nelpages


kalau ngomongin soal dulu waktu mereka masih pacaran, tiap abin bilang lagi bete, joel pasti dengan sigap nyamperin si kecil ke kost bareng sama seplastik snack indomaret plus 2 cup pop mie beda rasa.

apalagi, tiap cuaca berubah jadi mendung dan dingin, yang biasanya bikin abin jauh lebih manja dan clingy ke pacarnya itu.

cuman, sekarang udah beda cerita. mereka udah bukan pasangan, hubungan mereka juga udah beda sama yang dulu.

tapi, yang sama itu adalah gimana cara joel perlakuin abin, si kecil kesayangan dia sampai kapanpun itu.

kayak sekarang, dia udah berdiri dengan plastik kecil yang isinya 2 cup pop mie, masih rasa yang sama kayak yang dulu biasanya dia beli buat abin yang lagi bete.

tangannya udah ngetuk pintu kayu bercat putih itu 5 kali kalo gak salah, tapi hening. gak ada sautan sama sekali.

alhasil, joel langsung insiatif buat masuk sambil celingak-celinguk nyariin kecilnya.

“abin?”

hening.

“abin sayang?”

“di kamar mandi!”

dih, dipanggil sayang aja baru nyaut.

joel senyum kecil waktu liat meja abin yang berantakan, masih sama kayak dulu tiap dia main kesini. bedanya, figura foto selca mereka di puncak yang dulu jadi penghias di meja itu, sekarang udah ganti jadi foto abin dan idol kpop pujaannya.

“cepet banget perasaan baliknya?”

“ya emang lo pengen lama-lama gue tinggal?”

“ya, engga?”

jadi, waktu tadi joel bilang udah depan kamar kos abin, joel pamit lagi buat beliin abin pop mie kayak biasanya.

dan sekarang keduanya udah duduk manis di depan meja kecil yang biasanya abin pake buat ngegame.

“rasa apa?”

“lo rasa soto ayam kayak biasa.”

“lo kari?”

joel cuma ngangguk sekilas sambil nuang air anget buat mie punya dia dan punya abin.

mereka ngaduk mie bareng bumbunya dengan tenang. gaada yang ngomong karena keliatannya keduanya sama-sama kelaperan.

sampai di suapan ketiga, joel buka mulut buat nanya ke abin, “masih betenya?”

abin nengok dikit sambil nelen mie punya dia, “udah ilang dikit. kayaknya tadi bete karena laper deh.”

“plus kangen sama gue.”

“dih, kepedean!”

joel ketawa kecil waktu liat abin ngerengut kesel tapi malah makin lahap makan mie nya. abinnya emang selalu lucu, kalau bisa joel pingin teriak sekarang, “abinnya joel yang paling lucu sedunia!”, kayak gitu.

tapi joel cuma bisa teriak dalam hati, takut kalo dia beneran teriak yang ada dia ditendang keluar kosan abin abis ini.

joel berhenti makan lebih dulu, sekarang dia lagi fokus sama abin yang masih makanin mie nya.

“apa liat-liat?”

“nggak, lo lucu.”

“apasih ellllll!”

“serius bin, lo lucu. mending lo kayak gini daripada bete seharian gara-gara bara yang batalin janji lo itu. waktu lo terlalu berharga buat nangisin dia, bin.”

“gue gak secengeng itu???”

“iya gak cengeng. ini mata lo merah soalnya kelilipan debu kan?”

abin refleks liat ke arah lain selain mata joel. sialllll, kenapa dia baru nyadar kalo beberapa jam yang lalu abis nangisin datenya yang gak berhasil itu, sih?

joel ngusap punggung tangan abin yang daritadi nganggur di atas meja depan dia, nyoba buat narik atensi abin supaya si kecil liat ke arah dia lagi.

“abin, betenya masih ada nggak?”

abin ngangguk kecil, suaranya juga kecil ngejawab pertanyaan joel itu, “masih dikit.”

“mau biar betenya ilang gak?”

atensi abin sekarang udah balik lagi ke joel, penasaran soalnya jadi dia jawab aja, “gimana emang caranya?”

joel yang daritadi masang senyum kecil buat abin, tiba-tiba aja ngedeketin mukanya yang sekarang jadi sejajar sama muka abin yang lagi kedip-kedip kaget.

kalau dulu, tiap pop mie mereka udah abis setengahnya, mereka bakal bagi kecupan-kecupan kecil di bibir satu sama lain yang dan berubah lebih intens beberapa menit kemudian. alasannya, mereka pengen nyoba rasa pop mie masing-masing tapi pakai cara lebih efektif.

iyain aja lah ya.

abin yang auto keinget kebiasaan mereka dulu refleks mejemin mata, iya, dia nunggu dikecup joel jujur aja. tapi sebenernya, joel ngedeket itu ada alasannya.

fyuhhh

abin buka mata pelan, kedip-kedip kaget soalnya sekarang yang dia liat muka joel udah masang senyum tengil lagi sambil tahan tawanya,

“itu tadi bulu mata lo jatuh satu. mikir apaan sih, cil?”


caranya?”

joel yang daritadi masang senyum kecil buat abin, tiba-tiba aja ngedeketin mukanya yang sekarang jadi sejajar sama muka abin yang lagi kedip-kedip kaget.

kalau dulu, tiap pop mie mereka udah abis setengahnya, mereka bakal bagi kecupan-kecupan kecil di bibir satu sama lain yang dan berubah lebih intens beberapa menit kemudian. alasannya, mereka pengen nyoba rasa pop mie masing-masing tapi pakai cara lebih efektif.

iyain aja lah ya.

abin yang auto keinget kebiasaan mereka dulu refleks mejemin mata, iya, dia nunggu dikecup joel jujur aja. tapi sebenernya, joel ngedeket itu ada alasannya.

fyuhhh

abin buka mata pelan, kedip-kedip kaget soalnya sekarang yang dia liat muka joel udah masang senyum tengil lagi sambil tahan tawanya,

“itu tadi bulu mata lo jatuh satu. mikir apaan sih, cil?”

.

.

.

waktu terlewat begitu cepat, sudah hampir empat puluh lima menit siswa-siswi di ruang itu berkutat dengan lembar jawaban dan soal, serta sebuah pulpen di tangan.

tak terkecuali, kedua lelaki yang duduk di pojok belakang sebelah kanan samping jendela.

satunya nampak tenang, lembar jawabannya telah tertata rapi di atas meja, lengkap dengan coretan dan jawaban yang ia temukan semudah menjentikkan jari.

berbeda dengan lelaki satunya, yang kini sedang menunduk, mengetuk-ngetukkan kakinya berulang kali pada lantai yang dingin entah dengan tujuan apa. saat hendak mengangkat wajahnya, sebuah tisu disodorkan begitu saja di hadapannya.

“lo mimisan, kak.”

bisikan itu terdengar lirih, namun mampu membuat junkyu sadar dan segera mengambil tisu tadi sebelum darah ikut mengotori seragamnya. bisa habis ia jika bundanya mengetahui hal itu, maka sebisa mungkin ia mengatasinya.

tak bohong saat darah itu telah berhenti keluar dari hidungnya, kepalanya menjadi sedikit pusing. sedikit yang lama-kelamaan semakin menguasai kepala, membuat ia tak fokus lagi dengan lembar soal di hadapannya.

puk

“biarin gini dulu ya, kepala gue pusing banget.”

kepalanya telah bersandar sempurna pada bahu lebar milik haruto, bahu yang dulunya selalu menjadi tempat ia bersandar saat bercerita tentang remidial yang tak ada hentinya, atau saat ia harus mengurangi makan manis karena diet suruhan bundanya.

haruto hanya diam, namun tubuhnya bergerak mendekat agar junkyu lebih nyaman. satu tangannya beralih menggenggam tangan mungil junkyu, yang kini terasa lebih mungil dibanding terakhir kali mereka berpegangan tangan.

tangannya yang lain bergerak menggeser lembar jawaban junkyu lebih dekat, mengisi baris-baris kosong itu dengan jawaban yang ia pikir tepat. jari tangan kanannya terus bergerak aktif diatas lembar, pun dengan ibu jari tangan kirinya yang kini mengelus lembut punggung tangan milik junkyu.

“jangan nunduk, nanti kamu mimisan lagi.”

wajah junkyu kini sedikit mendongak, memperhatikan wajah serius nan tampan milik haruto saat mengerjakan soal ujiannya. pikirnya berubah menjadi melankolis, harutonya masih sama seperti dulu, tak banyak bicara, namun selalu punya banyak cara yang membuat junkyu bahagia dengan perlakuan kecilnya.

lama memandangi wajah serius itu, junkyu kini mendapati wajahnya telah bergerak maju, hanya untuk mendaratkan kecupan kilat di rahang tegas milik mantan kekasihnya itu.

“makasih, haru.”

.

jauh di depan sana, seorang perempuan yang bertugas sebagai pengawas ujian di ruangan itu menggelengkan kepalanya tak habis pikir, giginya bergemeletuk menahan teriakan yang hampir saja keluar dari tenggorokan, ia tak ingin mengacaukan momen indah dihadapannya itu hingga hanya bisa memekik lirih,

“sial kapal gue gemes banget arghh!”


lalu lalang tamu nampak tak berkurang sedikitpun sejak pemberkatan selesai. para tamu nampak menikmati sajian yang dihidangkan, begitu pula dengan penampilan yang ikut memeriahkan suasana.

sayangnya, hiruk pikuk itu membuat seseorang memilih memisahkan diri dan melangkah menuju balkon yang sedikit menghadap ke arah laut.

seseorang itu, si tokoh utama pemilik pesta, kenzo abimanyu.

sejak tadi ia berusaha menetralkan nafasnya. satu rahasia yang ia sembunyikan dari beberapa orang, ia tak bisa berada dalam keramaian dalam waktu yang lama.

beruntung, ia mendapat ijin untuk mengundurkan diri lebih dulu dari pesta itu dengan alasan kepalanya yang pening. dan beruntung pula, adnan memakluminya dan beralih menyambut tamu seorang diri.

deburan ombak kala itu begitu menenangkan, burung camar yang berterbangan satu dua mampu membuat pening di kepalanya berangsur mereda. ia harus berterimakasih banyak pada sian yang membantu mengusulkan tempat ini sebagai lokasi penikahannya. setidaknya, walaupun ia tak bisa tetap di dalam ruangan selama acara, ia tetap bisa menikmati pemandangan dari balkon ini.

matanya memejam lembut, surai coklatnya yang sejak tadi tertata tapi kini ujungnya melambai-lambai kecil mengikuti gerakan angin laut.

ketenangan menyelimutinya, membuat ia hampir-hampir mengantuk jika saja tak menyadari sepasang lengan kekar melingkar apik di pinggang rampingnya, memeluknya dari belakang.

nafas hangat menyapa tengkuk ken membuatnya meremang, memaksa mata yang sejak tadi terpejam itu terbuka menampilkan raut wajah sedikit kesal.

