bakuroou

vhasuna: itulah pokoknya.

-

vha pulang dengan pemandangan si pacar yang masih di atas kasurnya, tubuh menekuk masuk bagai memalu.

padahal dia jauh dari pemalu.

dan tangannyaㅡ

“ngapain tangan lo dilakban?” tanya vha berusaha cuek, kaki sibuk menapaki kaki yang lain; melepas kasar sepatunya.

ㅡdilakban, berantakan. emang susah mengikat tangan sendiri.

“lo b-bilang gue gak boleh main sendiri.”

“oh.” tanggapnya lagi gak peduli. vha malah jalan ke kulkas buat menenggak langsung air putih dingin yang besar di tangannya; ukuran satu liter.

“vhaㅡ”

“hah?”

“gue udah jadi anak baik.”

vha menyipit sok bingung, “terus?”

“give me a reward...”

permintaannya malah dibalas tawa kecil yang sarat meremehkan, vha menggeleng.

“mana ada anak baik buka-buka lemari orang?”

“mana ada anak baik pake barang orang lain seenaknya?”

suna menggeram, “gue pacar lo.”

“siapa bilang?”

“vha... tolong.”

yang dimintai tolong duduk di ranjang, kakinya yang masih dibungkus celana hitam kulot menyilang. tangannya menyangga dagu, tatap si lelaki sok kasihan.

“minta tolong apa?” tangannya naik buka kuncir rambut, buat rambut panjangnya tergerai manis di bagian atas tubuhnya.

jari kaki suna menekuk. suka sekali dengan wangi parfum si pacar. memang pilihannya juga, sih. tapi ditambah raksi shampoo dari rambut yang tercampur paparan sinar matahari buat suna makin frustasi. celananya makin sakit di bagian tengah.

“vha... ayo. main sama gue?”

“main apa?”

suna menjedukkan kepalanya ke bantal, ngerti banget kalo si sayangnya lagi mode tuan yang gak mau dibantah, yang susah buat diajak kerja sama, yang gak bisa ditundukkan.

sifat pacarnya yang dominan, yang buat suna kewalahan tapi juga suka setengah mampus.

nyatanya si perempuan iba. badannya kini naik di atas suna, menjebak kepalanya di tengah tangannya.

“mau apa?” tanya vha sekali lagi, wajahnya tetap datar gak mau kalah.

jujur, lihat suna yang suka diusili begini buat perutnya mengaduk. suna emang ganteng, tapi ia juga punya sisi yang gampang kalah. suatu hari ia menemukan bahwa suna ternyata submit di ranjang. gimana gak senang? ia punya wadah buat tuangkan sisi aslinya yang dominan.

suna gelisah, fishnet terasa menjerat ketat di kaki, “mau kamuㅡ vha, mau kamu.”

vha langsung turun, menarik sampai robek fishnet yang ada di balik jeans robek suna.

“lo harus ganti stocking gue.” tegur vha tak mau dibantah.

suna mengangguk, kakinya gemetar karena kini vha menggigiti pahanya.

kalo begini bukan cuma stockingnya, celananya juga harus diganti.

pinggang suna naik, naik sodorkan bagian yang paling ingin dimanja oleh si pacar.

“diem.” perintah si cantik, tangan menekan perut suna yang telanjang karena kaosnya yang naik. sesekali vha iseng menarik karet stocking di perut suna dan jpret karet itu menyentak kulit disana.

suna menggeleng, birahinya naik banyak diperlakukan semena-mena gitu.

“vha... buka celana gue... buka baju lo.”

vha menurut, lepas blousenya dan biarkan payudaranya tetap terbungkus. kepalanya turun lagi, kali ini lebih tinggi, menggigit di perut suna.

“anjingㅡ anjing vhaㅡ cantikㅡ anjingㅡ” katanya menyumpah liat pacarnya yang cantik, yang lenggak-lenggok di atasnya.

vha gak tega sama pacarnya yang berpeluh makin deras. ia akhirnya turuti maunya. celana suna dibuka, di tarik turun cuma sampai pangkal paha, menyisakan celana dalam hitamnya yang membengkak di tengah.

“vha, pleaseㅡ”

“berisik, gue bakal kasih kalo gue mau kasih.”

suna naik kakinya, mengelus pinggang pacarnya yang masih bersimpuh di depan badannya.

suna haus sekali afeksi, haus sekali sentuhan di tubuhnya dan pacarnya begini cantik di depannya. gimana gak putus asa?

pacarnya baik, ternyata. vha turun menciumi suna tepat di bagian yang paling mendamba jamah.

yang diciumi mengerang, kaki naik menjepit punggung si pacar untuk tetap diam disana.

padahal celana dalamnya belum turun, tapi suna sudah merasa sensitif bukan main.

“vhㅡvha... pleaseㅡ”

vha mendengus, “lo harusnya seneng gue mau begini.”

suna yang dilecehkan, yang rasanya gak punya harga diri karena habis diinjak-injak malah makin naik melonjak hasratnya. lidah vha yang menjilati di luar celananya malah memperparah keadaan.

“katanya anak baik? nurut. diem.”

si lelaki mendesah, telapak kaki ribut di ranjang, “vhaㅡ vhaㅡ”

“mau keluar?”

suna mengangguk cepat, tangannya bergerak ribut di atas kepalanya.

vha, masih dengan lidahnya yang menggeseki kain celana suna, sesekali meludah dan biarkan saliva hangatnya menyerap masuk makin basahi suna.

tapi si pacar masih gak habis ide; vha membawa jarinya ikut naik. meremasi bokong suna yang sedikit naik dari ranjang.

“hngㅡ vhaㅡ vhaㅡ”

suna tau apa yang direncanakan pacarnya dan dugaannya benar. jari cantik si pacar, yang dipolesi kutek merah jambu gelap turun, turun, turun lalu meraba pada analnya dari atas kain.

desah suna makin parau, kakinya menekuk jepit si pacar. “vhaㅡ hngㅡ j-janganㅡ”

suna makin meracau; antara menyumpah dan mendesah. bokongnya turun mendekati remasan tangan si cantik, tapi juga kadang naik karena ingin dicium lebih di penisnya.

“keluar.” perintah vha sebelum menggigit halus pada kejantanan suna, tangannya makin nakal meraba pada sisi belakang suna.

suna mengadah terkesiap kala jari kesayangannya kini benar-benar menyelip ke dalam bersama kainnyaㅡ

ㅡdan suna keluar. tubuhnya meremang sampai ujung rambutnya. erangan hebatnya langsung di sumpal vha dengan cumbuan, lidah dipaksa keluar.

suna gak bisa apa-apa selain membuka mulutnya, biarkan vha menciumi rakus bibirnya sampai akal sehat yang direnggut setelah orgasme balik lagi.

asik cium-mencium, dengan dagu suna basah kemana-mana, ponsel vha berdering dari tasnya di samping tv, tanda telepon masuk.

suna menatap pacarnya yang kini duduk di ujung kasur, matanya menyipit dengar suara dari seberang.

“ram? kenapㅡ hah? itu materi minggu laluㅡ iya yang lo cabut itu,” vha menengok padanya matanya beri perintah 'diem, sebentar.'

“ㅡya lo pacaran mulu.” sahut vha tertawa karena teman di seberang teleponnya, begitu kontras dengan pacarnya yang sekarang meringis, menatap pacarnya masih dengan sumbu menyala.

belum, yang tadi itu belum selesai buat suna. cuma satu kali pelepasan dengan gak liat vha orgasme sama aja bohong. suna masih belum puas. masih mau lagi.

apalagi ia melihat celana dalam pacarnya yang terbit dibalik karet celana kainnya. hitam. warna kesukaan suna. kesukaan suna kalo pacarnya yang pakai. buat kadar seksi meningkat berkali-kali lipat.

gak sabar. suna gak sabar. mau lihat vha tanpa celananya.

dengan tenaga baru yang entah dari mana, suna menyeret tubuhnya mendekat ke pacarnya, yang masih sibuk menjelaskan entah materi apa sama temannya. suna pusing gak mau tau.

yang ia pedulikan cuma celana dalam hitam yang kembar warnanya sama bra di tubuh cantik si cantik.

vha yang sadar si laki-laki kini di bersimpuh di lantai depan tubuhnya, mengangkat alis, bibirnya diam tapi masih fokus mendengar yang di seberang.

susah buat dicuekin, lagipula. suna sekarang nakal, nakal banget. tangannya yang masih dilakban, walaupun banyak robek karena resistensi, berusaha menarik celana si pacar.

vha masih baik, kasihan juga sama pacarnya yang ia tahu gak pernah puas dengan satu sesi dan sekarang malah dicuekin. jadi, usaha pacarnya diturutin; celana kainnya dibiarkan terbuka.

seksi, cantik, cantik banget.

begitu terus isi kepala suna liat pacarnya cuma pakai undergarments, mau banget buat pacarnya tau, makanya ia meninggikan tubuhnya, berbisik di telinga pacar yang gak sibuk dengan teleponnya.

“lo seksi mampus, tau gak?” katanya disela nafsunya sebelum turun kepalanya, menggesek pipinya di payudara si pacar.

vha diam, matanya menatap tajam si pacar yang ia tahu mau macam-macam.

kecup, kecup, hisap, kemudian lidah suna keluar, melumuri kulit yang bisa dihinggapinya dengan liur. giginya menarik kasar bra hitamnya ke bawah. perlihatkan nipple favoritenya di mata.

suna menjajah, mengigit di ujung payudara vha. menyumbunya seakan sedang bergerumul dengan bibirnya.

vha menggigit bibir, menjepit suna di tengah kakinya. pikir suna adalah sinyal hijau, bibirnya makin ganas, dengan tangan yang ikut nakal bermain dengan yang satu.

masih belum puas, suna mau balas kelakuan pacar yang tadi. bibirnya turun, turun, turun, menetapkan celana vha sebagai tujuan.

tau betul pacarnya dan gak mau lagi suna mengendalikan permainan, vha dengan cuek menginjak di bawah.

“haㅡ h,”

suna terkesiap, merasakan telapak kaki vha menginjaknya tepat di penisnya.

“iya, coba lo cek pdf yang kemarin dikirim di grupㅡ bego ah kenapa gak dicek???”

vha begitu tenang menarik celana dalam suna ke bawah, buat penisnya yang tegang muncul ke permukaan.

kalah. suna memang selalu kalah kalau masalah ranjang. dia memang terlalu naif menganggap dirinya akan menang. nyatanya? sekarang kepalanya terkulai lemas di paha si sayang, kadang sesekali mengecupnya untuk merayu, untuk menyudahi siksaan.

bohong sih, bukan siksaan. suna diam-diam menyukai ini. kalau gak suka, dia sudah sedari tadi menolak, kan?

jempol dan telunjuk kaki vha menjadi yang dominan bermain, menjepit pilar suna, pilar yang selalu manja untuk diberi kenikmatan. yang manja minta perhatian. jari-jarinya naik turun, berusaha buat suna makin sensitif.

“hmmhㅡ vhaㅡ hmm,” suna makin aktif, pinggangnya bergoyang mengikuti kaki vha.

vha tersenyum, tahu suna udah balik lagi, balik di bawahnya. balik menjadi budaknya dan bukan lagi yang pimpin permainan siang ini.

“ㅡram, udah dulu ya, bentar. mau kasih makan kucing.”

aram diam sebentar, paham betul. ya tau lah? vha yang anak rantauan mana punya kucing? kecuali kucing besar yang manja bukan main.

“bajingan, ya udah.”

begitu tanggapan terakhir dan percakapan ditutup.

“seneng? seneng menang perhatian gue?”

suna menatap dari bawah, bibirnya membuka karena desahan yang makin meninggi.

“vhaㅡ vhaㅡ”

“suka gak? gue kasih perhatian?” tanya si cantik lagi, sekarang diberi tekanan.

suna mengangguk, bibirnya kecupi paha sayangnya. pinggulnya masih bergerak menikmati gesekan kaki pacarnya.

“naik ke kasur.”

“t-tapi, vhaㅡ”

“mau keluar lagi, gak? gak mau?”

suna rasanya mau loncat, mau buru-buru dimanja sama pacarnya. cuma kakinya gemetar, kejantanannya sakit di tengah kakinya.

suna duduk di ranjang, menghadap vha yang langsung mendorong bahunya, buat suna telentang.

pacarnya kini naik di atasnya, tangannya balik lagi genggam penis suna yang menegak karena foot jobnya.

