hiirei

inoo

[#inoo & #yamada, the girl on the train-based au, #yabunoo + #yutoyama + #yamachine sebagai pairing] [untuk #Inoo31stbirthday]

Inoo suka memandang keduanya di pagi hari, setiap dia melewati kawasan itu dengan kereta.

Dia tidak mengenal mereka sungguhan, nama saja tidak tahu, hanya selalu melihatnya ketika kereta yang dia naiki melewati rumah mereka. Pada pagi-pagi saat dia berangkat terlalu siang, dia hanya akan melihat lelaki itu, sendiri, tetap berada di beranda lantai dua rumahnya, menatap pemandangan sekitarnya dengan senyum kecil.

Menurut Inoo, lelaki itu punya segalanya yang dia pernah miliki.

Dia juga pernah berada dalam posisi yang sama; rumah hangat yang selalu menjadi tempatnya berpulang, ketenangan dalam diri yang terpancar dari wajahnya, serta kekasih yang mencinta dan dicintanya.

Yabu, kekasihnya dulu, hampir sama tinggi dengan kekasih lelaki itu, rambut mereka sama-sama hitam dengan poni yang jatuh tepat sebelum alis mereka, senyum sama-sama lebar dan menenangkan. Mereka sama-sama akan memberi pelukan pagi, menaruh dagu mereka di atas kepala, kedua tangan tak akan dilepas sampai jarum jam menunjukkan mereka akan terlambat kerja.

Perbedaannya hanyalah Inoo pernah memiliki semuanya. Lelaki itu masih mempunyai apa yang tadinya dia punya. Inoo paham bagaimana perasaan lelaki itu, merasa segalanya akan baik-baik saja selama mereka memiliki satu sama lain, hatinya tidak lagi dipenuhi rasa gundah karena sudah mendapat apa yang dia cari.

Karena hal itulah Inoo suka memandangnya, suka melihat lelaki itu karena dia akan teringat kembali pada masa-masa ketika dia masih baik-baik saja. Lelaki itu bagai dongeng untuknya, tercipta sebagai wujud dari harapannya yang berhenti menjadi kenyataan.

Karena hal itulah, Inoo tidak mengerti ketika melihat lelaki itu berdiri di tempat yang sama bersama lelaki lain.

Lelaki lain itu tidak pernah dia lihat sebelumnya. Mereka berdua tersenyum, membicarakan sesuatu dengan jarak terlampau dekat, terlalu dekat bahkan ketika lelaki itu mendekap si lelaki lain dari belakang. Persis seperti cara kekasih lelaki itu mendekapnya.

Siapa dia? Mengapa lelaki itu justru bersama lelaki lain sekarang?

Padahal, pagi kemarin Inoo masih melihat mereka bersama, senyum masih ada di wajah masing-masing. Padahal selama ini, selama dua tahun Inoo memperhatikan mereka melalui kereta ini, tidak ada yang salah di antara mereka. Mungkin sesekali ada pertengkaran, sebab dia ingat pernah melihat lelaki itu tidak mau membalas sapaan kekasihnya, namun tak lama kemudian mereka pasti akan akur kembali.

Namun, jika sudah seperti ini, apakah mereka akan kembali baik-baik saja?

Inoo kehilangan Yabu dalam sekejap. Bukan karena mereka lelah, bukan karena mereka memutuskan untuk tidak bersama lagi suatu pagi, namun karena takdir senang mempermainkan mereka. Kecelakaan itu terjadi begitu cepat; satu kedipan dan detik selanjutnya dia berada dalam mimpi terburuknya. Dia berada di lokasi kejadian, bersama Yabu, namun hanya dia yang masih bernapas hingga kini.

Dia sudah kehilangan dongeng yang dia hidupi. Dia tidak mau harus kehilangan dongeng lainnya yang dapat dia saksikan setiap pagi. Dongeng lain yang membuatnya tetap waras menjalani hari karena percaya masih ada harapan bahagia selamanya di luar sana.

Hari itu, dia turun di stasiun tempat dia melihat lelaki itu tinggal. Dia mengeluarkan ponsel sembari setengah berlari, mengetikkan pesan singkat dengan ketikan acak pada Hikaru, meminta sahabatnya itu memundurkan pertemuan mereka sampai sore nanti.

Rumah lelaki itu terletak tak jauh dari stasiun, walau sempat membuat Inoo tersesat sedikit karena banyaknya gang kecil yang membuatnya terkecoh. Tampak depan rumah itu tak jauh dari yang dia bayangkan; garasi yang kini kosong, pagar yang tak menyampai pinggangnya, serta beberapa tanaman yang tertata rapi di halaman. Melirik pada kotak surat yang tersedia tak jauh dari pagar, Inoo mengingat nama mereka; Nakajima-Yamada.

