spaceshuttle

1

“Biar kuulangi. Kamu mau pinjam kucingku supaya bisa berkenalan dengan cowok penyayang kucing yang kerja di café itu? Kamu ini enggak punya malu, ya?”

“Enggak.” Sahut Jaemin santai sembari berjalan mendekati tiga ekor kucing yang tengah tertidur di atas sofa, menatap tanpa menyentuh mereka. “Aku enggak akan mengakui mereka sebagai kucingku kok, cuma ... dia kepengin mengelus kucing betulan mengingat apartemennya enggak mengizinkan hewan hidup di sana.”

Jeno mengangkat sebelah alis. Ini adalah pekan ke-tiga Jaemin bertandang ke apartemennya dengan satu kotak cheesecake—kali ini rasa mangga—dan binar mata yang sama seperti saat ia membawa bola lari ke end zone. Kalau boleh jujur, Jeno lumayan capek melihat bagaimana sahabatnya bertingkah seperti orang dungu dua puluh empat per tujuh hanya karena interaksi remeh dengan seorang pâtissier.

Agak janggal melihat Jaemin bersusah payah menarik perhatian seseorang karena biasanya dia lah yang menjadi pusat perhatian. Akan tetapi, pâtissier di kafe Honeyluu sepertinya terlalu fokus pada adonan kue-kue yang mereka hidangkan kepada pelanggan, sehingga membuat Jaemin merasa bahwa dirinya perlu berusaha lebih keras dan kreatif.

Jeno menyipitkan mata, lalu menerima kotak kue dari tangan Jaemin. “Kamu mau pura-pura jadi penyayang kucing demi dia? Bohong dong.”

“Aku enggak bohong, toh aku enggak akan bilang kalau ini kucingku. Aku cuma bawa Seol ke sana.”

“Untuk menunjukkan kalau kamu suka kucing dan memberi implikasi kalau kucing itu punya kamu.”

Jaemin menggeleng lalu tersenyum, “Aku emang suka kucing. Kamu lupa ya, waktu tahun pertama di klub, aku pernah naik ke pohon di taman kota untuk menyelamatkan kucing belang yang galak? Pelipisku dicakar dalam sekali dan meninggalkan bekas sampai sekarang. Tapi aku enggak menaruh dendam tuh.” Salah satu kucing Jeno terbangun, menguap dan merentangkan tubuh. Jaemin menarik satu langkah mundur. Jaemin memang suka kucing, tapi cakaran—yang katanya tidak seberapa itu—nyatanya membuat trauma ringan. “Kamu enggak potong kukunya Nal?”

“Kucing butuh itu untuk pertahanan diri, lagipula, mereka enggak akan nyakar sembarang orang kok.” Jeno berjingkat dari sofa, mengambil sebuah garpu dan piring kecil untuk dirinya sendiri.

“Oh iya, tahu enggak, hari ini dia ngomongin pertandingan kita kemarin. Dia bilang, dia seneng banget karena kita menang. Dia tuh ... aduh, kalau senyum, dunia rasanya berhenti berputar. Aku sampai bingung harus ngomong apa.”

Jeno mengangguk sekalipun tidak paham. Jaemin sebenarnya tidak pernah menjabarkan bagaimana penampilan gebetannya itu, tapi peduli amat. Jika Jaemin menyebutkan sempurna, maka sempurna akan berpadanan dengan ciri-ciri berikut: Jeno membayangkan sesosok lelaki berdiri di belakang etalase kue-kue, yang memiliki tungkai jenjang serta rambut coklat gelap yang beriap-riap saat tertiup angin. Senyumnya cerah, dengan mata yang bergerak-gerak jenaka, dan lecutan tawa renyah setiap kali dihadapkan pada lelucon-lelucon kolom surat kabar.

“Terus yang lucu lagi, kayaknya dia enggak tahu kalau aku ini Jaemin Na? Padahal jelas-jelas kemarin aku melakukan touch down dan dua kali field goal tapi yah, dia bilangnya dia fans dari Cowboys jadi mungkin dia enggak sadar aja? Bisa jadi dia fans baru. Kalau dipikir-pikir, aku juga jarang lepas helm.”

Jeno tidak menghiraukan, sibuk dengan kotak karton yang menguarkan aroma mangga begitu dibuka. Potongan cheesecake yang sangat rapi meskipun kecil, sedikit menyogok ego perfeksionis Jeno. Rasa mangganya tidak masam, tapi tidak terlalu manis. Sempurna untuk kudapan musim panas. Biasanya Jeno tidak terlalu peduli, tapi kue ini enak.

“Dia nanya apa aku nonton pertandingan Cubs kemarin atau aku cuma nonton Cowboys aja. Aku bilang aku cuma nonton Cowboys, karena ya kan enggak mungkin aku nonton Cubs ketika kita lagi tanding lawan Falcons. Aku pikir aneh juga, kenapa dia tiba-tiba ngomongin tim bisbol dan tim sepak bola amerika selang-seling begitu? Eh, apa aku perlu pakai tali pengekang buat bawa Seol jalan-jalan?”

“Seol bukan anjing, harusnya enggak sampai segitunya,” kata Jeno. Kotak di hadapannya kini kosong, Jeno merasa kehilangan. Oh, cheesecake. “Bung, dengar. Aku jujur saja ya, aku enggak lihat ada kemajuan dari cerita-ceritamu ini. Butuh bantuan?”

Jaemin menaikkan sebelah alis, “Bantuan?”

Jeno berkedik, “Hm … mungkin aku bisa mempromosikanmu? Mengatakan hal-hal baik agar dia jatuh hati?”

“Jen, kamu bahkan enggak berkencan dengan siapa pun selama tiga tahun.”

“Tapi aku punya reputasi bagus dalam hal mencomblangkan orang.”

Jaemin terkekeh, “Dalam hal ditikung, mungkin. Kamu terlalu baik, orang yang kamu suka ujung-ujungnya malah jadian sama temanmu karena kamu kalah cepat.”

“Aku tadinya menunggu waktu yang tepat.”

“Ya, dan? Keduluan orang.”

“Karena itu, aku enggak mau kamu bernasib sama sepertiku.”

“Nah, karena itu juga. Kamu enggak usah repot-repot. Bakal gawat kalau aku sampai kena tikung sahabatku sendiri.”

“Jaemin,” Jeno merasa tersinggung. “Meskipun pernah membuatmu jatuh tersungkur saat sesi latihan, tapi aku enggak sejahat itu.”

Jaemin tertawa kecil, tangannya mengelus puncak kepala Nal pelan-pelan. “Kamu enggak perlu bantu apa-apa, Jen. Aku serius.”

2

“Dia suka Seol!” Jaemin berseru keras sambil mengeluarkan Seol dari dalam pet cargo. Kucing itu melompat keluar, berlari, dan menggosok-gosokkan wajahnya di kaki Jeno. Bokongnya bergerak seiring kibasan ekor, ada dengkur yang menggelitik betis Jeno, barometer kebahagiaannya.

“Tapi dia langsung tahu kalau Seol bukan kucingku.”

“Apa kubilang,”

Jaemin menyerahkan kotak kue—yang amat Jeno kenali bentuknya—lalu terperenyak di sofa tunggal yang menghadap jendela. “Dan, aku juga baru tahu kalau dia bukan penggemar Cowboys.”

Jeno tidak menjawab, sibuk dengan mulut yang dipenuhi chocolate fudge, tapi otaknya masih bisa memamah kalimat Jaemin yang terakhir. Memangnya ada ya orang seantero Texas yang tidak menyukai Cowboys?! Punya masalah apa mereka di hidupnya?

Jaemin agaknya tidak keberatan sama sekali, karena detik berikutnya ia berkata, “Dia bahkan enggak nonton sepak bola amerika. Aku tahu waktu aku ngajakin dia ngobrolin games kita bareng Bears, waktu kita dapat touch down di kuarter ke-dua selama dua kali berturut-turut, juga 10 yards run setelah itu. Terus dia malah nanya: apa itu end zone?”

Hah? Apa Jaemin sedang bercanda?

“Sebentar, dia enggak tahu apa itu end zone? Dan kamu masih suka sama dia?!”

“Gemes banget, kan? Dia mau belajar kok. Aku tanya kenapa dia pake ngaku-ngaku sebagai penggemar Cowboys kalau sebenarnya dia bahkan enggak tahu apa-apa soal football? Dia malah narik topiku terus bilang kalau dia cuma pengen kelihatan punya selera yang sama denganku.”

Pandangan Jeno kini teralih pada topi klub yang selalu Jaemin gunakan ke mana pun. Ada gambar bintang dengan garis biru; lambang yang merepresentasikan tim Dallas Cowboys. “Bung, dia suka sama kamu.”

“Kayaknya dia pengen tahu aja? Dia suka olahraga kok. Mengingat dia juga fans Cubs, kayaknya dia memang penasaran soal football.

“Enggak, kamu enggak ngerti,” Jeno berusaha menelan potongan fudge yang mulai menyumbat tenggorokan karena lupa dikunyah. “Dia suka sama kamu. Bukan sama tim olahraga yang kamu suka.”

Jaemin mendengus geli, menyangkal ucapan Jeno dengan kibasan tangan. Lampu hijau sudah menyala, yang perlu Jaemin lakukan hanyalah menyeberang.

Jeno tidak tahu kalau sahabatnya bisa begitu lambat dalam mengambil tindakan. Dia perlu turun tangan; mengunjungi Honeyluu dan mencari tahu siapa tambatan hati Jaemin lalu membuat mereka jadian. Tapi pertama-tama, ia akan menghabiskan chocolate fudge ini terlebih dulu.

3

Jeno mengetik Honeyluu di aplikasi peta dalam jaringan. Ada dua café mengusung nama yang sama; satu bertempat di Arlington dan satu lagi di Frisco. Jeno sedkit kaget karena Honeyluu (yang biasa Jaemin datangi di Frisco, tentu saja) hanya berjarak 20 menit jalan kaki dari apartemennya.

Café itu kecil, berada di samping bundaran jalan menuju tempatnya biasa berlatih. Dihimpit tempat gym dan sebuah toko elektronik besar, nyaris tidak terlihat jika bukan karena papan tulis hitam yang sengaja diletakkan di depan pintu dengan tipografi yang menarik. Jeno membacanya sekilas sebelum mendorong pintu masuk, tertulis: menu spesial lemon berry petit four! Paling tepat dipadankan dengan warm rosella tea.

Pe-petit? Apa? Bagaimana cara menyebutnya?

Jeno mendorong pintu, ada suara lonceng klasik yang menyambutnya diikuti dengan seruan dari balik konter, “Selamat datang! Mohon tunggu sebentar!”

“Santai saja, Bung!” sahut Jeno.

Kesan hangat langsung Jeno dapatkan begitu memasuki Honeyluu, desain interiornya memang tidak istimewa tetapi deretan kue-kue di etalase dengan warna-warna cantik itu begitu menggugah selera. Ada harum kopi, krim, coklat, dan buah-buahan yang bercampur jadi satu. Fusi yang seharusnya aneh alih-alih menggoda perut Jeno.

Jeno sengaja datang di hari Rabu, usai merampungkan setumpuk aktivitas di lapangan. Memang melelahkan, tetapi apa boleh buat. Jaemin selalu datang di hari Jumat dan Jeno tidak mau menyaksikan sahabatnya saling goda dengan si pâtissier. Dia tidak akan tahan melihatnya.

Jeno membungkuk, mengamati barisan macarons dengan warna-warna pastel dan krim tebal yang mencolok. Jeno tidak begitu suka makanan manis, ah koreksi, sebenarnya dia suka makanan manis tetapi sebagai seorang atlet, dia memiliki aturan tertulis dan tidak tertulis mengenai itu. Lama kelamaan, kebiasaan untuk tidak mengonsumsi gula berlebih diadopsi menjadi sebuah prinsip. Sialnya, semenjak Jaemin menemukan café ini, prinsip Jeno jadi ikut tercederai.

Jeno tengah memerhatikan kemilau karamel apel pada seloyang tarte tatin (tertulis di etalase) saat ia mendengar suara langkah kaki mendekat ke konter. Berat bagi Jeno untuk mengalihkan tatapannya dari kue yang begitu enak dipandang.

Jeno mengangkat wajah. Shit. Lupakan tarte tatin, kini ada seorang laki-laki yang begitu enak dipandang, berdiri di hadapannya.

“Hai,” kata lelaki itu, jemarinya berlari ke helaian rema berwarna cokelat terang persis karamel tarte tatin. Ia mengenakan celana panjang krem, kemeja putih berkerah, sweter hitam, cukup konservatif, gayanya klasik tapi menarik. Jauh dari kesan pemuda serampangan pembuat onar yang mengenakan kemeja dekil dan jins cabik-cabik. Kulitnya coklat dan ada beberapa tahi lalat menitiki wajahnya. Matanya bulat, berbinar, dan senyumnya begitu lucu. Sempurna.

Ah, pasti dia. Pâtissier yang membuat Jaemin mabuk kepayang.

Sial. Si berengsek itu beruntung sekali.

Jeno berdeham dan berusaha mengendalikan akal sehat yang mulai melompat dari luar jendela café. “H-hai,” katanya rikuh. Dia menggaruk belakang telinga, merasakan hangat mulai melayap ke wajahnya. Ada tanda pengenal bertuliskan HAECHAN di dada kiri laki-laki itu, juga pin enamel kecil karakter kue jahe dengan senyum yang seolah mencemooh kegugupan Jeno.

“Apa ada yang bisa kubantu?” tanya Haechan dengan alis sedikit terangkat, dan Jeno tidak bisa mengendalikan apa yang ada dalam kepalanya. Apakah ia terlihat aneh? Bangsat, dia bahkan tidak tahu apa yang akan dia beli. Atau apa yang akan dia lakukan. Jeno beringsut ke kiri, mengambil langkah kecil sembari melipat kedua tangan di dada, mengerahkan usaha terbaiknya untuk tidak terlihat canggung di hadapan laki-laki tampan ini. Dia punya harga diri untuk dipertaruhkan. Dia adalah running back dari the Cowboys, demi Tuhan.

“Aku baru pertama kali datang ke sini.”

“Oh, sudah kuduga. Meskipun wajahmu enggak asing.” Cara bicara Haechan begitu kasual dan sangat ramah.

“Apa ada yang bisa … direkomendasikan untuk pengunjung baru sepertiku?”

Tatapan mereka bersirobok dan bagi Jeno, senyuman Haechan adalah sebuah senjata yang seharusnya dilengkapi sebuah label peringatan serta lisensi khusus agar tidak digunakan sembarangan. “Hm … tergantung, kamu mau cari yang seperti apa?”

Jeno mencari pacar manis dengan rambut coklat yang berkilau dan kerlingan mata yang membuat dadanya sesak. Ah, itu bodoh. Jeno mengedikkan bahu. “Entahlah. Aku cuma mau makan sesuatu yang kecil, manis, dan enak.”

“Semua yang ada di tempat ini rasanya manis dan enak, tapi sesuatu yang kecil ya? Coba kucarikan dulu.” Pandangan Haechan berpendar pada etalase di bawahnya, memerhatikan kue-kue itu sekilas sebelum kembali berhadapan dengan Jeno. “Beli untuk dirimu sendiri? Untuk keluarga?” Haechan kemudan mengambil jeda, alis terjinjing naik dan bibir menyunggingkan seringai tipis. “Pacar?”

Jeno tertawa kecil. “Aku sendiri. Uh maksudku, aku enggak punya pacar. Eh, belum. Bukan berarti aku lagi enggak nyari juga sih.” Whoa, whoa. Santai, Bung. Jeno memulai kebiasaan yang sudah lama tak ia lakukan; berbicara melantur di hadapan cowok manis.

“Terus kenapa belum punya? Enggak ada yang membuatmu terpikat, ya?”

Yah, sebenarnya ada. Jeno ingin sekali mengatakannya, tapi ada masalah besar di sini. Orang yang membuatnya terpikat adalah tambatan hati Jaemin dan dia perlu menarik garis mundur sejauh-jauhnya.

“Aku sibuk, jadi … begitulah.” Jeno menjawab sekenanya. Haechan tampak tidak terkesan dengan hal itu dan harusnya Jeno tidak terlalu peduli. Dia tidak boleh naksir gebetan sahabatnya sendiri.

Haechan kembali pada mode profesionalnya dengan segera. “Oke, jadi kamu mau sesuatu yang kecil, manis, dan enak, kan?”

Jeno mengangguk, “Yap.”

“Aku punya sesuatu yang sepertinya akan membuatmu jadi pelanggan tetap kami,” kata Haechan percaya diri.

Jeno ragu apakah hal itu bisa terjadi. Menjadi pelanggan tetap, maksudnya. Dia punya aturan diet yang harus dipatuhi dan aturan pertemanan yang tidak bisa dilanggar perihal mendekati calon pacar rekan satu tim sendiri.

“Kamu mau ambil berapa banyak? Setengah lusin? Satu lusin?”

Jeno ingin sekali membeli lebih dari satu agar tidak terlihat kikir dan mungkin membaginya dengan Jaemin sebagai ajang balas budi. Tapi, Jaemin tidak boleh tahu kalau ia datang ke Honeyluu di hari Rabu. “Satu saja.”

Haechan memasukkan seiris kue berbentuk persegi ke dalam box lalu menyodorkannya ke hadapan Jeno. “Hazelnut Financiers with Strawberry Jam and Lemon Puree,” katanya. “Aku paling suka ini.”

