Permenanon2

Jakarta, 18.00—

“BUNDAAA!”

“Eh anak-anak Bunda, sini masuk-masuk. Baru aja selesai masak nih.” Wanita paruh baya cantik yang dipanggil Bunda itu tersenyum sambil menyalami satu persatu sahabat anak keduanya.

Walaupun baru hampir dua tahun kenal, kelima sahabat Kautsar ini sudah beberapa kali main ke rumahnya dan akrab dengan keluarganya terutama sang bunda yang sering ngirim makanan ke rumah kontrakan mereka.

“Bunda masak apa bun?” Tanya Erica yang menjadi orang terakhir untuk masuk, “Baunya enak banget.”

“Masak daging balado sama kangkung balacan. Terus bunda juga gorengin tempe buat kalian.”

“Wah dengernya aja Juno udah ngiler bun, Bunda the best deh pokoknya!”

Bunda Kautsar pun tersenyum senang, “Belum juga di cobain.”

“Gak usah dicobain juga Yori sama yang lain yakin ini enak, Bun. Restoran aja kalah!”

“Alah alah bisa banget kalian tuh, biar dimasakin terus ya?”

Kali ini Thomas yang menyahut sambil cengengesan, “Bunda tau aja!”

Setelah teman-temannya duduk, Kautsar baru menghampiri sang ibunda dan merangkulnya, “Makasih ya, Bun. Maaf ngerepotin Bunda.”

“Ah engga, Kakak kan tau Bunda suka banget masak-masakin begini. Sering-sering dong Kak Kocal pulang, Bunda kangen nih.”

“Iya bun…” ujar Kautsar lalu duduk di kursi kosong ketika Bunda nya pergi ke ruang tamu, “Iyain aja dulu. Bener atau engganya belakangan.” Yang sedang makan pun saling lirik-lirikan mendengar celetukan Kautsar.

“Ngomong aja ngomong gak usah lirik-lirikan gitu.”

Semua anak huru-hara itu paham sama keadaan rumah Kautsar yang sebenarnya. Dulu, waktu awal-awal memutuskan untuk ngontrak rumah bareng, pernah ada malam dimana mereka jujur-jujuran alesan ingin pergi dari rumah.

Mulai dari Yoriko yang emang mau tinggal sendiri biar lebih bebas, Erica yang gak betah dirumah karena kesepian, Bisma yang memang ngerantau dari Bandung, Thomas yang ngerantau dari Surabaya, dan Herjuno yang emang pengen aja ikutan ngekos biar gak fomo.

Kautsar itu yang paling terakhir cerita. Karena pada dasarnya emang gak terbiasa untuk terbuka tentang perasaanya. Tapi karena teman-temannya itu ngeyakinin dan dia sadar kalau mereka itu pendengar yang baik, akhirnya sang anak tengah pun cerita.

Hal itu membuat semuanya jadi sedih. Karena mereka gak pernah ngira kalau sosok kalem yang selalu terlihat baik-baik aja tuh mendem masalah seberat itu. Tapi karena cerita itu juga semua ngerti kenapa Kautsar jadi orang yang punya sifat people pleaser, dan gak jarang bersikap seolah rem nya biar sahabat mereka itu gak terlalu baik sama orang.

“Ya kita bingung aja kalo lo udah mengarah kesitu respon nya harus apa…”

“Yaelah itu celetukan doang, gak usah dipikirin.”

Topik pembicaraan pun berganti, dari mulai kuliah, urusan rumah, organisasi, sampai gossip kampus.

“Tapi katanya dia emang suka celap celup anjir!” Seru Thomas yang menjadi sumber gossip dengan semangat.

“Oreo kali celap celup!” Sahut Herjuno sambil melempar tisu bekas pada sahabatnya, “Lagian biarin aja sih, ngapain ngurusin masalah selangkangan orang.”

“Selangkangan sendiri gak ada yang ngurusin soalnya.” Tambah Bisma dan semuanya tertawa.

Ditengah perbincangan mereka, Kamya yang baru pulang sekolah pun berjalan mendekat kearah meja makan, “Loh rame ya?”

“Hai Kamya, baru pulang?” Sapa Erica diikuti oleh yang lain.

“Iya kak, tadi abis eskul.”

“Makan sini Kamya, kita udah selesai kok…” Bisma hendak berdiri dari tempat duduknya namun adik sahbatnya itu menggeleng, “Gak usah kak gapapa, tadi ada konsumsi soalnya temenku ulang tahun. Aku cuma mau ngambil paket aja kok.”

“Itu yang di meja tadi paket kamu? Kakak pindahin ke rak situ.” Tanya Kaustar sambil menunjuk rak dekat meja makan. Saat Kamya mengangguk ia pun kembali bertanya, “Beli apa?”

“Album NCT. Aku ikut pre-order terus baru sampe.”

“Oh adekku juga demen tuh, aku pengen beliin buat dia deh, itu berapaan ya Kamya?”

Kamya yang lupa harganya pun berpikir keras. Pasalnya, ini benar-benar dipesan dan dibayar oleh Nabastala. Ia hanya numpang nama dan alamat aja, “ehm… kurang tau sih kak, ini aku dibeliin soalnya…”

“Cie dibeliin siapa tuh,” ledek Herjuno sambil senyum menggoda, “Pacar ya?”

“Engga kok kak, bukan pacar…”

Kautsar pun tersadar siapa yang kemungkinan memberikan hadiah itu pada sang adik, “Itu sogokan dari Abas?”

Kamya yang terkejut kakaknya tau pun membelalakan mata, “Eh bukan kok…”

“Yakin mau bohong lagi? Kamya udah bohong sama Kakak soal tanda tangan itu loh. Kakak tau…”

Kamya pun tersenyum malu karena sudah ketawan, “ehehe iya kak… maaf ya…”

“Kamu dapet apa aja?”

“Album sama photo card kak.”

“Photo card apa?”

“Jisung yang yearbook.”

Sebagai penikmat musik korea juga, tentu saja Kautsar tau apa yang dibicarakan adiknya. Dan walaupun gak terjun ke dalam dunia perkertasan dia juga tau kalau harga jual pc NCT itu memang cukup menguras dompet.

“Seneng kamu?”

“SENENG BANGET!” Melihat kakaknya itu tidak menunjukan tanda-tanda ingin marah ia pun tersenyum, “Ini paketnya berat banget, kayaknya Kak Abas beliin semua versi nya deh.”

“Anjir niat banget itu si Kebas!” Thomas pun ikut nimbrung, “satunya 300an lebih kan?”

“Anjir tanda tangan lo harganya jutaan, Sar. Artis lo?” Ujar Herjuno makin ikut kompor.

“Berisik!” Kautsar menatap teman-temannya sebal untuk sesaat lalu beralih pada adiknya, “Bilang makasih sama Abas.”

“Iya udah kok.”

“Bilang lagi kan sekarang barangnya udah sampe.”

“Oke Kak Kocal, aku taruh ini ke kamar dulu ya. Kakak-kakak aku duluan ya.”

Setelah mengucapkan perpisahan dan kepergian Kamya, semua perhatian kini berpusat pada Kautsar, “Apa?”

“Itu si Kebas beneran se-all out itu?”

“ABAS!” Seru semuanya bersamaan, membuat Thomas kaget, “Iya iya astaga…”

“Tapi Abas emang begitu gak sih dari dulu?” Yoriko kini nimbrung, “Kalo sama temen royal. Apalagi sama Kautsar!”

“Itu gue setuju sih. Lo liat aja effortnya, udah bukan nyenengin lo lagi tapi keluarga lo.”

“Itu buat keuntungannya dia sendiri.”

“Lo pikir dia butuh ngelakuin itu buat bikin Kamya bantu dia?” Tanya Herjuno lagi, “Gue yakin adek lo udah nolak tapi dia maksa.”

Kautsar lagi-lagi sebal ketika Herjuno dan mulut ceplas ceplos nya benar. Kalau boleh jujur, pemikiran tersebut sudah ada dikepalanya sedari tadi, tapi ia hanya tidak mengutarakannya.

Yoriko yang duduk di dekat Kautsar menepuk bahu sahabatnya itu, “Gue gatau sih apa yang buat lo gak temenan lagi sama Abas, karena gue yakin cuma bukan permasalah BC waktu itu doang. Tapi apapaun itu, apa lo yakin Abas yang dulu sama sekarang itu masih sama? Apa lo serius gak kepikiran buat ngasih dia kesempatan lagi?”

Jakarta, 13.00—

“Bas, sini-sini!” Seru Herjuno sambil memanggil temannya yang sedang berjalan mendekat, “Duduk duduk.”

“Jun, Yor!”

“Bas, apa kabar? Udah lama gak ngobrol kita.” Sapa Yoriko sambil menyodorkan tangan untuk melakukan fist bump pada teman lamanya itu.

“Baik Yor, lo gimana?”

“Baik kok.”

“Eh lo berdua gak bakalan awkward perkara Dhifa kan?” Sambung Herjuno tiba-tiba yang membuat kedua temannya itu menatapnya kesal, “ya terang-terangan aja lah anjing, dari pada nanti gak enak kan.”

“Gue santai kok!” Nabastala berujar, karena memang benar adanya. Setelah pulang dari US, dia sudah tidak lagi memikirkan Dhifa dan cinta monyetnya zaman dahulu, “Ayo ganti topik.”

“Sendirian aja Bas?”

“Iya Yor, tadi lagi nungguin temen mau ngambil almet bareng, tapi gajadi soalnya pada ada urusan.”

“Ealah maba maba!” Ledek Herjuno yang membuatnya dapat tatapan sinis dari Nabastala, “Gak usah sok tua!”

Yoriko tertawa mendengar interaksi kedua temannya, “So far gimana Bas disini? Suka gak?”

“Kalo kelasnya lumayan sih Yor, tapi kalo soal pergaulan belom eksplor-eksplor banget… paling deketnya sama temen-temen yang beberapa kali kelas bareng aja.”

“Seorang Nabastala gak gaul? Oh my God kayaknya dunia mau kiamat.”

“GAK USAH LEBAY!” Nabastala pun menoyor kepala sahabatnya kesal, “Tapi gue pengen ikut UKM bola emang, Yor.”

