki banyak waktu untuk meladeni maling tersebut karena jadwal kuliahnya baru dimulai di siang hari nanti.

Violetnya melotot kaget ketika melihat sosok bersurai perak panjang sedang sibuk memunguti barang yang berserakan di lantai dapur dengan satu tangan. Rindou mendekat untuk memastikan bahwa itu benar-benar teman satu kontrakan yang sering mencari gara-gara padanya.

“Zu? Beneran lo kan?” Sanzu tersentak kaget mendapati presensi orang lain di dekatnya.

“Ya iya beneran gue, ngapa? Takut ya lo hahahah pasti lo ngira gue setan kan? Eiyyy pedelpop penakut.” Setelah menjulurkan lidahnya meledek, Sanzu kembali memunguti perabotan yang berserakan di lantai dan kembali ia letakkan pada tempat asalnya.

“Ya bukan gitu, kaget aja kan kemaren lo gak ada di kontrakan, gue kira lo beneran ngungsi.” Rindou menyender bersidekap dada pada pinggiran meja makan, memperhatikan Sanzu yang sibuk menata perabotan.

Rindou menatap Sanzu bingung, kini pemuda dengan surai perak yang dikuncir tinggi dengan model ponytail itu menghisap jari telunjuk kanannya dengan sesekali meringis.

“Luka, zu?” Rindou mendekati Sanzu dan menarik tangan kanannya mengundang ringisan sang empunya.

“Kok bisa sih? Duduk disini dulu, gue ambilin obat merah bentar.” Setelah mendudukkan Sanzu dikursi meja makan, Rindou berlari mengambil kotak P3K yang ada di bawah tangga lantai dua.

Tidak butuh waktu lama, Rindou sudah kembali dengan kotak P3K ditangannya. Ditariknya satu kursi di sebelah Sanzu, tangan kekar Rindou terulur untuk membersihkan luka di tangan Sanzu dengan kapas dan juga cairan antiseptic. Sanzu refleks menarik tangannya ketika perih menjalar.

“Lo habis ngapain sih sampe luka gini?” Rindou bertanya namun tak menghentikan treatment-nya pada luka Sanzu.

“Y-ya gue laper, gue nyoba masak kan ya baru juga mau ngupas bawang ehh kena pisau.” Rindou menggeleng mendengar jawaban Sanzu, diikatnya kasa yang membalut luka Sanzu yang sudah ia beri obat merah dengan sedikit kencang, takut terlepas nantinya.

“Gue gofood sarapan, ya zu?” Tanya Rindou yang diberi gelengan kecil oleh Sanzu.

“A-anu, sebenernya gue tadi bikin nasi, jadi kok nasinya. Ketimbang mubazir, gue goreng telor aja ya?” Ujar Sanzu lirih sembari tundukkan kepalanya menatap kasa yang Rindou balutkan pada lukanya.

Rindou terkekeh pelan. Dorong mundur kursinya, Rindou melangkahkan kakinya menuju kulkas yang terletak persis di hadapannya. Dua telur ayam Rindou ambil dan bawa dirinya kedepan kompor.

“Udah lo duduk aja disitu, masak telor juga gue bisa.” Sanzu menoleh memandangi Rindou yang membelakangi dirinya dan terlihat sibuk didepan kompor. Pipi gembil Sanzu bersemu merah ketika menyadari bahwa Rindou hanya mengenakan celana panjang berwarna abu-abu, otot kekar di punggung lebar milik Rindou terpampang jelas dihadapannya.

“Mau diceplok doang apa didadar, zu?” Rindou menoleh menunjukkan ekspresi bingung ketika Sanzu malah gelagapan dan memalingkan wajahnya.

“Hah? C-ceplok aja deh biar gak ribet.” Sanzu menjawab tanpa menoleh kearah pemuda dengan surai serupa es krim paddlepop itu.

Takut kepergok lagi, Sanzu menempelkan kepalanya pada meja makan, memandangi jarum jam yang berputar dalam diam.

Lima menit Sanzu rasa telah berlalu, sebuah piring tersaji disampingnya membuyarkan lamunannya, dan sialnya entah mengapa kedua netra miliknya malah memandang ke arah otot perut Rindou yang terbentuk sempurna bukan malah memeriksa hasil pekerjaan pemuda tersebut apakah telornya digoreng dengan sempura ataukah gosong.

“Kalo kurang nasinya, lo ambil sendiri ya.” Rindou dengan santainya duduk disebelah Sanzu dan memakan sarapannya dengan tenang.

“M-makasih Rin. Cukup kok segini.” Tak biarkan fokusnya terpecah lagi, Sanzu juga mulai memasukkan suapan demi suapan ke dalam mulutnya.

“Libur lo?” Hening beberapa saat lalu terpecah ketika Rindou melempar pertanyaan pada Sanzu setelah menghabiskan sarapannya.

“Oh enggak, kelas siang gue.” Sanzu menimpali seadanya

“Berangkat sama temen?” Sudut bibir Rindou teangkat melihat bagaimana lucunya Sanzu ketika megunyah makanan.

“Sama ojol kali, biasanya kan nebeng Hanma atau gak Baji yaa berhubung orangnya gak ada yaudah ojo-

“Sama gue aja, gue juga kelas siang.” Ucapan Sanzu terpotong oleh ajakan Rindou secara tiba-tiba.

“Ehh gak usah, takut ngerepotin.” Sebenarnya tidak ada ruginya jika ia berangkat bersama Rindou, untung malah uang jajannya tidak terpotong tapi entah mengapa Sanzu menolaknya, Sanzu tidak tahu alasannya tapi yang jelas dia harus menolaknya.

Rindou bangkit dari duduknya dengan terkekeh geli. Tungkai panjangnya melangkah menuju tempat untuk mencuci piring tanpa menunggu Sanzu selesai terlebih dahulu.

“Udah si bareng gue aja, sekalian hemat, ok?” Setelahnya hanya terdengar suara kran air yang dinyalakan dan suara dari beberapa perabotan yang ditumpuk.

Terlalu larut dalam pikirannya Sanzu tidak menyadari Rindou sudah selesai dari kegiatan mencuci piringnya. Tangannya terulur untuk memasukkan satu suapan terakhir ke dalam mulutnya, akhiri sarapannya.

“Lo cakep deh kalo lagi kalem gini.” Rindou mengeringkan tangannya dengan kain bersih yang tergeletak diatas kulkas.

“Hah?” Sanzu membalik badannya guna melihat Rindou, menatap Rindou dengan raut wajah tidak santai miliknya.

“Engga, gak penting hahaha lupain aja. Gue ke kamar duluan ya, nanti kabarin aja kalo udah mau berangkat.” Rindou melempar senyuman tipis dan meninggalkan Sanzu yang kini terbengong di meja makan.

Tidak. Bukannya Sanzu tidak mendengar apa yang baru saja Rindou katakan, sangat jelas malah terdengar di telinganya. Penyataan yang keluar dari belah bibir Rindou membuat Sanzu membeku dan tidak tahu harus merespon apa.

#Saturday Night .

.

. Sorry for typos ^^

Sebelumnya aku mau minta maaf kalau narasi ini kepanjangan ya dan minta maaf banget kalau narasi ini gak ngefeel di kalian. Selamat membaca ^^


Pukul 19.00 suasana bising menghiasi rooftop kontrakan mereka. Di bawah langit malam yang cerah dengan gemerlap bintangr, beberapa anak Adam sibuk berkutat dengan kegiatannya masing-masing.

Di bagian tengah sebagai spot yang dipilih mereka untuk tempat makan nanti ada Mikey yang menggelar karpet dan juga ada beberapa perabotan yang menunggu untuk di-lap dengan kain bersih guna menghilangkan debu yang menempel.

Suara penyumbang bising paling keras berasal dari spot di pojok kanan dekat pembatas rooftop. Disana terlihat Hanma dan Baji sibuk saling melempar guyonan dan makian, oh atau mungkin lebih tepatnya Hanma yang merecoki Baji yang sedang berkutat dengan arang di alat pemanggang.

“Ji, gimana sih lama bener ini nyala apinya. Aduh cacing gue udah demo sampe bakar ban ini di dalem perut gue.”

“Ya sabar tot, gak liat lo anginnya kenceng banget dari tadi? Dari tadi juga udah gue coba ini.” Satu tangan dari lelaki berambut gondong yang dikuncir dengan model ponytail tinggi itu mengusap keringat yang meleleh menuruni pipinya, meninggalkan bekas cemong hitam disana.

“Yaudah, sini gue bantu wkwkwk gabut bener gue dari tadi cuma isengin lo doang.” Hanma hanya terkekeh kecil atas respon yang diberikan oleh temannya itu. Sebatang nikotin yang sudah terbakar setengah dihisapnya, lalu buang kebulan asap yang berhasil kotori paru-parunya melalui belah bibirnya.

“Enak aja gabut, mending lo kerjain ini ketimbang recokin Baji mulu.” Belum sempat Baji membalas, Kazutora datang dengan beberapa pelepah daun kelapa dan sebaskom besar yang diyakini berisi ayam dan ikan yang sudah dimarinasi.

“Eh ayang, heheheh iya sini aku kerjain.” Hanma mengambil baskom dan pelepah yang dibawa Kazutora, dan duduk bersila di samping Baji mulai mengerjakan bagiannya.

“Kerjain yang bener!” Seru Kazutora sebelum menginggalkan mereka dan bergabung ke tengah bersama Chifuyu yang berkutat dengan sayur lalapan serta Mikey dengan perabotan yang harus ia bersihkan.

Baji terkekeh geli melihat Hanma yang langsung menurut dengan ucapan Kazutora tanpa bantahan sedikitpun. Kalimat ‘Mampus lo’ ia ucapkan kepada Hanma dan dibalas dengan pukulan main-main di kakinya oleh Hanma.

Ketika semua sibuk berkutat dengan bagiannya masing-masing terdengar langkah kaki tergesa menaiki tangga. Sanzu datang menghampiri Kazutora yang duduk di samping Mikey dan Chifuyu, tangannya mengupas mentimun dengan telaten.

“Mami, cobain dong dah enak belum nih sambelnya.” Sanzu membawa cobek besar dengan kedua tangannya dan meminta Kazutora untuk mencoba sambal yang ia buat. Sedikit kurang yakin dengan racikannya, ia yakin ada yang kurang namun Sanzu kurang yakin apa itu; maka ia akan meminta saran kepada Kazutora yang menyandang gelar malewife di kontrakan.

“Udah enak sih zu, cuma kurang gula merah dikit. Eh zu, sekalian gorengin terong ama kubisnya bentar ya” Ujar Kazutora setelah mencoba sambal yang ia colek dengan jari kelingkingnya

Mengangguk paham, Sanzu kembali turun ke dapur guna menyempurnakan sambal buatannya dan juga tugas tambahan yang diberikan. Hilangnya Sanzu, digantikan dengan kehadiran kakak-adik Haitani dengan satu tangan mereka menenteng kantong belanjaan.

“Widihhh belanja lagi, bang? bawa apa tuh?” Tanya Baji penasaran.

“Bawa sirup sama soda sih. Gak mungkin Cuma ngandelin minuman dari Koko doang kan. Terus ini ada snack juga, mumpung malem minggu gas aja sih sampe pagi wkwkwk.” ujar Ran sembari menyerahkan kantong belanjaannya kepada Kazutora.

“Btw, apa nih yang bisa gue bantu?” sebatang tembakau Ran ambil dari kotaknya, dijepit diantara belah bibirnya dan biarkan pemantik membakar ujungnya sembari berjalan kearah Baji dan Hanma.

“Bantu gue dah, bang. Tai banget nih apinya belom nyala juga. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin.” Ujar Baji putus asa dengan sebatang Djarum hitam yang terselip diantara telunjuk dan jari tengahnya.

“Dih apaan, gak gak bantu gua aja, bang. Apa gak kasian lo lihat ikannya dianggurin dari tadi, bang? Kata gue kurang belaian sih itu, asli susah bener ni nganu ayamnya, bang.” Hanma berujar dengan tatapan memelas kepada Ran.

“Yaelah bawel amat lo, biarin si abang bantuin Baji kan ada gue juga.”

“Hehehe cayank kamu adek ipar.” Hanma terkekeh kecil melihat Rindou yang duduk dihadapannya dan tanpa banyak omong langsung mengambil satu pelepah daun kelapa yang sudah Hanma belah menjadi dua bagian setengah batangnya dan menjepit dua ikan di sela-selanya kemudian mengikat ujungnya dengan tali. Hanma curiga bahwa Rindou pernah bekerja sebagai penjual ikan bakar, setelah melihat betapa lihainya seorang Rindou Haitani. .

.

.

. Beberapa waktu berlalu semua sudah hampir selesai, hanya kurang satu ayam setengah matang yang masih dipanggang oleh Ran dan Baji. Berbeda dengan Ran dan juga Baji yang masih sibuk dengan urusannya, yang lain sudah duduk melingkar di karpet yang sudah digelar oleh Mikey tadi.

Di hadapan mereka ada ayam dan ikan bakar yang sudah pasti mengugah selera, juga ada nasi panas dengan kepulan uap panas diatasnya, tidak lupa juga dengan berbagai macam sayur lalapan seperti: kubis goreng, terong goreng, daun kemangi, mentimun dan juga kacang panjang terjejer rapi disebelah cobek besar berisi sambal buatan Sanzu. Tidak lupa juga dengan es sirup dan juga soda yang akan memuaskan dahaga mereka. Sial sekali masih ada satu ayam yang belum matang, jadi mereka harus menunggu lebih lama lagi untuk mengeksekusi hidangan di hadapan mereka.

Mengalihkan perhatian, mereka memutuskan untuk berbincang santai ala anak muda dengan selingan guyonan receh yang dilontarkan oleh Hanma. Beberapa menit kemudian perbincangan mereka harus terhenti karena satu ayam yang mereka tunggu kini telah bergabung dengan teman-temannya disana, pun juga dengan Ran dan Baji yang kini masuk ke dalam lingkaran yang mereka buat.

“Gak usah banyak bacot ya, udah langsung sikat aja sih ini.” Ujar Sanzu setelah mematikan esse berry pop miliknya kedalam asbak. Ucapan Sanzu menjadi dorongan bagi mereka semua untuk mengeksekusi hidangan yang mereka buat dengan jerih payah mereka.

Jika normalnya orang makan akan diam untuk menuntaskan rasa lapar mereka, namun hal tersebut tidak berlaku bagi beberapa anak adam ini, dimulai dari Hanma dan Baji yang terlihat berebut untuk mendapatkan sepaket jeroan ayam yang sudah dipisahkan oleh Chifuyu. Ada juga Mikey yang menangis karena duri ikan yang menggores lidahnya. Juga bagaimana Kazutora mengamuk karena Sanzu mengambil kubis goreng dari piringnya.

“Racikan bumbu ayang Kajut emang gak pernah mengecewakan deh, marinasinya mantap terus bumbu bakarnya juga gak kalah mantap. Aa halalin besok ya?” Hanma memuji bumbu yang Kazutora buat, tanpa bumbu dari Kazutora tidak mungkin ayam dan ikan bakar mereka bisa seenak ini.

“Bener, emang pinter cantiknya Kak Ran.” Ran mengiyakan perkataan Hanma dan melempar senyum manis ke arah Kazutora.

“Makasih, kak.” Kazutora tersipu malu.

“Lah gue mana woi? perasaan yang muji duluan gue?” Hanma protes tidak terima.

“Makan yang bener ya PK ku sayang, gak usah bawel nanti kamu keselek.” Kazutora menuangkan secentong nasi lagi ke piring Hanma, paham akan porsi kuli pacarnya.

“Eh tapi ini sambelnya enak banget dah, lo juga yang buat jut?” Tanya Rindou sembari menambahkan sesendok sambal lagi ke piringnya.

“Oh bukan, Rin. Itu sambel Sanzu yang buat.” Balas Kazutora dan Rindou hanya ber'oh ria menanggapi.

“Apa lo rambut pedelpop? gak terima?” Sungut Sanzu yang dibarengi juga dengan lirikan sinis kepada Rindou.

“Apa si ini orgil kan gue dah bilang enak. Sensi mulu lo perasaan ama gue.” Rindou melemparkan daun kemangi pada Sanzu yang ada di seberangnya, namun meleset karena Sanzu berhasil menghindar.

“Nyenyenye brisik lo pedelpop” Sanzu menjulurkan lidah mengejek. Bosan dengan pertengkaran mereka yang terus-menerus terjadi, Rindou hanya memutar bola matanya malas.

Chaos baru selesai beberapa jam kemudian ketika mereka sudah selesai dengan piring mereka masing-masing. Paham akan acara yang berlangsung selanjutnya Chifuyu serta Mikey pamit dan menyanggupi untuk membereskan kekacauan mereka.

Chifuyu dan Mikey membawa semua perabotan turun kebawah kecuali piring dengan diameter cukup besar yang masih berisi seekor ayam dan juga tiga ekor ikan kakap berukuran sedang; untuk menemani malam mereka katanya.

“Hanma lo ngapain masih goleran disini anjing, cepet ambil minumannya cok.” Ujar Sanzu tak sabaran.

“Iyaa ini gue ambil, sabar kek orgil perut gue masih penuh ini.” Hanma bangkit dari posisinya dan turun ke lantai dua untuk mengambil minuman yang Sanzu tunggu-tunggu.

Tidak butuh waktu lama, Hanma sudah kembali dengan membawa beberapa gelas sloki dan juga tiga botol minuman dengan label yang berbeda.

Tidak sabaran Sanzu membuka satu botol Cognac dengan label Martell Cordon Bleu, dituangnya carian berwana coklat pucat itu hingga penuhi gelas sloki miliknya, kemudian satu sloki penuh Cognac Sanzu habiskan dalam sekali tegakan dan timbulkan rasa panas pada tenggorokannya. Begitu terus berlanjut dengan sloki sloki berikutnya hingga Sanzu rasakan berat pada kepalanya.

“Aaaaaaaaaaaa Mucho brengsek.” Maki Sanzu setengah sadar.

“Jiakhhhh udah mulai teler bocahnya.” Baji terkikik geli melihat Sanzu yang perlahan mulai kehilangan kesadarannya namun tidak berhenti untuk mengisi sloki-nya dengan Cognac.

“Mang napa si bang Mucho, zu? Bukannya kemaren lusa lo abis jalan ama Mucho?” Hanma memancing Sanzu untuk bercerita.

“Dah putus, kemaren gue mergokin dia ciuman di parkiran FMIPA sama si Nahoya kribo oren.” Lirih Sanzu dengan air mata yang mulai meleleh basahi pipinya.

“Aduh zu, jangan nangis dong jangan sedih, besok gue bogem dah bang Mucho biar kapok.” Baji panic melihat rekannya yang biasa menjadi orgil 24/7 itu menangis.

“Emang berani, Ji?” Tanya Ran setelah menegak kembali satu sloki Jack Daniel’s yang sedari tadi ia bagi dengan Rindou dan Hanma.

“Heheheh enggak sih bang.” Baji terkekeh canggung sembari merampas sebotol Absolut Vodka yang dibawa Kazutora.

“Shhhh udah gak usah lo tangisin cowok brengsek gitu, bagus deh udah lo putusin pasti nanti dia nyesel dan lo pasti dapet pengganti yang lebih baik dari si Mucho botak itu.” Kazutora yang tepat berada di sebelah Sanzu menarik Sanzu mendekat dan merengkuh Sanzu dalam pelukannya, biarkan air mata Sanzu basahi pundaknya.

“Atuhlah, zu jangan sedihh, orgil squad is nothing kalo lo sedih, zu. Gak usah nangisin orang jelek kata gue mah.” Hanma menepuk kepala Sanzu yang ada di pelukan Kazutora.