Jeno tidak bisa mengingat nama panganan yang Haechan sajikan untuknya atau pun memahami artinya. Akan tetapi, Jeno yakin, sekali pun Haechan menyodorkan onggokan lumpur yang dikeruk dari dasar danau White Rock, ia pasti akan tetap memakannya.

Selagi menunggu struk dicetak, Haechan memerhatikan logo bintang biru yang tersemat di kaos Jeno. “Kamu fans the Cowboys?”

“Iya. Kamu juga?”

Haechan menggeleng, menyabet struk dari printer dan memberikannya pada Jeno. “Aku cuma nonton bisbol aja, sori.”

Tentu saja Haechan akan langsung berterus terang bahwa ia bukan penggemar sepak bola amerika. Dia tidak perlu berpura-pura dan membuat Jeno terkesan seperti apa yang dilakukannya pada Jaemin. Jeno bisa paham kalau dirinya memang tidak semenarik Jaemin.

“Santai saja, Bung. Bisbol keren kok.” Jeno tertawa pelan, sedikit canggung. “Oke, makasih buat rekomendasinya. Sampai jumpa lagi?” Jeno bahkan tidak tahu apakah ini adalah kata yang tepat untuk mengakhiri konversasi.

“Sama-sama. Jangan lupa untuk datang lagi!”

Tidak, Jeno tidak akan datang lagi. Café ini terlalu berbahaya.

4

Pertahanan Jeno roboh dalam seminggu. Ia datang lagi dua minggu kemudian. Lagi-lagi di hari Rabu, namun bedanya kali ini dia datang dengan wajah lesu karena Cowboys kalah melawan Browns di malam sebelumnya. Jeno merasa bahwa dia perlu melakukan sesi penghiburan dengan mengudap seiris kue dan juga melihat wajah manis di belakang konter Honeyluu, terlepas apakah orang itu adalah gebetan rekan satu timnya atau bukan.

Ada beberapa pelanggan yang mengantri di depan konter saat Jeno datang. Haechan tengah membungkus beberapa kotak kue untuk seorang perempuan hamil yang menggendong anaknya dengan sebelah tangan. Saat perempuan itu kesulitan merogoh isi tasnya untuk melakukan pembayaran, Haechan berjalan keluar konter untuk mengambil alih si anak dari gendongannya. Jeno melihat laki-laki itu tertawa dan berbicara seperti anak kecil, pemandangan itu membuat dadanya seakan terjepit.

Pelanggan lain tidak menghabiskan waktu lama di konter. Mereka memesan kue, menunggu Haechan membungkusnya satu per satu, membayar, kemudian pergi keluar dengan masing-masing kantong di tangan. Mungkin hanya lima menit? Dan Jeno adalah orang yang berdiri sebagai buntut antrian, tidak ada lagi pelanggan setelahnya.

“Hei, bener kan dugaanku. Kamu balik lagi?” Sapa Haechan bersemangat.

“Kamu ingat aku?”

Haechan mengangguk. “Ingat lah. Si fans Cowboys.” Hal itu tidak bisa dijadikan dasar pembeda Jeno dengan tujuh puluh persen penduduk Texas sih, tapi yah, sepertinya Haechan memang benar-benar mengingat Jeno.

“Namaku Jeno. Panggil Jeno atau Jen saja.”

“Aku Haechan.”

Jeno menunjuk tanda pengenal yang tertempel di kemeja Haechan. “Iya, tahu kok.”

Haechan terkekeh dan kembali menatap Jeno dengan hangat, tenggorokan Jeno mendadak kering karenanya.

Sejenak hening menggigit ruangan. Hanya suara lagu klasik Perancis yang bersipongang dalam ruangan. Mereka saling pandang selama beberapa detik sebelum Jeno tersadar dan berkata, “Kue kecil yang minggu lalu itu. Itu enak banget.” Dan beberapa keping palmiers yang Jaemin bawa pulang di hari berikutnya juga enak, tapi Haechan tidak perlu tahu soal yang itu.

Haechan menyunggingkan senyum malu-malu. “Yang bener? Sebenarnya itu agak gagal sih.”

“Kamu bikin semua ini sendiri?” Jeno tidak mengerti kenapa dia harus menanyakan hal ini; tapi dia benar-benar ingin tahu dan bukan sekadar berbasa-basi. Dengan tempat sekecil ini, tidak akan mengagetkan kalau Haechan memang membuat segala sesuatunya seorang diri. Jeno bisa membayangkan bagaimana Haechan menghias kue-kue itu dengan telaten di dapur belakang, mungkin lelaki itu akan menggulung lengan kemejanya hingga siku, membiarkan balutan tepung dan pekatnya coklat mewarnai telapak tangan. Benar-benar indah. Terlalu indah, dan Jeno harus menghentikan pikirannya yang memutar imaji akan jari-jari Haechan yang cantik.

Tanpa diduga, Haechan mengangkat bahu. “Enggak semua. Temanku juga bikin beberapa kue, ini usaha milik bersama; aku dan dia. Kita merantau bareng dari Chicago setelah selesai kuliah. Tapi dia enggak masuk di hari Rabu.”

“Wow, kalau begitu aku harus mulai coba beberapa kue buatannya, yang rasanya mirip-mirip dengan yang minggu lalu kamu rekomendasikan.”

“Enggak, enggak,” Haechan menggeleng, kedua tangan terangkat hingga dada. “Renjun adalah pembuat puree paling payah sepanjang sejarah.”

“Jadi, makan kue buatanmu adalah pilihan terbaik, hm?” Jeno mencoba keberuntungannya dengan mengeluarkan candaan garis miring godaan ini pada Haechan. Fuck. Harusnya dia tidak melakukan semua ini.

Haechan mengangkat dagu, ada senyum puas yang terpatri di wajahnya. “Aku bisa kasih financiers yang lebih enak dari minggu lalu, kecuali kalau kamu mau coba sesuatu yang baru?”

Jeno mengambil langkah maju, pinggang agak menempel di konter dan Haechan tidak mundur sedikit pun dari tempatnya alih-alih ikut mencondongkan tubuh. “Terserah. Kamu bosnya di sini, menurutmu gimana?”

Ada kerut kecil yang muncul di antara alis Haechan ketika ia memikirkan sesuatu, dan Jeno menganggap hal itu sangat mengganggu terlebih saat Haechan mulai menggigit bibir bawahnya. “Hm … mungkin kali ini kamu harus coba cream puffs,” katanya sambil mengangguk-angguk. “Kamu belum tahu artinya kehidupan kalau belum coba cream puffs buatanku.”

“Wah, aku enggak sabar untuk tahu arti kehidupan.”

Haechan menghabiskan waktu cukup lama untuk membungkus cream (apa lah itu namanya). Dia membicarakan hal-hal umum yang terdengar sepele sembari membungkus kue dengan kertas llilin, memasukannya ke dalam kotak, lalu mengikatnya dengan pita. Jeno tidak mau melambungkan kepercayaan diri terlalu tinggi dengan mengatakan bahwa Haechan sengaja mengulur-ulur waktu agar bisa bicara lebih banyak dengannya. Tidak, Jeno tidak boleh berpikir seperti itu.

Saat kotak kue itu diberikan pada Jeno, Haechan mencekal pergelangan tangannya pelan. “Lain kali, kamu datangnya jam 3 saja. Kafe lagi lumayan sepi. Aku biasanya buat stok baru jam segitu, masih fresh dan kayaknya kamu harus coba.”

Jeno tidak langsung menjawab, perhatiannya terfokus pada jari-jari hangat Haechan yang melingkupi pergelangan tangannya. Denyut nadinya semakin cepat. Hatinya seolah jungkir balik.

Tadi Haechan mengatakan sesuatu. Apa ya? Mengapa Jeno sulit berkonsentrasi saat berada di dekatnya?

Kunjungan jam tiga. Oh iya. Kunjungan jam tiga di hari Rabu. Dia melirik wajah Haechan lalu mereguk ludah sebelum menjawab, “O-oke.” Sangat memalukan.

Jeno tidak bisa berhenti menyentuh pergelangan tangannya sepanjang jalan pulang, masih teringat hangatnya jari Haechan di sana. Dia merasa bersalah, diam-diam menemui orang yang disukai Jaemin dan merasakan semua ini. Tapi, Jeno tidak yakin kalau dia bisa berhenti.

5

Hari rabu berikutnya, Jeno mendorong pintu masuk café pada pukul tiga sore. Lonceng berbunyi di atas kepalanya, Haechan melongokkan kepala dari konter.

“Hai Jeno!” Senyuman laki-laki itu mampu menerangi malam gelap di Texas dan Jeno merasakan sesuatu berdebar di balik rusuknya.

Haechan mengenakan apron hari ini, warna putih dengan desain sederhana. Jeno tetap menemukannya menarik. Tanda pengenal lelaki itu sedikit tertutup.

“Aku baru selesai bikin macarons,” kata Haechan, terdengar begitu antusias. “Sebentar lagi akan kukeluarkan dari oven, dan kita bisa mulai menambahkan krim setelah aku mendinginkannya selama beberapa menit.”

Kita? Jeno terheran-heran, tapi tetap mengikuti Haechan ke belakang konter.

Jeno tidak pernah melangkahkan kakinya ke dapur. Maksudnya, dapur yang benar-benar dapur. Ia bahkan tidak pernah memasak telur untuk dirinya sendiri di apartemen. Oleh karena itu, melihat apa yang ada dapur Honeyluu membuatnya melongo. Terdapat tumpukan mangkuk kotor di wastafel, beberapa bungkus tepung yang sudah terbuka dan serbuk-serbuknya memenuhi bagian atas meja, loyang-loyang kosong, dan sobekan kertas roti. Kendati demikian, kue-kue yang baru keluar dari oven itu terlihat rapi dan bersih di sudut kanan meja, tak tersentuh kekacauan apa pun.

Haechan menarik satu loyang berisikan macarons berwarna hijau muda dari atas konter dapur. “Aku lupa kalau ada satu loyang yang sudah kukeluarkan dari sepuluh menit lalu.” Haechan menatap barisan biskuit (ya, itu biskuit, kan?) dengan bangga. Tidak heran, mereka semua tampak lezat.

Haechan meraih mangkuk kaca yang dipenuhi dengan krim di tepi meja, mengaduknya sekali dengan sodet lalu memasukannya ke dalam—kantong plastik? Terdengar aneh dan janggal, Jeno tidak mengerti dunia dapur.

Haechan membungkuk, membubuhkan krim sedikit demi sedikit ke atas macarons. Wajahnya begitu serius; kening mengerut, bibir mengerucut, dan ada sedikit lidah yang mengintip dari belah bibir. Jeno nyaris kehilangan akal.

“Oh, ada kursi plastik di situ,” kata Haechan usai mengisi krim di baris macarons pertama. Ia menengadah, menunjuk sebuah kursi plastik di sudut ruangan dengan dagu. “Bawa saja ke sini.”

Jeno duduk di sisi kanan meja, melihat bagaimana Haechan mengeluarkan krim dari kantong plastik tadi ke atas permukaan macaron satu demi satu. Rasanya menenangkan sekali melihat Haechan bekerja seperti ini, hening dan teratur.

Haechan kemudian meletakkan kembali kantong berisikan krim ke dalam mangkuk kosong, ia kini menimpa krim-krim tadi dengan potongan macarons lain, menjadikannya semacam sandwich. “Mau coba?” Dia menyodorkan loyang itu ke hadapan Jeno.

Jeno mengambil satu, menggigitnya, dan detik itu dia melayang. Bagian luar yang terasa renyah tetapi lembut ketika digigit, krim vanila meledak di mulut menyapu indra perasanya dengan rasa yang menyenangkan. Jeno bahkan tak sadar kalau dia baru saja menutup mata dan mengeluarkan erangan puas.

“Luar biasa.”

Haechan tampak terkesan, dia tersenyum lebar dengan pipi bersemu merah. Pujian selalu membuat orang bahagia, Jeno tidak keberatan jika ia perlu melakukannya sering-sering.

“Akan kubungkuskan untukmu,” Haechan menyampirkan beberapa barang di atas meja, membesutnya dengan lap kemudian beringsut ke luar dapur.

“Jadi, kamu bikin stok di jam-jam segini? Aku kira semua udah dipersiapkan dari pagi?” seru Jeno, mata masih berpendar ke tiap jengkal dapur. Jadi, Haechan menghabiskan separuh harinya di sini. Menarik. Jeno jadi bertanya-tanya, apa Jaemin pernah diajak untuk menghias kue di sini.

Haechan kembali dengan sebuah kotak karton di tangan, ukurannya lebih besar dari yang Jeno lihat minggu lalu. “Separuh kusiapkan dari pagi, separuh lagi ya di jam-jam seperti ini; saat tidak ada pembeli.”

Oke, Jeno bisa menarik simpulan bahwa ia bukan pembeli. Lalu?

Haechan menata barisan macarons itu dengan rapi di dalam kotak, semuanya warna hijau, bukan favorit Jeno tapi seperti yang pernah dikatakannya pada pertemuan pertama: Dia akan memakan apa pun yang Haechan sodorkan padanya sekali pun itu lumpur dari danau White Rock.

Ada sekeping macarons di atas loyang, tidak muat jika dimasukkan ke dalam kotak tetapi terlihat menyedihkan karena ditinggal seorang diri. Haechan melahapnya dalam satu gigitan, membuat krim di tengah lapisan kue itu terdorong keluar dan mengotori bibirnya. Jeno merasakan desir aneh untuk menjilat krim itu. Tapi dia bergeming—dia memang seharusnya bergeming, tidak boleh nekat—dan hanya mampu mengerjapkan mata saat menyaksikan bagaimana lidah Haechan menyapu sudut bibirnya sendiri. Krim itu hilang, begitu pun dengan separuh jiwa Jeno.

Cukup, Jeno. Memikirkan hal yang tidak-tidak tentang orang yang disukai Jaemin benar-benar perbuatan tercela.

“Apa kamu suka kucing?” Tanya Jeno, mengusir pikiran aneh yang bercokol di dalam otaknya.

Haechan mengernyit, “Kenapa tiba-tiba ngomongin kucing?”

Kamu agak mirip kucing, meskipun jauh lebih mirip beruang “Cuma tanya saja.”

“Suka. Tapi di apartemenku dan Renjun, kami tidak boleh mengurus binatang.”

Oh, iya. Jaemin pernah bilang begitu. Harusnya tadi Bongshik diajaknya ke mari. Tidak, bukan sedang cari kesempatan. Hanya sekadar mengenalkan kucingnya pada ... teman baru? Ya, teman baru.

Dua jam kemudian, Jeno keluar dari café dengan satu kotak macarons di tangan. Ia bahkan tidak menyadari bahwa Haechan memberikan semua itu dengan cuma-cuma.

6

Jeno absen dari Honeyluu di hari Rabu berikutnya, karena the Cowboys harus terbang ke Kalifornia untuk bertanding dengan the Rams. Dia tidak bisa berhenti memikirkan Haechan selama berada di dalam pesawat.

Jaemin baru kembali dari toilet, membawa sebuah selimut yang dimintanya dari pramugari. Ia mengambil tempat di samping Jeno dan memulai obrolan tentang Haechan sambil tertawa-tawa.

Dari apa yang Jaemin tuturkan, Haechan terdengar sedikit konyol. Konyol tapi agak bebal; mengaku tidak mengerti ini dan itu, tidak terlalu banyak bicara jika tidak dipancing, tetapi gemar melontarkan godaan-godaan yang sangat ... berani dan garing. Terdengar berbeda dari Haechan yang Jeno kenal. Well, tentu saja! Haechan memberikan perlakuan yang berbeda pada mereka berdua; jelas terlihat bahwa ia lebih tertarik pada Jaemin. Mungkin dengan Jeno, Haechan merasa nyaman untuk menghabiskan jam-jam kosong yang biasa diliputi dengan senarai kegiatan membosankan.

Tapi, Jeno tidak mengerti. Terkadang, Jeno merasa bahwa Haechan berlaku sangat, sangat manis padanya. Caranya bicara, menatap, atau tersenyum pada Jeno, terasa memiliki arti yang berbeda. Sesuatu yang lebih dari sekadar teman bicara.

“Lalu, dia bilang kalau aku adalah laki-laki paling menarik yang pernah ia lihat di Texas. Dia menarik lengan jaketku saat mengatakannya, tapi caranya bicara seperti setengah bercanda, jadi … aku juga enggak yakin kalau dia suka padaku?” Jaemin mengembuskan napas berat, menutup wajahnya dengan lipatan majalah fauna bersampul singa afrika.

Jeno ikut memejamkan mata. Sudah jelas bahwa apa yang ada di kepalanya tentang Haechan—semua interaksi itu, tatapan mata, dan senyuman itu—tak lebih dari khayalan belaka yang tidak akan bermuara ke mana-mana.

7

Kembali ke Texas, berarti kembali bertandang ke Honeyluu di hari Rabu. Jeno mengantarkan oleh-oleh untuk Haechan yang dibelinya di Pantai Venice; gelang manik-manik seharga lima dolar dapat dua. Tapi sebenarnya, semua itu hanya alasan terselubung. Tujuan utamanya sederhana saja: karena Jeno rindu pada Haechan. Ia datang pukul tiga sore, kafe sepi, dan Haechan tengah menulis sesuatu di atas konter.

“Hei, lama enggak jumpa, Bung.” Sapa Haechan, melirik Jeno sekilas kemudian kembali pada tulisannya. “Bagaimana Kalifornia? Menyenangkan?”

“Aku lebih suka Texas,” Jeno mendengus lalu tertawa. Ada kamu di Texas. “Lagi ngapain?”