“Eh ikut aja Bas, lo pasti good addition buat tim bola fakultas kita. Siapa tau aja kita jadi bisa menang tiap olim kampus.”

Ketiganya pun lanjut mengobrol ngalur-ngidul sampai akhirnya Herjuno berseru, “Ini Bisma sama Erica nanya di group kita dimana. Kelas mereka baru selesai.”

“Yaudah suruh kesini aja.”

“Ok,” Herjuno pun mengetikkan balasan kepada dua temannya itu sebelum berujar, “Udah nih katanya mereka otw kesini.”

Mendengar nama teman sahabatnya itu, Nabastala langsung membelalakan mata, “Bisma itu as in Bang Bisma yang waktu itu marahin gue?”

“Lah iya ya lo pernah dimarahin Bisma…” bukannya menjawab Herjuno dan Yoriko malah tertawa. Ditambah lagi saat mereka melihat wajah Nabastala yang benar-benar ketakutan.

“Eh gue balik aja kali ya?”

Namun belum sempat dijawab sebuah suara yang ada di belakangnya, “Waduh udah mau balik aja, kenapa nih?”

Badan Nabastala membeku. Pasalnya ia hafal betul itu suara siapa. Selama ospek kemarin, dirinya dan teman-teman seangkatanya sering kali kena tegur oleh sang pemilik suara.

“Ini si Abas mau kabur abis denger lo mau nyamperin.”

Herjuno anjing.

Bisma pun terkekeh mendengar perkataan temannya, “gitu Bas?”

“Engga Bang, itu Juno boong.”

“Yaelah emang gue abang lo? Gak usah lah manggil bang, kita seumuran ini.”

“Siap ban— eh Bisma.”

Dan pecahlah lagi-lagi tawa orang-orang di meja tersebut. Sebenarnya kalau dipikir-pikir agak konyol juga. Mereka ini kan seumuran, harusnya Nabastala gak setakut itu sama mereka.

“Halo Abas, gue Erica.” Ujar perempuan yang ada di samping Bisma, “salam kenal!”

“Salam kenal juga…”

Bisma mengambil tempat duduk di samping Nabastala, sedangkan Erica memilih untuk duduk di samping Yoriko, “Si Thomas sama Kautsar belum kelar?”

“Bentar lagi kayaknya. Biasanya sih kelar jam 2 kelasnya.” Baru Yoriko menyahut, ponsel keempatnya menyala karena notifikasi dari group, “Tuh kan udah. Gue suruh nyusul aja ya!”

Kini jantung Nabastala benar-benar berdetak kencang. Pasalnya, sehabis ospek, ia tidak lagi melihat batang hidung sang sahabat lamanya. Boro-boro melihat, berinteraksi secara online pun tidak.

Karena perasaan gugup itu, sang anak bungsu tidak lagi memperhatikan perbincangan dari para katingnya. Ia bergerak gelisah di tempat duduknya sampai akhirnya Yoriko tersadar, “Gapapa Bas?”

“Eh? Gapapa kok Yor.”

“Kok—”

“SELAMAT SIANG SEMUA! MAS THOMAS DISINI!” Thomas, manusia biang rusuh yang sudah hampir dua tahun menjadi sahabat Kautsar dan Herjuno menyapa teman-temannya dengan fist bump, “Eh loh halo, gue lupa banget lagi nama lo… Kebas ya?”

“Abas bang…”

“Loh iya deng Abas, halo Abas, gue Thomas. Dan please jangan manggil gue abang, seinget gue kita seumuran bener gak sih?”

“Iya bener.”

“Nafas dulu, Mas.” Tegur Erica saat mendengar cerocosan temannya itu, “Kasian Abas keep up nya susah.”

Di belakang Thomas, Kautsar hanya melengos duduk di paling pojok. Lumayan jauh dari tempat Nabastala tanpa menyapanya sama sekali. Teman-temannya yang lain pun berperilaku biasa saja seolah tidak peduli.

Obrolan pun dilanjutkan. Untung saja karena pada dasarnya extovert yang fleksibel, Nabastala jadi cepat nyambung dengan para katingnya. Ia beberapa kali melirik kearah Kautsar yang sibuk dengan ponsel atau sesekali nimbrung dalam obrolan tanpa menggubris nya sama sekali.

“Halo semua, sorry ganggu. Boleh pinjem Kautsar nya sebentar gak?” Nabastala yang semula sedang bercerita pada Erica pun berhenti dan menoleh kearah sumber suara.

“Eh iya Mba Devi, silahkan.” Ujar mereka sopan.

Kautsar pun berdiri dan mengikuti perempuan bernama Devi itu menjauh dari teman-temannya, namun tetap berada di jarak pandang mereka.

“Itu siapa Jun?” Tanya Nabastala ingin tau, “Kenal gak lo?”

“Itu kating kita diatas setahun.”

“Terus urusannya sama Kautsar apaan?”

“Gatau ya. Ini bukan hal yang asing sih ada banyak orang yang mau ngobrol sama Kautsar gitu.”

“Oh iya?”

“Iya lah. Sahabat lama lo itu disini terkenal banget, Bas. Lo tanya satu kampus pasti gak ada yang gak kenal dia.”

Nabastala hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanda ia paham. Matanya pun kembali melirik kearah dua sosok yang masih berbicara dengan seru itu.

Ketika melihat Kautsar ketawa, sang anak bungsu tanpa sadar merasa iri pada wanita bernama Devi itu. Kapan ya terakhir kali gue buat dia ketawa?

Setelah melihat interaksi tersebut, tekad Nabastala untuk menarik hati sahabat lamanya itu semakin bulat. Gue harus bikin dia mau balik deket sama gue lagi!

Jakarta, 08.00

“Bit, ini air nya taruh mana?”

“Oh di ruangan panitia aja, Sar. Terus tadi Erica udah bilang kalo lo berdua udah sampe suruh langsung ke lapangan.”

“Oke deh, abis taruh ini kita kesana.”

Kautsar dan Herjuno yang pagi itu bertugas membeli air mineral tambahan pun bergegas menaruh ke ruangan panitia lalu berjalan beriringan ke lapangan.

“Lo beneran gak tau Abas masuk sini, Sar?”

“Engga.”

“Kalian emang gak pernah ngobrol soal kuliah?”

“Engga.”

“Terus sekarang dia udah disini gimana?”

“Ya gak gimana-gimana, biarin aja dia mau kuliah disini.” Herjuno menghela nafasnya pasrah saat sadar belum ada perubahan sama sekali. Topik pembicaraan mengenai sahabat ajaib mereka itu tidak lagi dilanjutkan, namun dalam hati ia berharap semoga ini adalah pertanda baik untuk hubungan keduanya di masa depan.

Ketika mereka sampai, rangkaian acara baru saja ingin dimulai. Keduanya kemudian berdiri dengan beberapa teman-teman komdis yang lain.

“Tuh anaknya,” ujar Thomas ketika mereka sudah berdiri cukup dekat, “Yang di barisan kelompok 7 paling belakang.”

Ketika Kautsar dan Herjuno menoleh, lelaki yang sedang dibicarakan oleh ketiganya pun melambai.

“Kalian kenal?”

“Engga.” Jawab keduanya kompak lalu pura-pura tidak memperdulikan sahabat lama mereka. Iya mereka sengaja, selain biar adil sama yang lain, keduanya juga punya perjanjian tak tertulis mau ngusik Nabastala.

Setelah pembukaan dan pembacaan peraturan dilakukan, komdis diperintahkan untuk ambil alih acara. Berbeda dengan panitia yang lain, para anggota komdis diberi pita merah di lengan mereka sebagai penanda.

Satu persatu anggota pun mengenalkan diri mereka, waktu giliran Kautsar banyak pasang mata yang semula menunduk langsung duduk tegak. Tidak jarang ada yang saling berbisik pada sesama mahasiswa baru.

“GAK USAH PADA GENIT DISINI LO MAU OSPEK BUKAN CARI JODOH!” Teriak salah satu anggota komdis yang membuat bisikan itu perlahan berhenti.

“Sekarang mah pada demen, belom tau aja Kautsar kalo udah keluar taringnya gimana.” Ujar Herjuno yang membuat beberapa anggota di sekitar mereka tertawa.

Nabastala yang melihat semua kejadian itu tertawa pelan. Dia memang tau sahabatnya itu tampan, tapi tetep aja gak nyangka kalau Kautsar bakalan sebegini lakunya.

Tapi tawanya tidak lama-lama karena ia kemudian mendengar seruan lewat speaker, “Itu yang lagi ketawa-ketawa di belakang.” Semua orang kini sibuk mencari-cari sumbernya. Berbeda dengan Nabastala yang sadar kalau itu dirinya, “Iya lo yang di kelompok tujuh. Ada yang lucu emang?”

“Gak ada kak…”

“Terus? Kenapa ketawa?”

“Gapapa kak, maaf kak.”

Kautsar yang berdiri didepan Bisma, orang yang sedang menegur Nabastala, pun meminta ambil alih mic lalu kemudian berujar, “Kan lo kayaknya udah paham bgt nih makanya asik sendiri, boleh dong sebutin peraturan apa aja yang tadi dibacain?”

Anjing? Maki Nabastala dalam hati. Jantungnya berdegup kencang dan sekarang tubuhnya terasa lemas. Mati gue.

“Kok diem? Coba sebutin…”

“Gak hafal kak?”

“Gak kedengeran, lo ngomong apa?”

“GAK HAFAL KAK!” Seru Nabastala lebih kencang.

“Gitu?” Kautsar bahkan tidak berusaha untuk menutupi ketidaksukaan di suaranya, “Biasanya kalo ada satu yang salah sih yang kena satu angkatan. Gimana? Udah siap jadi alesan temen-temen satu angkatan lo dapet hukuman pertama mereka selama ospek ini?”

“Jangan kak.”

“Jangan? Emang gue ngasih lo kesempatan buat ngutamain pendapat?”

Entah naif atau bodoh, yang jelas Nabastala tidak mau menjadi musuh masyarakat di hari pertamanya sebagai mahasiswa sehingga iya kembali menjawab, “Saya rela ngelakuin apapun. Tapi tolong hukum saya aja, jangan teman-teman saya yang lain. Ini semua salah saya.”