“tadinya mau pake lubrikan biar licin, tapi lo basah banget, na,” vha tertawa mengejek, “mau apa sih?”

suna di bawahnya terengah-engah. tangannya coba gapai vha yang tangannya makin cepat naik turun. kuku tumpulnya menggesek di ujung kepala; memutar-menekan-memutar-menekan.

“vhaㅡ vhaㅡ”

yang dipanggil tersenyum, kini mengangkangi kejantanan si sayang, “baby boy wants to come? hm?”

suna mengerang, kepalanya mengangguk cepat.

baby boy, baby boy, baby boy.

suna suka sekali sebutan itu. buatnya merasa yang paling disayang si pacar. rasanya bagai dia anak baik yang nurut sama si pacar.

pelepasannya di ujung, di ujung, sedikit lagiㅡ

ㅡtapi si cantik memilih melepas tangannya total.

suna mendenguk, kaki gusar karena ejakulasinya yang gagal. tangannya menghentak-hentak di depan dadanya.

yang lelaki menangis; matanya berkabut dan memerah. pandang vha dengan bibir bergetar, mencoba mengigit bibirnya takut isakannya keluar.

harga dirinya betul-betul digorok disini, putus tanpa sisa saat ejakulasinya lagi-lagi dikontrol si pacar.

suna bisa apa lagi selain memohon?

“hhㅡ vhaㅡ tolong, tolongㅡ”

“mau enak sendiri? mau menang sendiri?”

suna menggeleng, matanya menyayu pandang vha. memelas minta ampun, minta dijemput nikmat puncak lagi.

vha melepas celana dalamnya dan suna mendesah.

“tell me what do you want?”

suna menekuk jarinya, frustasi di ubun-ubun. ingin sekali memasuki pacarnya, ingin sekali dipijat dinding rapat pacarnya sampai ke awan. ingin, ingin, ingin.

“masuk, vha. m-mau masukㅡ”

vha membawa kepala jamur suna menggesek pintunya. si perempuan memaju-mundurkan pinggulnya.

“do you think you deserve it? do you think you are a good boy enough?”

suna mengangguk putus asa, “iya, g-gue anak baikㅡ anak baikㅡ”

“anak baik siapa?”

suna menegun, matanya berair lagi, “your good boy, please, your good boyㅡ”

begitu dan suna langsung meraung dari ujung tenggorokannya saat kepalanya tenggelam di dalam si pacar.

“hhㅡ there you go baby. satisfied yet?”

yang di bawah mendesah kala pinggul yang cantik naik turun di atasnya, menenggelamkan seluruh kejantanannya.

vha buat suna gelagapan di bawahnya. selain karena kenikmatan karena dimanja di penisnya, suna hampir gila melihat bagaimana menawannya sang pacar yang menari di atas tubuhnya.

si pacar berpeluh, wajahnya cantik dengan banyak kepercayaan diri. tangannya dengan rajin menyibak rambutnya ke belakang, menyisirnya agar dadanya terpampang indah.

“you don't come before i do, okay?”

hati suna mencelos. ejakulasi sudah diujung lagi. beberapa kali pompaan ia mungkin akan keluar.

suna menggeleng, “vhㅡ pleaseㅡ”

“gue jugㅡ hhhㅡ hnmㅡ sebentar lagiㅡ”

masih dengan tangan terikat, suna ikut menaik turunkan pinggulnya lebih cepat. buat vha memejam karena titik nikmatnya ikut dibentur.

suna makin membesar di dalam, buat vha makin giat mengejar nikmat untuk keduanya. si cantik makin sensitif gesekan di dindingnya, penis suna di dalam mengaduk begitu nikmat.

“sunㅡ hhhㅡ suna? keluar? mau keluar?”

suna mengangguk. mau, mau, mau.

vha mencakar pada tangan suna yang terlilit.

keluar. vha keluar melumuri pilar suna yang berdiri tegak. yang kemudian dengan cepat ditinggal oleh si cantik.

gak bisa, suna gak bisa keluar di dalam.

vha, masih gemetar dengan ejakulasi sendiri, dengan buru-buru turun ke bawah.

bibirnya melahap penuh penis suna. menghisap dan menjilat dimana-mana.

suna dihisap sampai pipi mencekung, sampai suna gemetar,

“ahhㅡ vhaaaㅡ fuck vhaㅡ”

ㅡsampai suna keluar. sampai suna hilang rasa dan akal, sampai suna merasa energinya ikut ditelan oleh yang paling tersayangnya.

suna merasa hilang. tubuhnya meleleh di kasur kosan sang pacar.

keningnya dikecup mesra, vha tertawa di telinganya.

“you did well, baby.”

-

bokusaku: kangen

-

ajakan bokuto soal video call sex awalnya benar-benar gurauan dengan cuma dua puluh persen harapan.

bertahun-tahun dekat dengan label pacaran selama tiga tahun buat mereka hampir gak pernah berjarak. dari kuliah sampai sama profesi, dari satu dorm sampai punya apartemen sendiri, buat kebutuhan platonic dan sexual keduanya selalu terpuasi.

wajar, pisah dua minggu buat mereka berdua agak needy.

bokuto sudah biasa; dia cukup terbuka soal kebutuhan. kalau mau, dia bakal langsung bilang ke pacarnya, tapi, begitu karakternya dibalik, bokuto gelagapan.

bukannya sakusa gak pernah antusias soal aktivitas ranjang, masalahnya bokuto yang biasanya ambil inisiatif. pas di tengah-tengah, baru sakusa kadang ambil alih.

sekarang, lihat sakusa menggesek pipinya di selimut, mengendusi sisa-sisa raksi kekasih yang tertinggal disana, dengan mata masih pandangi bokuto yang menegak minumnya, buat tombol akal sehat bokuto ditekan mati.

“kamu cuma pake bokser aja?”

sakusa menggumam jawaban, hidungnya masih mencari-cari di kain yang biasa jadi selimutnya.

“bo?”

“ya?”

“tell me what to do.”

oh. oh. ini ternyata malam-malam ini; malam dimana sakusa beri kendali penuh untuk dipegang bokuto. malam dimana sakusa gak mau banyak gerak, gak mau banyak berpikir. cuma mau tau nikmat, cuma mau tiba-tiba sudah mengawang di langit tanpa harus susah payah menapak ke atas.

bokuto berdehem, punggung bersandar nyaman di tembok.

“duduk. aku mau lihat badan kamu.”

tanpa basa-basi, yang di seberang menurut, meyamakan diri dengan posisi si pacar. bedanya, bokuto masih lengkap dengan hoodienya sedangkan sakusa nyaris telanjang, bokser menggantung di bawah garis pinggang.

sakusa benar gak bercanda soal dirinya yang lagi butuh; matanya melayu lapar, lihat bokuto seakan si pacar itu daging matang siap makan. tubuhnya yang kurus dengan beberapa gumpalan otot gak bisa diam, kakinya bergerak-gerak resah.

“lepas celana kamu, but don't touch yourself.”

lagi-lagi menurut dan detik kemudian sakusa polos di layar laptopnya, dengan lubrikan tergeletak di sampingnya.

bokuto menegun. bukannya menekuk malu, sakusa malah melebarkan tungkainya, menyajikan diri lebar-lebar di pandangan bokuto.

“fuck, fuck, fuck,” bokuto menjilat bibirnya, “sebegitu maunya? kangen banget?”

“boㅡ”

fuck, siapa sangka sakusa kiyoomi yang ganas di lapangan ternyata anak baik yang banyak mau di ranjang?”

sakusa mengerang malu, tolak pandang bokuto. kejantanannya bergetar saat atensi bokuto fokus di selangkangannya.

“finger yourself.” perintah lagi bokuto. liat pacarnya menuang lubrikannya langsung ke selangkangannya, bokuto menggeram, “gak perlu banyak-banyak, you already wet down there.

di malam biasa, mungkin bokuto sudah kena damprat di kepala. tapi sakusa gak peduli. obrolan kotor bokuto malah buat rasa butuhnya makin melejit.

dua jari lolos. sakusa mengendarai dua jarinya. kaki lebar dengan pinggang menari ke kiri dan ke kanan, mengais nikmat dari jarinya.

“hnㅡ hhㅡ hm,” cicitnya sambil bermain sendiri. matanya gak lepas dari bokuto yang pandanginya dengan ekspresi seakan menilai tiap inci gerak kekasihnya.

“bo, b-baju, lepas.”

yang ditanya menyipit di mata, “gak mau, dingin.”

sakusa mengerang kesal, terdengar begitu manja dan putus asa, masih dengan suaranya yang berat.

“p-please, want to see you.”

serius, bokuto maunya tolak. maunya isengi lagi sakusa yang jarang-jarang beda karakter begini, tapi di sisi lain rasanya gak tega. pacarnya terlihat gak sabar naik turun kini pada tiga jarinya.

bokuto melepas hoodienya, tampilkan tubuh bagian atasnya, celana training masih rapi bungkus kakinya.

cuma begitu. cuma dengan melihat lekuk perut yang diingatnya keras di bawah jarinya, tegas nan licin apabila dibalur peluh, buat intensitas tangan sakusa makin cepat menghunus bagian bawah tubuhnya.

“boㅡ bo mau lihat.”

“apanya? ini udah.”

sakusa menggeleng, matanya pandangi gunung tinggi di tengah kaki bokuto.

“boㅡ bokutoㅡ”

paham sekali gelagat si kekasih yang dekati ejakulasi, bokuto dengan jahat berikan perintah lagi.

“lepas tangan kamu,”

gak mau, sedikit lagi, gak mau.

“sakusa, lepas.”

“lepas or you won't get to see my dick.

terpaksa, sakusa lepas tiba-tiba jarinya dari analnya. kakinya menyeret-nyeret di ranjang karena ejakulasi yang ditinggal dan tak jadi dijemput.

matanya merah mengembun, tatap bokuto memelas. ingin buat si rambut kelabu tarik omongannya dan biarkannya lagi menusuk diri dengan jemarinya lagi.

tapi enggak, bokuto tak peduli.

“ambil dildo kamu.”

sakusa mengedip, “diㅡ apa?”

“kamu kira aku gak tau kamu punya dildo? ambil.”

sakusa masih dengan tubuh bergetar menunduk ke arah laci, cari tiruan penis yang ukurannya hampir setara dengan bokuto.

tapi, beda. karet dingin itu terasa berbeda. punya bokuto terasa panas saat menjorok masuk ke dalam tubuhnya. urat gelap yang kelilingi kulitny kasar menggesek dindingnya. terlebih lagi, karet itu tidak bisa mengisinya dengan ladu yang buat analnya terbakar.

ajaib, bokuto seakan tau apa-apa isi pikirannya. sekembalinya duduk di depan laptop, pacarnya itu sudah menurunkan celananya, pedangnya tegak siap menggorok kewarasan sakusa.

“bokutoㅡ”

“pathetic,” bokuto tertawa kecil, tangannya lumuri penisnya sendiri dengan lubrikan, “kamu mau pake mainan kecil itu buat ganti aku?”

sakusa kesal diejek begitu, tapi bokuto gak salah. bokuto benar. dildo itu jauh gak sebanding dengan miliknya.

memilih tak peduli, tangan basah sakusa ikut bermain pada dildonya, mengikuti gerakan bokuto yang naik turun dan sesekali menggelitik dirinya sendiri dengan jarinya.

“do it.”

one command dan sakusa langsung melebarkan dirinya, menggoda dirinya sendiri dengan bermain di pintunya.

“hhㅡ boㅡ bokutoㅡ”

“yes sweetheart, you are doing great.”

“keep going.”

ingin mengejar kembali puncak yang sempat dituruni, sakusa kembali mempenetrasi analnya, memasuki dirinya sendiri sejauh mungkin, memaksakan dildonya mencapai titik yang biasanya mudah dipijat bokuto.

pinggul naik turun lagi, sakusa mendesah lagi. kakinya merangsek ribut kala dildonya menyundul di tempat yang tepat.

matanya yang berat ingin menggelap dipaksakan menyala; ada bokuto di depannya, ada bokuto yang sama-sama terbuka kakinya.

bokuto memijat kejantanannya, menjepitnya kuat dengan jari-jarinya yang besar. kepala bayangkan sakusa yang memberi tekanan disana-sini, bayangkan kepalanya yang menubruk sakusa sampai dalam, bayangkan dildo yang dikudap oleh anal sakusa adalahnya miliknya.

