bakuroou

bokuaka: the feeling (1)

-

sebenarnya gak benar-benar sembilan tahun, sih; dari sekitar dua puluh laki-laki (dan satu perempuan) disana, ada beberapa yang gak asing di mata akaashi.

contohnya si rambut jeruk shouyo, yang tiga minggu lalu gak sengaja ketemu di department store bareng si pacar yang rambut lemon, atsumu. ketiganya berakhir dengan duduk-duduk di kafe kopi dengan obrolan yang dominan soal rekomendasi outfit untuk dipakai di cuaca panas saat ini.

atau si rambut jelaga kageyama dan budak cintanya, osamu. akaashi sebulan lalu ajak kageyamaㅡditambah osamu, yang ikut entah kenapaㅡ bertemu soal kerjaan; akaashi sempat pegang naskah dengan latar belakang olahraga voli dan minta bantuan kageyama untuk beberapa pertanyaan dan koreksi, andai akaashi melewatkan sesuatu.

ada juga sepasang iwaizumiㅡyang akaashi bingung kenapa sampai terjadi?ㅡ hajime dan tooru, yang enam bulan lalu meresmikan cintanya di altar. scene pertengkaran sarat cinta di tengah pesta waktu itu sangat epic, masih terekam jelas dipikiran, meninggalkan kesan besar yang begitu menarik untuk para tamu.

tapi, ada juga orang-orang yang buat sembilan tahun adalah angka besar untuk akaashi.

misalnya keluarga tanaka. anak kedua yang fotonya cuma beberapa kali lewat di timeline instagramㅡakaashi kurang aktif disanaㅡ ternyata sudah balita. yamieㅡsi anak pertamaㅡ bahkan aktif bolak-balik minta dessert, buat si mama kiyoko harus repot dan biarkan ryunosuke pegang yuki, si anak kedua.

ditambah beberapa pemuda yang berpenampilan asing dan sangat berbeda dari tahun-tahun di SMA; aone yang pendiam dengan rambut lebih gondrongnya, terushima dan tendou dengan rambut yang disemir gelap, kenmaㅡyang sibuk bicara dengan shouyoㅡ dengan rambut yang panjang dikuncir, juga semi yang mengeluh harus menggonta-ganti penampilan karena pekerjaan dan hobinya, dan lain-lain.

banyak sekali teman-teman di masa lalunya bawa perubahan masing-masing.

tapi, satu. satu lelaki yang tidak berubah di matanya, terkecuali rambut yang jatuh turun tutupi dahinya.

tidak berubah, lelaki itu selalu jadi pusat perhatian, dikerubungi, buat sekitarnya terlihat bagai ferrromagnetik yang tanpa sadar tertarik. jadi ini semua benar-benar bukan salah akaashi; bukan salah akaashi kalau matanya tak berpaling, kalau matanya tak berhenti curi pandang ke ujung mejanya.

bokuto koutarou. lelaki yang sembilan tahun tak pernah sekalipun tampak di lanskapnya secara ajaib muncul di hari sabtunya.

  • the feeling narasi bagian satu -

bokuaka: mommae warnings: nsfw, explicit sexual scene.

-

“Akaashi.” gumamnya pada diri sendiri, kemudian tertawa kecil mengejek; antara pada Akaashi yang tidak main-main dengan janjinya dan juga mengejek dirinya sendiri yang ternyata minim akal sehat.

Bagaimana bisa pakai akal sehat apabila yang paling didamba terbaring tanpa sekat di atas seprai beludru kelabunya? Nafas halus dari lelaki yang nyenyak terlena oleh mimpinya berirama dengan air purifier, buat perut Bokuto mengaduk.

Tapi Bokuto tidak kurang ajar.

Memang, Akaashi luar biasa cantik; kimono merah pekat dengan obi hitam melekat pada tubuhnya yang melekuk di bagian favoritnya, rias wajah samar menjejak pada wajahnya, bibirnya— bagian kedua favoritnya setelah pinggulnya, katanya, merekah merah dengan spasi kecil untuknya bernafas.

Semua pada Akaashi buat Bokuto begitu mendamba.

Tapi Akaashi yang tak sabar ditemuinya itu tertidur pulas.

Bokuto tersenyum. Tangan besarnya bergerak, menyapu helai rambut Akaashi yang terlihat menganggu keningnya... atau memang hanya alasan Bokuto untuk membelai kepala yang dicinta. Tangan yang satu meloloskan dasi yang menjuntai pada lehernya; agak sesak karena dadanya penuh dengan kasih untuk yang lebih muda.

Akaashi pasti lelah dengan kelasnya dan pekerjaan yang baru dilepasnya. Berhenti dari kerja part time memang buat Akaashi pulang jauh lebih awal, tapi emosinya pasti lelah; aktivitas yang biasa ditekuni dan teman yang biasa ditemui disana harus dilepasnya. Ditambah Bokuto, si mental supporter, tidak ada saat paling dibutuhkan. Latihan pengembangan SDM yang rutin diikuti Bokuto dilaksanakan saat begini dengan memakan waktu seminggu, pula.

Akaashi dinilai tidak bergantung; mandiri, jadi Bokuto sejujurnya kaget dengan sisi manja Akaashi yang baru diperlihatkan sejak mereka jelas dengan status mereka. Yang lebih muda banyak memikul beban sendiri, tidak begitu banyak bicara soal apa yang dilakukannya, tapi Akaashi terlihat butuh dukungan, butuh Bokuto saat terlalu lelah dengan macam-macam aktivitasnya, butuh Bokuto memanjakannya dengan caranya sendiri; entah membelikan dessert favoritnya yang menyokong mood baiknya atau hal kecil seperti pelukan dengan kecupan di kepala saat Akaashi pulang lebih malam dan Bokuto mampir di kosannya.

“Loh—” gumam Akaashi, menyadarkan Bokuto dari pikiran panjangnya, “kamu udah pulang?”

Bokuto tertawa kecil, bawa tangan Akaashi dekati bibirnya untuk dikecup, “bukan, aku hantu.”

Yang ingin dibodohi menyipit mata, tubuhnya masih meremang hangat karena tidur singkatnya. Tapi reflek yang lebih muda bawa leher Bokuto mendekat untuk dipeluk erat, “welcome home?”

Bibirnya tertarik, ciumi apa yang digapainya— telinga Akaashi.

Dengar kata rumah yang punya banyak arti—yang pasti bukan tentang apartemennya—buat hatinya membuncah karena terlalu penuh dengan bahagia dan suka, sadar bahwa ia menemukan rumahnya. Ia kini punya tempat untuk menyamankan diri, untuk berbagi keluh kesah dan senangnya, punya rangka yang bisa menawarkan hangat saat tubuhnya tercabik dingin udara luar saat berjuang pada kehidupannya.

Pelukan Akaashi adalah rumahnya, Akaashi adalah rumahnya.

“I'm home.”

-

Beda dari malam-malam rindu yang lain, kedua jiwa yang tak peduli pada ramai kendaraan yang lalu lalang di malam minggu, yang berlagak anggap dunia hanya milik berdua, memadu kecap begitu halus, penuh sabar walau tamak. Memoles saliva pada bibir lawannya untuk kemudian dilahap, layaknya mengerikit beri merah yang kaya dengan sarinya. Tangan bergerak lembut walau penuh penasaran, penuh gelisah ingin merasa kulit telanjang masing-masing di bawah jemari.

Kancing Bokuto kini habis, yang lebih tua menggumam diujung tenggorokannya, “aku belum mandi.”

Lelaki di bawahnya menggeleng, gapai bibir yang lebih kental untuk jangan bicara, untuk ikuti lajunya, untuk menurutinya, untuk diam saja dan cium lagi dan lagi.

“Aku gak pernah masalah soal itu.”

“You always smell amazing.”

“Your perfume and just... your scent.”

Kecup, kecup, kecup.

“I like it.”

Dengan geram frustasi dengar si penggoda yang mengaruh birahinya, Bokuto turun, ciumi tulang selangka yang di bawah, mengecap penuh ingin kulit yang terlihat suci untuk ternoda oleh ulahnya; kotor oleh bercak kasihnya, ingin yang melihatnya tahu bahwa Akaashi Keiji tidak sesuci yang dikira.

“Kamu ngantuk kan? Serius gak apa-apa?”

Yang ditanya merengek kesal; kesal dengan yang lebih tua yang tak mengerti posisinya, yang tidak bisa lihat betapa putus asanya Akaashi, tidak lihat tali logikanya sudah putus sejak Bokuto diciumnya masih dengan pakaian kerjanya.

Akaashi membelai pada abdomen sang kekasih, bagian tubuh yang paling disukainya. Bokuto dengan setelan kerjanya memang begitu memikat perhatiannya sekaligus nafsunya, tapi dengan kancing yang berburai, daya tariknya jauh dari akal. Si rambut abu bilang pernah rutin dengan voli di masa remajanya dan saat ini ia menjaga agar kebiasaan olahraga paginya tidak dilewatkan. Yang lebih muda yakin lekukan berbahaya pada kulitnya adalah hasilnya.

“Aku gak apa—”

“Mata kamu setengah terpejam, Akaashi.”

Tuhan, Bokuto yang sok tahu memang menyebalkan. Itu adalah Akaashi memandangnya dengan sayu, bukan sepenuhnya karena kantuk.

Tapi Akaashi terlalu malu untuk menampik.

“Ini—”

“A quick release and we sleep, ya?”

Bibir yang terpoles lipbalm merah muda terbuka ingin protes, tapi Bokuto mendahuluinya, mengecupnya untuk tak membantah.