“Huhuhuhu iyaa enggak nangis lagi.” Sanzu melepaskan diri dari pelukan Kazutora dan mengelap air mata yang basahi pipinya. “Makasih ya kalian, lof yu ol.” Sambungnya lagi.

“Nah gitu dong, sabarin aja, zu nanti lo pasti dapet yang lebih dari si Mucho.” Ran mengambil sebotol Martell Cordon Bleu yang ingin Sanzu tuang lagi. “Bagi kali, gue juga pengen ngerasain Cognac gimana.” Sambung Ran setelah berhasil merebut botol *Martell Cordon Bleu yang tersisa setengahnya.

Begitulah mereka menghabiskan malam minggu dengan batang-batang nikotin yang mengotori paru-paru, ditemani oleh tiga botol minuman memabukkan yang membakar tenggorokan dan mengikis kesadaran mereka, pun juga dengan celotehan Sanzu tentang mantannya serta guyonan Baji dan juga Hanma yang selaras. Lima dari mereka benar-benar hanyut dalam euphoria yang mereka ciptakan namun tidak dengan satu orang lagi yang sedari awal Sanzu menangis tidak pernah mengalihkan sepasang violetnya dari pemuda bersurai perak panjang yang ia yakini sudah dimabuk minuman yang Hanma bawa. .

.

.

.

.

“Rin, aduh bawa Sanzu kebawa ya? kuat kan lo? udah teler banget ini bocahnya, kamar lo ama dia kan hadap-hadapan tuh, ini Hanma sama Abang lo biar Baji sama gue aja deh yang bawa. Lo urus Sanzu aja ok?” Rindou mengangguk paham dan memapah Sanzu turun ke lantai bawah, menghiraukan celotehan jorok Hanma yang mengajak Kazutora untuk melakukan drunk sex setelah ini.

Sampai pada anak tangga terakhir Rindou menarik napas sejenak, memapah orang mabuk menuruni anak tangga tidak semudah yang ia kira; belum lagi rancauan Sanzu yang memaki mantan pacarnya itu membuat telinganya panas.

Rindou lanjutkan langkahnya untuk membuka pintu kamar Sanzu. Berantakan adalah satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan kondisi kamar Sanzu saat ini. Selimut dan beberapa bungkus makanan ringan yang berserakan di lantai, tissue bekas dan juga minuman kaleng yang dibiarkan menumpuk di sudut kamar semakin menambah kesan berantakan bagi kamar Sanzu.

Tidak ingin larut dalam pikirannya mengenai ‘Apakah memang seperti ini kondisi kamar milik orang yang putus cinta?’ Rindou membaringkan sang empunya kamar di ranjangnya. Setelah dipastikan posisinya sudah pas, tangan Rindou terulur mengambil selimut untuk dipasangkan kepada Sanzu.

Tak memiliki alasan lagi untuk berada didalam sana, Rindou mengambil langkah keluar. Ditutupnya kembali pintu kamar Sanzu dan langkahkan kakinya untuk kembali ke kamarnya yang berada di seberang posisinya sekarang ini.

Setelah membersihkan diri, Rindou merebahkan tubuhnya pada ranjang miliknya. Rindou tidak mabuk, tentu saja setengah botol Jack Daniel’s tidak bisa membuatnya mabuk, namun entah kenapa pikirannya berkelana entah kemana. Rindou ambil sebatang Sampoerna mild dari bungkusnya, berharap beberapa hisapan bari batang nikotin itu mampu menenangkan dirinya, namun nyatanya Rindou tetap terjaga hingga fajar datang menyambut; masih berkutat dengan pemikiran yang entah apa itu Rindou tidak tahu.


#Scandal

cw/ genderbaned, semi public sex, blowjob, breast play, harsh words, degrading, fingering, overstimulation, rough sex,vagina licking, clit play, cunt slaping, unprotected sex, squirting, etc.

Sorry for typos^^

Enjoy......... .

.

.

.

.

.

“JANCOKK” Makian yang keluar dari belah bibir semerah darah itu dibarengi dengan bantingan tas berisi laptop di meja kantin itu mengundang tatapan ngeri dari teman-temannya.

“Kenapa sih, Zu? gue tau lo kaya, tapi ya gak dibanting-banting gini”. Pertanyaan dari perempuan cantik yang biasa dipanggil Inupi itu tak diindahkan olehnya.

“Kenapa? Gak dapet kontol yang muasin lubang lo semalem?” Kazutora terkikik geli menjahili pelaku kegaduhan beberapa saat lalu yang kini terduduk dengan raut masam diwajahnya.

“Kazu gak boleh gitu, ada apa sih Zu? gue liat-liat bete banget.” Imaushi Wakasa, perempuan bersurai corak zebra yang digadang-gadang sebagai kembaran tak serahim Kazutora itu ikut bertanya.

“Bayangin deh, lo apa gak gila jadi gue? Tugas statistik gue dikasi D lagi anjing sama Pak Rin. Udah dua kali loh, bisa gak lulus gue kalo begini caranya. Salahnya gue dimana sih? kan tugas kita berempat sama, kok cuma gue doang yang dapet D sedangkan kalian enak banget dapet B”. Dengan muka yang memerah menahan tangis perempuan yang dipanggil Sanzu itu mencurahkan keluh kesahnya.

“Pak Rin tau kali lo cuma nyalin tugasnya Inupi? eh tapi gue sama Waka kan sama ya, lo yakin gak salah setor tugas Zu?” Tanya Kazutora memastikan.

“Enggak fuck, nih lihat, statistik kan matkulnya Pak Rin doang ya kali salah setor tugas.” Balas Sanzu sembari melemparkan kertas yang sudah tidak berbentuk akibat diremas terlalu kuat ke meja kantin.

“Yaudah mending Sanzu habis makan siang nemuin Pak Rin ke ruangannya, tanya baik-baik. Siapa tau Pak Rin keliru.” Ujar Inupi memberi saran.

“Gak mau ish, ngapain nemuin Pak Rin jelek males banget.” Sanzu mengusap air mata yang leleh menuruni pipinya.

“Buat mastiin bego, ketimbang lo marah-marah disini gak ada untungnya juga kan. Mending lo temuin beliau langsung minta kejelasan salah lo dimana.” Ujar Kazutora menambahi.

“Harus banget nih?” Sanzu menatap ketiga temannya seperti anak kucing yang akan dibuang ke jalanan.

“Iye ah dah gak usah nangis, muka muka lonte kek lo gak cocok nangis.” Canda Kazutora sembari menggeser semangkuk soto ayam dan segelas es jeruk kehadapan Sanzu.

“Dimakan dulu, Zu. Biar ada tenaga pas ketemu Pak Rin sehabis ini.” Sanzu mengangguk mengiyakan perkataan Wakasa. Satu suapan kini masuk ke dalam organ pencernaannya.

“Gini caranya gue nyerah aja deh dapetin Pak Rin, beruntung banget deh Kazu bisa dapetin Pak Ran sama Presma kita si Hanma, Waka juga adem ayem banget sama Pak Takeomi, Nupi apalagi udah mau tunangan aja sama Pak Koko. Udah deh gue nyerah aja, bukannya pacaran yang ada gue ngulang matkul Pak Rin deh.” Sanzu menghela napas panjang meratapi nasibnya.

“Rahasia gue mah ya gitu, kuat-kuatin aja di ranjang hehe.” Kazutora terkekeh geli dengan ucapannya sendiri.

“Lonte behavior banget.” Wakasa melempar sendok ke arah Kazutora.

“Tau tuh, temennya lagi sedih bisa-bisanya ngasih saran perlontean.” Sanzu ikut menimpali Kazutora.

“Oke kata orang yang abis diewe Pak Takeomi di toilet minggu lalu sama orang yang tiap malem sange bayangin dirinya dilecehin Pak Rin.” Balas Kazutora sarkas.

“Hush udah-udah. Doain aja semoga lancar urusannya Sanzu sama Pak Rin habis ini.” Tidak ingin telinganya panas mendengar ocehan tidak jelas, Inupi menengahi mereka.

“Emang Inupi terbaik deh.” Buru-buru Sanzu tenggak habis es jeruknya, sedikit serak kerongkongannya habiskan semangkuk soto yang dipesankan temannya.

“Dah, dah gue mau keruangan Pak Rin dulu, wish me luck bestie.” Sanzu mengecup pipi ketiga temannya, sampirkan totebag dibahunya, dan langkahkan kedua tungkainya sedikit tergesa menuju ruangan dosen yang ingin ditemuinya.

Ucapan 'Semangat Sanzu' yang samar terdengar dari ketiga temannya ia balas hanya dengan lambaian tanpa menengok kebelakang.


Setelah keluar dari kantin, Sanzu melangkah menuju gedung khusus ruang dosen yang terletak di belakang gedung KBM fakultasnya. Langkah Sanzu berhenti pada suatu ruangan bagian paling pojok disebelah kiri.

'tok tok tok'

Diketuknya pintu bercat putih berisikan papan nama yang bertuliskan 'Haitani Rindou'. Sanzu tidak sabar menunggu respon dari empunya ruangan.

Setelah terdengar perintah 'Masuk' dari dalam barulah Sanzu berani membuka gagang pintu ruangan tersebut. Baru saja satu tungkai melangkah memasuki ruangan, gerakan lainnya terpaksa harus terhenti karena dikagetkan oleh ucapan dosennya.

“Oh ayam kampusnya FISIP, ada apa datang ke ruangan saya?”

Sanzu rasakan kakinya berubah menjadi jelly ingin tumbang seketika usai mendengarkan perkataan dari dosen muda tersebut.

Pardon, sir?”

“Loh bukan? Tapi kan setiap datang ke kelas saya kamu selalu pakai kemeja transparan sama rok atau celana ketat, mana ada mahasiswa baik-baik yang ngumbar tete sama bokong kemana-mana. Jelas ayam kampus sih itu.” Detik ini juga Sanzu menyesali keputusannya mengikuti saran Kazutora untuk berpakian sedikit terbuka untuk menarik perhatian dosen muda yang kerap disapa Pak Rin itu.

Lidah perempuan bersurai perak sepunggung itu kelu tidak bisa membalas ucapan dosennya. Besar niatnya membalikkan badan dan kabur dari sana, namun seluruh sendinya kaku tidak mau menuruti keinginannya.

“Kenapa bengong? Sini masuk, kunci pintunya sekalian.” Entahlah, Sanzu tidak habis pikir mengapa tubuhnya lebih merespon perintah dosen muda tersebut ketimbang dirinya sendiri.

Baru saja tangan rampingnya ingin menarik kursi kosong yang ada di ruangan tersebut ingin dudukkan bokongnya disana, lagi-lagi harus terhenti karena ucapan dosennya.

“Kenapa duduk disana? Sini duduk dipaha saya, lacur kan kamu?” Ingin Sanzu menyangkalnya namun tidak sepatah kata pun bisa keluar. Ini kali pertamanya mereka bercakap langsung secara empat mata, namun Sanzu benar-benar bingung kenapa bisa dosen muda yang terkenal disiplin dan menjunjung tinggi sopan santun itu saat ini tidak lebih seperti penjahat kelamin yang siap melecehkannya kapan saja.

Sorry,sir, but i-

“Kesini.” Suara berat dengan nada sedikit tinggi berhasil menyiutkan nyali seorang Haruchiyo Sanzu, tanpa bantahan lagi segera ia melangkah mendekat, duduk mengangkangi paha sang dosen muda.

Tidak berhenti sampai disana keterkejutan seorang Haruchiyo Sanzu. Kemeja berwarna cream oversized miliknya yang sedikit transparan itu dirobek tanpa peringatan oleh dosennya dan menjadi perca yang tergeletak tak berarti di lantai ruangan tersebut. Tangannya refleks menyilang menutupi tubuh atasnya yang terekspos memperlihatkan dua gundukan besar yang hanya tertutupi bra hitam berenda.

“Begini lebih pantas.” Dosen muda bernama Rindou Haitani menyandarkan tubuhnya santai pada kursi kerjanya dengan kedua tangan yang melingkari pinggang mahasiswi yang berada di pangkuannya; menahannya agar tidak jatuh. Manik violetnya tidak bisa berhenti menatap dua gundukan besar yang tersaji di hadapannya.

“Jadi, ada urusan apa kamu datang ke ruangan saya?” Sudut bibirnya sedikit terangkat melihat raut wajah sosok dipangkuannya; penuh ketakutan dengan air mata yang berusaha mendesak keluar dari pelupuknya.

Belah bibirnya terkatup rapat tidak berani menjawab. Bukankah inilah yang difantasikannya tiap malam? Dilecehkan oleh seorang Rindou Haitani, lantas mengapa sekarang tubuhnya bergetar ketakutan?

“Kalau ada orang bertanya itu dijawab, cantik. Pakai lipstick merah merona gini ke kampus biar apa? Biar dicipok rame-rame?” Ibu jari milik lelaki yang lebih tua beberapa tahun darinya itu bergerak keatas bmengusap pelan bibirnya; menggeser letak pewarna merah yang menghiasi kedua belah ranumnya, merembet menyamarkan salah satu bekas luka di sudut bibirnya.

“Jadi?” Satu alisnya terangkat naik meminta penjelasan dari Sanzu.

“S-sudah dua tugas saya mendapat nilai D. Jika memang tugas s-saya salah, apa ada tugas susulan untuk memperbaiki n-nilai saya?” Terang Sanzu menyampaikan niat awalnya dengan sedikit terbata.

“Kenapa? takut mengulang di matakuliah saya ya?” Tidak menjawab, namun Sanzu mengangguk cepat sebagai respon. Nyali Sanzu yang dari awal sudah menciut kini makin menciut melihat seringaian serta tatapan indimidasi dari lawan bicaranya.

“Gak salah sih, sebenarnya saya iseng aja. Lagian kenapa kamu takut ngulang? bukannya suka ketemu saya? Katanya juga pengen dilecehin sama saya, hm?” Rindou tersenyum remeh melihat raut terkejut Sanzu.

“Kaget saya bisa tau? makanya kalau ngobrolin orang itu dirumah, bukannya di toilet kampus dengan suara yang bisa kedengeran sampai ke ruangan sebelah.” Hilang sudah harga diri seorang Haruchiyo Sanzu, pikirannya blank enatah apa yang harus dilakukannya sekarang ia tak tahu. Haruskah ia meminta maaf?

“Mau nilainya saya benerin?” Tanpa basa-basi Sanzu mengangguk semangat mengiyakan.

“Sepongin saya dulu. Kalau jago, nilai kamu aman.” Penawarannya tidak mendapat respon dari perempuan cantik dipangkuannya.

“Gak mau?” Tanya Rindou sekali lagi yang mendapat gelengan kecil dari lawan bicaranya.

Kepalang takut tidak lulus mata kuliah, Sanzu turun dari pangkuan lalu bersimpuh diantara kedua kaki dosennya. Wajahnya ia dekatkan ke selangkangan yang lebih tua, gunakan giginya tuk tarik zipper celana kerja berwana hitam itu kebawah, kemudian keluarkan ereksi yang bersembunyi dibalik boxser dengan warna senada pula.

Lidahnya bergerak jilati pangkal hingga ujung kelelakian besar dan panjang itu dengan lihai seperti seorang profesional. Dihisapnya kepala yang memerah itu hingga pipinya mencekung, tidak lupa dengan lidah yang bermain pada lubang kecil di pucuknya mengundang geraman di atas sana.

Dibuka mulutnya semakin lebar guna perdalam hisapannya, satu tangannya pijat batang kelelakian yang tidak masuk sepenuhnya sedangkan satunya lagi meremas main-main bola kembar yang menggantung di bawah sana.

Tidak puas dengan tempo yang diberikan, tangan beruratnya terulur untuk menjambak helaian perak yang terurai bebas. Ditahannya kepala Sanzu untuk tanamkan seluruh batang kelelakiannya, kemudian gerakkan pinggulnya sesuai dengan tempo yang diinginkannya; begitu kasar dan tidak beraturan. Abaikan Sanzu yang tersedak beberapa kali hingga memerah wajahnya dengan air mata yang mengalir basahi pipinya.

Jambakan pada helaian perak itu semakin kencang ketika dirasa puncaknya semakin dekat. Dorong kepala Sanzu untuk hisap semakin dalam hingga hidung bangirnya bersentuhan langsung dengan rambut pubisnya, ditahannya berapa lama pastikan cairan putihnya tertampung sempurna didalam sana.

“Telan.” Titahnya tak ingin dibantah.

Suara orang tersedak terdengar nyaring di ruangan itu, Sanzu seka cairan putih yang meluber keluar menetesi dagunya. Diatapnya yang lebih tua dengan pandangan sayu dari bawah sana, penasaran akan reaksi yang diberikan.

“Apa lihat-lihat? Kurang jago ah nyepongnya. Duduk sini lagi.” Bibirnya melengkung kebawah, kecewa tidak bisa puaskan sosok dihapannya yang berarti nilainya juga masih belum aman.

Begitu Sanzu duduk kembali di pangkuannya, ia benamkan kepalanya di belah dada sang puan. Kedua tangannya naik keatas meremas dua belah kembar itu dari samping,mengundang desahan tertahan dari pemiliknya.

Bibirnya pun tak tinggal diam, berikan kecupan kepu-kupu serta hisapan kecil hingga dua gunung besar itu dipenuhi banyak bekas kemerahan yang akan tinggal untuk beberapa hari kedepan.

Merasa kurang puas dengan hasil karyanya, satu tangan kekar itu menjangkau pengait bra yang ada di belakang. Buka pengaitnya dan biarkan bra hitam itu mendarat di lantai.

“Gede banget, udah diremes berapa tangan?” Tanya yang lebih tua sembari memilin dua putingnya gemas.

Nghh-” Yang diberi pertanyaan menjawab dengan desahan tertahan, pejamkan mata serta kerutkan keningnya rasakan nikmat yang melanda.

“Orang kalau ditanya itu jawab bukannya malah desah keenakan.” Dua puting yang ada dalam kuasanya ditariknya kesal hingga punggung sang puan tertarik kedepan mengikuti tarikannya.

AHH s-sakit nghhh” Rasa sakit karena tarikan kuat pada putingnya terganti oleh rasa geli akibat mulut panas yang mengulum puting kirinya. Baru bagian atasnya saja sudah hilang akal, bagaimana nanti di bawah sana. He's like a pro

Beberapa menit berlalu namun lelaki yang lebih tua beberapa tahun darinya itu masih setia bermain dengan payudaranya. Jika mulutnya bermain pada puting kirinya, maka satu tangannya akan bermain pada belah satunya, begitu pula sebaliknya hingga agaknya Sanzu sekarang sudah kehilangan kewarasnnya.

S-stophh it, sir. Nothing comes out of there nghh” Perkataan yang keluar dari belah bibirnya sangat berbeda dengan reaksi tubuhnya; tangannya medorong kepala yang menyusu pada satu putingnya semakin dalam seolah tidak puas dengan stimulasi yang diberikan.

Sir p-please i can cum just from my nipple being played AHHH-.” Satu gigitan di puting kanan dan cubitan di puting kirinya menjadi penutup dalam permainan 'mari lecehkan payudara Sanzu'. Mungkin saja dosen muda kesayangannya masih memiliki rasa iba melihat kondisinya sekarang; terlebih mereka masih berada di ruang dosen yang mana artinya mereka masih ada di kampus.

Namun sayang itu hanyalah angan Sanzu saja, karena kenyataannya kini Sanzu direbahkan di meja kerjanya. Tidak perduli dengan berkasnya yang kini berantakan tercecer di lantai, tetap saja ia lucuti celana jeans ketat berserta dalaman hitam yang dikenakan Sanzu. Perlawanan tanpa arti yang Sanzu berikan tentu saja tidak bisa menghentikan lawannya, hingga kini Sanzu terbaring di meja kerja sang dosen dengan telanjang bulat.

