Permenanon2

Jakarta, 15.00—

“Udah sampe belum?”

“Belum.”

“Sekarang udah sampe?”

“Belum.”

“Kok lama banget sih Mas, ini belum sampe juga?”

“Belum.”

“Kalo sekarang udah sam—”

“Kamu nanya lagi mulutnya aku lakban ya Wen.” Ujar Narendra yang akhirnya membuat sang suami terkekeh lalu diam ditempatnya. Sekarang matanya sedang ditutupi kain hitam yang membuat dirinya tidak bisa melihat apapun. Pikirannya sudah berfantasi liar tentang kemungkinan kejutan yang akan diberikan oleh sang kekasih. Tebakannya sih Narendra bakalan bawa Owen ke restaurant kesukaanya lalu makan bareng-bareng sama semua orang kesayangannya yang udah nunggu disana.

“Bentar lagi nyampe nih.”

“Eh sumpah?” Owen yang semula duduk senderan pun menegakan sandaran kursi, “Aku nanti mau akting kaget ah.”

“Emang kamu udah tau mau di surprisein apa?”

“Pasti semua orang lagi pada ngumpul di restaurant favoritku kan? Terus pada teriak surprise nanti. Kebaca banget!” Ujar nya kemudian baru tersadar, “Eh tapi walaupun kebaca aku tetep seneng kok, Mas. Makasih ya udah ngatur ini semua.”

Narendra cuma ketawa-ketawa aja, apalagi tau kalo tebakan Owen beneran meleset dari kenyataan tapi pria itu tetep percaya diri.

“Udah sampe nih, ayo turun.” Narendra memarkirkan mobilnya lalu menuntun Owen untuk turun. Di depannya, kini sudah berjajar teman-teman serta keluarga Owen yang sudah bersiap-siap.

Ketika penutup mata dibuka, semua pun serempak berteriak, “SURPISE!”

“Aaahh aku kaget banget!” Seru Owen yang emang udah keliatan dibuat-buat, “Gue agak udah tau bakalan ada kalian soalnya walaupun meleset karena dibawanya ke Akper. Tapi gue tetep seneng kok. Makasih semua!”

Mereka pun akhirnya bernyanyi dan tiup lilin. Tapi lucunya Owen masih gak nyadar apa kejutan yang sebenarnya.

“Sebenernya bukan ini doang Wen alasan kenapa aku bawa kamu kesini,” ujar Narendra setelah Owen selesai tiup lilin, “Bukan ini aja kejutannya.”

“Terus apa dong?”

“Coba balik badan.”

Owen yang semula menghadap taman Akasia Permai dan teman-temannya pun membalikkan badan. Kini didepannya ada sebuah rumah kosong yang terlihat baru di renovasi. Rumahnya cukup besar, dengan gaya minimalis yang benar-benar sesuai dengan idamannya.

“Wah rumah siapa nih?” Semua diam, menunggu untuk Owen mengerti sampai akhirnya yang ulang tahun itu kaget sendiri, “No way. Ini gak mungkin kaya yang aku pikirin kan?”

“Kamu pikirinnya apa emang?”

“Kalo rumah ini tuh hadiah ulang tahun aku, gak mungkin kan?”

“Bener dong kalo itumah.”

“HAH? SERIUSAN GAK SIH?”

“Serius,” Narendra kemudian menjulurkan kunci ke arah Owen, “Ini kunci rumahnya.”

Owen pun menghampiri Narendra dan memeluknya dengan erat sebelum menggendong lalu memutarkan tubuh suaminya itu, “I’M SO HAPPY THANK YOU SO MUCH SAYANG! I LOVE YOU!”

“Aku tau kamu pasti bakalan ngerasa gak enak banget kalo aku full beliin rumah ini jadi aku ninggalin dalemnya kosong untuk kamu isi sendiri, jadi bakalan seimbang deh.”

“OH MY GOD YOU KNOW ME SO WELL! I LOVE YOU MASKU!” Ujar Owen sambil mencium kepala dan pipi suaminya berkali-kali.

Semua orang yang datang hari itu tersenyum senang melihat interaksi pasangan didepan mereka. Hati mereka pun menghangat, kebahagiaan keduanya itu memang menular.

“Eh bentar,” Owen nampak baru sadar akan sesuatu, “Jadi Melbourne gimana kalo kita punya rumah disini?”

“Kita pindah ke Indonesia, for good.”

“Hah? Serius gak sih?”

“Serius. Aku tau sepenting apa Akasia Permai buat kamu, dan sebenernya sekangen apa kamu sama Indonesia. I don’t want to take that away from you. You belong here Owen.”

“But you belong to be in—”

“To be by your side. Wherever you are, beside you is where I belong. Selama ada kamu, aku gak masalah Wen tinggal disini lagi.”

“Kerjaan kamu?”

“VIP emang selalu pengen buat kantor disini. Jadi aku bisa kerja di kantor cabang Indonesia nya aja.”

“Mas I— I don’t know what to say, this is too much.”

“Nothing is too much for you, baby. You deserve the best things in this world.”

“I love you, Mas Naren. Terima kasih banyak untuk semuanya.”

“I love you too, baby. Gak usah berterima kasih. Ngeliat kamu bahagia aja itu udah cukup kok.”

Jakarta, 10.00—

Pagi ini cerah. Udaranya sejuk serta langitnya yang indah bukan main. Hari ini, semesta seolah memberikan restu untuk dua anak adam kesayangannya mengikat janji suci dalam sebuah pernikahan.

“Owen, rasanya baru kemarin aku ngerasain gimana deg-degan nya waktu mata kita ketemu pas interview. Atau waktu kita berantem di ruanganku karena kamu aku siksa sampe pingsan dan kamu tau alesannya. Eh tau-tau sekarang, udah diajak serius buat nemenin seumur hidup aja.” Dan semua tamu undangan pun tertawa, “Untuk hal itu, aku gak akan pernah berhenti berterima kasih sama Tuhan karena nemuin aku sama kamu. Wen, kamu itu orang terbaik dan tulus yang pernah aku kenal. Aku selalu dibuat kagum dengan hal-hal yang kamu lakuin. Dari mulai selalu siap sedia untuk ngebantuin siapapun yang minta, selalu ada untuk sahabat-sahabat kamu kapan pun, selalu berusaha jadi anak yang baik untuk orang tua kamu, dan jadi pacar yang baik untuk aku yang banyak kurangnya ini.”

“Bohong ah, kamu sama rokoknya Juju aja lebih Sampoerna-an kamu.”

Dan semua tamu undangan dibuat tertawa sedangkan sahabat-sahabat yang berdiri disampingnya hanya menggeleng heran.

“Wen, terima kasih udah jadi bukti kalo semesta itu gak jahat. Terima kasih udah jadi jawaban dari pertanyaan apa aku masih bisa buat bahagia. Terima kasih udah jadi penolong aku disaat paling tepat. Mungkin kamu akan bosen denger ini, tapi mulai sekarang sampai nanti kita tua dan tiba waktunya untuk pergi, aku gak akan berhenti bilang kalau aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Dan aku adalah manusia paling beruntung karena bisa kenal sama kamu.”

Julian yang posisinya tepat di sebelah Owen pun menyodorkan sapu tangan yang memang sudah ia siapkan. Dirinya sudah memprediksi kalau temannya itu pasti akan banjir dengan air mata.

Kini tiba giliran Owen untuk berbicara, “Dengerin ya, Pria pujaanku. Pagi ini akan aku sampaikan. Hasrat suci, kepadamu dewaku. Dengarkan lah kesungguhan ini. Aku sekarang ingin mempersuntingmu, untuk yang pertama dan terakhir. Jang—”

“Itu lyrics lagu gak sih Wen?” Tanya Narendra yang baru sadar apa yang diucapkan suaminya.

Sedangkan yang ditegur cuma ketawan, “selamat kamu kena prank, bukan itu sumpah pernikahanku.”

“Astaga nih anak…” Adi sudah menahan dirinuntuk gak melepas sepatu yang dipakai dan melemparnya ke sang anak bungsu. Tapi lagi-lagi hal itu menjadi hiburan untuk para tamu udangan. Jarang-jarang kan datang ke acara lenong berkedok pernikahan gini.

“Mas Naren. Waktu awal aku ketemu kamu, aku itu deg-degan bukan main. Soalnya emang lagi wawancara kerja sih waktu itu.”

Punggungnya di senggol oleh Julian, tanda kalo dia diharusin buat serius dulu. Udah bercanda nya jangan kebanyakan.

“Eh iya-iya maaf. Mas, sebenernya susah buat aku untuk ngomong yang serius-serius begini. Tapi kalo disuruh seriusin kamu, aku bisa dan siap. Mulai hari ini sampai nanti kita udah gak bernafas lagi, aku akan buktiin se-serius apa aku sama kamu, hubungan kita, dan keluarga kita nanti. Kalo bisa yang besar ya, aku ada ambisi bikin club bola soalnya.”

“WEN!”

“Iya iya bercanda. Ayo punya anak sesuai kemampuan dan kapasitas kita aja. Kalo aku sih sebelas juga bisa tapi.”

Udah. Nyuruh Owen buat serius itu sama aja kaya nyuruh PR Matematika buat ngerjain dirinya sendiri, alias mustahil.

“Maaf aku juga gak bisa ngerangkai kata-kata yang indah untuk kamu hari ini. Soalnya mau seindah apapun, bakalan kalah sama kamu karena kamu ciptaan Tuhan paling indah di muka bumi ini.”

“Cakep!” Ujar teman-temannya bikin acara makin rame.