“Besok Minggu, sayang. Kita bisa seharian—”

“Aku kangennya sekarang—”

“Sama,” potong si dominan, tangan besarnya mengelus halus tekuk kaki yang kurus, “but i don't want to overwork you.”

Mendesah menyerah, si rambut jelaga mengangguk, bawa tubuhnya sendiri untuk duduk nyaman di pangkuan Bokuto. Mengerti, yang diduduki memundurkan tubuhnya, menyandar pada headboard, tarik Akaashi lebih mendekat.

Cumbuan mereka dimulai lagi, tapi dengan tangan yang jauh lebih memburu, membelai tiap sudut tubuh masing-masing.

“Akaashi—” Bokuto meneguk saliva, pandang Akaashi yang lebih tinggi dari jajar matanya, “—kamu gak pake... apa-apa.” katanya mengonfirmasi.

“Just... feel like not wearing it?”

Bohong, yang lebih muda pasti tau apa pengaruhnya pada Bokuto. Tubuh molek dengan jangat seputih salju kemudian dibalut kain satin dengan tanpa apapun lagi dibaliknya... Akaashi terdengar porno yang menjadi kenyataan.

Akaashi mengadah, lepas kecupnya saat tangan Bokuto dengan tidak sopannya langsung mencengkram pipi bokongnya, menguleni dan mencubiti kulit disana.

“Masukin—”

“Jari dulu ya? Pelan-pelan.”

Menurut, yang di atas menggapai pelumas di meja nakas. Pelumas dengan wangi favoritnya— antara campuran vanila dan bunga.

Akaashi menumpu tubuhnya pada lutut, peluk erat kepala Bokuto dengan begitu mengharap pada apa yang akan datang.

Jari Bokuto; jari yang biasa dipakainya mengetik sibuk pada laptopnya, untuk melipat lembaran roti panggang di pagi hari, untuk mengubah arah kemudi saat mengendarai mobilnya. Jarinya yang begitu tebal dan kokoh, dengan bulu halus pada belakang buku jarinya.

“Ha—nh,” yang dimasuki mendesis. Suka sekali dengan jari yang lebih tua, yang basah dan lengket mengaduk dalamnya. Mengendurkan otot resistensi Akaashi, bersamaan dengan kewarasannya yang kian melonggar tiap titiknya dipijat.

“Sakit?” tanya suara berat dengan perhatian.

Menggeleng, Akaashi kembali mendesis, “suka—”

“Suka? Suka jari aku?”

Akaashi mengangguk, jemarinya menggaruk rambut halus di belakang leher Bokuto.

“Suka jari aku aja? Mau keluar cuma dengan jari aku?”

Yang dipangkuannya terkesiap saat jari kedua lolos masuk. Jempol Bokuto yang melebarkan lubangnya buat Akaashi malu karena merasa terlalu terbuka.

“Suka— suka jari kamu— suka kamu— suka kamu, Pak.”

Mengerut dahi, Bokuto tak terima dengan panggilan yang dilontarkan yang manis. Jarinya makin intens mengeruk masuk ke dalam.

“Kak, Akaashi. Panggil aku Kakak.”

Yang diminta menggeleng, menggumam 'pak, pak, pak—' tepat di telinga yang ditumpunya.

Bokuto mengeryit, “Akaashi— Akaashi jangan bilang— you have a thing for older man?”

Lubang yang mengetat menjadi jawaban, buat Bokuto terkekeh melecehkan.

“You always surprised me.” ujar Bokuto. Bibirnya mengecup dada lelaki yang lebih muda. Kain satin yang sudah melonggar membuka jalan untuk Bokuto leluasa menjejak pada kulit bagian atasnya.

Bokuto menambah jarinya, kemudian mengecupi puting di depan matanya saat Akaashi terlihat kewalahan dengan tiga jari tebalnya.

Pinggul cantik sang pengendara bergerak bingung; merasa akan robek di bawah tapi mendamba ingin lebih. Akaashi tidak masalah dengan luka akibat pergumulannya dengan yang lebih tua, tapi ia tidak ingin lukanya disebab hanya dengan jari.

Mengerti Akaashi yang gelisah, Bokuto makin rajin menjilati kelopak merah muda pada dada Akaashi dan mengulum di mulutnya untuk mencuri perhatiannya.

“Pak— ayo, ayo masuki.”

Bokuto mengerling, ketidaktegaannya tidak lebih berat dari kejahilannya, “masuki? Masuki apa?”

Kekasihnya itu mendengung kesal, “masuki aku— lubangku—”

“I'm doing it, Akaashi,”

“No, no, no,” protesnya frustasi, “bukan jari—”

“Lalu apa?”

Jengah, Akaashi menggigit leher di depannya, menggeram disana dengan tangan yang bergerak nakal mengelus pada gumpalan yang diinginkannya, yang akan memberinya nikmat yang dinantinya, yang paling dirindunya.

“Kamu— penis kamu— ayo.”

Puas bermain, Bokuto mengecup bagian rusuk sang mahasiswa. Jarinya lepas dari bawah Akaashi untuk melepas celana yang membungkus kakinya.

Bokong Akaashi turun, menggesek pada paha Bokuto yang keras. Kepalanya menyandar pada pundak di depannya untuk menata nafasnya. Bola matanya mendapati Bokuto yang mengurut kejantanannya setelah menyiramnya dengan pelumas.

Akaashi meneguk ludah yang berkumpul pada mulutnya karena dorongan tiba-tiba untuk melahap Bokuto dengan mulutnya. Tapi tidak, tidak mau lagi menunda Bokuto untuk memenuhinya di bawah. Kejantanannya lebih berhasil merangsang semua inderanya daripada porno murahan dengan tag perkasa dan semua kata-kata deskripsi yang berarti besar.

Akaashi gemetar, tau bahwa Bokuto lebih dari sekedar besar.

“Sini,” ajak Bokuto dengan tenang, terdengar tidak seperti mengajak Akaashi untuk duduk pada penisnya.

Dorongan pertama, seperti yang sudah-sudah, menghasilkan rintihan nyeri sarat puas dari Akaashi. Kepala memang bagian yang paling tebal dari semuanya.

Kaki Akaashi yang menekuk pada kasur menyeret-nyeret; bertanding dengan nafsu dan kemampuannya dalam memamah batang yang mencari celah pada dinding-dinding dalam tubuh Akaashi.

“Hn— Pak— Pak Bokuto—”

“Sebentar—” kecupan dijejak pada lengan Akaashi, “—kamu sempit, sedikit lagi.”

Sisanya masuk dan lelaki yang di atas duduk sepenuhnya di pangkuannya.

Bokuto merasakan tubuh di pelukannya gemetar sampai ujung kaki, kulitnya meremang karena merasa terlalu penuh. Mencari pelampiasan, yang berambut gelap menggigiti rahang si rambut mendung.

Saat Bokuto mulai menarikan pinggulnya, Akaashi bernyanyi dengan nafas satu-satu, mengiringi gerakan Bokuto yang naik, naik, naik.

Sang karyawan bank terasa begitu keras di dalamnya, memenuhi kanalnya sampai terasa bergetar di bawah perutnya. Kulit panas sang dominan mengeret dinding basah di dalam. Uratnya yang menjengul berikan percik-percik hebat, buat lubang Akaashi mengembang-menguncup rakus pada Bokuto.

“Sayang— sayang banget sama kamu Akaashi.”

Yang tersayang mengangguk, tak kuasa limpahkan perasaan yang sama lewat ucap. Alih-alih ia menjauhkan tubuhnya dari badan yang lebih besar, bergerak pelan-pelan, naik-turun, sesekali memutar pinggul untuk mencari sudut yang tak terjamah. Geraknya buktikan perasaan yang bercermin dengan Bokuto tanpa lewat kata.

“Hng— ha— hmm,”

Takjub, Bokuto menyandarkan dirinya pada headboard, pandangi laki-laki yang secantik bidadari tapi juga liar seperti pendosa yang tak peduli surga. Yang anggap bahwa pelepasan yang diaisnya adalah surga.

Si rambut arang sangat mempesona; terlihat sensual memikat penglihatannya, memanja pendengaran dengan desah mesranya, menjinakkan perasa dengan kecupan basahnya, wangi keringat bercampur pheromone alaminya mengolok penciuman, ditambah jarinya yang mengerat pada perabanya buat Bokuto meliar.

Pinggulnya ikut naik, menantang Akaashi yang bergerak saat melawan gravitasi.

Akaashi mengerang tersedu-sedu, tergopoh-gopoh gapai kaki Bokuto untuk tidak bergerak berlebihan.

“Pak— pelan— kau hn besar—”

“Maaf— aku gak kuat, kamu juga mau lepas kan? Ayo, sayang.”

Akaashi mengangguk, bibirnya terbuka gapai sedikit lagi puncak ekstasi.

Pipinya yang bersih terbercak semu, memerah sampai kulit dadanya. Matanya hilang fokus dengan sungai yang siap menganak. Air liurnya menjejak diujung bibirnya. Semua buat Akaashi bagai bintang utama dalam semua mimpi basahnya.

“Pak, Pak Bokuto—”

“Iya Akaashi, iya. Aku juga— di dalam?”

“Iya— iya—”

Pelepasan setelah dua minggu sibuk dengan urusan masing-masing buat gayang sampai ujung kepala. Jari-jari kaki menukik dan gemetar, merasa melihat putih di balik mata.

Bokuto-lah yang pertama bergerak, mencumbu rahang Akaashi yang bulu kuduknya belum melayu, bisik betapa rindunya pada Akaashi, betapa cintanya pada yang lebih muda tak terbandingi.