Tanpa menunggu persetujuan dari Sanzu, tangannya bergerak untuk melebarkan kedua kaki Sanzu.

“Eh? Jadi beneran keluar cuma karena dada kamu saya mainin.” Rindou tertawa remeh melihat pemandangan vagina merah merekah yang basah oleh cairan bening. Beberapa kali ia daratkan tamparan pada vagina basah itu hingga pemiliknya menjerit antara sakit dan nikmat.

Ahh, sir please have mercy on me.'' Berusaha Sanzu tutup kedua kakinya yang mengangkang lebar, namun terhalang oleh kekuatan tangan kekar yang menahannya.

“Ngapain kasian sama lacur, lacur mah dipakai aja sampai nangis-nangis.” Puas daratkan tamparan penyebab bunyi becek porno di ruangan itu, kini ibu jarinya bermain pada klitoris bebesar biji kacang hijau itu, diusap-usap hingga diputar searah jarum jam mengundang desahan berisik dari sang puan di bawahnya.

Semakin berisik Sanzu mendesah, maka semakin semangat tangannya bermain di bawah sana. Satu tangannya menyisir rambutnya kebelakang, rendahkan kepalanya, kemudian dicumbunya dengan brutal vagina merekah itu.

Nghh Ahhhh-” Baru sekian detik bibir bawahnya beradu dengan bibir ranum lawan jenisnya, Sanzu sudah mendapat pelepasan keduanya. Cairan bening membasahi paras tampan di bawah sana. Bagaikan ikan terdampar, Sanzu menghirup rakus oksigen di ruangan itu.

Namun seakan tidak terjadi apa-apa, benda tak bertulangnya menyapa liang sempit dibawah sana, dimulai dari mejilat klitorisnya dengan gerakan melingkar, kemudian masuk kedalam liang sempit dibawah sana; mengobrak-abrik isi di dalamnya. Persetan dengan sang puan yang masih lemas setelah orgasme keduanya, ia dorong keluar masuk lidahnya dengan tempo tak beraturan, hidung bangirnya pun secara tidak langsung ikut menusuk-nusuk klitoris seirama dengan tempo tusukannya , hantarkan kenikmatan berlebih bagi Sanzu.

Hilangnya kewarasan Sanzu terbukti dari tangan rampingnya yang lagi-lagi mendorong kepala dibawah sana agar melecehkan dirinya semakin intens.

Merasakan kedutan pada liang yang ia lecehkan, benda tak bertulangnya bergerak keluar masuk semakin cepat, mempercepat kedatangan pelepasan ketiga mahasiswi cantiknya.

AHHH STOP IT PLEASE AHHHH NGHH” Desahannya terdengar melengking ketika pelepasan ketiganya datang namun stimulasi yang ia dapatkan tak kunjung berhenti. Kini benda tak bertulang yang mengobrak-abrik liangnya digantikan dengan tiga jari panjang yang menyodoknya dengan kecepatan yang tidak bisa dibilang pelan.

S-sir r-really, i can't take this a-anymore nghhh.” Desahannya semakin kacau ketika belah bibir yang sedari tadi berkata kotor itu ikut memberikan stimulasi di bawah sana, belah bibir itu menghisap klitorisnya tanpa henti, berlomba dengan ketiga jari yang keluar masuk pada liangnya.

Suara becek saling bersahutan dengan desahan yang keluar dari belah bibir dengan polesan lipstik yang berantakan itu. Peluh basahi sekujur tubuhnya hingga surai peraknya ikut lepek, belum lagi wajah yang basah karena air mata yang terus berlomba keluar dari pelupuknya. Pikirannya pun kosong, sudah pasrah dengan apa yang terjadi selanjutnya. Singkatnya, Sanzu kacau.

Sodokan dari tiga jari dibawah sana semakin bersemangat ketika lubangnya lagi-lagi akan menyemburkan cairan bening. Tiga jari yang ditambah dengan ibu jari yang mengusap klitorisnya hingga perih, sukses menghantarkan Sanzu pada pelepasannya yang keempat. Meja kerja itu pun tak kalah kacau dengan Sanzu, berkas yang berserakan dan beberapa basah terkena cairan Sanzu.

“Masa gitu doang gak kuat? Lacur kok baru dimainin bentar udah mau pingsan.” Tangan berurat itu bergerak untu menampar bokong Sanzu, mengembalikan kesadarannya.

Sir, please saya udah gak kuat. Saya juga ada kelas Pak Ran setelah jam makan siang ini.” Sanzu membelakkan matanya ngeri melihat Rindou mengocok kejantanannya dan bersiap memasukkannya ke dalam liang senggamanya.

“Tenang aja, nanti saya bilang ke kakak saya kalau satu mahasiswanya lagi ngewe sama saya. Kakak saya pasti paham.” Tidak membuang-buang waktu lagi, didorongnya kejantanannya yang besar, panjang, dan berurat itu masuk dalam sekali hentak menimbulkan jerit kesakitan yang mungkin saja terdengar dari luar.

Slow down, please akhh s-sakit banget hiks.” Tidak bisa Sanzu sembunyikan raut kesakitan dari wajahnya ketika Rindou langsung menghajar liang senggamanya tanpa ampun, tidak menunggunya terbiasa dulu dengan ukurannya.

“Gak usah manja, nanti juga desah-desah keenakan kamu.” Gerakannya semakin cepat dan dalam, mencari g-spot sang puan yang bisa membuat ringis kesakitannya berubah menjadi desah kenikmatan.

AHH-Gotcha akhirnya dia temukan titik yang bisa membuat wanita dibawahnya menggila. Ditumbuknya berkali-kali titik itu hingga Sanzu menggelinjang nikmat.

Nghh, sir i wanna c-

Nope. Enak aja kamu udah keluar berkali-kali, saya aja baru sekali. Barengan.” Sanzu kembali meneteskan air matanya ketika mendengar perintah mutlak dari yang lebih tua. Pelepasannya benar-benar sudah diujung tanduk tidak bisa ditahan lagi, namun ia takut dengan apa yang terjadi jika ia abaikan perintah tadi.

Bosan dengan posisi misionaris, Rindou balik badan Sanzu agar menungging di meja kerjanya tanpa melepas penyatuan mereka. Tubuh tegapnya yang masih berpakaian lengkap ia rendahkan, peluk tubuh telanjang Sanzu dari belakang; berikan kecupan ringan di bahu mulusnya. Tangannya meremas dengan gemas kedua buah dada yang bergoyang seirama dengan sodokannya dari belakang.

Fuck, enak banget kamu. Mau ya jadi lacur saya? Mau kan saya pakai setiap hari?” Sodokannya kian brutal seperti hendak hancurkan sang puan.

Ahhh- sir pweasee w-wanna cum nghh.”

“Bentar lagi.” Pelepasannya benar-benar diujung tanduk tidak bisa ia tahan lagi; tidak dengan sodokan yang kian brutal dibelakang sana, tidak dengan tangan yang meremas kasar payudaranya hingga timbul merah bekas tangan disana, tidak pula dengan satu tangan yang kini turun kebawah mengocok asal klitorisnya.

Ahh ahh AHHHH.” Tiga sodokan terakhir mereka capai puncaknya bersama. Rindou yang tepat waktu keluarkan kejantanannya dan muntahkan putihnya di labia Sanzu, dan juga Sanzu yang capai pelepasan kelimanya dengan keluarkan cairan bening dengan deras. Sanzu squirting di pelepasan kelimanya.

“Wow, sampai pipis-pipis ya. Memang cocok jadi lacur saya.” Ujar Rindou terpana sembari tepuk-tepuk vaginanya yang masih keluarkan cairan itu.

Sanzu ambruk tidak sadarkan diri di meja kerja itu, lupakan tentang nilainya. Persetan dengan nilai ataupun menjadi lacur pribadi dosennya setelah ini, Sanzu hanya ingin beristirahat setelah kegiatan yang melelahkan.

Persetan dengan semuanya. Semua kekacauan ini akan Sanzu urus kembali setelah bangun dari tidurnya.

.

.

.

. Selesai ^^

Feedback serta krisar bisa kesini ya:

https://secreto.site/id/22061349

Btw, kalau mau lihat au Rinzu lainnya yang pekob sama yang fluff bisa cek di moments aku ya. Ada Hankazu juga disana hehe ^^

Oh iya habis ini aku bakal bikin long au Rinzu lagi. Ditunggu ya ^^ See you in next project ^^

#Medication

⚠️minor dni!!!

cw/ pwp, crossdressing, overstimulation, unprotected sex,etc

Jangan share link tanpa seijin aku ya, nanti tak sedot ubun-ubunya 😗😠

Sorry for typos ^^

Enjoy...

.

.

.

.

.

.

Tubuh molek berbalut pakian putih khas perawat itu melenggang memasuki ruangan. Pinggul rampingnya menari dengan indah mengikuti langkah kaki jenjang dengan balutan stocking putih yang menambah kesan sensual pada dirinya. Suara gemerincing dari anting yang menghiasi telinganya adalah satu-satunya pemecah hening di ruangan tersebut.

“Jadi, bisa Tuan Hanma jelaskan keluhan yang Tuan alami?” Tanyanya pada sosok yang terbaring diranjang sembari membetulkan letak nurse hat yang dirasanya sedikit miring.

“Sakit.” Kazutora memutar bola matanya malas, sedikit kesal tidak mendapatkan jawaban yang lebih jelas

“Kalau boleh saya tahu bagian mana yang sakit, Tuan?” Berusaha untuk ramah, Kazutora bertanya kembali.

Tidak ada jawaban, namun tangan rampingnya dibawa menuju bagian selatan milik Hanma yang sudah mengacung tegak. “Disini. Sakit banget, obatin dong.” Ucapnya dengan senyum miring yang menghiasi wajahnya.

“Maaf Tuan, tapi saya tidak bisa mengobati penyakit seperti itu.” Berusaha Kazutora tarik tangannya namun percuma, genggaman di pergelangan tangannya terasa semakin kuat.

“Yah, kok gak bertanggung jawab banget ya, kecewa saya punya perawat pribadi seperti kamu.” Tangan kekar yang tadi digunakan untuk menahan tangan ramping di bagian selatannya, kini beralih bergerak untuk meremas bokong bulat dan montok milik perawat cantik yang berdiri di pinggir ranjang tempatnya berbaring.

Hanma tersenyum miring mendengar desahan tertahan perawatnya. Bukannya berhenti, tangan nakalnya semakin menjadi bergerak menyelusup kedalam terusan putih itu. Dielusnya beberapa kali paha sekal yang terbalut stoking putih sebelum naik keatas mengelus dan sesekali meremas bokong bulat dan montok itu berulang kali hingga yang dilecehkan hanya bisa mendesah tertahan, menggigit bibir bawahnya.

“Maaf, Tuan. Tapi saya tidak memiliki obat untuk mengobati penyakit Tuan derita.” Kazutora berusaha menjawab dengan benar ketika elusan serta remasan yang ia rasakan semakin menjadi.

“Ya usaha dong. Mulut kamu nganggur kan? sepertinya itu bisa dipakai.”

“Tapi it-ahhh” Desahan manis lolos ketika tangan kurangajar itu meremas miliknya tidak main-main.

Tidak ingin mengecewakan pasiennya, Kazutora naik keatas ranjang; mengangkangi kedua kaki Hanma dalam posisi menungging dengan pantat yang mengacung tinggi memperlihatkan kain putih berenda yang ada didalamnya.

Kepalanya berhadapan langsung dengan gundukan yang tadi ia sempat sentuh. Jemari rampingnya perlahan bergerak membuka kancing beserta resleting celana hitam yang Hanma kenakan. Menarik turun celana dan juga boxer dengan warna senada lepas dari kakinya, membebaskan benda panjang, besar, dan keras itu hingga nampar pipinya; meninggalkan jejak licin dari cairan pre-cum milik Hanma.

Pangkalnya Kazutora genggam dengan satu tangan, lidahnya membelai dari pangkal hingga ujungnya dan berakhir menari-nari dengan sensual pada lubang kecil diujung kepala jamurnya. Kedua belah bibirnya ia buka lebar-lebar mencoba melahap benda besar dan panjang dihadapannya, bergerak naik turun dengan perlahan memberi kenikmatan disertai dengan lidahnya yang juga menari dengan liar di dalam sana.

“AHH-” Kulumannya terlepas ketika tangan kasar Hanma menampar belah bokongnya keras.

“Siapa yang nyuruh dilepas hm?” Tangannya menarik rambut Kazutora memerintahnya untuk memanjakan miliknya kembali, dan lebih dalam lagi hingga Kazutora tersedak. Rambut yang tadinya tergulung rapi kini menjadi acak-acakan dengan banyak helai yang terlepas akibat tarikan kasar tangan Hanma.

Hanma menggeram rendah merasakan kenikmatan di bawah sana. Kini pinggulnya turut serta bergerak memperkosa mulut Kazutora, memancing lebih banyak air mata untuk turun membasahi pipinya yang mencekung akibat menghisap miliknya terlalu kuat.

Kazutora merasakan milik Hanma semakin membesar dan berkedut di dalam mulutnya. Merasa puncaknya akan datang Hanma mencabut miliknya paksa.

“Buka mulutnya lebar-lebar, cantik” perintah Hanma yang diikuti oleh Kazutora dengan mulut terbuka lebar serta lidah terjulur dan juga mata yang menatap sayu dengan jejak air mata di pipinya. Melihat pemandangan yang menggairahkan, Hanma mengocok miliknya beberapa saat hingga menyiramkan cairan putihnya pada paras ayu Kazutora dan memerintahkan Kazutora untuk menelan cairan putih yang menggenang di mulutnya.

Tidak ingin membuang waktu, Hanma membalik posisi; Kazutora terbaring lemas diranjang dengan Hanma yang mengungkungnya dari atas.

“Belum diapa-apain baru disuruh nyepong aja udah lemes, perlu banyak latihan sih ini.”

Detik berikutnya suara robekan kain terdengar. Hanma dengan tidak sabaran merobek pakian yang dikenakan oleh Kazutora, memperlihatkan lingerie putih transparan dengan beberapa renda di pinggir yang membalut tubuh dalamnya.

“Cantik. Tapi ini perawat atau lonte?” Tanya Hanma meremehkan. Sedangkan Kazutora memalingkan wajahnya malu.

Dengan tidak sabaran Hanma menundukkan kepalanya, mengemut puting pink kemerahan Kazutora tanpa melepaskan atasan lingerie-nya. Desahannya tidak bisa lagi ia tahan, tidak ketika Hanma menyusu padanya bagaikan bayi yang kehausan dengan lidah yang tidak bisa diam ikut bergerak melingkar, belum lagi kain transparan yang serta merta ikut menggesek putingnya; menambah sensasi geli dan menghantarkan Kazutora pada kenikmatan.

Dicubit, dipilin, diemut, ditarik. Hanma lakukan keempat hal tersebut secara bergantian pada puting kiri dan kanan, hingga Kazutora semakin kacau.

Hanma terkekeh geli ketika merasakan ada sesuatu yang keras menusuk perutnya. Kekehannya semakin menjadi ketika mendongak keatas melihat keadaan Kazutora. Wajah memerah dengan raut keenakan, pandangan sayu dengan lidah yang terjulur membuat liurnya menetes kemana-mana, belum lagi jejak air mata diwajahnya menambah kesan kacau bagi Kazutora.

“Waduh, sekarang kok gantian perawatnya yang sakit.” Kazutora merengek ketika Hanma menatapnya seduktif dengan satu tangannya bergerak kebawah untuk mengusap main-main milikknya yang mengeras, kain tansparan dengan pinggiran berenda yang menutupi miliknya mulai basah karena cairannya sendiri.

“L-lepashh” Kazutora mulai bergerak gelisah ketika Hanma tetap bermain dengan miliknya namun tidak kunjung melepaskan helaian kain yang menutupinya. Gesekan yang timbul membuat Kazutora kehilangan akalnya.

“Gak usah, gini tambah cantik.” Hanma tersenyum menyebalkan.

Kasihan melihat raut tersiksa Kazutora, Hanma menarik kesamping kain yang menutupi benda mungil yang menegang itu, tapi tidak untuk melepaskannya.

“Obatin sendiri dong, saya gak ahli dalam hal pengobatan gini.” Ucapan Hanma membuat Kazutora merengek manja.

Jemari bergerak untuk mengocok miliknya sendiri, gerakannya semakin frustasi tidak beraturan ketika melihat Hanma menatapnya seduktif, seakan melecehkannya tanpa ampun.

“Tolonghh hiks” Pinta Kazutora dengan suara serak terisak.

Tanpa aba-aba Hanma melesakkan dua jarinya pada liang anal Kazutora, mengundang jeritan kesakitan dari pemiliknya. Tidak memperdulikan jerit kesakitan Kazutora, Hanma mulai bergerak mencari titik nikmat Kazutora.

Entah Hanma yang terlalu handal atau memang keberuntungan saja, dua jarinya menemukan spot yang akan membuat pemiliknya menjerit nikmat. Tanpa basa-basi Hanma menusuk titik tersebut, mengundang cairan putih keluar dari benda mungilnya diiringi jerit nikmat hingga punggungnya melengkung keatas tidak kuat menahan nikmat yang diberikan.

Deru napasnya terengah-engah usai alami puncaknya, namun Hanma tak berbaik hati biarkan ia menikmatinya. Buktinya, kini satu jarinya menambah masuk ikut memporak-porandakan Kazutora.

“Hhh p-pleashh masih s-sensitif” Ujar Kazutora dengan lemas.

Namun lagi-lagi Hanma tidak mempedulikannya. Kegita jarinya masih setia menusuk-nusuk titik nikmat sosok cantik dibawahnya. Tak ingin satu tangannya menganggur, maka ia bawa untuk memainkan dua puting diatas sana. Tidak ingin munafik, Kazutora hanya bisa mendesah pasrah keenakan hingga ia rasakan suaranya mulai serak.

Melihat milik Kazutora yang mungil itu memerah berkedut kedut banjir oleh cairan pra enjakulasi, Hanma menunduk untuk melahap milik Kazutora. Mendapat tiga serangan sekaligus, tidak mungkin Kazutora bisa menahannya. Selang waktu hanya beberapa menit dari pelepasan pertamanya, Kazutora menjerit nikmat lagi menyambut pelepasan keduanya yang tumpah di dalam mulut panas Hanma.

“Jangan pingsan dulu dong, tanggung jawab ini punya saya sakit lagi.” Hanma menampar bokongnya keras, membawanya lagi pada kesadaran.

“Gak bis-AHHH” Belum sempat Kazutora merampungkan kalimatnya, ia merasakan sesuatu yang panjang, besar, dan keras menerobos memasuki lubang analnya.

“Sakithh” isak Kazutora.

“Nanti juga enak” Balas Hanma dengan seringai brengseknya.

Dalam kungkungannya Kazutora terhentak-hentak mengikuti tempo sodokannya. “Shit, jangan diketatin.” Hanma mengadah keenakan merasakan rapatnya pijatan Kazutora.

“Kurang keras ahh”. Benar kata Hanma, sakit yang tadi ia rasakan kini berubah menjadi nikmat membuatnya mendesah liar bagaikan pelacur jalanan.

Merasa diremehkan, Hanma menggenjot lubang Kazutora kasar, dalam, dan tidak beratura. Tidak peduli jika Kazutora nyaris pingsan setelah pelepasan ketiganya, Hanma bergerak seolah ingin menhancurkan lubang yang menjepitnya nikmat itu.