“Bener itu, cakep. Kaya kamu. Pokoknya Mas Naren, aku juga cinta, sayang, dan beruntung banget bisa dikasih kesempatan untuk bersanding sama kamu. You’re the only person that I want to spend my life till death do us part with,” lalu ia pun menoleh, “Udah boleh cium sekarang?”

“Belom dong, tuker cincin dulu.”

Dan proses pertukaran cincin pun dilakukan.

“Narendra Devanon Santoso…cincin ini aku berikan kepadamu sebagai lambang cinta kasih dan kesetiaanku.” Ujar Owen sambil memasangkan cincin pernikahan mereka ke jari manis Narendra.

“Owen Pusaka Brawijaya …cincin ini aku berikan kepadamu sebagai lambang cinta kasih dan kesetiaanku.” Balas Narendra dengan melakukan hal yang sama.

Ucapan keduanya begitu tulus dan lancar. Senyum manis tidak pernah lepas dari bibir si sulung maupun si bungsu dari pertama kali mata mereka bertemu saat Narendra berjalan di altar.

Akhirnya ketika mereka sudah dipersilahkan untuk mencium satu sama lain, Owen menarik Narendra sedikit dan mencium pria yang kini berstatus sebagai suaminya itu.

Untuk Owen dan Narendra, kata semesta kalian sudah boleh bahagia sekarang.

Jakarta, 09.45—

“Mas bangun Mas!” Tubuh Narendra di tepuk-tepuk pelan oleh kekasihnya yang membuat dirinya terbangun, “Ayo kan kita ada acara.”

“Oh iya?” Yang lebih tua itu linglung, tapi tetap ikut bangun dan menuju ke kamar mandi saat melihat kekasihnya sudah siap.

“Yah dia lupa. Makanya ayo mandi dulu, itu bajunya udah aku siapin.”

Narendra yang emang pada dasarnya beneran lupa hanya manut-manut aja. Ia pun segera bersiap-siap karena gak mau telat untuk acara yang entah apa.

Tidak sampai lima belas menit Narendra sudah siap dengan rambut yang juga sudah ia keringkan. Kini merika berdua sudah serasi menggunakan batik yang serupa tapi tak sama.

“Ini kita batiknya samaan ya?”

“Loh kan kamu yang bilang mau samaan, gimana sih?” Lagi-lagi Narendra mengerutkan dahinya tak ingat, “iya ya, kok aku lupa?”

“Emang udah umur kali Mas.”

“Sialan!”

Owen terkekeh lalu menyodorkan bungkus roti dari salah satu merk kesukaan Narendra, “Buat sarapan di jalan. Biar ngeganjel perut dulu.”

Seperti biasa, Jakarta macet. Apalagi daerah mereka sekarang berada di tengah-tengah pusat kesibukan. Owen berkali-kali melihat Narendra menahan kantuknya, sehingga laki-laki itupun inisiatif berujar, “Kamu kalo ngantuk tidur aja Mas, masih agak jauh ini kita.”

“Emang kita mau kemana sih?”

“Ke acara lamaran itu loh.”

“Oh ok, maaf ya Wen, aku ngantuk banget. Nanti kamu tolong bangunin pas udah sampe ya? Atau kalo ada perlu apa gitu bangunin aja gapapa.”

“Iya.” Ujar Owen sambil tersenyum manis. Dalam hati dia melompat senang, karena dengan tidurnya Narendra rencana nya bisa lebih lancar.

Mereka sampai kurang lebih setengah jam kemudian. Kini, keduanya berada di wilayah selatan ibu kota tempat keluarga Narendra tinggal.

“Mas, bangun mas, udah sampe.”

“Eh? Iya…”

Narendra yang sibuk siap-siap pun masih belum sadar mereka berada dimana, sampai akhirnya ketika turun ia mengerutkan dahi, “Loh ini rumah ku kan?”

“Iya.”

“Kata kamu kita mau ke acara lam— WOY LO GILA YA?”

Tawa Owen pecah ketika kekasih nya itu baru sadar, apalagi ketika sekarang pintu rumahnya terbuka dan sepupu-sepupunya berjalan keluar dengan baju kebaya serta batik senada, “Ayo masuk udah ngumpul semua.”

“Anjing gue gak siap apa-apa!”

“Lah gimana sih katanya gapapa kalo dilamar.”

“YA MANA ADA ACARA LAMARAN ORANGNYA GAK TAU GILA?”

Anak-anak Salite udah ketawa aja sama tingkah mereka berdua. Jadi sebagai sepupu Narendra, mereka ngasih pria itu waktu sebentar untuk menenangkan diri sebelum akhirnya berjalan ke dalam rumah.

Rumah Jutawan Santoso itu sudah di dekor dengan apik sekarang. Warna abu-abu mendominasi, sehingga ada kesan minimalis namun juga elegan. Sesuatu yang Narendra sudah pasti suka dan pilih untuk acaranya sendiri.

Ia menoleh kearah Owen lalu sahabat-sahabat VIP nya sedikit terharu. Mereka setau itu tentang dirinya ternyata.

“Nah akhirnya dateng juga yang ditunggu-tunggu. Tadinya malah mau digantiin sama Awan Buna lagi nih, katanya mau lamaran lagi mereka.” Sambut Erchimon yang memang bertugas menjadi MC saat itu didampingi oleh Reyhan.

“Ayo kalo gitu langsung aja dimulai ya acara lamarannya, mari Mas Naren dan Owen duduk di posisi keluarga masing-masing. Jangan di keluarga pasangannya ya, belum sah nih.” Sambung Reyhan yang membuat semua kembali tertawa.

Acara lamaran pun dimulai dan semuanya kini memperhatikan dengan serius. Narendra berkali-kali mencuri pandang ke kekasihnya. Rasanya campur aduk, senang, terharu, kaget, dan bahkan ada juga rasa kesal sedikit karena kejutan yang keterlaluan tadi.

Owen pun juga sama campur aduknya. Namun bukan kesal yang ia rasakan melainkan bersalah. Tapi karena rasa excited nya lebih besar jadi ia masih bisa senyum sambil gerak-gerak gak sabar di tempat duduknya.

“Diem apa Wen, kamu lagi lamaran ini!” Tegur sang bapak sambil menyikut lengannya.

“Ih seneng banget Owen tuh Pak!”

“Ya diem dulu jaim. Jangan norak, kaya gak pernah lamaran aja kamu!”

“Lah emang gak pernah!”

“Oh iya juga ya.”

Lalu keduanya malah cekikikan sendiri karena pembicaraan konyol mereka dan berhenti waktu mendapat teguran dari sang ibunda.

Shandy sudah selalu memberikan sambutannya, membeberkan maksud dan tujuan mereka berada disini sekaligus segala perkataan halus yang memang diperlukan diacara pemberian sambutan. Dari pihak keluarga, Jutawan juga sudah memberikan jawaban dan menerima lamaran tersebut. Kenapa Shandy dan bukan Adi? Sengaja, karena kalo engga acara bakalan full lenong tanpa ada serius-seriusnya.

Karena Narendra memang sudah ada disana, jadi gak perlu pake acara manggil untuk dateng kaya acara lamaran biasanya. Jadi langsung aja ke penyerahan seserahan yang membuat lebih tua bingung, ini kapan nyiapin nya sih?

“Jadi gimana Owen?”

“SAH!”

“Salah woy salah!” Seru anak-anak Siskamling saat Owen asal nyebut. Lagi-lagi para tamu undangan di buat ketawa.

“Oh udah ngebet dia temen-temen, sabar ya Wen, satu-satu dulu ini.” Sahut Erchimon spontan saat mendengar jawaban Owen, “Sekarang tuker cincin dulu.”

“Oh iya iya maaf, udah gak sabar kak.”

Lalu akhirnya keduanya pun bertukar cincin, “cie mau dinikahin cie.” Ujar Owen sambil memasangkan cincinnya pada jari manis sang kekasih. Sedangkan Narendra cuma bisa senyum-senyum malu aja sambil melakukan hal yang sama.

Abis selesai masang cincin, Owen inisiatif untuk ngedeket ke Narendra buat nyium pacarnya tapi diberhentiin sama Reyhan, “Wen belum wen belum sah!”

“Loh gak boleh ya?”

“Cah gendeng!” Ujar si bapak sambil menoyor anak bungsunya, “Kamu lagi lamaran kok kerjaanya bikin malu keluarga mulu dari tadi.” Sedangkan yang ditegur cuma ketawa cengengasan aja.

Acara pun dilanjutkan dengan perkenalan keluarga inti serta keluarga besar. Lalu dilanjutkan dengan doa bersama agar niat baik mereka berjalan lancar tanpa gangguan sampai pernikaha nanti sebagai penutupannya.

Setelah rangkaian acara selesai mereka pun melalukan foto-foto sebelum akhirnya perayaan sebenarnya dimulai.

Siskamling, DORA dan Owen (tanpa Kaindra dan Ibrahim tentu saja) kini tau-tau sudah di samping band live music yang emang sengaja di pesan untuk acara lamaran ini.

“Wen kamu mau nga—”

Mangan tempe rasane 
(Makan Tempe Rasane)
 Koyo mangan lawuh sate
 (Seperti makan lauk sate)
 Senajan sak anane 
(Walaupun seadanya)
 Sing penting karo kowe
 (Yang penting sama kamu)

Mampus laki gue jametnya keluar. batin Narendra saat Owen mulai bernyanyi dengan teman-temannya yang bantuin joget.

Ngombe kembang tahu rasane
(Minum bunga Tahu rasanya)
 Koyo ngombe susu 
(Seperti minum susu)
 Ra usah mecucu 
(Tidak usah cemberut) 
Tresno ku ro kowe ra bakal tak madu
(Cintaku kepadamu tidak bakal aku madu)

Narendra gak sepenuhnya ngerti, tapi tetep aja mesem-mesem apalagi pas dagunya dicolek Owen sambil laki-laki itu nyanyi.