Ciuman manis dibagi dan akhirnya Akaashi melemah, sandarkan tubuhnya pada yang lebih bidang di bawahnya.

“Akhirnya aku... gak bisa kontrol.”

Yang lebih muda terkekeh, mengecup kulit di bawahnya, “kayanya kita gak cocok sama slow sex.”

“Kamu Akaashi, goda aku terus.”

“Aku suka godain kamu.”

“Tapi kamu juga yang kewalahan.”

“Gak masalah.”

Bokuto menghela nafas, mencium pucuk kepala lelaki yang satu.

“Kita mandi sebentar terus tidur, ya? Kita lengket begini.”

Mengangguk, Akaashi menggeser tubuhnya, gelung leher Bokuto dengan lengannya.

“Mau gendong?”

“Iya.”

Yang lebih tua terkekeh, bawa pinggul Akaashi untuk dibawa oleh lengannya, “kalau inget pas pertama kali ketemu kamu... aku gak bakal nyangka suatu hari kamu bisa minta gendong ke aku.”

“Gak suka aku begini, ya?”

“Suka kok, aku suka kamu yang manja dan bergantung sama aku.”

Akaashi tersenyum mengecup pipi di depannya, kemudian kening berkerut, “besok aku cukur kamu, ya.”

Kimono satin Akaashi ditinggal di lantai, terberai dengan kemeja Bokuto yang sedari tadi sudah menempel di punggung karena keringat.

”...aku udah cukuran tadi pagi.”

“Gak bersih—” kecup, kecup, kecup “—coba liat siapa yang cukuran aja gak becus?”

“Padahal kamu suka janggut aku.”

“Enggak kok—”

“Aku keliatan jauh lebih dewasa 'kan? Kamu suka laki-laki tua.”

Cubitan di rusuk buat Bokuto mengaduh. Untuk ukuran orang yang kelelahan, cubitan Akaashi terasa perih di kulit, “diem.”

Bokuto mendorong pintu kamar mandi dengan kakinya, masih dengan Akaashi yang menggelung dipeluknya.

“Siap komandan.”

-

fin.

bokuaka: kisses

-

Bokuto berkonklusi sejak pertama kali bibirnya dipagut Akaashi, bahwa yang lebih muda punya afinitas khusus pada rambutnya.

Jari yang lebih muda, yang kurus dengan kukunya yang cantik tenggelam pada rambutnya, jauhi helaian rambut Bokuto untuk sentuh dahinya. Akaashi halus membelai-belai kulit kepalanya, ditambah menggaruk beberapa kali, buat sensasi seksi tersendiri ditengah ciuman.

Kaki Akaashi yang awalnya mengukung sudah jatuh sejak dua menit bibir keduanya terpagut; melemah dengan Bokuto yang kerap usili mulutnya, bawa lidahnya menggesek langit mulutnya. Kini yang lebih muda menyamankan diri untuk duduk sambil sesekali menyapu paha Bokuto yang keras terbaluti celana kainnya.

Bokuto menggeram kala salivanya yang lolos lewati bibirnya dihirup Akaashi, bagai madu manis favoritnya.

“Akaashi—”

“Hmn—”

Ya Tuhan, apa-apaan.

Bokuto mengecup halus delima kuncup di depannya berulang kali saat dirasa Akaashi dan dirinya sendiri butuh udara. Akhirnya mereka saling berebut nafas di sekitar satu sama lain sekaligus berebut kesempatan-kesempatan kecil untuk mencium lagi.

Tangan yang lebih besar menggenggam rahang lelaki di atasnya untuk terbuka, untuk bukan lagi meraup bibirnya,

“Lidah, Akaashi.”

—tetapi lidahnya.

Yang diperintah menurut, menjulur lidahnya mendekat untuk diraup, untuk dihisap masuk ke mulut yang satu, untuk dengan lembut menabrakkan sekali lagi bibir masing-masing.

Akaashi kewalahan, lidahnya bagaikan sehelai daging yang dibolak-balikkan semaunya oleh sang koki, untuk kemudian dibakar panas dan dibasahi dengan margarin yang berlebihan.

Yang di atas mengerang karena Bokuto tak sengaja menggigit bibirnya, meninggalkan denyutan yang kemudian dijilat untuk diobati. Saliva Bokuto bagai garam yang menyiram lukanya, buat lukanya meremang bukan karena rasa sakit tapi rasa yang mendebarkan.

Pegal dengan posisi yang bertahan lebih dari sepuluh menit, Bokuto menggeser Akaashi untuk lebih mendekat, buat yang lebih muda memindahkan haluan jarinya pada sisi perut Bokuto untuk pijakan.

Akaashi terkesiap kecil.

Tangannya mencengkram abdomen si rambut abu dengan rasa penasaran; Bokuto di bawah tangannya begitu keras, begitu kukuh dengan permukaan yang mencekung menuju celananya. Harusnya Akaashi sudah menduga, sudah tahu bahwa Bokuto bukan hanya luar biasa pada mulutnya tapi juga apa yang tersimpan di bawah kain pakaiannya.

“Tolong—” desah Akaashi, terdengar seperti manusia yang paling sengsara sedunia, “—lakukan sesuatu,”

Bokuto yang kini sibuk bergantian mengecupi kuping, rahang dan apapun yang tergapai mulutnya begitu paham maksud Akaashi. Kepalanya sudah mengeruh sejak Akaashi terus menggerakkan pinggulnya tanpa disadari. Pinggul Akaashi yang berbalut jeans terlihat molek dipandangannya, Bokuto tidak berani membayangkannya tanpa celana, atau Akaashi bergerak naik-turun di pahanya, atau sambil mengendarai penisnya—

—Bokuto harus berhenti.

“Akaashi— Akaashi, ini Kamis,”

“Aku gak peduli— ayo—”

“Aku— aku ada meeting besok siang, aku gak bisa—”

Tak peduli, Akaashi mengecupi leher tebal di depannya yang entah kenapa berkeringat pada suhu 16 derajat, lanjut menggigitinya kesal.

“Jahat,” desis Akaashi, “kamu mau ninggalin aku begini?”

Satu tarikan nafas yang keras, Bokuto menggenggam dua tangan Akaashi untuk digenggam di depan dadanya, mengukungnya layak borgol.

Bokuto menggigit bibirnya, Akaashi yang tersorot lampu remang entah darimana, terlihat berantakan. Wajah memerah sampai lehernya dan mata yang tak fokus buat pikiran Bokuto memaksakan kehendaknya untuk langsung saja memakan hidangan yang tersedia tak pedulikan pekerjaannya besok. Tapi dia tak bisa tinggalkan tanggung jawabnya.

“Bolos,” pinta yang lebih muda dengan suara yang tersengal.

“Mana bisa— aku serius gak bisa.”

“Pak—”

“Aku mau, Akaashi, serius. Lihat celana aku— ya Tuhan jangan pegang!”

“Konyol. Kita sama—”

“Maaf, aku minta maaf, ya?”

Akaashi menghela nafas keras, kepalanya disandarkan pada jendela kemudi dengan mata tertutup, berusaha menenangkan panasnya, hasratnya, dan mencoba terima kenyataan bahwa pekerjaan yang lebih tua butuh banyak perhatian daripada tubuhnya.

“Besok Jum'at, kita bisa— bisa sampai minggu?” tawar yang lebih tua.

Tatapan sinis menjadi balasan sugesti konyol Bokuto. Apa katanya? Bercinta tiga hari?

Bokuto menggapai tubuh di atasnya untuk dipeluk, kemudian diusap punggungnya, “maaf.”

“You really need to make up for this.” ancam Akaashi.

Bokuto menurut, kecup rambut Akaashi sebagai janji.

bokuaka: “wah.”

-

“Kamu bilang mau ada yang diomongin sama aku?”

Tegur Akaashi, kiranya Bokuto melupakan tujuan utamanya bawa yang lebih muda keluar di Kamis malam. Tapi, kini mereka sudah sampai di depan kostan Akaashi pukul 10, tanpa ada obrolan berarti sejak sore bertemu.

Air conditioner yang berhembus dalam mobil rasanya lebih berisik dibandingkan dua lelaki di dalamnya yang tunggu waktu tepat untuk bicara, terutama yang berambut kelabu, terus menerus mengulur cuma untuk tanya,

“Kita mau gimana, sekarang?”

“Maaf, aku gak basa-basi.” lanjutnya.

Oh.

Akaashi gak perlu tiga detik untuk tahu maksud yang satunya.

“Kamu yakin? soal aku?”

“Akaashi—”

“Jawab aja?”

Bokuto menjilat bibirnya yang terasa begitu kering, dalam hati mengutuk gaya hidupnya yang terbiasa dengan pendingin ruangan.

“Iya,” pukul Bokuto telak, “aku yakin soal kamu, soal perasaan aku ke kamu, soal kita dengan status, soal aku yang—”

“—yang mau lanjut sama kamu, lanjut lebih serius. Aku mau kamu, Akaashi.”

Jari Bokuto mengetuk di kemudi mobilnya tak berirama, bagai cerminan jantungnya yang berdebum keras tak karuan. Mata bulatnya pandang kaca mobil di depannya, pusatkan perhatiannya pada tiang listrik jauh di depan yang lebih menarik dari lelaki di sampingnya.

Bohong, kepalanya sedari tapi menyugestinya untuk jangan tengok samping karena tidak siap lihat bagaimana wajah Akaashi saat mendengarkannya.

“Tapi, Akaashi, ini bukan cuma soal aku. Kita nantinya bareng— kamu sama aku— paham gak?”