Jari panjangnya menekan bel, tak lama terdengar sahutan dari dalam menyuruhnya untuk menunggu. Suaranya sedikit berbeda dari yang Inoo bayangkan, namun dia tidak terlalu keberatan.

“Ada yang bisa kubantu?” tanya lelaki itu, ternyata lebih pendek darinya, menatapnya dengan curiga.

“Siapa lelaki lain itu?” Kedua mata Inoo beralih ke dalam rumahnya. “Apa dia masih ada di sini?”

“Apa maksudmu?” Lelaki itu semakin curiga, menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Aku selalu melihatmu setiap pagi melalui jendela kereta.” Inoo memutuskan untuk memberinya sedikit penjelasan. “Aku selalu tahu kau tinggal bersama kekasihmu yang jangkung. Pagi ini kau bersama lelaki lain. Siapa dia?”

Lelaki itu tampak terkejut dengan penjelasannya, mengambil langkah mundur bersamaan dengan pintu yang hampir ditutup. “Kau penguntit? Berhenti memperhatikanku atau rumahku ... atau apapun yang ada di sini. Silakan pergi dan jangan kembali.”

“Kau tidak mengerti,” Inoo mendesak, mencoba menahan pintu itu agar tidak tertutup sepenuhnya, “jangan buang apa yang kau punya. Apa yang kurang dari kekasihmu? Aku yakin kalian bisa memperbaikinya.”

“Kau orang asing, kau tidak tahu apa-apa!” Nadanya meninggi, mendorong pintu dengan sekuat tenaga. “Ini bukan urusanmu. Pergi atau aku panggil polisi.”

Tidak punya banyak kekuatan untuk menahan, lelaki itu berhasil menutup pintu dan menguncinya kembali, meninggalkan Inoo di depan rumahnya. Tidak baik juga kalau lelaki itu betulan menelpon polisi dan melaporkannya. Inoo pun menghela napas dan melangkahkan diri keluar, menjauh dari rumah itu.

Bukan berarti dia akan menyerah. Dia akan mencari tahu siapa lelaki lain yang dia lihat dan mencari tahu alasan mengapa dia ada di sini bersama lelaki itu. Dia akan memperbaiki cerita ini.

[#inoo, #takaki, dan slight #yabuhika serta onesided #yabunoo. sudah jelas lah ya ini ke mana arahnya. rpg au.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Satu peran dalam grup mereka umumnya dipegang oleh satu orang.

Misalnya peran fighter yang hanya dimiliki Yamada. Atau Yabu yang hanya menjadi paladin satu-satunya. Begitu juga dengan Daiki yang menjadi healer mereka. Semuanya dipegang oleh satu orang.

Namun ketika membicarakan peran pemegang sihir, ada Hikaru dan Inoo dalam grup mereka.

Sihir mereka tidak persis sama. Diajarkan dari orang yang berbeda juga, tentunya, sebab sihir selalu unik. Diberikan secara turun-temurun, namun semua orang akan memiliki ciri khas sihirnya sendiri.

Dalam kasus mereka, Hikaru lebih bisa menggunakan sihirnya untuk memberi damage secara langsung. Bisa juga menimbulkan elemen-elemen secara kehendak. Dan yang paling membedakan adalah tongkat milik Hikaru. Selalu ada di saku jaketnya. Tidak terlalu diperlukan juga, sebenarnya, sebab Hikaru tetap bisa menggunakan sihirnya dengan tangan kosong. Namun dia ingin memberikan perbedaan antara dirinya dan Inoo.

Sedangkan untuk Inoo sendiri, dia sebenarnya bisa saja melakukan apa yang bisa dilakukan Hikaru. Dia juga bisa memakai elemen-elemen tertentu sebagai kekuatannya untuk memberikan damage pada lawan. Hanya saja, dia kekuatan fisiknya tidak sehebat Hikaru.

Jadi untuk membantunya, Inoo akhirnya lebih fokus dengan sihir summon. Memanggil makhluk dari dimensi yang dibuatnya sendiri untuk membantunya. Dia yang membuat makhluk-makhluk itu sendiri, diberi nama satu per satu.

Yang menjadi masalah untuk Inoo hanya satu; Hikaru dan Yabu.