“Shit, enak banget.” Alih-alih mendengarkan isak tangis Kazutora yang memintanya untuk berhenti sejenak, Hanma membalik posisi mereka tanpa melepas persatuan mereka. Hanma menyuruh Kazutora bergerak diatasnya.

Nghh g-gak ku-ahh k-uat” Dengan lemas Kazutora berusaha menaik turunkan bokongnya memuaskan Hanma. Aksesoris yang menghiasi telinganya bergerak sesuai irama tubuhnya, menimbulkan suara gemerincing yang beradu dengan suara becek dari kulit yang bertabrakan.

“Gitu aja udah lemes, gak becus kamu.” Karena geram dengan gerakan asal-asalan Kazutora, Hanma mengambil alih permainan. Disodoknya lubang Kazutora tanpa ampun dengan gerakan yang tidak bisa dibilang manusiawi. Kurang puas, ia buka semakin lebar kedua belah bokong Kazutora dengan tangannya, guna memperlancar sodokannya.

Nghh mau k-keluarhh” Kazutora bergerak mengocok miliknya sendiri, ingin segera mendapat pelepasan.

“Barengan.” Titah Hanma mutlak, menutup lubang yang ada di milik Kazutora dengan ibu jarinya menghalangi pelepasan yang akan datang.

Diabaikannya tangisan Kazutora yang semakin menjadi. Hanma fokus menghajar lubang merah tersebut, mengejar pelepasannya yang sudah di ujung tanduk.

“Bentar lagi. Enak aja, saya baru keluar sekali sedangkan kamu udah keluar berkali-kali. Kok malah jadi saya yang ngobatin kamu.” Hanma melesakkan milikknya semakin dalam.

Kazutora rasakan milik Hanma berkedut siap untuk memuntahkan lahar didalamnya. Kazutora merengek meminta Hanma melepaskan ibu jarinya.

Hentakan dalam setelahnya menjadi penutup permainan mereka. Bisa Kazutora rasakan panas cairan milik Hanma menyembur di dalamnya barengan dengan putih milikknya yang keluar mengotori perutnya dan perut Hanma.

Tanpa melepaskan penyatuan mereka, Kazutora terkulai lemas dalam pelukan Hanma. Dirasakannya satu kecupan mendarat di bahu mulusnya.

“Cantik banget istri saya, besok-besok jadi pramugari mau gak?” Tanya Hanma jahil.

“Gak mau brengsek, sekali ini aja gue pake pakian gak jelas gini. Amit-amit hih. Enak di lo, sengsara di gue.” Balas Kazutora emosi dengan memberikan satu gigitan keras di lengan Hanma.

Language Kazutora, siapa suruh juga kamu kalah main uno. Lagian kan kamu sendiri yang bikin aturan kalau yang kalah wajib nurutin permintaan yang menang.” Tangan Hanma bergerak untuk melepaskan nurse hat yang masih terpasang agar leluasa membelai surai dwiwarna serupa miliknya yang berantakan itu.

“Gak mau lagi.” balas Kazutora sinis mengundang gelak tawa Hanma.

Ingatkan Kazutora setelah ini jika bosan tidak usah bermain permainan aneh yang tidak ia kuasai, tidak juga dengan taruhan aneh yang merugikan dirinya.

.

.

.

.

.

.

Selesai.

Au HanKazu pekob lainnya :

https://twitter.com/aclinomaniaxx/status/1439203081019744261?s=21

Feedback and krisar bisa kesini 💜:

https://secreto.site/id/22061349

#Milky Kazu

cw/ pwp, harsh word, degrading, blowjob, breast fucking, breast play, lactation, breeding kink, unprotected sex, overstimulation, rough sex, fingering, creampie.

.

.

.

.

Sorry for typos ^^

Jangan dishare linknya tanpa seizin aku ya, nanti tak sedot ubun-ubunnya 🤗

.

.

.

Enjoy ^^


tok tok tok

Suara pintu diketuk membuat Kazutora buru-buru membetulkan lengan kimono satin-nya yang melorot karena menyusui bayi kecilnya.

Dengan bayi mungil dalam gendongannya, Kazutora beranjak dari sofa berjalan beberapa langkah menuju pintu depan guna melihat siapa yang bertamu malam-malam.

Pintu terbuka, menampilkan sosok Hanma Shuji; mahasiswa yang sedang melaksanakan KKN di desa tempat tinggal Kazutora.

Rambut jambul yang biasa Kazutora lihat telah lenyap karena tetesan air hujan membuatnya turun kebawah menutupi dahinya.

“Maaf sebelumnya, tapi ada apa ya mas?” Tanya Kazutora dengan bingung. Bukannya apa-apa, Kazutora hanya sedikit takut menjadi buah bibir tetangganya. Tidak lucu jika besok pagi ia berbelanja mendengar tetangganya bergosip seorang janda menggoda mahasiswa kota yang tengah mengabdi pada desanya.

“Saya haus, ikut nenen boleh?” Jawab Hanma santai dengan senyum miring di wajahnya.

“Hah? Aneh banget kamu, mas. Ngelantur ya?” Sedikit kesal dengan jawaban Hanma, satu tangan Kazutora bergerak menutup pintu rumahnya.

Namun sayang, refleks Hanma lebih cepat dari Kazutora. Satu kaki panjangnya masuk kedalam celah kecil, menahan pintu agar tetap terbuka.

Keterkejutan Kazutora dijadikan kesempatan bagi Hanma untuk masuk kedalam, mengunci pintu depan dan menyeret Kazutora beserta bayi dalam gendongannya kembali ke dalam

“Aduh mas sakit, lepasin tangan saya. Mas, ini gak sopan banget loh, udah omongannya ngelantur, seenaknya masuk ke rumah orang pula.” Kazutora memberontak untuk melepaskan tangannya dari cengkraman Hanma. Jujur saja, Kazutora sedikit takut dengan kehadiran sosok tinggi ini di dalam rumahnya.

Bukannya dilepaskan, cengkraman Hanma di pergelangan tangan Kazutora semakin erat hingga muncul ruam merah disekitarnya. Hanma menunduk mendekat, mencium leher berhiaskan tinta hitam bergambar kepala harimau dengan goresan yang rumit itu.

“Makanya, kalau lagi netein bayi, gordennya ditutup. Kan jadinya saya gak sengaja lihat, jadi sange kan saya.” Tangan Kazutora yang dicengkramnya itu dia bawa ke bagian selatannya. “Rasain nih, keras kan punya saya habis lihat tete gede kamu yang boing-boing itu dikenyot sama anak kamu.” Kazutora bergidik ngeri merasakan benda keras yang dia sentuh. Tanganya kembali berontak, meminta untuk dilepaskan.

“AHH-” Kazutora teriak tertahan ketika Hanma menggigit keras pangkal lehernya, jelas gigitan itu akan menimbulkan bekas untuk beberapa hari kedepan.

Hanma berjalan menjauh menutup gorden, agar tidak ada mata yang mengintip lagi.

Senyum miring tercetak jelas ketika dilihat Kazutora bergetar ketakutan.

Hanma duduk di salah satu single sofa yang ada disana. “Ayo dong tanggung jawab, sepongin biar lemes lagi.” Ujar Hanma seraya menunjuk bagian selatannya.

“Mas, silahkan keluar ya sebelum kesabaran saya habis. Saya udah punya anak, dan anak saya lagi tidur. Tolong jangan aneh-aneh.” Takut, tapi Kazutora tetap bertindak tegas.

“Ayolah, saya denger-denger suami kamu nikah lagi. Apa gak kangen kamu digauli laki-laki? Kontol saya gede kok, nih liat aja kalau gak percaya. Dijamin bikin puas.” Hanma tersenyum mengejek.

Hanma bangkit dari duduknya, ia ambil bayi dari gendongan Kazutora yang menimbulkan protes ribut dari Ibu bayi mungil itu.

“Apa sih ribut banget, cuma mau saya pindahin.” Benar saja, Hanma memindahkan bayi Kazutora ke sofa panjang diseberang sofa yang tadi dia duduki.

Setelah memastikan bayi itu aman, Hanma lagi-lagi menyeret Kazutora ke bagian seberang dan duduk dengan angkuhnya disana.

“Ayo isep” Titah Hanma pada Kazutora yang diam tak bergeming berdiri disampingnya.

“Kamu itu beneran gak sop-AH” Belum selesai Kazutora merampungkan kalimatnya, rambut sebahunya ditarik kasar dan dipaksa untuk bersimpuh diantara kedua kaki Hanma.

Perek banyak omong, isep cepet atau saya adukan ke warga kalau kamu godain saya? Pasti dicap perek haus kontol kamu sama warga desa. Mau?” Ancam Hanma tidak main-main.

Kazutora menggeleng pelan, ia tidak mau dicap demikian apalagi atas perbuatan yang tidak ia lakukan.

Dengan berat hati, tangannya terulur untuk menarik turun resleting Hanma. Bebaskan benda keras tersebut dari kain yang mengurungnya sejak tadi.

Kazutora melotot kaget. Sial, Hanma tidak berbohong ketika berkata bahwa dirinya besar. Apalagi panjangnya, pasti mentok di dalam sana.

Jemari lentik itu dengan perlahan mulai menggenggam dan mengurut pelan milik Hanma dari pangkal nya. Kepala serupa jamur itu ia gesekkan pelan pada belah bibirnya. Benda tak bertulangnya menjulur keluar, membuat tarian yang sangat lihai pada lubang di ujung kepala jamur milik Hanma. Baru kemudian benda besar dan panjang itu dia masukkan ke dalam mulut hangatnya, mendorong dari atas ke bawah dengan lidahnya yang tak berhenti menari dengan indahnya di dalam sana. Jemari lentiknya mengurut sisa batang yang tidak sepenuhnya masuk itu, dan sesekali memberi pijatan nakal pada dua bola kembar milik Hanma. She’s like a pro.

Hanma mendesis keenakan dengan kepala yang mengadah ke atas. Merasa tidak puas dengan gerakan lambat Kazutora, kembali Hanma tarik surai dwiwarna milik Kazutora dan memaksa miliknya untuk sepenuhnya masuk ke dalam mulut Kazutora.

Mendesah lega mendapat kehangatan yang ia inginkan, Hanma gerakkan pinggulnya sesuai dengan keinginannya; memperkosa mulut Kazutora. Tidak peduli berapa kali Kazutora tersedak hingga air mata turun membasahi pipinya Hanma tidak peduli, Ia cengkran rambutnya semakin kuat dan mendorong semakin dalam hingga pangkal tenggorokannya. Gerakannya begitu kasar dan tidak berirama.

Bosan dengan servis yang Kazutora berikan. Hanma mencabut miliknya, menghasilkan bunyi tidak senonoh memenuhi ruang tersebut.

Ia pandangi sosok dibawahnya. paras ayu yang memerah mendongak keatas menatap Hanma dengan sayu, manik keemasan yang berkaca-kaca, bibir mengkilap terbuka lebar dengan cairan bening entah itu liur atau pre-cum turun menetesi dagu hingga lehernya.

“Mau dong kontol saya dipijet sama tete kamu yang gede itu.” Kazutora melotot kaget mendengar permintaan Hanma yang semakin menjadi.

“Gak mau, jangan keterlal-plak.” Suara tamparan dengan nyaring terdengar. Panas Kazutora rasakan pada pipi kanannya.

Perek jangan banyak omong, cepet.” Takut Hanma menyakitinya lebih parah lagi, Kazutora mau tidak mau mengiyakan permintaan Hanma.

Simpul tali yang menyatukan kedua sisi kimono satin-nya ia tarik turun, perlihatkan dua gunung besar yang menggantung bebas tanpa ada sanggaan dan juga pamerkan kain hitam berenda yang menutupi bagian selatannya. Hanma menjilat bibirnya asal dihadapkan dengan pemandangan tubuh molek yang bersimpuh tanpa perlawanan di bawahnya.

Kazutora sedikit maju kedepan, memposisikan milik Hanma diantara dua gunung besar miliknya. Dirasa sudah pas, Kazutora jepit sisi kanan dan kiri gunung kembarnya, membiarkan batang keras milik Hanma tenggelam dalam jepitan empuk yang dia berikan.

Kazutora mendongak keatas penasaran dengan ekspresi Hanma, dilihatnya Hanma mengadah keatas dengan mata tertutup menahan nikmat yang ia berikan. Merasa tertantang, dengan inisiatif mandiri Kazutora membuka mulutnya, menyambut kepala serupa jamur yang muncul keatas setelah sepersekian detik lalu tenggelam dalam jepitan dalam hisapan mulut hangatnya yang mendapat geraman berat dari Hanma sebagai respon.

Muncul, hisap, lepas, tenggelam begitu terus hingga bisa ia rasakan milik Hanma berkedut dalam jepitannya. Setelahnya, lagi-lagi Kazutora berada dalam kendali sodokan kasar dan brutal Hanma, hingga cairan putih keluar mengotori sekitaran wajah mulus Kazutora dan juga dadanya.

Tangan Hanma tidak bisa untuk tidak meratakan cairan putih miliknya keseluruh permukaan dada Kazutora. Setelah puas, tangannya meremas kasar kedua payudara milik Kazutora, hingga setitik cairan putih keluar dari puting pink kemerahan milik Kazutora.

“Yah, bocor” Hanma tersenyum remeh melihat Kazutora yang menggigit bibir menahan desahannya dengan cairan asi yang mulai keluar dengan deras menetes hingga perutnya.

Hanma menarik Kazutora naik ke sofa yang ia duduki tadi; bertukar posisi. Ia tekuk kedua kaki jenjang milik Kazutora, penasaran ingin melihat isi dibalik kain hitam berbentuk segitiga itu.

Tanpa menunggu persetujuan dari Kazutora, Hanma lepas kain hitam berbentuk segitiga itu dan ia buang entah kemana.

Tidak terima, Kazutora berkali-kali berusaha menutup kembali kakinya yang mengangkang namun gagal, Kazutora malah menjerit keras dan mengangkang pasrah ketika Hanma menampar bibir vaginanya yang becek.

Kazutora hanya bisa menangis membiarkan Hanma bermain-main dengan miliknya. Benda tak bertulangnya bergerak menyapu permukaan bibir vaginanya dan berakhir dengan mengigit klitorisnya gemas. Begitu terus hingga tangisan Kazutora berangsur menghilang digantikan dengan desahan-desahan manja yang membuat milik Hanma kembali mengeras.

Posisi Kazutora saat ini benar-benar mengundang gairah siapa saja yang melihatnya. Setengah berbaring di sofa dengan kaki yang mengangkang memamerkan vagina merah yang basah, tubuh ramping tapi berisi di beberapa bagian itu dibalut kimono satin berwarna cream yang tidak terlepas sempurna; kata Hanma lebih cantik tidak dilepas, kulitnya yang mengkilap karena keringat yang bercampur cairan milik Hanma, dan juga asi yang terus mengucur keluar dari kedua putingnya yang mengacung tegak menantang dan turun basahi perut ratanya. Benar-benar pemandangan yang membuat orang gila dikuasai gairah, contoh nyatanya Hanma Shuji.

Dengan tidak sabaran Hanma mendorong dua jarinya masuk ke dalam lubang sempit Kazutora yang menimbulkan jerit kesakitan dari pemiliknya.

“AKHH MASHH SA-SAKIT PELAN HIKS” Masa bodoh dengan permintaan Kazutora, Hanma menambahkan jari manisnya untuk masuk bergabung dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

“Sialan, sempit banget kayak perawan. Mantan suami kamu gak pernah pakai kamu atau emang dia yang kecil?” Maki Hanma merasakan jepitan dari lubang sempit Kazutora yang menjepit jarinya.

Tidak ada jawaban. Yang ditanya sibuk mendesah keenakan.

“Ck, perek munafik. Tadi sok gak mau, nangis-nangis, sekarang desah keenakan sampai merem-melek gitu.” Hanma menambahkan ibu jarinya untuk bermain dengan klitorisnya. Diusap-usap dan diputar membuat desahan Kazutora semakin menjadi.

“Ngh mau k-keluar.” Ujar Kazutora merasakan puncak yang sudah lama tidak ia rasakan akan datang.

“Sabar dong perek, masa gitu aja udah keluar?” Berujar demikian namun kini lidahnya ikut memporak-porandakan Kazutora. Benda tak bertulang itu lagi-lagi menyapa permukaannya, melingkar di klitorisnya sebentar kemudian ikut masuk, menyodok lubang Kazutora bersamaan dengan ketiga jarinya.

“Hh j-janganh ja-jang-AHH” Mendapat stimulasi sedemikian rupa tentu saja Kazutora tidak bisa menahannya. Carian beningnya keluar deras membasahi jari dan juga wajah tampan Hanma.

Belum sempat ia menikmati euforia pelepasannya, Hanma sudah membuatnya menungging dengan bertumpu pada kepala sofa.

“Nungging yang benar, cantik.” Titah Hanma.

Dibelakang sana Hanma mengocok miliknya agar semakin keras. Menggesek-gesek kepalanya pada permukaan lubang Kazutora yang berkedut-kedut.

Bunyi tamparan keras menggema, ketika Hanma menampar bokong seksi Kazutora.

Lalu, tanpa aba-aba Hanma dorong masuk miliknya dengan sekali hentak ke dalam lubang sempit Kazutora, membuat jeritan keras lolos dari belah bibir Kazutora.

Tidak membiarkan Kazutora beradaptasi dengan miliknya, Hanma bergerak dengan tempo yang tidak beraturan; kadang kasar, kadang pelan.

Have mercy on me, please” Kazutora menoleh kebelakang, memohon dengan berlinang air mata. Yang dibalas kekehan geli oleh Hanma.

Mengabaikan Kazutora, Hanma bergerak sesuai dengan keinginannnya, mencari kenikmatan yang dia inginkan. Kedua tanganya terulur kebawah meremas gundukan besar Kazutora yang bergoyang bebas mengikuti tempo sodokannya. Ia remas kasar dan pencet-pencet putingnya hingga asi keluar menyemprot deras membasahi sofa.

Lama-kelamaan Kazutora mulai terbiasa dengan permainan kasar Hanma, Kazutora mendesah keenakan dan semakin mengetatkan lubangnya, yang kemudian dihadiahi tamparan keras pada bokongnya.

Terlalu larut dalam kegiatan panas, mereka tidak menyadari bayi mungil di sofa seberang mulai bergerak gelisah. Hingga akhirnya desahan manja Kazutora dan suara kulit yang beradu dikalahkan oleh suara tangisan bayi.

“Ahh mas sebentar, anak saya nangis. Biar s-saya tidurin dulu.” Pinta Kazutora sembari tangannya memegang pinggul Hanma, memintanya untuk berhenti.

Dengan berat hati Hanma menurutinya, bisa gawat jika mereka teruskan dan bayinya terus menangis. Bisa-bisa warga berdatangan kesini.

Kazutora berlari ke seberang sembari mencepol rambut lepeknya asal, ia gendong bayi kecilnya dan arahkan mulut si bayi ke salah satu putingnya. Ditepuk-tepuk pantatnya agar bayinya tertidur kembali.

“Duduk sini” Kazutora menoleh kebelakang mendengar suara Hanma. Dilihatnya kini Hanma sudah telanjang bulat tanpa selehai benang pun duduk di sofa dengan miliknya yang mengacung tegak.

“Maksudnya?” Tanya Kazutora bingung. Kemudian Kazutora mengerutkan dahinya sakit ketika bayi dalam gendongannya menggigit putingnya.

“Sini duduk dipangkuan saya” Jari telunjuk Hanma yang panjang menunjuk kebawah menunjuk pahanya.

“Tapi anak saya lagi minum asi, tunggu sebentar.” Jawab Kazutora.

“Ya pegangin yang bener dia, biar gak jatuh.” Perintah Hanma mutlak.