“Iya, aku mau kamu, tapi... kamu? Kalau kamu nyaman sama aku, kamu suka sama aku yang tiap hari ajak kamu bicara dan main begini— kalau... kalau kamu ada rasa sama aku— oh kalo itu kecepetan kayanya ya?”

Bokuto berdehem, “aku gak mau paksa kamu— serius! Cuma— cuma aku gak mau nyerah soal kamu kalau memang ada kesempatan. Kalau aku bisa sedikit gerakkin perasaan kamu, aku mau.” Bokuto mengedip, statusnya yang diagungkan sebagai presentator genius rasanya harus dicoret sekarang juga; nyatanya otaknya begitu buntu hanya untuk bicara dengan lelaki yang jauh lebih muda.

“Aku gak tau mau janjiin kamu apa— biasanya orang yang ngejar status buat janji macam-macam, 'kan? Akaashi— aku cuma mau... mau kamu bahagia? sama aku.”

Imajinasi Bokuto secara reflek menggambarkan dirinya yang terjun keluar lewat jendela mobilnya untuk kemudian mengantuk kepalanya pada jalanan yang cukup keras karena kalimat yang akan diucap selanjutnya—

“Akaashi, aku— aku suka kamu— i really, for real, adore you so much tau? Aku—”

Ketukan jarinya, yang tidak disadarinya makin menghentak keras, dihentikan oleh yang di sampingnya. Akaashi, dengan jari lembutnya, menggenggam Bokuto, rebut pandangan Bokuto yang awalnya pada perumahan yang sepi untuk menatap yang lebih muda— yang balik menatapnya, senyum lebar di wajahnya.

“Akaashi—”

“Aku bukan atasan kamu, 'kan? Kenapa kamu gemetar?”

Bokuto lagi-lagi mengedip, pandang lelaki di sampingnya yang dengan santainya menyandar lagi pada tempat duduknya.

Yang lebih tua baru saja bermonolog panjang, yang untuk pertama kalinya, hanya untuk mengambil hati seseorang. Kepalanya bisa jadi dipenuhi asap imajiner karena berusaha mencari kata yang tepat agar berkesan baik, tapi Akaashi, si pendengar utama dan memang satu-satunya, seperti tidak mendapat efek apapun. Apa—

“Iya, Pak.”

Begitu katanya. Memecahkan kemungkinan-kemungkinan yang menggunung di kepala yang lebih tua.

Iya. Iya katanya. Iya, apa?

“Aku mau— apapun status yang kamu maksud, aku mau. Sama janji kamu... buat aku bahagia? aku mau.”

Kali ini punggung yang lebih muda menyandar pada pintu di sisinya, pandang Bokuto dengan raut wajah berbeda. Kali ini lebih sungguh-sungguh dengan suara yang jauh dari main-main.

“I like you too, Pak Bokuto. Perasaan kamu gak berat sebelah.”

Bukan, ini bukan helaan nafas pertama untuk Bokuto malam ini, tapi, dengan ketegangan yang sedari tadi selimuti diri sendiri, rasanya Bokuto akhirnya baru bisa bernafas lagi.

“Serius?”

Anggukan.

“Benar, Akaashi?”

“Iya, Pak.”

Dan satu tanggapan terbodoh Bokuto yang keluar dari bibirnya karena reflek hanya,

”...Wah”

Akaashi, yang sebenarnya sama, yang sama tegang sampai ujung kakinya yang berbalut converse, tertawa terbahak-bahak.

“Iya, wah.” ejek yang lebih muda.

Bokuto melempar tubuhnya ke kursi, mengistirahatkan punggungnya yang sedari tadi menegak, tangannya bergerak usap wajahnya, “Akaashi—”

Yang lebih muda mendengus, sekali lagi mengejek, “aku malu jawab pidato panjang kamu dan kamu cuma... wah.”

“Reflek! dan yang tadi bukan pidato—”

Erangan malu yang lebih tua terhenti karena bunyi klik di telinga kirinya.

Pemandangan yang dilihatnya terasa begitu lambat diproses otaknya untuk Bokuto memahami apa yang sebenarnya terjadi saat ini.

Oh, tadi itu suara seatbelt

Tekanan pada pahanya baru sadarkan Bokuto sepenuhnya, dengan Akaashi yang— sumpah, apa Akaashi memang secantik ini dari jarak kurang dari sepuluh senti?

—Akaashi yang mengukung tubuh yang lebih besar, menyelipkan kakinya untuk muat di kursi kemudi.

“Can we kiss— right now?”

Bokuto mematung pada sandaran kepalanya, memandang Akaashi di atasnya. Memastikan pendengarannya tidak tuli karena volume debar jantungnya yang makin tak karuan.

“Kiss...”

“Kiss.”

“Right... now?”

“Right now.”

bokuaka: feel loved

-

Pertama pintu terbuka, Akaashi tidak mengharapkan sebuah pelukan yang akan menyambutnya.

Tarikan nafas Bokuto terdengar begitu berat di pendengarannya; penuh beban, penyesalan, dan kecemasan, dibarengi dengan pelukan sesak afeksi.

Sia-sia matanya diusap sampai panas untuk mengeringkan air matanya. Rasanya malu bila Bokuto menemukannya begitu menderita, tapi sesaat jari yang lebih tua menemukan pinggangnya, mata Akaashi kembali perih, air mata kembali berlomba-lomba menjejak di pipinya.

Akaashi akhirnya menyerah, mengusak pada leher Bokuto dan menangis disana, ikut mendaratkan nadi pada tangannya untuk menggesek kemeja bagian belakang Bokuto.

Jarinya mengerat kala Bokuto makin menenggelamkannya dalam tubuhnya yang hangat.

Pintunya terbanting tertutup, ulah kaki yang berambut pirau.

Desisan Bokuto, yang artinya udah nangisnya, udah malah berbalas sebaliknya; Akaashi menangis lebih bebas. Suhu tubuh Bokuto rasanya berfungsi sebagai penghangat yang begitu panas sampai melelehkan tiimbunan es yang dingin; buat air matanya terus menyungai.

“Masih mau nangis?”

Akaashi mengangguk, rambutnya yang lembab karena shampoo menggesek di pundak yang lebar.

“Iya, iya gak apa-apaㅡ” Akaashi merasakan pinggangnya yang disapu lembut, yang juga terasa begitu besar, terasa begitu menenangkan, terasa begitu padat dan kuat untuk menjadi sandarannya, dan Akaashi kini tau Bokuto bermaksud begituㅡ menjadikan dirinya sebagai tempatnya untuk menumpu rapuhnya, “ㅡada aku, ya?”

Kecupan di pelipisnya terasa seperti tarikan yang mengangkatnya dari air keruh yang selama seminggu ini diselami.

Ada; Ada Bokuto disini.

bokuaka: pakaian malam minggu

-

Bokuto masih ngambek, helm ditutup penuh biar wajahnya gak keliatan. Alasannya? Siapa lagi kalau bukan si pacar yang statusnya masih seminggu.

“Udah dong jangan ngambek, Kak.”

“Kaca helm kamu gelap, nanti kalo kamu nabrak tukang sempol aku gak mau tau.”

“Udah dong, ganteng kok. Aku kan tadi gak bilang apa-apa.”

ㅡadalah beberapa rayuan lebih muda agar si pacar berhenti memanyun. Sepanjang jalan banyak pemuda-pemudi sibuk pacaran; motor yang digas pelan biar waktu berdua terasa lebih lama, tubuh dua pengendara yang terlalu menempel dari yang seharusnya, ketawa-ketawa di tengah macet.

Jujurnya Akaashi gak begitu iri soal gaya pacaran yang disebut tadi. Bukan tipenya. Agak berlebihan juga, 'kan dunia bukan punya berdua.

Tapi kelakuan si rambut abu di kencan pertama ini bikin kesal. Dia merasa hitam sendiri di tengah pasangan yang merah muda.

Naik motor cari kulineran jalanan memang hal yang rutin dilakukan, minimal seminggu sekali pas weekend, tapi 'kan sekarang ada status baru di antara mereka; yang bukan cuma tetangga, yang bukan kakak-adek kelas, yang bukan cuma teman doang lagi.

Kalau gak mesra, apa bedanya malam ini sama malam kemarin-kemarin?

“Kamu kalo diem aja nanti gak ada ciumㅡ”

“Iya iya iya iya ini aku ngomong nih, aku buka nih helm aku.” Potong Bokuto ketus dan terburu-buru.

Akaashi mendengus. Giliran diancam soal rated R ke atas baru kalang kabut.

“Ini katanya malam pacaran pertama, malah ngambek.”

“Justru karena pacaran,” Bokuto memutar bola matanya malas, “aku harus beda dari kemarin. Masa ngajak jalan pacar pake kolor sama kaos doang? Harus ganteng lah?”

“Iya kan aku bilang gantengㅡ”

“Coba ini liat kamuㅡ” iya, mereka masih dalam perjalanan, motor digas gak terlalu cepat dan tangan Bokuto melayang ke belakang untuk pukul paha telanjang rambut hitam gulita, “ㅡini kan celana yang kamu pake tadi pagi? Kok gak dandan?”

“Buat apa sih 'kan ketemu kamu doang? Emang mau ketemu presiden?”

“Aku pacar kamu sekarang, Akaashi,” Katanya setengah teriak karena laju motor dipercepat. Makin ramainya kendaraan yang lalu lalang buat mereka gak bisa seleluasa tadi, “lebih penting seribu kali lipat.”

“Males. Kita kan mau beli baso bakar sama mie goreng doang.”