“boㅡ bo, tell meㅡ tell me something.”

yang diminta langsung paham maksudnya. tangannya makin mengerat di kulitnya.

“what do you want me to tell you, hm?”

“is it about your hole eating it good? or is it about your cock gets wet just from a mere fake dick?”

pergelangan sakusa makin gusar, makin frustasi membolak-balikkan dildo di analnya.

“you know i'm better at it right? fucking you.”

“you can't come unless you are dicked down to the brim and i can do that easy.”

“inget gak? kamu nangis pas aku terlalu dalam? pas kamu bilang kamu terlalu penuh? pas kamu rasa penis aku rasanya ada di perut kamu? hm?”

ingat. ingat sekali.

waktu itu kemenangan timnya, dengan bokuto yang cetak skor pemenang. “aku mau menangi kamu di ranjang.” bisiknya disela sorak sorai penonton. benar, bokuto bawanya buru-buru ke apartemen, abaikan makan malam perayaan. mereka tak sentuh kamar mandi. masih dengan tubuh lengket, sakusa dibuat makin basah semalaman.

sakusa dekat, dekat sekali. gairah mereka malam itu kembali meraba ingatannya, meraba tubuhnya. ditambah tangan bokuto yang masih aktif di penisnya buat perutnya makin tercekik karena ingin.

seandainya bukan karet ini.

seandainya bokuto yang ada di dalamnya.

seandainya bokuto ada di ranjangnya, memanja analnya, menyumbunya sampai ibu jari kaki, menjilatinya sampai telinga, membisikinya dengan janji-janji kotor soal apa yang ingin dilakukannya padanya yang cantikㅡ paling cantik, katanya. menyaingi dewi yang bersinar cantik di atas langit malam.

tangannya dengan sulit ingin gapai penisnya; ingin keluar, ingin keluar sekarang juga.

“janganㅡ sa, kamu bisa keluar tanpa pegang penis kamu. don't

dilecehkan begitu buat kepalanya berputar, buatnya begitu terhina karena ia tahu sendiri ia menyukainya. ia menyukai kebenaran bahwa ia memang di bawah kendali bokuto.

“boㅡ akuㅡ akuㅡ”

“yes, pretty, yesㅡ keep going,”

sakusa menggeleng, “canㅡ canㅡ iㅡ ahnnㅡ”

“ya, sayangㅡ ya. keluar, sayang.”

sakusa memejam, tangannya menggali sampai dalam, dalam, dalam. penisnya dibiarkan naik turun. leher mendaki naik, mencari ruang bernafas di udara.

sakusa keluar dengan hebat. tubuhnya melonjak bagai dikejut listrik sampai ujung kakinya. erang dan denguknya keras menggema tak tahu malu dari speaker laptop bokuto, buat si penonton solo ikut menyinggahi puncak.

bokuto meracau puas liat sakusa jinak di atas kasurnya. rambutnya yang bergelombang bagai air laut di malam hari menutupi setengah wajahnya. lelaki kesayangannya lemas dengan nafas tersenggal, menciumi kain di bawahnya.

sakusa begitu cantik, cantik sekali dengan segala anasir laki-laki padanya. kekasihnya tersenyum, pandangi bokuto yang tak mau berkedip dan kehilangan sedetikpun kesempatan untuk memuja sakusa.

-

bokusaku: kangen

-

ajakan bokuto soal video call sex awalnya benar-benar gurauan dengan cuma dua puluh persen harapan.

bertahun-tahun dekat dengan label pacaran selama tiga tahun buat mereka hampir gak pernah berjarak. dari kuliah sampai kerja bareng, dari satu dorm sampai punya apartemen sendiri, buat kebutuhan romantis dan seksual keduanya selalu terpuasi.

wajar, pisah dua minggu buat mereka berdua agak needy.

bokuto udah biasa; dia agak terbuka soal beginian. kalau mau, dia bakal langsung bilang ke pacarnya, tapi, begitu karakternya dibalik, bokuto gelagapan.

bukannya sakusa gak pernah antusias soal aktivitas ranjang, masalahnya bokuto yang biasanya ambil inisiatif. pas di tengah-tengah, baru sakusa kadang ambil alih.

sekarang, lihat sakusa menggesek pipinya di selimut, mengendusi sisa-sisa raksi kekasih yang tertinggal disana, dengan mata masih pandangi bokuto yang menegak minumnya, buat tombol akal sehat bokuto ditekan mati.

“kamu cuma pake bokser aja?”

sakusa menggumam jawaban, hidungnya masih mencari-cari di kain yang biasa jadi selimutnya.

“bo?”

“ya?”

“tell me what to do.”

oh.oh. ini ternyata malam-malam ini; malam dimana sakusa beri tali pengendali penuh untuk dipegang bokuto. malam dimana sakusa gak mau banyak gerak, gak mau banyak berpikir. cuma mau tau nikmat, cuma mau tiba-tiba udah mengawang di langit tanpa harus susah payah menapak ke atas.

bokuto berdehem, punggung bersandar nyaman di tembok.

“duduk. aku mau lihat badan kamu.”

yang di seberang menurut. ikuti posisi si pacar yang menyandari tembok, bedanya bokuto masih lengkap dengan hoodie sedangkan sakusa nyaris telanjang, bokser menggantung di garis pinggang.

sakusa benar gak bercanda soalnya dirinya yang lagi butuh; matanya melayu lapar, lihat bokuto seakan si pacar itu daging matang siap makan. tubuhnya yang kurus dengan beberapa gumpalan otot gak bisa diam. kakinya bahkan bergerak-gerak resah.

_“lepas celana kamu, but don't touch yourself.”

lagi-lagi menurut dan detik kemudian sakusa polos, lubrikan di sampingnya.

bokuto menegun saat bukannya kaki menekuk malu, sakusa malah melebarkan tubuhnya, menyajikan diri pada bokuto di laptopnya.

“fuck, fuck, fuck,” bokuto menjilat bibirnya, “sebegitu maunya? kangen banget?”

“boㅡ”

fuck, siapa sangka sakusa kiyomi yang ganas di lapangan dan ternyata anak baik yang banyak mau di ranjang?”

sakusa mengerang malu, tolak pandang bokuto. kejantanannya bergetar saat atensi bokuto fokus di selangkangannya.

“go finger yourself,” perintah lagi bokuto, liat pacarnya menuang lubrikannya langsung di selangkangan, bokuto menggeram, “gak perlu banyak-banyak, you already wet down there.

di malam biasa, mungkin bokuto udah kena damprat di kepala. tapi sakusa gak peduli lagi. obrolan kotor bokuto malah buat rasa butuhnya makin melejit.

dua jari. sakusa mengendarai dua jarinya. kaki lebar dengan pinggang naik turun.

“hnㅡ hhㅡ hm,” cicitnya sambil bermain sendiri. matanya gak lepas dari bokuto yang pandanginya dengan ekspresi seakan menilai tiap inci gerak kekasihnya.

“boㅡ b-baju, lepas.”

yang ditanya menyipit di mata, “gak mau, dingin.”

sakusa mengerang kesal, terdengar begitu manja dan putus asa, masih dengan suaranya yang berat.

“p-please, want to see you.”

serius, bokuto maunya tolak. maunya isengi lagi sakusa yang jarang-jarang beda karakter begini, tapi di sisi lain gak tega. pacarnya terlihat gak sabar naik turun pada tiga jarinya.

bokuto melepas hoodienya, sisakan celana trainingnya.

cuma begitu, tapi intensitas tangan sakusa makin cepat menghunus bagian bawah tubuhnya.

“boㅡ bo mau lihat.”

“apanya? ini udah”

sakusa menggeleng, matanya pandangi gunung di tengah kaki bokuto.

“boㅡ bokutoㅡ”

paham sekali gelagat si kekasih yang hampir jemput ejakulasi, bokuto dengan jahat berikan perintah lagi.

“lepas tangan kamuㅡ sakusa, lepas.”

sakusa nurut lagi. lepas tiba-tiba jarinya dari analnya. kakinya menyeret-nyeret di ranjang karena ejakulasi yang ditinggal, tak jadi dijemput.

matanya merah mengembun, tatap bokuto memelas.

“ambil dildo kamu.”

“diㅡ apa?”

“kamu kira aku gak tau kamu punya dildo? ambil.”

sakusa masih dengan tubuh bergetar menunduk ke arah laci, cari tiruan penis yang ukurannya hampir setara dengan bokuto.

tapi, beda. karet dingin itu terasa berbeda. punya bokuto terasa panas saat menjorok masuk ke dalam tubuhnya. urat gelap yang kelilingi kulitnya menonjol kasar menggesek dindingnya. terlebih lagi, karet itu tidak bisa mengisinya dengan ladu yang buat analnya terbakar.

ajaib, bokuto seakan tau apa yang dipikirannya. sekembalinya duduk di depan laptop, pacarnya itu sudah menurunkan celananya, pedangnya tegak siap menggorok kewarasan sakusa.

“bokutoㅡ”

“pathetic,” bokuto tertawa kecil, tangannya lumuri penisnya sendiri dengan lubrikan, “kamu mau pake mainan kecil itu buat ganti aku?”

tangan basah sakusa ikut bermain pada dildonya, mengikuti gerakan bokuto yang naik turun dan sesekali menggelitik dirinya sendiri dengan jarinya.

“do it.”

one command dan sakusa langsung melebarkan dirinya, masuki dirinya sendiri dengan dildonya.

“hhㅡ boㅡ bokutoㅡ”

“yes sweetheart, keep going.”

ingin mengejar kembali puncak yang sempat dituruni, sakusa langsung saja mempenetrasi analnya, memasuki dirinya sendiri sejauh mungkin, memaksakan dildonya mencapai titik yang biasanya mudah dipijat bokuto.

pinggul naik turun lagi, sakusa mendesah lagi. kakinya merangsek ribut kala dildonya menyundul di tempat yang tepat

matanya yang berat ingin menggelap dipaksakan menyala; ada bokuto di depannya, ada bokuto yang sama-sama terbuka kakinya.

bokuto memijat kejantanannya, menjepitnya kuat dengan jari-jarinya yang besar. kepala bayangkan sakusa yang memberi tekanan disana-sini, bayangkan kepalanya yang menubruk sakusa sampai dalam, bayangkan dildo yang dikudap oleh anal sakusa adalahnya miliknya.

“boㅡ bo, tell meㅡ tell me something.”

yang diminta langsung paham maksudnya. tangannya makin mengerat di kulitnya.

“what do you want me to tell you?”

“is it about your hole eating the dick up? or is it about your cock gets wet just from a mere fake dick?”

pergelangan sakusa makin gusar, makin frustasi membolak-balikkan dildonya di analnya.

“you know i'm better at it right? fucking you.”

“you can't come unless you are dicked down to the brim and i can do that easy.”

“inget gak? kamu nangis pas aku terlalu dalam? pas kamu bilang kamu terlalu penuh? pas kamu rasa penis aku rasanya ada di perut kamu? hm?”

ingat. ingat sekali. waktu itu kemenangan timnya, dengan bokuto yang cetak skor pemenang. “aku mau menangi kamu di ranjang.” bisiknya disela sorak sorai penonton. benar, bokuto bawanya buru-buru ke apartemen, abaikan makan malam perayaan. mereka tak sentuh kamar mandi. masih dengan tubuh lengket, sakusa dibuat makin basah semalaman.

sakusa dekat, dekat sekali. gairah mereka malam itu kembali meraba ingatannya, meraba tubuhnya. ditambah tangan bokuto yang masih aktif di penisnya buat perutnya makin tercekik.