“jangan mancing deh, kak.”

masih di posisinya, adnan bergumam kecil, “lautnya dibawah sayang, mana bisa mancing dari sini?”

ken melengos malas mendengarnya. tak berniat membalas, namun kini tubuh kecilnya bersandar sepenuhnya pada tubuh tegap milik, ekhem suaminya.

ibu jarinya mengelus salah satu punggung tangan adnan yang terjalin erat di depan perutnya. sesekali adnan akan memberi kecupan kupu-kupu pada keningnya mampu membuat kekehan kecil kekuar dari bilah bibir tipis milik ken.

“masih pusingnya?”

adnan menggerakkan tangannya mengelus lembut surai coklat tempat dagunya kini bertumpu, sembari memberi pijatan kecil yang membuat ken beberapa kali memejam.

“sekarang aku ngantuk.”

“jangan tidur dulu, tinggal satu setengah jam acaranya kelar kok.”

ken mendongak membuat wajahnya menghadap rahang tegas milik lelakinya, “kalo kamu kesini, yang handle dibawah siapa?”

tangan yang awalnya berada di atas kepala ken kini beralih mengelus pipi si manis pelan, “temen-temen kamu lagi dangdutan di bawah.”

pantas saja, sayup-sayup lagu dangdut kesukaan jian mengalun menyapa indra pendengarnya. tak bisa ia bayangkan bagaimana gaduhnya keadaan di tengah gedung, ah, sudahlah ia tak ingin memikirkannya sekarang.

sekarang, ia hanya ingin bersantai sembari memandangi lautan biru muda dalam dekapan hangat lelaki kesayangannya.

hening sesaat, hingga suara berat adnan kembali terdengar memecah kesunyian diantara keduanya, “kamu percaya keajaiban gak?”

ken mengangguk, kemudian menggeleng kecil. ia memilih tak menjawab, merasa bahwa adnan ingin melanjutkan bicaranya.

“aku ada di titik terendah waktu papa akhirnya nikah sama mama karin, aku ngerasa kalo udah gak ada lagi yang bisa jadi sumber kebahagiaanku. till one day someone said that at 11:11, it's specific minute in time that fulfils the whispered wishes.”

“aku percaya gitu aja, berkali-kali aku berdoa supaya aku bisa dapet sumber kebahagiaan aku kembali, yang tulus dan satu-satunya buat aku. dan akhirnya, kamu muncul dihadapan aku dengan skenario sedemikian rupa sampai akhirnya kita ada di titik ini.”

“ken sayang, thank you for being my 11:11 wish, thank you for coming into my life and giving only happiness to me. i'm so deeply in love with you, bub.”

ken terdiam mendengar penuturan adnan yang belum pernah ia sampaikan sebelumnya itu, maniknya perlahan tampak berkilau diterpa sinar matahari, berkaca-kaca merasa terharu karena pengakuan manis adnan tadi. sungguh, salah satu kelemahannya adalah saat adnan mode serius seperti saat ini.

hiks kamu kesambet hiks apa?”

tawa kecil terdengar dari lelaki yang lebih tinggi memdengar pertanyaan itu. ken nampak sangat menggemaskan dengan hidung memerah dan mata sedikit sembabnya, sesekali pula terdengar sesenggukan.

adnan membalikkan tubuh mungil dalam dekapannya itu, membuat ken kini sepenuhnya menghadap dirinya. ibu jarinya bergerak pelan menghapus air mata yang membasahi pipi gembil milik ken. diikuti kecupan kecil di mata dan pucuk hidungnya oleh yang lebih tua.

“jangan nangis lagi, mn?”

hiks enggak bisa hiks, kamu cakep banget tau gak huwaa..”

tawa adnan kembali terdengar, ia heran, lelaki di hadapannya ini sudah berumur 21 tahun tapi kenapa ia jauh lebih menggemaskan daripada keponakan adnan yang berumur 9 bulan?

ia urung menggoda ken, lebih memilih mengelus punggung si manis guna menenangkannya. ia mencoba mencari akal lain, kemudian teringat satu hal yang mungkin saja bisa menenangkan ken lebih cepat.

“kalo kamu nangis terus, aku cium nih ya?”

“HUWAAA..”

tangis ken terdengar makin nyaring, tidak, jika dibiarkan terus seperti ini ken akan lebih cepat lelah dan berakhir demam seperti sebelumnya.

maka tanpa pikir panjang, adnan menarik tengkuk ken mendekat, menangkup wajah ken dengan kedua telapak tangannya yang lebar, pun mencium lembut bibir tipis milik suami kecilnya.

tangis ken seketika terhenti, matanya yang sembab itu mengerjap cepat, memproses apa yang adnan lakukan padanya. saat bibir adnan melumat lembut bibir bawahnya, ken seakan baru tersadar hingga memejamkan matanya menikmati ciuman lembut itu.

keduanya terlarut dalam kegiatan mereka, bahkan saat ken terengah dan memukul pelan bahu milik adnan, lelaki itu hanya menjauhkan wajahnya sedikit, memilih menempelkan kening keduanya.

begitu nafas ken nampak lebih baik, adnan kembali menempelkan bibir keduanya dan memberi kecupan kupu-kupu pada bibir mengilat di hadapannya, sebelum akhirnya berlanjut pada lumatan yang lebih dalam.

ken sampai harus memukul bahu tegap itu berkali-kali untuk menghentikan cumbuan adnan padanya, yang hanya dibalas kekehan kecil dan kecupan kilat di kedua pipi gembilnya.

ken menenggelamkan pipi memerahnya pada dada bidang adnan guna menutupi salah tingkahnya, membuat adnan gemas bukan kepalang dan berakhir mengayunkan tubuh mungil itu ke kanan dan ke kiri.

bertemankan pemandangan langit yang kini mulai nampak berpadu warna antara jingga dengan biru laut, tawa bahagia keduanya ikut menyemarakkan suasana. begitu terasa lengkap di hari bahagia kali ini, membuat mereka tak ingin hari ini cepat-cepat berakhir.

sekali lagi ken mendongakkan wajahnya, berharap dihadiahkan kecupan. adnan yang tanggap segera mencium seluruh bagian wajah ken berkali-kali membuat senyum ken makin lebar.

namun, beberapa saat setelahnya adnan tiba-tiba menghentikan kegiatannya begitu menyadari kedua tangan ken tak lagi melingkar di sekitar lehernya. atau bisa adnan perkirakan, ken tengah melambai?

“sayang, kamu dadah-dadah ke siapa?”

“eh?”

ken terdiam sejenak, bola matanya bergerak ke arah lain asal tak menatap adnan yang kini fokus padanya. tapi kemudian ia menjawab dengan cepat, “tadi tanganku pegel hehe, gaapa kok.”

adnan masih nampak tak percaya, jelas, karena sebelum tadi ia menyusul ken menuju balkon, ia menyuruh salah satu bodyguardnya untuk melarang siapapun menuju balkon bagian ini.

menyadari adnan yang menatapnya ragu, ken berinisiatif mengecup basah rahang tegas milik suaminya, membuat adnan menatapnya kaget diikuti senyuman menggoda,

“oh udah berani ya sekarang?”

kejadian selanjutnya adalah tawa ken yang terdengar bergema di balkon tempat keduanya bersama, bersahutan dengan tawa adnan yang kini asik menggelitiki pinggang ramping milik ken.

keduanya tenggelam dalam romansa yang mereka ciptakan, hingga tak menyadari kepanikan yang terjadi di lantai bawah dipicu oleh hilangnya salah satu bagian dari mereka.

your plan finally succeed, nan. ah i mean, our plan.


semua rencana yang telah ia susun seketika gagal saat suara sirine mobil polisi yang datang entah darimana menyusul kendaran roda empat yg ia lajukan begitu kencang sedari tadi.

seharusnya, sebentar lagi ia akan melihat wajah panik dari adik tirinya itu. seharusnya pula, sebentar lagi ia dapat membuat adik tirinya itu merasakan kebenciannya yang teramat akibat lelaki itu telah menyakiti kekasihnya. seharusnya, rencananya berjalan lancar namun semua kini semua hanya harapan belaka.

karena nyatanya, ia kini tengah mati-matian membela diri di depan seorang lelaki tua dengan seragam polisi yang beberapa menit lalu menilangnya.

suara dering telponnya bergema berturut-turut, tentu, pasti orang suruhannya itu mempertanyakan mengapa ia belum sampai di lokasi.

namun adnan memilih tak menghiraukannya, rencananya itu sudah gagal sejak awal jadi tak ada gunanya lagi untuk ia lanjutkan.

terlebih saat ken kini menatapnya dengan kesal, bercampur marah dengan mata sedikit sembap berhias titik bening yang mengilaukan bola mata cantiknya.

lelaki manis itu sejak tadi hanya diam, polisi tua di depannya itu juga tak mengajukan pertanyaan pada ken sama sekali karena adnan yang melarang.

sedangkan, dion dan nara? keduanya tengah duduk menepi, masih dengan wajah sedikit pucat akibat aksi mengebut tiba-tiba adnan tadi.

disini, hanya adnan yang ditanyai ini dan itu, alasan perbuatannya, dan bagaimana ia harus bertanggung jawab atas tindakan berbahayanya tadi.

beruntung polisi itu dapat ia ajak berkerja sama, selalu, seperti apa yang sering terjadi saat ini, berbekal beberapa tebal lembar uang, semua masalah selesai dalam hitungan detik.

keempat orang itu kini berjalan tak beriringan, dion dan nara berjalan lebih dulu, diikutin adnan yang kini merangkul, ralat, memaksa merangkul pinggang ken yang nampak telah lelah memberontak sejak tadi.

samar-samar terdengar suara percakapan dion dengan seseorang jauh disana, yang adnan yakini adalah mamanya.

“si adnan kena tilang ma, aku sama nara balik bareng mama sama papa aja, ya.”

...

“aman, adnan bawa banyak uang.”

...

“iya mama, bye aku sayang mama.”

adnan menoleh saat ken mendongak meminta perhatiannya.

“tuh gara-gara ulah kamu, duit tiket mereka jadi kebuang. nyawa aku pun ikut hampir kebuang.”

“maaf—”

“aku gak sematre itu mau sama kamu karena kamu berduit banyak, kak, aku punya ekspektasi yang tinggi karena kamu yang pinter, aku rasa kamu bijak buat ambil keputusan dan bisa bimbing aku jadi lebih baik. tapi kayaknya, Tuhan minta aku buat pertimbangin kamu lagi kali ya?”

“sayang, please..”