“Loh, kok gitu?”

Protesannya tak berbuah jawaban, Bokuto melirik pada kaca spionnya. Dilihatnya Akaashi yang menengok samping, berusaha terlihat cuek.

Cuma lampu-lampu kendaraan dan jalanan yang jadi penerang untuk mata Bokuto, tapi dia sumpah bisa lihat pipi si pacar bersemu.

”... baru.”

Bokuto mengeryit tak mendengar, “Hah?”

“Ini sweater baru!” Balas yang lebih muda gusar, kali ini lebih kencang tepat di telinga si pemegang kemudi, “Kamunya aja yang gak peka. Aku juga dandan kok! tapi gak seheboh kamu.”

Yang dicela membulatkan bibirnya berlebihan, “tuhkan ngejek lagi?!”

“Ya emang kan? Buat apa pake pomade begini? Wangi shampoo kamu gak kecium jadinya. Gak suka.”

“Cuma gara-gara shampoo doang kamu marah? Serius?”

“Terserah aku lah? Males, udah turunin aja aku disini.”

“Bener ya? Aku turunin disini?”

“Tega?”

“Ya enggak,” Bokuto menghela nafas, mulai lelah karena perseteruan yang dilakukan sambil melawan angin malam begini, “udah ah aku laper, berantemnya terusin lagi kalo udah makan.”

Ini malam pertama pacaran mereka, malam pertama makan baso bakar pake status baru, tapi kenyataannya mereka berantem sambil pukul-pukulan paha; untuk Akaashi, tangannya iseng tarik-tarik benang gak jelas yang menyembul dari jeans robek yang melekat pada kaki Bokuto.

Tapi, mereka akhirnya baikan kok. Soalnya mie goreng depan Perumahan Puri yang jadi langganan masih enak seperti biasa.

-

“Terus, jadi boleh cium gak?”

“Sana cium pomade kamu aja.”

-

ushikage ㅡ lompat pagi.

⚠️: mild fluffy-nsfw

-

Awalnya fokus Wakatoshi penuh pada tiga piring yang secara ajaib bisa dibawa cuma dengan dua tangan; berisi beberapa lembar roti panggang, dua telur mata sapi, juga sosis dengan saus dipinggirannya.

Tapi semuanya pecah begitu saja dengan suara dentuman kaki yang menyeplak pada lantai dengan frekuensi cepat.

Wakatoshi menghela nafas dalam hati, kebiasaan favorit kesayangannya yang baru.

Pemuda jangkung itu mengeratkan tangannya pada piring plastik tadi, bersiap dengan apa yang bakal datang, “Tobioㅡ”

bruk

“ㅡbahaya.”

Yang diperingati hanya tertawa lemah. Ternyata kadar kantuknya masih lebih tinggi dari sadarnya.

“Pagi, Toshi.”

Yang lebih tua, sambil menanggung beban berat di punggungnya, melanjutkan perjalanannya menuju meja makan yang tinggal beberapa pijak.

“Pagi juga, Tobio. Ngomong-ngomong, tadi aku lagi pegang piring, kalo jatuh gimana?”

Si rambut biru gelita didudukkan di salah satu kursi sebelum si penggendong memastikan piring sudah aman tertata di meja.

Tobio mengambil jatah rotinya seperti tidak bersalah.

“Habis, liat punggung kamu rasanya aku mau lompat naikㅡ” katanya ditengah kunyahannya, “ㅡkamu juga ninggalin aku sendiri di kamar.”

Chef pagi ini ikut memakan rotinya, tetapi dengan menumpuk semua bahan yang disiapkannya untuk kemudian dilahap.

“Siapa bayi yang suka ngerengek kalo telat sarapan?”

“Gak ada bayi.”

“Kamu, Tobio.”

“Mana ada bayi yang sengaja kamu bikin nangis semaleman?”

Terdengar komikal, tapi Wakatoshi benar-benar tersedak.

Tobio tertawa kecil, sukses menjahili pacarnya, “ada susu gak? aku ambilin ya?”

Yang suka susu itu kamu, tobio.

Tapi Wakatoshi butuh untuk meredakan serat di kerongkongan karena gerusan roti yang kering, jadi dia mengangguk, walaupun Tobio sudah setengah jalan menuju kulkas.

“Hari ini kamu jadi beresin buku-buku kamu?”

Jawaban iya yang sudah diujung lidah tak jadi diucap lihat yang manis di matanya memanyun bibir.

“Kenapa memangnya?”

“Hari ini libur, aku mau main.”

Wakatoshi menyipit, “di ranjang?”

“Bukan.” jawab Tobio sinis, “gak tauㅡ kemana aja? mall? dufan? atau seaworld? hangout di cafe juga boleh.”

Memang, sepasang ini tidak punya waktu untuk kencan. Ada latihan tanding tiap minggu yang harus diberikan fokus besar dan latihan yang konsisten. Jangankan kencan, tidur cukup delapan jam pun sulit. Makanya, semalam adalah waktu kangen-kangenan mereka; hobi tersembunyi Wakatoshi buat Tobio nangis semalaman terlaksana juga.

Sebentar, kencan? jadi Tobio mengajaknya berkencan?

“Kamu sekangen itu, ya? Tumben ngajak pacaran.”

“Sekalian keluar kok, mauㅡ mau beli sepatu baru.” belanya cuek sambil menuang susunya.

Padahal sepatu adalah kado ulang tahunnya sebulan lalu dari si pacar.

“Iya, boleh. Mau kemana?”

Mengedip, “bener?”

“Iya, ayo.”

Kedipan lagi, “Ohㅡ oh oke nanti aku cari-cari tempat jalan yang asik, ya?”

“Jangan yang bikin capek, ya,” lelaki yang masih dengan bedheadnya menumpuk semua wadah di meja makan untuk dicuci, “lusa kita masuk.”

Yang lebih muda mengangguk senang, kakinya berlari mengejar yang satu.

Lagi-lagi

“Tobioㅡ”

bruk

“ㅡbahaya.”

Mau bagaimana lagi? Mengalah, Wakatoshi membawa yang lebih kecil dipunggungnya, tangannya mulai membilas bekas sarapannya. Yang lebih tua tersenyum geli saat kesayangannya mengecupi pundaknya yang telanjang; entah, rasanya Tobio punya afeksi khusus dengan bagian belakang tubuhnya. Yang menggelungi punggungnya mengayun-ngayun memperlakukan si punggung besar sebagai ayunan.

“Haㅡ”

Wakatoshi mengedip, mendengar erangan rendahㅡsangat rendahㅡ tepat di telinganya. Khawatir, tangannya mengelus kaki Tobio yang melingkar di perutnya.

“Tobio? Kenapa?”

Yang ditanya memeluk lehernya lebih erat, “semalem bukannya kamu udah bersihin aku?”

Tangan yang sibuk dengan gelas terdiam, “udah? Kenapa?”

Tobio senyap sesaat, kukunya mengerat pada tulang belikat si pacar, “...keluar.”

“Keluar... maksudnya?”

Tubuh manja di belakang menggoyangkan tubuhnya, “iya... keluar,” bisiknya malu, “kamu pasti gak bersihin sampe dalam?”

Wakatoshi, ayo minta maaf sama piring yang kebanting.

Wakatoshi tertegun dengan imajinasi seksinya sendiri.

”...Aku takut ngebangunin kamu semalem, jadi ngeruknya gak begitu dalㅡ”

“Udah! Udah! Malu!” Yang berdiri dipeluk lebih erat, “ayo mandi, tanggung jawab.”

“Sekarang?”

“Tahun depan.”

“Jorok.”

“Salah siapa?”

“Aku.” jangan tanya gimana caranya, tapi tubuh Tobio rasanya gak ada apa-apa untuk seorang Wakatoshi Ushijima untuk diputar ke depan, buat mereka berhadapan.

Masih dengan wajah tenang, Tobio dikecup.

“Ayo mandi.”

“Cuma mandi?”

”...Kamu maunya gimana?”

“Kita gak jogging pagi ini.”

“Mau jogging di kamar mandi, begitu?”

Tobio tertawa, tawa manis pertama pagi ini, begitu membutakan Wakatoshi yang berjarak cuma beberapa senti dari matahari pribadinya.

“Iya, ayo jogging sambil main air.”

Bokuaka – spoils

-

Akaashi, tanpa melebih-lebihkan, bisa saja dinobatkan sebagai malaikat penolong sehari-harinya.

Bukan; Akaashi ini bukannya punya kekuatan seperti penurun hujan saat dehidrasi, bukan juga dengan ajaib bisa bawanya terbang mengarungi udara, bukan punya kemampuan teleportasi yang bisa datang saat dibutuhkan, yang lebih muda juga tidak datang dari lampu ajaib yang bisa mengabulkan tiga permohonan.

Akaashi Keiji lebih dari hanya mengabulkan tiga permohonan.

Yang lebih muda memahaminya bagaikan komik yang dibaca berulang kali untuk dihapal tiap panelnya, tiap konversasinya, bahkan garis efek dramatisasi untuk pada karakternya.

Suaminya itu tanpa banyak janji akan menghadiri pertandingan voli yang diikuti murid-muridnya; meredakan rasa gugup Bokuto sebagai sang pelatih yang memikul beban besar karena pengaruhnya yang cukup penting. Si rambut hitam akan melambai dengan senyum menenangkan dari bangku penonton kala kepalanya buntu strategi. Hebat, bahkan tanpa mengadu Akaashi tau apa-apa yang dipikirkan Bokuto dan iya, melihat Akaashi tersenyum penuh percaya seolah mengatakan ‘bisa, kamu pasti bisa’, Bokuto rasanya melihat lebih jernih, celah untuk bawa timnya memenangkan set pertandingan muncul dan akhirnya Bokuto memang seluar biasa yang diharapkan Akaashi.