“boㅡ akuㅡ akuㅡ”

“keluar, sayang.”

sakusa memejam, tangannya menggali sampai dalam, dalam, dalam. penisnya dibiarkan naik turun. leher mendaki naik, mencari ruang bernafas di udara.

sakusa keluar dengan hebat. tubuhnya melonjak bagai dikejut listrik sampai ujung kakinya. erang dan denguknya keras menggema tak tahu malu dari speaker laptop bokuto, buat si penonton solo ikut menyinggahi puncak.

bokuto meracau puas liat sakusa jinak di atas kasurnya, kembali menciumi kain di bawahnya.

-

ushiaka: dua ushijima, pengantin baru.

-

untuk sekejap, keiji lupa bagaimana rupa tubuhnya saat ini. kain memalukan yang sempat jadi sumber keresahannya hilang begitu saja dari pikirannya.

sampai wakatoshi menatapnya tanpa kedip, sampai omelannya yang biasanya ditanggapi tawa kecil tidak didengarkan.

keiji menatap ke bawah, menatap dirinya. night gown dengan kain renda terawang ditambah penutup dada berwarna putih membalut apik tubuh bagian atasnya, membebaskan kulitnya yang tanpa gores jadi tontonan. terusan merah muda berbahan satin tutupi tubuhnya dari pinggang sampai di tengah pahanya, berikan akses sepuasnya pada kakinya yang jenjang.

wajar. wajar sekali kalau suaminya menatapnya dengan sangsi, dengan begitu tak percaya. keiji selalu dikenal sebagai pemuda yang lebih dewasa dari umurnya. sikap santun dan sopan tak pernah lupa diterapkannya sehari-hari. si kesayangan dosen, senior yang disegani di kampusnya.

tapi, keiji yang baru hari ini menyandang marga ushijima berdiri di depan sang suami. kaki nyaris telanjang dengan thigh belt renda dan tubuh atasnya yang mudah diterawang dari bajunya.

“kak,” cicit keiji, pandang wakatoshi di mata, tangan resah dengan handuk di tangan, “m-maaf ini isengㅡ aku ganti, sebentarㅡ”

“cantik.”

langkahnya mematung, keiji pandang wakatoshi, tak percayai pendengarannya, “y- ya?”

“k-kamu cantik, pakai ini.” tangannya naik, usap hati-hati kain di tangannya, tak mau menyentuh kulit keiji sama sekali, “ide siapa? kayanya bukan kamu?”

“ts-tsukkishima... ini ide dia.”

wakatoshi mengangguk, mata serius memandang pada kain di tangannya.

ah. ia mengerti bahwa wakatoshi tak mengerti maksud dari pakaian keiji, atau tak mau banyak berspekulasi tinggi atau sebenarnya mengerti tapi tak mau ambil langkah duluan.

maka, keiji langsung saja, dengan sebelumnya menyumpah dalam hati.

“untuk kamu.”

”...ya?”

“pakaian ini... untuk kakak.”

“untuk... aku?”

“ya.. malam ini... malam pertama.”

wakatoshi mengedip, matanya naik lihat keiji di mata.

“malam pertama. malam iniㅡ malam pertama kita.”

keiji mengangguk, “ya, malam pertama.”

keiji melihat wakatoshi dengan pelan menghela nafasnya. keras pada pundaknya kian turun seiring dengan ketegangannya.

keiji didekati, nafas perlahan dibagi berdua.

“boleh?”

keiji mengangguk, tak mau mengandalkan suaranya yang terasa tertinggal di ujung lidahnya.

mengantongi izin, wakatoshi benar-benar maju, meraup nafas keiji berikut bibirnya. memagut bibir merengkah kesayangannya penuh hati, penuh teliti. tiap inci bibir keiji dicubitnya kecil-kecil dengan bibirnya.

empat belas bulan dengan status intim, ciuman bukan perkara asing bagi mereka. ciuman dengan masing-masing cerita manis sudah biasa dibagi; pertama kali mereka yang di sudut gang pusat keramaian, cumbuan mesra di mobil yang diparkir di depan rumahnya, atau di ruang tengah saat kunjungan di akhir minggu.

runtutan keping masa-masa pacaran yang terputar di kepala terpaksa terhenti kala pinggangnya direngkuh, wakatoshi membisik, “sebentar,” dan keiji kini di langit, kaki menapaki angin.

keiji tak diberi waktu untuk sekedar terkesiap karena mulutnya diraih lagi, leher wakatoshi tinggi-tinggi gapai bibir keiji yang setingkat lebih tinggi, lengan masih erat memangku keiji.

dua tungkai yang dipangku naik jejaki pinggul yang dipeluk, sepenuhnya andalkan keputusan kusir. keiji menjadi penunggang baik yang tidak peduli mau dibawa kemana. si penunggang akan puas dibawa mengudara gapai kenikmatan surgawi atau diantar kembali ke bumi, telusuri kesenangan yang lebih duniawi.

wakatoshi memilih yang kedua, keiji dituntun menyebuk di antara kain ranjang, wangi kelopak mawar menyerbak tusuk penciuman.

bibir kian mekar, keiji dilepas oleh wakatoshi.

wakatoshi di atasnya, menutup akses cahaya dari lampu langit-langit, buatnya begitu terang di matanya yang sedari tadi menggelap.

tubuhnya diraba, naik sampai ke pipinya.

“keiji?”

“ya?”

“we are going to do this,”

mengangguk, “ya.”

“i-is it okay if i'm the one who do the- the-”

“p-penetration?”

wakatoshi mengangguk cepat.

keiji mengiyakan, mengusak pipinya yang masih ditangkup tangan besar suaminya, meyakinkan bahwa ia nyaman dengan mau sang suami.

keduanya mau, keduanya yakin, akhirnya tangan wakatoshi turun lagi. sentuhannya masuk pada kain satin, kemudian naik lagi, meraba halus pada bagian kelangkang. jarinya memijit pada celana dalam yang berbahan sama, buat kaki keiji menghimpit tangannya.

dengan gemetar, tangan keiji naik, melepas pita pada bathrobe suaminya. tangannya melebar, memeta pada punggungnya yang lembab karena peluh dan air bekas mandi tadi.

pipi keiji dijumpai, wakatoshi berbisik, “pretty, you look so pretty.”

kalimat itu benar artinya, tapi juga sebagai distraksi; celana dalamnya diloloskan dari tubuhnya.

pendingin ruangan berhembus, sadarkan keiji dari keadaannya sekarang yang nyaris polos, meninggalkan kado dari tsukkishima yang melorot di tubuhnya karena kancing yang dilepas semua oleh si suami.

wakatoshi bangun, melepaskan diri dari rengkuhan keiji yang menjadikannya sebagai selimut untuk tutupi tubuhnya.

lubrikan di tangan, wakatoshi masih tegak, menarik kasar plastik botolnya berikut tutupnya. tangannya dilumuri basah oleh gel, wangi wicked aqua menyerbak berganduh dengan dua tubuh yang wangi gairah.

mata lelaki berumur dua puluh dua itu menajam, mencalang pada apa yang ada di antara kaki kekasih hatinya; abaimana yang sama, lekuk yang sama. hanya ukuran dan keadaan kulit yang berbedaㅡ keiji begitu bersih, tanpa sehelai rambut halangi pandangan dari titik yang akan dicatuk oleh kejantanannya. tanpa sadar, ia memoles bibirnya sendiri dengan lidah.

dilihat begitu seksama di bagian paling intimnya, di bagian yang tak pernah sekalipun terpapar cahaya untuk dilihat orang lain, tubuh keiji menguncup malu, menyembunyikan diri dari lanskap pandang lelaki di atasnya.

lutut keiji digenggam, ditarik untuk membuka, menyuguhi dirinya untuk dipandangi wakatoshi.

“jangan malu... kamu bahkan cantik disini,” katanya menenangkan, “aku mulai ya?”

pinggiran anal keiji dipijat oleh jari-jari wakatoshi, kemudian salah satunya diloloskan masuk, mendorong pada dinding kulit yang rapat.

jari-jari kasar suaminya bekerja melonggarkan di bawah. lorong di dalamnya dipijat, digesek dengan bantuan gel yang licin. satu jari bertambah sampai tiga, kaki keiji menekuk-nekuk, bagai tangkai ilalang yang patah melayu ditengah.

keiji perhatikan apa yang terjadi di antara kakinya, perhatikan tangan wakatoshi yang maju-mundur tak ragu sama sekali. jari yang sampai pergelangan tangannya basah.

yang menyandar pada bantal menggeleng, menolak pikirannya berpendar kemana-mana; tangan wakatoshi yang biasanya terbalut jam tangan hadiah pertamanya, tangan yang sibuk putar kemudi dan mengganti persneling, tangan kuat yang dengan mudah mengangkat barang berat di rumahnya saat pindahan dua hari lalu, tangan yang dengan lincah membolak-balik pada bukunya.

penis keiji basah sekali, lumuri batangnya sampai ke bawah.

“keiji? keiji?”

“y-ya? ya, kak?”

“dengar,” wakatoshi melepas jari dari tubuh keiji, tinggalkan anal yang sudah merenggang, mengedip karena yang tadinya terisi kini kosong, “keiji? a- aku agak besar, jadiㅡ jadi kasih tau aku kalau kamu gak bisa, ya? jangan paksain diri, mengerti?”

yang diperingati menegun, air salivanya kesat di tenggorokan. wakatoshi menciumi rahangnya sambil menurunkan celananya, tunjukkan bahwa peringatannya bukan main-main.

wakatoshi... benar besar, selaras dengan bagian tubuhnya yang lain. keiji pernah sesekali mengintip tontonan porno di malam-malam gerahnya, dimana lelahnya mengalir pada hasrat pelepasan dan wakatoshi yang mengukungnya saat ini begitu mirip dengan aktor dibalik layar kecil ponselnya, begitu mirip dengan khayalannya, dengan bayangan ideal laki-laki yang ia ingin untuk membolak-balikkan akal sehatnya.

tangan keiji tidak sesuai dengan kecemasannya soal apa akan muat di dalam tubuhnya; tangannya menjangkau perut wakatoshi, menelusuri happy trail. benar, happy trail. nama yang begitu cocok untuk bagian wakatoshi yang satu ini, karena rambut halus itu benar menjadi jalan untuk kebahagiaan keiji malam ini.

kelima jari keiji membungkus penis suaminya, ketidakberhasilannya menggenggam penuh pilar itu dengan satu tangan buat kulitnya meremang.

“ke-keiji, biar akuㅡ”

“lubrikannya.”

wakatoshi mengedip, kemudian dengan buru-buru mengambil lubrikan di samping tubuh keiji. mengerti, wakatoshi menuang gelnya pada penisnya sendiri, biarkan suaminya yang meratakannya pada seluruh kulitnya disana.

rasa penasaran keiji dipuaskan saat itu. tangannya dengan telaten jelajahi tiap sudut kulit ditangannya. dari bagiannya yang kesat sentuh porinya, uratnya yang gelap lingkari kulitnya, sampai pucuknya yang menggembung. keiji dengan iseng memutari pusatnya.

wakatoshi menggeram, melepas dengan lembut tangan keiji. wakatoshi turun lagi, kukung suaminya lagi.

“siap?”

mata wakatoshi berkilat-berkilat, sifat ambisius yang diselimuti pribadi lembutnya pancari mata keiji.

“iya, kak.”

wakatoshi melumuri lagi anal keiji dengan lubrikan, kemudian menggeseki pintunya dengan kepala penisnya.

wakatoshi menyeret masuk, keiji menggerogoti punggungnya dengan kukunya, lampiaskan kewalahannya.

“kakㅡ ya tuhaㅡn, ya tuhanㅡ”

yang lebih tua menahan diri, diam dengan setengah dari dirinya ditelan suaminya. wakatoshi menciumi leher keiji yang menjenjang keatas, yang tinggi-tinggi meraih nafas.

kecup, kecup, kecup; wakatoshi selami kain terawang yang kini sudah turun di perut keiji. wakatoshi mencumbu keiji di tubuhnya, menenanginya dengan kecupannya yang panjang-panjang, yang basah karena lidahnya ikut menjejak.

puting kemerahan keiji tak luput dari incaran. dibaluri dengan saliva disana, untuk kemudian dihisap kembali. wakatoshi menyengat keiji disana, mendistrak fokusnya dari analnya yang disumpal makin dalam, dalam, dalam, sampai wakatoshi habis dilahapnya.