Haechan menutup buku itu kemudian beringsut menuju mesin kopi, menuang satu cangkir untuk Jeno. “Menulis daftar pengeluaran,” katanya. “Aplikasi di komputer lagi rusak, jadi aku pakai pencatatan manual saja deh.”

“Enggak bikin kue?”

Haechan menyipitkan mata, “Kamu datang ke sini buat sample gratisan lagi, ya?” tapi bibirnya jelas menahan senyum hingga berkedut.

“Mau bagaimana lagi? Aku pria oportunis.”

Haechan tergelak. Jeno begitu merindukan tawanya. Sial. Sekarang dia mulai terdengar seperti Jaemin.

“Untukmu,” Jeno menyodorkan sebuah gelang manik-manik dengan kombinasi warna hitam, merah, dan coklat tua dalam jalinan tali nilon. Sekarang dia mulai menyesali pilihannya. Lima dolar dapat dua. Yang benar saja, memangnya dia siswa SMP dalam acara karya wisata? “Aku beli ini waktu main ke pantai. Lucu dan aku rasa cocok kalau kamu yang pakai. Eh, itu enggak menyalahi aturan kerja kan?”

“Aku bosnya di sini, kamu lupa?” Haechan tersenyum, menelusuri tiap bulatan manik-manik di gelang pemberian Jeno. “Bantu aku memakainya.”

Jeno menggosokkan telapak tangan ke celana di bawah konter, dia harus menyingkirkan keringat agar tidak terlihat menjijikan. Oh, ini pergelangan tangan Haechan. Jalinan urat nadinya tampak menyembul di bawah kulit, Jeno ingin menekankan jarinya di sana, meraba denyut untuk sekadar memastikan bahwa bukan hanya dia saja yang merasakan debaran liar di dada.

Tanpa sadar bibir Jeno tertarik ke kiri dan kanan, tersenyum. Setelah tegang dan lelah di pertandingan beberapa hari lalu, ini adalah kegembiraannya yang pertama.

Thanks, Jeno. Aku suka banget.”

Hati Jeno menghangat; entah apakah karena espresso yang ia seruput atau ucapan Haechan. Jeno memeluk erat cangkir kopi itu dengan jemari, menikmati sentuhan suam-suam kuku di sana. Senyum Jeno terkembang lagi, kali ini benar-benar tidak dapat dihentikan. Bolehkah ia merasakan perasaan ini terhadap orang yang Jaemin sukai?

8

Jeno sudah menjadi pelanggan setia di Honeyluu selama tiga bulan ketika dia akhirnya mengatakan, “Haechan, dengar. Aku tahu ini kedengarannya aneh, mendadak, dan yeah … harusnya aku kasih tahu ini dari dulu, dan um … aku minta maaf karena baru bilang sekarang. Intinya, aku bukan fans dari Cowboys.”

Haechan menjengitkan alis, mengulum senyum. “Oke.”

“Enggak, gini. Aku ini running back di Cowboys. Mungkin tampangku agak beda dengan yang ditempel di poster depan sta—”

Haechan tertawa, cukup lantang. Adonan roti dibanting ke atas meja dan ditekannya kuat-kuat.

“Haechan?”

“Jeno … kamu pikir aku enggak tahu siapa kamu?” tidak ada kata yang mampu mendefinisikan bagaimana menawannya Haechan saat ia memiringkan kepala, menyunggingkan seringai tipis di bibir. “Kali ke-tiga kamu datang ke sini, aku langsung tahu. Malamnya aku menonton acara olahraga, wajahmu disorot.”

“Lho? Bukannya kamu enggak nonton sepakbola amerika?!”

“Emang enggak. Aku lagi nonton acara berita, tahu-tahu ada selingan tentang pertandingan Cowboys dan Falcons.” Kata Haechan. “Oh lihat caranya berlari! Jeno Lee masih berlari, meretas tiap pertahanan di hadapannya! Daaaan touchdown! Brilian!Brilian!” Haechan menirukan suara narator di televisi.

Wajah Jeno merah dan dia tidak bisa berhenti tertawa karenanya. “Hentikan, memalukan sekali!”

“Kamu terkenal banget lho.”

“Lumayan. Apa kamu keberatan?” Jeno harap tidak. Selama beberapa bulan ini, Haechan sangat enak untuk diajak bicara, dia keren (dalam sudut pandang Jeno), punya selera humor yang bagus, dan sangat, sangat, baik terhadap Jeno.

“Enggak lah. Buatku, kamu ya … Jeno?” kata Haechan ringan, tangannya kini membagi-bagi adonan dengan berat sama rata. Berjejer di atas meja, sembilan-sembilan. “Bisa berikan aku gula di sebelah situ?” Jeno menyerahkan sebuah kantong kertas berwarna coklat, dan Haechan menaburkannya di atas entahlah apa itu. “Kecuali kalau kamu Craig Kimbrel, mungkin aku udah teriak sekarang.”

“Yang bener aja, aku jauh lebih keren daripada pemain bisbol, tahu?”

“Terima kasih, tapi dia adalah pemain bisbol dari Chicago. Kampung halamanku. Kami sangat membanggakan mereka.”

Jeno mengerucutkan bibir. “Gimana dengan Texas? The Cowboys juga keren.”

Haechan menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. “Aku memang enggak suka sepakbola amerika, meskipun mereka punya running back seseksi Jeno Lee.” Ia melemparkan senyuman jahil yang menggoda.

Oven di belakang berbunyi nyaring, dan Haechan lekas mengambil mitten untuk menarik keluar satu loyang muffin blueberry dari dalam sana. Jeno duduk di atas kursi plastik, dagunya ditopang dengan sebelah telapak tangan. Memerhatikan Haechan, seperti yang biasa dilakukannya tiap hari Rabu di Honeyluu.

9

“Jadi, kemarin malam aku nonton pertandingan the Cowboys. Siaran ulang sih,” kata Haechan. “Aaa,”

Jeno membuka mulut, membiarkan Haechan menyuapkan sedikit zeppola berisikan campuran mentega dan madu. Rasanya enak. Haechan menunggu Jeno menelannya, lalu menjengitkan alis.

Aku udah bilang, semuanya kerasa sama aja. Aku enggak tahu apa bedanya. Kamu harusnya cari orang lain yang lebih mumpuni untuk jadi tester.”

Haechan mengembuskan napas berat, “Oke, masih belum,” dan kembali mengaduk krim.

“Sebentar, tadi kamu bilang, kamu nonton pertandingan Cowboys?” tanya Jeno.

Haechan tidak menatap Jeno, matanya masih terfokus pada gulungan adonan krim di mangkok kaca, kali ini ditaburi pistachio bubuk. “Iya, aku nonton siaran ulang melawan Seahawks. Oke juga.”

“Oke juga?”

“Aku enggak ngerti gimana jalan pertandingannya. Tapi kalian menang, iya kan?”

Apa-apaan. Pertandingannya dengan Seahawks lebih dari sekadar oke juga. Waktu itu Jeno melakukan 99 yard touchdown run dan itu diberitakan di televisi, disorot di video-video Youtube, dianggap salah satu momen terbaik di NFL musim ini. Tapi sebelum Jeno sempat mengeluarkan protes, Haechan keburu memasukkan zeppola kembali ke dalam mulutnya. Ibu jarinya mengusap bibir bawah Jeno, menyingkirkan krim yang menempel. Zeppola ini terasa sama seperti yang sebelumnya dan itu adalah yang ke-tujuh.

Jeno perlu lari sebanyak dua belas putaran untuk menebus dosa-dosa ini.

10

Kaki Jeno sedikit nyeri saat Jaemin mengangkat tangan ke udara, mengisyaratkannya untuk berhenti berlari. Lari keliling lapangan bukanlah hal yang berat, tetapi Jeno sudah melakukannya selama beberapa putaran hingga betisnya terasa akan pecah. Ia perlu mengistirahatkannya sejenak. Saat ia berlari menghampiri Jaemin, kawannya itu melemparkan sebotol air mineral dengan santai. Khas Jaemin, dia selalu terlihat tenang dengan apa yang terjadi di sekitarnya namun kali ini, Jeno memerhatikan sesuatu yang berbeda. Ujung kaki Jaemin menandak di atas hamparan rumput, tangannya keluar masuk saku celana dan ia menengadah ke langit lalu ke tanah.

“Kenapa?” sadar terperhatikan, Jaemin melempar Jeno dengan pertanyaan.

Jeno meminum separuh air dalam botol sebelum menyiramkannya ke atas kepala. “Kamu yang kenapa. Kelihatannya lagi mikirin sesuatu?”

Jaemin menarik napas, berusaha mempertahankan raut tenang di wajah. “Aku butuh saran.”

“Soal?”

“Semisal ada orang yang bilang kalau dia suka sama kamu. Tapi enggak nembak juga sih? Dia cuma bilang aja. Nah, bagaimana cara buat nunjukin kalau kamu juga memiliki perasaan yang sama?”

Ah. Sialan. Jeno memang tidak beruntung. Jujur, Jeno sudah bisa menduga hal ini akan terjadi. Jaemin sudah mengejar Haechan selama berbulan-bulan dan dari cerita-ceritanya, Jeno tahu bahwa hubungan mereka makin hari makin baik. Meskipun sudah ia perkirakan sebelumnya, tetap saja, ada rasa nyeri di ulu hati saat mengetahui kalau Haechan memiliki perasaan khusus terhadap Jaemin.

Tapi Jaemin adalah sahabatnya, dan sahabat yang baik tidak akan menyabotase acara kencan sahabatnya sendiri. Sahabat yang baik jelas tidak akan menikung objek afeksi dari sahabatnya sendiri.

Sahabat yang baik akan mendukung ketika sahabat mereka sedang berusaha memenangkan hati pâtissier paling menawan sejagad raya.

Jeno tahu bagaimana rasanya dikhianati; memuakkan dan membikin serba salah. Dia tidak akan menaruh Jaemin pada posisi itu.

“Tiket pertandingan kita melawan Giants?”

“Wow, Bung. Benar juga. Ide yang bagus.”

“Coba beri dia seat yang bagus, di Skybox? Beri dia pengalaman yang tak akan terlupakan ketika melihatmu beraksi di lapangan.”

Jaemin manggut-manggut. “Oke, aku akan membelikannya tiket. Eh, tapi bakal aneh enggak sih kalau dia duduk sendirian selama tiga jam?”

“Beli dua saja, supaya dia bisa bawa teman.” Haechan kerap menceritakan temannya beberapa kali, pâtissier lain di Honeyluu yang payah dalam membuat puree. Setidaknya Jeno bisa bertemu dengan orang bernama Renjun itu sementara Jaemin sibuk dengan rayuannya bahwa ia mempersembahkan poin-poin di lapangan untuk Haechan.

“Aku enggak sabar bawa dia ke pertandingan kita,” kata Jaemin semangat, dan Jeno tidak bisa membenci Jaemin untuk ini. Jaemin adalah sahabatnya, dan dia pantas mendapatkan kebahagian, sekalipun Haechan adalah penyebabnya.

Jeno hanya perlu menerima kenyataan.

11

Pertandingan melawan Giants awalnya buruk, tetapi di kuarter ke-tiga berubah menjadi tidak buruk, menakjubkan malah. Cowboys berhasil mengumpulkan sebelas poin tambahan lewat satu touchdown, dan dua field goal. Di kuarter terakhir, Jaemin membuat aksi sempurna dengan 49 yard touchdown run. “Ace!” seru Jeno. Jaemin tergelak dan tubuhnya terdorong ke tanah saat Jeno dan rekan satu tim mereka menimpa Jaemin untuk sesi selebrasi.

“Aku bertaruh kalau pâtissier favoritmu pasti suka itu,” kata Jeno sambil membenturkan helmnya pada Jaemin.

“Thanks, mate. Kuharap dia sedang bersorak untukku sekarang.”

Saat euforia itu berakhir, Jeno kembali ke posisi semula, tetapi Jaemin masih memasang wajah bahagia di balik helmnya. Mungkin karena Jeno melambungkan harapannya barusan; bahwa Haechan akan menyukai aksinya. Well, sepertinya omongan Jeno tidak sembarangan juga kok. Haechan pasti terkesan.

Mereka menjawab interviu singkat seusai pertandingan berakhir, memenuhi kewajiban sebagai pemain utama di tim. Setelahnya Jaemin mengajak Jeno untuk cepat mandi dan berganti baju, semuanya dilakukan secara tergesa. Seolah-olah mereka akan kehabisan tiket kereta sekali pun mereka akan pulang menaiki mobil masing-masing. Jaemin hanya berhenti sesaat untuk memastikan tubuhnya tidak bau keringat sebelum ia mengancingkan kemeja hitamnya—gila, bahkan Jaemin pakai kemeja. Sebuah kemajuan pesat.

Jeno masih menyisir rambut dengan sisir saku saat Jaemin menariknya keluar ruang ganti. “Ayo Bung, pihak keamanan sudah mengizinkan mereka masuk. Sekarang mereka menunggu kita bench area.”

“Sebentar, kenapa aku harus diseret juga?”

“Kamu sahabatku dan aku wajib mengenalkan cowok yang kutaksir selama berbulan-bulan ini padamu. Juga kenalan sama temannya sekalian.”

Aku sudah kenal, sahut Jeno dalam hati. Dan aku agak jatuh cinta padanya.

Dua orang laki-laki berdiri di depan bangku cadangan sembari memainkan ponsel mereka saat Jeno dan Jaemin keluar dari ruang ganti. Agak aneh melihat penampilan Haechan di luar kafe; dia mengenakan kaus dengan ornamen the Cowboys—berpenampilan seperti fans sejati—alih-alih kemeja dan apron kerja, tapi dia terlihat—ya Tuhan, dia terlihat sangat menarik. Temannya, Renjun, hanya beberapa sentimeter lebih pendek darinya, pemuda itu memiliki kulit berwarna pucat, kurus, dan mengenakan kaus yang sama dengan Haechan.

Ketika Haechan mendongak dari ponsel dan melihat kehadiran Jeno dan Jaemin, senyumnya sangat cerah. Jeno dan Haechan berpandangan sejenak. Ada suasana magis yang ajaib, yang membuat bibir Jeno terasa kelu.

Jeno belum sempat memulai sesi perkenalan pura-puranya dengan Haechan, dia telanjur kaget menyaksikan Jaemin mempercepat langkah dan menghampiri teman Haechan. Teman Haechan, yang saat ini menatap Jaemin dengan tatapan hangat dan penuh rasa bangga.

“Gimana acara nonton pertandingan football pertamamu?” tanya Jaemin, dia hendak melanjutkan tetapi teman Haechan—Renjun—membuka mulutnya lebih dulu. “Gila! Tadi keren banget!”

“Um ... pertandingannya atau ...?”

“Aku enggak tahu tadi kamu ngapain, itu apa lah yang di akhir? Tapi waktu lihat kamu lari terus narator bilang kamu kasih poin untuk tim kamu, itu ... itu beneran keren bangettt!” Seru Renjun antusias, dipenuhi rasa kagum dan bangga yang menyembur sampai ke ubun-ubun.

Jaemin menggaruk belakang tengkuknya yang tidak gatal lalu tertawa kaku. Pemandangan ini berputar-putar di dalam kepala Jeno lalu menghantam pusat otaknya seperti laju kereta barang yang tidak bisa dihentikan. Yang benar saja?!

Jeno mengalihkan pandangannya dari Jaemin dan Renjun—yang sekarang tengah saling tatap seolah-olah hendak membuat lubang di wajah lawan bicara masing-masing—dan kini ia tertuju pada Haechan, yang balik melihatnya dengan tawa tertahan di bibir.

Kaki Jeno mungkin bergerak maju, tetapi otaknya masih membeku dan terasa tidak berfungsi. Sial. Sial. Sial. Tahu-tahu dia sudah berdiri di depan Haechan dengan jarak yang lebih dekat dari yang biasa mereka miliki di kafe—saat terpisahkan konter, atau meja dapur. Haechan mengusak belakang kepala, untuk pertama kalinya terlihat begitu gugup di hadapan Jeno setelah mereka saling mengenal berbulan-bulan lamanya.

“Hai, Jen.” Kata Haechan pendek. Jeno memerhatikan tulisan di topi Haechan, fans nomor satu running back the cowboys. “O-oh, ini Renjun yang belikan. Kaos ini juga. Karena aku pernah diskusi soal pertandingan kalian dan ... aku bilang, aku suka running backnya.”

Jeno sedikit tergagap, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia melepas topi, berusaha menatap langsung ke wajah Haechan meski beberapa kali ia sasarkan ke kening, alis, dan puncak kepalanya yang tampak lembut.

“Aku tahu kamu kaget karena aku datang, maaf juga enggak bilang. Dadakan sih. Dua hari yang lalu Renjun bilang dia dapat tiket untuk nonton Cowboys dan Giants dan wow, siapa yang bakal nolak kalau dikasih seat di Skybox? Jadi aku terima ajakannya untuk sekadar memastikan kalau dia dan si quarter back tersayangnya bisa ... entahlah, jadian atau apa kek? Aku capek lihat mereka saling goda di kafe setiap hari Jumat. Dan um, aku harap kamu enggak keberatan kalau sekarang kamu ... semacam terjebak bareng aku sebentar?” Haechan menunjuk Jaemin dan Renjun yang tengah bertukar cumbuan di pojok bench area. Yeah. Haechan jelas butuh teman ngobrol sekarang.

“E-enggak, aku enggak keberatan.” Jeno menelusuri pinggiran lidah topinya dengan kedua tangan.