Tanpa bantahan lagi Kazutora duduk dipangkuan Hanma sembari menyusui bayi dalam gendongannya.

Kazutora mendesah nikmat ketika tanpa diduga Hanma ikut menyusu di puting satunya, berlomba dengan bayinya.

Satu tangan Kazutora bergerak meremas rambut Hanma, memejamkan matanya tidak kuat menahan kenikmatan dari dua mulut yang menghisap putingnya tidak sabaran.

Desahan Kazutora semakin menjadi ketika tangan Hanma bergerak meremas payudaranya kasar; biar tambah deras keluarnya, begitu kata Hanma. Remas, jilat, kulum, hisap, gigit. Begitu seterusnya hingga Hanma merasa puas.

Ia kecup-kecup ringan gudukan besar itu sebelum lesakkan kembali miliknya kedalam Kazutora. Hampir saja Kazutora jatuh jika tidak ada tangan Hanma yang memegangi pinggangnya.

Meskipun tahu ada bayi ditengah-tengah kegiatan mereka, Hanma tidak berniat untuk memelankan temponya. Pergerakan Hanma benar-benar membuat Kazutora kewalahan.

Hingga desahan panjang keluar kambali dari belah bibir Kazutora, menyambut pelepasan keduanya.

“Ahh p-pelan dulu mas, masih sensitif ngh.” Kazutora memeluk erat bayinya, takut jatuh karena lemas sehabis pelepasannya.

Tangan Hanma yang memeluk pinggangnya semakin erat menjadi jawaban bahwa Hanma tidak akan memberi ampun, sekalipun Kazutora mendapatkan pelepasannya yang kesekian.

“Beneran gak pernah disentuh kamu? Kok sensitif banget.” Tanya Hanma.

Kazutora menggeleng kecil sebagai jawaban. Jujur saja seteleh ditinggal menikah lagi oleh suaminya dalam keadaan hamil, Kazutora tidak pernah disentuh oleh siapapun, paling tidak jika ingin dia hanya mengandalkan jarinya dan juga mainan yang tidak seberapa itu, maka dari itu Kazutora sangat kewalahan dengan stamina Hanma, belum lagi permainannya yang sangat kasar. Kazutora merasa sedikit candu dengan permainan pemuda kota itu.

“Mas Hanma mau nikahin saya?” Tanya Kazutora kehilangan akalnya. Tidak ia pedulikan lagi bagaimana nanti omongan tetangga.

“Enggak lah ngapain nikahin janda, enaknya cuma saya ewein aja kamu.”

“Tapi saya bisa muasin kamu? Servis saya enakkan?” Ucapannya semakin ngelantur, sudah hilang akalnya dipermainkan Hanma Shuji.

“Ck, tadi nolak-nolak sampai nangis. Perek mah perek aja sok-sokan jaga harga diri. Giliran dapet kontol enak, ngebet minta dinikahin. Tapi ya, saya pikirin nanti.” Tidak sedikitpun Kazutora tersinggung dengan ucapan Hanma. Kazutora hanya bisa mendekap anaknya erat-erat dan bergerak naik turun dipangkuan Hanma mengikuti temponya.

“Saya keluar didalem ya? Mau hamil anak saya gak? Mau ya?” Hanma menggigit pangkal leher Kazutora sebagai pelampiasan nikmat yang dia rasakan

“Ahh jangan, Takemichi masih kecil ngh ahh mas kontol kamu makin gede, mentok banget ahh.” Ucapnya merancau

“Tapi saya pengen keluar di dalem? Pengen hamilin kamu. Pengen nyoba gimana rasanya ngewein kamu pas lagi hamil. Boleh ya?”

Kazutora tidak menjawab, hanya bisa mendesah semakin liar.

“Gak ada jawaban berati iya.”Hanma mempercepat sodokannya hingga keduanya menjemput putih secara bersamaan. Bisa Kazutora rasakan hangat di rahimnya.

“Heran saya kenapa bisa suami kamu ninggalin perek seseksi dan seenak ini. Seleranya jelek ya suami kamu, kalau saya sih udah saya pake tiap hari sampai yang ada di otak kamu itu cuma kontol aja.” Hanma melepaskan penyatuan mereka, membiarkan cairannya turun basahi paha Kazutora.

“Mau ya saya pake tiap hari?” Tanya Hanma mengecupi leher Kazutora yang bersandar lemas di pundaknya.

Tidak ada jawaban, namun bisa Hanma rasakan anggukan lemas dari Kazutora. Hanma tersenyum miring membayangkan betapa menyenangkan hari-harinya besok.

-selesai

Mantan suami Kajut itu Baji, nah cerai mereka tuh soalnya Baji nikah ama Cipuy

Hanma tuh sebenernya udah tertari sama Kajut pas pertama di dateng, dia liat Kajut pake daster belajar beh bodynya mantap tete gede bokong gede.

Sebenernya masih ada beberapa wip HanKazu lain hahaha aku kalau liat HanKazu tuh bawaannya pengen buat porno mulu. Nanti deh kalau gak sibuk aku buat. Heheh see you in next project. 💜

.

.

.

. Feedback dan krisar bisa kesini:

https://secreto.site/id/22061349

#Live In

⚠️ MINOR DNI ⚠️ cw/ harsh word, degrading, overstimulation, nipple play, fingering, anal sex, unprotected sex, rough sex, anal sex, creampie, etc.

Sorry for typos^^ .

.

.

. Enjoyy ^^v


Suara pintu apartment yang berhasil dibuka tidak mengalihkan atensi Sanzu dari layar persegi dihadapannya. ‘Pasti Rindou’ begitu pikirnya. Maka Sanzu tak ambil pusing dan tetap mencatat hal-hal penting yang ia dapatkan dari materi ini.

Pun ketika Sanzu merasakan sofa dibelakangnya diduduki ia tetap memilih abai.

“Chiyoo ih, kok aku dikacangin?” Cukup lama sudah Rindou duduk di sofa belakang Sanzu akhirnya ia membuka percakapan, menarik atensi dari sosok berambut pink dicepol rendah yang duduk di bawah sofa hanya beralaskan karpet bulu dan berkonsentrasi penuh pada laptop dihadapannya dengan beberapa macam buku dan kertas di meja tempatnya melipat kedua tangannya.

Tidak ada jawaban dari Sanzu. Hanya suara dari Ran Haitani sebagai asisten dosen mengisi apartement Sanzu.

“Dih gaya bener si kepang.” Ucap Rindou melihat Kakaknya dari layar persegi di depannya.

“Sayang ih kok aku dikacangin?” Rindou tidak bisa berdiam diri terus menerus diabaikan oleh pemilik surai pink tersebut.

“Chiyoo”

“Meong”

“Pus pus”

“Rin, diem ih. Lihat tuh Abang kamu lagi sibuk nerangin. Kan dah bilang jangan kesini dulu. Lagi serius ini tuh” Balas Sanzu tanpa menoleh. Bukan apa, Sanzu hanya menganggap materi yang ia dapatkan hari ini sangat menarik dan tidak ingin melewatkannya begitu saja.

Hening, tidak ada sahutan dari sosok dibelakangnya. Sanzu pun memilih abai, tidak mengambil pusing.

“Sebelumnya apa ada yang mau berpendapat tentang bagaimana cara untuk mengatasi pemanasan global di era saat ini?

Terdengar suara dari layar, Ran memberi kesempatan bagi Sanzu dan teman-temannya untuk berpendapat.

“Rin geser sini ih disamping aku, aku mau open cam, kalau disitu kamu kelihatan.” Merasa tidak ada jawaban, Sanzu tanpa aba-aba menarik Rindou untuk duduk di sampingnya.

“Sanzu Haruchiyo, 190888627688 izin mencoba untuk berpendapat.” Sanzu memencet fitur dengan gambar kamera dan mikrofon dibawah untuk menyalakannya dan memperbaiki posisinya agar terlihat lebih baik.

*“Iya Sanzu, silahkan.”

“Saya pernah baca berita kalau peneliti itu bilang kadar CO2 di atmosfer itu udah diatas rata-rata, jadi untuk mengatasi pemanasan global itu sendiri bisa dibilang mustahil pada saat ini. Tapi menurut saya jika semua orang sadar akan bahayanya pemanasan global, kita bisa menanam pohon yang banyak. Meskipun kecil kemungkinan, namun jika partisi-AHHHHH

Suara desahan keluar memotong opini yang berusaha Sanzu keluarkan ketika ada tangan yang tiba-tiba memilin putingnya dari luar kaos yang dipakainya.

“Hallo Sanzu?? Are you okay?” Dari layar Ran bertanya karena tiba-tiba Sanzu terlihat aneh dengan bibir yang digigit, muka memerah dan belum lagi suaranya yang terpotong.

“Lanjutin.” Perintah Rindou dingin dan mutlak membuat nyali Sanzu menciut. Tangannya masih memainkan kedua puncak kecil dengan kedua tangan yang kini dengan kurang ajar masuk kedalam kaosnya. Usap, tekan, putar.

‘Sial, bagaimana bisa Sanzu lupa jika Rindou sangat benci diabaikan. Tamatlah ia sekarang’

Mati-matian Sanzu menahan desahannya. Mengontrol mimik mukanya agar tidak terlihat aneh. “M-maaf, t-tadi kaki saya kepentok meja. Saya lanjutkan, jadi meskipun dirasa mustahil, dengan p-partisipan sebanyak itu saya rasa perlahan bisa untuk m-Nghhhh” Terpotong kembali ketika dirasa satu tangan Rin berpindah kebawah guna membebaskan adik kecilnya dan mengocoknya tanpa ampun sambil sesekali ibu jarinya digunakan untuk mengusap pucuknya main-main.

“Sanzu? Kenapa? Bisa dilanjutkan?” Tanya Ran khawatir melihat wajah Sanzu yang semakin memerah seperti menahan sesuatu.

“M-maaf,akan saya lanjutkan. Perlahan bisa diatasi dengan menanam pohon yang sangat banyak. Karena bagi saya mustahil mengurangi CO2 dengan membatasi kendaraan, k-karena bukti nyatanya orang-orang malah bersaing untuk membeli kendaraan lebih b-banyak dan bagus. Sekian yang bisa saya sampaikan, Terima kasih.”

Usap, tekan, putar, cubit. Begitu terus yang Rindou lakukan pada puting Sanzu, belum lagi kocokan dan usapan main-main dibagian bawahnya, ketika Sanzu dengan susah payah berusaha melanjutkan pendapatnya.

*“Okay, terima kasih Sanzu. Bagus pendapatnya. Saya keep dulu pendapatnya, kita dengerin pendapat teman-teman yang lain dulu.”*

Mendengar Ran berujar demikian dan ada Izana yang mengajukan pendapatnya, buru-buru Sanzu mematikan kembali kameranya.

“AHHH- Rin jangan keras-keras nyubitnya.” Teriak Sanzu ketika Rindou dengan sengaja menarik puting kiri Sanzu dengan keras sembari mencubitnya tanpa ampun. Liur Sanzu menetes menuruni dagu hingga lehernya.

“Masa gitu doang gak bisa nahan? Tadi fokus banget tuh kek orang penting, nyapa doang gak mau. Masa gini doang gak kuat kamu?” Ujar Rindou sembari menatap Sanzu remeh.

“Nungging.” Perintah Rindou absolut. Tak terbantahkan.

Siapa Sanzu yang berani melawan, maka yang bisa dilakukannya hanya mematuhi perintah Rindou. Tangannya ia tumpukan diatas meja, kaki yang bertumpu pada alas karpet dengan pantat yang mengacung tinggi.

plak

“Ahhh-”Suara tamparan keras menggema diruangan sempit itu.

“NGHHHH RIN PELAN J-JANGAN KERAS KERASSHHH SAKITHH” Belum sempat Sanzu sadar dari keterkejutannya ketika bokong semoknya ditampar hingga merah, kini dua jari Rindou tanpa aba-aba serta pelumas menerobos masuk kedalam anal milik Sanzu.

Tidak ada kelembutan sedikitpun. Tangannya menghujam tanpa ampun. Tusuk dan gunting. Begitu gerakan kedua jari panjang dan berisi milik Rindou berusaha menghancurkan milik Sanzu. Sanzu hanya bisa menjerit sakit dan nikmat secara bersamaan, belum lagi dengan tangan satunya yang terus menerus mengocok kecilnya terus-terusan dengan tempo yang tidak berirama. Cukup untuk menghilangkan kewarasan Sanzu

*“Maaf mengganggu, tapi kalau kalian sedang bercocok tanam lebih baik leave room meeting atau setidaknya micnya dimatikan saja. Maaf ya Sanzu, saya keluarkan dulu kamu dari room meeting.” Terdengar suara Ran mengintrupsi dari layar, cukup untuk mengembalikan kewarasan Sanzu. Ia tolehkan kepalanya kesamping guna melihat layar laptopnya, melirik kebawah dan melotot melihat fitur mic miliknya masih menyala. Sedetik kemudian layar yang tadinya menampilkan puluhan akun dengan foto profil teman-temannya dengan almamater yang sama kemudian kemudian berubah menampakkan wallpaper layar depannya. Jadi sedari tadi mereka semua mendengar kegitan yang ia lakukan?

“Anjing makin ketat.” Maki Rindou ketika merasalan lubang milik Sanzu semakin erat menjepit dua jari miliknya didalam sana.

“Ck gitu ya lonte, seneng ya ketauan satu kelas lagi diewe pacarnya? Iya kan? Seneng kan desahannya didenger banyak orang? Live-in gak tuh.” Ujar Rindou sembari beranjak duduk dengan santai di sofa tanpa rasa bersalah setelah melepas semua stimulasi yang ia berikan, meninggalkan Sanzu yang kacau menungging diatas meja.

Rindou ambil sebatang rokok dari kotaknya, ia apit dikedua belah bibirnya kemudian ia hisap batang nikotin itu setelah pemantik membakar ujungnya.

“Hadap sini” Lagi-lagi perintah Rindou terdengar mutlak di telinga Sanzu.

“Lepas semua pakaiannya.” Tidak ingin membuat Rindou semakin marah, ia turuti pertintahnya. Sanzu lepas semua hingga tak tersisa sehelai benang pun menutupi tubuhnya moleknya.

“Mana coba aku pengen liat gimana kamu muasin diri kamu sendiri. Gak butuh aku kan? Kan dari tadi akunya dikacangin.” Seringai tercetak jelas di wajah Rindou berbanding terbalik dengan Sanzu yang melotot kaget. Belum pernah Rindou menyuruhnya untuk bermasturbasi seperti ini dihadapannya.

“Rin, aku minta maaf.” Suara Sanzu bergetar dengan air mata yang ia tahan di pelupuk matanya.

“Aku nyuruhnya sentuh diri kamu, bukannya minta maaf!”

Mendengar bentakan Rindou, tidak ada pilihan bagi Sanzu selain menurutinya. Satu tangannya ia bawa untuk menstimulasi kecilnya dibawah sana sedangkan tangan satunya lagi juga turut ikut menstimulasi lubang sempit miliknya.

Hisap batang putih di belah bibirnya, bohong jika Rindou tidak terangsang dengan pemandangan didepannya. Buktinya celana hitam miliknya terasa sesak ingin dilepaskan. Violetnya tidak lepas dari bagaimana Sanzu merangsang inchi demi inchi tubuh moleknya. Bagaimana tubuh yang selalu ia puja mulai basah karena keringat. Bagaimana mengkilapnya kecil milik Sanzu dibasahi oleh cairan precum. Oh jangan lupakan bagaimana wajah merah Sanzu terlihat menggairahkan dengan rambut cepol yang mulai acak-acakan, peluh yang membasahi dahinya dan liur yang menetes menuruni dagunya.

Tangan Sanzu yang tadinya menstimulasi lubang sempitnya kini bergerak naik ke atas bermain dengan putingnya bergantian. Desahan Sanzu terdengan semakin keras dan mulai tak terkendali ketika ia mulai bermain-main dengan putingnya. Titik sensitif rupanya. Kocokan dibagian bawahnya pun ikut menjadi tak terkendali.

“A-ahh Rin, m-mau kelu-ahhh” Kewarasan Sanzu mulai hilang, ditunjukkan dengan bagaimana tangannya dengan liar memilin putingnya dan kocokan yang semakin cepat itu.

Stop.” Perintah Rindou mutlak. “Enak banget dah lonte satu ini, belum apa-apa udah keluar duluan.”

“Nghh Rin maafin aku, janji enggak bakal ngacangin kamu lagi hiks b-biarin aku keluar.” Air mata membasahi pipi Sanzu. Merasa frustasi tubuhnya dimainkan sedari tadi. Sanzu selangkah lagi menuju pelepasannya.

“Aku bilang stop ya stop kok masih gerak tangannya?” Rindou mencengkram kasar pergelangan tangan Sanzu yang masih setia mengocok dibawah sana mecari pelepasan.

“Sok banget tadi serius-serius gitu sampe ngacangin orang dateng. Susahnya bales sapaan orang apa dah. Giliran dimainin dikit udah desah terus nangis-nangis kek lonte haus kontol.” Rindou tersenyum remeh.

hiks hiks aku minta maaf, aku beneran tertarik sama materinya tadi. hiks maafin aku, aku janji gak bakal gitu lagi.” Sanzu terlihat semakin kacau dengan air mata yang mengalir semakin deras di wajahnya.

Tangan Rindou bergerak membuka kaos metallica miliknya berlanjut dengan celana hitam yang ia kenakan, hingga ia telanjang bulat seperti Sanzu. Tangan Rindou membantu Sanzu untuk memperbaiki posisinya, bersimpuh dibawahnya. Kini posisi Sanzu berhadapan langsung dengan kejantanan milik Rindou

“Isep” Rindou menampar pipi Sanzu dengan miliknya yang keras berlanjut dengan menggesekkan ujung kejantanannya pada belah bibir milik Sanzu, memintanya untuk membuka mulut dan memanjakan miliknya.

Rindou memejamkan kedua mata dengan mengadahkan kepalanya keatas nikmat, ketika Sanzu memasukkan sedikit demi sedikit miliknya yang besar dan panjang kedalam hangat milik Sanzu.

Dengan teratur Sanzu mulai memaju mundurkan kepalanya memanjakan milik Rindou yang berada didalam mulutnya, tidak ingin mengecewakannya.

Ia hisap dengan kuat hingga cekungan terbentuk di kedua pipinya dan membiarkan lidahnya menari-nari pada lubang kecil yang terletak di ujung milik Rindou, membuat Rindou menjambak rambut milik Sanzu, membuatnya semakin berantakan.

Selain memperdalam hisapannya dan mengurut sisa batang milik Rindou yang tidak masuk sepenuhnya ke dalam mulutnya, Sanzu juga memijat bola kembar milik Rindou. Menambah nikmat yang Rindou rasakan.

“Emang dah lonte, jago bener nyepongnya. Seneng gak dikasih kontol gini?” Rindou ikut menggerakkan pinggulnya dengan cepat, keras, dan tidak beraturan merasa tidak puas dengan gerakan lambat milik Sanzu, ia ingin menghancurkan mulut Sanzu. Masa bodoh dengan Sanzu yang mulai tersedak karena pergerakannya, Rindou ingin mengejar nikmatnya sekarang.

Rindou mencabut paksa penisnya ketika ia mencapai puncaknya.

“Anjing” umpatnya ketika ia selesai memuncratkan putih miliknya di wajah cantik Sanzu.

“Telan.” Perintah Rindou ketika melihat ada putihnya menggenang di mulut Sanzu

Tanpa bantahan Sanzu menelan habis tanpa sisa cairan putih milik Rindou di mulutnya.

“Want me to touch you?” Rindou bertanya sembari membawa Sanzu dalam gendongannya dan membawanya untuk pindah ke sofa.