“Oh pahlawan ceritanya?” Kautsar kemudian menoleh kearah teman-temannya, dan semuanya pun mengangguk seolah paham maksud sang anak tengah, “Ok. Kalo gitu berdiri sekarang.”

Nabastala pun segera menurut, “Muterin lapangan sampai rangkaian acara selesai.” Lanjut Kautrsar lagi, namun ketika Nabastala hendak memulai hukumannya ia menambahkan, “Jongkok.”

Jakarta, 19.00—

Nabastala tau dia dalam masalah besar sekarang. Dirinya bulak balik duduk, berdiri lalu berjalan mondar mandir ditempat yang keduanya janjikan.

Ketika batang hidung sahabatnya itu sudah terlihat, ia pun segera berjalan menghampiri sambil berujar, “Sar, gue minta maaf banget ya? Gue tau lo marah banget sama gue sekarang. Gue—”

“Tadi kemana?”

“Tadi gue lagi patroli, Sar. Emang pas banget waktu hp gue di charge terus—”

“Sama Dhifa?”

“Hah? Kok jadi—”

“Sama Dhifa gak?”

“Iya… tapi gue serius Sar tadi kelilingnya tuh sekalian patroli nengok yang lain.” Jawaban Nabastala itu harusnya gak bikin kaget. Tapi entah kenapa Kautsar gak nyangka kalau penyebab ketidakhadiran sahabatnya itu masih sama seperti yang lalu-lalu.

“Udah berapa kali deh Bas lo ngelakuin kesalahan, terus minta maaf lagi, terus ngelakuin lagi?”

“Iya Sar, gue paham banget lo pasti muak dengernya. Lo boleh hajar gue sekarang, mau lo tabok lah tonjok lah gue—”

“Lo pikir kekerasan bisa nyelesaiin masalah? Terus kalo lo gue udah tonjok apa? Lo expect semua selesai gitu kita damai terus balik haha hihi dan lo bisa ngegampangin gue dan Bumantara Cup lagi?”

“Sar, gue gak ngegampangin sumpah!”

“Omongan lo jauh beda Bas sama kenyataanya. Dengan lo cabut-cabutan, ngedahuluin urusan pribadi dan kesenangan lo sampe lupa tugas, ngebiarin Decha selesaiin masalah sendiri yang harusnya bisa barengan, itu yang lo bilang gak ngegampangin? Dan lo ngelakuinnya lebih dari sekali!”

Nabastala bahkan tidak dapat memandang sahabatnya itu sekarang, ia sepenuhnya sadar kalau omongan Kautsar benar adanya, “Lo udah janji, Bas. Segampang itu lo ngingkarin janji sendiri?”

“Maaf Sar… Maafin gue banget.”

“Sekarang gue tanya sekali lagi,” Kautsar menatap Nabastala dalam tanda bahwa ia meminta sahabatnya itu untuk jujur, “Lo tadi beneran lagi patroli, apa ke distraksi sama Dhifa?”

Mendengar hal itu Nabastala pun mendongak,“Dhifa gak salah, Sar. Jangan bawa-bawa—”

“Gak ada yang bilang dia salah. Gue sadar kok kalo ini semua salah lo,” potong Kautsar sekali lagi, “Gue bawa dia ke dalam pembicaraan ini ya karena emang dia kan alesan lo? Gue sama anak-anak harus ngertiin karena lo nih lagi berjuang keras buat dapetin dia.”

“Lo tau Sar seberapa gue suka sama dia. Lo tau seberapa susah gue buat deketin dia, itu makanya gue gak pernah buang-buang kesempatan—”

“Gue gak masalah Bas, lo mau kejar dia sampe keujung dunia pun itu urusan lo. Gue udah berusaha sabar, diemin awal-awal karena gue harap lo bisa sadar ngerti sendiri. Tapi ternyata engga jadi akhirnya gue tegur, taunya lo cuma iya-iya aja. Gue udah coba ngertiin Bas, but please give me a fucking break. Stop being so fucking childish dan cuma pengen jadi yang dingertiin doang!”

Idealnya, mungkin seharusnya Nabastala diam aja sambil terus meminta maaf dan Kautsar pun harusnya berhenti di fakta bahwa sahabatnya itu lalai dalam bekerja. Setelah itu keduanya akan saling berdamai dan terus berteman, menjadikan masalah ini sebagai pelajaran agar tidak terulang lagi di kemudian hari. Itu idealnya.

Nyatanya, perlu kita ingat lagi bahwa mereka berdua tidak lebih dari remaja labil dengan emosi yang belum terkontrol serta ego yang masih amat tinggi. Jadi bukannya diam Nabastala malah menjawab, “Ini bukan cuma tentang cup kan?”

“Hah?”

“Masalah lo sama gue tuh bukan cuma tentang cup kan?”

“Gak usah kemana-mana mikirinya!”

“Ya kebukti sendiri kok dari omongan lo, dari kapan Sar lo mikir gini? Dari kapan lo capek temenan sama gue?”

Kautsar mengertutkan dahinya bingung, “lo ngomong apa sih?” Apa omongannya keterlaluan makanya Nabastala bisa berpikir seperti itu?

“Dari tadi itu udah termasuk unek-unek lo selama ini kan? Sorry deh ya Sar kalo misalkan gue egois atau kekanak-kanakan. Sorry kalo emang gue selalu mikirin diri sendiri, karena kebetulan gak kaya lo, gue gak pernah dapet perhatian dari siapa-siapa!”

“Bentar-bentar, kaya gue tuh maksudnya gimana ya?”

“Ya hidup tentram dengan keluarga harmonis penuh kasih sayang kaya lo. Disukain semua orang, pinter, dipuji kanan kiri. Pokoknya si paling sempurna dan kesayangan semua orang!” Jelas Nabastala, “Jadi maaf kalo emang gue bukan tipe teman ideal untuk Mr. Perfect kaya lo. Maaf kalo ternyata gue gak cukup baik untuk temenan sama the almighty Kautsar.”

Kautsar terdiam untuk beberapa saat, mencerna semua perkataan Nabastala dan perasaan sahabatnya itu terhadap dirinya. Amarah yang semula mendominasi kini perlahan sulut, digantikan dengan kesedihan serta kekecewaan yang mendalam.

“Awalnya, gue kesini cuma buat ngomongin cup. Buat numpahin rasa marah dan kesel gue sama lo,” ujar Kautsar pada akhirnya. Kini nadanya sudah tenang, namun tersimpan beribu kekecewaan didalamnya, “Tapi ternyata gue malah dibuat sadar, kita tuh segak saling mengenal itu ya?”

“Hah…”

“Gue baru sadar, ternyata lo gak sekenal itu sama gue. Lo gak tau apa yang gue rasain dan apa aja yang terjadi di hidup gue. Dan mungkin gue juga gitu ke lo.”

“I told you everything, Sar…”

“Well, I don’t. And that leads to a bigger problem, no? Dari apa yang lo bilang tentang gue barusan, gue sadar kalo you know nothing about me or my life.”

“Kautsar…”

“Dan kalo emang bener dari tadi kita ngungkapin apa yang kita rasain ke satu sama lain selama ini, I think it’s an enough reason for us to stop, no?”

“Maksud lo berhenti temenan?”

“Berhenti bikin satu sama lain gak nyaman.” Sela Kautsar, “dan kalo caranya dengan kita stop temenan, then so be it.”

“Lo gila ya, Sar?”

“Gak tau Bas, yang jelas we’re done for tonight. And maybe it’s best if we stay away from each other for a while.”

Jakarta, 16.00—

Nabastala itu badut tongkrongan. Kerjaannya nurutin mau kakak kelasnya dan dia suka dapet perhatian mereka yang ketawa dan terhibur sama hadirnya dia. Biasanya, kalo ngelawak macam lenong itu dia bakalan ditemenin Herjuno, Banyubiru dan Cairo.

Seperti saat ini, alumni mereka meminta keempatnya jadi rapper. Lagunya bebas, tapi yang paling keren bakalan dapat sebungkus rokok. Tentu saja sebagai oknum gatau malu dan remaja perokok ini adalah kesempatan yang besar. Tapi kali ini Banyu gak ikut nongkrong, jadi hanya tiga cecunguk sisanya lah yang bertingkah.

Cairo mulai dengan ngerap lagu smash I heart You dengan gaya sok keren dan topi sma nya yang dimiringin, “Hatiku rasakan cinta, yang buat ku salah tingkah I know you so well, you know me so well, you heart me girl, I heart you back~” dan pecahlah tawa mereka semua.

Waktu giliran Herjuno, laki-laki itu menyanyikan bagian Bastian di lagu Kamu nya Coboy Junior, yang lagi-lagi mengundang tawa satu tongkrongan, “Yeah, Cuma kamu, Cuma kamu yang bisa membuatku, Tidur tak tentu memikirkanmu pujaan hati, oh kamu cantik sekali!”

“Oke boleh-boleh, ayo Abas sekarang nih. Apa gebrakannya terakhir?” ujar salah satu alumni yang dikenal sebagai ketawa angkatan pada masanya.

Jadi yang terakhir (dan biasanya harus jadi yang punya gebrakan paling lucu) gak meddrfmbuat Nabastala takut. Karena ya emang hidupnya penuh dengan gebrakan.

Nabastala berdeham lalu sok-sok meregangkan tubuhnya bak mau memulai tinju. Hal tersebut membuat semuanya bersorak riuh menunggu kebodohan apalagi yang akan dilakukan pentolan Bumantara itu.

“Seekor kera, terkurung, terpenjara dalam gua Di gunung tinggi, sunyi tempat hukuman para dewa, Bertindak sesuka hati loncat ke sana ke sini, Hiraukan semua masalah di muka bumi ini~”

“ANJING ABAS!”

“BANGSAT EMANG NIH ORANG!”

“KERA SAKTI DONG SIALAN!”

“Dengan sehelai bulu dan rambut dari tubuhnya, Dia merubah, menerpa, menerjang segala apa yang ada, Walau halangan, rintangan semakin panjang membentang, Tak jadi masalah dan takkan jadi beban pikiran~” abas kemudian naik ke meja yang ada disana lalu berseru, “ SEMUANYA!”

Mereka yang dulunya menonton pun ikut berseru dan saling berbalas dengan Nabastala, “Kera sakti…”

“Tak pernah berhenti bertindak sesuka hati!”