“Um, Jen—“

“Haechan—“

Mereka berdua berhenti dan tertawa. “Kamu duluan,” kata Haechan.

Jeno menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. “Jaemin enggak bisa berhenti ngoceh soal pâtissier di Honeyluu dan aku kira, cowok itu kamu. Karena temanku lumayan bebal, aku mencoba untuk turun tangan atau yah, sekadar memastikan cowok seperti apa yang membuatnya bertingkah bodoh begitu. Haha dan ternyata memang cowok itu menarik—ya karena, aku kira itu kamu—tapi ternyata bukan. Jadi aku ... aku cuma mau kamu tahu kalau, um,” aku suka kamu, “Aku ingin tahu apa aku masih boleh terus datang ke Honeyluu.”

Senyum perlahan mengembang di wajah Haechan. “Jadi, kamu suka sama aku?” Ada nada jahil meluncur dari mulutnya, sepasang mata bulatnya bersinar.

“Kamu kasih aku kue gratisan hampir setiap kali aku datang! Semuanya enak-enak!”

“Enggak, enggak. Tadi kamu ngomongin betapa menariknya aku. Ayo, lanjutin.”

“Kamu memang ...” Jeno terbatuk. “Menarik. Baik dan lucu.” Wajah Jeno kini semerah selai stroberi di dapur Honeyluu. “Udah, sekarang giliran kamu. Tadi mau bilang apa?”

“Well, Jen. Aku tadinya mau tanya apa kamu mau kalau kuajak jalan? Di luar pertemuan kita di Honeyluu tentu saja. Misalnya ... sekarang? Karena aku sepertinya enggak perlu antar Renjun pulang, kita bisa makan malam bareng? Kamu suka masakan Korea?” Haechan memberi jeda, hanya untuk menatapnya dari puncak kepala hingga ujung kaki. Aduh, Jeno lupa kalau dia belum sempat menyisir rambutnya tadi. “Dan mungkin, aku bisa dapat ciuman sebelum pergi tidur.”

Berakhir sudah hidup Jeno Lee.

“Bagaimana kalau sebelum makan? Kudengar itu juga sedang tren.”

Haechan memutar bola mata dan tertawa. “Aku tidak mau ciuman kita berakhir di halaman depan surat kabar,” Haechan melirik Jaemin dan Renjun—yang sepertinya lupa dengan bidikan lensa kamera. “Kamu yang bayar, ya? Aku harus dapat kompensasi dari menu-menu gratis yang kubagikan padamu.”

Jeno meraih tangannya, “Apa pun, untuk fans nomor satu running back the Cowboys.”

Renjun menunggu taplak meja keluar dari mesin pengering sembari menghangatkan pizza. Andy sudah tidur lebih dulu karena ini sudah pukul delapan; Renjun sedang mencoba untuk mengubah siklus tidur anak itu. Biasanya Andy akan mengalami jam-jam rewel pada pukul empat sore lantaran kantuk, kemudian akan kembali terbangun di tengah malam dan tidak akan kembali tidur sebelum pukul tiga pagi.

Ia bersandar pada dinding dapur. Ini adalah hari ulangtahun pernikahannya yang ke-tiga dan Jaemin pulang terlambat. Jaemin tidak mungkin lupa, ia selalu ingat. Jaemin bisa menjawab dengan tepat ketika orang menanyainya tentang tanggal pernikahan tetapi memang bukan penggemar berat dari kejutan. Renjun pun tidak mengharapkan itu dari Jaemin.

Baik, dia sedikit berharap. Tapi hanya sedikit.

Mungkin pada tahun ke-tiga pernikahan mereka, romance bisa jadi mulai berkurang. Seperti yang pernah ia dengar dalam sebuah talk-show, bahwa fase memudarnya perasaan cinta dalam pernikahan adalah hal yang biasa. Kebanyakan orang mengalami itu. Hal itu tidak melulu berimplikasi pada berakhirnya sebuah hubungan, hanya saja memang menjadikan suasana sedikit redup. Renjun tidak menemukan tanda-tanda itu pada pernikahannya; Jaemin masih menciumnya saat bangun dan sebelum tidur, membuatkannya sarapan ketika tidak sempat, dan memberi pernyataan cinta kendati dalam cara yang begitu implisit.

Tetapi ketakutan itu tetap mengganggu pikirannya seperti petugas asuransi yang menawarkan jaminan masa tua melalui pesawat telepon selama seminggu berturut-turut.

Renjun kerap mendengar cerita tentang perceraian ketika ia masih bekerja di perusahaan lamanya. Rekan-rekan kerjanya yang telah bercerai seringkali menebar doktrin jahat tentang pernikahan, menjadikan diri mereka sebagai anti-fan nomor satu dan meskipun Renjun tidak terlalu gemar menggosip, sedikit banyak hal yang mampir di telinganya (secara tidak sengaja) tetap memengaruhi cara pandangnya.

Mereka sering bercerita bagaimana pasangan mereka mengalami perubahan mendadak ketika perceraian melanda. Biasanya menjadi super serakah karena besok-besok, semua hal yang awalnya mereka miliki bersama harus lekas dibagi dua sesuai hukum. Tak jarang mereka menjadi posesif terhadap cangkir-cangkir kopi, sangat gila soal pemanggang roti, dan terus mengoceh soal perkakas dapur lainnya. Satu hari akan penuh dengan aksi mengomel-omel di dapur, di ruang duduk, kamar tidur, bahkan pintu toilet.

Sebelum bertemu dengan Jaemin, Renjun kira ia akan menghabiskan sisa hidupnya dengan menyendiri—mengumpulkan gaji untuk investasi, berkeliling dunia, dan menyisakan sedikit dari itu untuk membiayai hidupnya selama di panti jompo. Ia percaya bahwa pernikahan tidak akan menambah apa pun dalam kehidupannya kecuali masalah.

Tapi, di sinilah ia sekarang. Hidup bersama suami dan juga seorang anak. Tidak pernah ada masalah yang kompleks dan menggiring migrain. Mana sudi ia kembali pada masa-masa penuh ketakutan itu?

“Sayang?” suara Jaemin membuatnya tersadar, ia mematikan kompor, gegas mengambil mitten dari kabinet dapur dan mengeluarkan satu loyang pizza kecil dari dalam oven.

“Wangi apa nih?” Jaemin berseru lagi, dari kisi-kisi jendela dapur, Renjun bisa mengintipnya tengah melepaskan sepatu. “Kamu masak apa?” Jaemin melongok masuk.

Alih-alih menjawab, Renjun malah berjalan ke arahnya, merentangkan tangan dan langsung disambut Jaemin dengan sebuah pelukan. Renjun tidak bisa bohong kalau bau tubuh Jaemin sepulang kerja bukanlah favoritnya; bau keringat, bawang, minyak goreng, dan parfum bercampur jadi satu.

“Masak surabi?” tanya Jaemin.

Renjun memukul bahunya pelan, “Ini pizza teflon.”

“Mekar banget, raginya kebanyakan ya?”

“Kayaknya gitu,” Renjun tertawa rikuh. “Happy anniversary,”

Jaemin balas tersenyum, “Happy anniversary juga, Sayang. Kamu masak spesial buat ini?”

“Iya, tapi yah ... biasa aja sih.”

“Aww ... manis banget,” Jaemin mengusap kepalanya, Renjun paling suka kalau kepalanya diusap, dielus, diacak-acak rambutnya. “Aku juga punya kado untuk kamu.”

Oh, dompet Di0r itu! Renjun berusaha memasang ekspresi setenang mungkin. Ia tidak ingin menggagalkan kejutan yang telah Jaemin susun untuknya. Renjun telah mendambakan dompet itu selama berbulan-bulan, tetapi tidak pernah membelinya karena merasa tak perlu. Mungkin ia pernah bercerita dan Jaemin menangkap itu sebagai kode, atau Jaemin memang peka untuk urusan semacam itu.

“Tutup matanya dong,” astaga, jantung Renjun berdebar-debar meskipun tahu apa yang akan disodorkan Jaemin untuknya.

“Apaan ...”

“Tutup dulu,”

Renjun memejamkan mata, mengulum senyum. Sejurus ia rasakan sesuatu di tangannya, sebuah kotak kecil terbuat dari plastik. Tunggu dulu, ini bukan yang ia temukan di laci tadi?

“Sekarang buka matanya,”

Renjun membuka mata, memerhatikan gantungan kunci dengan figur karakter Monster Inc. di tangannya. Jantung terasa copot, jika hadiah ulangtahun pernikahannya adalah gantungan kunci, lantas dompet di kamar tadi ...?

“Suka?” Tanya Jaemin, “Aku juga punya satu, jadi couple.”

Sebentar, sebentar. Apakah mereka punya hari penting lain? Hari jadi pacaran? Ah, tapi mereka tidak pernah pacaran. Jaemin melamarnya di hari pertama mereka berkenalan. Renjun bingung, jika memang untuk seseorang yang ia tahu, Jaemin pasti sudah mengabarinya dari kemarin-kemarin dan tidak perlu menyembunyikannya di lemari celana dalam.

“Sayang?”

“I-iya suka, aku ... kamu tahu aku suka banget sama Mike.”

Jaemin tersenyum cerah, “Syukurlah. Aku ganti baju dulu ya,”

Renjun duduk di depan meja makan. Dia tidak mempermasalahkan nilai barangnya, tapi untuk apa, untuk siapa, dan kenapa dompet itu ada jika bukan untuknya atau pun Jaemin? Sulit rasanya untuk berpikir positif ketika kepercayaan dirimu berada dalam batas terendah.

Apa ada orang lain? Tidak mungkin.

“Hadiah lanjutan,” sebuah tas kertas tersodor tiba-tiba. Itu dompet yang dilihatnya tadi siang.l

“Hah?” Renjun tidak mengerti. Kenapa?

Jaemin pada akhirnya meletakkan tas itu di atas meja, karena Renjun tak kunjung menerimanya. Laki-laki itu kembali mengusap puncak kepala Renjun dengan lembut.

“Buatku?” Tanya Renjun memastikan.

“Iya,” Jaemin mengangguk. “Memangnya ada orang lain lagi di sini?”

“Hah?”

“Dompet kamu katanya udah rusak, kan?”

“Aku kira kamu cuma kasih gantungan kunci doang...”

“Kan dompetnya di kamar, kuambil dulu. Aku umpetin sih, biar surprise. Kaget enggak?”

“Ini kamu beneran?”

“Ya beneran ...?”

“KAGET BANGET, YA ALLAH...” Renjun berseru lalu sedikit terisak; fusi antara kelegaan, haru, dan rasa terkejut. Ini adalah kejutan terburuk. Tapi untung saja hasilnya baik. Kalau genre bacaan, ini adalah angst with happy ending atau mungkin semacam plot-twist?

“Kamu suka banget ya? Sampe segitunya,”

Renjun pada akhirnya tidak bisa membendung tangis, semuanya turun meskipun tidak sedramatis adegan-adegan di sinetron TV. Ada perasaan bersalah karena menaruh kekhawatiran pada pernikahan mereka; pada suami sebaik Jaemin. Yang benar saja, Renjun?

Jaemin membungkuk, memeluknya erat dan mengecup puncak kepalanya sambil menyugar helaian rambut itu dengan jari. Renjun tidak tahu apakah cinta memang bisa memudar, dia tidak yakin kalau ia akan tahu bagaimana rasanya ketika memiliki Jaemin.

“Sayang, kok enggak pakai baju?” Renjun baru sadar kalau Jaemin dari tadi hanya mengenakan celana kolor oleh-oleh dari pangandaran yang kini merangkap jadi pakaian tidur.

Jaemin menarik tubuhnya menjauh, “Ah, iya. Aku baru mau tanya, kok lemari kosong banget? Kasur juga enggak ada seprainya. Pada ke mana?”

Renjun mereguk ludah, “Ah ... aku cuci semua ...”

Sepertinya metode menghilangkan rasa khawatirnya perlu diubah.

Seorang bocah berambut hitam melesat dari pintu depan, tungkai-tungkai mungil yang dibalut kaos kaki doraemon itu bergerak kencang, rambutnya masih basah, dan bedak coreng moreng di wajahnya. Jaemin menggelengkan kepala lalu merapikan sepatu anak itu di samping pintu.

“Kak Apid, Papanya mana?” seru Jaemin.

Read more...

“Bobonggg! Ayuu ... apih apah bobong!” Jaemin tertawa mendengar celotehan Andy pukul tujuh pagi. Anak itu tengah mengudap sekeping biskuit setelah terbangun dan menagih janji yang dibuat Jaemin kemarin malam; perihal piknik sederhana mereka dan acara bermain dengan kecebong di tepian danau. Sejak Renjun memperlihatkan tayangan dokumenter tentang berbagai satwa, antusiasme Andy untuk berjalan-jalan ke luar semakin tinggi saja. Rasanya tiada hari terlewat tanpa rengekan jika saja mereka berdiam di rumah seharian.

Read more...

Kepala pink itu akhirnya menoleh usai membaca pesan di ponsel, separuh wajah Renjun tersinari cahaya lampu taman yang terpasang di tiap sisi pagar. Laki-laki itu tengah duduk di atas hamparan rumput hijau imitasi, di hadapannya, Andy—mengenakan jaket tebal yang baru kali itu Jaemin lihat—tengah berlari-lari menangkap balon-balon gelembung bersama beberapa anak lain. Renjun jelas tidak mempersiapkan diri untuk kedatangan Jaemin; ia meletakkan pistol mainan yang meniupkan gelembung-gelembung itu dan bersiap untuk berdiri namun lesatan bocah kecil di hadapannya membuat Renjun urung.

“Apiiiiiiihh!!!” Andy berteriak begitu menyadari kedatangan Jaemin, dengan kaki-kaki kecilnya anak itu berlari dan membentangkan tangan lebar-lebar sambil tertawa, ketika Jaemin menggendongnya dalam satu tarikan, tawanya semakin keras kemudian dia menangis.

“Lho, kok nangis?” tanya Jaemin sambil tertawa, dia berjalan ke arah Renjun kemudian mengambil tempat duduk di samping laki-laki itu.

“Kangen kamu kayaknya,” jawab Renjun pelan. “Maaf bawa Andy sampe jam segini.”

“Karena dia kelihatan happy dan pakai baju hangat, enggak apa-apa sih,” Jaemin menepuk-nepuk pundak Andy dalam gendongan. “Tapi kamu kok malah nangkring di sini? Kenapa enggak langsung pulang?”

Renjun menggigit bibir bawah, “Aku tadi khilaf ...”

Jaemin tercenung sesaat. Khilaf tidak terdengar enak untuk dijadikan alasan kenapa Renjun begitu murung. Apa jangan-jangan—

“Aku belanja kebanyakan ...” kata Renjun lirih.

Beban berat serasa dicabut secara instan, Jaemin kira ada apa. “Belanja apa aja emang?”

“Banyak ... struknya aja sampe kayak ular, panjang. Aku belanja banyak banget, dari makanan sampe spatula baru. Aku jadi enggak enak aja, karena uang mingguan langsung habis. Padahal, maunya ada sisa. Ini mah boro-boro.” Renjun mengacak rambut karena kesal. “Aku enggak enak sama kamu karena aku boros.”

Jaemin melempar tawa yang ia tahu tak akan melukai Renjun, alih-alih memberikan rasa tenang, lega, dan memberi isyarat bahwa semua akan baik-baik saja . Semenjak Renjun memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan yang sudah jadi bagian hidupnya selama bertahun-tahun, Jaemin paham kalau suaminya itu memiliki pe-er besar sekarang. Ia perlu beradaptasi dalam urusan-urusan domestik seperti ini; berbelanja, mengurus anak, memasak, dan lain-lain. Dan kalau harus jujur, Renjun memang tidak selalu menjadi tipe yang cepat belajar. Terkadang ada beberapa hal yang perlu dilaluinya lewat proses kegagalan—membuat capcay yang seperti sayur sop contohnya—tapi tidak apa-apa. Pelan-pelan. Tidak terburu-buru. Renjun masih punya banyak waktu dan Jaemin akan selalu memberikannya semua itu.

“Uangnya habis?”

Renjun hanya mengangguk.

“Kenapa enggak pakai uang kamu kalau begitu? Jadi aku enggak tahu.”

“Bohong sama kamu dong,” dengus Renjun. “Aku kan enggak pernah bohongin kamu.”

Jaemin mengeratkan pegangannya di tubuh Andy, kemudian beringsut untuk memberi Renjun kecupan di pipi.

Nanaonan, malu!”

“Enggak ada yang lihat kok,” Jaemin menjulurkan lidah. “Pulang yuk, dingin nih. Nanti masuk angin.”

“Kamu enggak marah?”

“Enggak.”

“Kamu harusnya marah, harusnya kamu ada demand ke aku dong.”

“Namanya juga belajar, Yang. Tanpa aku minta sesuatu, kamu juga selalu kasih.” Jaemin beranjak lebih dulu, kemudian mengulurkan tangannya untuk membanti Renjun berdiri. “Lagian, habis ini, kamu pasti tahu kok ke depannya kamu harus gimana. Aku enggak mau dikte kamu yang macem-macem.”

“Berarti kita enggak jadi cerai, ya?”

“Ya Tuhan, siapa juga yang mau cerai?”

Jisung/Chenle ; Andy/David

summary:

yang istimewa akan selalu kalah dengan yang selalu ada. tapi david adalah keduanya.

__

“aku suka sama andy.” david berkata dengan mulut penuh cilok hingga pipinya membulat seperti hamster di jendela pet shop seberang sekolah. saus kacang menodai sudut bibir kirinya yang sedikit kering.

sebelah alis andy terjinjing naik, david sungguh aneh siang ini.