“aku capek, kalo kamu gabisa bawa mobil mending aku naik taksi aja.”

adnan buru-buru menggeleng dan langsung menggenggam tangan ken yang bersiap melambaikan tangannya menyetop sebuah taksi, “sorry, tapi kasih aku kesempatan buat anter kamu, aku janji gak bakal kayak tadi, ya?”

tak menunggu jawaban keluar dari mulut ken, dengan segera adnan menuntun kekasihnya itu menuju mobil mereka, dimana dion dan nara telah sampai terlebih dahulu disana.

nara dan ken telah masuk terlebih dahulu, sesaat dion yang hendak menyusul masuk, dalam sekejap adnan telah berada di sampingnya dan berbisik kecil, yang membuat raut wajah dion membeku seketika,

“sekarang lo bisa bebas dari gue, tapi lo gak bakal selalu seberuntung ini, yon.”

***

dari kejauhan, seorang lelaki berkutat dengan ponselnya di dalam sebuah mobil bersama dengan seseorang yang berada di belakang kemudi dan ikut mendengarkan percakapan keduanya.

lelaki itu, pram dan aiden.

“iya, mereka udah keluar dari kantor polisi terus sekarang pulang bareng. kayaknya sih adnan nyogok banyak makanya cepet kayak gini.”

“thanks pram, sorry ngerepotin lo, tadi jian bilang dia sibuk.”

“iya santai, itung-itung gue nyelametin ken juga. btw gue mau nanya rin,”

“ya?”

“soal rencana adnan tadi mau nyulik dion, lo serius?”


keduanya sampai lebih cepat dari perkiraan. jalan yang lengang begitu pula dengan cuaca yang cukup cerah itu seakan mendukung bertemunya kedua lelaki itu dengan orang tua salah satunya.

seperti yang biasa ia lakukan, adnan keluar dari mobil terlebih dahulu kemudian mengitari mobilnya untuk mencapai pintu bagian berlawanan, tempat ken berada.

tangannya mengulur meminta ken untuk menyambutnya dalam genggaman, yang tentu dituruti oleh si manis.

keduanya kini berjalan beriringan, dengan satu tangan adnan yang menenteng dua kotak sushi kesukaan mama dan juga karin.

sayangnya, begitu keduanya membuka pintu utama, yang menyambut mereka adalah ruang tamu yang sepi. sesekali adnan mengecek kembali, mobil papanya masih terparkir rapi di garasi, menandakan orang tuanya pasti ada di dalam.

sayup-sayup ia dengan denting oven, begitu pula langkah kaki pelan dan senandung kecil khas mamanya mengalun dari arah dapur.

dengan sedikit berlari kedua kakinya melangkah, membawa ken mengikuti tingkahnya yang terlalu tiba-tiba.

“mam, adnan pulang!”

“KEN SAYANG!!”

iya, tadi itu bukan salah salah telinga adnan mendengar pekikan mamanya yang kini merasa amat bahagia menyadari ia, ah, tepatnya ken yang kini tengah berdiri canggung dengan senyum kecil yang selalu menggemaskan.

tanpa menunggu lama, ken telah berada dalam pelukan mamanya. walaupun sedikit berjinjit karena tinggi ken yang sebenarnya termasuk bertubuh jangkung, tapi tak menyurutkan niat mamanya untuk mengelus surai lembut ken dan membubuhkan kecupan kecil di pipi kirinya.

sabar sabar, lo gak boleh cemburu, nan.

tak lama setelah sesi kangen-kangenannya, mama adnan pamit untuk membersihkan diri terlebih dahulu sekaligus memanggil papa adnan yang kini tengah berkutat di ruang kerjanya.

tangan ken tengah sibuk merapikan beberapa kekacauan di pantry dapur saat kedua lengan adnan melingkar apik di pinggang kecilnya.

“seneng gak ketemu mama?”

ken mengangguk antusias, “mama kamu wangi banget padahal belum mandi, rasanya aku bisa betah dipelukin seharian sama mama kamu.”

tentu saja jawaban itu membuat adnan memasang raut ajah kecut, “gausah niat gebet mamaku deh, udah dapet anaknya yang cakep gini juga.”

sontak ken terkekeh geli, adnan dan sifat cemburunya yang tak masuk akal memang selalu melekat kapanpun dan dimanapun. dan beruntungnya ken sudah terbiasa.

malah kini ia memilih untuk lanjut menjaili adnan.

“mending kamu mandi sana, bau banget pake peluk-peluk aku. tadi di apart juga bilangnya nanti-nanti, gitu mulu.”

bukannya melepaskan pelukannya, adnan malah demakin mengeratkan tautan tangannya dan menenggelamkan wajah tepat pada ceruk leher ken yang wangi buah melon.

“aku lagi musuhan sama air, mending pake cara praktis peluk kamu kayak gini nanti juga ikut wangi kok.”

tak

“ADOHH!! sayang kok aku dipukullll?”

pukulan sendok sayur itu mendarat sempurna di dahi mulus adnan, bersamaan dengan wajah marah ken dengan bibir mengerucut yang jatuhnya malah menggemaskan di mata adnan. ck, bucin.

“mandi atau gak ada peluk-peluk lagi satu minggu?”

dan berakhir adnan yang berlari tergesa ke kamar mandi bawah sebelum sempat terkena lemparan sendok karena masib sempat mencuri sebuah kecupan kecil di bibir mengerucut milik ken.

tak tau saja, kini ken tengah menghentak-hentakkan kakinya salah tingkah dengan pipi yang merona sempurna.


“hm udah lo bilangin biar anaknya turun hm?”

“ck, lo udah nanya itu hampir sepuluh kali bian, cerewet amat sih!”

“nama gue sian hm lo minta gue pites ya hm?!”

kegaduhan kecil berasal dari kamar karin, dengan seorang sian di dalamnya. mereka tengah melaksanakan rencana abal-abal milik sian demi terwujudnya baku hantam yang mereka harapkan.

“lo yakin ini bakal berhasil?”

“hm tentu gue kan pinter hm gak kayak lo hm hm.”

karin mencubit kecil tangan sian yang menganggur. dan tentu dibalas sian dengan cubitan yang lebih keras, haduh.

mereka yang kini tengah bersembunyi di balik sofa lantai dua, segera menutup mulut saat terdengar langkah kaki tergesa menuju ke lantai bawah.

“hm warna kuenya udah beneran sama kan hm?”

“udah elahhh, lo bisa diem gak sih?!”

sian memutar bola matanya kesal dan kembali memperhatikan dua orang yang sedang di bawah.

sebenarnya ia takut ken akan kenapa-kenapa karena rencananya ini, membuat ia harus siap siaga untuk turun melindungi ken jika saja adnan tidak muncul secepat dugaannya.

samar ia lihat ken sedang memutar, memperhatikan cheesecake buatan mama adnan yang lengkap dengan buah stroberi kesukaannya dengan seksama, hingga tak menyadari bahwa seseorang tengah berdiri tepat di belakangnya.

tangannya yang hendak mengambil salah satu irisan buah stroberi itu mendadak terhenti saat pergelangan tangannya digenggam kuat oleh dion yang tampak menahan amarah,

“LO MAU APAIN KUENYA NARA HAH?!”

ken yang terkejut karena pekikan dion yang tiba-tiba itu membuatnya tak sengaja menyenggol kue buatan mama adnan, membuat kue cantik itu kini tak berbentuk berserakan di lantai dapur.

“SIALAN!”

bukk

belum sempat kepalan tangan dion mengenai ken, lebih dulu ia tersungkur akibat adnan yang masih dengan kausnya yang belum terpasang dengan benar memukul dagunya pun menendang kakinya dengan kasar.

“berani-beraninya tangan kotor lo itu nyentuh pacar gue sialan!”

tangan adnan telah terkepal, badannya bergetar akibat emosi, tangan satunya tengah mencengkram kerah baju dion sebelum ken menghentikan baku hantam itu agar tidak berlanjut.

“k-kak, kak please stop, j-jangan..”

menyadari ken yang kini tengah menahan tangisnya membuat adnan mau tak mau melepas cengkramannya dan beralih memeluk ken sambil menenangkannya.

tangannya mengelus punggung ken perlahan sembari mengecup pelipis si manis berulang kali, berharap ken segera tenang.

“a-aku jatuhin kue buatan m-mama, m-mama pasti m-marah, m-mama pasti gasuka a-aku..”

adnan masih setiap memeluk ken dan memilih membawa lelaki manis itu duduk di sofa ruang tamu, meninggalkan dion yang kini tengah menatap keduanya kosong.

karin dan sian yang melihat kejadian itu, terlebih ide mereka dan yang tak mereka sangka akan membuat ken menjadi menangis tersedu-sedu pun segera menuju ke bawah.

karin memilih menghampiri dion hanya untuk membisikkan kenyataan yang sesungguhnya, “kue lo buat nara di kulkas bego, yang jatoh itu buatan mama buat ken.”

karin kemudian berlalu menghampiri sian yang kini ikut duduk di samping ken setelah membawakannya secangkir teh madu.

“ken, ayo minum dulu, udahan dong nangisnya nanti gue jajanin bapao biar pipi lo makin mbull hehe..”

karin mengaduh saat sian dengan kesal memukul lengannya, dan seperti biasa keduanya malah saling memukul membuat suasana makin gaduh, namun beruntung ken kembali tersenyum melihat pertengkaran keduanya.

mama yang saat itu berjalan beriringan dengan papa adnan mempercepat langkahnya menyadari keributan kecil di area ruang tamu.

“eh kenapa ini? ken kamu diapain sama adnan sini bilang sama mama sayang?”

sudah adnan bilang kan kalau mamanya itu bahkan lebih sayang pada ken daripada dirinya.

ken tidak menjawab melainkan segera menghambur pada pelukan mama, “mama, kuenya jatoh gara-gara ken hiks mama maafin ken huwaa!”

semua orang di ruang tamu terkejut akibat tangisan ken yang tiba-tiba makin keras, tak terkecuali papa adnan yang kini juga menggelengkan kepalanya melihat istrinya mencium gemas pipi gembil ken yang kemerahan akibat menangis,

“huh, papa kan juga mau cium pipi ken..”

“PAPA JANGAN MACEM-MACEM!!”

itu teriakan adnan yang hampir saja melayangkan bantal sofa ke wajah ayahnya sendiri.