“Kera sakti…”

“Menjadi pengawal mencari kitab suci!”

“Kera sakti…”

“Liar, nakal, brutal membuat semua orang menjadi gempar!”

“Kera sakti…”

“Hanya hukuman yang dapat menghentikannya Walau halangan rintangan membentang Tak jadi masalah dan tak jadi beban pikiran!”

Semua bertepuk tangan sambil masih tertawa waktu Nabastala selesai bernyanyi. Bahkan sedari tadi Arshaq sudah merekam adegan tersebut untuk disebarkan waktu kawan-kawannya itu ulang tahun.

Bertepatan dengan selesainya Nabastala, Kautsar dan Dhifa datang beriringan masuk ke dalam tongkrongan dan menyalami semuanya satu persatu sebagai tradisi.

“Eh siapa nih sar?”

“Anak baru angkatan gue bang, sepupunya kak gea.”

“Gea nya Krisna?”

“Iya bang.”

Lalu gantian sekarang Dhifa yang tersenyum, “Halo bang, kak, salam kenal saya Dhifa.”

“Eh gausah kaku-kaku santai aja,” jawab alumni mereka sedangkan Dhifa hanya mengangguk-angguk saja.

“Dhif, lo kan tinggi nih. Gak mau coba ikut basket?” Nah kalo yang ini kakak kelas mereka yang lebih tua satu tahun dan kebetulan kapten tim basket, “Latihannya setiap selasa kamis.”

“Oh iya bang siap. Di sekolah lama emang main basket juga soalnya.”

“Nah mantep nih! Biasanya sekarang-sekarang lagi musim cup juga soalnya. Kalo lo mantep bisalah ikutan.”

Mendengar hal itu Nabastala tersenyum, ini orang kurangnya apa ya?

Sepanjang nongkrong kali ini, Nabastala sudah tidak lagk seheboh yang tadi. Maklum emang niatnya mau jaim sekaligus merhatiin Dhifa dalam diam.

“Bas bagi rokok bas!” Arshaq tidak lagi menunggu persetujuan Nabastala dan langsung mengambil rokoknya.

“Eh bangsat gue belom bilang iya kontol!” Seru Nabastala sambil menempeleng kepala sahabatnya itu.

Dhifa yang mendengar hal tersebut menoleh sedikit terkejut dengan umpatan kasar yang keluar dari mulut Kautsar.

“Eh sorry.” Lelaki itu refleks meminta maaf. Dalam hati ia merutuki diri sendiri. Ah bangsat, minus dah gue dimatanya dia.

Kautsar, Arshaq, Cairo dan Herjuno saling berpandangan lalu tertawa.

Jakarta, 12.00—

“Sebelumnya gue makasih banget buat yang udah dateng terutama untuk Banyu yang udah ngasih tempat.” Semua menyorakan sama-sama dan berterima kasih juga pada Banyu dengan serempak, “Terima kasih untuk kesediaan kalian untuk kontribusi walaupun kita belum masih punya kepastian.”

“Tapi gue yakin chances kalian buat menang tuh gede. Gue yakin anak-anak lain bakalan ngevote kalian kok!” Ujar Jannah menyemangati dan semua mengangguk setuju.

Kautsar dan Yoriko saling berpandangan lalu tersenyum. Keduanya bersyukur mempunyai teman-teman yang supportif nan positif seperti ini.

“Ok I like the spirit,” balasnya kemudian melanjutkan, “seperti yang kalian semua tau, buat maju kita berdua bakalan harus ngajuin konsep dan highlight tentang gimana kita mau Bumantara cup berjalan sebagai ketua serta wakilnya. Tapi kali ini gue sama Yoriko mau langsung ngelibatin kalian juga sebagai tim kita.”

“Kita mau transparan ke anak-anak soal kenapa kita milih kalian sebagai bagian dari panitia inti. Dan seperti yang kalian tau, omongan soal nepotisme udah pasti bakalan keluar dari mulut mereka.” Lanjut Yoriko sambil memandang satu persatu dari mereka, “Which is understandable. Tapi gue mau mereka dan kalian juga tau kalo keberadaan kalian disini bukan murni cuma karena kalian temen kita. Baik gue maupun Kautsar yakin banget [each and everyone of you deserve to be in the position you’re assigned now. So help us prove that we’re right, giving you the opportunity.”_

Baik Kautsar maupun Yoriko sekarang memberikan tatapan memohon sebentar yang dibalas dengan anggukan dan wajah penub determinasi dari teman-teman mereka.

Kautsar menambahkan, “Kita berdua yakin kalian orang-orang terbaik buat posisi ini. Fakta bahwa kalian temen deket kita itu cuma tambahan untuk mempermudah sistem kerja kita aja.” Lalu setelah melihat teman-temannya mengerti ia melanjutkan, “Ok now, without further do, let’s officially start the meeting. Ini adalah beberapa tema yang gue sama Yoriko pikirin. Coba kita liat sama-sama dan feel free untuk ngasih input kalian sendiri.”

“Gue sama Kautsar udah brainstorming. Kita udah eliminate tema yang terlalu sering dipake kaya futuristik, retro, carnival, dan semacemnya. Beberapa tema kaya yang kita usulin juga mungkin udah ada yang pernah make, cuma mungkin gak sebanyak itu.”

Di layar depan mereka kini terpampang beberapa mood board untuk tema yang sudah dipilih oleh Kautsar dan Yoriko. Iya ada layar, sekarang ini mereka sedang di ruangan home teater rumah Banyu.

“Gue suka yang tema nusantara atau engga kemerdekaan sih, kesan Indonesianya dapet banget. Apalagi namanya kan Bumantara Cup, rhyme aja sama Nusantara.” Cizela berujar dan beberapa kepala mengangguk setuju.

“Gue setuju sih, cuma lebih ke kemerdekaanya dibandingkan Nusantara,” kali ini giliran Jannah, “Lebih jarang lagi aja gitu. Dan gue kepikiran juga kita bisa bikin cabang lomba-lomba 17an gitu.”

Kautsar mengangguk-angguk paham, setuju dengan perkataan Jannah, “Bisa sih, bagus idenya Jan.”

“Tapi tema Toy Story lucu juga sih, kaya bisa reminiscing childhood gitu.” Sahut Decha dan kini Cairo serta Lova mengangguk setuju.

“Inikan kalian ada yang tema barbieland juga, nah bisa digabungin gak sih? Jadi jatohnya temannya mainan aja gitu.” Cairo menambahkan, “Ini buat dekor sama publikasi di social media nya pasti gampang juga.”

Kali ini Yoriko yang menunjukan anggukan mengerti, “Iya bener, thank you inputnya. Sisanya gimana?”

“Gue yang mana aja boleh, semuanya bagus dan gue suka sama rata.” Ujar Herjuno dan Arshaq, Ayera serta Banyu mengangguk setuju. Iya emang mereka emang tipikal yang lebih santai dan ngikut akur aja.

“Bas, Jun?”

“Gue sama juno demen yang Avatar. Bagus aja dekornya kaya biru-hijau gitu. Dan gak perlu nambah banyak-banyak karena sekolah kita udah adem rindang gitu kan macam hutan. Terus soal decor sama publikasinya juga pasti gak terlalu ribet.”

“Bener sih.” Kautsar dan Yoriko setuju.

“Eh tapi ini berarti Avatar suku air sama bumi doang ya? Api sama udara gak ada?” Tanya Cairo yang langsung di toyor sama Nabastala, “beda avatar tolol!” Dan pecahlah tawa kita semua.

“Oke jadi hari ini kita bakalan matengin lagi tema yang udah kalian pilih sama-sama terus nanti buat opsi ya g mananya bakalan divote rame-rame sama temen seangakatn kita yang lain ya? Gimana?” Tanya Kautsar pada teman-temannya.

“Setuju!” Jawab mereka semua serempak.

Btari menatap layar ponselnya untuk beberapa detik dalam diam. Sampai suara lelaki yang wajahnya terpampang di benda pipih itu terdengar, “Jadi mau gak, Bet?”

Gadis berumur tujuh belas tahun itu kembali diam, masih berpikir bagaimana cara menjelaskan ke kedua orang tuanya. Farrell, lelaki yang sedang berbicara pada Btari itu kemudian berujar kembali, “Perlu aku yang bilang sama orang tua kamu?”

“Eh gak usah!” seru Btari panik, “Nanti aku bilang sendiri aja sama mereka.”

“Yakin? Nanti kamu gak berani lagi.” ujar Farrell kemudian tersadar dengan perkataannya, “Maaf ya Bet kalo kesannya aku maksa. Aku cuma pengen jalan berdua aja sama kamu. Semenjak pacaran, kita belum pernah jalan bareng soalnya.”

Iya, kurang lebih tiga bulan belakangan ini, Btari sudah punya pacar. Itu juga setelah PDKT selama enam bulan sebelumnya. Nama pacarnya Farrell, ketua angkatan di sekolahnya. Tipikal anak hits yang punya fans banyak, tapi dia malah jatuh cinta sama Btari yang notabene nya pendiam walaupun ya lumayan terkenal juga karena ada di geng perempuan hits sekolah.

Selama PDKT dan pacaran, Btari gak pernah cerita apapun sama kedua orang tuanya. Yang tau dia punya pacar itu cuma eyang putri dan eyang kakung, orang tuanya Owen, karena kalo Farrell mau nganterin pulang pasti akan ke rumah sang nenek. Mereka juga kalo di sekolah bukan tipikal yang nempel terus-terusan.

Bahkan, selain teman-teman dekat mereka, gak ada lagi yang tau kalo lelaki idaman satu sekolah itu udah punya pacar.

Terus terang Btari merasa bersalah. Dia paham betul pasti Farrell juga pengen pacaran dengan bebas tanpa sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan kedua orang tua Btari. Walaupun gak pernah bilang, tapi dia beberapa kali ngeliat gimana pacarnya itu natap teman-teman mereka yang sering bermesraan dengan iri.

“Maaf ya Rell, pacar kamu payah banget. Kamu pasti capek ya?” ujar Btari yang sekarang merasa bersalah bukan main.”

Mendengar hal itu, wajah Farrell berubah menjadi khawatir, “Kok gitu sih ngomongnya?”