Saat yang lebih tua mengeluh tidak punya banyak waktu untuk membeli makan siang karena terlalu sibuk mengawasi porsi latihan tiap anak didiknya, Akaashi dengan telaten menyiapkan bekal ringan untuk dibawa Bokuto. Bahkan yang lebih muda kadang buat bertumpuk-tumpuk onigiri untuk dimakan bersama murid-muridnya. Bokuto akan tertawa bangga saat muridnya memuji nasi kepal buatan suaminya itu, dalam hati berterima kasih karena Akaashi harus bangun pagi-pagi sekali demi ini.

Kesayangannya itu juga akan menyeduhkan teh jahe kesukaannya berikut potongan bolu sarat wangi pandan yang buat lelahnya menguap hilang. Bokuto yang awalnya bahkan tak punya energi untuk mendesah lelah tiba-tiba akan berisik, mengeluh soal tanggungan biaya untuk muridnya yang kurang mencukupi, dua anak muridnya yang gak akur, sampai pelatih utama yang kadang absen buatnya bertanggung jawab sendiri untuk melatih 23 muridnya. Akaashi akan mengangguk, lebih banyak mendengarkan dibanding tawarkan solusi. Tangannya tidak diam, menekan otot-otot tegang Bokuto sampai yang lebih tua terlelap di pangkuannya.

Bokuto rasa Akaashi begitu memanjakannya, sampai Bokuto kadang merasa bersalah. Apa yang bisa dilakukannya untuk membalas Akaashi?

Pertanyaannya itu dibalas tawa manis, daun telinga Bokuto kembali dipijat oleh mantan rekan voli di masa SMA-nya itu.

I love taking care of you, katanya. Aku juga gak mungkin kan minta kamu bantu aku nyelesaiin teks terjemahan aku? Betul juga. Itu bukan spesialisasinya, Just give me hugs and kisses when I need them, lanjutnya.

Permintaan Akaashi terlalu mudah didengar Bokuto.

Dan malam ini rasanya jadi salah satu malam-malam itu.

Jum’at malam; satu dari tujuh malam yang mungkin paling dinanti. Setelah habis-habisan merelakan waktu dan tenaga,memutar otak dan memeras keringat, Jum’at malam bagaikan kado bagi mereka para pejuang kehidupan. Selain biasa dihabiskan dengan tidur untuk kembali beraktivitas Seninnya, beberapa orang memilih untuk berkerumun, menghubungi teman di kontak secara acak untuk saling bersua, berbagi penat, mengeluh atas hidup masing-masing dan menghabiskan waktu sampai bulan tenggelam lagi.

Sayangnya, hal ini tidak berlaku untuk Akaashi. Lelaki berumur 26 itu awalnya punya rencana sendiri untuk mencicil teks terjemahannya. Dua hari lalu, dia dan dua rekannya mendapat projek yang cukup besar untuk dibagi bertiga. Akaashi yang belajar dari pengalaman yang sudah-sudah tidak mau terlalu bersantai dan menyerahkan dokumen terlalu sempit dengan jarak deadline.

“Keiji, udah jam 11.” Tegur Bokuto yang melihat suaminya yang sudah pindah dari meja kerjanya ke kasur, tapi masih dengan laptop dan beberapa lembar kertas berserakan di tempat tidur.

Yang lebih muda mengangguk, tangannya mengusap lelah matanya yang dibingkai kacamata, “satu paragraf lagi, ya?”

Si rambut abu tanpa balasan mendekati Akaashi, menggeser tubuh Akaashi untuk maju, memberikannya spasi antara punggung dan headboard, buat lelaki yang bertubuh lebih besar menjadikan dirinya sendiri sandaran punggung lelaki yang satu.

“Nanti kamu bungkuk,” omel Bokuto, tangannya dengan lembut menekan punggung Akaashi, “aku kan udah bilang, kalo kerja jangan lupa nyender.”

Tekanan jari jemari pada punggungnya buat yang lebih muda menghentikan ketikannya, tidak menyadari bahwa tubuhnya begitu tegang dan kaku disana.

Bokuto menyenderkan tubuh yang lebih kecil pada tubuh bagian depannya, kemudian meraih ponselnya, membiarkan Akaashi meneruskan pekerjaannya.

Akaashi menyandar nyaman, dengan fokus membaca teks asli untuk kemudian diterjemahkan dengan cermat, sambil beberapa kali berpindah-pindah aplikasi pada laptopnya.

Itu yang Akaashi mau.

Tapi nyatanya perhatiannya sudah pecah sejak Bokuto menyandarkan punggungnya pada tubuhnya yang bidang—yang bukannya ditinggal bersamaan dengan statusnya sebagai atlet, melainkan tetap dijaga dan Akaashi tidak akan menolak untuk setuju bahwa suaminya itu bahkan lebih besar dibandingkan saat masa-masa kejayaannya.

Jari Bokuto tidak meninggalkannya; masih menekan tubuh kaku Akaashi walaupun singgahannya sudah berpindah pada pinggulnya. Bokuto bergerak memutari lingkaran ramping suaminya, tapi menekan lebih lembut pada perut bawahnya. Tangannya bergantian karena yang satu sedang menyelami postingan orang-orang di platform sosial medianya.

Akaashi bergerak sedikit, berusaha mengembalikan fokusnya pada layar menyala di depannya.

Sayang, Bokuto yang tadi baru keluar dari showernya tidak membantu sama sekali. Mereka berbagi produk mandi yang sama, tapi raksi yang menguar dari tubuh mantan kaptennya itu selalu berbeda.

Mengingatkan Akaashi pada masa lalu, masa pacarannya yang begitu mesra, yang begitu penuh rahasia; kecupan sembunyi-sembunyi saat teman setimnya berfokus pada bola, remasan ringan di pinggang yang terasa nakal (ini Bokuto) saat Akaashi serius mendengarkan arahan dari pelatihnya, ketegangan di balik pintu ruang perkakas saat Bokuto ingin menciumnya lebih serius.

Yang lebih tua tidak menyadari Akaashi yang sejak tadi sudah berhenti mengetik pada keyboardnya, dan lebih menikmati kompresi tiap ujung tangannya.

Akaashi mendengus pelan merasakan perutnya yang diaduk. Raksi dan kompresi yang kurang buatnya menderita. Bukan disitu maunya. Matanya yang perhatikan pijatan sang suami buatnya memejamkan mata. Tiap lekuk jari besar Bokuto pada kulit kakinya yang telanjang, warna kulit tidak kontras akibat frekuensi paparan matahari yang jauh berbeda, Bokuto yang rasanya besar dan Akaashi yang merasa kecil sekali di bawahnya.

Tiba-tiba suara tawa berat mengaum tepat di samping telinga Akaashi.

Akaashi terbelalak, merasa malu, pasti Bokuto menertawainya karena tahu betul apa yang dia lakukan padanya—

“Kamu udah liat postingan Kuroo? Dia ngapain, sih?” cerita Bokuto dengan enteng.

—bukan, ternyata.

Akaashi menolak peduli dengan postingan sahabat suaminya itu— lagipula tidak begitu penting, ada yang lebih mendesak disini— dan memilih mencium rahang Bokuto tepat di belakangnya.

“Kamu jahat banget, ya?”

-

Your wish is my command, orang bilang, dan Akaashi yang meminta lewat satu kecup di rahang dengan wajah sayu adalah perintah; Bokuto tanpa jeda menyamankan Akaashi di atas ranjangnya, buru-buru bereskan laptop dan kertasnya, kemudian terjun mencium Akaashi.

Bokuto biasa membawa mereka perlahan-lahan, ingin membuai dan mengusili Akaashi lebih jauh sampai yang lebih muda menuntut lagi, tapi malam ini Akaashi sudah frustasi, meraih-raih rahangnya untuk mendekat, memagut lebih rakus bibir yang lebih tebal di atasnya.

Yang lebih tua melepas sejenak, mengecup sayang pipi Akaashi.

“Kamu kenapa?”

“Udah dua minggu,” protesnya, “dan kamu malah godain aku.”

Bokuto mengedip, godain... apa?

Mengesampingkan bingungnya, yang bersurai abu mulai lagi, mengudap bibir merekah di bawahnya, gumpalan dosa yang tak bosan Bokuto lakukan berulang kali.

Akaashi sangat menyukai ciumannya dengan si kapten— bukannya ada komparasi; ciuman pertamanya adalah Bokuto dan sampai sekarang hanya Bokuto yang pernah singgah berpetualang pada tubuhnya. Ada hal unik dan mendebarkan karena mereka tumbuh dan berkembang bersama; ciuman pertamanya dengan Bokuto begitu takut-takut dan malu, penuh rasa penasaran dengan tangan mengepal karena khawatir tidak akan berjalan baik. Sampai kini mereka bisa melakukannya tanpa membuka mata; cukup hirupan nafas satu sama lain dan mereka dapat menyentuh titik yang tepat.

“Hmmh—” lagi-lagi, Bokuto mengincar langit mulutnya. Yang lebih tua senang buatnya gemetar karena ekstasi, karena ketidakmampuannya membalas balik Bokuto.

Tangan besar Bokuto merayap naik, mengelus dada Akaashi yang berbalut kaos putih polos.