“Yes please. Touch me. Everywhere you want.” Balas Sanzu tak sabaran dalam pangkuan Rindou.

Jemari nakal Rindou mulai mengusap, memilin, menarik, dan mencubit kedua puting milik Sanzu.

“Nghhhh”

Dengan tidak sabaran Rindou memasukkan salah satu puting pink kecoklatan Sanzu kedalam mulutnya, menghisap dengan kuat dan memutar-mutarnya dengan lidah miliknya secara bergantian, kiri dan kanan.

“Ahhhh a-aku mau-ahh” Rindou semakin gencar memainkan dada Sanzu, memilin satunya dengan irama yang tidak teratur dan satunya lagi ia hisap kuat, seolah ingin memerah habis susunya.

“AHHHH” desahan panjang Sanzu menandakan bahwa ia mencapai puncaknya. Cairan putih milik Sanzu keluar membasahi perut keduanya.

Sanzu menyandarkan kepalanya pada dada bidang kekasihnya, pening ia rasakan. Namun juga sedikit lega bisa mengeluarkan cairan yang sedari tadi ia tahan untuk tidak keluar.

Rindou mengocok miliknya hingga tegak kembali dan tanpa aba aba ia langsung memasukkannya ke dalam lubang Sanzu yang masih berada di pangkuannya dalam sekali sentak.

“AHHH R-RIN PELANHH DALEM BANGET NGHH” Sanzu menjerit ketika ujung milik Rindou langsung menghantam prostatnya, terlalu hapal dengan letaknya.

“Cantik banget lontenya Rin, ayo gerak dong jangan mau enaknya aja.”

“Brengsek, tambah sempit” maki Rindou ketika Sanzu menjepit erat miliknya dibawah sana. “Ohh jadi suka di panggil lonte? Atau emang lonte beneran?”

Sanzu menggeleng, tidak setuju dengan perkataan Rindou. “Geleng, tapi jepitnya makin kuat. Males banget sih gak mau gerak” Rindou memberikan tamparan di kedua bokong miliknya.

“AHHH NGHHH RINN.” Lagi-lagi Sanzu menjerit ketika setelahnya Rindou menghajar lubangnya dengan kasar, cepat, dalam, dan tepat sasaran.

“Shhh. Cantik banget, mau ya jadi lontenya Rin? Dipake setiap hari?” Rindou menjambak rambut Sanzu yang sudah berantakan, bahkan banyak helainya yang sudah lepas dari cepolan yang sudah tidak berbentuk itu.

“Mau gak? Jawab dong? Jangan cuma desah keenakan aja, katanya bukan lonte?” Tanya Rindou sekali lagi.

“Nghh iya i-ya mauhh, mau jadi lontenya Rin d-dipake setiap ahh hari juga.” Sanzu mulai merancau tidak jelas, kewarasannya benar-benar sudah hilang. Yang bisa Sanzu lakukan adalah bergerak naik turun mengimbangi gerakan Rindou di pangkuannya dan juga mendesah keenakan.

Pegangan Sanzu pada bahu Rindou semakin erat ketika Rindou juga mencengkram pinggulnya semakin erat hingga timbul warna merah dan mengujamkan miliknya yang besar dan panjang semakin cepat, dalam, kasar, dan tidak beraturan. Singkatnya Rindou kehilangan temponya.

“M-mau-ngh ahh lepas.” Sanzu hampir saja mendapatkan puncaknya namun Rindou lebih dulu menggenggam erat miliknya dan menutup lubang diujung agar putih milik Sanzu tidak keluar.

“Bareng.” Rindou mengerakkan pinggulnya semakin cepat dan tangannya yang juga mengocok milik Sanzu dengan ibu jari yang menutup ujungnya. Sanzu semakin kehilangan akalnya.

“Ahh gak k-kuat hiks”

“Uhh please”

“Bentar lagi” Gerakan Rindou semakin tidak teratur, Sanzu merasakan milik Rindou semakin membesar dan mulai berkedut didalamnya. Hingga detik selanjunya Rindou memuntahkan cairan putih miliknya mengisi lubang Sanzu dengan putih miliknya bersamaan dengan ibu jarinya yang ia lepas di ujung milik Sanzu yang dihadiahi dengan semprotan putih yang sangat deras kembali membasahi perut keduanya.

“Anjing, enak banget”

“Nghhh”

Sanzu ambruk dalam pelukan Rindou.

Rindou menarik keluar miliknya yang diikuti dengan putihnya yang berlomba lomba keluar dari lubang Sanzu, membasahi sofa dibawahnya.

“Jangan pingsan dulu. Baru sekali doang, bersihin diri sambil bathroom sex bisa kali?” Rindou berlajan menuju kamar mandi dengan Sanzu yang setengah sadar dalam gendongannya.

Doakan saja Sanzu seperti deodorant. Tahan 48jam 👍🏽

Jangan niru Rindou ya, bad influence dia mah. Pacar bener-bener menimba ilmu malah dihukum kek gitu ckckck.

.

.

.

.

Thank you for reading ^^

#Moonlight

Sorry for typos^.^

.

.

.

.

.

Nekat. Begitu orang-orang menyebutnya. Tetap pegi ke pantai meskipun cuaca sedang hujan adalah hal ternekat untuk dilakukan.

“Yuk jalan Kak.” Begitu ujar Sanzu setelah memakai jas hujannya dan menaiki jok penumpang Kawasaki w175 milik Rindou.

Motor Rindou melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan yang sepi, ditemani dengan bulir air hujan yang membasahi jas hujan mereka.

“Peluknya mana, Chiyo? Dingin nih” Rindou melirik ke spion motor melihat wajah malu-malu yang barusan ia goda.

Tidak membalas namun Sanzu melingkarkan kedua tangannya di perut Rindou.

“Masih malu-malu ya” Rindou terkekeh gemas dengan tingkah Sanzu.

“Bawel ih, nyetir yang bener.” Sanzu menyembunyikan wajahnya di punggung Rindou. Malu katanya.

Baru sekitar tiga puluh menit mereka berkendara, secara tiba-tiba rintik hujan yang jatuh semakin deras. Melihat ada rest area di depannya Rindou membelokkan motornya guna berteduh.

“Makin deres nih, balik aja apa ya?” Tanya Rindou setelah mereka duduk di bangku yang disediakan di depan minimarket yang ada di rest area tersebut.

“Tapi kalau mau balik udah lumayan jauh gak sih, Kak?” Tanya Sanzu kembali.

“Iya sih agak jauh, ini sejam lagi juga sampe ke pantainya.” Rindou mengambil sebatang rokok dari kotaknya, menyulut api pada ujung batangnya.

“Terserah Kak Rin deh, yang dibonceng manut aja hehehe” Sanzu terkekeh menanggapi.

“Chiyo pengen banget ke pantai?” Hembuskan sisa asap yang mengisi paru-parunya, Rindou kembali bertanya pada Sanzu.

“Pengen hehehe” Sanzu tersenyum seperti anak kecil.

“Yaudah liat aja dulu, kalau hujannya reda kita lanjut.” Putus Rindou akhirnya.

Sanzu mengangguk patuh. Safir-nya memandangi bulir-bulir air yang menetes dengan kaki yang diayunkan seperti anak kecil. Gemas begitu batin Rindou.

“Kak, gue mau jajan deh. Mau nitip apa?” Sanzu bangkit dari duduknya dan bertanya pada Rindou yang masih asik menghisap batang putih itu.

“Sampoerna mild satu sama kopi deh.” Pesan Rindou. Kemudian Sanzu mengangguk paham dan berjalan memasuki minimarket.

Selang beberapa menit kemudian Sanzu datang. Ia jatuhkan beberapa belanjaan yang ada dalam dekapannya keatas meja. Kemudian ia rogoh saku celananya dan menyerahkan sekotak putih Sampoerna mild pada Rindou.

“Kenapa gak minta kantong plastik, Chiyo?”

Kedua alis Sanzu menekuk mendengar pertanyaan Rindou. “Kurangin sampah plastik tau, lagian deket juga.”

Rindou terkekeh gemas. Benar juga begitu pikirnya. Kemudian ia mengeluarkan selembar uang berwarna merah dari dompetnya, inginnya mengganti uang Sanzu namun baru mengeluarkannya dari dompet saja sudah ditolak.

“Gak usah ih, segitu doang” Kata Sanzu sembari membuka penutup kaleng kopi dan mengulurkannya pada Rindou.

Lagi-lagi Rindou terkekeh dibuatnya dan menerima kaleng kopi dari Sanzu.

“Chiyo gak bawa jaket ya?” Tanya Rindou melihat Sanzu hanya menggunakan outer berupa kemeja kotak-kotak dengan warna dasar cream yang melapisi kaos putih yang membalut tubuhnya.

“Bawa kok, dalem tas tapi hehe” Jawab Sanzu sembari menusukkan sedotan pada kotak susu yang dibelinya.

“Dingin gak? Pake jaket gue ya?” Rindou bersiap melepaskan jaket jeans yang ia kenakan namun ia urungkan setelah mendapatkan gelengan dari Sanzu. ‘Pakai saja, gak dingin’ begitu kata Sanzu.

Kemudian mereka habiskan waktu dengan bercengkrama dan memakan beberapa camilan sembari menunggu hujan mereda.

.

.

.

.

.

.

Setengah jam kemudian hujan mereda, tersisa gerimis. Melihat langit sekeliling, awan kelabu yang tadinya menyelimuti kini telah digantikan dengan langit biru dengan semburat oranye. Memberikan secercah harapan bagi Rindou dan Sanzu untuk melanjutkan perjalanan.

“Kenapa dipake jas hujannya?” Tanya Rindou bingung melihat Sanzu memakai jas hujannya kembali padahal hanya gerimis tipis yang tidak akah membasahi pakaian mereka.

“Biar tetep anget, males pake jaket hehe.” Respon Sanzu membuat Rindou menggeleng pelan.

Kali ini tanpa Rindou minta tangan Sanzu melingkar dengan sendirinya di perutnya. Tersenyum tipis, kemudian ia lajukan motornya keluar dari rest area dan kembali memecah jalanan.

Rindou tersenyum melihat bagaimana Sanzu mendaratkan dagu pada pundaknya. Bagaimana Sanzu pejamkan matanya menikmati semilir angin yang membelai paras ayunya, dengan bau basah sehabis hujan memenuhi indra penciumannya. Rindou nikmati itu semua dari spion motornya.

“Harusnya tadi gue bawa mobil Bang Ran, biar gak usah kehujanan kita.” Ujar Rindou memecah hening.

Sanzu merengut. “Gak mau, kalau pake mobil gak bisa peluk gini.” Sanzu sembari mengeratkan pelukannya.

“Oh, udah gak malu-malu ya?” Rindou terkekeh mendengarnya.

“Bawel banget, nyetir yg bener,Kak.” Rindou mengaduh kecil ketika tangan Sanzu mencubit perutnya pelan.

Semakin jauh motornya melaju, semakin jarang mereka temui rumah apalagi lahan komersil. Kanan kirinya hanya ada hutan, ataupun sawah. Rumah penduduk ada namun jarang sekali.

Dimanjakan dengan pemandangan hijau dengan semilir angin yang sejuk membuat Sanzu sedikit mengantuk. Hal itu dilihat oleh Rindou.

“Tidur aja kalau ngantuk, masih jauh juga.” Tawar Rindou tidak tega melihat Sanzu terkantuk-kantuk.

“Gak mauu, mau temenin Kak Rin” Balas Sanzu yang membuat Rindou terkekeh. Tangan kirinya ia lepas dari stang motornya dan beralih mengelus tangan Sanzu yang ada diperutnya.

Seketika rasa kantuk Sanzu hilang digantikan dengan rasa beribu kupu-kupu berterbangan dari perutnya.

Untung saja jalanan sangat sepi sehingga Rindou bisa sedikit nyeleneh melajukan motornya.

Beberapa kilometer setelahnya, bau laut memasuki indra penciuman Sanzu. Dengan semangat Sanzu tolehkan kepalanya ke kiri dan kanan guna melihat dari mana aroma laut ini berasal. Namun yang ia lihat hanyalah hutan dengan bukit bukit dikiri dan kananya. Sedikit kecewa Sanzu lengkungkan bibirnya kebawah.

“Pantainya ada dibelakang bukit itu, Chiyooo. Sabar yaa bentar lagi kelihatan kok.” Ujar Rindou setelah melihat perubahan mimik diwajah Sanzu.

Rindou lajukan motornya agak kencang. Setelah melewati beberapa gundukan bukit dan juga jembatan, bunyi dari deburan ombak semakin jelas dipendengaran Sanzu dengan aroma laut yang juga semakin kuat.

Baru setelah melewati satu jembatan lagi, netra Sanzu dimanjakan dengan warna biru dengan ombak yang bergulung menuju permukan.

Beberapa nama pantai sudah mereka lewati dan sekarang Sanzu bingung mengapa tidak satupun dari itu Rindou tuju.

“Kak, kita mau ke pantai yang mana sih?” Dengan penuh rasa penasaran Sanzu bertanya.

“Lah kan lo maunya liat pantai, sekarang dah liat kan? Yaudah sekarang balik pulang”

Rindou tertawa kencang melihat kedua sudut bibir Sanzu yang melengkung kebawah seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.

“Enggak Chiyooo. Itu didepan kan ada pintu masuk gede, nah itu pantai yang gue maksud.” Ujar Rindou menenangkan Rindou. .

.

.

.

.

.

Setelah melewati pintu masuk dan membayar karcisnya, Rindou mencari tempat untuk memarkirkan motornya. Sepi batin Sanzu ketika melihat hanya motor Rindou yang terparkir disana.

Setelah melipat jas hujannya Sanzu mengikuti langkah Rindou untuk menuruni anak tangga menuju bibir pantai.

Disebelah kiri anak tangga yang ia lewati bisa Sanzu lihat ada sekitar 6 buah pendopo. Ia berpikir Rindou akan mengajaknya duduk disalah satu pendopo itu, namun ternyata Rindou masih melangkah turun kebawah sembari melepaskan jaket jeansnya, menyisakan kaos hitam polos yang membalut tubuhnya.

Hingga akhirnya pada anak tangga terakhir Sanzu bisa melihat hamparan pasir putih dengan banyak pohon kelapa yang tumbuh.

Rindou mengajaknya semakin dekat dengan bibir pantai. Lepas alas kakinya, mereka biarkan dinginnya air laut menyapa kaki. Angin kencang pun menerbangkan helaian pink panjang milik Sanzu dan mullet ungu milik Rindou

“Sini duduk.” Sanzu menoleh dan melihat Rindou yang duduk di atas pasir beberapa meter di belakangnya sembari menepuk ruang kosong di depannya.

Sanzu menerima ajakan Rindou. Ia lepas masker yang menutupi setengah wajahnya. Kemudian Sanzu duduk membelakangi Rindou. Pandangannya masih terarah kedepan.

“Suka gak?” Rindou berucap dengan pelan di telinga kiri Sanzu. Gantian. Kini Rindou lah yang menjadikan pundak Sanzu sebagai tumpuan dari dagunya, dan juga kedua tangan yang melingkar pada perut Sanzu.

Sanzu mengangguk sebagai respon. Safir-nya masih setia memandangi hamparan laut dengan bias cahaya oranye pada airnya.

“Maaf ya jadi kesorean gini, untung masih bisa ngeliat sunsetnya. Ya walaupun udah mau habis sih sunset-nya.” Rindou merasa bersalah karena perkiraannya meleset. Berangkat pukul empat ia kira akan sampai pukul setengah enam, namun karena hujan yang cukup deras perkiraannya meleset satu jam.

Sanzu lihat arloji yang ada di pergelangan kirinya. Pukul 18.30, sangat telat untuk melihat sunset karena matahari didepannya sudah akan tenggelam sepenuhnya.

“Telat sih lihat sunset-nya, tapi kalau lihat moonlight enggak kan, Kak?” Sanzu menoleh kebelakang sebentar, memandangi wajah Rindou sebelum kembali memusatkan pandangan kedepan.

“Mau nginep disini?” Tawar Rindou.

“Ya gapapa sih kalau Kak Rin mau, tadi juga beli jajan sama minum lumayan di minimarket. Tuh ada di tas, cukup lah buat semalem.” Ujar Sanzu menimpali.

Rindou tersenyum tipis mendengarnya. Tanpa persiapan, benar-benar nekat hari ini. “Yaudah agak maleman tinggal naik ke atas bilang ke bapak yang jaga mau nginep, biar tendanya dibersihin dulu.” Untung saja penjaga pantai yang tadi mereka temui tinggal diatas sana, sehingga mendukung rencana gila mereka.

Sanzu mengangguk setuju. Perlahan cahaya oranye hilang digantikan warna kelam dari malam. Bias oranye yang tadinya mewarnai permukaan air kini digantikan dengan bias keperakan dari cahaya rembulan.

Hening. Hanya terdengar deburan ombak dan riak air yang mengisi telinga.

“Chiyo.” Panggil Rindou memecah hening.

“Hmm” Sanzu menoleh kebelakang sebentar dan bergumam pelan sebagai pelan.

Chiyo, maybe i’m not good at words. But after all this time, would you be mine?” Rindou semakin mengeratkan pelukannya pada Sanzu.

Kaget? Tentu saja. Sanzu memang meminta Rindou menjadikannya milik Rindou di tempat dan kondisi yang lebih layak. Namun, tidak ia sangka sekarang lah waktunya. Terlalu cepat memang tapi Sanzu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

“Setelah lo tau semua tentang gue. Berbagai macam kecacatan yang gue punya.You will? Really? Ujar Sanzu dengan suara bergetar.

Huum, i want Haruchiyo Sanzu, only Haruchiyo Sanzu.” Bisik Rindou di telinganya.

Sanzu balikkan badannya kebelakang menghadap Rindou “Then, kiss me. Make me yours.” Ujar Sanzu menatap violet Rindou dalam.

Mendapat izin, tidak mungkin Rindou sia-siakan kesempatan yang dia damba sekian lama. Ia tangkup kedua pipi Sanzu, Rindou bawa mendekat guna menghapus jarak keduanya. Sanzu pejamkan matanya ketika merasakan beberapa kecupan ringan di bibirnya. Kemudian Sanzu kalungkan kedua tanganya pada leher Rindou ketika yang lebih tua mulai melumat belah atas dan bawah milik Sanzu bergantian sementara Sanzu menikmati hangat napas beraroma tembakau yang menyapa wajahnya. Keduanya beradu begitu lembut tanpa nafsu. Saling menyalurkan kasih sayang.

Merasakan nafas Sanzu memberat, Rindou lepaskan tautan mereka. Ia pandangi dua safir yang juga menatapnya sayu. “Punyanya Rin.” Ia kecup pelan kening Sanzu.

Sanzu balas kecup kedua pipi milik Rindou. “Punyanya Chiyo.” Kemudian menarik kedua tangan Rindou mengajaknya menyapa air yang menuju bibir pantai.

Rindou tersenyum melihat bagaimana Sanzu begitu bahagia ditemani cahaya rembulan, bertelanjang kaki, bermain air di hadapannya. Rindou pun berjanji untuk menjaga agar senyum itu tidak hilang dari wajah cantik Sanzu. .

.

.

.

Biarlah Haitani Rindou dan Haruchiyo Sanzu memadu kasih di dalam Asmaraloka milik mereka. Haruchiyo Sanzu yang begitu mendamba kasih sayang dan Haitani Rindou yang siap menghujaminya afeksi sebanyak yang ia mau. Biarlah kini mereka rayakan cintanya dibawah cahaya rembulan, ditemani deburan ombak.


Selesai.

Asmaraloka

23/08/21 – 07/09/21

.