“fyuhh...fyuhh...”

junkyu yang sejak tadi duduk di sofa empuk di sudut ruangan kini sedang asik meniup-niup ujung poninya untuk menghilangkan bosan.

ah, sebenarnya tidak bosan-bosan juga sih. karena sejak awal memasuki ruangan rekaman ini, pandangannya terfokus pada sosok lelaki tampan yang kini berdiri di belakang peralatan rekaman yang tak ia ketahui namanya.

walaupun ini kali ketiga junkyu melihat sepupu kak suk itu, tapi tidak mampu menyurutkan rasa kagumnya. sepupu kak suk itu berumur setahun lebih muda darinya, namun sudah bisa menjadi penyanyi yang sukses di usia mudanya, membuat ia mengagumi lelaki jangkung yang cuek itu.

ngomong-ngomong soal cuek, junkyu tak berbohong. bahkan saat bersama kak suk pun, lelaki itu juga sama cueknya. bicaranya irit, minim ekspresi, tatapan matanya yang tajam benar-benar sangat mendukung dominasinya di tiap keadaan.

dan itu yang membuat junkyu yang sebenarnya banyak bicara, menjadi mengurungkan niatnya untuk memecah keheningan.

“gue titip kardigan gue, ya.”

junkyu mengangguk, kini kardigan berwarna coklat muda itu telah berpindah tempat di pangkuannya. dapat junkyu pastikan harga kardigan itu mahal, kainnya begitu lembut pun dengan aroma parfum maskulin yang menyenangkan masuk ke dalam indra penciumnya, membuat ia setengah mati menahan keinginan untuk mendekap kardigan dalam genggamannya itu.

beberapa kali percobaan, haruto lewati saat melakukan rekaman. dan semua gerak-geriknya tak lepas dari pandangan junkyu. yang dapat junkyu pahami, haruto pasti merasa lelah, beberapa kali ia tangkap lelaki itu menghela nafasnya berat.

saat lelaki itu tiba-tiba menoleh ke arahnya, junkyu yang gugup akibat tertangkap basah sedang memperhatikan lelaki itu, mau tak mau melempar senyumnya untuk menutupi salah tingkah.

ia pikir, haruto akan membuang muka menganggap ia aneh. namun yang tak ia sangka, lelaki cuek itu malah balik membalas senyumnya, senyum yang begitu tampan hingga junkyu rasanya ingin berteriak sekarang juga. senyum itu pertama kalinya ia lihat terpasang pada bibir tebal itu sejak awal mereka bertemu.

di tengah proses rekaman berlangsung, saat haruto masih terfokus pada teks yang berada di hadapannya, seseorang masuk bergabung ke dalam studio bagian luar, yang dapat ia perhatikan melalui kaca bening yang membatasi ruangan itu.

seorang perempuan dengan tubuh semampai, memakai jaket kulit hitam dengan jeans kulit warna senada, rambut panjangnya digerai bebas memancarkan kecantikan paripurna milik perempuan itu.

junkyu masih memperhatikannya saat ia memberi salam pada produser yang lain, dan kemudian melayangkan pandangannya ke arah haruto dengan tatapan memuja.

perempuan itu masih tak menyadari kehadirannya, saat ia dengan terang-terangan berteriak kecil menyemangati haruto, membuat raut lelaki yang terpanggil namanya itu seketika kembali mengeras.

junkyu dapat merasakan perubahan suasana dalam ruangan tempatnya dan haruto berada sekarang, namun ia tak bisa melakukan apa-apa. berakhir ia memilih mengalihkan fokus pada ponselnya, menjalankan aplikasi permainan yang akhir-akhir ini mengisi waktunya.

rekaman itu selesai lebih cepat dari perkiraan, produser yang bertanggung jawab pun telah memberikan sign oke pada haruto yang kini berjalan menuju ke arahnya.

tangan lelaki itu sedang tekun memperbaiki kaus putih yang ia pakai, dengan junkyu yang tak bisa mengalihkan perhatiannya sama sekali dari tiap pergerakan haruto yang begitu memukau pandangannya.

dan haruto tentu menyadari hal itu, membuat ia tak tahan untuk bertanya lebih dulu,

“gue secakep itu ya sampe lo gak ngedip sama sekali?”

“e-eh?”

melihat junkyu yang gelagapan membuat lagi-lagi senyum haruto muncul menghiasi wajah tampannya. bahkan haruto sampai terkekeh kecil saat tangan junkyu yang gemetar memberi kembali kardigan yang tadi ia titipkan pada lelaki itu.

“thanks udah nemenin gue.”

junkyu mau tak mau mengangkat wajahnya yang semula menunduk, “g-gak perlu kok, aku juga seneng bisa diajak kesini.”

senyum lembar kembali terpasang apik di bibirnya, saat tiba-tiba junkyu menyeletuk setelah sejak tadi memperhatikannya tanpa jeda,

“kamu cakep banget kalo lagi senyum, pasti pacar kamu beruntung banget bisa liat senyum itu tiap hari.”

junkyu buru-buru menutup mulutnya kaget, padahal tadi rasanya ia hanya menyuarakan itu dalam hati tapi mulutnya tak bisa diajak kompromi.

haruto menaikkan satu alisnya, menyeringai kecil mendengar penyataan jujur junkyu tadi. ia mendekatkan wajahnya pada wajah junkyu yang sejak awal masih terduduk di sofa sudut ruangan, sedikit menunduk untuk menyejajarkan bibirnya di samping telinga junkyu,

“kalo orang beruntungnya itu lo, gimana?”

cup

satu kecupan kilat mendarat di pipi kanannya, membuat junkyu membolakan matanya kaget, juga saat ia menyadari kejadian tak terduga tadi disaksikan oleh perempuan yang tadi ikut bergabung di bagian luar tempat rekaman haruto.

perempuan itu mengepalkan tangannya kesal, raut wajahnya mengeras dengan senyum yang awalnya terpasang telah hilang tak bersisa.

junkyu hanya memandang perempuan itu kosong, tak ada perasaan takut namun raut wajahnya tak terbaca saat membalas tatapan tajam perempuan itu.

bak belum selesai dengan kejutannya, haruto segera merangkul pinggang junkyu posesif dan menuntunnya untuk berdiri tepat disampingnya, merapatkan tubuhnya sehingga kini tampak setengah memeluk tubuh junkyu yang lebih mungil dari ukuran tubuhnya.

“so, what's your answer, hm?”

haruto berbisik pelan, namun saat nafasnya itu menerpa tengkuk junkyu, tak bohong jika ia mengatakan bahwa tubuhnya meremang seketika. ia bahkan harus menggenggam erat kardigan haruto di area pinggang, menghindari kejadian memalukan seperti ia yang mungkin saja tiba-tiba pingsan karena mendapat serangan bertubi-tubi macam ini.

sekilas ia lihat fokus perempuan di luar sana masih pada dirinya dan haruto, membuat ia memantapkan hatinya untuk melakukan apa yang sejak tadi ia pikirkan.

junkyu memiringkan wajahnya untuk menatap tepat pada manik kelam milik haruto, membuat lelaki tampan itu kembali menaikkan satu alisnya, menunggu jawaban yang akan diberikan junkyu.

namun sepertinya bukan jawaban lisan yang junkyu berikan, karena tanpa ia sangka lelaki manis itu telah mengikis jarak diantara mereka, kakinya sedikit berjinjit saat bibir mungil itu akhirnya mengecup pelan bibir miliknya,

cup

“you got the answer, right?”


jam digital cafe saat itu menunjukkan pukul 11:11.

keduanya tiba di lokasi yang dijanjikan lebih lambat dari perkiraan. salahkan saja pada adnan yang sengaja memilih jalan rawan macet di pagi hari ini. saat ken menanyakan alasannya, adnan hanya menjawab,

“kamu itu cuma mau ketemu sama pram, bukan orang penting, jadi terlambat juga gak bakal kenapa-napa.”

ajaran sesat, tidak untuk ditiru.

jujur saja, ken berusaha menahan kekesalannya sejak dari rumah tadi. bagaimana tingkat menyebalkannya adnan yang meningkat berkali-kali lipat, ia menyadari penyebabnya. kekasihnya itu masih belum benar-benar memaafkan pram, pasti itu.

namun walaupun ia menyadarinya, itu tak menyurutkan keinginan ken untuk tetap membawa adnan ke depan pram. karena ia pun ingin secepatnya merasa lebih lega, setelah permasalahan diantara mereka bisa diselesaikan dengan baik-baik.

masih dengan tangan yang bergandengan, ken menuntun adnan menuju meja tempat pram menunggu sejak dua puluh menit yang lalu. lelaki itu tampak asik dengan ponselnya hingga tak menyadari, dua orang yang sejak tadi ia tunggu telah sampai di hadapannya.

“tok tok, mau pesan apa kak?”

“ken!”

pram refleks berdiri dan sedikit menunduk saat menangkap tatapan tajam yang adnan layangkan padanya. kedua tangannya saling meremat, degup jantungnya begitu ribut membuat ia sedikit mual.

beruntung, ken menyadari kegugupan pram itu. ia segera menarik adnan untuk duduk di salah satu kursi yang berada disampingnya, tepat di serong depan kursi pram.

“pram, sorry banget gue telat lama, barusan kena macet huhu”

pram buru-buru menggeleng, “g-gaapa kali, jam segini emang rawan macet.”

“bagus kalo tau.”

ken mendelik kesal pada adnan yang tiba-tiba menyahut, namun tentu saja itu tak berefek pada adnan yang kini malah balas merapatkan duduknya dengan kekasihnya itu.

guna memecahkan kecanggungan di antara mereka, ken berinisiatif memesan terlebih dahulu, menyadari pram yang juga nampak belum memanggil waitress sama sekali.

sepeninggal pelayan tadi, ken yang berniat untuk memulai percakapan terhenti saat melihat kehadiran dua orang yang baru saja kemarin ditemuinya.

“dion, nara?”

nara yang berjalan di depan dion segera melemparkan senyum pada ken, “hai kalian, kita boleh gabung disini?”

adnan berniat untuk menolak saat ken lebih dulu menganggukkan kepalanya, “duduk aja, kita baru aja mesen kok.”

adnan mengeratkan genggaman tangannya pada ken, berusaha berkomunikasi lewat tatapan matanya, menanyakan alasan ken membiarkan kedua orang itu ikut bergabung dengan mereka. namun ken tetaplah ken, ia tidak menggubris penolakan itu dan memilih bertanya pada nara dan dion.

“kalian janjian sama pram kesini?”

pram yang disebut namanya, masih dengan wajah kaget akibat kedatangan dua orang baru itu langsung menggeleng rusuh, “nggak ken, gue aja kaget ini!”

pram berpikir keras tentang siapa yang membocorkan pertemuannya dengan ken dan adnan pagi ini, ia sama sekali tak mengabari dion, begitu juga dengan nara yang kontaknya bahkan tidak ia punya. ken juga sedang tenggelam dengan pikiran yang sama, saat seketika fokus kelima orang itu teralihkan oleh kedatangan pelayan membawa pesanan ken, adnan, dan pram.

setelah menitipkan pesanan tambahan pada pelayan tadi, nara yang menyadari kedatangan ia dan dion membuat atmosfer disana menjadi kaku mulai membuka pembicaraan.