“Buset Naren berondong lo Ren…” ledek sepupu-sepupunya sambil tertawa.

“Idih si mesem-mesem tuh digodain jamet!” Tambah sahabat-sahabat Narendra yang juga sedang tertawa.

Bungah tenan rasane 
(Bahagia rasanya)
 Wong kang lagi gandrung 
(Orang yang lagi jatuh cinta)
 Tak perjuangke
 (Akan ku perjuangkan)
 Tekan janur melengkung
 (Sampai janur melengkung)

“Maaf ya Mas Jutawan, anak saya tuh emang agak-agak…” ujar Adi yang berdiri disambing Jutawan karena memang semulanya mereka sedang mengobrol.

“Gapapa banget Mas, kita malah seneng. Owen tuh kaya angin baru di keluarga kita yang agak kaku ini. Makasih Pak Adi atas anaknya yang bisa buat Narendra saya sebahagia ini.”

Dari kejauhan, keluarga Narendra yang masih baru dengan situasi ini pun cuma ketawa-ketawa aja, “Unik ya si Owen itu.” Ujar Sunny yang di balas anggukan setuju dari adik-adiknya.

“Seneng akhirnya Narendra ketemu yang bisa bikin dia lebih hidup lagi.” Balas Davika yang kali ini hanya diucapkan pada sang suami.

Dari sisi lain, Arkano juga sedang tersenyum senang. Dia benar-benar tulus waktu bilang dirinya ikut bahagia melihat Narendra bahagia.

“Akhirnya ya Kan,” ujar Jaehyun sambil merangkul sahabatnya, “Narendra bisa sehappy ini lagi.”

“Iya gue juga seneng. Apalagi orangnya kaya Owen gitu.”

“Lo juga jangan lupa bahagia dong, Kan.” Sambung Johnny yang membuat semuanya ikut menangguk.

“Ini udah. Ngeliat Narendra bisa senyum dan ketawa setulus itu lagi udah jadi kebahagiaan dengan skala terbesar dalam hidup gue.”

Jakarta, 20.00—

Jutawan Santoso kembali menambah satu digit di umurnya hari ini. Ulang tahun yang terasa lebih spesial karena kedatangan sang putra sulung ia sudah rindukan setengah mati.

“Abang dateng sendiri Bun?” Tanya Jutawan pada Namira yang sedang berbicara dengan salah satu pramusaji mengenai menu katering hari ini.

“Gak tau Yah, abang gak ngabarin Buna. Tapi kayaknya bawa pacar.”

“Kamu kenal?”

“Engga, Ayah?”

“Engga…”

Keduanya menghela nafas lelah. Hal-hal seperti inilah yang membuat keduanya sadar seberapa buruknya mereka menajdi orang tua. Keduanya gagal untuk mengenal sang anak sulung, pun untuk memberikan lingkungan yang nyaman dan aman untuknya.

“Selamat ulang tahun ayah!” Jutawan menoleh ketika mendengar suara perempuan yang sudah ia hafal diluar kepala, “Alena doain semoga ayah sehat dan bahagia terus!”

“Amin terima kasih ya sayang!” Jutawan tersenyum sambil membalas pelukan sang anak bungsu, “Anak-anak sama suami mu mana?”

“Anak-anak bareng Mas Arkan, tadi mau pick up hadiahnya ayah dulu.” Ujar Alena dengan senyum manisnya yang Jutawan tau adalah bentuk dari paksaan.

Anaknya ini tidak bahagia, begitu pun rumah tangganya. Ia sadar betul, dan tau juga apa penyebabnya. Namun untuk menolong pun sungkan rasanya. Karena dirinya lah salah satu penyebab semua ini terjadi, walaupun mereka kini berusaha mengubur kenyataan itu jauh-jauh dan berperilaku baik-baik saja.

“Abang udah dateng yah?”

“Belum, kamu ada kabaran sama dia gak? Kalo ayah terakhir semalem dia ngucapin doang.”

“Engga sih, bentar Alena coba tanya.”

Tamu pun mulai berdatangan tak lama kemudian, dari mulai adik-kakak Jutawan, keponakannya, serta kedua besannya.

“Naren belum dateng, Wan?” Sunny yang sedari tadi memperhatikan penjuru ruangan pun bertanya tentang keponakan kesayangannya, “Udah di Jakarta kan dia?”

“Iya di Jakarta kok, paling bentar lagi sam—”

“Selamat ulang tahun Ayah!” Sebuah suara memberhentikan Jutawan dari perkataannya. Kini anak sulungnya itu berdiri tidak jauh darinya sambil membawa satu paperback besar dari luxury store kesukaanya, “Maaf abang telat, tadi macet.”

“Gapapa bang, abang mau dateng aja Ayah udah seneng banget!” Ujar Jutawan mengeratkan pelukannya untuk beberapa saat.

“Abang…”

“Buna…” dan Narendra beralih untuk memeluk sang ibu dengan sama eratnya, “Buna kangen banget sama abang!”

“Iya abang juga kangen sama Buna. Maaf ya abang jarang pulang…”

“Gapapa yang penting abang ada disini.”

“Oh iya kenalin, ini Owen. Pacar abang.” Ujar Narendra sambil mengenalkan orang yang ada dibelakangnya, “Wen, Ayah sama Bunaku.”

Jutawan dan Namira yang baru tersadar akan kehadiran orang baru itu pun menoleh. Untuk sepersekian detik tentu saja mereka terkejut, sehingga tidak langsung bereaksi.

Jantung Narendra pun berdetak dengan kencang. Terus terang dia gak siap kalau sampai harus menerima penolakan lagi. Namun ternyata diluar dugaan, Jutawan malah tersenyum lebar sambil merentangkan tangannya untuk bergerak memeluk Owen, “Salam kenal Owen, terima kasih udah jagain abang selama di Melbourne.”

Namira yang ada di sebelah Jutawan juga mengajak laki-laki itu cipika-cipiki, “Nanti stay sampai akhir ya? Kita ngobrol lebih jauh lagi. Terima kasih udah dateng Owen!”

Kedua pasangan itu saling bertatapan dalam diam, tapi ada rasa bahagia yang terpancar jelas di wajah mereka.

“Abang, hai!” Sapaan lain membuat Narendra menoleh dan bertemu tatap dengan sang adik. Ia pun langsung bergerak untuk memeluk Alena sama eratnya, “Hai, apa kabar kamu?”

“Better now that you’re here!” ujarnya dengan senyum yang tulus. Semenjak dirinya tersadar, memang perasaan bersalah kerap menghantui Alena bahkan sampai hari ini. Untuk itu ia sangat menghargai setiap waktu ketika mereka berinteraksi seperti ini, “Abang sama— eh?”

“Halo Mba, saya Owen…” ujar Owen mengenalkan diri pada wanita yang ia tau adalah adik dari kekasihnya. Lagi-lagi dirinya harus mengalami pandangan yang sama, namun tidak terlalu lama karena akhirnya wanita itu tersenyum, “Hai Owen, gak usah panggil mba, aku kan adeknya Abang.”

“He’s 8 years younger than me, Len.”

“Oh yaampun…” Narendra dan Owen sama-sama tertawa melihat ekspresi terkejut Alena, “Yaudah terserah aja kalo gitu.”

“Emang gue kelitan tua ya mba?”

“Eh engga sumpah maksudnya bukan gitu, itu tuh karena kan aku emang adeknya abang jadi agak kaget aja di pangg—”

“Len, Owen bercanda. Kamu gak usah panik…”

Alena lagi-lagi dibuat terdiam. Dan setelah melihat Owen yang memang baik-baik saja ia pun berujar, “Astaga…”

Perbincangan mereka terhenti ketika ada dua sosok anak kecil yang memeluk Narendra bersamaan, “Papa Naren, we miss you!”

“Hi boys!” Narendra yang sadar itu adalah kedua keponakannya pun mencium kepala mereka bergantian, “How are you guys?”

“Baik banget karena ketemu Papa Naren!”

“Papa, there are lots of things that I want to tell you!”

“Boys, nanti dulu ya. Papa Naren nya biar keliling dulu.” Ujar sebuah suara familiar yang membuat Narendra, Owen dan Alena menoleh.

“Arkano…”

“Narendra…”

Arkano yang semula tersenyum pun terdiam ketika pandangannya bertemu dengan milik Owen. Mereka berdua saling bertatapan beberapa detik sebelum yang lebih muda menyapa, “Halo Mas Arkano, saya Owen.”

“Eh, iya halo…”

“Pacar gue, Kan.”

“Oh iya, nice to meet you.”

“Same here, dapet salam dari Bang Johnny dan kawan-kawan Mas.”

“Wah iya? Lo kenal mereka juga?”

“Kenal, beberapa kali main bareng.”

“Ok ok siap.”

Canggung. Tapi ya mereka semua berusaha sebisa mungkin untuk keliatan ramah. Owen sendiri gak tau harus bertingkah kaya gimana, bahkan bercandaan soal dia mau ngerusuhin Arkano juga seolah terbang dari otaknya. Untung aja abis itu Arkano pamit mau ngomong ke mertua sama orang tuanya yang baru dateng.

“Kita kesana aja yuk!” Ujar Owen menunjuk sepupu Narendra yang sebenernya dari tadi udah ngeliatin dia.

“Gak ah.”

“Udah ayo!” Owen pun menarik Narendra kearah sana.

Diluar dugaan, Owen lah yang menyapa mereka lebih dulu dengan bercandaan, “Gimana tontonan nya? Asik gak?”