“Ya iya, padahal cuma tinggal bilang ke bapak sama papa aku punya pacar. Gitu aja aku gak berani. Dan itu pasti buat kamu ngerasa sedih kan? Padahal orang tua kamu udah baik banget sama aku.”

“Sayang, aku ngerti banget kok ketakutan kamu soal bilang ke bapak sama papa kamu. Apalagi kamu bilang kan khawatir sama perlakuan mereka ke aku juga. I know how much you meant to them as much as they meant to you. Jadi kalo emang aku harus nunggu buat dapet restu mereka, aku ngerti dan gapapa banget. Maaf ya kalo perkataan atau perlakuan aku seolah nunjukin kalo aku terbebani karena engga sama sekali.”

Btari benar-benar mau nangis sekarang. Pacarnya ini perhatian banget. Walaupun mereka masih muda, Btari gak keberatan kalau Farrell ini bakalan jadi cinta pertama dan terakhirnya. Karena bentuk cinta dan sayang yang dia lihat dari kedua orang tuanya bisa dia rasakan sendiri sama pacarnya ini.

“Kamu baik banget sih, Rell. I don’t know what I did in my past life to deserve you.”

“Gak salah kamu ngomong gitu? Harusnya aku lagi yang bilang begitu. You’re the best thing that happened in my life, Btari. I’m willing to do anything for you.”

Setelah mendengar perkataan pacarnya itu, Btari membulatkan tekad, Ia harus segera berbicara dengan kedua orang tuanya.


Berbeda dengan anaknya yang sedang panik bukan main. Owen yang kini sedang menemani suaminya masak pun menggoyangkan badan ke kanan dan ke kiri sesuai irama lagu dari speaker portable miliknya, “Masio wes ra wancine sayang – sayangan neng kene,” ujar pria itu sambil mencolek dagu Narendra.

“Eh jamet diem dulu aku lagi masak!”

Teguran itu tak lantas membuat anak bungsu Ibu Angel dan Pak Adi berhenti, ia malah lanjut bernyanyi sambil menoel-noel pinggang suaminya, “Siji – sijine wong seng gawe ayem'e ati…”

“Ya Tuhan, Ibu Angel ini anaknya nih bu gak bisa dibilangin padahal udah tua juga!” Seru Narendra jengah sedangkan Owen malah tersenyum makin jahil. Mau setua apapun mereka, membuat Narendra mengomel akan selalu jadi aktivitas kesukaan Owen.

“Wen, kamu kalo gak berhenti gangguin kita gak makan malem loh, mau?”

“Gapapa kalo makan malem, kan aku bisa makan kam– eh Btari sayangku cintaku, ada apa gerangan kamu kesini? Sudah lapar ya nduk ya?” Owen berujar panik sedangkan Narendra hanya ketawa sambil menggelengkan kepala.

Kalau di situasi biasa, mungkin dirinya akan tertawa atau meledek kedua orang tuanya. Namun karena sekarang ia sedang mempunyai ketakutan yang berbeda, ia hanya berujar, “Bapak, Papa, Btari mau bicara boleh?”

Owen dan Narendra saling bertatapan setelah melihat kelakuan asing putri mereka. Namun setelah itu mereka pun mengangguk, “Sebentar ya Papa selesaiin masaknya abis itu kita bisa ngobrol sambil makan malam.” Btari mengangguk, walaupun jantungnya semakin berdegup gak karuan disuruh menunggu lagi.

Tidak sampai sepuluh menit setelahnya, tiga anggota keluarga kecil itu sudah duduk bersama di meja sambil mengunyah makan makan malam mereka hari ini.

“Kenapa nduk?” Owen lah yang memulai pembicaraan, “Kok kamu kelihatan gugup gitu?”

Btari tidak langsung menjawab, masih memikirkan beribu cara untuk menyampaikan ceritanya sampai akhirnya ia menghela nafas sambil berujar, “Btari punya pacar.”

Owen yang sedang mengunyah ayam kalasan pun tersedak dan langsung terbatuk-batuk heboh. Sedangkan Narendra yang juga terkejut berusaha meredam sambil menepuk punggung suaminya sambil memberikan minum. Btari menatap kedua orang tuanya khawatir sambil menunggu dalam diam. Dalam hati ia merapalkan doa agar dirinya tidak dimarahi.

“Bapak salah denger gak sih, kamu punya pacar?”

Btari mengangguk kemudian menundukan kepalanya, “Dari kapan Nduk?”

“Tiga bulan yang lalu?”

“TIGA BULAN?” Btari meringis saat suara bapaknya itu meninggi.

“Wen, jangan teriak-teriak itu kasian anaknya kaget!”

“Tiga bulan dia punya pacar dan gak ngasih tau kita, Mas.” ujar Owen kemudian. Suaranya sudah lebih tenang namun raut terkejutnya masih ada.

“Btari kenapa gak ngasih tau Papa sama Bapak, sayang?” kini giliran Narendra yang bertanya sambil menggenggam tangan anak semata wayangnya.

“Btari takut Papa sama Bapak marah…”

Narendra dan Owen saling bertatapan. Mereka kini lebih merasa bersalah dibandingkan terkejut atau marah. Bagaimana tidak? Putri semata wayang mereka lebih memilih berbohong daripada cerita yang sejujurnya pada mereka.

“Bapak gak marah nduk, kaget iya tapi gak mungkin marah cuma perkara kamu punya pacar doang…” ujar Owen yang membuat anaknya itu kini mengangkat kepala dengan wajah terkejut, “Beneran Pak?”

“Iya… masalah bapak selalu misuh-misuh tentang pacar kamu tuh bercanda doang. Bapak gapapa asal pacar kamu baik dan sayang sama kamu.”

Btari benar-benar merasa lega sekarang. Ia tidak menyangka ketakutannya selama ini hanya merupakan perasaan parno saja. Perlahan-lahan senyum pun mulai muncul di wajah gadis berumur tujuh belas tahun itu.

“Papa?”

“Papa juga gapapa dong, asal nanti dikenalin ya sama kita berdua. Suruh main ke rumah jangan sembunyi-sembunyi lagi.”

Btari mengangguk antusias, “Sebenernya ada lagi, Pa…”

“Kenapa sayang?”

“Dia ngajakin aku nonton bareng Sabtu ini, gapapa kah?” tanya Btari dan langsung menambahkan, “Aku gak pernah jalan sama dia sebelumnya, Pa, Pak. Ini bakalan pertama kalinya dan Btari janji untuk gak pulang malam-malam.”

Narendra tersenyum kemudian mengangguk, “Iya gapapa sayang. Asalkan pamit dulu ya nanti ketemu kita berdua, ya kan Pak?”

Owen pun tersenyum tipis dan mengangguk, “Iya Nduk, gapapa.”

“Makasih banyak Pa, Pak!” Btari kemudian memeluk kedua orang tuanya, “Btari ngomong sama Farrell bentar ya? Abis itu nanti turun lagi bantu beresin.”

Setelah mendapat izin dari kedua orang tuanya Btari pun berlari cepat ke arah kamarnya, meninggalkan Owen dan Narendra yang masih terdiam di ruang makan.

“Yang udah yang sakit…” ujar Owen yang membuat Narendra melepaskan cubitan di paha sang suami.

Iya, dari tadi Owen dicubit sama Narendra sebagai tanda bahwa pria itu gak boleh meledak saat mendengarkan putri mereka berbicara.

“Biarin, kalo gak begitu kamu pasti ngamuk-ngamuk kan?”

“Mas, kita gak tau ini anak tuh bibit bebet bobot nya gimana. Kalo ternyata anaknya itu kriminal gimana?”

“Ngaco deh kamu! Mana mungkin?”

“Ya kan bisa aja… atau kalo ternyata anaknya petakilan dan petantang petenteng dan bikin dia sakit hati gimana?”

“Gak akan lebih parah dari dia pacaran sama jamet kaya kamu waktu masih muda kan?”

Mendengar ucapan suaminya itu Owen langsung belaga seperti manusia paling tersakiti di dunia, “Parah kan parah, remuk loh hatiku dengernya.”

“Tuh langsung kebukti kan jamet banyak tingkah!”

“AH ELAH MAS MAH!”

“Aku serius loh Wen, kalo kamu apa-apain Farrell terus bikin Btari sedih. Aku yang bales nanti.”

“Emang kamu mau ngapain? Apa nih ancamannya?”

“Banyak lah. Gak ada jatah sampai kamu baik sama Farrell misalnya.”

“MANA BISA KAYA GITU!”


“Nonton di Gandaria katanya, bilangnya sih film Little Mermaid.”

“Yang jam berapa, Pak?”

“Aduh gak tau deh, berangkatnya sih baru. Jam yang paling deket habis ini apa?”

“Ada nih jam 3.”

“Nah iya jam 3 berarti. Coba aja, Ta. Kayaknya mereka emang belum beli deh.”

“Oke Pak, mereka pake baju merah sama hijau kan?”

“Iya Ta, bajunya itu dress yang kamu beliin itu.”

“Siap, nanti Ata kabarin Bapak ya kalo udah ketemu.”

“Oke siap, makasih ya jagoan!”

“Sama-sama Pak, kalo buat Btari apa sih yang engga!”

“Emang terbaik deh kalian!” Owen tersenyum puas ketika sambungan telepon dimatikan. Ia merasa lebih aman sekarang setelah mendengar kabar kedua keponakannya itu sudah siap.

Narendra yang dari tadi mendengarkan percakapan itu pun kini bersuara, “Kamu gila ya?”

“Gila apa?”

“Kamu nyuruh si kembar mata-matain anak kita?”

“Lah kamu kan danger sendiri gak ada aku nyuruh-nyuruh. Itu mereka yang inisiatif waktu denger Btari mau ngedate!”

“Astaga…” Narendra menghela nafas sambil memijat dahinya pelan, “Emang bener-bener deh kalian protektif nya minta ampun!”


“Gandaria City ya berarti?” tanya Azka yang sekarang sedang menyetir sambil memperhatikan jalanan ibu kota di depannya.

“Iya, Bapak bilang mereka juga baru berangkat, jadi kita masih sempet nyusul lah.” Azka mengangguk kemudian kembali fokus untuk menyetir.