“sebenernya gue sama dion kesini itu karena ada hal yang mau dion bicarain ke kalian.”

dion menatap nara kaget, ia bahkan tak menyiapkan kata-kata untuk disampaikan saat ini, namun tiba-tiba saja ia harus menyampaikan alasan mereka menyusul ketiga orang itu.

melihat dion diam saja, nara segera menyenggol lengan dion ditambah tatapan matanya yang mendelik kesal.

“gue minta maaf.”

hanya kalimat pendek itu saja yang akhirnya ia ucapkan. adnan menatap adiknya itu sangsi, rasa-rasanya bukan seperti dion yang asli yang kini ada di samping kanannya itu.

“gue minta maaf sama kalian semua. abang, sama ken, yang udah gue rugiin karena rencana gue itu. maaf karena gue gak bisa ngendaliin rasa iri gue sama lo bang, dan buat lo yang gak tau apa-apa harus kena imbasnya ken, gue minta maaf dengan tulus.”

“gue juga mau minta maaf sama lo pram, gue memanfaatkan rasa kesel lo ke abang gue supaya lo bantu rencana gue dan akhirnya ngerusak pertemanan lo sama ken. gue juga udah banyak kecewain orang terdekat gue karena kelakuan gue ini, gue berharap kalian mau maafin gue.”

“gak segampang itu.”

“kakk..”

ken berusaha menghentikan adnan yang terlihat mulai terpancing emosi. walaupun sesungguhnya ia juga sama marahnya, sama kesalnya pada dion, namun dengan kekerasan tidak akan menyelesaikan semua permasalahan diantara mereka. semua juga telah terjadi, mustahil bisa mengulang semua dan tidak ada pilihan lain selain menerima.

adnan buru-buru meminum iced coffee yang ada dihadapannya. ia menjadi semarah ini sebenarnya bukan karena ia merasa dirugikan, ah mungkin sedikit, namun lebih karena ken yang harus menanggung banyak cacian dari mahasiswa kampus, yang bahkan tak tau duduk permasalahannya sama sekali.

matanya memejam saat ken mengusap pelan pipi kanannya, sentuhan lembut ken memang selalu ampuh untuk menenangkan jiwanya, menghilangkan sedikit demi sedikit api amarah yang sebelumnya menguasai hatinya.

merasa adnan telah lebih jinak daripada sebelumnya, kini giliran pram yang meminta maaf sesuai tujuan awalnya mengajak mereka bertemu.

“gue juga mau minta maaf, sama kak adnan, dan khususnya sama lo ken. gue tau gue emang bodoh banget ngeiyain ajakan dion dan berakhir ngekhianatin kepercayaan lo ke gue sebagai temen, dan gue dengan gak tau malunya lebih mikirin nasib gue di kampus saat semua terungkap daripada mikirin kondisi lo. tapi ken, gue sekarang bener-bener ngerasa bersalah, mungkin gue kurang ajar buat minta ini, tapi gue mohon lo mau maafin gue.”

seketika ketegangan diantara kelimanya mencair, saat ken terkekeh kecil di akhir permintaan maaf pram.

“kenapa jadi kayak lebaran gini sih, maaf-maafan? ahahaha..”

pram merajuk karena ucapan ken tadi, “kennn gue seriussss..”

adnan yang melihat tangan pram menyentuk punggung tangan ken segera menghempaskan tangan itu. keempatnya kaget, namun berakhir dengan dengusan tak percaya ken menyadari betapa posesifnya adnan padanya.

“iya gue maafin kok, kalian kan udah bilang maaf kemarin. lo, dion juga. dan gue emang beneran udah maafin kalian. cukup gue yang jadi korban, gue harap kalian gak bakal ngelakuin hal kayak gini lagi kedepannya.”

nara tersenyum lega mendengar ucapan ken, begitu pula dion yang diam-diam menghembuskan nafas lega karena menunggu jawaban ken sejak tadi. pram pun kini memasang wajah sendu, masih tak percaya temannya bisa sebaik itu padanya.

“ken huhu mau peluk..”

“sini sini.”

belum sempat ken berdiri dari duduknya, tubuhnya sudah didekap terlebih dahulu oleh lelaki di sampingnya, siapa lagi kalau bukan adnan. bahkan adnan mendekapnya begitu erat, membuat ken mencubit kecil pinggangnya kesal.

“aduh! kok dicubit sih sayang?!”

“ya kamu sih, pram kan cuman temen aku jadi gausah kayak gitu!”

dekapan adnan terlepas, membuat kini ken memeluk kecil pram yang ada di hadapannya. sebenarnya ia masih sedikit tidak rela, namun alasan ia melepaskan dekapannya tadi karena ken yang tiba-tiba memakai sebutan aku setelah kemarin ditolak habis-habisan.

adnan memegangi dadanya yang berdetak ribut, tak diragukan lagi ia memang tekah menjadi bucin ken nomor satu, apapun perlakuan lembut ken padanya membuat ia merasa senang bukan main, walau mungkin ken tak benar-benar menyadarinya.

pembicaraan kelimanya berlanjut sampai pada ucapan perpisahan dion dan nara yang mengabarkan bahwa keduanya akan ke jepang minggu depan menyusul papa dan mama mereka.

beruntung ada nara, ia pandai mencairkan suasana antara mereka dan kini malah sedang sibuk berbincang dengan ken. meski adnan takut-takut ken akan berpindah hati pada perempuan itu, namun saat ken tiba-tiba berbisik “i love you” padanya tadi, ia menjadi lebih tenang. semua ketakutannya tak berdasar, dan kini ia lebih memilih merespon kecil saat terseret masuk dalam pembicaraan.

dion menyela pembicaraan seru mereka untuk mengabari bahwa ia dan nara akan pulang lebih dulu. sepeninggal keduanya, meja itu memang menjadi lebih sepi.

belum lagi adnan yang merengek ingin pulang seperti anak kecil umur lima tahun, bahkan tak berupaya menjaga imagenya di depan pram, ia terus menggoyangkan tangan kanan ken agar kehendaknya dituruti.

ken yang mulai tidak sabar pun segera mengiyakan, sebelum terlebih dahulu bertanya pada pram yang kini juga melihat ke arahnya.

“lo mau balik sekarang? dijemput apa gimana?”

“gue naik motor kok, ini make wifi bentar abistu langsung pulang kok. lo mau balik?”

ken mengangguk sebal, “iya nih, bayi gede rewel banget,” ucapnya tertuju pada adnan yang kini menyenderkan kepalanya pada bahu ken.

pram terkikik geli, “yaudah sana duluan, gue tinggal bentar doang kok.”

“besok kuliah bareng mau?”

tawaran ken seketika membuat adnan menegakkan duduknya, bisa-bisanya kekasihnya itu mengajak lelaki lain untuk berangkat bersama, di depannya pula.

adnan menjawab pertanyaan itu, “gak usah, kamu sama aku aja, lagian si pram pasti dijemput iden.”

ken melayangkan tatapan bertanya pada pram, yang kemudian dijawab dengan anggukan, “iya ken, besok gue bareng kak iden hehe..”

“kalian beneran nggak pacaran?”

“paling bentar lagi,” ini jawaban adnan.

ken akhirnya mengangguk dan memilih berpamitan, “yaudah, gue duluan aja gaapa ya pram? lo jangan kelamaan sendiri disini.”

setelah diberi sign oke oleh temannya itu, adnan yang menggenggam tangan ken pun segera menuntun kekasihnya meninggalkan cafe itu. tangannya telah bergerak membuka pintu mobil, saat pandangan ken terfokus pada suatu objek.

“sayang, kamu liatin apaan sih, serius banget?”

ken yang masih dengan matanya yang kini menyipit memastikan apa yang dilihatnya di parkiran tak jauh dengan tempat mereka saat ini itu menyahut,

“kak, yang lagi jalan sampingan itu bukannya kak iden sama karin?”


ini pertama kalinya ia menginjakkan kakinya masuk ke dalam rumah mewah itu, setelah sebelumnya sempat mampir untuk mengantar adnan—yang sedang mabuk—tempo lalu.

beberapa kali ia berdecak kagum menyadari luasnya pekarangan rumah milik lelaki yang saat ini tengah menggenggam tangannya erat, namun itu semua tidak mampu menyurutkan detak jantungnya yang amat ribut sejak turun dari mobil tadi.

waktu terasa berjalan lambat, bagaikan berjalan dengan gerakan slowmotion adnan menuntunnya hati-hati memasuki bagian utama rumah itu.

tarik, hembuskan, tarik, hembuskan, begitu seterusnya. ken berusaha mengurangi kegelisahannya, yang kini nampaknya disadari oleh lelaki yang lebih tua, membuat adnan menoleh menatapnya perhatian.

“kebelet boker ya, yang?”

mendengarnya membuat ken seketika menghentikan langkah, wajahnya yang pias penuh ketakutan tadi berganti tatapan galak dengan bibirnya yang mengerucut sebal. sebelah tangannya kini terangkat memukul lengan atas adnan main-main.

“lo tuh nyebelin tau gak?”

adnan terkekeh kecil, “makanya jangan takut kayak gitu, you always have me by your side, apa penjelasan gue di roomchat tadi kurang?”

ken menggeleng kecil, walaupun ketegangan yang tadinya menguasai hampir seratus persen dari dirinya kini telah berkurang hampir setengahnya, ia menarik nafas kembali untuk menetralkan ekspresi, berusaha menyembunyikan rona merah di kedua pipinya.

adnan mengubah posisinya yang kini sepenuhnya menghadap ken, membuka kedua lengannya pun menarik ken ke dalam pelukan hangatnya. tak peduli mereka yang kini sedang berdiri di depan pintu utama, adnan hanya ingin ken tam berpikir macam-macam karena ia juga tak main-main dengan ucapannya. ia bersungguh-sungguh saat mengucapkan akan selalu ada bersama lelaki itu apapun yang terjadi nanti.

perlakuan tiba-tiba adnan ini tak luput membuat pipinya kembali merona. ah, rasanya pipinya memang terlalu mudah bereaksi pada setiap perlakuan lembut adnan, membuat ia semakin menenggelamkan wajahnya pada dada bidang milik sulung mahesa itu.

“ekhem..”

dehaman berat seketika menyadarkan keduanya yang telah tenggelam dalam kehangatan masing-masing, yang dengan tak rela menguraikan pelukan mereka.

seorang lelaki berusia pertengahan empat puluh itu menatap keduanya datar. oh bukan, kini tatapannya menajam menuntut penjelasan dari anaknya yang hanya diam nampak menyiapkan jawaban.

“jadi ini pacar kamu, huh?”