Read more...

Renjun merasakan perutnya seakan bergolak saat Jaemin membuka pintu garasi rumah mereka. Bukan artifisial, perasaan itu memang nyata dan membuatnya sedikit sesak. Aroma pengharum mobil mendadak menjadi hal yang paling ia benci, begitu memuakkan seakan menuntutnya untuk memuntahkan semua makan siang ditambah sarapan pagi yang mungkin sekarang dalam perjalanan menuju usus halus.

Ia membuka kunci, Jaemin dengan sigap membuka pintu mobil samping, melepaskan sabuk pengaman yang membelit tubuh anak mereka kemudian menggendongnya dalam sekali gerakan. Renjun belum beranjak, kepalanya pengar, dan ia kesulitan bernapas – kendati tidak dalam level yang kronis.

Samar-samar ia mendengar Andy tertawa dan berdeguk dalam gendongan Jaemin, mulutnya yang mungil menyerukan, “Pi…ipiii…ipiiii,” dalam jeda tawa.

“Sayang?” Jaemin membuka pintu, mengusap bahu, dan menyadarkannya dari lamunan (atau perasaan bingung karena sakitnya begitu mendadak).

Renjun mengangkat wajah, menatap Jaemin dan senyum itu tiba-tiba merekah begitu saja kendati rasa sakit tetap bercokol di kepala, dada, dan perutnya. Bertemu dengan Jaemin setelah lima hari tak bersua rupanya begitu menyenangkan, Renjun seolah kembali pada saat-saat pertama ia bertemu dengan Jaemin. Pada saat ia jatuh cinta dengan senyum dan juga tawanya, yang membuat darah terasa hendak menyembur lewat setiap pori-pori sekujur tubuhnya. Satu hari tak melihat Jaemin secara langsung rasanya seperti menyendiri selama satu dekade. Sial sekali kenapa ia harus sakit perut di hari penting seperti ini.

“Kamu enggak apa-apa?” Jaemin memerhatikan Renjun keluar dari mobil dengan cemas. Renjun makin merasa tidak enak karena membuat suaminya khawatir padahal perjalanannya pulang pastilah begitu melelahkan.

“Enggak apa-apa, agak puyeng aja soalnya tadi macet. Maaf ya pulang malem-malem, tadi hujan. Aku nunggu reda dulu. Takut nyetirnya.”

“Enggak apa-apa, yuk masuk.” Jaemin menggenggam tangannya dengan tangan kanan, sementara tangan kiri masih menggendong Andy. Anak itu meronta, ingin berpindah ke pelukan Renjun – ia memang selalu lebih dekat dengan Papanya – tapi laki-laki itu merasa tak punya tenaga. Dan Jaemin mengerti. “Aku bawa oleh-oleh banyak banget.”

Renjun hanya tersenyum, meremas tangan Jaemin pelan. Wajahnya sedikit merah, ia benar-benar seperti kembali pada episode romansa belianya.

Sepanjang perjalanan menuju ruang keluarga, Jaemin bercerita bagaimana ramainya Yogyakarta. Ia membeli banyak camilan, cukup untuk dibagikan ke tetangga dekat, orangtua, dan juga mertua, katanya. Renjun tidak menginterogasi Jaemin seputar detail makanan. Membayangkannya saja ogah, ide apapun tentang makanan membuatnya ingin muntah. Salahkan perutnya. Ia hanya diam dan memerhatikan bagaimana mata Jaemin bergerak-gerak dengan jenaka, lalu menyipit saat ia tertawa, kemudian menatapnya lunak.

Renjun sadar akan itu, jadi ia bertanya, “Kenapa?”

”You okay? Pucat banget, sayang.”

Renjun ingin sekali berkelit karena ia telah melanggar ucapan Jaemin tadi siang. Ia makan 2 porsi besar sayur daun singkong di rumah mertuanya, ditambah camilan sagon kelapa, tak heran jika lambungnya terasa akan meledak.

“Perut aku sakit… “ kata Renjun lirih. Ia harap Jaemin tidak tertawa atau marah. Sebab ia sedang tidak ingin diperlakukan demikian.

“Ya ampun… “ Jaemin menariknya dalam sebuah pelukan, tidak terlalu erat tapi cukup untuk membuatnya merasa sedikit tenang. Tangan besar itu mengusap-usap punggungnya pelan. “Mau ke dokter?”

“Enggak… minum mylanta aja, sama air anget.”

“Ya udah, ke kamar gih, ganti baju. Jangan mandi ya, nanti masuk angin. Nanti aku bawain obat sama airnya. Andy biar aku yang urus.”

“Tapi kan, kamu capek?”

“Aku udah tidur bentar kok, Sayang,” Jaemin mengecup kening Renjun, mengusap poninya ke belakang sekilas. “Tiduran ya, nanti aku samperin.”

“Aku bisa sendiri,”

“Iya, tahu. Tiduran ya? Nanti aku bawain.”

Saat Renjun menarik dirinya menjauh, Andy memberengut kemudian mulai menangis. Anak itu mengeluarkan sebuah raungan, menarik napas panjang dengan mulut terbuka lebar dan mata terpejam, lantas meraung lebih keras. Tangannya masih menggapai-gapai, hendak meraih Renjun tetapi Jaemin menariknya lebih dulu.

“Papanya lagi sakit, Andy sama Papi dulu, ya? Andy enggak kangen emangnya sama Papi?” Jaemin kini memegangnya dengan dua tangan, mengayun-ayunkannya sejenak. Renjun suka pemandangan ini. “Sama Papi dulu, ya? Papi kangen nih sama Jalu, ya?”

Andy masih belum berhenti menangis, seharian ini ia memang sedang manja-manjanya. Pada saat berkunjung ke rumah neneknya pun, ia enggan sulit turun dari gendongan Renjun. Sekalipun ketika lepas, ia akan mengekor ke manapun Papanya pergi bahkan pada saat pergi ke toilet. Hal ini sering terjadi dan cenderung fluktuatif, selaiknya orang dewasa, anak-anak memiliki mood yang tak bisa dikendalikan. Ada hari di mana Andy begitu ingin memonopoli Papinya, kemudian di hari yang lain ia mencari perhatian habis-habisan dari Papanya.

Renjun menyerah. Mengabaikan rasa sakit di perut, ia mengambil alih putra semata wayang mereka dari tangan Jaemin. “Sini, sini, aduh anak pinter lagi mau sama Papa aja ya?”

Jaemin masih menatapnya khawatir, alisnya mengernyit. Renjun menyentuhnya dengan ibu jari, memijat kerutan di antara alis itu dan terkekeh. “Jangan gitu dong mukanya, Pi.”

“Apa dia lupa sama aku ya, gara-gara lama ditinggal?”

Renjun memukulnya pelan, “Ya enggaklah! Emang lagi kumat aja nih manjanya, tadi pas di rumah bunda juga enggak mau lepas.”

“Kamu harus istirahat,”

“Abis bawa Andy bobo, deh. Ini dia rewel juga gara-gara ngantuk kayaknya,”

“Dia sedih, Papanya sakit,” Jaemin tersenyum. “Bandel sih Papanya. Pasti makan santan kebanyakan.”

“Salah Ibu kamu, kalau masak kok enak terus.”

Jaemin tidak membalas perkataannya lagi. Laki-laki itu memilih pergi ke habitatnya: dapur. Renjun memerhatikan sang suami melalui kisi-kisi jendela yang memisahkan ruang keluarga dengan dapur, laki-laki itu mengambil sebuah teko beling, mengisinya dengan air dari dispenser, kemudian memanaskannya di atas kompor. Di rumah mereka memang tidak ada dispenser listrik dengan air panas – dingin, untuk beberapa alasan yang tidak bisa disebutkan, Jaemin lebih pilih menaruh galon air di atas dispenser gerabah yang terbuat dari tanah liat. Ketika butuh air panas, ia akan menjerangnya secara manual. Lebih enak dan sehat, katanya. Renjun menilainya sama saja, tapi ia enggan memperdebatkan masalah sepele. Prinsip yang kukuh dipegangnya saat ia memutuskan untuk menjadi suami Jaemin adalah: berhenti membahas sesuatu yang akan membuat pasanganmu tersinggung dan tidak berdampak apa-apa pada kehidupan rumah tangga. Mendebat Jaemin soal keputusannya jelas tidak berujung pada hal yang lebih baik – sebab hal yang dilakukan suaminya pun tidak buruk, toh hanya perkara dispenser saja.

“Sayang, mau pakai teh?” seru Jaemin.

Renjun sulit berteriak, Andy tengah menyandarkan kepala ke bahunya dan memasukkan ibu jari ke mulut. Putranya kelelahan. Seharian penuh bermain dengan anjing peliharaan neneknya.

Jaemin menyembul dari dapur, “Mau pakai teh?” tanyanya lebih pelan sekarang.

Renjun menggeleng, Jaemin manggut sekali kemudian kembali ke dapur. Setelah yakin anaknya terlelap, Renjun menegakkan tubuh, memeluk tubuh kecil itu erat-erat. Andy memancarkan aroma keringat bocah dan matahari. Renjun tak sempat memandikan ataupun melapnya dengan air hangat, ia akan membalurnya dengan bedak sebelum mengganti pakaiannya dengan piyama.

Begitu sadar bahwa Andy memang benar-benar mengantuk, Renjun berjalan menuju bagian selatan rumah, tempat di mana kamarnya dan kamar Andy bersisian. Ruangan itu berukuran lumayan besar untuk diisi manusia sekecil Andy, tapi memang sengaja, agar ia tidak perlu meninggalkan kamar seiring dengan pertembuhan yang kelak dijalaninya di tahun-tahun mendatang. Renjun ingin Andy melihat berbagai fase hidupnya, melakukan perbandingan, kemudian menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Ah, betapa khayalannya akan masa depan anaknya itu selalu membawanya terbang terlalu jauh. Andy bahkan belum bisa pegang sendok dengan benar. Tempat tidur bayi diletakkan di salah satu sisi ruangan, rapat ke dinding bercat abu-abu muda dengan tempelan berbagai ilustrasi hewan. Monitor bayi ditaruh Jaemin di atas lemari sedang mainan dan perlengkapan lainnya diletakkan di sudut kamar.

Renjun menurunkan Andy dari gendongan, membaringkannya di atas kasur kasur kecil yang digelar di atas karpet. Tempatnya melap dan mengganti popok, “Sebentar ya, Papa ambil bedak sama baju tidurnya dulu,”

“Enggak… enggak…” Andy melafalkannya begitu jelas, ia merengek lagi.

“Sebentaaarr aja, ya? Kalau enggak pakai bedak nanti keringetan, nanti gatel-gatel lagi hiiiii nanti kulitnya Andy merah lagi kayak apa coba? Kayak apa? Bener, kayak plang forbidden.”

Renjun mendengar tawa tertahan dari ambang pintu, ia menoleh, Jaemin berdiri di sana dengan cangkir yang asapnya mengepul dan obat maag cair di genggaman.

“Perumpamaannya kok plang forbidden sih, Pa?”

“Kan merah, ya ‘kan Andy?”

Anak itu menatapnya, kemudian tergelak. Bayi memang aneh. Sedetik lalu ia menangis, di detik berikutnya tawa meledak begitu saja.

“Nah gitu dong, ketawa. Kan ganteng tuh. Sekarang pake bedak sama ganti baju, ya?”

“Biar aku aja yang ambilin,” Jaemin menyodorkan cangkir dan obat maag serta sendok takar obat. “Minum obatnya ya, sayang.”

Andy memekik senang, kedua kakinya menendang-nendang ke udara saat Jaemin membuka bajunya yang sudah bau keringat. Renjun kini duduk di sebuah kursi yang berada di samping jendela, menelan obatnya, dan merebahkan diri. Andy sekarang mulai berguling, Jaemin menahannya dengan satu tangan sementara tangannya yang lain dengan terampil membuka sebungkus tisu basah. Anak itu menjerit senang entah karena apa. Suaminya tertawa keras saat Andy tanpa sengaja memukul wajahnya sendiri karena ia tidak bisa berhenti bergerak. Renjun paling suka melihat senyuman Jaemin yang lebar – yang membuatnya jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi.

“Diem dulu sayangnya yaaa, diem dulu ya, nanti ketabok lagi lho,” bujuk Jaemin sambil melepas popoknya dan menggantinya dengan yang baru. “Andy besok mandi ya, hari ini pakai bedak aja enggak apa-apa soalnya kalau mandi nanti masuk angin.”

Usai mengganti popok, membalur bedak, dan mengganti pakaian, Jaemin menggendong Andy dan menepuk-nepuk punggungnya pelan. Ia bersenandung lagu-lagu anak yang liriknya repetitif. Tubuh lencirnya bergerak pelan mengitari ruangan, mengirimkan rasa nyaman bagi Andy.

Sejurus anak itu menguap, Renjun merasa lega. Perutnya – secara ajaib—terasa sedikit lebih baik.

Jaemin meletakkan Andy dengan perlahan di atas tempat tidur bayi lalu menyelimutinya dengan selimut bergambar keroppi. Jaemin kemudian memindahkan boneka Mike Wazowski dan mainan-mainan lainnya dari jangkauan Andy, berjaga-jaga akan kemungkinan SIDS yang selalu mengintai setiap bayi. Meskipun Andy sehat-sehat saja, tetapi tidak ada salahnya untuk waspada. Jaemin sedikit over protective memang. Renjun kadang memergokinya terjaga pukul tiga pagi, berjingkat ke kamar Andy untuk menghitung napas dan merapikan selimut. Mau bagaimana lagi, pria itu sangat menyayangi anaknya. Renjun merasa tidak perlu menghentikannya.

Renjun beranjak dari tempatnya duduk, berpindah ke kamar sebelah dan bergegas mengganti pakaian dengan piyama. Rasanya nyaman saat kain satin itu membelai kulitnya, begitu halus dan lembut. Sakit di kepalanya perlahan lenyap tetapi perutnya masih berbunyi dan Renjun bisa merasakan pergerakan gas di dalam lambungnya. Sungguh sangat mengganggu dan memalukan. Jaemin akan mendengarnya sepanjang malam. Tiga tahun menikah, Renjun bahkan kurang bisa buang angin dengan leluasa di depan suaminya sendiri.

Renjun berbaring menatap langit-langit kamar, kedua tangannya saling bertaut di atas perut. Nyanyian Jaemin di kamar sebelah sudah tak terdengar lagi, Renjun bisa mendengar langkah kakinya yang berat perlaha-lahan mendekat. Tempat tidur mereka bergerak, Jaemin merangkak kemudian berbaring di sebelahnya.

“Masih sakit?” tanyanya, sebelah siku bertelekan di atas kasur, telapak tangan menopang dagu.

Renjun mengangguk, masih merasa malu.

“Yakin enggak mau ke dokter?”

“Enggak usah, cuma kembung doang.”

“Perutnya mau aku usap-usap?”

Renjun tertawa, “Emangnya aku Andy?”

Jaemin tidak menggubris, tangannya bergerak menyibak piyama yang dikenakan Renjun kemudian mendaratkan telapak tangannya di sana. Renjun tertawa, rasanya geli namun lama-kelamaan ia merasa terbiasa. Usapan-usapan tangan Jaemin begitu pelan dan lembut. Ada kehangatan yang menancar, membuat perutnya terasa nyaman. Usai mengundurkan diri dari posisinya sebagai koki di restoran, tangan Jaemin kini terasa lebih halus. Kalus yang dulu selalu Renjun rasakan ketika mereka berpegangan tangan kini nyaris tak terasa.

Dulu Renjun kerap menakut-nakuti Jaemin akan kemungkinan otot-ototnya menghilang karena tak lagi mengangkat panci dan kuali besar, kemudian laki-laki Leo itu berseloroh, “Andy beratnya udah mau 12 kilo, lho. Jadi bapak rumah tangga masih bisa olahraga.” Lalu Renjun menciumnya.

Ah, iya. Ia belum mencium Jaemin hari ini, padahal itu sudah jadi agenda utama yang ia pikirkan sejak kemarin.

“Syukurlah, Andy enggak lupa sama aku.” Kata Jaemin.

“Ya enggak bakal lupa, kan videocall tiap hari.”

“Habis tadi nangis gitu, aku jadi parno kali aja muka aku berubah.”

Renjun beringsut, kini wajahnya berhadapan dengan Jaemin. Usapan di perutnya belum berhenti. “Iteman sih, Sayang. Kamu seminar di luar ruangan apa gimana?”

“Yogya panas, Sayang. Kalau makan siang kadang di luar, buffetnya digelar di taman hotel. Aku suka makan di bawah pohon sama beberapa kenalan.”

“Dih, enggak elit banget di bawah pohon. Jangan bilang sambil jongkok?”

“Ya enggak atuh, ada kursi sama mejanya.”

“Ati-ati kesambet, penunggunya marah.”

“Sayang, ghost is not exist.

“Enggak mau debat,” Renjun membekap mulut Jaemin pelan. Alih-alih diempas, telapak tangannya malah dikecup. Renjun menariknya kembali. “Aku baru sadar lho kalau rumah kita isinya canggih banget.”

“Canggih gimana?”

“Tempat cuci piring otomatis, pengatur suhu ruangan otomatis, lampu otomatis, bahkan tempat sampah otomatis.”

“Biar praktis, enggak repot.”

“Kamu pasti capek banget ya ngurus rumah selama ini,”

“Kemarin kamu capek?”

“Lumayan. Tapi seneng, soalnya ada Andy.”