Semenjak Btari hadir dalam kehidupan mereka, Athalla dan Azka sudah bersumpah akan menjaga sepupu mereka itu seperti adik sendiri. Keduanya akan selalu siap sedia kapanpun Btari membutuhkan mereka.

Bahkan, waktu pertama kali masuk SMA, kakak kelas Btari tidak ada yang pernah macam-macam karena sudah diperingati. ”Jangan diapa-apain, ini titipan kak Ata sama kak Azka.”

Keduanya ada waktu Btari pertama kali bisa berjalan, pun saat gadis itu belajar menaiki sepeda dan berenang. Athalla dan Azka juga kerap menginap di rumah Narendra dan Owen untuk ikut bermain dengan Btari ketika sepupu mereka itu masih kecil. Sampai sekarang, Btari hanya butuh mengirimkan pesan atau menelpon kapanpun dan keduanya akan selalu sigap untuk memenuhi kebutuhan gadis kesayangan mereka itu.

Karena itu lah, waktu mendengar cerita dari Owen kalau sepupu mereka sudah punya pacar, yang ternyata adalah ketua angkatan setelah keduanya melakukan investigasi kecil-kecilan, Athalla dan Azka langsung menawarkan diri untuk membantu sang paman untuk menjaga putrinya.

“Kata si Rizki, Farrell Farrell ini aman, Zka?”

“Katanya sih emang baik, bukan tipe ketua angkatan yang rese atau nyeleneh gitu loh. Adiknya si Rizki sahabat deketnya. Anak IPS 1 katanya. Pinter sama jago main bola.”

“Gitu? Oke juga selera adik kita.”

“Ya tuan putri dari kecil mana mungkin sih milih yang aneh-aneh.”

“Betul, gak akan gue biarin juga kalo dia mau sama cowok yang gak kurang dari dia.”

“Farrell ini katanya kapten bola, Ta. Sama kaya lo dulu.”

“Jago?”

“Lumayan, mereka menang cup nya Cendrawasih berturut-turut selama dia jadi kapten.”

“Oke juga, walaupun kayaknya masih jagoan gue.” dan Azka hanya memutar bola matanya malas mendengar celetukan kembarannya, “Kapan-kapan kita ajakin futsal bareng gimana? Sama Bapak, Papa, terus sama geng nya bapak juga.”

“Yang temen-temennya om Baim juga?”

“Iya. Kita lihat sejago apa sih emang.”


Btari tidak berhenti tersenyum semenjak Farrell menjemputnya di rumah tadi. Bahkan, macet kota Jakarta pun tidak cukup untuk membuat sang anak tunggal untuk berhenti. Ia bahagia bukan main, dan kekasihnya pun sama.

“Seneng banget sih Tuan Putri!”

“Seneng lah, emang kamu engga?”

“The happiest.” ujar Farrell kemudian menggenggam tangan Btari dan menciumnya. Hal itu tentu saja membuat pipi anak Owen dan Narendra itu memerah serta kupu-kupu di perutnya berterbangan.

Senyum Btari tak kunjung luntur sampai akhirnya ia memasuki studio bioskop dan matanya bertemu dengan dua pasang familiar yang tanpa berpikir panjang pun dirinya sudah kenal siapa.

“Kalian ngapain disini?” tanya nya langsung tanpa basa-basi, sedangkan yang ditanya memandangnya terkejut. Tentu saja Btari tahu bahwa itu hanya sandiwara.

“Ya ampun Tuan Putri disini juga?” tanya Athalla dengan antusiasme yang dibuat-buat, “Gak nyangka ketemu disini.”

“Kalian buntutin aku ya?”

“Engga lah,” ujar Athalla lagi, “Tau kamu disini aja engga. Ya kan Zka?” dan Azka hanya membalas dengan anggukan karena matanya tertuju pada milik lelaki disamping sepupunya.

Farrell menelan ludah karena gugup bukan main. Bagaimana tidak? Ia jelas tahu siapa dua orang yang sedang duduk di satu bangku atasnya sekarang. Athalla dan Azka memang dikenal sebagai sepasang kembar yang paling disukai serta dihormati. Jadi walaupun keduanya sudah lulus sedikit jauh dari dirinya, nama mereka tetap melegenda. Bahkan tidak sekali dua kali, Farrell pernah bertemu keduanya di tongkrongan. Dulu mereka ramah bukan main, dan tentu saja hal itu berbeda mengingat statusnya sebagai pacar Btari.

“Sore Bang…” sapa Farrell sambil tersenyum sopan, sedangkan Athalla dan Azka tidak bergeming.

“Mas ih!” Tegur Btari dengan nada sedikit manja. Ya begitulah memang kalau sang bungsu sudah dipertemukan dengan kakak-kakak beda orang tuanya.

“Ssst berisik, udah sana lanjut nge-date, Mas mau nonton!” ujar Athalla sambil sok-sok mulai memperhatikan layar yang masih memutar iklan.

“Awas kalo macem-macem, Mas Azka siram pake popcorn kalian berdua.” ujar Azka yang walaupun terdengar seperti bercanda tetap membuat Farrell panas dingin karena memang ada kemungkinan besar akan dilakukan.

Btari yang mendengar itu hanya mendengus sebal namun tetap duduk di tempatnya tanpa menghiraukan kedua sepupunya itu lagi.

Untungnya Athalla dan Azka tidak terlalu ketat soal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh keduanya. Btari masih dibiarkan senderan ke pundak pacarnya dan bahkan mereka bergandengan sepanjang film pun dibiarkan. Sampai akhirnya mereka sampai di adegan Ariel dan Eric sedang mengambil ancang-ancang untuk berciuman.

Btari dan Farrell pun saling bertatapan dan keduanya terlalu tersesat di mata satu sama lain sampai lupa kalau ada dua penjaga sang anak tunggal di belakang mereka. Ketika wajah keduanya mendekat tiba-tiba bangku Farrell ditendang keras dari belakang.

“Gak usah coba-coba atau leher lo gue patahin sekarang.” bisik Azka yang mendekatkan diri ke depan mereka. Hal itu membuat keduanya pun berpisah dan kembali menonton seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan, sekarang senderan pun engga. Hanya tangan mereka yang masih bergandengan namun keduanya duduk tegak menyender pada kursi.

Ketika film sudah selesai dan lampu sudah menyala, Btari yang buru-buru ingin keluar langsung dicegat keduanya, “Mau kemana sih buru-buru amat.”

“Kalian habis ini mau kemana?”

“Makan Bang.”

“Di?”

“Mau ke Blok M bang, Btari mau makan ramen disana.”

Athalla dan Azka saling berpandangan seolah berbicara satu sama lain sebelum mengangguk paham.

“Btari jalan sama Ata dulu sana beli jus,” ujar Azka lalu menatap Farrell, “Lo jalan sama gue.”

Sebelum mendengar sepupunya itu protes, Athalla sudah menggandeng Btari untuk jalan duluan sedangkan Farrell mengangguk ke arah kekasihnya seolah meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.

“Gue gak mau basa-basi. Jadi sekarang dengerin gue baik-baik. Bapak sama Papa mungkin baik dan santai aja sama lo. Tapi yang ada di hidupnya Btari dan bakalan ngelindungin dia bukan cuma mereka berdua doang. Masih ada gue sama Athalla.Gue tau lo pasti udah pernah denger cerita tentang kita berdua dan gimana kita dulu kan?” Ujar Azka tanpa keramahan sama sekali. Namun mendengar perkataannya Farrell mengangguk, “Kalo lo macem-macem sama dia, nyakitin dia, atau kasih dia kurang dari yang dia pantas untuk dapetin, gue gak akan segan-segan buat turun tangan buat ngadepin lo. Mau berurusan sama gue atau Athalla?”

“Engga bang.”

“Jadi paham kan harus ngapain?”

“Paham bang. Terus terang tanpa abang ngomong juga Farrell gaada niatan buat bikin Btari susah atau sedih. Farrell janji.”

“Bagus, gue pegang omongan lo. Gue harap lo tau kalo anceman gue gak main-main kalo aja lo ingkar sama janji lo itu.”

“Iya Bang.”


“Jadi gimana jagoan? Aman?”

“Aman Pak, Ata sama Azka juga kenal kok sama teman-teman di lingkaran Farrell. Jadi bisa kita pantau terus.”

“Oke bagus, makasih ya jagoan-jagoannya bapak. Salam buat Mas Arkan. Sering-sering lah kalian main kesini, jangan sibuk kerja terus.”

“Iya nanti disampein salam buat Papa. Salam buat Papa Naren juga ya, nanti kita mampir kalo pas weekend.”

“Oke deh, ditunggu ya!”


“Serius, Tari? Si kembar sampe ngikutin kamu?”

“Iya mam, dan kayaknya Mas Azka ngomong sesuatu deh ke Farrell, soalnya abis itu dia ngajakin dia jalan bareng, akunya disuruh sama Mas Ata.”

“Tapi Farrell nya ngomong gak Azka bilang apa?”

“Engga, katanya cuma ngobrol biasa aja. Tapi aku yakin lebih dari itu, cuma Farrell aja gak mau bilang.”

Alena terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala. Anak-anaknya itu memang protektif sekali kalau sudah berhubungan dengan sepupu kesayangan mereka itu. Jadi sudah tidak heran kalau ternyata memang Azka memberikan peringatan keras pada pacar Btari.

Hari ini Btari sedang diculik oleh tante dan kedua neneknya. Mereka memang hampir setiap bulannya akan keluar seharian untuk menghabiskan waktu bersama hanya mereka berempat. Ladies day, begitu mereka menyebutnya. Pada pertemuan kali ini, Btari akhirnya cerita dengan tante dan neneknya yang satu lagi tentang pacarnya. Sekalian ngadu kelakuan si kembar pada ibu mereka langsung.

“Terus itu memang inisiatif mereka apa disuruh sama bapak?” Kali ini gantian Angel yang bertanya, “Engga disuruh tapi kayaknya emang kerja sama nya sama bapak, yang.”

“Sudah hafal ya mba, kalo yang konyol-konyol gitu pasti kerjanya si Owen.” ujar Namira sambil terkekeh, “Tapi Nena kaget deh dengernya. Papa sama Bapak beneran langsung setuju?”