“pa, aku jelasin nanti ya? sekarang biarin ken duduk dulu di dalem, biar enak juga jelasinnya.”

lelaki yang dipanggil papa oleh adnan itu awalnya masih diam tak mau menyingkir, maniknya bergulir menatap ken mengamatinya dari atas hingga bawah, membuat ken bergerak tidak nyaman karena demi apa, papa dari asdosnya itu seperti ingin mengulitinya hidup-hidup.

oke, ini hanya pikiran berlebihan milik ken.

setelahnya papa adnan meninggalkan keduanya, berjalan menuju lantai dua tanpa menoleh ke belakang lagi. hal itu membuat kerutan bingung menghiasi dahi mulus milik ken.

“papa lo keliatannya gak suka banget sama gue kak, pulang aja apa ya?”

pergerakan ken tertahan saat adnan menggenggam pergelangan tangan kirinya, “gak, sampai kita jelasin semuanya ke papa. papa emang biasa kayak gitu sama orang baru, jadi maklumin aja oke?”

meski ragu, ken hanya mengangguk pelan tanpa menjawab. kalaupun dia pulang sekarang, ia akan tetap terbayang-bayangi masalah ini. dan hal itu akan membatasi semua pergerakannya, membuat ia mau tak mau tetap berada di jalan semula.

lagipula, kini ia memiliki adnan bersamanya. lagipula, ia telah mempercayai semua perkataan laki-laki itu. lagipula juga, ia telah menyerah menyembunyikan fakta bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama dengan lelaki yang telah memenuhi pikirannya sebulan terakhir itu.

***

empat orang kini tengah duduk di sofa empuk di tengah ruang tamu. televisi yang ada disana tidak berniat dihidupkan, hanya untuk memecah keheningan yang tercipta di tempat ini.

tangan adnan masih setia menggenggam sebelah tangan ken yang bertumpu di atas pahanya, mengelusnya perlahan untuk berbagi kenyamanan. adnan hanya berupaya agar ken tak gugup, begitu pula dengan dirinya.

dan hal itu tentu tak luput dari pandangan lelaki dan perempuan yang berusia lebih tua, tepatnya mama dan papa adnan. wajah papa adnan masih sekeras tadi, sedangkan mamanya memberi ekspresi yang tak bisa adnan mengerti.

hingga akhirnya papa adnan yang lebih dulu bersuara.

“jadi kamu hamil karena anak saya? sudah berapa bulan?”

tak menyangka pertanyaan itulah yang menjadi pembukaan diskusi kali ini, membuat ken tersentak kaget dengan maniknya yang membola sempurna. kini kepalanya menggeleng rusuh namun bibirnya masih tertutup rapat bingung bagaimana untuk menjelaskan.

“pa, ken itu gak hamil—”

perkataan adnan terpotong saat perhatian keempat orang itu teralihkan dengan kedatangan dua orang dari arah tangga lantai dua.

“oh, sini nak duduk.”

itu suara mama, yang mempersilahkan dion serta nara yang berjalan tepat di belakangnya untuk ikut duduk di ruang tamu bergabung dengan mereka.

begitu keduanya telah duduk, pembicaraan kembali berlanjut dengan papa adnan sebagai pemandunya.

“oh iya, nan, kenalin ini nara. dia temen kecilnya karin sama dion. dia kuliah di jepang dan sekarang udah lulus, dia tamat dalam waktu dua setengah tahun, bukannya itu hebat?”

secara tidak sengaja ken menangkap tatapan tajam yang diberikan papa adnan padanya, seakan kalimat yang diucapkannya tadi ditujukan untuknya, agar ia menyadari bahwa ia tak sebanding dengan perempuan cantik yang duduk di sofa seberangnya itu.

“kamu sebentar lagi lulus kan? terserah tentang status asdos itu papa gak akan paksa, setelah lulus nanti kamu bisa langsung nikah. papa juga udah gak siap liat anak papa nikah, apalagi dengan orang yang hebat dan pintar seperti nara ini, ya kan nak?”

pertanyaan tadi bukan untuk adnan, papanya menatap nara yang kini juga menatap dirinya. nara hanya tersenyum canggung membalas pertanyaan papanya itu.

sebenarnya semua ini sudah terpikirkan oleh adnan. saat tadi ken mengajaknya ikut bertemu dengan karin, adiknya itu sudah menjelaskan mengenai perjodohan antara dirinya dan nara yang diusulkan papanya. karin juga telah menyampaikan rencana untuk menggagalkan perjodohan itu, yang kemudian ia dan ken setujui.

ia juga telah menyampaikan hal itu pada dion. namun kini adiknya itu kini tengah mengepalkan tangannya menahan diri, untuk tak menyela perkataan ayahnya.

jujur saja, ada banyak kata dan penjelasan yang sudah terkumpul di ujung lidahnya, bersiap untuk ditumpahkan begitu saja untuk meluruskan semua ini. namun entah mengapa, dominasi papanya begitu kuat, membuat ia dan bahkan dion tak mampu banyak berbicara.

adnan masih mengumpulkan keberaniannya yang sempat menghilang saat papanya kembali bersuara,

“nan, mau kapan nikah sama nara?”

“PA, CUKUP!”

bukan, itu bukan suara adnan. namun itu suara dion, yang kini membuat perhatian kelima orang terpusat padanya.

dion nampak dilanda emosi, adnan menyadari adiknya itu tak baik dalam mengontrol amarahnya. ia kira, adiknya bisa menahan didepan papanya, terlebih keinginan dion untuk mendapat perhatian dari papanya sebesar yang ia dapatkan. namun nampaknya itu tak lagi menjadi prioritas dion kali ini.

papanya kini menatap dion tajam, nampaknya beliau ingin meminta alasan mengapa dion tiba-tiba menyela bahkan berteriak padanya.

“mama gak pernah ajarkan kamu berteriak di depan orang tua, dion!”

walaupun mama nampak marah, sebenarnya beliau lebih terkejut karena anaknya tiba-tiba nampak semarah itu.

“ma, pa. maaf tapi dion harus jelasin sesuatu. nara itu pacarku, jauh sebelum dia pergi ke jepang nara itu masih pacarku dan sampai saat ini juga gitu. adnan juga udah hamilin orang, harusnya dia tanggung jawab sama orang itu,”

dion menunjuk ken yang kini juga ikut menatapnya balik, “—dan kenapa harus adain perjodohan antara adnan sama nara kalo kayak gini ceritanya, pa, ma?”

papanya menatap dion sangsi, dari rautnya tak terlihat sedikitpun ingin mengubah rencana perjodohan yang ia usulkan.

“anak papa harus nikah sama orang baik-baik, papa gak tau ken ini orang baik atau bukan, tapi dengan fakta dia hamil karena adnan padahal keduanya belum menikah sepertinya kalian semua sudah dapat kesimpulannya.”

ken menunduk menyembunyikan maniknya yang kini mulai berembun. ia dan adnan bahkan belum mendapat kesempatan untuk berbicara, rencana yang keduanya susun juga belum sempat terlaksanakan, namun ia sudah harus mendapatkan kata-kata menyakitkan dari papa adnan.

kedua tangannya mengepal kuat menahan diri agar tak terisak, ia benci terlihat lemah, berulang kali ia berpikir, apakah mencintai orang memang selalu semenyakitkan ini? apa hubungannya memang tak akan pernah menemukan akhir yang bahagia?

ibu jari adnan terangkat menghapus bulir bening yang jatuh membasahi pipi gembil ken. meski adnan tak menoleh, ia menyadari itu. ia membenci menyadari dirinya terlambat melindungi ken, hingga akhirnya lelaki manis itu harus tersakiti kembali karenanya.

tepat sebelum ia ingin meluruskan semuanya, lagi-lagi perkataannya terpotong oleh penyataan tak terduga dari dion.

“ken orang baik, pa, dion yang jahat disini.”

papanya mengernyitkan dahi meminta penjelasan, “maksud kamu?”

“aku yang jebak adnan dan ken, itu rencana aku. aku yang jebak adnan yang waktu itu mabuk, awalnya aku cuma mau videoin waktu mereka ciuman dengan bantuan temen aku pram, video itu aku sebar di kampus supaya reputasi adnan jelek, supaya papa kecewa sama adnan, supaya perhatian papa ke adnan setidaknya berkurang bahkan hilang dan berganti papa lebih perhatian ke aku.”

“aku gatau semua bakal sejauh ini, ken hamil juga aku tau dari pram yang jadi temen deketnya ken. pram punya dendam sama adnan karena sebelumnya karin lebih pilih adnan daripada dia. kita lakuin semua ini karena menguntungkan masing-masing. dion sadar apa yang dion lakuin ini salah, tapi please jangan pisahin dion sama nara lagi, adnan juga harus tanggung jawab kan? perjodohan ini cuma bakal nyakitin banyak pihak, pa.”

adnan tak menyangka adiknya itu akan mengakui semua rencana jahatnya di depan sang papa. adnan baru menyadari sebesar itu perasaan dion pada nara, membuat dion melupakan tujuan awalnya untuk mendapat kasih sayang papanya, demi mempertahankan nara menjadi miliknya.

dan ia pikir, sekarang adalah gilirannya untuk mempertahankan miliknya seperti yang dion lakukan.

“dan adnan juga mau bilang, ken itu gak hamil pa—”

“KAK?!”

adnan tak menghiraukan selaan dion dan kembali melanjutkan perkataannya demi membela ken di depan papanya,

“ken orang baik gak seperti yang papa pikirin, kalo pun waktu itu kita ciuman, itu karena adnan yang paksa. ken juga udah banyak nerima banyak kebencian karena video yang disebar dion di kampus, tolong papa jangan sakitin ken lagi. adnan bakal lakuin apapun supaya ken tetep sama adnan, karena orang yang adnan suka itu cuma ken dan bakal selalu ken sampai kapanpun itu.”

papanya mengusap wajah kasar, terdengar helaan nafas berat sebelum beliau menyandarkan punggung sepenuhnya pada sofa yang sedang diduduki. tanpa disangka, beberapa menit kemudian muncul senyum tipis yang sejak tadi beliau tahan, menyadari bahwa ia telah mendapat pernyataan yang jauh melebihi ekspetasinya.

“oke anak-anak, gimana akting papa? bagus gak?”

“HAH??”

***

sian muncul membawa satu nampan besar dari arah dapur. jadi, tadi ia memilih menjadi penonton perdebatan aneh keluarga yang juga aneh ini dari sana. tentu sambil memberi live report lewat video call pada kekasihnya, justin, yang juga sedang bersama jian, daren, pram, aiden, dan karin yang ia larang untuk masuk dan memilih diam di gazebo depan.

kini ia menjalankan peran dadakannya sebagai bi nomo, pembantu rumah yang diliburkan khusus hari ini agar tak mengganggu drama dadakan yang diadakan papa adnan.

setelah tangan cekatannya selesai memindahkan semua cangkir penuh teh dan juga kudapan yang ia temukan di meja dapur, kini ia ikut bergabung di sofa ruang tengah, menikmati raut kebingungan beberapa orang disana.