“kamu hebat, keiji,” bisik wakatoshi ditengah desahnya, “you are doing great.”

lagi, lubrikan kembali dituang langsung dimana tubuh mereka bertemu.

“aku bergerak ya?”

keiji mengangguk dengan cemas tapi dengan keinginan yang sama.

wakatoshi memulai perjalanannya menelisik bagian tubuh yang tak pernah terjamah itu, bagian tubuh keiji yang paling berbeda, yang paling jauh dari sopan santun yang dijunjungnya.

pintu keiji sambut sang penyusup yang giat mencari harta di dalam. pintunya terbuka-tertutup dengan antusias, menyesuaikan diri dengan bentuk si penyusup yang menggali ke dalam, ingin membuat spasi untuk dirumahi.

si tuan rumah mendesah hebat, kadang tersedak dengan saliva sendiri. matanya berputar ke belakang, buat penglihatannya ikut membuta bagai akalnya.

“ahㅡ hmmnㅡ nngㅡ ahㅡ”

nikmat, nikmat, nikmat. hanya itu yang dipersembahkan si penyusup pada si tuan rumah. begitu nikmat sampai keiji mendenguk, tak dapat menampung gelembung kenikmatan yang makin membesar di dasar perutnya.

kak toshi, kak toshi, kak toshi, panggilnya bagai mantra, seakan panggilan tersebut bisa menyelamatkannya dari aliran deras menuju surga.

yang dipanggil mana mau selamatkannya? sebaliknya, wakatoshi mempercepat geraknya, menabrakan kulit mereka lebih kasar, tak sabar ingin tenggelamkan dirinya dengan keiji ke dasar sampai kaki mereka menapaki putih yang lebih pekat dari awan di langit.

“keijiㅡ keijiㅡ akuㅡ” wakatoshi menderum, “ㅡdi dalam?”

keiji tidak dengar. pertanyaan wakatoshi bagai angin lalu yang berhembus di telinga, tak dipedulikan.

wakatoshi mengerang keras lihat keiji yang tak lagi fokus pada dirinya. keiji yang dulu begitu jauh dari jangkauan, begitu jauh dari realitanya, begitu jauh bahkan hanya untuk dibayangkan, kini berada di bawahnya dengan kaki terbuka, cantik penuh amoralitas.

keiji yang cantik, yang bibir merekahnya terbuka, yang rambutnya lembab basah di keningnya, yang kulit hampir telanjangnya melebur sama warna dengan sprai merah muda.

keiji yang cantik, yang tak sabar tapaki surga, yang tak sabar disandingi keelokannya dengan jajaran dewi disana.

dorongan terakhir dan wakatoshi keluar. menyirami lorong keiji dengan putih.

siraman panas di dalamnya buat keiji gemetar, ujung jari menekuk; keiji ikut melepas, saat itu juga membentur pusat kenikmatan bersama sang suami.

keiji menangis, masih dengan tubuh yang gemetar karena post orgasme. kaki bergerak resah di atas ranjang. pelepasannya begitu hebat, begitu deras, begitu mencekik perutnya.

wakatoshi yang tubuhnya bereaksi sama mencoba memeluk suami dibawahnya, menciumi dagunya dengan lembut. tangannya dengan perhatian turun menenangi di tungkainya.

“sudah, keijiㅡ,” wakatoshi membisik di telinganya, menciuminya halus bagai kupu-kupu, “you did great.”

-

bokusuna – maid

-

suna yang hampir tertidur karena menonton tayangan random di televisi langsung sadar karena dengar suara tombol intercom yang ditekan dari luar.

tanpa pikir panjang, ia berlari hampiri pintu, hampiri tuan rumah.

“sunaㅡ”

panggilan lelaki yang lebih tua terhenti liat yang dipanggil sudah menghampirinya, tangan gugup di depan dengan jari saling terkait.

tuannya tersenyum, bukan senyum yang biasa diperlihatkan saat ada suaminya, bukan senyum yang biasa diperlihatkan saat suna memasak makanan yang enak, bukan senyum berkesan ramah sama sekali.

tapi senyum yang lebih seperti meremehkan.

pinggul suna langsung dipeluk dengan tangan kanan, tangan kiri penuh dengan tas kantor dan jasnya.

“ayo, langsung aja.”

suna yang kikuk cuma mengangguk, ikuti lelaki yang menggiringnya bagai anak yang tersesat.

iya juga, suna tersesat, tapi dalam sense yang begitu lain.

si mahasiswa gak benar-benar nol pahamnya. dia tahu apa mau si tuan yang sudah biarkannya bekerja di apartnya selama lima bulan, tapi, tetap aja, pengetahuannya soal ranjang nol besar. pacarnya di masa lalu gak pernah menuntutnya macam-macam.

jadi gak salah, kalo dadanya berdegup bagai ditinggali penggebuk drum, dan yang dipukul oleh stick drumnya bukan alat musik, melainkan hatinya.

“keiji bilang my sweat turns him on, jadi saya gak usah mandi, ya?”

suna bingung harus jawab apa. gak paham juga rasanya turn on itu gimana.

bokuto tertawa liat kebingungan di depannya. ia menarik dasi di lehernya untuk lepas kancing seluruhnya, “tapi kamu gak punya pilihan, sih.” ia merenggangkan kakinya ke depan, “sini, anak baik.”

suna dengan ragu naik ke ranjang, naik ke pangkuan tuannya. baju maidnya merumbai kesana kemari, gelitik bokuto yang masih dengan setelan kerjanya.

“saya kaget liat kamu secantik ini,” tangannya dengan kurang ajar mencelos masuk ke dalam rok yang pendek, “keiji cantik but damn kamu sinting pake ini.”

wajar si tuan panggil maidnya begitu. suna punya package di bagian belakang. pinggang ramping dengan tinggi yang semampai kini terbalut baju berdosa dengan dominan renda. rok pendeknya terlihat lebih kecil di kaki suna yang panjang. ukuran yang sebenarnya untuk akaashi sekarang terlihat begitu kecil di torso suna. bagian dada bajunya jugaㅡ

“ㅡdi bagian payudara ada busa, fuck, as if you have those boobs.” geram bokuto dengan tangan ikut kurang ajar meremas di bagian yang dikatainya.

suna menggigit bibirnya, jarinya menekuk di pinggang si tuan. rasanya salah baginya untuk merinding dengar kalimat tersebut. ditambah tangan bokuto yang gak secara langsung pegang bagian tubuh atasnya itu buat darahnya melesat naik ke pipi.

suna dipermalukan di atas kaki si tuan, rasanya harga dirinya dibuang entah kemana.

“kamu yang mulai dulu ya? you are the maid after all, tau tugas kamu?”

yang ditanya menggeleng.

“puaskan saya di bawah,” jawabnya halus, “kamu mundur sedikit.”

bokuto melebarkan kakinya di depan suna yang masih bersimpuh di depannya. tangannya menarik resletingnya, menurunkan celananya untuk kemudian mengeluarkan kejantanannya.

suna menarik nafas, “tㅡtuan, ituㅡ”

“iya, suna. sini, puaskan saya.”

kini posisi suna sudah begitu dekat dengan benda yang harus dipuaskan, badan menunduk tidak nyaman. bokuto mana peduli?

dua tangan suna dengan pergelangan yang dililit gelang renda melingkupi tonggak yang sudah menegak. suna menangis dalam hati karena entah kenapa penis di tangannya buat kakinya resah.

bokuto membantunya, menggesekkan penisnya pada pipi kemudian turun ke bibir tipis si pelayan, “ayo.”

suna menjilat ragu, mengecupi puncaknya dan kemudian memijitinya dengan bibirnya.

fuck, suna.” bokuto mendesah lega kala suna meloloskan setengah penisnya ke dalam mulutnya. bokuto begitu besar dan suna tak berani memasukkannya lebih dalam.

untungnya bokuto mengerti, tangannya mengelus sayang pada kepala suna, “sesukamu ajaㅡ fuck ukuran saya terlalu besar untuk kamu, pelan-pelan aja.”

suna mendengung, bokuto menggeram.

beberapa kali pijatan mulut, akhirnya suna diangkat untuk menegak. bokuto mengatur tubuhnya bagai boneka dan buatnya kini tiba-tiba menyandar di kepala kasur.

bokuto di depannya, angkat setengah badannya untuk menumpu pada pahanya lagi.

rok rumbainya disingkap, si tuan langsung saja menyentuhnya dari luar celana dalamnya, celana dalam yang juga hadiahnya.

“suna, kamu nurut banget, ya?” bokuto mengelus di bawah, beberapa kali tangannya tergelincir, menusuk jarinya di atas lubang yang jadi tujuannya malam ini, “kamu benar pake lace panty ini... black looks gorgeous on you.”

lelahnya setelah menyumbu penis bokuto masih belum mereda dan kini tubuh bagian bawahnya ikut dijahili.

jadi ini namanya turn on? tubuhnya seakan menyala di tiap sudut, begitu sensitif dengan bahkan hanya usapan ringan. suna gak mengerti, tapi kakinya yang dilebarkan di depan mata mesum si tuan buatnya ingin merapatkan kaki, ingin menggesek apa yang ditengah kakinya.

“tㅡtuan, tolongㅡ”

“kalau kamu terus menurut begini, kamu bisa saya biayai sampai kamu lulus, gimana?” kaki si pelayan yang masih dibalut hak tinggi diangkat tinggi-tinggi, dicium di bagian paha.

“atau kamu mau kerja di perusahaan saya? jadi sekretaris pribadi saya?”

suna merasa mual, perutnya bagai diaduk lahar yang panas. kakinya merinding sampai kukunya kala gigi tuannya ikut menggesek di kakinya.

fuck coba kamu bayangin aku gagahi di meja saya? kamu di bawah meja saya, asik mengulum padahal saya lagi rapat sama klien? atau a quickie di kamar mandi? hm?”

suna menggeleng dengan mata memerah. pipinya padam karena deskripsi bajingan sang tuan yang tak sengaja terbayang. ia dilecehkan begitu kurang ajarnya, tapi panas di ujung perutnya makin tersulut saja. si pelayan hampir menangis, putus asa di selangkangannya. kakinya ingin sekali merapat.

bokuto melepas celana dalamnya, tangannya mengelus di bawah, sedang tangan yang satunya menggigit lubrikan sachet dari saku celana kantornya.

“kamu basah disini, sunaㅡ” bokuto menuang cairan bening tersebut di atas kulit suna dengan cuek, “i want to eat your pussy but it would do another day, ya?”

suna hampir menangis.

satu jari lolos, si pemuda meringis, kakinya yang satu masih bertengger di pundak si tuan, yang satu mencari pijakan di kasur.

“sebentar, ya? saya akan coba gak kasar di kali pertama kamu.”

dua jari, kemudian tiga, bokuto menekan dinding anal suna. menekuk jarinya untuk maju lebih dalam. suna benar-benar rapat, begitu perawan di lubangnya.

“ahㅡ hngㅡ hhnㅡ tuanㅡ t-tuanㅡ”

bokuto tersenyum puas. puas sekali dapatkan suna yang merintih keenakan di bawahnya. suna yang sehari-hari dilihatnya adalah mahasiswa yang sangat sopan, yang bekerja dengan rapi dan giat ditengah kesibukannya, yang diperlakukan bagai adik oleh akaashi karena perilakunya yang ramah.

iya, kini pelayannya itu bukan membantunya dalam urusan rumah tangga, tapi urusan dahaga seksualnya. dilakukan dengan senang, pula. suna mungkin tak menyadarinya, tapi ia sejak tadi mengais jarinya untuk makin masuk, mengais nikmat dari tiga jarinya.

cukup dengan persiapannya, bokuto melepas jarinya dari lubang pemuda di bawahnya, berikut kemeja yang sudah lepek di punggungnya akibat nafsunya sendiri.

bokuto menggesek di bawah, menciumi kerutan anal suna dengan ujung penisnya.

suna memandanginya dari atas. kerutan analnya yang masih rapat yang digesek oleh kejantanan si tuan yang tebal dengan urat yang mengelilinginya. mulutnya terbuka, ingin meminta tapi merasa bukan tempatnya. pinggulnya bergerak, ingin sekali mendorong bokuto untuk memasukinya.

si rambut kelabu tertawa, “suna, mau? mau saya masuki?”

suna melempar jauh harga dirinya. yang di bawah begitu frustasi ingin dimanja.

si pelayan mengangguk frustasi, memandang bokuto dengan mata yang layu.