“Ya, sama. Aku juga gitu. Tapi kamu juga kan capek ngantor. Di kantor enggak ada Andy pula.”

Renjun mengulum senyum, tersipu akan pujian tak langsung itu. “Andy gedenya cepet banget, aku inget pas pertama dibawa ke sini, dia kecil bangeeet. Aku megangnya aja takut. Sekarang udah ada rambutnya, udah bisa marah, bisa ketawa kenceng, bisa panggil Papa sama Papi, bisa tahu kalau aku bawa coklat. Kamu tahu enggak sih, dia bisa ngomong coklat lho sekarang.”

“Oh, ya? Kayak gimana?”

“Lucu banget, dia kuajarin bilang coklat tapi dia bilangnya kojat kojat mulu.”

Jaemin menahan tawa, khawatir suaranya membangunkan Andy, “Ya ampun gemes banget. Besok aku coba pancing pake puding coklat, ah.”

“Aku mau puding stroberi dong.”

“Ngajak berantem nih?”

“Ya udah, puding matcha kalau gitu.”

“Iya, besok aku bikinin. Kamu masih cuti kan?”

“Masih, kan aku kira kamu pulangnya lusa.”

“Asik, bisa leyeh-leyeh bertiga.”

“Beli lemariii!”

“Oh, iya! Makanya cepet sembuh ya,” Jaemin menjawil pipinya selama beberapa saat. “Jangan kalap lagi.”

“Iya, iya. Udah dong jangan dibahas.”

“Udah enakan?”

Renjun mengangguk, ia beringsut memperpendek jarak di antara mereka. Tangan Jaemin berhenti mengusap karena tak lagi leluasa. Lengannya kini menyelinap ke belakang kepala Renjun, menjadikannya sebagai bantal tambahan.

Tangan Renjun terulur kemudian menangkup sebelah wajah Jaemin dan ia mengelus pipi lelaki itu menggunakan ibu jari. Ia selalu suka saat-saat seperti ini, begitu intim dan romantis. Jaemin menunduk hingga kening mereka beradu, Renjun bisa menghidu aroma krim cukurnya yang masih begitu kentara.

Jaemin menciumnya seolah hendak menebus ciuman-ciuman yang tercuri selama lima hari ini. Renjun merasakan sensasi serupa yang membanjiri dirinya di malam pertama mereka berciuman. Hari ini, semua perasaan itu datang lagi. Ia teramat merindukan sentuhan Jaemin. Sangat menyenangkan.

Saat Jaemin menarik diri dari ciuman mereka yang kian lama kian berbahaya, ia menarik Renjun masuk ke dalam pelukannya semakin dalam. Mereka tak bicara selama beberapa saat, membiarkan keheningan diisi oleh detak jantung masing-masing. Jaemin mengecup puncak kepalanya, lalu berbisik, “Sayang, apa enggak sebaiknya kamu resign aja?”

Bagaimana Kutahu

Tahun terakhir di sekolah pascasarjana berarti pergolakan, tangis air mata, dan sakit pinggang yang mendera ketika merampungkan tesis. Haechan tidak bisa tidak setuju. Ia sudah duduk di kafe ini selama lebih dari setengah jam, menekuri alinea esai yang tengah ditulisnya, dan kali ini sudah masuk kali ke-lima dia menghapus dan menulis ulang kalimat yang diperdebatkan batinnya sendiri. Kepalanya pengar, rasa manis dari milkshake bisa membantu kendati sedikit. Haechan merebahkan punggung di kursi, membuka kunci ponselnya lagi, menjelajah ke kotak pesan, twitter, kemudian instagram, dan dia berhenti di situ. Bulatan-bulatan dengan lis warna pelangi berjajar di layar atas ponselnya, Haechan menekan satu yang paling awal, mengamati cerita-cerita yang dibagi temannya di sana. Sekiranya dimuat cukup lama—karena wi-fi gratis di kafe ini terkadang menyebalkan—maka Haechan akan menggesernya ke kiri, beralih ke cerita lain.

Banyak hal baru, tapi tak ada satupun yang menarik. Isi cerita instagram Renjun tidak pernah jauh dari tangkapan layar yang diambil dari profil artist lain di instagram, dan Haechan tahu, orang-orang yang disebut Renjun dalam ceritanya pun melakukan hal yang sama. mereka gemar mempromosikan karya satu sama lain kepada para pengikutnya. Milik jaemin biasanya terdiri dari lima sampai tujuh cerita perhari: lanskap, lanskap, lanskap, Renjun, hasil masakannya, lanskap lagi. Sedang Mark jarang sekali menulis cerita. Paling-paling soal musik baru yang didengarnya dari radio.

Lalu di tengah keasyikannya, sebuah notifikasi mencuat di puncak layar. Kalimat jeno.lee_23 started following you muncul selama beberapa detik kemudian lesap. Haechan nyaris mengeluarkan suara saat ia menghela napas.

Lee Jeno. Jeno. Si bodoh dengan mata yang membentuk lengkung bulan sabit ketika ia tertawa. Seorang teman lama yang ingin Haechan hapus jejak-jejaknya dari ingatan. Selama lima tahun terakhir ini Haechan hanya mampu menghapus namanya dari daftar kontak, menghapus dari ingatan terlalu sulit.

Haechan menahan diri untuk tidak membuka profilnya, apalagi mengikutinya balik. Jantungnya berdegup lebih kencang dari lima menit yang lalu. Ponsel itu ia kunci dan letakkan di samping laptop, ia perlu berpikir jernih.

Haechan memandang ke luar jendela, mencoba mengalihkan pikirannya sejenak. Langit yang semula dipenuhi warna kini gelap, tak ada bintang yang menggantung sebab kilapnya bersaing dengan gemerlap kota di malam hari. Musim panas sudah sampai pada penghujungnya, tapi orang-orang masih ramai berlalu lalang mengenakan pakaian cerah dengan ornamen yang akan selalu mengingatkan Haechan pada sapuan ombak, siuran angin, matahari yang membakar kulit, dan sialnya, Jeno. Sebab pertemuan terakhirnya dengan lelaki itu terjadi di musim panas.

Notifikasi lain kembali muncul, ia kira itu layanan pesan singkat dari operator telepon, tetapi, jeno.lee23 liked your post. jeno.lee23 liked your post. jeno.lee23 liked your post. jeno.lee23 liked your post. jeno.lee23 liked your post. jeno.lee23 liked your post. jeno.lee23 liked your post. jeno.lee23 liked your post. Kalimat itu muncul berulang-ulang tiap kali Haechan menyisihkannya dengan ibu jari. Ia tidak mengerti kenapa Jeno melakukan semua ini. Menghilang kemudian muncul kembali. Secara artifisial maupun tidak.

Ia balik mengamati pelataran kafe dari balik jendela, berharap wajah orang yang dikenalnya — bisa Jaemin atau Renjun, mereka sering berkunjung ke sini — menyembul dari kerumunan orang dan lekas-lekas membebaskannya dari sepi. Namun sejauh yang ia lihat, hanya orang asing yang berada di luar sana. Akan tetapi, sekonyong-konyong, jantungnya terasa berhenti berdetak. Bak menemukan sesuatu yang tengah mengintip dari celah pagu di malam hari. Mengundang rasa penasaran sekaligus takut.

Di salah satu kursi di luar sana, empat orang lelaki duduk mengelilingi meja bundar, dan salahsatunya tengah menekuri ponsel dengan senyum lebar. Meskipun tak pernah melihat wajahnya selama separuh windu, tetapi jejak-jejaknya memang selalu tersimpan jauh di sudut kamar dalam dada Haechan. Kadang-kadang mereka menyelinap lewat mimpi dan itu adalah yang paling Haechan benci. Maka tentu saja, setelah bertahun-tahun tak bersua, Haechan bisa tahu kalau lelaki itu adalah Jeno. Dan yang tengah dipandangnya dalam ponsel, bisa saja profil instagram Haechan.

jeno.lee_23 wants to send you a message.

Jeno adalah badai, datang mendadak hanya untuk mengacaukan langit jernih di hati Haechan. Kedatangannya tak dapat diprediksi dan entah apa pula yang hendak ia sampaikan pada Haechan melalui pesan di instagram. Di luar sana, Jeno tengah berbincang dengan seorang teman yang belum pernah Haechan lihat sebelumnya, mungkin ia boyong dari Australia atau entah belahan bumi yang mana. Dan entah kenapa, melihat Jeno sedemikian bahagia membuat Haechan merasa lega.

Ia putuskan untuk kembali mengalihkan pikiran pada tesis yang tengah ia tulis, toh dari gelagatnya, Jeno sebentar lagi akan pergi bersama teman-temannya itu. Tidak mungkin ia yang berjingkat pergi keluar dari tempat ini, karena kesempatannya untuk berpapasan dengan Jeno begitu tinggi jika ia melakukannya.

“Haechan-ah?” Haechan menoleh secara spontan, menyesali dua pilihan terakhir dalam hidupnya yang baru saja ia buat. Memutuskan untuk tinggal dan juga menoleh ketika namanya dipanggil.

“Benar-benar kamu rupanya!” Jeno berseru, suaranya tidak berubah. Haechan tidak tahu harus berbuat apa, otot wajahnya kaku, ia tidak biasa melihat Jeno dengan latar Seoul setelah lelaki itu meninggalkan tempat ini selama bertahun-tahun. Ia balas tersenyum, sedikit memaksa tertawa karena ia pikir itu diperlukan.

“Lucu banget karena barusan aku follow instagram kamu,” aku Jeno.

“O-oh? Aku belum cek, nanti aku follow back.”

“Apa kabar?”

Pertanyaan itu begitu singkat, namun Haechan perlu waktu, banyak sekali waktu, untuk memilih jawabannya. Apa kabar? Keadaan yang mana yang sebenarnya ia tanyakan? Apakah kabarnya sekarang? Atau selama lima tahun terakhir sejak mereka tak lagi saling melihat? Setelah debat kusir panjang di dalam kepalanya, Haechan memutuskan untuk menjawab, “Baik. Kamu kapan balik ke sini?”

“Baru tadi malam,” Jeno mengulas senyum. Dia selalu tersenyum. “Aku tadi iseng pengin datang ke sini, karena dulu kita suka bikin tugas bareng di sini kan. Kamu ingat? Di bangku ini juga.”

Haechan tercekat. Tidak ingat. Atau lebih tepatnya tidak pernah sadar? Sebelum ataupun setelah Jeno pergi, spot ini selalu jadi favoritnya. Tidak adil kalau Jeno main klaim begitu saja.

“Haha, iya aku inget. Kuliah kamu selesai?”

“Yap. Tapi aku tetep tinggal di Perth, aku pulang karena ada urusan.”

“Nggak mau balik ke sini?”

Jeno tertawa, “Aduh, mau lah. Tapi nggak sekarang. Aku udah ada kerjaan juga di sana.”

“Oh, ya? Kerja apaan sekarang?”

“Industri tekstil, kantoran kok.”

“Eh? Kok jauh banget. Kukira kamu bakal jadi teknisi IT atau apa gitu.”

“Takdir kan memang begitu, awalnya A jadinya B. Bisa juga jadi Z.”

“Nggak capek berdiri terus?” Haechan mendorong kursi di depannya dengan ujung kaki.

Jeno duduk, lalu memandang ke luar dan tersenyum sekilas. “Kan, kayak dulu.”

Haechan ingin sekali menyiram wajah teman lamanya itu dengan segelas air. Mendengarnya mengulang-ulang frasa seperti dulu membuatnya jengkel. Karena mau tidak mau, Haechan mereka ulang semua hal itu dalam memorinya. Bagaimana ia dan Jeno menghabiskan sore untuk mengerjakan tugas-tugas kala SMA, memesan sepiring kentang goreng dan milkshake untuk berdua karena uang jajan keduanya tak cukup, membicarakan teman sekelas, membangun mimpi-mimpi tak masuk akal. Dan semua itu berakhir ketika Jeno memutuskan untuk melanjutkan studi di Australia dan pilihan itu diambilnya tanpa berdiskusi dengan Haechan.

Keputusan yang Jeno ambil saat itu umpama petir di siang bolong; tanpa pertanda, tiada tedeng aling-aling, langsung terlontar dari mulutnya begitu mereka menyelesaikan makan siang. Ah, dan Haechan baru sadar. Hari itu, percakapan mereka berlangsung di sini. Jeno beralasan, ia tidak mau mempermalukan dirinya dengan mengatakan rencananya pada Haechan sebelum ia mendapat surat rekomendasi, karena ketika ia gagal, ia tidak ingin Haechan tahu. Tapi bagi Haechan, tetap saja hal itu membuatnya kecewa. Bukankah teman dekat seharusnya saling berbagi?

Akan tetapi, binar matanya saat ia memberitahukan kelulusannya itu masih terpeta jelas di benak Haechan. Ada rasa senang, sedih, dan cemburu. Dan pada saat itu ia sadar bahwa dirinya menyukai Jeno lebih dari sekadar teman.

Usaha yang ia bangun selama tiga tahun lebih untuk mengabaikan Jeno dari ingatan nyatanya dengan mudah runtuh. Tiba-tiba saja, kenangan yang dimilikinya tentang Jeno sekental kopi yang ia minum tiap pagi.

“Kamu lagi ngerjain apa?” tanya Jeno, ia baru saja menerima pesanannya, take out.

“Tesis.”

“Wah, lanjut S2?”

“Iya, habis cari kerja susah. Aku sekolah lagi dulu aja.”

“Kamu masih sering ngobrol sama Jaemin? Renjun?”

“Masih. Mereka S2 di tempat yang sama juga.”

“Aku udah lama nggak kontakan sama kalian. Kalian masih bareng-bareng terus selama tujuh tahun.”

“Susah ngatur jam, ya?” Haechan memendar tawa.

Alasan lain kenapa ia tidak pernah banyak bicara dengan Jeno, ya, karena memang dia merasa sesak. Lalu seiring berjalannya waktu — seolah memang natural untuk terjadi — ia mulai sibuk, pun Jeno. Mereka memiliki kehidupan baru, teman baru, dan petualangan-petualangan baru di mana keduanya tak terlibat satu sama lain.

“Oh, aku baru cek instagram Jaemin sama Renjun. Mereka beneran nikah?”

Haechan menjengitkan alis untuk kemudian terkekeh, “Iya lah beneran. Itu ada fotonya.”

“Ah … I see.”

“Kamu pikir cowok sama cowok nggak bisa nikah?”

“Bukan begitu, kaget aja karena ternyata jodoh mereka deket. Aku nggak ngira sama sekali mereka bakalan nikah.”

“Aku tahu,” jawab Haechan, ia mengelap permukaan meja yang basah dengan tisu sebelum mengenai laptopnya. “Dari SMA, Renjun suka Jaemin kok.”

“Renjun cerita?”

“Nggak. Aku tahu sendiri.”

“Tahu dari mana?”

“Tatapan matanya beda.

“Beda?”

“Renjun kalau lihat Jaemin, beda. Terus kalau kamu perhatiin, dia nggak pernah marah ke Jaemin dari dulu.”

“Lah kamu tapi sadar nggak kalau waktu SMA, aku pernah naksir kamu?”

Jemari Haechan berhenti bergerak di atas tombol keyboard, ia mendongak, menemukan mata Jeno yang tengah memandangnya santai. Lelaki itu tidak punya praduga sama sekali bahwa napas Haechan tiba-tiba tersendat dan hingga paru-parunya terasa bengkak.

“Hah?”

“Iya, aku naksir kamu dari kelas 2.”

“Ng-nggak.”

“Memangnya tatapan aku ke kamu nggak sama kayak Renjun ke Jaemin ya?”

Bagaimana mungkin ia tahu?

“Gimana aku bisa tahu?”

“Kamu bilang kamu bisa tahu tatapannya Renjun.”

“Tetep aja, aku nggak bisa menduga itu kalau dari kamu.”

Jeno menggaruk belakang tengkuk, mulai menyadari bahwa topik ini mungkin tidak diperlukan. “Yah, cinta monyet.”

Haechan ingin mengutuknya. Tapi diam-diam, ada sesuatu yang mekar di dalam dadanya. Mungkin, perasaan berharap atau andai-andai.

“Kamu kapan nyusul Jaemin sama Renjun?” tanya Jeno separuh bercanda.

“Kamu dulu lah yang susul mereka.” Balas Haechan.

“Bentar lagi.”

“Ya?”

“Aku kirim kamu pesan di instagram, habisnya aku nggak punya kontak kamu selain itu,” Jeno melirik jam di pergelangan tangannya, lalu melempar pandang ke luar jendela lagi. “Aku kirim undangan pernikahanku. Aku cuma undang beberapa orang aja, jadi kalau sempat, datang ya?”

“Kamu beneran nikah?!” Suara Haechan meninggi, kejutan hari ini terlalu banyak.

“Kamu pikir cowok sama cowok nggak bisa nikah?” Jeno menirukan gaya bicara Haechan beberapa menit lalu.

“Kamu nikah sama cowok?”

“Iya. Aku pacaran sama dia udah dua tahun.”

“O-oh … congrats.”

“Ah, aku udah ditungguin. Bales DMku ya, kita ngobrol lagi sebelum aku balik ke Australia.” Jeno beranjak, mengambil pesanannya dan melambaikan tangan sebelum ia pergi.

“Oke. Call.” Haechan memerhatikan punggungnya yang semakin bidang, pergi menjauh dan menghilang di balik pintu. Matanya masih mengikuti Jeno saat lelaki itu keluar kafe, berjalan ke arah teman-temannya dan saat Haechan hendak kembali pada laptop — atau mungkin lamunan-lamunannya — Jeno menoleh, melambaikan tangannya sekali lagi.