“Gue nungguin berantem padahal,” sahut Wararya yang membuat Narendra semakin bingung, “Harusnya lo kaya “halo saya versi upgrade anda” gitu ego Wen.”

“Wah jangan gitu lah, gak enak Kak!”

“Alah tai, yang kemaren bilang gitu aja lo sendiri!” Sambung Clarissa yang akhirnya memancing sahutan dari Narendra, “Hah apaansih kok kalian akrab?”

Semuanya saling berpandangan, menerka siapa yang mau bercerita sampai akhirnya Anjani lah yang mulai bercerita, “Kemarin kita ketemuan sama Owen, Ren….”

Owen menatap satu persatu manusia didepannya sambil tersenyum ramah, “Maaf ya kakak-kakak sekalian kalo misalkan gue lancang ngajak ketemu begini. Tapi ada beberapa hal yang mau gue omongin, Pertama, gue paham banget soal kalian yang gak setuju sama gue. Apalagi karena gue tuh mirip banget sama—”

“Wen kita minta maaf banget soal itu. Gue tau lo sama Arkano gak sama. Maaf kita gak ngasih lo kesempatan dan langsung nge judge gitu aja.”

“Gapapa Kak, gue paham banget reaksi kalian itu wajar. Apalagi kalian emang sepeduli itu sama Mas Naren. Makanya tujuan gue ngajak ketemu hari ini itu untuk minta kesempatan sama kalian semua. Gue gak akan ngomong banyak soal gue akan treat Mas Naren lebih baik atau segala omong kosong itu. Tapi gue akan nunjukin ke kalian dan ngebuktiin kalo misalnya gue pantes buat bersanding sama Mas Naren. Perjuangin dia sampe dapet restu semua orang juga gue sanggup.“

Mereka semua saling berpandangan dengan ekspresi yang dapat Owen artikan sebagai kebahagiaan. Karena memang benar adanya, akhirnya anak-anak keluarga Santoso itu bisa bernafas lega. Sepupu mereka ada di tangan yang tepat sekarang.

Naren pun menatap Owen dengan mata berbinar terharu, “You did that?”

“I’ll do anything for you, Mas.”


“Mas Arkan, sendirian aja? Gak ikut ngobrol itu di dalem?”

“Eh Wen, gak lah itu kasian keluarga lagi pada temu kangen.”

“Tapi bukannya lo bagian dari keluarga inti juga?”

“Well…” Arkano menghela nafas beratnya sebelum berujar, “Shouldn’t have been.”

“Harus nya emang, gak sih? Tapi salah langkah aja.”

Arkano kembali menoleh untuk menatap Owen beberapa saat. Ah iya, Narendra mungkin cerita tentang apa yang terjadi dengan mereka, “Eh sorry. Bukan ranah gue.”

“Gapapa.” Arkano menggeser tempat duduknya agar Owen bisa duduk. Kini mereka berada di kursi santai halaman belakang rumah keluarga Santoso sambil menatap taman luas serta kolam renang yang asri itu, “so you must hate me so bad right now.”

“Hate? No. But I can’t say that I’m fond of you either.”

Keduanya tertawa karena kejujuran Owen, “Yeah as you should.”

“Mas Naren too by the way.”

“Kenapa Naren?”

“Dia gak benci sama lo.” Owen menatap Arkano serius, karena tau persis pria itu sedang mencari kebohongan di matanya, “Serius. He even says that he understand your choice to some extent. He never really blame you for what happened, bahkan dia paham banget kenapa lo milih jalan ini.”

Arkano gak pernah denger ini sebelumnya. Walaupun Narendra udah beberapa kali yakinin dia kalo hubungan mereka udah baik-baik aja, gak ada yang pernah ngeyakinin dia kaya begini.

“Gue bahkan ngomong ke dia, harusnya dia gak sebegitu lowongnya ke lo tapi dia bilang, dia ngerti banget gimana susahnya lo buat bilang engga sama orang tua lo. Gimana hidup lo itu udah kesetel untuk muasin mau orang tua lo. Dan dia sepenuhnya ngerti itu, walaupun sakitnya bukan main buat dia.”

“Kenapa dia sebaik itu ya, Wen? Padahal gue gak pantes dapetin itu semua.”

“Gak pantes dapet Mas Naren iya, tapi lo pantes buat dapetin kebaikannya dia, Mas. Maaf sotoy, tapi kayanya orang awam pun udah bisa tau lo udah cukup bayar semua dosa-dosa lo ke dia selama ini deh.”

“Kalo aja gue lebih berani waktu itu, mungkin semua gak bakalan kaya gini kali ya.”

“Ya jangan dong, kalo lo berani gue gak bisa sama Mas Naren nanti!” Ujar Owen bercanda dan keduanya tertawa lagi.

“Iya ya? Dia keliatan hidup lagi Wen sekarang, kayaknya lo harus ngambil credits sepenuhnya akan itu deh. Makasih ya Wen.”

Owen menangguk sambil tersenyum tipis, “Mas Arkan…”

“Ya?”

“Sekali lagi, gue minta maaf kalo sotoy. Tapi mungkin kenapa lo gak pernah bisa tenang karena ngerasa Mas Narendra gak aman selain sama lo. Gue ngerti, Mas. Mungkin lo gak pernah denger ini juga dari Baskara, tapi lo bisa percaya gue kalo sekarang, gue bisa jaga dan sayangin Mas Naren sama atau bahkan lebih gede dari lo. Lo bisa tenang sekarang, manusia kesayangan lo ada di tangan yang tepat.”

Owen menepuk pundak Arkano untuk benar-benar menenangkan pria itu, “Gue gak pernah bakalan berusaha gantiin lo, karena gue paham akan selalu ada bagian di hatinya Mas Naren yang dia simpen buat lo, gue gak akan minta, gak akan beruasaha ngapusin juga. Tapi yang sekarang gue berusaha tekenin, ikhlasin dia ya? Now you can sleep in peace knowing that your loved one are in his happiest state.”

Jakarta, 14.00—

“Eh disini aja pak, itu temen saya udah nunggu.” Narendra memberhentikan sang supir taksi lalu membayar dengan uang berwarna merah muda, “Ini kembaliannya buat bapak aja, makasih ya!”

“Makasih banyak ya Mas!”

Narendra turun dari taksi dan berjalan kearah empat orang yang memang sudah janjian bersamanya hari ini, “Hai sorry ya lama, tadi sempet macet deket sini.”

Shandy adalah yang pertama menoleh dan menyadari keberadaan kekasih adiknya itu, “Eh iya gapapa Mas, kita juga baru banget dateng.”

“Okey, kalo gitu temenin gue dulu ya? Nanti naru abis itu kita ngobrol.” Mereka berempat serempak mengangguk, lalu mengajak Narendra untuk ketujuannya dalam diam.

Kurang lebih tiga menit kemudian, sampai lah mereka berlima di depan makam seseorang yang sering dikunjungi kala senggang. Laksamana Nuraga, begitu tulisan di nisannya.

Narendra tersenyum lalu duduk di salah satu bangku kramik yang ada di samping makam tersebut, “Halo Nuraga, aku Narendra.”

Shandy, Johan, Ibrahim dan Darian berjalan menjauh untuk memberikan mereka sedikit privasi, namun masih tetap bisa samar-samar mendengar perkataan yang lebih tua.

“Ini, aku bawa hadiah…” Narendra kemudian mengeluarkan beberapa bunga daffodil dari paperbag yang ia bawa, “Kemarin semaleman aku nyari apa bunga yang paling bagus artinya dan nemu ini. It says, Daffodils symbolize care and goodwill. Cocok untuk dikasih ke orang yang kamu hargai dan simbol dari persahabatan. Something that represents what I felt about you.”

Hari ini langit cerah, dengan angin sepoi-sepoi yang membuat Narendra tetap nyaman berada di luar ruangan. Suasana ini seolah memang mendukung perbincangan keduanya, “Hari ini aku ditemenin sama kakak-kakakmu, people that trully care and love you very much. Kamu pasti sebaik itu ya sampai disayang sebegitunya?”

Narendra mengulurkan tangannya untuk mengelus batu nisan mikik Nuraga, “Nuraga, aku minta maaf ya kalo hadirnya aku di hidup Owen itu seolah terkesan menggantikan kamu. Gak ada sama sekali maksudku buat begitu. Aku gak akan pernah mau nyingkirin, atau gantiin posisi kamu sebagai juara bertahannya Owen, Ga.”

Ibrahim, Shandy, Darian dan Johan saling bertukar pandang untuk sesaat. Mereka itu sedang merasa menjadi manusia paling bodoh di bumi. Bisa-bisanya berperilaku jahat pada manusia baik yang ada didepannya itu tanpa berusaha mengenalnya terlebih dahulu.

Kini tekad mereka pun sudah bulat. Kalau perlu, akan bertekuk lutut di kaki Narendra sampai pria itu memaafkan. Mereka gak mau jadi alasan orang sebaik ini pergi dari kehidupan Owen.

“Tapi gue izin untuk ngerasain dicintai sama dia juga boleh ya? Tenang Ga, Owen nya juga gue lanjutin bikin bahagia juga pastinya. Gue juga izin buat berusaha menangin hati orang-orang di sekitar Owen juga ya? Karena gue mau ada di kehidupan Owen untuk waktu yang lama.”

Tentu saja pertanyaan itu gak ada yang jawab. Tapi Narendra berharap segala pesan yang ia punya dapat didengar oleh Nuraga.

Setelah seselai memanjatkan doa, Narendra pun menoleh kearah empat saudara Owen, “Gue udah selesai. Ayo kalian berdoa dulu abis itu kita lanjut ngobrol.”