“say it?”

suna gemetar di bibir, tapi terucap juga, “m-mau tuan.”

kali ini, si tuan yang menuruti perintah si pelayan.

bokuto mendorong dengan hati-hati gulungan kulitnya masuk ke dalam lubang suna.

yang lebih muda mengerang, tubuhnya naik kewalahan.

“ahㅡ hhㅡ t-tuanㅡ”

“fuck, fuck, fucking fuckㅡ i knowㅡ i know you would be this tightㅡ”

yang lebih tua, tanpa basa-basi, memaju mundurkan tubuhnya, menyeret dinding suna dengan kulit penisnya. saat gumpalan titik menyenangkan suna tersundul, yang digempur mendenguk karena nikmat.

bokuto agak menegak, tumpu tubuhnya dengan betisnya, melipat suna menjadi dua, untuk kemudian maju lagi, menghantam suna telak di dalam.

suna bergoyang di atas kasurnya, mata ramah nan tajamnya hilang dibalur kenikmatan. bibirnya tak mau tertutup, mendesahkan tuan berkali-kali. matanya memutar ke belakang kala bokuto menabraknya terlalu dalam.

“tuanㅡ t-tuan sudahㅡ tuanㅡ anehㅡ a-aneh, akuㅡ hh ada yang mauㅡ keluarㅡ ke-keluarㅡ ahh

tangan suna terseok-seok cari pegangan di atas kasur, kemudian bokuto menundukkan tubuhnya, buat suna berpegangan pada punggungnya yang lebar.

punggung bokuto dicabik, pelampiasan pada pelepasannya yang diujung.

“tㅡtuanㅡ”

“keluar, suna. keluarin. i will let out mine too, inside you.”

suna keluar dengan jeritan, basahi seragam barunya dengan putih. ia ikut membawa bokuto yang dijepit luar biasa di bawah.

kepalanya melembek, pikirannya menumpul. suna rintarou, si pelayan sukses dibuat tak punya akal oleh tuannya.

bokuaka – practice kissing

-

akaashi dipangku di paha. biar leluasa, kata bokuto.

tangan akaashi dituntun peluk longgar lehernya. yang berambut abu mengelus tangannya pada pipi si pacar, tenangkannya dengan sentuhan ibu jari.

akaashi mulai rileks dipangkuan, tangannya mulai nyaman menyandar pada pundak bokuto.

rambut jelaga memejam mata sekejap, merasakan panas dari kulit telapak tangan rambut kelabu. matanya terbuka, pandang bokuto dan itulah sinyal maju untuk si pemimpin.

bokuto mengecup bibir akaashi. yang ini rasa paling familiar. kecupan yang biasanya dilakukan gak peduli tempat; sudut koridor saat jam istirahat atau depan pagar habis pulang sekolah.

kecupan kini jadi pagutan. bokuto beri tekanan lebih pada bibirnya, terbuka untuk mengulum bibir akaashi di antara bibirnya. yang ini pernah, tapi cuma sekali, makanya akaashi masih kaku. pulang sekolah siang hari, terik matahari begitu panas dan mereka berhenti buat beli es kelapa. bokuto menarik akaashi ke pinggir jalan, masih dengan tangan pegang plastik es.

bokuto memisahkan diri, perhatikan akaashi yang mengatur nafas halus dari hidungnya. wajahnya makin memadam tiap detiknya.

tersenyum, pipi akaashi kembali diusap, “pinter, lagi ya?”

akaashi mencubit paha yang dinaikinya, kesal karena diperlakukan seperti anak kecil.

bokuto memajukan badan lagi, mencium akaashi lagi.

kali ini harus upgrade, pikirnya. makanya bokuto melebarkan bibirnya, keluarkan lidah untuk menjilat pada bibir akaashi.

remasan pada pundak, bibir akaashi yang mengatup, buat bokuto melerai lagi pagutannya.

“akaashi?”

akaashi menatapnya kebingungan, “iya?”

“yang ini...harus pakai lidah, ya? jadiㅡ oh, sebentar.”

bokuto menggenggam rahang akaashi dengan satu telapak, ibu jari bersemayam di bibir yang lebih muda.

dengan lembut, bokuto menarik terbuka bibir akaashi, menggesek bibirnya perlahan, menyeret-nyeret ibu jarinya pada kulit yang kenyal dan basah disana.

akaashi memejam sekilas, tangan mengeruk pada pundak yang lebih tua.

malu, malu sekali diperlakukan begini. kamar bokuto jam 11 malam begitu sepi karena orang tua dan adiknya yang sudah terlelap. rasanya debukan jantung pada rongga dadanya sangat menerawang di pendengaran.

“shi? lidah kamu... coba jilat jempol aku?”

dengan ragu, lidah berwarna jambu itu keluar dari tempat tinggalnya, menyapu kecil jempol besar bokuto, seperti kucing yang meminum susunya.

akaashi diam-diam menyukai ini, suka sekali bokuto yang menatapnya dengan mata menyayu. scene di film tadi berputar-putar di kepalanya dan akaashi tak sabar.

“iya, begitu,” puji bokuto, “tapi jangan selembut itu, coba langsung aja ya?”

akaashi mengangguk, bokuto mendekatkan kuncupnya lagi.

kali ini lidah bokuto menekan bibir akaashi yang sudah buat spasi, memasukkan lidahnya masuk, bertamu dan menyapa lidah akaashi di rumahnya.

bertamu, menyapa sebentar untuk kemudian bergelut disana.

akaashi agak kewalahan. bokuto yang awalnya lembut kini giat bermain karena dicampuri hasratnya. rasanya ia ingin sekali melumuri akaashi dengan madunya.

tangan bokuto yang naik di pahanya, membelai disana, buat kulit yang lebih muda meremang sampai ujung kaki.

tiga detik terlepas, bokuto dan akaashi kembali memadu bibir. kali ini benar-benar hanya lidah yang bertemu. saliva yang berjatuhan, dahaga yang bukannya makin terpenuhi malah makin berapi-api.

tak diduga, tapi bokuto yang lebih dulu mundur. dikecupnya bibir ranum sang pacar, lalu menjatuhkan kepalanya di pundak akaashi.

tensi panas agak reda, akaashi bertanya, “kenapa?”

bokuto mengerang, “kamu gak rasain apa-apa emang?”

yang ditanya berkedip, “apanya?”

“bawah, lihat.”

iya, di bawah.

ada gelembung.

akaashi hampir tertawa, tapi sebenarnya kondisinya nyaris sama.

mereka berdua tahu, malam ini gak boleh lebih dari ini. pelan-pelan. jalan masih panjang.

the feeling: narasi bagian 3

“the star and sunflower”

-

tetes air yang jatuh sentuh lantai kamar mandi jadi pengiring suara jangkrik yang bernyanyi riang di luar, yang terdengar tak bising di telinga, melainkan jadi penenang bagi jiwa yang seharian meraba suka, mengigit kesenangan dari dadanya agar tak membuncah meledak disana.

hari ini begitu banyak kejutan; ia yang dibangunkan terlalu pagi dan dibawa suaminya ke bandara. pulang ke tokyo, katanya. memang, tokyo, tapi bukannya mendarat di narita, mereka mendarat di bandara chōfu. kemudian pertemuan tiba-tiba dengan kita dan aran, lalu ladang bunga matahari dan sekarang rumah kecil sederhana yang kata suaminya adalah rumah mereka.

“maaf, ya belum ada apa-apa disini.” kata wakatoshi sebagai teguran, mengambil keiji dari lamunannya tatapi langit dan ladang bunga matahari di bawah bukit, buatnya bagai laut yang berwarna kuning.

“gak apa-apa,” senyum keiji, matanya ikuti sang suami yang duduk di sampingnya, “asal ada kamar mandi dan kasur buat tidur.”

dibalas anggukan, “kita nawarin buat nginep, tapi aku mau cepat-cepat tunjukkin kamu rumah ini.”

keiji mendengung, tanda setuju. matanya menelisik kamar itu, satu-satunya ruangan yang berlampu, walaupun berbentuk portable.

rumah yang harus menanjak sedikit ini tidak bisa dikatakan mewah. dari pintu masuk, ruang tamu dan dapur ada di dalam satu ruang, lalu ada kamar mandi yang menjorok ke sisi samping kiri rumah, satu kamar kosong di depan kamar mandi, terakhir, di sebelah kanan dapur terdapat satu kamar dengan tempat tidur yang kini mereka tempati.

“kamu lagi mikir apa tadi?”

keiji berkedip, “tadi... apa?”

“pas aku di kamar mandi?”

keiji mengulum bibir bawahnya, bukan lagi pandang wakatoshi, tapi lagi-lagi pemandangan di luar yang agak gelap, cuma beberapa lampu usang yang redup di ladang buat bunga-bunga samar terlihat.

“gak ada apa-apa... cuma hari ini aku senengㅡ terlalu seneng, malah.” tawanya kecil, “do i deserve this much love?”

pinggang yang terasa mungil di lengan besar itu ditarik mendekat, wakatoshi pandangi matanya lekat, “jangan ngomong begitu, of course you do.”

jari wakatoshi di pangkuannya digenggam bagai tali, untuk kekuatannya, untuk tumpuannya agar tidak tenggelam lagi pada kubangan penyesalan.

“aku tau apa yang sekarang kamu pikirin,” tangan wakatoshi menyapu pada pipi suaminya, “udah, ya? udah lalu.”

keiji mengangguk, menuruti kehendak suaminya. ia pun sama, tidak mau berlarut lagi, tidak mau penyesalan yang lama itu kembali lagi gerogoti perasaannya, tidak mau kepalanya memudar warna dan buat perutnya teraduk.

sekarang, jiwa dan raganya disini, perasaannya ada disini, duduk manis di ranjang baru yang masih wangi kayu kenari, di rumah yang wangi catnya masih menguar.

sekarang, ia ada disini, bersama suaminya.

pipinya dikecup, “jangan melamun lagi.”

keiji memalu, bibirnya mengembang.

mungkin, mungkin saja wakatoshi punya sihir sendiri. keiji susah payah bawa dirinya ke tepi, bawa dirinya untuk tidak hanyut pada perairan yang bernama penyesalan lalu, tapi, wakatoshi, hanya dengan satu sentuhannya, bisa dengan mudah terbangkannya, buatnya melupa, buatnya tak ingat apa air keruh di bawah kakinya.

“maaf, enggak lagi.”

wakatoshi tersenyum seperti keiji, bagai memantulkan diri pada cermin. senyum yang sama, pancaran retina yang sama, perasaan yang sama, di atas pijakan yang sama, di atas ranjang kecil yang sama, di rumah mereka.

wakatoshi yang pertama, untuk kemudian diikuti keiji, memajukan tubuhnya untuk menjumpai bibir keduanya.

yang lebih tua menjejaki bibirnya begitu lembut, begitu berhati-hati, tapi masih dengan pribadinya yang ambisius, inginnya tak meninggalkan satu titikpun pada bibir keiji tanpa sapuan bibirnya.

yang lebih muda begitu menurut akan tuntunan wakatoshi, menjejaki jejak yang telah lebih dulu ditelusuri oleh suaminya.

tetapi, keiji juga punya ingin sendiri, punya dahaga sendiri; dahaga yang sama seperti wakatoshi, tapi wakatoshi ragu untuk melangkah duluan.

kali ini giliran keiji memainkan perannya.

keiji memanjat pada ranjang, masih dengan bibir yang melekat pada wakatoshi, menduduki pangkuan sang suami.

wakatoshi bergerak, genggam pinggang akaashi yang kini lebih tinggi dari pandangan lurusnya.

“kamu yakin?”

anggukan terburu-buru akhirnya menyulut wakatoshi.

bukan lagi hanya bertemu untuk menyapu, kali ini dua adam itu memamah satu sama lain, lidah ikut andil dalam perseteruan. keiji menggenggam dua sisi rahang wakatoshi bagai gelas yang ingin diminum habis isinya, wakatoshi menghirup keiji bagai lebah pada bunga matahari di akhir musim panas, rakus menjilat sarinya.

keiji melepas sweater kuning dari tubuhnya, dibantu wakatoshi yang melepas celana kulot dari kakinya, masih mencium pada lehernya.