Entah siapa yang membuat keputusan ini menjadi mutlak, namun Hikaru selalu dipasangkan dengan Yabu. Keduanya akan mendapat misi bersama dan tentu menghabiskan waktu lebih banyak bersama pula.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Inoo punya sedikit perasaan kepada ketua (tidak resmi) tim mereka. Dan kini, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa Yabu sudah memilih Hikaru sebagai pasangannya.

Inoo tidak terang-terangan mengeluh.

Namun Takaki, walau dikatakan sangat tidak peka ketika berkaitan dengan perasaan, mengerti betul apa yang dirasakan temannya itu.

Karena Yabu dan Hikaru sudah menjadi pasangan tidak terelakkan, Chinen dan Keito masuk ke dalam daftar berikutnya. Lalu ada Daiki dan Yamada, disertai Yuto yang malang karena seringkali harus mengalah dan ikut dengan keduanya.

Menyisakan Takaki dengan Inoo.

Takaki tidak pernah menanyakan langsung kepada Inoo. Jelas karena Inoo sendiri tidak mau menjawab. Langsung mengalihkan pembicaraan mereka ke hal lain.

Yang Takaki hanya bisa lakukan hanya satu; berbicara pada sihir milik Inoo.

Makhluk-makhluk yang baru diciptakan Inoo biasanya akan ada dalam dimensi mereka selama beberapa waktu. Nantinya akan hilang sendiri ketika Inoo terlalu lelah atau fokusnya hilang. Terkadang juga dapat datang sendiri tanpa dipanggil. Takaki belum begitu mengerti mengenai kedatangan tiba-tiba makhluk milik Inoo.

Takaki pikir, makhluk tersebut merupakan bagian dari Inoo. Lebih tepatnya bagian dari sihir Inoo, tapi pasti mereka juga membawa emosi sang pencipta, bukan?

Mereka tidak bisa bicara. Hanya bisa bersuara. Tidak berbeda jauh sebetulnya dari hewan pada umumnya. Bentuknya saja yang sedikit aneh dan tidak biasa (semua tergantung pada imajinasi Inoo).

Namun Takaki bisa menebak dari ekspresi yang terlihat di wajah makhluk-makhluk itu. Sebut Takaki gila tidak apa-apa, tapi dia selalu berpikir makhluk tersebut mengekspresikan apa yang tidak bisa Inoo tunjukkan.

Oleh karena itu, biasanya kalau sudah melihat salah satu makhluk milik Inoo dengan ekspresi terlampau sedih, Takaki akan merangkulnya. Kalau ukurannya kecil, maka dia akan memeluknya atau menaruhnya dalam pangkuan. Mengajaknya bicara mengenai apa yang tidak bisa dia bicarakan pada Inoo secara langsung.

[#inoo & #daiki. inoo-nya hantu. untunglah daichan anak yang kuat.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Daiki sebenarnya tidak mau pindah.

Kamar kosnya yang lama lebih nyaman. Jaraknya juga tidak jauh dari fakultasnya, sehingga bisa bangun lebih siang untuk kelas pagi. Dia juga sudah terbiasa di sana.

Tidak diganggu seperti di sini.

Tempat kosnya kini lebih kecil. Lebih murah juga—untuk itulah dia pindah. Lebih jauh dari gedungnya, sehingga mungkin nanti dia harus sering-sering berlatih lari agar tidak habis napas.

Namun yang paling penting adalah: penghuni kos ini menyebalkan.

Daiki tidak pernah mempermasalahkan hal-hal yang tidak bisa dia lihat. Dia pikir, selama dia tidak mengganggu, maka sebaiknya mereka juga tidak mengganggu. Dan dia selalu mencoba memberi impresi yang baik setiap berada di tempat yang baru.

Sayangnya, penghuni ini terlalu keras kepala.

Inoo, namanya, menurut lelaki kamar sebelah yang kebetulan dengar rumornya dari orang-orang sekitar. Jahil, katanya. Daiki tentu percaya karena dia mengalaminya sendiri.

Walau begitu, keberadaan Inoo memang ada untung-ruginya.

Dimulai dari rugi, kembali pada bahasan sebelumnya—dia jahil. Bukan jahil yang menampakkan diri tiba-tiba atau menimbulkan suara entah darimana. Bukan, bukan. Namun jahil dalam bentuk menyembunyikan barang.

Inoo sepertinya tahu benda-benda yang diperlukan Daiki pada saat tertentu. Dan pada saat itulah dia menyembunyikannya. Misalnya, makalah ujiannya yang harus dikumpulkan sebelum kelas. Sebelum berangkat, Daiki mencari ke semua tempat, namun nihil. Dia sudah hampir menangis karena makalah itu dikerjakannya semalam suntuk, belum lagi waktu sudah hampir habis untuknya—dia harus segera berlari menuju gedungnya kalau tidak mau telat.