Dan disini lah mereka kurang lebih lima belas menit kemudian. Salah satu rumah makan jawa di daerah dekat dengan Nuraga dimakamkan.

“Mas kita mau minta maaf ya. Soal apa yang Mas denger tempo hari di rumah.” Shandy mulai berbicara yang langsung dilanjutkan oleh Ibrahim, “Kata-kata kita pasti nyakitin Mas Naren, dan Mas Naren gak pantes dapetin itu. Harusnya kita lebih dewasa lagi nyikapin kagetnya waktu itu.”

“Mas Naren gak harus ngeiyain sekarang. Udah mau ketemu kita aja kita udah bersyukur banget, Mas.” Tambah Darian.

“Gue juga mau minta maaf Mas,” akhirnya Johan juga angkat bicara, “Maaf gue diem aja, padahal sebenernya bisa banget gue berhentiin atau nampar mereka satu-satu waktu kemarin. Sorry ya gak sempet bela, tapi please tau gue dari awal udah lebih dari setuju soal kalian.”

Narendra tau, bahkan Johan juga sudah lebih dulu menghubunginya lewat dm Instagram di hari yang sama, sehingga ia hanya terkekeh dan mengangguk.

“Gue paham banget kok sama reaksi kalian. Walaupun perlu diakuin agak gak ngenakin di bagian gue nya. Tapi semua itu wajar, jadi dengan senang hati gue terima permintaan maafnya. Makasih ya udah nyempetin buat ngehubungin gue gitu, maaf juga jadi alasan kalian harus berantem sama Owen. Nanti gue ngomong ke anaknya.”

Narendra terdiam sebentar karena pesanan mereka kini sudah mulai berdatangan. Setelah bilang terimakasih pada para pramusaji ia baru lanjut kembali, “Gue harap sekarang kita bisa put all the things in the past dan mulai lagi. Gue bakalan berusaha untuk nunjukin kalo gue pantes jadi bagian dari kalian. Jadi tolong kasih gue kesempatan buat nunjukinnya ya?”

Jakarta, 18.00—

“Seriusan gak sih? Shandy juga lebih muda dari aku?”

“Iya, kan dia seumuran sama Bang Chan.”

“Anjir gue tua banget berarti ya?”

“Bukan tua kamu mah, mateng.”

Narendra pun mendoronb kekasihnya itu bercanda, “Mangga kali gue mateng segala!”

“Loh kan emang 11/12. Sama-sama manis!”

“DIEM!” Dan keduanya pun tertawa sambil rangkul-rangkulan menuju ke rumah yang lebih muda. Di depan rumah kini terparkir dua mobil sedan yang terlihat asing. Tapi Owen tau itu punya sepupu dan kakak laki-lakinya.

“Wih keren juga nih Bang Darian sama Bang Baim mobilnya.”

“Emang kamu belom pernah liat?”

“Belum, kayaknya ini mobil baru deh.”

Mereka berdua pun masih berbincang ketika masuk ke pekarangan rumah lalu ke dalamnya. Kini suara obrolan orang-orang yang Owen sudah lama tidak bertemu itu pun terdengar.

“Abang-abangku!” Seru Owen lalu berlari untuk memeluk Shandy, Johan, Ibrahim dan Darian, “aku kangen banget loh ini. Kalian pasti kangen diriku juga kan? Iya emang ngangenin gak usah dijawab.”

“Apaansih berisik!” Shandy bergerak untuk menoyor sang adik walaupun sebenernya emang dia kangen.

“Idih, bukannya disayang malah di toyor-toyor.”

“Mana pacar lo dek? Katanya mau dikenalin.” Ujar Johan yang membuat Owen tersadar bahwa ia meninggalkan Narendra, “Oh iya lupa, Mas Naren sini Mas!” Ia pun bergerak untuk menarik Narednra dan bertemu dengan mereka semua.

Narendra yang ditarik Owen pun pasrah dan mengikuti kekasihnya itu bertemu dengan anggota keluarga lainnya, “Nih kenalin pacarku yang paling cakep sedunia.”

Ibrahim, Darian, Shandy dan Johan terdiam ketika mata mereka bertemu dengan milik Narendra secara berlebihan. Bahkan senyum yang semula tersungging sebagai tanda excited itu lenyap sudah.

“Halo Mas, gue Johan.” Kakak ipar Owen itu yang paling pertama mengenalkan diri, “Salam kenal.”

“Halo Johan…” ujar Narendra sambil tersenyum manis. Dia sebenernya bingung harus gimana sama saudara-saudara Owen ini. Terus terang dia berekspektasi untuk sama di terimannya layaknya kedua orang tua sang kekasih, tapi nyatanya ia salah besar.

“Ini masakan ibu udah jadi, ayo kita makan dulu!” Angel yang muncul dari dapur dan mengerti keadaan pun menengahi, “Lanjut ngobrolnya nanti aja.”

Makan malam hari itu tidak seheboh yang dikira. Karena sebagian besar dari penghuni meja makan itu lebih memilih untuk diam. Hanya Owen, Bapak dan Johan lah yang berusaha menghidupkan suasana.

“Wen aku naik sebentar ya, Barbara nelfon mau ngomongin kerjaan.” Owen mengangguk dan Narendra pun pamit pada semua sebelum berjalan ke kamar kekasihnya diatas.

Ketika sudah dipastikan bahwa Narendra sudah masuk kamarnya, Owen beralih saudara-saudaranya dan bertanya, “Kalian kenapa sih? Kok dingin banget sama laki gue, emang dia kenapa?”

“lo tuh sebenernya udah move on belom sih Wen?”

Pertanyaan Ibrahim membuat Owen menghela nafas lelah. Sebenarnya ia sudah duga gak akan jauh-jauh dari masalah itu. But this time, he just hate the fact that he’s right.

“What kind of dumb question is that? Of course udah. I have Mas Naren now.”

“Well honestly,” Shandy melanjutkan, “You don’t seems like you’ve moved on.”

“Cuma karena pacar gue yang sekarang mirip sama Nuraga, bukan berarti gue gak bisa move on dari dia.”

“Kalo lo masih nyari sesuatu tentang Nuraga di orang lain mah namanya belum, Wen.” Ibrahim berujar lagi, “Itu malah ngebuat lo jadi brengsek dan menyedihkan.”

“Eh bentar, ini tuh pembicaraannya mau kearah mana sih? Kenapa jadi bawa Nuraga tiba-tiba?”

“How can we not when your new man looked exactly like him?” Darian lah yang kini gantian membuka suara.

“So what? It’s just their face that looks the same. You guys making a big deal out of nothing!”

“You’re missing the point!”

“Ya terus apa? Semua orang bisa liat kok gue emang udah moved on dan bahagia sekarang!”

“Replacing Nuraga with a walmart version of him that you found in the street say otherwise.”

“YOU FUCKING ASSHOLE!” Seru Owen marah sambil melayangkan tinjunya kearah Ibrahim, “NGOMONG LAGI LO SINI BANGSAT!”

“OWEN!” Semua berseru dan buru-buru menahan Owen untuk kembali menyerang Ibrahim, “Lo gila kali ya? Jangan karena laki lo jadi begini, itu abang lo!” Seru Shandy sambil mendorong adiknya.

“JUSTRU KARENA DIA ABANG GUA ANJING! BISA-BISANYA DIA NGOMONG GITU!”

“Kalo yang diomongin Baim gak bener, kenapa lo harus marah?” Shandy kembali berujar yang membuat Owen kini bergantian menatapnya nyalang.

”What the actual fuck?”

“Gue yakin deep down lo juga tau kita semua bener.”

“Eh lo gila kali—” Owen berhenti berbicara ketika ia melihat Narendra sudah turun sambil menenteng kopernya, “Kamu mau kemana?”

“Aku disuruh ayah ke rumahnya, ada urusan mendadak Wen. Abis ini aku nginep disana jadinya, pamit dulu ya! Misi semuanya…” Sebelum sempat dijawab, Narendra sudah berjalan pergi dengan cepat keluar. Gak perlu menelaah lebih jauh juga Owen tau kalo kekasihnya itu bohong.

“Mas tunggu, biar aku aja yang ngaterin.”

“Gak usah Wen, aku kan udah mesen taksi itu.”

“Yaudah gak usah naik, aku bayarin aja taksinya terus suruh bapaknya pergi. Kamu tetep sama aku.”

“Jangan dong Wen, repot dan sayang duit nanti. Aku juga buru-buru, gak usah.”

“Mas, come on don’t do this.”

Narendra yang sudah bisa mendengar kesenduan di suara sang kekasih pun memutuskan untuk tidak lagi merespon. Ia langsung masuk kedalam taksinya dan meminta sang supir jalan.

“Anjing anjing anjing!” Seru Owen sambil mengacak rambutnya frustasi. Ia pun bergegas membuka ponselnya dan mengirim pesan pada sang sahabat untuk meminta bantuan. Setelah itu ia kembali berjalan masuk ke dalam rumah untuk mengambil barang-barangnya juga.

Namun ketika ia melewati para saudaranya, Owen pun berujar, “Kalo sampe Naren ninggalin gue karena ini, jangan harap gue bakalan mau berurusan lagi sama kalian.”

Jakarta, 15.00—

“Kamu gapapa ga?” Tanya Narendra saat keduanya kini sedang berada di dalam mobil dengan tujuan berbeda.

“Ya gapapa lah? Kan emang tujuan kita kesini buat ketemu sodara-sodara kamu.”