Haechan menarik napas dalam-dalam. Layar laptopnya menjadi tak terbaca. Tidak pernah ia menduga bahwa ia akan tiba pada fase terjebak antara sesal dan andai.

Jika saja, waktu itu, Jeno mengatakan semua ini lebih awal atau jika saja ia menyatakan perasaannya, apakah akhir cerita mereka akan berbeda?

Terkadang, momen-momen mengesankan dalam hidup justru terjadi tanpa rencana: mendapat boneka sapi super besar dari permainan menembak di pasar malam (yang dilakukan atas rasa penasaran); mendapatkan potongan harga tujuh puluh persen di toko kelontong karena hari itu mereka memberikan hadiah bagi pelanggan ke-1000 yang membayar barang secara tunai di kasir; Haechan bertemu dengan laki-laki yang kini menjadi pacarnya saat tak sengaja bertubrukan di kolam renang umum—yang mana berpengaruh pada situasi yang dialaminya sekarang ini.

Dia menunggu di area showroom, furnitur dapur. Goodluck, jagoan!

Alis Renjun menjengit saat membaca pesan terakhir yang Haechan tulis untuknya, jagoan, sejak bergaul dengan Jeno — pacarnya tadi — dia seringkali melontarkan frasa-frasa yang kadang terlalu konyol untuk didengar atau bahkan dibaca. Beberapa detik berikutnya, ponselnya mati. Renjun menggelengkan kepala dengan cepat lalu mengembuskan napas berat. Ia memasukan ponselnya kembali ke dalam saku parka dan mengambil selembar pamflet dari salah satu rak yang ia datangi, kakinya tanpa sadar melangkah ke arah barat, menginjak lantai dengan panah putih yang janggalnya terasa ia lalui berulang kali.

Renjun berjalan sambil sesekali mengedarkan pandang, ke deretan lampu, boneka, rak kecil, atau ke beberapa orang dengan ciri rambut coklat, hidung mancung, bibir tipis, dan tinggi badan di atasnya. Ia melirik jam tangan, sudah ada empat puluh lima menit ia berjalan mengelilingi tempat ini dan orang yang dicarinya tak kunjung terlihat.

Hari Sabtu berarti jadwalnya untuk berbaring di atas tempat tidur, mendengarkan lagu, dan menonton video-video konyol di douyin; menikmati hari libur dengan senarai kegiatan tanpa faedah. Kali ini, ia sengaja meluangkan waktu untuk pergi ke IKEA, membeli beberapa perabotan untuk apartemen barunya. Sekalian mengusir perasaan sakit hati yang parah setelah ditinggal menikah oleh mantan kekasihnya beberapa minggu lalu. Laki-laki itu, pada akhirnya memilih menikahi wanita tapi konyolnya, pernikahan mereka dilangsungkan di Taiwan — yang mana sudah menerima pernikahan sesama jenis — jadi Renjun tidak mengerti kenapa ia tidak dipilih dan malah ditinggalkan. Toh, orangtua mereka sudah sama-sama tahu. Mungkin memang dia lebih suka perempuan atau entahlah. Renjun enggan mengingat-ingat. Ia selalu menjalani hari-hari pasca tragedi itu dengan wajah tenang kendati hatinya remuk redam.

Saat ia menceritakan rencana belanja perabotnya pada Haechan, sahabatnya itu langsung menyambar dengan sebuah usul yakni, Renjun harus berbelanja bersama salah satu teman Jeno. “Dia bisa diandalkan!” Imbuhnya saat itu.

Renjun sempat menolak dengan mengatakan bahwa dia sedang tidak ingin berinteraksi dengan siapapun dan mengakrabkan diri dengan orang asing itu benar-benar menyusahkan. Tapi Haechan menuduhnya hanya beralasan dan tidak menghargai usaha orang. Renjun tidak mengerti usaha siapa yang tengah dibicarakannya. Dan, usaha dalam hal apa?

Mencari area yang ditunjukkan Haechan saja lumayan sulit apalagi sekalian mencari orang. Ditambah, Haechan tidak pernah memberi foto atau nama lengkapnya, ia hanya mengatakan ciri-cirinya saja. Sengaja, biar jadi kejutan, katanya. Renjun kurang suka kejutan.

Dan sampai sekarang Renjun tidak paham mengapa dia menurutinya begitu saja.

Renjun masih berjalan menyusuri lorong lengang, merasa seakan-akan ia adalah manusia terakhir di muka bumi. Sendirian di tengah deretan rak yang menjulang. Ia ingin sekali lanjut berbelanja sendiri kemudian meninggalkan tempat ini dan mengatakan pada Haechan kalau ada urusan yang mendadak harus ia lakukan, tapi baterai ponselnya habis dan ia pun tidak membawa pengisi daya. Akan tetapi, Renjun pun tidak tahu bagaimana cara keluar dari tempat ini karena sepertinya ia tersesat.

Baiklah, satu keliling lagi dan jika orang itu tidak ditemukan di manapun, ia akan berjingkat pergi — mencari jalan keluar — tak peduli jika Haechan meneriakinya nanti.

Tinggi, hidung mancung, bibir tipis, rambut coklat. Sial. Semua orang di Korea Selatan nyaris seperti itu.

Renjun sudah berada di area — yang ia duga sebagai — dapur, ia tidak melihat barang yang ia inginkan ataupun lelaki dengan ciri-ciri demikian. Ia menduduki sebuah sofa linen, pinggangnya merasa nyaman saat ia bersandar di sana. Ia coba menyalakan ponselnya sekali lagi, berharap baterainya terisi secara ajaib, namun barang itu tak kunjung menyala kendati tombol daya-nya ditekan berulang kali. Lalu ia kembali mengangkat wajah, mendapati seorang laki-laki berdiri di samping meja bundar besar tengah memegang ponsel. Laki-laki itu mengangkat ponsel setinggi wajah, mencuri lihat ke arahnya dan balik melihat ponselnya. Hal itu dilakukannya lebih dari tiga kali.

Aneh. Yang seperti ini jelas orang aneh.

Dia menyunggingkan bibir, memberi senyum tipis yang Renjun tampik jauh-jauh. Mungkin memang orang aneh, atau orang iseng, atau sedang melakukan tantangan di internet, dan mungkin saja ia tersenyum pada orang lain bukan padanya. Ini adalah pelajaran dasar bagi setiap umat manusia: jangan berinteraksi dengan orang yang bahkan tidak kauketahui warna matanya.

Renjun pikir ia tengah mengada-ada; bahwa lelaki itu mulai berjalan menghampirinya, tetapi lama-kelamaan jarak antara mereka semakin menyempit hingga hanya dipisahkan satu petak ubin. Renjun kembali mendongak, laki-laki itu masih mengangkat ponsel dan menilik wajahnya dengan alis bertaut. Sejurus, senyumnya mengembang.

“Renjun?” suaranya serak, agak dalam, di luar dugaan. Pikiran Renjun kemudian melayap pada ciri tinggi, berambut coklat, hidung mancung, dan bibir tipis. Laki-laki ini cocok dengan semua itu, kecuali beberapa ekstra.

Ekstra. Haechan tidak cerita kalau dia memiliki banyak tindikan di telinga dan juga tato, dan dia memakai selop tanpa kaos kaki, di awal musim semi. Diam-diam ia mengutuk Haechan. Jeno dan Haechan sudah berpacaran lebih dari setahun dan dia tidak pernah sekalipun bercerita kalau Jeno punya teman yang sangat menawan.

Renjun adalah tipe yang suka menempelkan stiker. Bemper mobilnya memang polos, tapi ada pernak-pernik imut menggantung di kaca spion, juga mainan yang kepalanya bergerak-gerak ketika mobil tengah melaju; di cangkang iPadnya penuh tempelan gambar. Tapi, ia tidak pernah, dan tidak akan mau menempelkan gambar apapun di atas kulit, lebih-lebih jika permanen.

“Er … ya?” jangan bilang, dia adalah teman Jeno yang akan menemaninya berbelanja perabotan rumah. “Jaemin?”

“Ah! Benar ternyata!” Jaemin berseru riang. “Ya, Na Jaemin.” Ia meraih tangan Renjun dan menjabatnya erat.

Renjun masih terkejut dengan semua ini, tapi ia berhasil mengendalikan diri untuk membalas keramahannya dengan remasan sederhana saat mereka berjabat tangan. “Menunggu lama?”

“Tidak terlalu,” Jaemin melepas pegangannya di tangan Renjun. “Untung aku ke area showroom ruang tamu, tadi aku menunggumu di area dapur.”

Renjun mengernyit, “Ini area dapur.”

Jaemin menyipitkan mata lalu tersenyum menyeringai, “Kurasa bukan. Aku yakin tidak akan ada yang menyimpan sofa empuk di dapur.”

“Aku akan jadi orang pertama yang melakukannya.”

“Aku tidak menyarankan,” Jaemin tertawa. “Um … IKEA virgin?”

“Sori?”

“Itu julukan untuk orang yang baru pertama kali mendatangi IKEA.”

“O-oh, ya, kurasa. Kau?”

“Jelas bukan.”

Jaemin mulai menginisiasi langkah pertama untuk keluar dari area tersebut, pikiran Renjun menerawang ke mana pria ini akan mengajaknya pergi.

“Apa Haechan memaksamu untuk membantuku?” tanya Renjun.

“Tidak. Kebetulan, aku juga ada urusan pekerjaan.” Jaemin mengeluarkan buku catatan kecil dari tas selempangnya dan sebuah pena dengan cangkang coklat mengilap, ia membuka halaman pertama — yang sepertinya berisikan daftar belanjaan — kemudian menilik barang-barang yang ada di sekitar mereka. Sesekali dia menggumam sendiri atau bersenandung, suaranya biasa-biasa saja, tapi Renjun bisa hafal beberapa lagu yang ia nyanyikan. Sepertinya mereka berbagi selera musik yang mirip-mirip dan berada dalam garis usia yang sama.

“Kau juga mencari sesuatu?” Renjun bertanya lagi.

“Mm-hm … pesanan orang.” ia menulis sesuatu di bukunya. Tulisannya juga biasa-biasa saja, tidak mirip tulisan dalam buku doa dengan tujuh jepitan perak yang dilihatnya dalam pameran buku tahun lalu.

“Kau jadi penjual tangan kedua untuk perabotan?”

“Bukan.”

“Lalu?” Renjun enggan menebak-nebak, sebaiknya bertanya langsung. Menilik penampilannya, dia seperti seorang … apa ya? Pekerjaan macam apa yang dandanannya nyentrik seperti itu?

“Arsitek.”

“Hah?”

“Arsitek.”

“Yang benar?”

“Aku sedang tidak bawa kartu nama, tapi, kau bisa mempercayaiku.”

“Wow, tanpa bermaksud kasar atau menyinggung tapi, kau pergi bekerja … seperti ini? Memangnya boleh?”

Jaemin tertawa. “Sebenarnya itu menyinggung — “

“Oh, sori, aku — “

“Tapi jawabannya tentu saja tidak. Ini hari libur. Sesekali perlu menjadi diri sendiri, kan?”

Renjun terkekeh melihat sebelah alis Jaemin yang naik. “Kukira kau seorang disjoki atau semacamnya.”

“Aku tidak berbakat di bidang itu.”

“Pernah coba?”

Jaemin menggeleng, matanya menyipit ketika membaca sesuatu yang tercetak di label kuning. “Tidak pernah berminat.”

“Apa arsitek juga memilihkan perabotan?”

“Kadang-kadang. Tapi, sedikit selingkuh dari pekerjaanku, yang ini hanya hobi. Aku suka menata furnitur,” Jaemin meliriknya. “Haechan bilang, temannya juga sedang memilih perabotan. Jadi aku rasa berbelanja bersama seorang teman bisa jadi ide yang bagus, tapi, maaf kalau aku jadi mengganggu hari liburmu seperti ini.”

“Nah, aku bisa libur kapan saja kok. Aku berniat libur lagi di hari Rabu.”

“Begitu ...” Jaemin memberikan tanda centang di ujung halaman lalu menutup buku dan mengembalikannya kembali ke dalam tas. “Bukan hari yang biasa untuk libur.” kata Jaemin.

Renjun menenggelamkan kedua tangannya ke dalam saku celana, “Aku kerja di rumah. Hanya pekerjaan kekanakan kalau orang bilang.” Dia sedikit benci untuk menahan napas ketika berbicara dengan Jaemin. Tapi memang orang ini enak dipandang. Kepalanya pening.

“Haechan tidak bilang begitu padaku,” Jaemin mengulum senyum.

“Apa yang dia katakan?”

“Kau merakit miniatur.”

“Ya memang.”

“Seperti apa?”

“Model pesawat terbang, tank, dan kapal tempur. Itu spesialisasiku. Aku tidak merakit gundam, by the way.”

Mata Jaemin membulat, “Jadi memang ada pekerjaan seperti itu?” kemudian, seakan sadar akan pertanyaanya yang kurang sopan, Jaemin membekap mulutnya sendiri. “Sori, aku tidak—“

“Oke, kita impas. Tidak apa-apa,” Renjun mengibaskan sebelah tangannya, tertawa kecil alih-alih tersinggung. Pria ini benar-benar lucu.

“Bukankah kesenangan membeli miniatur seperti itu adalah saat kau merakitnya sendiri?”

“Tidak semua orang suka melakukannya. Aku suka.”

“Keren.”

“Biasa saja kok. Pekerjaanmu jauh lebih keren,” mereka mulai melemparkan pujian satu sama lain, dan Renjun makin merasa lucu.

“Di sebelah mananya?” Jaemin mengatakannya dengan nada yang dinaikkan, membuatnya terdengar sangat menyedihkan secara berlebihan.

“Membuat rumah untuk orang lain, kurasa itu keren.”

“Nah, terkadang orang-orang yang banyak maunya itu bisa sangat menjengkelkan. Misalnya, mereka minta tangga yang berbunyi seperti piano tiap kali diinjak, atau rumah dengan banyak kaca tetapi tidak panas. Meskipun malas dan agak mustahil, ya terpaksa harus kuusahakan. Minimalnya 80 persen mendekati harapan.”

“Kau seperti jin kalau begitu,”

“Jin?” alis Jaemin terjinjing naik.

“Mengabulkan keinginan?”

“Astaga, aku tidak keluar dari dalam botol untungnya,” Jaemin menggiringnya menuju sebuah lorong, “Sebelah sini.”

Ruangan ini sangat besar dan sengaja dipetak-petak menjadi beberapa bagian, masing-masing dibuat ruang tanpa dinding. Ketika Jaemin membawanya ke area khusus furnitur dapur, dia tidak pernah membayangkan bentuknya akan seperti ini. Dia seperti diajak berkeliling ke dapur-dapur orang lain. Beberapa keluarga terlihat mengitari salahsatu dapur buatan dan bertingkah seolah itu adalah milik mereka sendiri. Barangkali terbawa suasana, karena Renjun pun begitu.

Dia juga baru sadar akan mudahnya percakapan dibangun ketika bersama Jaemin. Renjun mengakui bahwa dirinya bukanlah orang yang gampang bersosialisasi terlebih lagi jika hanya berdua saja seperti ini. Barangkali karena tindak-tanduk Jaemin menarik bagi Renjun atau mungkin karena hal lain yang belum bisa ia jabarkan.

Jaemin kembali mengeluarkan catatannya dan berjalan menuju satu dapur, Renjun mengekorinya. “Haechan bilang kau juga mencari beberapa perabotan untuk dapur, ya?” tanya Jaemin sembari menilik konter yang berjejer.

“Uh-huh.”

“Bagus. Karena kebetulan PR-ku banyak sekali untuk urusan dapur,” kian lama senyum Jaemin semakin lebar, Renjun tak melihat tanda-tanda canggung lagi di wajahnya seperti di menit-menit awal mereka bicara. “Jadi bisa sekalian.”

Tetapi senyuman itu malah membuatnya canggung alih-alih rileks. Renjun mencoba mengalihkan perhatian dengan menyentuh setiap barang yang ia lewati, menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, dan mengecek ponsel yang mati. Entah apa yang ia cek; layar ponsel itu hitam karena kehabisan daya. Ketika dia akan memasukkan ponsel ke dalam saku untuk yang ketiga kalinya, dia menjatuhkannya. Ponsel miliknya membuat debam kecil di linoleum yang membuat Jaemin sadar lalu menoleh ke arahnya. Mata Jaemin kemudian jatuh pada ponsel di dekat kaki meja dan ia langsung membungkuk, memungutnya.

“Ya Tuhan, ponselmu mati.” Katanya.

Renjun tergelak, “Baterainya memang habis,”

“Oh ... kupikir gara-gara jatuh,”

Renjun memberinya tatapan terimakasih dan masih berusaha untuk rileks, tapi demi Tuhan, kakinya pegal.

“Renjun,” Jaemin memanggilnya, dia mendongak. “Apa kau suka ini?” Jaemin menunjuk sebuah keranjang susun yang ditempel di dinding. Keranjang susun itu memang cantik, polanya minimalis dan tampak kokoh. Akan tetapi, tinggi susunan keranjang itu nyaris sepantar dengan kepala Jaemin, malah lebih tinggi. Bakal jadi masalah buat dirinya sendiri kelak.

“Tidak.”

“Kalau ini bagaimana?” kali ini lelaki itu menunjuk shelving unit yang lebih sederhana dan pendek.

“Aku rasa oke.”