#Kembali

Sorry for typos ^^ .

.

.

.

.

Betul kata abangnya kemarin bahwa pemuda dengan surai pink sebahu itu tidak sedang baik-baik saja, senyum yang biasanya ia tunjukkan pada orang-orang sekitarnya lenyap entah kemana digantikan oleh tatapan kosong dari dua safir miliknya.

Setelah memberikan sambutan terakhir kepada 40 orang yang mengikuti program Bina Desa, Sanzu mengarahkan mereka untuk bersiap dengan bocengan masing-masing dan segera berangkat menuju lokasi.

“Ambil, makan ini dijalan. Gue tau lo belum sarapan.” Rindou memberikan kantong plastik yang bersi dua buah roti dan juga sekotak susu coklat berukuran sedang kepada Sanzu yang duduk di jok belakang Kawasaki w175 miliknya.

Sanzu menerimanya dan memberi anggukan singkat pada Rindou. Setelahnya mereka berangkat meninggalkan kampus menuju lokasi.

.

.

.

.

.

.

.

Dari spion motornya sering kali Rindou curi-curi pandang melihat bagaimana mulut penuh Sanzu berusaha mengunyah roti dan bagaimana tenggorokannya naik turun menelan roti dan juga susu yang ia berikan tadi. Lucu batin Rindou.

Hening menemani perjalanan mereka. Sesekali Rindou lah yang iseng bertanya kemana selanjutnya jalan yang harus ia tempuh padahal rombongan di depannya sudah cukup menjadi pemandu arah, biarlah Rindou berusaha.

Rindou merasa canggung selama perjalanan karena Sanzu benar-benar tidak memberikan respon apapun. Tidak memeluk pinggangnya seperti hari yang lalu, untuk sekedar bertukar suara pun tidak. Sanzu tetap bungkam, tidak ia jelaskan kemana ia menghilang selama 5 hari terakhir, bagaimana kabarnya, dan apa yang telah ia alami. Sanzu bisu, pun Rindou tak bernyali bertukar cerita. Rindou tahu, Sanzu sedang tidak baik-baik saja.

.

.

.

. Butuh sekitar dua jam perjalanan bagi mereka untuk sampai pada tempat tujuan setelah melewati hutan dan juga jalan yang berkelok. Agak pelosok memang.

Setelah memakirkan kendaraan dengan rapi dihalaman rumah yang nantinya akan mereka tinggali, mereka bergotong royong menata barang barang yang mereka bawa dan beres-beres dirumah tersebut sebelum menuju balai desa setelahnya.

Pukul 10.00 mereka sedang bersiap di Balai Desa setempat untuk melakukan acara pembukaan bersama Kepala Desa, Ketua PKK, dan juga warga setempat. Setelah semua persiapan siap maka semua duduk pada posisi masing-masing dan saling membaur pada tempat yang telah disiapkan, kecuali Sanzu yang mana berdiri di depan memberikan pidato sambutan untuk membuka acara sebagai ketua pelaksana dan juga chifuyu sebagai koordinator sie acara yang akan menjelaskan rundown acara lebih lanjut.

Dengan berakhirnya sambutan dari Kepala Desa, maka secara remsi dimulailah acara Bina Desa 20xx dengan para panitia dan pesertanya yang menyebar sesuai tugas mereka.

Sanzu tersenyum kepada Kepala Desa dan jajarannya yang sedang duduk bersantai menikmati kopi dan jajanan pasar yang mereka sediakan sebelum permisi pamit untuk mengunjungi para panitia dan juga peserta, melihat bagaimana interaksi mereka dengan warga desa.

Sanzu melihat bagaimana kumpulan dua sampai tiga orang yang familiar baginya berbaur dengan warga desa melakukan kegiatan untuk mengembangkan potensi yang ada.

Disebelah selatan Balai Desa bisa ia lihat bagaimana seriusnya Rindou, Draken, dan Mikey mengajarkan sebagian laki-laki yang ada disana untuk membuat lubang biopori guna memberdayakan sampah organik yang ada sebagai pupuk.

Di sisi lain ia lihat bagaimana anak-anak desa setempat tertawa terbahak-bahak dalam permainan yang mereka lakukan bersama Baji, Kazutora, dan juga Hakkai. Tidak jauh dari sana terlihat juga beberapa rekannya mengajar baca, hitung, dan tulis pada anak-anak lainnya. Sanzu tersenyum dibalik maskernya melihat bagaimana bahagianya interaksi di depannya.

Kemudian beberapa perempuan yang tergabung dalam acara Bina Desa duduk membentuk lingkaran di sebuah Pendopo yang ada di luar Balai Desa bersama Ibu-ibu PKK dan sejumlah anak muda untuk mengajarkan bagaimana membuat kerajinan dan cara yang tepat untuk mempromosikannya.

Setelahnya ia berjalan menuju perkebunan yang tadi sempat dibicarakan oleh Kepala Desa, Sanzu melihat bagaimana Ran sharing terhadap para petani yang ada disana terkait dengan bagaimana trik- trik meningkatkan kualitas komoditi unggulan setempat. Sanzu terkagum pada seniornya itu, Ran bukan berasal dari jurusan Pertanian namun ia bisa berbagi ilmu seolah ia adalah mahasiswa Pertanian.

Melihat tidak ada kendala disana, Sanzu langkahkan tungkainya menuju dapur darurat yang mereka bangun secara dadakan untuk memasak makan siang, bisa ia dengan dari kejauhan suara senda gurau dari beberapa warga dan sisa rekannya disana. Ia putuskan untuk mengecek sekaligus membantu sedikit disana.

Lagi-lagi Sanzu terseyum. Sanzu merasakan sedikit kelegaan dalam dirinya, tidak ia sangka bahwa dengan berbagi seperti ini bisa menjadi self healing terbaik yang pernah ia rasakan.

#Lean on you

cw// violence, abusive parents, suicide tought, and scars.

Sorry for typos^^ .

.

.

.

.

.

.

Menjelang maghrib rekan-rekan yang mengikuti Bina Desa berpamitan kepada para warga dan kembali ke penginapan.

Sanzu keluar dari kamar setelah membersihkan dirinya dan berniat turun kebawah untuk membantu yang lain memoersiapkan makan makan malam.

Di anak tangga terakhir Sanzu melihat Rindou bersama abang dan teman-temannya bersantai di pinggiran kolam renang dengan rokok terselip di belah bibir mereka. Tersenyum sekilas melihatnya, Sanzu beralih menghampiri Chifuyu yang sedang sibuk menggoreng di dapur.

“Puy, ada yang bisa gue bantu gak?” Sanzu bertanya pada Chifuyu yang terlihat sedang menggoreng telur.

“Gak repot lo zu? Buatin kopi gih buat abang-abang disana, tau dah anak-anak cewek pada kemana waktunya siapin makanan kok ilang semua.” Ujar Chifuyu sambil menunjuk beberapa orang yang Sanzu lihat tadi bersantai di pinggiran kolam seberang dapur.

“Anjing, Kak Baji malu-maluin banget.” Umpat Chifuyu malu melihat kekasihnya yang bermain air seperti anak kecil.

Sanzu terkekeh ringan dan melakukan apa yang Chifuyu tugaskan barusan kepadanya.

“Udah enakan,zu? Gue liat-liat lo udah bisa fokus ama senyum dikit sekarang.”

“Lumayan sih, gue gak nyangka kegiatan kayak tadi bisa jadi sarana healing buat gue.” Sanzu menjawab pertanyaan Chifuyu sembari mengaduk kopi di teko yang ia buat.

“Syukur deh,zu. Semua orang khawatir sama lo tau. Jangan gitu lagi ya. Lo bisa cerita ke gue kalau lo siap.” Chifuyu mengusap pucuk kepala Sanzu sayang.

Sanzu mengangguk semangat dan tersenyum sangat manis sebagai balasan.

“Gue anter ini kesana dulu ya, puy” Sanzu bersiap dengan teko berisi kopi hitam dan beberapa gelas di nampan.

“Hati-hati jatoh” Kata Chifuyu yang direspon dengan sebuah gumam kecil oleh Sanzu.

.

.

.

.

“Sore kak, gue bawain kopi nih biar makin asoy nongkrongnya.” Sanzu menyapa dan meletakkan nampannya di meja kecil pinggiran kolam bersatu dengan berbagai macam jenis rokok disana.

“Hallowww Sanzu, terimakasih ya cantik.” Terimakasih Baji setelah kepalanya muncul dari dasar kolam.

“Anjing, ngalus si jamet. Pacar lo noh sibuk masak malah ngalusin Sanzu, dipatahin kaki lo ama Rindou mampus dah. Btw makasih ya Sanzu” Ucap seniornya berambut gondrong yang Sanzu ketahui bernama Mikey yang berada dalam pangkuan Draken.

Dan berbagai ucapan terimakasih lainnya dari beberapa orang disana. Namun Sanzu merasa sedikit aneh melihat Rindou yang menatap ke arah lain tanpa berucap sepatah kata, hanya fokus dengan rokok di belah bibirnya. ‘Kak Rin marah ya sama gue?’

“Zu, nanti evaluasi jam berapa?” Tanya Ran membuyarkan lamunan Sanzu.

“Kata Cipuy sih tadi abis makan malem langsung Kak, jadi besok pagi kita bisa santai sebelum balik.

Setelah mendapat respon dari Ran, Sanzu pamit kembali ke dapur membantu Chifuyu dan yang lainnya.

Cukup lama berkutat dengan urusan dapur dengan gangguan dari Baji yang terus mengganggu Chifuyu dan tingkah ajaibnya yang mencomoti makanan dengan alasan tester katanya, akhirnya makan malam untuk mereka sudah siap dan tertata rapi di atas meja makan.

Sanzu dan Chifuyu duduk bersantai di sofa bawah, mencoba untuk melepas penatnya. Namun tidak disangka tiba-tiba Sanzu meyandarkan kepalanya di bahu Chifuyu dan berkata “Puy, kepala gue berat banget.”

Chifuyu yang kaget dengan ucapan Sanzu dan sensasi panas yang menjalar di bahu kirinya berteriak panik memanggil anak kesehatan.

“WOI ANAK KESEHATAN MANA DAH, GUE BUTUH KOMPRES SAMA OBAT.” Teriak Chifuyu mengalihkan atensi beberapa Senior di kolam seberang dan beberapa anak yang masih berberes di dapur.

“Sanzu kenapa?” Tanya Kazutora yang kaget dengan teriakan Chifuyu.

“Tiba-tiba nyeder di gue bang bilang kepalanya berat, badannya panas banget ini.” Chifuyu dengan panik memeluk Sanzu yang tergolek lemas di bahunya.

“Bangsat, anak kesehatan pada kemana sih anjing ini kenapa sepi gini.” Maki Hakkai ketika menemukan bahwa penginapan mereka sepi.

“Kotak obat ditaruh dimana sih? Di atas?” Baji berlari ke lantai atas guna mencari kotak obat yang ia maksud.

“Tai banget woi ini kotak obat isinya cuma minyak kayu putih, hansaplast sama obat maag doang.” Terdengar umpatan Baji dari lantai atas.

Kemudian samar Sanzu lihat Rindou melenggang pergi keluar entah kemana. ‘Semarah itu kah dia?’. Yang Sanzu rasakan setelahnya adalah kepalanya yang semakin berat dan dekapan Chifuyu yang semakin erat. Suara yang tadinya terdengar ramai di telinganya kini menjadi samar dan kemudian sunyi. .

.

.

.

. Safir-nya perlahan terbuka. Mengerjap beberapa kali menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya.

“Puy? Bukannya tadi kita di sofa bawah ya?” Bingung Sanzu bertanya pada Chifuyu yang terduduk di sampingnya.

“Lo pingsan anjing, gue khawatir banget zu. Tadi Bang Ran yang bawa lo kesini.”Terdengar suara Chifuyu bergetar dan jejak air mata yang belum kering di pelupuk mata dan pipi gembilnya.

‘Ran? Kenapa bukan Rindou? Apa memang semarah itu Rindou padanya?’ batin Sanzu berkecamuk.

“Zu, pake yuk kompres demamnya badan lo masih panas.” Chifuyu membuka kemasan kompres penurun panas itu dan menempelkannya di dahi Sanzu.

“Lo tidur aja ya gak usah ikutan evaluasi” Chifuyu menatap Sanzu cemas.

“Gue gak kenapa-kenapa kok. Gak enak sama yang lainnya, udah beberapa hari juga gue ngilang masa sekarang gak ikut evaluasi. Toh cuma duduk doang kan, gue kuat kok.” Ucap Sanzu meyakinkan Chifuyu.

“Kalau gitu makan dulu ayo, terus minum obatnya. Gue sama yang lainnya udah makan barusan. Gue suapin ya?” Tawar Chifuyu pada Sanzu.

“Gak usah ih, gue bisa sendiri kok.” Tangan Sanzu terulur mengambil sepiring nasi lengkap dengan sepoting ayam dan sayur sop dari genggaman Chifuyu.

Setelah beberapa suap, Sanzu memecah hening. “Lengkap juga ya obatnya anak kesehatan.” Sanzu menoleh pada Chifuyu dan setelah berujar demikian Sanzu kembali membawa sesendok suapan pada dirinya.

“Zu, anak kesehatan gak guna. Mereka cuma bawa minyak kayu putih, obat maag sama hansaplast doang. Bang Rin yang liat lo pingsan langsung pergi keluar cari apotek terdekat beliin lo obat sama kompres ini. Lo tau kan yang katanya apotek terdekat itu sebenernya gak deket dari sini, dia kudu ke jalan besar dulu.” Jelas Chifuyu menceritakan kejadian selama Sanzu pingsan.

‘Kak Rin?’ batin Sanzu bingung.

Setelah menghabiskan suapan terakhir Sanzu buru-buru mengajak Chifuyu keluar dan bergabung dengan.yang lainnya.

Begitu membuka pintu kamar, Sanzu melihat rekan-rekannya duduk membentuk huruf U. Setelah turun kebawah untuk mencuci piring Sanzu kembali bergabung dengan mereka dan diduduk di depan bersama Chifuyu dan Ran. Sanzu edarkan pandangannya dan safir-nya terkunci pada manik violet yang juga menatapnya dari barisan belakang.

Atmosfer di ruangan ini cukup tegang. Entah apa yang terjadi Sanzu tidak tahu tapi dapat terlihat jelas beberapa mimik muka yang ketakutan.

Jam menunjukkan pukul 20.00. Atas kendali dari Chifuyu selaku koordinator sie acara ingin menjalankan rundown terakhir yaitu evaluasi. Evaluasi dibuka dengan sambutan dari Sanzu selaku ketua pelaksana yang meminta maaf atas kinerjanya sebagai ketua pelaksana yang sangatlah kurang dan berterima kasih atas semangat dari rekam-rekan yang sudah membantu menyukseskan acara. Setelah mengucap beberapa patah kata, Sanzu memberikan semua rekan kesempatan untuk saling mengevaluasi kinerja mereka masing-masing.

“Zu, gue izin evaluasi lo ya?” Ran meminta izin terlebih dahulu sebelum memulainya.

“Silahkan kak, gue malah seneng ada ngeval gue biar tau kurangnya dimana” Balas Sanzu mempersilahkan.

“Okee mulai, sebagai ketupel harusnya lo bisa ngambil sikap yang tegas. Gapapa kalau lo mau ilang asalkan pamit dulu,zu. Tau gak gimana bingungnya anak-anak panitia kemaren gaada lo? Sebagai ketupel tuh gabisa seenaknya ngilang gitu aja apalagi-

“Bang, dia lagi sakit kali, bisa gak eval buat dia nanti aja, mana rame gini gak kasian lo” Rindou memotong ucapan Ran emosi.

“Gapapa kok kak, gue malah seneng ada yang negur kesalahan gue, membangun banget ini.” Sanzu tersenyum manis menenangkan Rindou. “Kak Ran, lanjut aja.” Sanzu mempersilahkan Ran kembali.

“Intinya jadi ketupel tuh lo gabisa seenaknya ilang tanpa pamit. Izin dulu baru ilang. Ini bukan buat Sanzu aja ya, pelajaran buat yang lainnya juga. Entah masalah apa yang kalian hadapi, ketika kalian masuk BEM dan mengemban suatu tanggung jawab, setidaknya pamit dulu sebelum ditinggal biar rekannya yang lain itu gak bingung ketupelnya kemana. Maaf ya, zu sebelumnya kalau kata-kata gue ada yang menyinggung perasaan lo. Bukannya gue marah atau gimana, cuma ya biar hal kaya gini gak kejadian lagi apalagi buat proker yang gede.” Ran mengakhirinya dengan kata maaf untuk Sanzu.

“Terimakasih banyak buat Kak Ran atas evaluasinya. Sebelum lanjut, disini gue mau meminta maaf karena beberapa hari belakangan ini gue ilang seenaknya tanpa pamit. Bukannya gue niat kabur tapi emang ada urusan mendadak yang harus gue lakuin. Gue minta maaf banget buat rekan-rekan yang gue rugikan, semoga kedepannya gue bisa lebih baik lagi dan gue janji gak bakal ngulangin hal kayak gini lagi.” Sanzu tersenyum tulus melihat respon semua orang yang hadir disana, alih-alih menghujat Sanzu dengan cacian yang sudah Sanzu bayangkan tapi mereka malah menyemangati Sanzu dan menyadarkan Sanzu bahwa ia tidak sendiri.

“Gue mau bilang terimakasih buat semua yang udah kerja keras hari ini kecuali buat anak kesehatan, sorry kasar tapi lo semua anjing asli. Maksud lo kotak obat cuma diisi minyak kayu putih, obat maag sama plaster doang tuh apa? Ketupel lo pingsan woi, dan kalian semua kemana? Tanggung jawab lo semua kemana gue tanya? Gue ingetin deh lo semua kesini bukan buat jalan-jalan sama foto buat feeds ig.” Draken meluapkan semua emosi yang ia tahan sejak tadi.

“Maaf bang, gue kira tadi udah gak ada yang sakit lagi makanya gue sama yang lain keluar cari angin.” Jawab seorang perwakilan sie kesehatan.

“Udah lo tanyain satu-satu emang? Gue gak inget tuh lo ada nyanyain kondisi gue?”Balas Kazutora geram dengan pernyataan yang ia dengar.

“Gak ada yang sakit serang gak menjamin beberapa jam kedepannya gak ada yang sakit kali. Ngerasa tugas lo gak penting? Padahal sebagai sie kesehatan lo harus standby.” Ujar Baji menambahi.

“Iya bang, maaf atas kelalaian kita.” Sesal mereka.

“Jadiin pelajaran buat kedepannya yang jadi sie kesehatan gak boleh lalai lagi.” Ran menengahi agar tidak semakin larut.

Evaluasi terus berjalan dengan bahasan kekurangan apa saja yang terjadi dan kelebihan apa saja yang harus dicatat untuk dipertahankan di kegiatan selanjutnya. Pukul 22.00 Ran meminta Chifuyu dan Sanzu mencukupkan evaluasinya dan mempersilahkan semua untuk istirahat.

Begitu bubar, semua orang menuju tempatnya masing-masing. Ada yang kembali ke kamar, membuat mie, menonton tv, bermain kartu, pacaran, dan sekedar duduk bersantai di sofa yang ada seperti Sanzu. Sanzu tertawa melihat bagaimana Baji dengan jahil menggoda Chifuyu di pinggi kolam renang hingga pipi gembil Chifuyu mengembung siap meledak.

‘ting’

Satu notif pesan masuk mengalihkan perhatian Sanzu dari Ran dan kawan-kawan yang bermain kartu

‘Ke balkon mau gak? Begitu isi pesannya. Pantas saja tidak Sanzu jumpai sosoknya ternyata yang ia cari sedang berada di balkon.