Berputar, menggaruk, dan mencubit—

Yang lebih muda meremas leher Bokuto untuk menjauh, lalu mengerang kesal, “jangan dada aku—”

“Malu?” ejeknya lelaki yang di atas, “kamu suka, aku cuma mau buat kamu seneng.”

“Enggak—”

Bokuto bergerak, menanggalkan kain pada suaminya, kemudian berpindah pada pakaiannya sendiri.

Ya Tuhan— rasanya memanggil Tuhan bukan reflek yang tepat saat melihat melihat tubuh telanjang.

Lagi-lagi, tubuh Bokuto memang favoritnya. Bukan karena Akaashi sudah berkali-kali mengecapnya, tapi bagaimana Bokuto selalu terlihat besar dan terasa keras di bawah jarinya. Tiap lekuk pada kulit madunya, happy trails yang tak sabar Akaashi jejaki sampai ujung jalannya.

Itu lah yang akhirnya Akaashi lakukan.

“I will... suck you.”

Pernyataan, bukan pertanyaan.

Akaashi mendorong Bokuto halus tapi penuh ambisi. Jari cantiknya mengelus perut kerasnya yang sejak tadi mengganggu pikirannya, kemudian turun menarik pelan celana pendek yang tak berguna.

Bokuto menggigit bibirnya melihat raut wajah Akaashi yang menggelap saat kejantanannya tepat di depan wajahnya.

“Akaashi—”

Yang dipanggil tak mendengar, justru mencumbu ujung kewarasan Bokuto. Lidahnya meliuk disana-sini, menggores uratnya dengan air liur, sekaligus menggores kepercayaan diri Bokuto karena fuck dia bisa saja selesai saat ini dengan melihat wajah Akaashi yang penuh amoralitas.

Rambut arangnya digaruk ke belakang, bagai penyemangat agar yang sedang giat bekerja di bawah sana untuk melahap lebih jauh.

Ingin yang lebih muda sama-sama kewalahan, Bokuto menegakkan tubuhnya yang semula bersandar, mengubah posisi Akaashi agar tubuh bagian bawahnya mudah dijangkau, tapi tetap masih mengurusi kejantanannya.

“Teruskan aja, Akaashi.” Titah yang lebih tua tanpa celah.

Dengan lagi-lagi bermoda air liur, Bokuto menggoda Akaashi tepat pada titiknya yang paling tercela.

Akaashi mendesah kaget, kakinya menendang spreinya.

Bokuto senang— senang sekali menggoda Akaashi. Mendorong Akaashi sampai batasnya, menunggu yang lebih muda menyerah tunduk padanya. Bahkan ada hari-hari dimana Bokuto membuat Akaashi menangis karena disentuh bukan pada tempatnya.

Telunjuk Bokuto yang basah setelah Bokuto menyiram bokong Akaashi dengan lube masuk sampai pangkalnya, dengan tertarik mengorek disana, lalu menambah dua, kemudian tiga—

Akaashi melepas penis Bokuto yang semula dikulum dalam mulutnya, keningnya menyender disana.

“Kak—”

“Suka, gak?”

Akaashi memerah sampai lehernya. Tentu saja suka, tapi gak begini, bukan itu yang Akaashi mau.

Bokuto yang perhatian menggiring kembali Akaashi untuk berbaring menghadap langit-langit kamarnya. Dengan begini jelas sekali seberantakan apa Akaashi saat ini.

Bulir keringat yang menjejak kulitnya yang memerah, mata yang sayu melayu bagaikan hilang akal dan rambut yang mencuat disana-sini, jangan lupa bibirnya yang basah tak mau mengatup; Akaashi merasa tak cukup bernafas dari hidungnya.

Bokuto kembali memasukkan jarinya; kali ini langsung tiga, menjangkau jauh-jauh ke dalam Akaashi.

“Akaashi? Akaashi?”

Yang dipanggil menengok, menatap Bokuto yang mengukungnya, menujukkan kuasa pada tubuhnya.

“Are you close?”

Akaashi menggeleng, belum, masih belum

“Oh ya? Tapi kaki kamu udah gemetar?”

Benar kata Bokuto, Kaki Akaashi sudah bergerak-gerak frustasi, berharap geraknya bisa menyinggung titik manisnya.

Akaashi masih bersikeras menggeleng.

Masih dengan jari yang telaten bergerak di bawah, Bokuto mencium pelipis suami kesayangannya. Sedikit terkekeh melihat Akaashi yang matanya tak berfokus padanya.

“Hari ini kamu manja banget—” Bokuto mendekatkan bibirnya pada telinga di depannya, kemudian berbisik, “—mommy.”

Jangan, jangan, jangan, jangan, janganjangan mommy.

Suka sekali; Bokuto suka sekali saat Akaashi mengerang, ingin marah tapi tubuhnya merespon dengan luar biasa. Tubuh yang lebih kecil menggeser pada Bokuto, kakinya menutup, menjepit tangan Bokuto di antaranya.

Bokuto dan Akaashi sudah melalukan ini bertahun-tahun. Sudah berkali-kali bereksperimen di atas ranjang dengan banyak hal; mainan, posisi, sampai nama, terutama Bokuto yang banyak memanggilnya dengan banyak nama, dari kitten, princess, dan masih banyak lagi.

Dan mommy, yang awalnya hanya dilontarkan iseng, mendapat respon ajaib. Sekali malam Akaashi pernah ejakulasi empat kali karena Bokuto mendesahkan nama itu semalaman.

Kembali ke saat ini, Akaashi menggeleng saat tangan Bokuto makin dalam mengeruk lubangnya.

“Kamu basah banget disini, mommy.” ejek Bokuto, merasa tidak bersalah karena kelakuannya sendiri, “kamu bakal ejakulasi cuma karena tangan aja? serius?”

Jahat. Bokuto dalam mode jahil melecehkan Akaashi terdengar sangat jahat. Nyatanya, Bokuto tak akan melakukannya apabila Akaashi tidak menyukainya.

“Kalau begini terus, kamu bisa hamil, mommy.”

Sialan, sialan, sialan.

“Mau ya? Aku buat hamil”

Akaashi menggeleng lagi, kali ini matanya ikut basah karena stimulasi yang Bokuto berikan pada indra perasa dan pendengarnya. Kakinya menendang lebih keras.

“Ayo keluar, mommy.” Tawar Bokuto, sambil menarik keluar tangannya.

Akaashi hampir berteriak putus asa, kenapa kenapa kenapa

Oh.

Bokuto dengan cekatan berpindah, membungkuk di depan kaki Akaashi yang terbuka lebar.

“Haa— Hhhm— Kak— Ya Tuhan Kak Bokuto—”

Lidahnya yang kali ini menusuk Akaashi. Tanpa ragu menjilat rakus kerutan yang memerah karena stimulasi konstan dari jari-jari besarnya. Tujuan Bokuto satu disana—

Akaashi begitu dekat— sangat dekat. Lidah Bokuto tidak menggapai begitu jauh seperti jarinya, tapi basahnya, geliangnya yang menekan dinding sensitif Akaashi punya sensasi sendiri untuk Akaashi.

Akaashi keluar, tangannya menjambak rambut abu, membuat Bokuto tenggelam disela kakinya.

—tujuan Bokuto satu disana, merasakan bagaimana lubang Akaashi yang menjepit lidahnya saat keluar.

Yang bersurai hitam menangis, takjub. Dua minggu tanpa ejakulasi, dan malam ini Bokuto memberikannya dengan cara paling mengagumkan, buat Akaashi betah melayang disana.

Si mantan kakak kelas bangun, menghampiri Akaashi pasca ejakulasinya untuk dikecupi di wajahnya, lehernya.

Cantik, cantik sekali. Berantakan dan di luar akal.

“Gila kamu— cantik Akaashi, cantik banget.”

Walau meragukan perkataan Bokuto, karena omong kosong seseorang terlihat cantik dalam situasi seperti itu, Akaashi tersipu, mengais kecupan Bokuto untuk bibirnya.

“Akaashi— mommy, aku masuk, ya? Aku gak tahan lagi mau ngerasain kamu.”

Yang lebih muda mengangguk banyak, mau, Akaashi mau lelaki yang dicintanya untuk kembali mengoyak rasionalitasnya, ingin Bokuto mencabut kewarasannya untuk puncak ekstasi sekali lagi.

Penis Bokuto yang basah karena cairan pra-ejakulasinya masuk begitu saja, menembus urat-urat resistansi pada rektum lubang Akaashi.

Bukan desahan, melainkan rengekan menyenangkan sarat nikmat keluar dari bibir tipisnya. Akaashi berusaha untuk tidak berisik tapi mau bagaimana kalau kenikmatan pada titik manisnya yang distimulasi Bokuto mendengung kacau di dalamnya?

Kaptennya itu bukan hanya besar di ototnya. Bokuto besar dimana-mana, Penisnya gemuk dengan urat yang tebal. Pertama kali Akaashi membawanya masuk ke dalam tubuhnya, Akaashi menangis karena kewalahan dengan ukurannya yang rasanya mencabik bagian dalamnya.

Bertahun-tahun, dan kali ini hanya nikmat yang memancar sampai ujung kakinya karena dambaannya terpuaskan.

“Akaashi? gak apa-apa?” Tanya Bokuto, dengan pinggang yang menyeret lambat agar Akaashi terbiasa. Dua minggu dan sempitnya Akaashi begitu memabukkan sekaligus menakutkan karena penisnya terasa diremas.

Anggukan dan Bokuto melanjutkan lagi stimulasinya pada dinding lubang Akaashi.