“Iya…” ujar Btari yang sebenarnya juga bingung, “Btari juga kaget, Nena. Kalo Papa okelah, tapi ini bapak juga sama tenangnya!”

“Mungkin Mas Owen emang udah berubah?” ujar Alena yang sebenarnya juga gak yakin sama omongannya sendiri, “Atau…”

“Atau apa Mam?”

“Atau mungkin diancem kali sama Abang.”

“Kayaknya lebih mungkin yang nomer dua, Len.” ujar Angel yang membuat semua orang tertawa, “Owen berubah jadi tenang sama bumi oval kayaknya lebih mungkin bumi oval.”


“Ini ngapain sih kita, berasa mau lamaran tau gak?” keluh Owen saat tidak kunjung mendapatkan tempat parkir di salah satu hotel ternama Jakarta.

“Ih kan Btari udah bilang kalo misalkan hari ini itu ulang tahun papanya Farrell. Terus sekalian mau ngerayainnya sama Btari juga.”

“Terus bapak sama papa ngapain ikut?”

“Ya gapapa biar ketemu aja. Farrell yang ngajak, sekalian ketemu sama papa nya.”

“Papa nya doang, sayang?”

“Iya Pa, mamanya Farrell sudah meninggal waktu dia masih SMP. Jadi sekarang berdua doang sama Papa nya.”

“Terus, kamu udah pernah ketemu sama Papa nya?”

“Pernah sekali waktu aku surprise-in Farrell di rumah sama temen-temen yang lain. Baik dan ramah banget orangnya!”

“Ganteng ga? Gantengan mana sama bapak?” tanya Owen penasaran yang membuat dirinya mendapat pukulan di lengan dari Narendra, “Gak penting banget sih pertanyaanya!”

“Ya emang kenapa sih? Pengen tau aja!”

“Gantengan bapak,” ujar Btari lalu mencium pipi bapaknya, “Bapak paling ganteng gak ada yang ngalahin.”

“Bisa banget itu mulutnya, siapa yang ngajarin?”

“Nih!” Narendra mengarahkan kaca mobil ke wajah Owen, “Ngaca!” dan ketiganya pun tertawa.

Setelah mendapatkan spot parkir, akhirnya mereka bertiga pun turun dan berjalan beriringan menuju lobby.

“Pas banget ini Farrell ngabarin dia baru sampai juga. Kita ketemu di lobby aja kali ya?”

“Terserah, kita ngikut kamu aja.”

Sesampainya mereka di lobby, Btari pun celingukan mencari pacarnya. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya matanya bertemu dengan sepasang netra familiar yang langsung membuatnya tersenyum lebar.

“Pak, Pa, itu Farhan sama papa nya!” ujar Btari lalu menggandeng orang tuanya untuk berjalan mendekat.

“Selamat malam om!” sapa Farrell sambil salim pada Owen dan Narendra bergantian, “Kenalin ini Papa nya Farrell.”

“Oh iya halo saya Ow– ANJING YANG BENER AJA!”

“Owen!” seru Narendra kesal sambil menyikut pinggang suaminya, “Kamu nih ngomongnya– Loh Farhan?”

“Halo Mas Naren, ketemu lagi kita. Apa kabar?”

Mendengar hal itu Owen makin terlihat kesal dan langsung merangkul pinggang Naren, “Sehat dan udah bahagia sama suaminya, jauh-jauh lo sana!”

“Bapak!”

“Owen!”


– Fin.

P’s Island, 23.00—

Preston dan Barrata itu rajanya pesta. Mereka selalu tau pesta mana yang paling beken di Ibu Kota, atau kalo gak jadi tamu ya mereka penyelenggaranya. Teman-temannya semua mengakui bahwa pasangan itu mungkin memang ditakdirkan untuk ini, dan sekarang buktinya.

Semua yang datang sudah pasti akan memberikan pujian. Bagaimana tidak? Pulau pribadi milik Preston sebagai hadiah ulang tahunnya ke 21 beberapa tahun lalu itu kini sudah disulap menjadi tempat acara yang gak kalah meriahnya dengan festival musik kelas kakap. Pengisi acaranya pun juga tidak main-main karena memang yang hadir sekarang adalah mereka dari kalangan selebritas dan juga orang-orang terkenal.

Navarro juga kini menjadi salah satu dari mereka yang bersenang-senang. Lagipula, ini memang pestanya, undangan yang disebar juga bertuliskan namanya walaupun sudah jelas-jelas bukan dia mastermind acara sekeren ini. Preston dan Barrata membuat ini untuknya.

“Navnav how was the partyyyy?” Tanya Preston yang mengambil tempat duduk di sampingnya lalu langsung bersender, “Do you need something else? Ada yang kurang gak?”

Dari suaranya pun Navarro sudah tau benar temannya itu sedang mabuk. Preston memang akan berubah menjadi sangat-sangat clingy ketika mabuk.

“Keren, Preston. _You did a good job as always!” _

“Aw you are sooo niceee!” Preston bergerak memeluknya erat, “Aku seneng kamu happy, jangan galau-galau lagi ya? Look around, you can pick anyone and I’m pretty sure they want to be with you!”

“Kalo lo mau gak?”

“Kan genit kan!” Barrata datang dan menjitak kepala temannya itu kesal, “Punya gue masih aja di embat lo gila!”

“BABY!” Preston berseru senang lalu menempel langung ke pacarnya, “I miss you!” tentu saja langsung disambut oleh Barrata yang refleks melingkarkan tangannya di pinggang sang kekasih lalu menariknya mendekat.

“Mabok tuh cowok lo.”

“Iya emang, minum banyak dia. Lo ok?”

“Ok kok. Lagi ngisi energi aja sebelum turun ke dance floor lagi. Yang lain aman?”

“Aman kok. Si Chelsea lagi nemenin Gio menel sama Vernon, Archie tadi ketemu sama temen-temenya jadi lagi ngobrol di luar, terus Kak Tara…”

“Kak Tara kemana?” Navarro pun mulai menegakkan duduknya untuk siap-siap mencari sang manager yang memang sudah ia hafal betul ngaco kalau terkena pengaruh alkohol.

“Santai, tuh liat pojok kanan.” Dan ia pun langsung tenang waktu liat Tara sedang heboh menari bersama Jamal yang sepertinya juga mabuk.

“Mabok juga itu si Jamal?”

“Iyalah, kalo engga kan pasti kaku gitu. Itu jadi lincah banget kan pasti udah naik juga.”

“Eh enak btw tadi live music nya, nemu dimana lo?”

“Band baru itu, Nav. Vokalisnya temennya Preston gitu. Baru di sign label nya Om Teguh. Promising sih kata gue karir nya.”

“Drummer nya cakep.”

Barrata tertawa, “anjing sok bilang enak taunya itu toh tujuannya. Sana kenalan lah.”

“Gue belom liat lagi.”

“Bentar deh anak band nya gue suruh pada kesini.” Barrata pun langsung mengetikan pesan di ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya orang-orang yang baru dihubunginya muncul.

“Weh, sini sini duduk. Abis dari mana kalian?” Sapa Barrata yang gak bisa bergerak karena Preston baru saja tertidur dipelukannya, “Sorry ya gak bisa bangun gue.”

“Gapapa bang…” ujar mereka semua kompak dan duduk di sofa yang memang besar itu.

“Kenalin temen gue Navarro, katanya demen dia sama band kalian.”

“Halo gue Navarro, salam kenal semuanya.”

Tentu saja mereka semua tau siapa Navarro. Tapi melihat aset perfileman Indonesia itu masih mau mengenalkan dirinya terus terang membuat mereka semua terkesan.

“Wishnu, nih kata si Navarro lo jago banget main drum nya dia demen.” Tembak Barrata langsung yang membuat lelaki bernama Wishnu tersenyum malu.

“Thanks Bang.” Ujar Wishnu sambil tersenyum manis.

Mereka semua pun mulai mengobrol, dengan Navarro yang memang sengaja duduk di dekat Wishnu, drummer incarannya itu.

Namun ditengah obrolan keduanya, tiba-tiba lelaki itu izin memotong omongan Navarro sebentar untuk menegur temannya, “Adrian, hp lo nih geter terus dari tadi.”

“Oh iya masih di lo ya? Ada telfon?”

“Iya dari Mas Otniel.”

“Oh iya iya bentar.” Dan Adrian pun bergegas untuk mengambil ponselnya dan mengangkat telfon tersebut sambil berjalan menjauh.

Mendengar nama itu Navarro tertegun. Otaknya mulai kembali memunculkan orang yang belakangan ini sedang ia coba lupakan. Gak mungkin lelaki yang sama kan? Yang punya nama itu bukan dia doang.

Kini sang aktor papan atas tersebut kembali tersadar. Melupakan Otniel Parama ternyata tidak semudah itu.

Jalen dan Anthea sedang bahagianya bukan main sekarang. Gimana tidak? Mereka akhirnya punya waktu berduaan meski cuma jajan jagung bakar buat teman-teman yang lain. Iya, ini idenya Jalen buat keduanya jadi perwakilan beli jajanan. Sekalian modus.

“Kang jagung bakar nya 16 ya, setiap rasanya 4 jagung. Itu dibungkus, terus 2 pedes asin makan disini.” Pesan Jalen lalu duduk.

Namun belum sempat ia mengobrol dengan sang kekasih, ada suara ikut menyahut,“Tambahin satu lagi Kang, jadi 3 yang makan disini.”

Anthea dan Jalen pun menoleh ke sumber suara, dan mereka dibuat terkejut bukan main. Ada Reagan disana, lengkap dengan senyum manis yang menyimpan sejuta arti.

“Sekalian Om juga di traktir dong, Len. Gapapa kan?”

Jantung Jalen berdegup dengan kencang. Gak pernah terlintas di bayangannya bakalan harus berhadapan begini sama Reagan. Dia kira, mereka udah lolos radar pria yang ia hormati itu, namun nyatanya tidak.

Anthea pun panik bukan main. Dia paham betul kalau sekarang ayahnya bukan disini untuk beramah tamah seperti yang dia tunjukan. Kalau boleh jujur, sebenernya dia juga marah, tapi sadar kalo saat ini kesalahannya lebih besar.