“tadi lo bilang mau langsung pulang, kan?” itu dion, yang tadi sempat dikejutkan sian saat menengok kegaduhan di dapur lantai satu.

“hm tapi gue gamau lewatin ni drama abal-abal hm,” perkataannya terjeda saat ia menawarkan tangan untuk memberi high five pada papa adnan, “om keren dah hm aktingnya, sian jadi ngefans!”

papa dan mama tertawa mendengar perkataan sian, ketegangan yang semula melingkupi ruang tengah itu perlahan mulai mencair sejak bergabungnya lelaki yang merupakan sepupu adnan itu.

“bentar, ini maksudnya gimana? papa daritadi itu akting?”

papa mengangguk mengiyakan pertanyaan adnan, kini beliau menatap ken dengan tatapan yang lebih lembut, “nak ken, maaf soal kata-kata papa tadi ya, jangan nangis lagi nanti papa dibenci adnan ahaha..”

mendengar papa adnan yang meminta maaf padanya membuat ken buru-buru menggeleng tak enak, “gak papa om, ken cuma kaget aja tadi.”

papa adnan mengangguk kecil sebelum bertanya lagi, “jadi adnan kapan nikah sama nara?”

“PAPA?”

dion yang daritadi masih memahami apa yang sedang terjadi dihadapannya seketika dikagetkan oleh pertanyaan papanya membuat ia tanpa sengaja kembali berteriak pada papanya itu.

“pa, maaf, bukan maksud dion teriak tapi—”

“papa kecewa sama kamu dion, sebenarnya bukan begini cara buat dapet perhatian papa. papa tidak membenarkan apa yang kamu perbuat, tapi papa hargai kejujuran kamu, papa gak sangka kamu akan jelasin semua walaupun sian sudah bilang ke papa lebih dulu,”

sian buru-buru memberi peace sign saat dion, adnan dan ken menatapnya intens ke arahnya.

“tapi papa kecewa karena tau ken gak bener hamil, papa gagal punya cucu..”

pipi ken bersemu mendengar perkataan papa adnan tadi, entah, ia merasa malu bercampur senang karena nampaknya kesempatan ia diterima dengan baik di keluarga ini telah terbuka lebar.

kelima orang sisanya juga ikut tertawa mendengar papa adnan yang nampak merengek karena keinginannya memiliki cucu menjadi tertunda.

namun yang tak disangka, adnan kini merangkul bahu ken nyaman sembari memberi pernyataan yang tak diduga seluruh orang di ruang tengah, begitu pula dengan ken yang kini ditatap intens oleh lelaki yang lebih tua darinya itu,

“kita bisa kok kasih papa cucu, adnan bisa nikahin ken sekarang, ya kan sayang?”


tidak ada yang mengalah untuk memecahkan keheningan antara keduanya. raut wajah ken masih cemberut sama seperti saat ia ditarik masuk ke dalam sebuah mobil yang beberapa hari lalu sempat mengantarnya pulang.

lelaki manis itu kini tenggelam dalam lamunannya, berpikir cara melarikan diri dari aksi penculikan yang kedua kalinya dilancarkan oleh lelaki berwajah tegas disampingnya itu. namun nihil, pikirannya buntu, membuat ia berakhir dengan diam menunduk menatap tautan jari kedua tangannya di atas paha.

adnan yang tampak lebih gelisah, refleks mengetukkan jarinya pada kemudi menarik perhatian ken yang kini menoleh sekilas padanya.

“lo mau ngomong apa?”

berhasil, ken berbicara lebih dulu padanya. adnan menarik napas perlahan, menenangkan degupan dalam dadanya yang ributnya mengalahkan pentas musik tahunan kampus.

“tumben lo gak berontak gue bawa lari?”

bodoh. adnan memaki dirinya dalam hati karena mengeluarkan pertanyaan yang memancing ken untuk menolak segala tindakannya kali ini. namun yang tak ia sangka, ken hanya mendengus malas sembari merilekskan posisi duduknya di kursi samping kemudi.

“males buang tenaga, lagian gue lawan lo udah ketauan siapa yang menang.”

adnan mencoba menahan tawanya, namun gagal. ken yang mendengarnya hanya melengos memilih melihat pemandangan jalan yang pagi ini nampak lebih lengang.

“gue gak tau lo mutusin buat ngampus secepet ini.” adnan mencoba menyuarakan rasa penasarannya. saat tadi ia melihat aiden membawa ken masuk ke dalam mobilnya, ia segera mengikuti keduanya dan berakhir dengan tujuan kampus. sebenarnya hari ini ia tak ada niat ke kampus sama sekali, dan telah meminta bantuan kembali pada kale untuk menggantikan jadwalnya.

ken masih betah dengan posisinya, tak menoleh sama sekali pada si penanya sembari menjawab, “mager di rumah, gue kangen baksonya bu noni.”

“sekarang masih mau bakso? mau mampir dulu gak?”

“gak usah, udah gak nafsu.”

adnan masih bingung dengan apa yang ken pikirkan, lelaki itu tidak menolak ajakannya pergi pun tak menampakkan setuju untuk ia ajak pergi. ia kembali memutar otak untuk mencoba membuat ken menyatakan keinginannya.

“lo gak penasaran bakal gue ajak kemana?”

“gak, gak mood.”

nampak tak menemui hasil sesuai harapannya, adnan memilih fokus pada jalanan yang kini ia lalui dengan mobilnya yang berkecepatan setingkat lebih tinggi dari biasanya. berterimakasihlah pada suasana pagi yang nampak lebih bersahabat, walaupun tak merubah atmosfer antara kedua orang yang duduk berdampingan dalam kendaraan roda empat itu.

hingga mobil itu berhenti di depan suatu apartemen, membuat ken tersadar dari lamunannya sedari tadi.

“lo bawa gue kemana?”

“apart gue, yuk turun dulu.”

jawaban pendek adnan membuat kedua alis ken bertaut, awalnya ia berpikir akan diajak pulang atau paling buruk langsung dibawa ke rumahnya, namun ternyata perkiraannya meleset. saat pintu di sampingnya terbuka pun, ken masih menatap adnan tak percaya.

adnan yang melihat raut ragu pada wajah ken pun membawa tangan kanannya mengelus surai milik lelaki dihadapannya itu pelan, “gue jelasin di dalem, gak usah mikir macem-macem dulu.”

tak ada pilihan lain, mau pergi dari sini pun rasanya sudah terlambat. berakhir dengan ken mengangguk kaku dan menyerahkan tangan kirinya digandeng menuju unit milik lelaki yang lebih tua dua tahun darinya itu.

dalam perjalanan keduanya, diam-diam ia mencakup satu tangannya depan dada, bergumam pelan agar suaranya tak sampai di telinga milik lelaki yang kini sedang memencet tombol lift dihadapannya,

“semoga keluar dari sini nanti gue masihh hidup, amin.”

***

“santai aja, anggep rumah sendiri.”

suara berat itu terdengar dari balik dapur, menyadarkan ken yang sedang asik memperhatikan seisi apartemen milik adnan dengan perabotan yang nampak tak main-main harganya.

ken hanya mengangguk, meski tak terlihat adnan tapi kini ia tengah menyamankan dirinya di atas sofa empuk di tengah ruangan. tangannya memencet tombol remote, menghidupkan televisi di depannya. saking nyamannya, kedua kakinya kini telah naik ke atas sofa dengan posisi terlipat menyangga dagu dan kepalanya.

sesuai arahan adnan, ia telah menganggap apartemen ini rumahnya sendiri.

lelaki pemilik apart itu datang dari sebuah kamar di dekat tangga, telah berganti pakaian menjadi lebih santai. begitu pandangannya jatuh pada sosok manis yang kini meringkuk di atas sofa dan tampak asyik dengan tontonannya, lelaki itu langsung mengambil tempat tepat di samping kanannya.

“laper gak? mau gue beliin makan atau gue masakin?”

ken tidak mengalihkan sedikitpun pandangannya dari kartun yang kini tayang di televisi saat ia menjawab pertanyaan itu, “masakin dong kak, ya?”

adnan yang mendengar nada manja, jika ia tak salah menangkap suara ken yang nampak lebih bersahabat dibanding beberapa waktu tadi, mengusak kecil surai ken yang kemudian melempar senyum tampan, “my pleasure. tunggu disini ok.”

kemudian adnan kembali menghilang masuk ke dalam dapur. ken sebenarnya telah tak fokus dengan tontonan di hadapannya sejak adnan duduk di sampingnya tadi. aroma maskulin yang menguar dari tubuh lelaki itu begitu memabukkan, aroma yang sejujurnya beberapa hari ini ken rindukan untuk tercium kembali di sekitar dirinya.

dan kali ini harapannya terkabul, membuat ia mati-matian tak menerjang masuk ke dalam dekapan lelaki yang kini sedang asik dengan kegiatannya di dapur, dan menghancurkan rencana yang sejak tadi telah ia susun.

“lo gak boleh keliatan lemah, ken. lo harus tau dulu apa maksud itu orang bawa lo kemari baru bisa bertindak semau lo.”

***

keduanya kini telah duduk berdampingan di ruang tengah. oh, sepertinya bukan berdampingan lagi. ken yang tadi mengeluh lelah duduk di sofa kemudian mengubah duduknya menjadi duduk di karpet bulu depan sofa, dengan adnan yang duduk di atas sofa tepat di serong kanannya.

fokus ken yang awalnya terpusat pada kartun spongebob di hadapannya berubah haluan pada puzzle yang tadi ia temukan di kolong meja kaca tak jauh dari tempat ia duduk. membuat ia mengabaikan nasi goreng spesial buatan adnan yang sejak tadi menguarkan aroma wangi namun tak tergubris olehnya.

“taruh dulu puzzlenya, itu nasinya dimakan dulu, ken.”

ken hanya menggeleng, jika ia sedang fokus seperti ini memang sulit untuk mendapat perhatiannya. membuat lagi-lagi adnan harus memutar otak untuk mencari solusi agar ken segera makan sebelum makanan buatannya itu menjadi dingin.

“aaa..buka mulutnya coba aaa...”

ken membuka mulutnya mendengar suruhan itu, namun tak menoleh sedikit pun sehingga adnan yang kini memegang sesendok penuh nasi kesulitan dibuatnya.

“sini coba deketan deh, nasinya nanti jatoh..”

tak mendapat respon dari ken membuat adnan mengalah, menggeser duduknya menjadi tepat di belakang tubuh mungil ken yang kini berada diantara kakinya.