“k-kak, lubrikan?”

wakatoshi mengedip, “aku gak bawa... gimana?”

keiji menggigit bibirnya, menjelajahi kamar yang redup dengan matanya, mencari sesuatu, sesuatu untuk menggantinya dengan yang lain.

yang di atas menatap lelaki di bawahnya, yang sibuk menciumi tubuhnya.

“kakak buka baju aja... i will do something.”

“s- apa?”

keiji menjilati jarinya sendiri, mata menyinggung pada wakatoshi yang tangannya berhenti pada kancing celananya karena terkejut dengan pemandangan di depannya.

“ya tuhanㅡ” wakatoshi menggeram, “ㅡkeiji.”

mata yang berambut sepekat malam melayu, pipi memerah saat dua jarinya yang bersimbah air liur menelisik ke belakang tubuhnya, mencatuk pada bagian yang paling mendamba jamah.

kening pada kepala wakatoshi, keiji jatuh tak berdaya dengan ulahnya sendiri. entah sudah berapa lama titik nikmat di dalam tak disapa. wakatoshi hanya bisa mengagum, mengecupi dada keiji di depannya.

“hmmhㅡ kakㅡ “

“aku aja, ya? kalau kamu gak kuatㅡ”

keiji menggeleng tak mau, buktikan kecakapannya sendiri untuk siapkan dirinya. tangannya lebih gusar mengaduk, buat kerut di belakang merenggang, siapkan untuk apa yang akan datang.

lima menit berlalu dengan empat jari. peluh makin deras berjatuhan. dengan kaki yang hampir menyerah, keiji mengerang.

“a-ayo, kakㅡ”

wakatoshi yang kembali dari jajahannya pada perut keiji mengangguk, membantu jari sang kekasih keluar dari singgahannya untuk kemudian mengganti dengan miliknya, ingin memastikan kembali karena takut menyakiti kesayangannya.

keiji memukul lemah pundaknya kala ia terlalu lama bertamu di bawah. akhirnya wakatoshi setuju, ia pun tidak bisa menahan gejolak di dasar perutnya.

yang lebih tua menggeser celana dalamnya, menampakkan pada keiji kejantanannya.

keiji terkesiap, meremat agresif pada rambut halus di tengkuk suaminya dan tanpa sadar menggigit pada kulit kepala lelaki yang satu.

batinnya begitu mengidam, begitu berpijar sampai ke ulu hati.

ingin dimanja begitu hebat, ingin merasakan tiap cinta sampai ke nadinya.

ingin wakatoshi menyiramnya dengan benih kasihnya untuk diserap sampai bagian kulitnya yang paling dalam.

ikuti langkah keiji, wakatoshi mengusap penisnya dengan ludahnya sendiri, matanya menyipit khawatir, tapi gairahnya berhasil kalahkan rasa bersalahnya.

ini bukan hanya maunya, tapi juga suaminya.

wakatoshi mendorong ke dalam, keiji menarik nafasnya sekali dengan keras, menggores kukunya pada punggungnyaㅡ

ㅡkeiji di pangkuannya bergetar hebat, menggagu parau di telinga wakatoshi.

ejakulasi pertama keiji.

wakatoshi tertegun, liat penis di depan matanya yang kini basah dengan putih.

“fuck, keijiㅡ keiji, sweetheartㅡ” “kamuㅡ”

“ma- maaf,” keiji menceguk di atasnya, masih dengan pipi merah yang makin memadam, tatapan yang bagai hilang akal, pinggul menggesek pada pangkuan wakatoshi, “m- maaf kak,”

wakatoshi menghela nafas, berusaha melempar akal gilanya untuk menerjang suaminya yang terlihat naim dan tak berdaya di bawahnya. kepalanya begitu pusing dengan birahinya, tetapi ia biarkan naluri penyerang dalam dirinya ditelan mentah-mentah.

yang lebih muda, dengan mata basah karena post orgasmenya, ditidurkan selembut kapas, dibuat senyaman mungkin pada bantalnya dan kemudian dicium kembali pada bunga di wajahnya.

keiji yang makin tenang kembali pada kesadarannya, ingin sekali lagi direnggut rasionalitasnya.

“k-kak, ayoㅡ”

wakatoshi tidak menolak. ajakan untuk ke surga yang telah dipijaki kekasih hati terlebih dulu begitu menggoda untuk disinggahi.

penis yang bersurai kokoa kembali menyapa keiji. si pendatang menghadiahi cumbuan lagi, ingin keiji tenang karena kesensitifannya yang sampai ujung kaki.

“keijiㅡ maaf, aku langsung aja, ya?”

anggukan lemah dan wakatoshi memaju mundurkan tubuhnya, menyeret penisnya untuk menapaki tiap titik nikmat di dalam tubuh keiji, menjadi konduktor semalam untuk memandu keiji bernyayi sepuas hati, suarakan kepuasannya.

hnnmgㅡ kak- kak toshi, ya tuhanㅡ”

nyanyian keiji begitu nyarik, begitu mendayu merdu di telinga sang suami, jangkrik yang mula berisik di luar jendela terdengar tak berarti, senyap memalu karena vokal keiji yang lebih indah di telinga.

bukan hanya alunan dari tenggorokan, wajah keiji yang padam tersipu dan sarat akan kepuasan begitu menawan, buat api dalam wakatoshi tersulut. ingin sekali menangi hati keiji, puaskan bunga hatinya sampai ke ujung jarinya. ingin sekali keiji meneriakkan namanya keras, panggil namanya sebagai yang dicinta dengan bibirnya yang cantik, yang kini deras dengan air liurnya sendiri.

“cantik, cantik sekali, keiji.”

wakatoshi membentur di dalam, telak. tungkai keiji melebar, bagai penyaji yang menyerahkan diri pada si penyantap.

“kak toshiㅡ kaㅡ hngㅡ”

sang suami masih konstan bergerak di atasnya, dengan tidak sabar ingin menggapai puncaknya. matanya lurus pandangi lekat yang terbaring di bawahnya. bahkan setelah selama ini keiji telah didapatkannya, wakatoshi masih memandangnya begitu memuja, seakan masih belum puas juga sampai keiji benar-benar bersatu menjadi bagian dirinya.

wakatoshi bagai bintang yang bersinar di atas langit, tapi masih mendamba untuk hinggap di bumi dan bertamu di ladang bunga matahari, meminta untuk berbagi kehidupan yang sama dengan si bunga yang cantik memanja mata.

tapi, keiji juga sama.

keiji juga ingin sekali terbang ke atas, mencabut dirinya sampai akar untuk mendatangi bintang yang bersinar di lautan gelap malam, berharap bisa menjadi matahari sungguhan.

tapi, tuhan tidak tidur. tuhan mempertemukan si bintang dan bunga matahari dengan perasaan yang sama.

keiji menjilat pada dagu sang suami, mencumbunya dengan frustasi. punggungnya setengah naik, mendekati wakatoshi di atasnya.

jemari kanan keiji diremas, cincin tanda janji sehidup semati berdenting, kulit yang dikecupi dan akhirnya wakatoshi melepas di dalam keiji, ikut bawa keiji mengawang di angin malam musim panas yang hangat.

-

the feeling: narasi bagian 2

“pulang”

-

keiji, yang masih tak percaya dengan apa yang didengarnya, menunggu tepat di entrance apartemennya.

ia duduk menyandar pada dinding, tangan masih mengepal di ponselnya.

takut, takut.

bagaimana kalau tiba-tiba wakatoshi berubah pikiran dan gak jadi pulang?

bagaimana kalau wakatoshi membaca lagi pesannya tadi dan berpikir semuanya belum cukup?

bagaimana kalau wakatoshi berpikir apabila ia kembali lagi, itu berarti ia harus berurusan dengan keiji yang ternyata egois dan kekanakan.

bagaimana kalauㅡ

kunci apartemennya berbunyi, tanda seseorang menekan digit password pada pintu.

keiji tidak membiarkan yang di luar menekan enam digit lama-lama, karena ia sudah lebih dulu menerjang pintu dan membukanya.

disitu wakatoshi, berdiri masih menghadap deretan angka untuk ditekan, yang kini menoleh pandang keiji di depan pintu.

keiji memandang wakatoshi, masih dengan kemeja kantornya yang kancingnya dilepas tiga.

keiji tercekat. rasanya oksigen yang melayang bebas di udara tak cukup untuk paru-parunya, tak cukup untuk sistem respirasinya, tak cukup untuk kerja otaknya dan perintah tubuhnya untuk bergerak dan melakukan apa yang pertama kali ingin dilakukannya saat yang paling didambanya tepat berada di depannya.

keiji terdiam. pandangi wakatoshi yang melangkah satu-satu dekatinya, yang tangannya kini bertengger pada kulit pipinya.

keiji menangis dan baru menyadarinya saat kedua tangan besar wakatoshi mengusap renik pada aliran air yang berantakan menjejak pada wajahnya.

keiji dicium sehalus kupu-kupu pada keningnya, cukup lama, buat kulit disana memanas. buat kepalanya akhirnya dipicu bangkit memproses apa yang terjadi, buat matanya balik memandang mata wakatoshi yang tepat di depannya, mata suaminya yang memerah dan pandangnya begitu mengangan.

keiji masih ragu bergerak, tapi begitu ingin yang di depannya tahu bahwa dirinya sama mengangan, sama rindunya, sama tersiksanya kala hari-harinya yang biasa berdua menjadi sendiri.

keiji menggesek pipinya yang masih ditangkup telapak besar kesayangannya, merasakan tiap pori dan garis-garis halus nan keras disana, buat pundak keiji menurun karena kelegaan luar biasa. ketenangan yang berpendar hebat di dadanya karena akhirnya bisa merasakan suhu hangat yang jadi kesukaannya.

nyata. yang di depannya benar nyata. yang di depannya benar wakatoshi yang sesungguhnya.

keiji akhirnya bergerak mengalung di leher besar sang suami, mencium apapun yang dicapai di wajahnya.

keiji menangis makin tersedu kala yang lebih tinggi ikut bergetar pundaknya, mengecup sayang di telinga sebelum berbisik dengan parau,

“aku pulang.”

bokuroo – uniform

-

rok telah tandas dari tubuh, seragam putih ketat dengan kancing buyar tersingkap sampai leher, kaki gemetar tertekuk yang sesekali menendang, juga wajah merah berpeluh; semua akibat tiga jari yang mencatuk pada lubang kecil di antara bokong kuroo.

bokuto, dimana-mana, besar. mulai dari tinggi sampai otot, kemudian paha dan punggungnya. jadi bukan hal mengagetkan kalau jarinya juga sama besarnya; begitu tebal dan kasar, hasil latihan isengnya panjat tebing yang ada di halaman belakang kampus bareng anak-anak mapala.

jarinya begitu terlatih. biasanya mencari pijakan untuk menggapai sisi tebing yang lebih tinggi. kali ini, jarinya mencari pijakan lain pada lubang kuroo, untuk yang ditusuk menggapai sisi yang lebih tinggi.

tapi, kuroo gak mau.

“udahㅡ udah anjing,” protes yang di bawah, “ㅡcepetan.”

jari keluar, bokuto mengelus paha mulus yang dibawah, paha kebanggaan yang katanya cantik. emang cantik, sih. buat bokuto mau banyak menjejak disana.

bokuto pindah, mengelus lipatan basah di bawah yang tertutupi lagi celana dalam rendaㅡ iya, bokuto suruh kuroo buat gak lepaskan celana dalamnya, “buru-buru banget? kenapa emang?”

kuroo mau, mau banget menyumpahi lelaki congkak di atasnya, tapi badannya yang gemetar dan gak tahan lagi untuk dimasuki aja terus udahan, capek gak mengizinkan.

bokuto ambil kondom dari saku celana belakang, merobek dengan gigi sambil tetap tatapi orang yang kemarin masih berstatus temannya itu. bibirnya tertarik ke atas, bangga atas perbuatannya sendiri yang buat kuroo bisa seberantakan ini.

kain celana melorot, kuroo meremas kain abu di bawah tubuhnya.