Anthea pun buru-buru menghubungi ayahnya via chat, memohon agar Anda nya itu membantu entah bagaimanapun caranya.

“Gimana staycation nya? Seru?” Tanya Reagan basa-basi, “Kok diem aja?”

“Agan…”

“Ayo dijawab dong, tadi kayaknya sebelum Agan dateng kalian lagi ketawa-ketawa. Kenapa malah diem?”

“Om Reagan, Jalen minta maaf ya…”

“Eh cepet banget? Baru juga duduk bareng, udah ciut aja.”

“AGAN IH!”

Jalen memberhentikan kekasihnya itu dan melanjutkan. Dia sadar posisi kalo Anthea sampe ngelawan itu bakalan buat namanya semakin jelek, “Maaf udah bikin Yaya sama Arvenu bohong sama om Reagan. Maaf udah lancang ngajak Yaya kesini berduaan. Jalen tau om Reagan marah banget pasti sekarang, tapi tolong lampiasin ke Jalen aja ya jangan ken Yaya? Karena ini semua salah Jalen.”

“Kalo kamu tau salah kenapa tetep dilakuin? Segitu gak butuhnya kamu sama izin dan restu dari saya sampe berani-berani begini?”

“Agan apaansih!”

“Ya udah jangan…”

“Engga. Aku gak terima kamu yang disalahin begitu. Padahal ide staycation barengan ini ideku. Yang dulu jujur pertama kali naksir ke kamu juga aku. Yang pengen dan selalu minta ketemu sama kamu juga aku. Kamu gak pernah maksa sama sekali makanya Agan gak bener kalo nyalahin kamu.” Lalu Anthea menghadap kearah ayahnya, “Agan emang gak pernah wondering kenapa Yaya udah gak pernah cerita-cerita lagi padalah kita sedeket itu dari dulu? Ya karena ini. Karena Agan itu terlalu sibuk buat ngelarang kita ini itu padahal Yaya juga paham kalo dulu Agan gimana. Yaya bukan perempuan bodoh, Agan. Yaya tau mana yang bener mana yang engga, kenapa sih Agan gak percayaan banget sama Yaya?”

“Agan bukan gak percaya sama kamu, Agan gak percaya sama yang lain karena tau isi otak mereka!”

“Gak semua orang sama kaya Agan, why don’t you get it?” Ujar Anthea frustasi, “Lagian emang aku sama bodohnya sama orang-orang yang dulu jadi korban Agan?”

Sebenarnya Reagan agak terkejut. Bukan, bukan karena Anthea berani ngelawan dia tapi karena omongannya mirip banget sama Nanda. Emang anaknya Nandut banget sialan. Batinnya.

“Ya udah Ya…” ujar Jalen menenangkan pacarnya, “Agan masih orang tua kamu jangan begitu ngomongnya.”

Selain mau menenangkan, Jalen juga agak berharap kalo misalkan Reagan bisa ngeliat usahanya bujuk Anthea. Om liat om, saya pengaruh baik buat anak Om.

“Om, Jalen ngerti banget ketakutan Om. Tapi Jalen janji kalo apa yang Om takutin gak akan kejadian. Jalen sangat amat ngehargain Anthea sama kaya Jalen ngehargain Om Reagan, Om Nanda dan pertemanan Jalen sama Arvenu. Jalen gak mungkin mau nyakitin Anthea dengan sengaja dan bikin kecewa kalian semua. Jadi Jalen mohon Om, tolong bolehin Jalen coba buat bikin Anthea nya Om Reagan bahagia ya?”

Oke juga pemilihan katanya nih orang, ujar Reagan dalam hati. Ya kalo boleh diakuin sebenernya hatinya sudah tergerak dikit. Dia juga mikir, Jalen ini juga bukan orang asing. Reagan kenal bibit bebet bobotnya. Justru harusnya itu membuat dia lebih tenang kan?

Yang Jalen omongin juga bener, apalagi soal Arvenu. Dia gak mungkin mau nyakitin Anthea karena itu berarti dia juga bakalan punya masalah sama sahabatnya sendiri. Sama aja kaya dulu dia gak mau nyakitin Nanda karena ngehargain Sulthan.

Belum sempet berkata-kata lagi, ponselnya bergetar dan memunculkan notifikasi pesan dari suaminya yang bikin matanya melotot. Kayaknya emang sekarang dia bener-bener harus pulang.

Anthea yang bingung sama respon ayahnya pun segera menegur,“Agan?”

“Pokoknya intinya gini. Mulai sekarang gaada bohong-bohong lagi ok? Ini terakhir kalinya Agan bisa tolerir. Gak ada sembunyi-sembunyi. Kamu jalen kalo mau ajak Anthea kemana pun, dateng ke rumah, izin yang bener, kasih tau kita sejujur mungkin mau kemana dan ngapain. Agan percaya sama kalian, jadi jangan sampe buat Agan nyesel udah ngasih kepercayaan ini. Ngerti?”

“Ngerti Om.”

“Ngerti Agan.”

Dan Reagan pun langsung pergi tanpa basa-basi lagi. Tentu saja Anthea sama Jalen bingung, tapi mereka terlalu seneng karena restu yang baru diberikan untuk peduli.

Seoul, 15.00—

“Navarro?”

“Iya, Otniel kan?”

“Betul, salam kenal.”

“Salam kenal juga.” Keduanya berjabat tangan dengan senyum tipis, “Ini kopernya. Maaf ya, kayaknya saya salah ngambil.”

“Gapapa, small mistake,” ujar Navarro lalu melanjutkan, “Mau sekalian ngopi gak? Disini view nya bagus, sayang kalo cuma selewat aja.”

“Boleh sih…”

“Eh tapi boleh gak drop formalities nya? Lebih santai aja gitu gue-lo. Kayaknya saya-kamu terlalu kaku.”

“Okay.”

Navarro ini mukanya gak asing, batin Otniel. Dia seperti pernah melihat sosok lelaki ini sebelumnya tapi entah dimana. Mungkin hanya mirip. Toh kalo memang mereka saling kenal pasti lelaki itu juga akan menyadarinya. Diamnya yang lebih pendek pun membuktikan bahwa tebakannya bisa saja meleset.

“Mau pesen apa Otniel?”

“Ice pumpkin latte nya aja satu, lo apa?”

“Ice Americano,” Navarro terkekeh, “Basic banget ya?”

“Iya sih,” Otniel juga ikut tertawa, “Disini semua orang kayaknya minum itu.”

“Berarti paling enak itu juga kan?”

“Engga juga.” Navarro mengangkat sebelah alisnya, “kok engga?”

“Enak itu relatif, kan? Dan menurut gue Ice Americano lebih ke aman dan efisien dibandingkan enak. Apalagi disini kan phase kehidupan mereka serba cepet, jadi wajar aja minuman yang sederhana gitu laku.”

Interesting. “Gue gak pernah mikir kesana sih sebelumnya, tapi iya lo bener juga.”

Koper mereka sudah diletakan di tempat aman yang gak jauh dari meja mereka. Jadi gak harus repot-repot menghalangi jalan. “Tau tempat ini dari mana?”

“Temen gue pernah kesini. Jadi sebelum pergi gue nanya dia. Bagus ga?”

“Bagus, eye pleasing dan gak rame juga.” Otniel menatap pemandangan didepannya yang menunjukan kota Seoul dan Namsan Tower, “Cocok buat kontemplasi.”

“Yeah? Lo sering?”

“Sering apa? Kontemplasi?” Navarro mengangguk sebagai respon pertanyaan Otniel, “Ya lumayan. Banyak yang harus dipikirin juga kan.”

“True, semakin bertambah umurnya semakin butuh tempat yang begini gak sih?”

“Bener.“ lalu obrolan mereka terhenti ketika ponsel Otniel berdering namun lelaki itu langsung menolak dan mematikan ponselnya.

“Kok gak diangkat?”

“Sengaja. Gue kesini emang niatnya mau sendirian dan gak mau diganggu.”

“Sama dong.” Sahut Navarro langsung, “Gue juga niatnya healing makanya sendirian aja pergi nya.”

Ironis bukan? Keduanya sama-sama mencari ketenangan namun malah berakhir bersama disini dan menghabiskan waktu dengan satu sama lain. “Maaf kalo lancang, tapi tadi gue liat lockscreen lo, suka Harry Potter juga?”

“Suka. Lo iya?” Dan ketika Navarro mengangguk kesenangan dia pun melanjutkan, “Asrama lo apa?”

“Tebak.” Dan Tanpa jeda Otniel langsung menjawab, “Slytherin.”

“Anjir kok bisa tau sih?”

“Keliatan. Gue ngerasa lo can pass as a Gryffindor though. But there’s something about you that just screams Slytherin.”

“Well I cannot argue with that.”

“Now guess mine.”

Hufflepuff. Not the typical bright and cheerful one, but Hufflepuff regardless.”

Otniel terkekeh sambil menganggukan kepalanya terkesan, “Iya bener gue Hufflepuff.”

“Baca novel nya?”

L“Baca dong. Malah dulu gue nulis fan-fiction nya.”

“Oh iya? Lo penulis?”

“Ya gitu deh, tapi amatiran.”

“Wow, that’s cool!”

“Thanks.”

Keduanya terdiam sebentar untuk meminum pesanan masing-masing. Tidak dapat dipungkiri bahwa kini mereka merasa nyaman. Sedari tadi alur pembicaraan mereka juga lancar-lancar aja.

Sebagai orang yang gak begitu bisa bawa pembicaraan, Otniel bersyukur bahwa dari tadi Navarro lah yang lebih banyak bicara. Namun laki-laki itu pun juga tidak menumbuhkan kesan bawel.

Yang jelas, baik Otniel maupun Navarro menanamkan kesan baik pada satu sama lain di pertemuan mereka kali ini.

“Lo udah ada rencana besok malem mau ngapain?”

“Belum sih. Kenapa emang?”

“Deket tempat gue tinggal sekarang ada pub sama restaurant tema Harry Potter gitu. Mau kesana?”

Dia ngajak ketemuan lagi? Otniel tau, seharusnya dia menolak. Karena tujuannya kali ini kan memang untuk menikmati kota sibuk di negeri ginseng itu sendirian. Tapi bukannya mengutarakan hal tersebut, Ia malah menjawab “Boleh.”