“Ok,” Narendra tersenyum tipis lalu mulai berbicara mengenai keluarganya, “Mereka tuh bener-bener alasan aku kuat waktu itu. Bener-bener belaiin aku banget deh Wen. Sampe sekarang kayaknya mereka yang lebih sebel sama dua orang itu daripada aku.”

“Oh iya? se-care itu ya mereka?”

“Banget! Kamu pasti suka deh. Mereka kalo misalkan tau kamu sebaik apa pasti pada suka juga.”

“Kalo gitu aku gak sabar.” Ujar Owen sambil menatap sang kekasih dan ikut tersenyum sepersekian detik sebelum kembali fokus ke jalanan didepannya.

Sesampainya di salah satu restaurant tempat Salite gemar berkumpul dulu, Narendra langsung bisa bertemu sepupu bersama pasangan-pasangan mereka pada bagian yang lebih private.

“Naren!” Seru semua sambil berdiri untuk memeluk sepupu yang mereka rindukan setengah mati itu.

“Mana laki lo?” Tanya Wararya saat semuanya sudah kembali duduk, “Bentar lagi ke toilet dulu dia.”

“Mantap Naren, kalo udah di bawa pulang serius dong ya berarti?” Harit yang duduk di sebelah Anjani pun mulai berbicara. Hal itu tentu saja membuat Narendra tersenyum malu, “doain aja ya, I’m pretty confident with this one.”

“Really?” Anjani tersenyum senang, dia memang selalu yang paling suportif diantara mereka semua, “I’m really happy for you th—”

Semuanya hening ketika Owen berjalan menghampiri. Narendra yang tadinya sedang mengobrol pun menatap sang kekasih dan memanggilnya untuk duduk di kursi kosong sampingnya, “sini Wen.”

“Guys ini Owen,” ujar Narendra mengenalkan pada sepupu-sepupunya, “Pacar gue.”

“Halo semuanya.” Owen tersenyum dengan ramah.

Semuanya saling bertatapan dalam diam, “Dia freelancer di VIP juga, gue ketemunya disitu.”

Masih tidak ada respond, dan perasaan pasangan yang baru datang itu langsung tidak enak. Jantung Owen berdetak dengan kencang, sedangkan Narendra merapalkan doa agar apa yang ada dipikirannya tidak akan kejadian.

“Since no one will say it then I will,” Clarissa menjadi pertama yang memecahkan keheningan, “What the actual fuck Narendra?”

Here goes nothing. Batin Narendra sebelum menjawab, “kenapa?”

“Kenapa? Lo tau kenapa.” Wararya ikut menyambung. Gak perlu orang bodoh untuk tau apa yang sepupu-sepupunya itu maksud, Narendra pun mengerti. Ia hanya terkejut dari sekian banyaknya kemungkinan, yang terburuk lah yang kejadian.

“No,” jawab Narendra masih tenang, “Enlighten me then.”

“Oh come on, don’t play dumb.” Ujar Wararya.

“You know what actually dumb?” Sekarang nada Narendra mulai berbeda, semua bisa merasakan ada ketidaksukaan disana, “You guys acting like this without actually trying to get to know him first. As if what he looked like is all that matters.”

“Ok then tell me that you never think of that fucking Arkano when you see your boyfriend.” Clarissa tak mau kalah. Dan ketika sepupunya itu diam saja ia kembali melanjutkan, “I get it if you have type. But this right here? It’s too low even for you.”

“Naren I’m so sorry for saying this,” Erchimon akhirnya ikut berbicara, “But do you even have respect for your self?”

“FUCK ALL OF YOU!” Seru Narendra akhirnya meledak. Owen yang duduk di sampingnya pun bergerak untuk memegang tangan sang kekasih untuk menahan, “Mas ja—”

“Lo semua sadar gak sih seberapa bajingan omongan kalian barusan? Owen bahkan baru dateng, belum ada interaksi, bahkan belum sempet ngejelasin apa-apa selain nyapa tapi omongan kalian udah kaya sampah gitu tentang gue sama dia?” Narendra menatap mereka semua nyalang. Gak pernah sama sekali dia nyangka sepupu-sepupunya bakalan begini, dan mereka pun gak nyangka bakalan menyaksikan pria itu semarah ini, “You all had it so easy when it come to love. You never go through things the way I did. And right now, when I finally have a breathe form all of that dan bahagia sama orang yang tepat, you all say this to us? Cuma karena dia mirip orang yang ada di masa lalu dan udah gak relevan lagi sekarang?”

Gak ada lagi yang berani buka mulut abis itu. Mereka semua sadar akan kebenaran yang Narendra bilang. Rasa penyelesaian untuk mendahulukan emosi pun mulai berdatangan. Tapi sebelum semuanya bisa berbicara, sang anak sulung kembali melanjutkan.

“You know what sucks? Gue udah kira ada kemungkinan perlakuan kaya gini. Tapi gak dari kalian. You guys are the last people I thought will judge me in any way. But whatever, it’s not like it’s the first time this family disappointed me right?”

“Naren…” telat, Narendra keburu berdiri dan mengenggam tangan Owen untuk keluar dari restaurant itu. Meninggalkan sepupu-sepupunya yang masih menatap punggung mereka berdua penuh penyesalan.

“Wen, aku minta maaf, kamu sama sekali gak pantes dapet perlakuan kaya gitu—” Narendra berhenti berbicara ketika sang kekasih merengkuhnya erat, “I know it hurts you more than It hurt me, Mas.”

“Aku gapapa Wen, aku justru khawatir sama kamu.”

“Aku juga gapapa, kamu tenang aja.”

Nyatanya mereka berdua berbohong. Keduanya jauh dari kata tidak baik-baik saja. Namun bukan Owen atau Narendra namanya kalau tidak memikirkan perasaan orang lain kan?

Tentang perasaan sebenarnya, hanya mereka berdua yang tau. Lagipula mereka yakin, selama keduanya bersama, semua akan jadi baik-baik sana nantinya.

Jakarta, 13.00—

Narendra meremas bajunya tanpa sadar. Dia bahkan udah engga lagi nimbrung dalam obrolan Julian, Jeremy dan kekasihnya yang masih membahas tentang Melbourne.

Kegugupannya semakin menjadi-jadi waktu mereka sudah mulai memasuki gerbang komplek Akasia Permai, tempat sang kekasih tumbuh dari kecil sampai sekarang.

“Nih Mas, dulu aku besar disini.” Ujar Owen mulai menerangkan, “Ini rumah Juju, Bang Baim, aku, Bang Adnan, Bang Chan dan itu yang paling gede rumahnya Bang Kai.”

“Owen tuh terkenal banget Mas disini, pokoknya kalo gak ada dia gak rame deh. Biang rusuh!” Tambah Julian yang juga ingin mendistraksi Narendra dari khawatirnya.

Tentu saja yang lebih tua itu sangat amat menghargai usahanya, “Kita tuh nongkrongnya di Gazebo, coba Ju muterin Gazebo dulu.”

Dan Julian melakukannya, “Nih Mas, ini tiap Tahun di renovasi sama orang tua nya Bang Kai, pokoknya kita gak pernah berhenti nongkrong disini hampir setiap minggu. Ya kecuali si Owen nih.”

“Jeje disini juga tinggalnya?” Tanya Narendra yang akhirnya bisa merasa cukup tenang untuk berbicara, “Tadinya engga Mas. Tapi akan sih sekarang.”

“Hah, gimana sih maksudnya? Lo bukanya tinggal di apartemen sekarang?”

“Iya tapi kita baru beli rumah di Akper, Wen.” Jawab Julian yang membuat Owen lagi-lagi terkejut, “baru banget sih, bulan depan mau di rubuhin terus bangun dari nol.”

“Rumah yang mana?”

“Yang deket Gazebo.”

“Oh wow asing dong…” Owen tidak tau lagi harus merespon apa. Tentu saja ia kaget dan senang untuk temannya. Tapi ia terlalu takut untuk memberikan tanggapan lebih dari ini, gak enak sama Narendra.

Setelah itu mereka pun memutari Gazebo sebelum kembali ke rumah masa muda Owen.

“Gue ke rumah dulu ketemu bokap-bokap gue juga. Nanti kabarin aja kalo udah selesai, biar bisa kumpul di Gazebo kita.” Ujar Juju setelah mereka berdua turun.

“Oke.”

Dan setelah itu Owen serta Narendra pun berdiri di depan pagar rumah, siap-siap mau memencet bel bangunan yang sudah dirindukan sekian lama itu.

Ketika pintu rumah terbuka, Narendra yang sebelumnya bergandengan dengan Owen pun refleks melepaskan tangan dan berjalan mundur selangkah.

Yang lebih muda tentu saja sempat menatapnya bingung, namun terdistraksi ketika ibu dan bapaknya bergerak membukakan pintu lalu memeluknya, “OWEN! Kok gak bilang sih pulang hari ini?”

“Kan mau surprise hehe!” Kekeh Owen sambil menerima afeksi dari kedua orang tuanya dengan senang.

“Bapak kok kangen ya Wen sama kamu? Padahal kalo ketemy, ngeliat mukamu aja sebenernya kesel loh.”

“Ye si bapak bisa aja!” Ujar Owen sebelum akhirnya tersadar akan sosok yang sedari tadi diam saja.

“Pak, bu, kenalin ini Mas Naren!” Ujar Owen sambil menggandeng tangan Narendra dengan bangga, “Pacarnya Owen nih, cakep kan?”

Angel dan Adi pun menoleh ke sosok di samping anak mereka. Keduanya terdiam untuk bebedapa saat, tentu saja tidak perlu orang pintar untuk menebak reaksi pertama mereka dalam hati. Namun mereka juga sadar, kekasih anaknya ini gugup, menambahkan celetukan atau menunjukan sikap sesuai dengan apa yang ada di pikiran mereka bukanlah hal baik.