Bokuto membentur-bentur penisnya lebih dalam, menghabiskan batang penisnya untuk masuk dilahap Akaashi. Dorongan yang awalnya lambat dan menyeret-nyeret akhirnya terlepas kendali. Bokuto mengejar pelepasannya yang sudah tak tertahan sejak melihat Akaashi berantakan karena pelepasan pertamanya malam ini.

“Let me cum inside, mommy.” geram Bokuto, suaranya berat sarat nafsu, “i will let it out inside so much, so much you will really get pregnant, ya?”

Akaashi mendenguk frustasi, perutnya mual karena birahinya sendiri. Penisnya sudah ikut menegang kembali sejak Bokuto melakukan penetrasi. Ditambah Bokuto yang tidak berhenti mengucap kalimat kotor dengan suaranya yang serak buatnya berdebar. Mana ada yang menyangka? Bokuto yang banyak berlaku riang, berisik dan konyol ternyata begini senang menggoda dengan suaranya yang penuh dosa?

“Please, please,” punggung Bokuto digores sedemikian rupa. Hanya dengan Imajinasinya tentang Bokuto yang meninggalkan cairannya di dalam buat Akaashi gemetar menuju ejakulasi ke dua malam ini, “di dalam, Kak. Di dalam—”

Gerakkan pinggang Bokuto menguat, Akaashi yang cantik dengan lidah yang sesekali keluar dari mulutnya juga irama nafas yang berantakan buat Bokuto tidak sabar lagi, tidak ingin menahannya lagi.

“Here you go, Akaashi—”

Bukan cuma Bokuto, Akaashi pun menggapai ejakulasinya sekali lagi.

Akaashi menderum karena stimulasi berlebihan, kepalanya begitu kosong, membiarkan Bokuto menjilat lehernya yang terpampang terbuka di depan wajahnya.

“Udah sayang, udah.” bisik Bokuto penuh afeksi, bibir masih sibuk mengecup Akaashi, “kamu boleh tidur, biar aku yang bersihin kamu.”

Akaashi tersenyum dengan maksud manis yang lebih tua. Ia mengecup lemas pundak di depannya, matanya berat dilanda lelah yang tiba-tiba mengantuk kesadarannya, “nanti aja, tiduran dulu sama aku.”

Your wish is my command, kata orang. Bokuto mengeratkan pelukannya tanda setuju, walau tubuh mereka masih hangat karena keringat yang bercucuran. Toh Air Conditioner akan mendinginkan mereka kembali.

Bokuaka – Kembang api

-

Kalau Bokuto boleh menilai, tempatnya dan Akaashi saat ini adalah tempat terburuk untuk berciuman.

Tapi saat ini, Bokuto tidak ingin memakai akal sehatnya; mana bisa dia pakai akal sehatnya? Akaashi, akaashi yang ini, meminta untuk dicium.

Mereka berdua ada di tempat parkiran mobil yang masih sepi karena Summer Matsuri yang mereka kunjungi memang belum selesai. Sayup-sayup suara berisik dari festival itu bahkan masih terdengar.

Bokuto menolak untuk peduli; hatinya sedang sibuk meledak-ledak. Bokuto yang tertarik pada Akaashi dari pertemuan pertama, mengagumi cantik dan gerak-geriknya, melewati malam-malam kurang tidur karena rasa penasarannya, kini diberi kesempatan untuk mencium laki-laki dalam fantasinya.

Awalnya hanya sekali, kecupan selintas, seperti mencicipi makanan yang masih ragu untuk dimakan karena tak tahu rasanya.

Selanjutnya dua kali, lalu tiga, kemudian empat- dan akhirnya keduanya mulai serakah, ingin lagi, ingin merasa lebih jauh. Akhirnya mulai menikmati rasa pada bibir masing-masing.

Hal ini begitu mudah untuk Bokuto. Bibirnya tanpa sulit meraup bibir tipis Akaashi. Manis. Manisan apel yang dimakan Akaashi juga dicicipi oleh Bokuto dengan cara yang luar biasa.

Akaashi begitu submit, begitu menyerah pada kerakusan Bokuto melumat bibirnya. Matanya menutup, tanpa tahu Bokuto yang sesekali membuka matanya untuk memastikan, mencari tahu apa Akaashi menikmatinya sepertinya.

Pertama kali lidah Bokuto ikut dalam gerak bibirnya, eratan tangan yang lebih muda pada pundak Bokuto bergerak.

Bokuto menjarak begitu sedikit karena khawatir Akaashi tidak menyukainya, deru nafas Akaashi yang terhitung di kepalanya buat Bokuto ingin lebih.

“Akaashi-”

“La-lagi.”

Satu kata dan Bokuto menyelam lagi, mengantuk punggung Akaashi sekali lagi pada pintu mobilnya.

Lagi.

Lagi.

Lagi.

Akaashi menggeram kecil saat gigi mereka terantuk satu sama lain. Bokuto menyeret lidahnya lebih dalam pada mulut Akaashi sebagai permintaan maaf.

Bokuto memang begitu lapar, begitu suka dengan Akaashi yang menyerahkan diri padanya. Tapi Bokuto tidak begitu liar untuk tidak peduli; sesekali lelaki berambut abu itu menjarak dari Akaashi, biarkan yang lebih muda menghirup udara untuk paru-parunya.

Tapi Akaashi juga yang berkali-kali memajukan tubuhnya ke atas, meraih lagi bibir Bokuto untuk diciumnya lagi.

Ya Tuhan. Bokuto merasa gak waras. Akaashi yang menuntut bibirnya dengan wajah yang kewalahan buat fantasi Bokuto makin meliar.

“Aku udah bilang, Pak-” kata Akaashi, tiba-tiba bicara sebelum kembali mengecup ujung bibir Bokuto, “-aku tidak tenang sama sekali.”

Bokuaka – Selesai

-

“Buat apa kesini? Sadar jauhnya gimana?”

Adalah kalimat pemecah sunyi pertama setelah berdiam entah berapa lamanya, biarkan bunyi kipas yang berputar di langit-langit tengah ruangan yang berisik menjadi pengisi suara. Yang berambut abu terdiam, sadar akan langkah impulsif gilanya yang langsung memesan tiket ke kampung halamannya, bermodal alamat yang tidak pernah didatanginya.

Kedua kepala sama-sama menatap lantai di bawah kaki telanjang, sibuk dengan ribut di kepala masing-masing.

Kaki panjang Akaashi rasanya tidak sekurus itu di ingatan Bokuto. Yang lebih tua tau voli yang berhenti adalah salah satu pengaruhnya, tapi dengar keadaan Akaashi, Bokuto yakin bukan itu masalah utamanya.

“Aku… minta maaf—“

“Apa gak capek? Aku capek dengernya.” Potong Akaashi buru-buru—putus asa. Ruang yang sunyi buat Bokuto dengar jelas suara Akaashi yang menelan ucapannya—kata yang lebih dari berat dari ‘capek’, lebih dari keluhannya atas permintaan Bokuto yang itu-itu aja, yang diucapkan beribu kali tidak akan mengubah tali mereka, janji bersama yang teringkari, hari-hari yang diyakini selamanya menjadi kenangan—tidak akan mengubah kenyataan bahwa yang satu masih duduk mendamba, sedang yang satu sudah berdiri untuk pergi.

Akaashi menahan tangisnya.

Bokuto meringis melihatnya, mengingat tekadnya di zaman sekolah untuk buat Akaashi bahagia, kini ia adalah perangsang utama air mata yang muda untuk menyungai di pipinya yang kehilangan warna merah mudanya—merah muda yang muncul saat pipi Akaashi naik karena tertawa.

“Akaashi—“ tangan besar Bokuto meraih tangan yang selalu familiar didekapnya, suhu kulit dan gesekan tiap porinya yang buatnya melintasi masa lalu, “aku sakit liat kamu begini.”

Genggaman pada tangannya mengerat, bukan—Akaashi tahu tangannya digenggam bukan karena yang lebih tua ingin, bukan karena Bokuto ingin meraihnya, melainkan gerak antisipasi. Yang lebih tua pasti ingat kebiasaan buruknya yang mengupas kulit kukunya saat ia merasa frustasi.

Akaashi menangis.

Bokutonya benar-benar bukan miliknya lagi. Bokuto benar-benar tidak ada niat untuk menggapainya lagi, tidak ada lagi rasa yang sama, tidak ada lagi keinginan untuk kembali.

Akaashi menggeser diri keras untuk merengkuh tubuh kesukaannya; tubuh yang di hari-hari bahagianya adalah tempatnya menumpahkan kegembiraan yang berlebihan atau tempatnya lari dari ekspektasi orang tuanya. Tubuh yang begitu hangat, selimut favoritnya saat udara terlalu dingin untuk tubuh telanjangnya. Tubuh penuh aroma penenang di kala gusarnya—garam dan kayu manis; keringat kemenangan dan parfum murah pilihannya.

Akaashi menangis lebih keras.

Akaashi hanya ingin digenggam dengan perasaan yang sama, tapi Bokuto sudah begitu jauh, jauh bukan miliknya.

Suaranya putus-putus di telinga yang lebih tua, tangisnya terseret-seret melewati tenggorokannya, nafasnya frustasi terpompa dari paru-parunya.

“Maaf, Kak. Maaf—“

Bokuto menangis.

Akaashi sudah dilepasnya; teman pertamanya, kemenangan pertamanya, genggaman pertamanya, pelukan pertamanya, ciuman pertamanya, puncak ekstasi pertamanya, cinta pertamanya.

“Bahagia. Aku mau liat kamu bahagia.”

“Bukan untuk aku, aku mau kamu bahagia untuk kamu sendiri.”