“nah sekarang lebih gampang, ayo buka mulutnya dulu aaa..”

pergerakan tangan ken yang sejak tadi sibuk menata puzzle seketika berhenti. suara berat milik adnan itu terdengar begitu merdu dari belakang telinganya, bahkan ia dapat merasakan hembusan nafas lelaki itu yang kini menunduk berupaya menyuapkan nasi goreng buatannya agar masuk ke dalam mulutnya.

dengan segera ia melahap sesendok makan yang ditujukan padanya, kemudian mendorong kecil tubuh adnan yang tampak terlalu dekat nyaris menempel dengan punggungnya.

“m-mwundurwan dwikit kwak, swempwit..”

adnan terkekeh geli akibat dorongan kecil itu. bahkan sebelum ia memundurkan posisi duduknya, ibu jarinya sempat menyeka ujung bibir ken yang belepotan akibat makan sambil berbicara.

ken menunduk menyembunyikan rona merah di pipinya, namun nampaknya ia terlambat karena adnan telah menyadarinya sejak tadi dan membuatnya lagi-lagi menggoda lelaki itu dengan kembali memajukan duduknya saat menyuapi ken untuk kedua kalinya.

“KAK IHH MUNDURANNN!”

tak ayal pekikan itu membuat adnan tertawa lepas, ken nampak sangat menggemaskan jika dilihat dari posisinya ini. tubuhnya begitu mungil menggoda adnan untuk mendekap lelaki manis itu sejak tadi, namun ia tahan agar ken tak mengamuk padanya.

hingga suapan terakhir mendarat pada mulut ken, adnan menggeser piring dan meletakkan sendoknya rapi di atas piring itu. tangannya menepuk bahu ken senang kemudian refleks memajukan wajahnya yang kini tepat berada di atas kepala milik ken.

cup

“ututu pinter banget, kesayangan siapa ini?”

kecupan kilat di dahinya pun dengan cubitan kecil di pucuk hidungnya serta merta membuat ken terdiam. ia kira tadi adnan hanya akan mengelus rambutnya seperti biasanya sebagai bentuk penghargaan. namun ini di luar perkiraannya, membuat ia mendongak dengan raut bingung, menatap wajah adnan dari bawah yang kini juga tengah menatapnya balik.

namun sepertinya adnan salah mengartikan tatapan itu, lelaki itu malah kembali memajukan wajahnya, membuat ken lagi-lagi membolakan matanya.

cup

“dah, itu bonus buat hari ini.”

“KAK KOK GUE DICIUM LAGI SIH!!”

adnan menggaruk belakang kepalanya tak gatal, tadi ia pikir ken mendongak untuk mendapat kecupan di bibirnya. namun sepertinya ia salah paham.

sorry sorry gue kira lo minta cium lagi, kalo nyesel sini balikin aja ciumannya ke gue.”

melihat adnan kembali memajukan bibirnya membuat ken kesal dan dengan cepat memukul bibir itu gemas. adnan sempat mengaduh, namun berakhir tertawa keras saat lagi-lagi tangannya menjadi sasaran pukulan main-main ken untuk menutupi salah tingkahnya.

pukulan berhenti saat adnan mengangkat tangannya tanda menyerah, membuat ken yang juga nampak kelelahan menyandarkan tubuhnya, menyamankan duduknya diantara kedua kaki adnan yang kini mengapit tubuh kecilnya.

tangan adnan terangkat mengelus lembut surai ken, lelaki manis itu pun menyenderkan kepalanya nyaman pada salah satu paha adnan sembari bermain ponsel. ken menghentikan permainannya saat mendengar tawaran yang adnan tujukan padanya,

“haus gak? gue pesenin boba aja mau ya?”

***

“gue mau ngenalin lo ke papa.”

ken yang kini duduk di atas sofa tepat di samping adnan menolehkan kepalanya, masih sibuk menyeruput bobanya yang baru beberapa menit lalu datang sesuai pesanan adnan.

“buat apa?”

walaupun ken sudah terbayang alasan apa yang akan dikatakan adnan, tapi ia tetap memasang wajah polos penuh rasa ingin tau.

“papa gue tau soal video itu, jadi dia kepo sama lo.”

ken menggeser duduknya, bersila diatas sofa dan sepenuhnya menghadap adnan yang juga duduk menghadapnya, “terus abis dikenalin ngapain?”

sebenarnya jawaban pertanyaan ini juga yang adnan bingungkan, ia tak mungkin langsung mengungkapkan bahwa kemungkinan mereka akan segera dinikahkan setelah menemui papanya, atau perkiraan buruknya mereka akan diusir bersama dari rumah saat itu juga.

melihat tatapan menuntut yang ken tujukan padanya, membuat adnan akhirnya mau tak mau menjawab pertanyaan itu ragu, “mungkin, tanggung jawab sama lo?”

meski terdengar ambigu, ken terpikirkan sebuah alasan atas jawaban itu. yang meski terdengar tak masuk akal, namun sepertinya jawaban adnan mengarah ke salah satu hal yang kenyataannya baru ia perjelas kemarin malam.

adnan pasti mengira ia hamil, yang berarti bukan hanya pram yang menerima berita palsu itu, namun juga pria di hadapannya ini.

ia semakin yakin saat mengingat pertemuan mereka di sebuah pagi saat adnan tiba-tiba mengelus perutnya, dan berpesan agar ia makan makanan sehat, persis nasihat yang jian berikan padanya tiap hari.

seketika senyum dan semua perasaan gembira yang awalnya memuncak memenuhi hati ken meredup, ia terpikirkan sebuah perkiraan, dimana semua perhatian dan kasih sayang yang ia rasakan dari adnan selama ini hanya sebuah bentuk tanggung jawab atas berita palsu yang lelaki itu dapatkan.

terpikirkan pula olehnya bahwa selama ini ia telah terbawa perasaan atas perlakuan manis yang adnan berikan padanya, perasaan berdebar yang timbul di hatinya itu sesungguhnya sia-sia, karena bahkan adnan melakukan semua itu bukan didasarkan oleh perasaan suka, namun hanya sebuah bentuk tanggung jawab atas kesalahannya.

dan bila adnan mengetahui kenyataan yang sesungguhnya, apa semua perlakuan lelaki padanya itu masih akan sama seperti sebelumnya?

setelah lama terdiam, ken yang awalnya menunduk memberanikan diri menatap adnan yang sejak tadi masih fokus menatap dirinya.

“lo deketin gue karena ngira gue hamil anak lo kan?”

adnan mengerjap, kemudian mengerutkan dahinya bingung mendengar jawaban ken yang sejujurnya mengagetkan dirinya.

“gue gak hamil, kalo itu yang lo maksud mau tanggung jawab. gue gak hamil, kak, lo gak perlu tanggung jawab dan bawa gue ke depan papa lo.”

adnan menggeleng, meskipun sejujurnya dalam hati ia merasa sedikit lega mendengar jawaban ken tadi, namun ada sepersekian bagian dalam hatinya yang tidak rela, yang ia juga tak mengerti alasannya.

ken mencoba tersenyum sembari melanjutkan apa yang ingin ia katakan, “awalnya gue bingung kenapa lo tiba-tiba aja deketin gue lagi, gue pikir lo punya rasa ke gue, dan sampai tadi gue ngira lo emang ada rasa, tapi kayaknya gue kepedean ya? lo kayak gini karena lo ngerasa punya tanggung jawab ke gue, gak seharusnya gue baper sama perlakuan lo.”

meskipun ken mengatakannya dengan senyum, namun adnan merasakan nada kekecewaan yang kental dalam suaranya, senyum itu juga terlalu dipaksakan, ken nampak tak baik-baik saja dan adnan membenci pemandangan di hadapannya itu.

“ken bukan gitu—”

“mulai sekarang lo bebas kak, lo gak perlu terbebani sama rasa tanggung jawab lo itu. lo gak perlu baik-baik ke gue lagi, kita balik kayak sebelumnya, lo dosen dan gue mahasiswa lo, k-kita berlaku kayak y-yang s-seharusnya aja..”

meski sekuat tenaga ken berusaha menahan air matanya, namun nyatanya pipinya kini telah basah dengan bibirnya yang bergetar menahan isak tangisnya.

ia menunduk, mencoba menyembunyikan sisi rapuhnya yang sayangnya harus muncul dihadapan lelaki yang ia akui telah mencuri hatinya itu. ia sempat memberontak saat merasakan dekapan hangat yang berasal dari lelaki di hadapannya.

dalam posisi ini, ken menyadari degupan jantung adnan yang menyerupai miliknya, berdegup tak santai bak mengimbangi satu sama lain. ken menyerah untuk memberontak, bahkan kekuatan mereka tak sebanding. tangan adnan kini terus mengelus punggungnya, sembari berbisik kata-kata penenang berharap tangis ken dapat sedikit mereda.

“awalnya gue emang mau tanggung jawab sama lo, gue deketin lo karena alasan itu. tapi lama-lama gue ngerasa nyaman, gue gak suka liat lo kayak gini, gue gak suka liat lo nangis dan gue penyebabnya. gue yang awalnya cuek, berubah semenjak gue deket sama lo. gara-gara lo gue berubah ken..”

masih dengan kedua tangannya yang menggenggam ujung pakaian adnan, ken menggeleng kecil dalam dekapan itu, “itu pasti cuma perasaan sementara, lo masih suka sama karin kan? lo belum move on dari dia, don't say all those sweet words unless you mean it, kak. jangan buat gue jatuh sama lo lagi.”

tangan adnan yang semula mengelus punggung ken kini beralih menguraikan pelukan keduanya, menangkup wajah ken yang tampak lebih sembab dari sebelumnya.

ibu jarinya bergerak menghapus air mata yang membasahi pipi gembil itu, pun merapikan surai depan ken yang tampak berantakan akibat pelukan tiba-tibanya tadi.

“lo bisa denger gimana ributnya detak jantung gue kalo lagi sama lo kan? ada satu hal yang baru gue sadarin hari ini, hal yang bisa gue pastiin ke lo kebenarannya. ken, i already in love with you, and my feelings are bigger than you think. lo sama karin itu beda, she was my past, and you're my present and will be my future, mau kan?

ken tak menjawab melainkan menghambur dalam pelukan adnan yang senantiasa menyambutnya dengan senang hati. benar, ia dapat mendengar jelas degupan ribut itu, adnan tak berbohong padanya. isakannya masih terdengar jelas sehingga adnan memilih menyamankan dekapannya, menarik ken yang kini bergelung nyaman duduk di atas pangkuannya.

keduanya tenggelam dalam keheningan yang tercipta tak pasti lamanya, tak menyadari isakan lain yang samar terdengar berasal dari seorang perempuan di sebuah kamar di lantai dua, yang sejak awal tadi mendengar semua pembicaraan keduanya, yang sedang mati-matian menutup mulutnya agar tak menimbulkan suara sekecil apapun,

“mungkin ini emang jalan yang terbaik buat kita semua, nan.”