Untuk itu Angel pun bergegas membuang keterkejutannya jauh-jauh dan tersenyum, “Iya cakep, Wen. Kamu emang pinter ya milih pasangan.”

“Nurun dari siapa dulu dong!” Tambah Adi kemudian, tentu saja untuk mencairkan suasana. Akhirnya Narendra bisa menghela nafas lega. Ketakutannya yang semula mendominasi pun perlahan terkikis.

“Ayo sini-sini masuk, kita makan siang sama-sama.” ujar Angel yang langsung bergerak merangkul Narendra, “Ibu lagi masak rawon ini, Narendra suka rawon kah?”

“Suka Tant—” Belum selesai Narendra menyelesaikan perkataannya Angel sudah memberikan tatapan yang membuatnya mengulang, “Suka bu, tapi udah lama gak makan rawon.”

“Wah kalo gitu pas banget Ren, rawon nya ibu tuh rawon paling enak sedunia. Bahkan bapak juga mau nikah sama ibu waktu itu karena jatuh cinta pas nyobain rawonnya!”

“Loh bukannya waktu itu bapak bilang pas nyobain ayam kalasan?”

“Itumah akal-akalannya bapakmu doang, Wen. Makannya cuma diganti sesuai sama yang ibu masak hari itu aja kalo cerita!”

Adi pun terkekeh sambil mengecup pipi istrinya, “Itu tandanya kamu mau masak apa aja aku tetep jatuh cinta, bu.”

“Alah!” Dan mereka semua pun tertawa.

Hangat. Belum lama sang anak sulung sampai di rumah ini, tapi ia sudah merasa diterima dikeluarga sang kekasih.

“Mau keliling gak Mas? Aku kasih liat rumahku!”

“Eh? Boleh aja sih.”

“Nanti dulu lah, kalian duduk dulu di ruang tamu, istirahat. Nanti waktu selesai makan baru deh keliling.”

“Iyasih bener juga.”

Adi tidak langsung ikut anak dan istrinya ke ruang tamu atau dapur. Melainkan kearah dinding dan meja tempat mereka menaruh foto-foto keluarga, pernikahan Shandy dan Darian, foto wisuda, atau semua kenangan yang ada.

Matanya terpaku pada tiga foto dari momen yang berbeda namun terdapat satu sosok yang sama. Adi terdiam sebentar sebelum akhirnya mengambil bingkai tersebut sambil berujar, “maaf ya nang, ada hati baru yang harus bapak jaga.”

Bingkai tersebut kini hendak ia bawa ke ruang kerja, namun ditengah perjalannya ia bertemu dengan Narendra yang baru balik dari toilet, “Eh halo pak… mau kemana?”

“Mau ke ruang kerja bentar Ren, naruh ini abis itu baru bapak ke ruang tengah.”

Mata Narendra beralih pada benda yang dipegang ayah kekasihnya itu, “Mau dibantu kah Pak?”

“Eh engga usah, kamu duluan aja. Ini gak repot kok bapak.”

“Yaudah, Narendra duluan ya Pak. Kalo ada yang perlu dibantu nanti tinggal bilang aja.”

“Ah kamu kaku banget, Ren. Jangan kaya tamu gitu lah, anggap aja rumah sendiri!” Narendra berusaha untuk menahan rasa harunya. Gak mungkin kan dia menunjukannya depan orang tua kekasihnya itu.

Setelah Adi masuk ke ruang kerja, Narendra pun berjalan balik kearah ruang tamu tempat kekasihnha berada. Omong-omong, ia sadar apa yang dilakukan ayah kekasihnya itu tadi dan untuk kesekian kalinya dia dibuat terharu. Melihat hal sesimple itu aja ayah kekasihnya bisa paham, Narendra benar-benar ingat Owen. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Ketika makanan sudah jadi, mereka berempat duduk untuk mulai makan siang.

“Mikael, Dino sama Dina ikut ke Bali bu?”

“Engga, mereka dititipin dirumah nenek yang satunya sekarang. Dua hari lagi baru gantian mereka disini.”

“Jadi Naren kenal Owen dari mana?” Tanya Adi memulai topik pembicaraan.

“Ditempat kerja, Pak. Kebetulan Owen jadi freelance di kantor tempat Narendra kerja.”

“Oh iya? Kalian temen kerja gitu ya berarti?” KLi ini Angel yang bertanya dan mereka semua mengangguk, “Naren udah lama kerja di tempat kerjannya Owen?”

“Lama lah, orang itu kantor yang punya Mas Naren.” Jawab Owen dengan bangga.

“Maksudnya gimana? Naren tuh atasannya Owen?”

“Iya, Mas Naren sama temen-temennya yang diriin perusahan. Keren kan Pak, Bu, anak kalian pesonannya? Bos aja naksir!”

“Pesona-pesona,” Adi melempar gulungan tisu pada anaknya, “yang ada kamu tuh bikin stress Naren terus. Mana ngerepotin sih pasti!”

“Dih sotoy!”

“Ren, pokoknya kalo si Owen bikin kamu susah atau ngerepotin, tinggalin aja!” Ujar Adi meledek anaknya.

“Bu si bapak nih malah manas-manasin!”

“Diemin aja Wen, padahal dia aja sering ngerepotin ibu dan gak ibu tinggalin tuh.”

Muka Adi langsung berubah panik, “Emang aku sengerepotin itu yang?”

“HAHAHA RASAIN BAPAK OVERTHINKING KAN!”

Narendra tersenyum melihat interaksi mereka semua. Teman-temannya benar, yang ia takutkan tak akan terjadi.

Melbourne, 07.00 PM—

Gak perlu lama buat Owen nyambung sama abang-abang barunya ini. Selain karena emang dianya gampang berbaur, Johnny, Jaehyun, JJ, Lucas, Ice sama Yuta juga emang welcome banget. Mereka bener-bener gak beda-bedain walaupun Owen jauh dibawah secara umur.

Bahkan waktu pertama kali dia dateng sama Johnny, yang keluar dari mulut teman-teman mereka cuma “oh iya upgraded version ya.” Abis itu udah gak di bahas sama sekali. Mereka beneran nge-treat Owen kaya temen tanpa bawa kemiripan itu lagi.”

“Wuih tuh dateng artisnya,” ujar Lucas yang membuat mereka semua menoleh pada pintu masuk. Baskara ada disana, menyapa beberapa orang yang akan menjadi rekan satu tim nya dan hanya menatap mereka sekilas, “anjir sinis banget die, banyak gaya banget ya Wen?”

Abang-abang nya yang lain tertawa mendengar perkataan Yuta, tau apa tujuan perkataan temannya itu, “Segen kali bang ama lo semua, kan pada jagoan kalian.”

“Jiakh segen dong. Tapi wah gak nyapa kita lagi, beneran nyari musuh!”

Jaehyun dan Johnny melirik satu sama lain lalu terkekeh. Jelas tau kenapa Baskara sudah tidak pernah lagi berinteraksi dengan mereka semua.

“Siap-siap Wen,” ujar Lucas sambil menepuk pundak teman barunya itu, “Kenapa tuh bang?”

“Siap-siap aja ini kita mau main kan?”

Dan tawa mereka kembali pecah.

Ten, Taeyong, dan Narendra datang kurang lebih lima menit setelah permainan dimulai. Mereka pun memutuskan untuk duduk didekat Winwin, pasangan Yuta yang sudah lebih dulu datang.

“Udah lama Win?”

“Yang lawan sekarang sih baru. Tadi udah sempet main mereka.”

“Eh ada Baskara? Gue baru tau.” Ujar Taeyong yang melihat pria berjersey putih di tim lawan, “Makin asik dong.”

Narendra hanya memutar matanya malas lalu melambai ketika Owen menoleh kearahnya, “SAYANG!”

“Heh anjing norak banget lo teriak-teriak!” Seru Ten sambil menoyor temannya itu, “Maaf udah janji gue bakalan teriak.”

“Duileh enaknya di tonton pacar.” Ledek Jaehyun dari lapangan sambil mencolek-colek teman barunya.

“Ya kan sama bang, lo juga.”

“Beda yang lagi kasmaran mah.”

Baskara yang sedari tadi memperhatikan interaksi itu tentu saja mendengar. Tanpa sadar kedua tangannya pun terkepal. Iya dia belum move on dari Narendra, bahkan perasaanya masih sama besarnya seperti dahulu.

Dia akui apa yang dilakukannya pada sang mantan kekasih itu kelewat brengsek. Dan gak ada kesempatan buat mereka kembali lagi. Tapi melihat Narendra sekarang sudah menemukan yang lain membuat dirinya cemburu. Apalagi ketika tau laki-laki itu mirip sekali dengan pria yang dulu membuatnya merasa insecure bukan main.

Permainan yang tadinya berjalan lancar pun mulai panas. Beberapa kali Owen sadar kalo Baskara sengaja menganggu nya dengan menyenggol saat keduanya berebut bola.

“Sabar Wen, sengaja itu dia.” Ujar Jaehyun yang memang menemaninya sebagai penyerang, “Jangan sampe kepancing.”

Berbeda dengan Jaehyun, Yuta yang juga kerap maju bersamanya berbisik, “Ah hajar aja Wen, tuman itu dia!”

Beneran berasa dibisikin setan dan malaikat. Untung aja Owen masih bisa nahan mengingat perkataanya pada Narendra tadi. Tapi tentu saja kesabaran tuh ada habisnya. Apalagi kesabaran Owen yang sebenernya setipis kertas kalo soal beginian.

Dirinya sudah berada diujung tanduk ketika Baskara berujar, “Nice one, Kan. Eh, sorry salah. Muka lo mirip Arkan soalnya.”