Ketika dia sudah putus asa, tiba-tiba makalah itu muncul. Di depan matanya. Di atas meja, padahal dia sudah mencarinya berkali-kali di sana.

Tidak hanya itu, Inoo juga suka menyembunyikan benda penting lainnya. Dompetnya, ponsel, bahkan cemilan yang baru saja Daiki beli dari warung. Mungkin Inoo senang melihat Daiki panik. Mungkin memang sedang bosan saja karena tidak ada yang harus dilakukan ketika sudah menjadi hantu.

Jika melihat dari sisi untungnya ... sama saja. Karena kejahilan Inoo, terkadang Daiki juga jadi terbantu. Contohnya seperti suatu pagi di mana Daiki tertidur di toilet, padahal dia harus segera berangkat untuk menghadiri kelas. Inoo, mungkin menertawakan Daiki yang tertidur setelah duduk di kloset, memercikkan air ke wajahnya. Pelan-pelan, namun lama-lama Daiki merasa seakan diguyur.

Daiki tidak terlalu ingat apakah dia benar-benar basah diguyur atau hanya perasaan saja. Namun setidaknya, hari itu dia tidak telat masuk kelas.

[mafia au dengan inosen #keito. bersama #hikaru dan #inoo. minor violence. belum ada judul dan belum kepikiran jadinya untitled untuk sementara.] [ficlet. bahasa indonesia.]

Siang itu seharusnya menjadi siang yang biasa saja. Seharusnya. Keito juga tidak mengerti bagaimana dia bisa berada di situasi ini.

Dia tidak sengaja bertemu dengan Hikaru dan Inoo di tengah jalan. Mereka seharusnya bertemu di rumah Yabu, hari ini jadwal mereka menghabiskan waktu bersama. Untuk mempererat ikatan pertemanan, kalau kata Daiki. Namun sebenarnya mereka hanya ingin mengacaukan isi apartemen Yabu yang baru.

Mereka akhirnya berjalan bersama. Hikaru menceritakan bagaimana dia harus diam di dalam rumah selama satu jam karena ada kucing di depan pintu. Wajahnya yang ekspresif, ditambah sindiran dari Inoo, tawa lolos dari bibir Keito yang hanya memerhatikan.

Tak lama, hal itu terdengar.

Letusan pistol disertai teriakan orang-orang sekitar. Sepertinya Keito juga berteriak. Atau tidak. Dia juga tidak ingat.

Yang dia ingat adalah Inoo, tangannya melindungi dia, kedua mata awas melihat ke arah suara tembakan.

Yang dia ingat adalah Hikaru, satu tangan masuk ke dalam saku jaketnya, sedangkan mulut berteriak pada Inoo, “Bawa Keito, biar aku yang tahan dia!”

Tidak menunggu lama, Keito merasakan dirinya ditarik, kedua kaki dipaksa berlari menjauh dari Hikaru yang kini memegang pistol. Dia ingin bertanya mengapa Hikaru di sana, menembakkan peluru-peluru ke arah musuh—apakah mereka musuh? Siapa mereka? Mengapa ada orang yang menembaki mereka di tempat umum seperti ini?

Inoo bukan orang yang pandai berolahraga. Napasnya sudah tinggal satu-satu ketika mereka akhirnya berhenti, bersembunyi di balik tembok suatu kios. Kalau ini kondisi normal, mungkin Keito akan tertawa melihat ekspresi Inoo. Namun kini, jangankan tertawa, meneguk ludahnya sendiri saja sulit.

“Tenang saja,” Inoo berucap di antara napasnya, “Hikaru lumayan ahli dalam menembak dan berlari dari lawan. Tunggu saja lima menit, ya.”

Keito menatap Inoo lekat-lekat. Apa dia bercanda? Mengapa dia berkata seperti itu seakan hal ini adalah hal biasa?

“Namun entahlah, dia tadi berkata baru saja bangun tidur setelah menunggu kucing itu pergi dari depan pintunya.” Inoo terlihat berpikir sebentar. “Mungkin sepuluh menit ...? Kita tunggu saja.”

“A-apa ... b-ba—” Keito bahkan tidak tahu apa yang harus dia tanyakan. “Apa maksudnya ...?”

Dia mendengar Inoo tertawa kecil, lalu menatapnya dengan senyum. “Aku lupa kalau kau belum tahu.”

Belum tahu? Belum tahu mengenai apa?

“Keito, kita ini sebenarnya anggota mafia.”