“sinting, ituㅡ”

“ya gak jauh besar dari lo, kok. santai, ya?”

si rambut abu belum bergerak mendekat, masih ingin isengi kesayangannya, yang dilihat makin frustasi di tiap detik berlalu.

bokuto menaik-turunkan tangannya pada penisnya, membalurinya dengan lubrikan dengan jumlah banyak. matanya masih menerawang pada tubuh molekㅡterutama favoritnya, pantatㅡ di depannya.

“gila lo, gila,” tawanya dengan terengah-engah karena asap nafsu, kemudian mendekati kuroo untuk dicium lehernya, “cantik banget, adek lo lewat pokoknya.”

kuroo tau itu cuma omongan manis gak ada dasar, tapi wajahnya memerah malu. mau rasanya menjitak kepala orang yang kini menjiplak bibirnya pada dadanya.

“gak perlu, gue bukan cewek, gak adaㅡ hhn.”

iya, bokuto baru saja menggigit pucuk kemerahan pada dada kuroo, lalu dengan sok prihatin mengelapnya dengan lidah, buat air liur dinginnya sebagai 'pereda nyeri' pada putingnya.

tangan kuroo naik meremas surai kelabu saat basuhan lidah berubah jadi hisapan yang serakah, seakan ingin memanen sesuatu dari sana.

“udah, s-sakitㅡ setan, sakit!”

lagi, senyum nakal terbit, “tapi enak? enak lah, kan sekarang lo cewek. enak kalau dimakan di payudara.”

“anjinㅡ”

“eh, tets,” bokuto bangun untuk menatap kuroo di mata, “kan sekarang lo lagi pake seragam SMA, coba panggil gue 'pak'.”

“hah?”

“bilang, 'pak guru, ayo masukinㅡ”

“t-tolol! serius, mesum tololㅡ”

“loh? mau gak? apa gak gue kasih?”

bajingan bangsat bangsat bangsat bangsat mesum bangsat begitu isi hati kuroo, gigi gigit bibir karena kesal.

tapi mau gimana? lubangnya begitu mendamba ingin dirumahi. penis besar bokuto yang diselimuti kondom dan banyak lubrikan seakan menggodanya untuk turuti permintaan bodoh tadi.

siapa suruh kuroo tergoda?

“ayo? gimana?”

jarinya meremas seragamnya yang lepek karena keringat, mukanya makin padam karena si anjing permintaan macam apa sih ini.

“p-pak guruㅡ”

“ya, sayang?”

anjing.

“pak g-guru, masuki aku...”

bokuto hampir meledak tawanya, tapi harus tahan, gak mau kalau-kalau yang satu malah ngambek dan tinggalkannya keras di selangkangan begini.

“oke sayang,” bokuto bergerak geser celana dalam renda untuk buat jalan, “masuk ya.”

“p-pelan-pelanhhㅡ fuuuuuuck koUTARO!”

bukan cuma kuroo yang merintih, bokuto juga. penisnya seperti dijepit. kuroo sempit, rapat sekali di bawah. ternyata tiga jarinya gak ada apa-apanya sama penisnya.

lain bokuto, lain kuroo. ukurannya dengan bokuto memang hampir sama, tapi rasanya beda saat dimasuki, bokuto terasa jauh lebih besar, buat spasi sendiri untuk tinggal di dalam.

“gak apa-apa?”

kuroo mengangguk, gak percaya diri dengan suaranya.

“gue gerak ya.”

belum diiyakan, bokuto bergerak sesukanya. masuki kuroo lebih dalam, lalu menghilang, menyeret penisnya keluar untuk kemudian maju lagi.

“hnnㅡg ahㅡ sintingㅡ pelan!”

kuroo minta pelan, tapi wajahnya begitu berdosa, seakan minta lebih, minta ditumbuk lagi.

“gak bisa, brengsek. nagih banget.”

kotor mulutnya, ingin kuroo tampar tepat di bibir.

“coba panggil 'pak' lagi?”

ini lagi.

kuroo menggeleng, tubuh masih bergerak, kepala hampir menabrak kepala kasurnya.

gila begini rasanya main di anal? pertama kali dan rasanya seluar biasa ini. apa ini karena bokuto yang siapkan dirinya dengan baik? karena bokuto memasukinya dengan yang besar?

gak tau, gak peduli. kuroo gak bisa berpikir sekarang.

“enak gak, sayang?”

kalau si rambut jelaga tidak dijajah sebegini rupa, tidak melayang sampai kewarasan menipis, bokuto bisa saja sudah terduduk di lantai karena ditendang.

tapi ini kuroo, yang mengawan tinggi karena titik di dalamnya dimanja dan juga karena cubitan bokuto di, yang katanya 'payudara', buat tubuhnya menegang, buat kepalanya rusak, buat mulutnya tak terkendali.

“e-enakㅡ enak pakㅡ hgghㅡ udah.”

pelipisnya dicium karena sudah buang harga diri, “iya, sebentarㅡ sebentar lagi.”

laju meninggi, buat kuroo melengkung, meremas kencang pada rambut si pelakunya. nafasnya satu-satu karena bokuto telak menyundul nikmatnya di dalam.

“kou-koutarouㅡ keluarㅡ aku mau keluarㅡ”

“iya, iya, iyaㅡ samaㅡ ayo.”

kuroo lebih cepat dua detik pada pelepasannya, ikut bawa bokuto dengan menjepitnya di dalam. bokuto membaluri putih dinding anal kuroo, menghasilkan erangan kembar dari keduanya.

bokuto bersimpuh pada lututnya, mengangkat lipatan kaki kuroo yang gemetar ke langit. hal ini buatnya mudah pandangi celana dalam calon pacarnya yang sedikit robek, bertengger pada selangkangannya, yang basah dengan cairan putihnya.

kuroo masih belum sepenuhnya sadar, masih berenang-renang dikubangan euphoria yang diciptakan lelaki yang satu, tapi dengan enteng, bokuto menjilat bibirnya sendiri, menurunkan kepalanya di antara kaki jenjang yang belum menapak.

“pak guru boleh jilat di bawah, ya?”

anjing.

bokuaka: lip glitter

-

malam minggu; malam sakral untuk yang berpasang. malam temu dan kangen untuk mereka yang sibuk dengan hidupnya dari senin sampai jum'at. malam berlangit gelap yang punya udara merah jambu berhembus; akibat pasangan yang memadu kasih dimana-mana.

tidak terkecuali untuk dua orang ini.

bokuto dan akaashi.

lelaki yang hampir beranjak tiga puluh tahun yang akhirnya bebas dari tumpukan kerjaannya.

mahasiswa yang dengan ajaib menyelesaikan essay tiga ribu kata di jum'at kemarin.

bedanya, mereka tidak memilih hiruk pikuk di luar sebagai tempat kencan. ada paket kain yang ditungguㅡterutama oleh bokutoㅡ untuk diterima.

makanan habis, menyisakan tumpukan piring kotor sebagai bukti makan malam. biasanya, akaashi akan bawel soal tumpukan piring kotor, tapi itu bisa ditunda.

akaashi berdiri di depan kasurnyaㅡkasurnya dan bokutoㅡcanggung. kerah kimono semerah tinta melorot, meninggalkan pundak kurusnya, buat tulang selangka yang menonjol sugestif menjadi tontonan, buat yang melihat tidak tahan melukisnya dengan merah.

“wahㅡ akaashiㅡ”

akaashi memicing, “kebesaran di aku.”

“tinggal buat kamu gemuk.”

“mana mau?” protesnya, “tapi ini bisa dijahit.”

“kamu pakai begitu juga aku suka.”

“kamu memang suka aku pakai kimono, you and your weird fetish.”

si rambut abu terkekeh, kini menegak dari duduknya yang semula santai, “berapa kali kamu minta aku masuki kamu pakai baju kerja aku?”

yang diejek tersipu, melotot coba buat dirinya mengintimidasi bokuto.

“but for real, though,” bokuto dengan kurang ajarnya menatap akaashi dari ujung kaki sampai ujung kepalanya, dengan tatapan yang bukan main-main, “kamu benar-benar stunning in red.”

mata mereka bertemu dan akaashi paham bahwa malam ini adalah malam-malam itu.

malam dimana bokuto yang baik dan lembut hilang ditelan nafsunya sendiri, berwujud baru menjadi bokuto yang kejam, yang mau menangi hasratnya, yang mau akaashi bertekuk lutut untuknya.

secara harfiah dan kiasan, maksudnya.

“kamu mau aku apa?” tanya akaashi yang tahu tempatnya. tahu bahwa dia memang di bawah bokuto. tahu bahwa dia harus menuruti sang kekasih di permainannya. tahu juga bahwa dirinya sendiri menyukai ini.

dia suka saat bokuto memegang talinya, memberikannya perintah sampai akaashi berantakan dengan suka hati.

“sebentar, aku mau ambil sesuatu, kamu disana, on your knees.”

membiarkan bokuto mengacak lemarinya, akaashi bergerak, menekuk kakinya sampai lututnya jadi tumpuan. obinya dilepas karena sesak, bukan karena sabuk itu terlalu mengikat di perutnya dan menganggu pernafasannya. akaashi sesak karena hasratnya sendiri, kakinya gemetar dengan bayangan apa yang akan datang. bokuto selalu membuatnya terkejut dengan ide ranjangnya, buat akaashi putih sampai ke ujung kaki.

bokuto yang duduk di depannyaㅡdi atas kasur tepat di depan wajahnyaㅡ buat lamunan akaashi buyar.

lelaki dengan kaus longgar rumahannya tersenyum menggoyangkan botol kecil di depan akaashi.

“ituㅡ”

“hadiah beberapa bulan lalu yang belum dipake, ingat gak?”

akaashi mengangguk, ingat. lip glitter. hadiah yang iseng dibeli bokuto itu belum sempat dipakai, terlupakan begitu saja karena kesibukan keduanya.

“let me put this on your lips.”

akaashi, tanpa disuruh, mendekatkan tubuhnya, kedua jari meremat di atas paha bokuto saat dirasa cairan kenyal dibubuh di permukaan kulit bibirnya.

bibir akaashi tidak tipis, tapi juga tidak tebal. bibir akaashi gemuk dibagian tengah, dengan sisi yang kian menipis sampai pinggirnya. bokuto tersenyum dengan kerjaannya yang tidak begitu rapiㅡdia bukan veteran dalam hal iniㅡbuat bibir akaashi yang ranum dengan warna sakura menjadi semerah beri. bibir merah akaashi mengilat, layak serpihan kaca yang bersinar saat lampu menyorot, cantik berkelip tiap kali bokuto mengubah sudut pandangnya.

dengan terburu-buru, bokuto menutup botol kecilnya, kemudian sembarangan meletakkannya di dekat ujung kaki.

tangannya menggapai pada dagu si manis, menekannya lembut dengan jari, buat pipi akaashi menyekung dan pop! buah beri itu terbelah, memperlihatkan isinya yang begitu menggoda untuk dilahap habis.

bokuto menyeret jarinya pada kelip di ranum yang lebih muda, dibarengi air liur yang menetes tak sengaja.

“gila, akaashi,” tawa yang lebih tua, menyebalkan, “things i would love to do to you.”

kuku jari pada paha bokuto menajam pada kulitnya, tanda akaashi yang malu karena merasa dilecehkan. mata akaashi menyayu, pandang bokuto dengan mau.

mau apa?

“bibir kamu cantik, akaashi.”

“tapiㅡ tapi kamu ngerasa gak sih, ada yang kurang? tebak apa?”

“hm?”

“you know it better, right?”

“ayo bilang, i will give it to you.”

rematan pada pipi akaashi mendalam, bukan hanya akaashi yang frustasi disini.

“akaashiㅡ”

“aㅡ” suaranya akaashi teredam, antara karena keputusasaan dan saliva yang berkumpul karena tak bisa mengatup bibirnya, “aㅡaku mauㅡ”

“hm?”

matanya kian menyipit gelisah, jarinya yang panjang mengelus kulit di bawah tangannya penuh damba.

“i want to suck you off.”

bokuto tersenyum menang, tangannya melepas kasar tangkupannya pada wajah akaashi untuk menarik lehernya mendekat pada hadiah yang diidamkan akaashi.

“with pleasure, pretty.”

malam itu, bukan hanya lip glitter yang menempel pada bibir akaashi.