“Wah si anjing.” Yuta yang duluan menyahut tapi Owen menahan, “udah bang, gapapa.”

Permainan kembali berlanjut dan Baskara pun mulai terlihat bingung kenapa Owen gak sama sekali bereaksi seperti dugaanya. Tapi akhirnya terjawab ketika bola yang seharusnya ada di tanah itu malah melayang ke wajahnya dengan kencang.

“Anjing!”

“Eh sorry salah. Muka lo mirip gawang soalnya.” Balas Owen tenang lalu melewati Baskara dan kembali mencetak poin.

“Nice!” Ujar rekan satu tim nya sambil mengusap-usap kepala Owen.

Ketika permainan selesai, mereka semua pun mengampiri pasangan masing-masing. Owen yang melihat pacarnya sudah menyiapkan anduk dan botol minum pun langsung menghampiri, “Gimana seru gak?”

“Seru tapi tadi apa tuh gebok-gebokan?”

“Gapapa, kan wajar toh kalo bola ada begitunya?”

Narendra pun mulai mengelap keringat sang kekasih sambil berdiri, sedangkan Owen yang ada di tempat yang lebih rendah cuma ngeliatin wajah serius pacarnya sambil meluk pinggangnya.

“Duileh mesra banget mentang-mentang depan kita doang!” Seru Ten diikuti ledekan semua orang. Sedangkan yang diledek cuma senyum tengil. Owen doang sih, Narendra malu-malu sebenernya.

“Aku mau ke toilet dulu ya.” Ujar Owen ketika merasa dirinya kebelet, “Sekalian ganti.”

“Lah mau kemana Wen?” Tanya Ice ketika yang lebih muda membereskan barangnya, “Ganti mah disini aja santai.”

“Mau sekalian ke toilet bang.”

Toilet sepi waktu dia sampai, sehingga Owen pun inisiatif buang air kecil lalu ganti baju di salah satu bilik yang paling dekat dengan pintu. Tentu saja dia gak perlu waktu lama buat ganti, karena bajunya juga cuma kaos dan celana jogger hitam.

Waktu dia keluar bilik, udah ada Baskara disana lagi ngelap wajahnya habis cuci muka. Mata mereka pun bertemu di kaca untuk beberapa saat sebelum akhirnya terputus saat Owen berada di wastafel sampingnya untuk cuci muka.

“Lo sama Naren pacaran?”

Yaelah pake ngajak ngobrol lagi nih burung onta, keluh Owen dalam hati. “Iya.”

“Selera nya gak berubah ternyata,” desis pria itu sambil tersenyum rese. Sebenernya sih senyum miring tapi menurut Owen rese aja mukanya, “Maksudnya gimana tuh?”

“Loh emang lo gak tau muka lo mirip mantannya?”

“Tau, terus?”

“Jadi lo terima aja gitu fakta kalo Naren emang macarin lo cuma karena lo mirip mantannya?”

Oh paham gue, nantangin nih manusia purba ceritanya?

“Yaelah bang,” Owen pun menoleh sambil menyenderkan badannya di tembok, “Udah kali. Anak bini lo tuh di rumah pikirin, jangan mantan mulu lo urusin. Orang udah bahagia kok.”

Baskara masih gak mau ngalah, dia malah bales, “Awalannya juga bakal selalu gitu kan? Keliatannya bahagia sama kita, eh ujung-ujungnya ketawan masih gak bisa lupain Arkan. Yaelah Wen, dari dia milih lo aja udah keliatan kali karena apanya.”

“Nih gue kasih tau ya, mantan gue juga mirip mukanya sama Mas Naren. Jadi kalo emang awalnya kita tertarik ke satu sama lain karena itu ya wajar. Dah lah bang, kalo insecure tuh kaga usah ngajak-ngajak. Salah orang boss, gak bakalan mempan sama gue,” ujar Owen lalu membereskan barangnya dan menepuk pundak Baskara meledek dan berujar sebelum keluar, “Mending lo pulang terus minta maaf ama keluarga lo noh. Minimal kalo gabisa jadi tunangan yang baik ya jadi bapak ama suami yang baik dong! Masa itu juga gak bisa?”

Melbourne, 06.00 PM—

Harusnya Owen udah bisa tau sekarang kalo Narendra itu selalu benar, baik itu perkataan atau firasatnya. Karena sekarang, dirinya benar-benar kelelahan.

Waktu mendapat kabar keadaan yang hectic, dia gak nyangka kalau bakalan sesibuk ini. Semua orang gak ada yang bergerak dari tempat masing-masing sangking hebohnya ngurusin kerjaan. Bahkan dia gak punya waktu buat bercanda sama teman-temannya karena mereka semua sibuk.

“Wen, kalo udah tolong masukin ke drive ya.” Ujar Barbara yang memang sedang meminta tolong pada dirinya, “Kalo bisa sebelum jam 7 udah selesai.”

“Iya Mba, siap.”

“Eh abis ini yang bareng gue buat event minggu depan jam 7 meeting dong, mau ada yang dibahas.” Ujar Ryujin mengumumkan. Owen yang bagian dari tim tersebut tentu saja akan ikut meeting, untuk itu dirinya bergegas menyelesaikan laporannya.

Setelah laporan selesai, dia pun beranjak ke ruang meeting yang sudah terisi beberapa orang. Untung aja sekarang dia satu tim sama Reyhan, jadi mereka bisa duduk barengan.

“Capek banget lo keliatannya Wen.” Tegur sang sahabat yang baru sadar dengan keadaannya, “Emang kacau banget jam tidur gue belakangan ini.”

“Lo emang sibuk banget ya? Gue perhatiin lo keluar mulu.”

“Iya anjir, yang nugas lah, yang dimintain tolong lah. Gak ada udah-udahnya.”

“Kenapa dateng dong hari ini? Harusnya lo bilang aja gak bisa.”

“Yaelah lo kaya gak tau gue aja, mana bisa nolak? Bang Ten langsung minta tolong di pc soalnya.”

“Ah dasar people pleaser.”

“Bacot!”

Dan tidak beberapa lama kemudian, Ryujin pun masuk ruangan dan meeting mereka dimulai.

“Nah ini gue ada seat plan buat— eh kemana ya?” Ryujin yang semula sedang melihat ke dalam map nya pun berhenti, “Astaga ketinggalan. Uhmm… Owen, boleh minta tolong ga?”

“Kenapa Ryu?”

“Tolong dong ke ruangannya Naren terus mintain map kuning punya gue. Lagi dipinjem dia soalnya.”

“Oke.” Owen pun segera berdiri dan berjalan menuju ruangan gebetannya itu. Sebenernya dia masih agak segan, karena ya dia sadar Narendra juga pasti kesel.

“Come in!” Begitu sahutan dari dalam ketika dirinya mengetuk pintu. Narendra menoleh sekilas sebelum kembali sibuk dengan komputernya, “Kenapa?”

“Mau ngambil map nya Ryujin. Katanya dipinjem sama Mas Naren ya?”

“Oh iya, itu ada di tumpukan paling atas,” ujar Narendra sambil menunjuk tumpukan berkas dengan dagunya, “Yang warna kuning kan?”

“Iya…” ujar Owen kemudian segera mengambil map tersebut. Namun bukannya pergi setelah, ia malah memilih untuk duduk di depan gebetan sekaligus atasannya itu sebentar.

“Kenapa lagi?”

“Kamu marah ya sama aku?”

“Menurut kamu?”

“Marah.”

Narendra kemudian menghela nafas dan membuka kacamata yang sedang ia pakai sebelum menoleh kearah Owen. Terus terang dia khawatir bukan main, apalagi sekarang dirinya bisa melihat seberapa lelah yang lebih muda itu, “aku gak marah.”

“Tapi kamu keliatan kesel.”

“Sedikit. Karena kamu gak dengerin apa kata aku. Kebukti gak omongan aku tadi?”

“Iya…”

“Kan. Coba sana ngaca, kamu tuh keliatan banget kekurangan tidur. Iya emang kita butuh orang banyak dan ini semua penting. Tapi kesehatan kamu lebih penting, Wen. Makanya aku kesel karena kamu malah lebih milih kesini dan ngorbanin tidur kamu lagi.”

“Aku gak enak Mas nolaknya…”

“Iya aku ngerti. Tapi—” Narendra sebenernya masih mau ngomel, tapi ngeliat Owen yang bener-bener udah melas sekarang dia gak tega, “kamu capek ya?”

“Capek banget…”

“Aw baby,” Narendra pun berdiri dari tempat duduknya dan mengampiri yang lebih muda sambil memeluknya. Owen yang tetap dalam posisi duduk pun balas mememluk dan menenggelamkan kepalanya diperut yang lebih tua, “I’m sorry if I’m being to harsh okay? I’m just worried.”

“I know, I’m sorry…”

“No no no.” Narendra pun menunduk untuk mengecup kepala Owen, “Gapapa aku ngerti kamu gak enak.”

“Capek banget Mas asli, aku kaya udah gak ada tenaga sebenernya.”

“Iya, sabar ya…” lalu dirinya menangkup wajah Owen untuk saling berhadapan sebelum mencium kening, hidung dan bibirnya secara berkala, “dah di charge lagi. Kamu selesain meeting sama Ryujin abis itu langsung pulang ya? Nanti abis itu aku susulin.”

“Beneran?”

“Iya, emang gamau ditemenin tidurnya sambil cuddle?”

“Mau banget!” Owen pun beranjak dari duduk nya lalu mengecup Narendra singkat sebelum berbalik, “thank you ya, aku beneran butuh kamu banget buat ngecharge.”