Tanpa membalas Sanzu satu per satu tangga Sanzu naiki, pada anak tangga terakhir Sanzu bisa melihat punggung kokoh yang sangat ia kenali itu.

Suara pintu balkon yang terbuka mengalihkan atensi Rindou dari pemandangan di sebrangnya.

“Sini duduk” Ajak Rindou sambil menepuk kursi disebelahnya.

“Gue baru tau lo ngerokok, Kak.” Ucap Sanzu ketika sudah duduk di samping Rindou.

“Dari dulu kok, cuma belakangan ini lagi jarang aja. Ngabisin sebatang ini aja ya, gak lagi heheh” Sekotak Sampoerna mild beserta koreknya Rindou masukkan kedalam saku celananya.

“Dihabisin juga gapapa kak, gue gak alergi asap rokok kok.” Sanzu melepas masker hitam yang biasa ia gunakan dan melemparkan senyum manis pada Rindou.

“Cantik” ucap Rindou tanpa sadar dan Sanzu tertawa menanggapinya.

“Eh maksud gue tuh gak enak lah lo lagi sakit gini, buat kapan kapan aja rokoknya itung-itung hemat juga.”

“Iya deh. Btw apa kabar kak?”

Rindou menatap Sanzu dan tersenyum. “Gue baik, lo sendiri?” Rindou bertanya balik

“Ya gini deh hahaha.” Sanzu tertawa hambar sebelum berucap kembali. “Mau cerita boleh gak, Kak?”

“Kalau lo siap, cerita aja gue dengerin.” Rindou mematikan batang rokoknya yang masih nyala setengah.

“Gue kemaren balik ke rumah kak, adek gue tiba-tiba ngechat kalau ayah dateng ke rumah.” Hening sesaat sebelum Sanzu melanjutkan.

“Ayah gue abusive banget kak, dia main cewek ninggalin keluarga dan balik kerumah cuma minta uang. Kemaren itu adek bilang kalau abang gak ada di rumah. Jadi gue sebagai kakak juga gak bisa diem aja kak. Yah akhirnya gue memutuskan buat pulang, malem itu juga.”

“Dari gue kecil gue gak pernah ngerasain kasih sayang seorang ayah kak, yang gue dapetin cuma pukulan, tendangan, tamparan, dan tindakan abusive lainnya. Salah dikit aja gue dapet luka baru. Puncaknya pas Ayah ketahuan selingkuh terang-terangan di depan Ibu. Mereka berantem hebat, rumah udah berantakan sama barang, pecahan kaca dimana mana, dan juga darah dari Ibu. Ibu nyoba buat mengakhiri hidupnya sendiri waktu itu Kak, Ibu menyayat pergelangan tangannya sendiri terus-

Baru akann melanjutkan ceritanya, Sanzu merasakan tubuhnya dibawa dalam rengkuhan Rindou. Rindou rengkuh tubuh mungil Sanzu dan bawa kepalanya untuk bersender ke dada bidangnya.

“Lanjut” Suara Rindou bergetar.

“Jadi pas itu gue pulang sekolah balik-balik lihat keadaan rumah yang kacau dengan pecahan kaca sama amis darah dimana-mana. Gue yang panik ngelihat Ayah bawa pecahan kaca langsung ngelindungin Ibu. Niat gue cuma mau nasehatin Ayah biar gak memperpanjang masalah ini tapi pecahan kaca tadi malah dipakai buat nyayat kedua sudut bibir gue, kata Ayah gue terlalu banyak omong.”

Perih Rindou rasakan di lubuk hatinya mendengar cerita dari orang yang ia sayangi, ditambah dengan basah yang ia rasakan di dada semakin menambah perih yang ia rasakan.

“Terus pas itu Abang dateng Kak, Abang langsung nahan tangan Ayah, tapi entah sengaja atau enggak pecahan kaca yang sama yang dipakai untuk ngelukai gue kena ke muka Abang. Abang juga punya luka di wajah bagian kanan luka memanjang dari dahi sampai pipi bawah. Untungnya Adek pas kejadian itu gak ada dirumah kak. Kalau adek juga dapet luka yang sama gue gak bisa maafin diri gue sendiri. Gue gak mau Senju ngerasain apa yang gue rasain, kak gimana gue di bully selama sisa tahun gue di SMP. Gue juga gak mau tau dapet luka kayak gini. Terus semenjak kejadian itu ayah gak pernah balik ke rumah lagi. Dan sejak saat itu gue kehilangan kasih sayang seorang Ibu. Mental Ibu gak stabil sejak itu. Gue gak tau kenapa minggu lalu ayah tiba-tiba balik ke rumah, Senju dipukulin ngelindungi Ibu, kondisi Ibu juga parah banget mentalnya bener-bener kacau benerapa hari terakhir, makanya gue gak tega langsung ninggalin Ibu. Abang juga kemaren itu gak bisa pulang karena ada kerjaan di luar kota, kalau tiba-tiba pulang dipecat dong Abang wkwk yang ada kita gelandangan.”

Sebenarnya Rindou sudah tidak sanggup untuk mendengarkan ceritanya lebih lanjut apalagi aliran air mata Sanzu terasa semakin deras. Rindou tidak tega membiatkan Sanzu cerita lebih jauh namun Rindou sudah berjanji untuk menjadi pendengar yang baik, makanyang bisa ia lakukan adalah mendekap Sanzu semakin erat.

“Makanya gue pengen cepet lulus terus kerja terus beli rumah baru biar Ayah gak tau kita dimana jadi Ayah gak bisa datengin kita lagi. Sebenernya pernah ada niatan lapor polisi tapi gimana juga dia tetep Ayah gue kak, kita gak tega biarin Ayah masuk penjara. Jadi sejak saat itu gue trauma kak ngeliat darah ataupun bunyi pecahan kaca. Gue juga berkali-kali nyoba buat suicide tapi gagal terus. Terus waktu SMA gue ketemu sama cowok yang baik, kakak kelas juga di awal beneran baik banget kak, tapi setelah setahun pacaran dia mulai main tangan, dia tau gue trauma sama kekerasan tapi dia gak peduli. Gue bisa lepas dari dia itu karena Chifuyu akhirnya ngadu ke Abang dan Abang ngacem orangnya dan syukur banget gue bisa lepas dari dia kak. Ya gini kak kehidupan gue, messed up banget hahaha. Lo masih mau sama gue Kak? Setelah denger semua ini?” Entah mengapa Sanzu terkekeh di akhir, menertawakan hidupnya sendiri mungkin.

Lama Rindou tidak menjawab, yang ia lakukan hanya mengeratkan pelukannya pada Sanzu. Kemudia Rindou kecup lama pucuk kepala Sanzu. “Lo orang terhebat yang pernah gue temuin, terima kasih Chiyo lo udah mau bertahan entah apapun alasan lo bertahan sampai sekarang. Gue mau ngomong apa juga percuma kan ya? Tapi gue minta tolong betahan lebih lama lagi ya.” Rindou kecup lagi pucuk kepalanya.

“Kenapa tanya gue masih mau sama lo apa enggak?. Gue masih nungguin lo disini, Chiyo. Gue masih nungguin lo buka hati buat gue disini. Lo pikir gue bakal jijik sama lo setelah denger semuanya? Enggak, gue malah pengen ngelindungin lo. Lean on me, Chiyo. Kalau lo merasa gak ada tempat untuk pulang di sini, izinin gue jadi rumah lo.”

Tidak ada jawaban dari Sanzu. Yang Rindou dengan hanya tangisan Sanzu yang semakin mengencang dan juga kedua tangan Sanzu yang kini memeluk dirinya juga.

“Nangis aja sepuasnya, gue temenin kok disini.” Rindou mengusap pucuk kepalanya berusaha menenangkan Sanzu.

Setelah puas Sanzu menangis, masih dengan memeluk Rindou, Sanzu mengucapkan sesuatu yang membuat Rindou kaget.

“Kak, lo bener buat gue ngerasa dicintai banget, Terimakasih banyak buat itu. Dicintai segini dalamnya, gimana bisa gue gak buka hati buat lo kak? Gue tunggu deh kapan secara resmi lo jadiin gue milik lo. Tapi gue mohon jangan sakitij gue lagi ya kak? Gue gak bakal bisa bertahan lagi kalau lo nyakitin gue nanti.”

“Pasti, gue gak akan pernah nyakitin lo. Pegang janji gue.”

“Sayangg Kak Rinnn” Sanzu ndusel semakin dalam seperti anak kucing, mencari kehangatan dalam rengkuhan Rindou.

“Sayang Chiyo juga, pulang dari sini gue bakal ajak lo ke suatu tempat, biar resminya di tempat yang bagus.”

“Chiyoo tunggu” Sanzu mendongak ke atas dan memberikan Rindou senyum termanis yang ia miliki.

“Jangan pernah ilang lagi ya, Chiyo.” Rindou berujar lirih dan Sanzu mengangguk sebagai balasan.

“Chiyo gak mau tidur ke dalem?” Tanya Rindou menyadari malam semakin larut.

Sanzu menggeleng. “Mau disini sama Kak Rin boleh??” Pinta Sanzu.

Rindou terkekeh sebagai balasan. Bagaimana bisa Rindou menolak permintaan Sanzu. Biarlah mereka menghabiskan waktu hingga fajar menyambut di balkon dengan sapuan semilir angin yang dingin dalam rengkuhan yang hangat.


Sejuk angin di pagi hari membelai Rindou dan Sanzu yang tertidur di balkon atas. Sebelum sebuah ketukan pintu yang tidak beradab membangunkan mereka.

dok dok dok

Keduanya menoleh melihat siapa pelaku tindakan tidak beradab itu. Dan dibalik pintu yang terlihat rapuh itu terlihat Ran dengan semangatnya meminta untuk dibukakan pintu.

“Diemin aja, orang gila gak usah dibukain pintu.” Dan Sanzu terkekeh mendengarnya

“WOI BUKA DEK, KALO ENGGAK GUE DOBRAK NI PINTU”

dok dok dok

Ketukan brutal itu kembali terdengar.

“Beneran orgil ye Ran Haitani.”

“Udah Kak, bukain aja ketimbang kita ganti rugi pintu.

Rindou beranjak untuk memutar kunci kemudian membukakan pintu pada pelaku tindakan brutal itu. Setelahnya Rindou duduk tempatnya semula dan membawa Sanzu kembali dalam rengkuhannya.

Ran Haitani duduk di pinggiran balkon dan menyulut sebatang Marlboro merah miliknya.

“Abis berzinah kan lo berdua” tuduhnya sebelum menghisap batang yang telah ia bakar.

“Bicara lo kek orang gak disekolahin asli, untung ye lo abang gue kalo enggak udah gue dorong lo dari atas sini”

“Dih emosian kek cewek PMS lo”

“Ngapain sih lo kesini, ganggu orang aja” Rindou bertanya dengan galak

“Ya sk sk gue dong, ngapa lo sewot” Ran membalas tak kalah sinis.

“Giliran dah baikan aja lo sinis bener ke gue, coba noh kemaren kek anak kucing lo ndusel mulu ke gue nyenyenye” Ran hembuskan asapnya hingga menyatu dengan udara sekitar

“Pamrih lo Bang? Gue gunting juga rambut kepang lo.”

“Gak jelas lo, gue kesini mau minta maaf sama Sanzu. Gue gak enak hati ngeval dia abis-abisan kemaren.” Ran menjelaskan maksudnya mengganggu mereka pagi-pagi.

“Kan dah gue bilang, orang sakit lo eval. Kek pisang lo ada jantung tapi gak punya hati.” Balas Rindou sinis.

“Ya ini makanya gue minta maaf adekk.” Ujar Ran geram dengan adiknya.

“Udah ih jangan berantem lagi. Gapapa kok Kak, berkat eval kakak kemaren gue bener-bener sadar kalau gue egois banget. Gimanapun masalah gue harunya ketika gue ada tanggung jawab ya gue harusnya mikirin kepentingan kelompok dulu gak serta merta bertindal egois. Gue gak tersinggung atau merasa sakit hati kok Kak, malah gue merasa berterima kasih banget udah di kasi kritik yang membangun.” Sanzu tersenyum tulus pada Ran.

“Buset dah cakep amat, pantes adek gue naksir sampe bucen.” Reaksi Ran yang baru pertama kali melihat Sanzu tersenyum setulus itu.

“Anjing, ada gue loh disini?? Ada adab lo ngomong kek gitu bang?” Rindou mulai cemberut.

“Ya gue kan mengagumi keindahan ciptaan Tuhan, mending dah lo ama gue, zu. Apaan Rindou emosian gitu.” Ran menaik turunkan alisnya menggoda.

“ABANGGGG IH” Rindou melemparkan sebotol minuman plastik kepada Ran, melampiaskan kekesalannya.

“Wadooo selamat pagi bestieee” sapa Baji yang memasuki area balkon diikuti yang lain dibelakangnya.

“Dah ayo mandi, siap-siap balik sama pamitan ke Balai Desa dulu.” Ajak Ran setelah mematikan rokoknya dan berjalan keluar diikuti Rindou, Sanzu dan yang lainnya.

“O NGENTOT EMANG, BARU MAU JOIN” maki Baji melihat tingkah laku teman-teman setannya.


Setelah berpamitan dengan warga desa yang masih sangat menyayangkan kehadiran mereka yang singkat ini, akhirnya rombongan mereka kembali ke kampus untuk mengembalikan properti milik Fakultas dan setelahnya kembali ke rumah masing-masing.

“Yang kenceng dong meluknya apaan meluknya kek bocil boncengan ama emaknya.” Ujar Rindou iseng pada Sanzu yang memeluknya malu-malu

“Bawel” Meskipun berujar demikian Sanzu tetap memeluk Rindou erat seperti yang Rindou pinta, bonus dengan kepala yang juga ia senderkan pada punggung Rindou.

Perjalanan pulang mereka kini tidak sehening yang lalu. Semua kembali seperti semula dimana Rindou membuat obrolan random yang juga ditanggapi dengan Sanzu tak kalah randomnya.


#Kembali

Sorry for typos ^^ .

.

.

.

.

Betul kata abangnya kemarin bahwa pemuda dengan surai pink sebahu itu tidak sedang baik-baik saja, senyum yang biasanya ia tunjukkan pada orang-orang sekitarnya lenyap entah kemana digantikan oleh tatapan kosong dari dua safir miliknya.

Setelah memberikan sambutan terakhir kepada 40 orang yang mengikuti program Bina Desa, Sanzu mengarahkan mereka untuk bersiap dengan bocengan masing-masing dan segera berangkat menuju lokasi.

“Ambil, makan ini dijalan. Gue tau lo belum sarapan.” Rindou memberikan kantong plastik yang bersi dua buah roti dan juga sekotak susu coklat berukuran sedang kepada Sanzu yang duduk di jok belakang Kawasaki w175 miliknya.

Sanzu menerimanya dan memberi anggukan singkat pada Rindou. Setelahnya mereka berangkat meninggalkan kampus menuju lokasi.

.

.

.

.

.

.

.

Dari spion motornya sering kali Rindou curi-curi pandang melihat bagaimana mulut penuh Sanzu berusaha mengunyah roti dan bagaimana tenggorokannya naik turun menelan roti dan juga susu yang ia berikan tadi. Lucu batin Rindou.

Hening menemani perjalanan mereka. Sesekali Rindou lah yang iseng bertanya kemana selanjutnya jalan yang harus ia tempuh padahal rombongan di depannya sudah cukup menjadi pemandu arah, biarlah Rindou berusaha.

Rindou merasa canggung selama perjalanan karena Sanzu benar-benar tidak memberikan respon apapun. Tidak memeluk pinggangnya seperti hari yang lalu, untuk sekedar bertukar suara pun tidak. Sanzu tetap bungkam, tidak ia jelaskan kemana ia menghilang selama 5 hari terakhir, bagaimana kabarnya, dan apa yang telah ia alami. Sanzu bisu, pun Rindou tak bernyali bertukar cerita. Rindou tahu, Sanzu sedang tidak baik-baik saja.
.

.

.

. Butuh sekitar dua jam perjalanan bagi mereka untuk sampai pada tempat tujuan setelah melewati hutan dan juga jalan yang berkelok. Agak pelosok memang.

Setelah memakirkan kendaraan dengan rapi dihalaman rumah yang nantinya akan mereka tinggali, mereka bergotong royong menata barang barang yang mereka bawa dan beres-beres dirumah tersebut sebelum menuju balai desa setelahnya.

Pukul 10.00 mereka sedang bersiap di Balai Desa setempat untuk melakukan acara pembukaan bersama Kepala Desa, Ketua PKK, dan juga warga setempat. Setelah semua persiapan siap maka semua duduk pada posisi masing-masing dan saling membaur pada tempat yang telah disiapkan, kecuali Sanzu yang mana berdiri di depan memberikan pidato sambutan untuk membuka acara sebagai ketua pelaksana dan juga chifuyu sebagai koordinator sie acara yang akan menjelaskan rundown acara lebih lanjut.

Dengan berakhirnya sambutan dari Kepala Desa, maka secara remsi dimulailah acara Bina Desa 20xx dengan para panitia dan pesertanya yang menyebar sesuai tugas mereka.

Sanzu tersenyum kepada Kepala Desa dan jajarannya yang sedang duduk bersantai menikmati kopi dan jajanan pasar yang mereka sediakan sebelum permisi pamit untuk mengunjungi para panitia dan juga peserta, melihat bagaimana interaksi mereka dengan warga desa.

Sanzu melihat bagaimana kumpulan dua sampai tiga orang yang familiar baginya berbaur dengan warga desa melakukan kegiatan untuk mengembangkan potensi yang ada.

Disebelah selatan Balai Desa bisa ia lihat bagaimana seriusnya Rindou dan Draken mengajarkan sebagian laki-laki yang ada disana untuk membuat lubang biopori guna memberdayakan sampah organik yang ada sebagai pupuk.

Di sisi lain ia lihat bagaimana anak-anak desa setempat tertawa terbahak-bahak dalam permainan yang mereka lakukan bersama Baji, Kazutora, dan juga Hakkai. Tidak jauh dari sana terlihat juga beberapa rekannya mengajar baca, hitung, dan tulis pada anak-anak lainnya. Sanzu tersenyum dibalik maskernya melihat bagaimana bahagianya interaksi di depannya.

Kemudian beberapa perempuan yang tergabung dalam acara Bina Desa duduk membentuk lingkaran di sebuah Pendopo yang ada di luar Balai Desa bersama Ibu-ibu PKK dan sejumlah anak muda untuk mengajarkan bagaimana membuat kerajinan dan cara yang tepat untuk mempromosikannya.

Setelahnya ia berjalan menuju perkebunan yang tadi sempat dibicarakan oleh Kepala Desa, Sanzu melihat bagaimana Ran sharing terhadap para petani yang ada disana terkait dengan bagaimana trik- trik meningkatkan kualitas komoditi unggulan setempat. Sanzu terkagum pada seniornya itu, Ran bukan berasal dari jurusan Pertanian namun ia bisa berbagi ilmu seolah ia adalah mahasiswa Pertanian.

Melihat tidak ada kendala disana, Sanzu langkahkan tungkainya menuju dapur darurat yang mereka bangun secara dadakan untuk memasak makan siang, bisa ia dengan dari kejauhan suara senda gurau dari beberapa warga dan sisa rekannya disana. Ia putuskan untuk mengecek sekaligus membantu sedikit disana.

Lagi-lagi Sanzu terseyum. Sanzu merasakan sedikit kelegaan dalam dirinya, tidak ia sangka bahwa dengan berbagi seperti ini bisa menjadi self healing terbaik yang pernah ia rasakan.