Jaemin menunjuk banyak barang dan meminta persetujuan Renjun, setelahnya dia akan mengecek label harga untuk melihat lokasi produk; nomor rak dan bagiannya. Dia akan mencatatnya untuk diserahkan pada petugas toko nanti.

Satu jam berlalu tanpa Renjun sadari, pegal di kakinya belum berangsur-angsur membaik. Dia berjalan agak lambat dan Jaemin nampaknya menyadari hal itu. Lelaki berambut coklat itu sengaja memperlambat langkahnya juga dan mencoba untuk mencairkan suasana dengan sedikit bermain-main.

“Renjun,” entah sudah berapa kali namanya dilesatkan melalui suara itu. “Kupu-kupu dalam bahasa spanyol, Rimforsa.” Jaemin memegang sebuah keranjang kayu dengan label Rimforsa.

Renjun memutar bola matanya, “Itu Mariposa, Jaemin.”

Jaemin tergelak, “Oh, don’t call my name, don’t call my name, Allehanda.” Dia menyanyikan satu baris lagu Lady Gaga sembari memegang mangkuk pengaduk kue.

“Alejandro.”

You’re so sensuell, Renjun.” Pada kalimat ini, Renjun bisa paham bahwa Jaemin hanya membuat plesetan kata Sensual dengan merek peralatan masak, tapi dia merasa sedikit senang untuk yang satu ini.

“Hentikan, kau konyol sekali,” Renjun mengurut kening sambil menahan kikik geli di tenggorokannya. “Aku tidak tahu kalau kau suka bercanda.”

“Memang tidak,” Jaemin kembali menggantungkan satu panci besar di dinding dan mencatat nomor rak di kertas lagi. “Hanya pada saat-saat tertentu dan orang-orang tertentu.”

Apa laki-laki ini sedang merayunya? Mana mungkin.

Apalagi di menit ke-lima setelah kalimat candaan itu mulai lenyap dalam benaknya, Renjun baru menyadari bahwa di salah satu jari Jaemin terselip cincin perak tanpa ornamen yang membuatnya tetap spesial. Cincin kawin atau cincin tunangan atau cincin yang pasti sepasang dengan milik pacarnya, memangnya apa lagi.

Siapa sangka dia bisa memupus ingatan perihal mantan pacarnya dalam sekejap kemudian kembali mengingatnya dalam hitungan waktu yang tidak terduga pula. Ingin mengatakan semua laki-laki sama saja, tapi toh dia laki-laki juga. Lagipula, Jaemin memang tidak benar-benar merayunya kok.

“Menghabiskan waktu untuk berbelanja perabotan, terlebih lagi untuk orang lain. Apa tidak sayang?” tanya Renjun.

“Tidak juga. Aku punya banyak waktu luang,”

“Tidak menghabiskannya bersama keluarga?” Renjun mulai mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan pancingan. Ia hanya perlu tahu, demi Tuhan. Untuk keperluan sains.

“Ayah dan Ibuku baru pindah ke Sincheon-dong bulan lalu, jadi —” Jaemin mengedikkan bahu.

“Istrimu atau mungkin dengan pacarmu?”

“Hah? Apa Haechan dan Jeno tidak memberitahumu bahwa aku—oh,” Jaemin mengangkat tangan kirinya. “Ini bukan apa-apa.” seolah bisa membaca pikiran Renjun, Jaemin memberikan penjelasan singkat mengenai cincinnya.

“Bagaimana mungkin itu bukan apa-apa?” senyum Renjun terasa getir.

“Tidak, sungguh. Di usia segini, aku mulai direcoki pertanyaan soal pasangan terutama di tempat kerja. Tentu saja aku belum ada di usia wajib menikah, kau tahu. Tapi orang-orang selalu ingin bertanya soal itu.”

“Jadi?”

“Jadi aku beli cincin bohongan.”

“Apa kau mengatakan ini pada orang tertentu saja?”

“Hanya pada orang yang curiga, seperti dirimu,” Jaemin mengedipkan sebelah matanya, jantung Renjun seperti hendak ditarik keluar. “Dan omong-omong, aku gay. Kau keberatan?”

“Tentu saja tidak. Aku juga sama.”

“Wah, syukurlah!”

Apa laki-laki ini sedang merayunya? Mungkin saja.

Lagi-lagi terperangkap dalam kesenyapan yang begitu kontras dengan riuhnya pengunjung toko. Pembicaraan mengenai orientasi seksual memang bukanlah hal yang ringan meskipun cuma selewat, meskipun sudah bukan menjadi hal yang ditutup-tutupi. Seharusnya dia merasa sedikit senang akan pengakuan Jaemin, serius, dia punya hak untuk berbahagia barang sebentar saja.

“IKEA membuatku linglung.” cetus Renjun. Ia tidak suka kesenyapan di antara mereka.

Sudut-sudut mata Jaemin mengerut ketika dia tersenyum, “Tetapi bagiku dan juga mungkin kebanyakan orang, tempat ini seperti hutan modern yang menyenangkan. Kau tersesat tetapi kau bahagia,”

“Oh, yang benar saja,”

“Aku bilang kan untuk beberapa.”

“Terlalu banyak barang, sulit untuk menentukan pilihan.”

“Karena itu sebaiknya kau membuat daftarmu sendiri. Mereka punya katalog kok.”

“Aku tidak akrab dengan barang-barang begini dan ngomong-ngomong, nanti yang memasang barang-barang tadi di dapurku siapa? Aku tidak bisa melakukannya. Aku mahir menyusun barang-barang dengan skala satu banding tiga ratus tapi kalau yang besar begini, jangan harap.”

“Mereka punya pekerja yang bisa dimintai tolong untuk memasangkannya. Jangan khawatir.”

“Barang ini bagus,” Renjun menunjuk sebuah panci dengan polesan cat kuning.

“Yang itu bisa diambil langsung.”

“Aku tidak harus mencatatnya lagi?”

“Hanya perlu kau ingat-ingat saja. Labelnya merah.”

“Apa artinya?”

“Artinya bisa kau ambil sendiri di lantai bawah.”

“Kau tahu banyak.”

“Pengalaman.”

Mereka bertukar senyum. Jaemin sudah berlagak seperti pegawai IKEA karena ia tahu banyak hal tentang toko ini.

Jaemin menuliskan nama barang terakhir di lembaran yang dipegangnya lalu menguap. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu, tetapi Renjun tak yakin. Tanpa sepatah kata pun, Jaemin berjalan meninggalkan area dapur; menuju lantai bawah tempat di mana Renjun bisa mengambil perabotan kecil yang ia inginkan lalu setelahnya mereka berjalan menuju tempat pembayaran.

Betapa waktu berjalan begitu cepat ketika kita sedang terlibat dalam situasi menyenangkan. Renjun agak menyayangkan hal ini. seandainya saja ia pergi ke IKEA dari pagi hari.

Di tengah perjalanan, sekonyong-konyong Jaemin berhenti dan berjalan menghampiri Renjun—sebab Renjun berjalan begitu lambat dan jarak di antara mereka menjadi sangat jauh.

“Jam berapa?” Jaemin menunjuk jam di pergelangan tangan Renjun menggunakan matanya.

“Delapan, kenapa?”

Satu setengah jam sebelum toko tutup. “Setelah ini kau ada urusan lain?”

“Tidak. Mungkin aku akan pulang dan memasang rak yang baru kubeli tadi.”

Jaemin menggaruk pelipisnya, senyumnya agak kaku. “Er, apa kau tahu kalau IKEA juga punya restoran? Aku rasa belum terlambat untuk mengajakmu makan malam.”

Apa pria ini sedang merayunya? Sepertinya begitu.

“Aku tak yakin, makan malam di rumah sepertinya lebih menyenangkan. Kudengar makanan di restoran IKEA tidak terlalu enak.”

“Memang sih, rasa kopinya juga biasa-biasa saja.” Alis Jaemin turun, senyumnya kini pudar alih-alih, senyum Renjun kian lebar. Pipinya agak sakit.

“Aku ingin mengundangmu makan malam, jika belum terlambat. Sekalian coba panci baru ini.”

Jaemin terlihat menarik napas lega. Semoga saja. “Aku akan membantumu memasang raknya, sebagai balas budi.”

Ledakan Cahaya pada Pangkal Bulan Maret – Pt.4

Kiriman ke-dua dari Jaemin telah datang, tepat sebulan sejak dus sepatu bekas itu mampir di kotak surat Hendery. Selembar kartu berimbuh potret hasil jepretannya sendiri dengan bubuhan tanggal dan sekelumit pesan.

18 April, Prizren, Kosovo

Përshëndetje!

Saat kau menerima kartu ini, mungkin aku sudah berangkat ke Sarajevo naik pesawat (baru dapat hasil berburu diskon awal tahun ini). Saat menulis ini, aku sedang haus dan mampir ke kedai jus terdekat, papan namanya lucu, kaulihat sendiri. Warnanya kuning.

Aku beli rasa mangga, segar sekali. Apa jus favoritmu?

Semoga harimu menyegarkan juga, Renjun. Sampai bertemu lagi.

Salam,

Na Jaemin

Renjun membaca kartu itu sembari merapikan isi lemari es. Mengeluarkan makanan yang sudah lewat masa kedaluwarsanya dan menggantinya dengan yang baru.

Lagi-lagi Jaemin tidak meninggalkan kontak; nomor telepon atau minimalnya alamat surel. Renjun tidak tahu kenapa Jaemin harus mengirim foto itu lewat pos, padahal dia bisa menelepon ketimbang membuang uang untuk perangko. Toh, panggilan lintas negara tak lagi memerlukan sambungan telepon yang mahal. Dia bisa menghubunginya pakai whatsapp atau skype, jika perlu, Renjun akan menerobos blokade menggunakan VPN. Dengan begitu mereka bisa terus bicara, Jaemin bisa memamerkan foto sebanyak apapun yang ia mau dan Renjun bisa menanggapi balik alih-alih mengandalkan pengiriman kartu pos yang seperti siput ngantuk.

Renjun mengambil sebuah magnet berbentuk saturnus, menempel kartu pos itu di pintu kulkas dan menuang jus stroberi ke gelas kaca—mengurungkan niat menyeduh teh.

*

1 Mei, Mostar, Bosnia

Zdravo!

Sebenarnya aku hanya singgah di sini untuk transit, tetapi ingin lekas menulis sesuatu untukmu. Aku baru sadar kalau aku bodoh sekali. Aku sampai lupa menanyakan ini di hari pertama kita bertemu: Renjun, apa warna favoritmu?

P.S. foto ini diambil pada tanggal 23 April, di hari ulang tahun sahabatku, tapi percayalah aku memang sengaja memotret ini untukmu.

Salam,

Na Jaemin

“Bagaimana reaksimu saat melihat warna pertama kalinya?” Renjun bertanya pada Hendery yang tengah mencoba menyambungkan kembali gagang sapu yang patah menggunakan lem putih sementara ia duduk di ranjang, memindahkan saluran televisi dengan asal.

“Kau tahu betul seperti apa.”

“Haha yeah, kau menyuruhku untuk mencubitmu berulang kali. Tapi Xiaojun malah menempeleng kepalamu.”

“Fantastik. Itu saja yang bisa kukatakan.”

“Warna apa yang pertama menarik perhatianmu?”

“Merah muda.”

“Kenapa?”

“Apa kau perlu alasan ketika menyukai sesuatu?”

Renjun mengangkat pundak, “Dalam beberapa hal, iya. Tapi kau benar, urusan warna favorit tidak perlu alasan. Kau melihatnya, kau suka. Sederhana sekali.”

“Bagaimana denganmu? Warna apa yang menarik perhatianmu untuk pertama kali?”

“Aku belum tahu … semuanya menarik. Mungkin harus tunggu sampai bosan dulu.” Renjun memandang ke luar jendela, mendapati matanya terarah ke barat. “Oh, iya. Tanggal berapa sekarang?”

“Tujuh belas.”

“Gila, kartu posnya makan waktu lebih dari dua minggu.”

“Itu masih mending,” dengus Hendery. Tangkai sapu yang dia lumuri dengan lem tampak begitu menyedihkan. “Lumayan cepat malah.”

“Tapi kan, ini hanya selembar kartu.”

“Justru karena hanya selembar kartu, duh. Bisa saja hilang entah ke mana karena hanya selembar.”

“Konyol sekali, dia sudah dua kali mengajukan pertanyaan di kartu-kartu ini, tapi dia tidak memberiku jalan untuk membalas.”

“Menurutmu dia sengaja?”

“Tentu saja, aku tidak mengerti apa yang ada di dalam kepalanya.”

“Apa kartu-kartu itu mengganggumu?” pada poin ini, Hendery sudah membanting sapunya ke muka pintu, menjadikannya belah dari dua menjadi tiga bagian.

Renjun terkikik geli, “Sejauh ini, tidak. Aku bahkan tidak menantikannya. Tapi aku memang tidak mengerti, untuk apa dia melakukan ini.”

“Dia kaya?”

“Sepertinya begitu. Dia punya usaha sendiri, bukan pegawai. Dia bisa berkeliling dunia. Tiket pesawat itu kan tidak murah.”

“Aaah, kudengar dari kolegaku, orang kaya memang biasa punya hobi yang aneh-aneh.”

“Seperti apa?”

Hendery naik ke atas ranjang, berbaring di sisi Renjun dan menatap layar televisi di kamarnya dengan bosan. Tayangan masak lagi.

“Menonton video kucing kawin misalnya.”

Wajah Renjun mengerut sesaat lalu menyengih, “Kau serius?”

“Kolegaku itu yang bilang.”

“Kurasa Jaemin tidak punya waktu nonton video kucing kawin dan dia sepertinya bukan orang kucing.”

“Well, siapa yang tahu? Mungkin saat di dalam pesawat, dia melakukannya juga.”

Gross. Jangan memberi tuduhan-tuduhan bodoh padanya.” Renjun memendar tawa. “Mungkin dia hanya kesepian dan butuh bercerita.”

Kali ini giliran Hendery yang tertawa meremehkan, “Lewat kartu pos yang tak mau dibalas? Yang benar saja. Pasangan jiwamu itu aneh, akuilah. Sebenarnya tidak heran karena kau juga aneh. Oh, aneh di sini tidak bermaksud buruk, tahu sendiri lah maksudku apa.”

“Bagaimana hubunganmu dengan pasangan jiwamu?”

“Kami baik-baik saja, sebenarnya … kami kembali berkencan seminggu yang lalu.”

Renjun menatapnya tak percaya lalu mengeluarkan tawa tertahan, “Si bajingan satu ini, waktu itu kau bilang padaku ketertarikan pada pasangan jiwa itu cuma mitos!”

“Aku … ah kurasa aku tidak berada di posisi yang tepat untuk menyangkal itu sekarang,” Hendery melanjutkan, “Tapi aku tidak bisa memercayai sepenuhnya juga. Aku menyukai gadis itu sebagai pribadinya sendiri, bahkan, kalaupun dia bukan pasangan jiwaku, aku akan tetap menyukainya. Tapi aku harus jujur, embel-embel pasangan jiwa ini memang membantu. Minimalnya membantu dia yakin kalau aku pria yang pantas.”

*

6 Mei, Makarska, Kroasia

Zdravo

Aku ingin berselancar, tapi ombak di sini sangat tenang. Bahkan kurasa perahu kertas tidak akan rusak jika dibiarkan berlayar sendiri. Sepertinya aku salah alamat. Apa kau tahu caranya melipat perahu kertas, Renjun? Ajari aku, mungkin suatu saat aku memerlukannya untuk mengusir kekecewaan seperti hari ini.

Sampai kita bertemu lagi,

Na Jaemin

Da ge! Bisa ke sini sebentar?”

Renjun menyelipkan kartu pos Jaemin di saku belakang, lekas menghampiri Chenle—calon karyawan baru yang sedang dalam masa pelatihan selama seminggu terakhir—di depan tempat penggorengan. Minyak bersibaran ke dinding dapur, sedikit lebih banyak dari biasanya dan anak itu terlihat berdiri di pojok ruangan, tubuhnya terlihat lebih kecil karena terbungkuk-bungkuk.

Da ge, babinya mengamuk!”

Renjun memutar bola mata, “Kalau begitu, jinakkan.” Renjun mengangkat jaring penggorengan, minyak memancit kulit tangannya seperti sengatan tawon tapi lekas mereda karena telah terbiasa. “Berapa kali kubilang, apinya jangan terlalu besar, minyaknya jangan terlalu panas, seka air pada daging sampai kering sebelum kau memasukkannya.”

“Aku lupa soal temperaturnya …”

“Tidak apa-apa, lain kali hati-hati.” Renjun menatap onggokan daging babi di penggorengan, masih bisa dijadikan bahan untuk sup. Syukurlah. “Itu kenapa ponimu mencuat dari topi?”

“Apa harus kumasukkan ke dalam topi?”

“Kaupikir apa fungsi topi itu, Chenle?” Renjun tertawa gemas. Antara ingin marah dan juga menganggapnya manis.

“Identitas kalau aku adalah staf dapur?”

“Supaya rambutmu tidak ke mana-mana, anak pintar.” Renjun memastikan Chenle menyadari satir dalam ucapannya.

“Tapi aku akan terlihat jelek.”

“Kau hanya bekerja dengan panci-panci itu, tidak akan ada yang menghinamu.”

“Justru karena aku bekerja dengan panci, aku bisa berkaca.”

“Kau terlihat tampan, percaya padaku.” Renjun menyingkirkan bongkahan daging besar dari penggorengan, menaruhnya di sebuah alas kayu besar dan mengambil sebilah pisau rajang dari laci. “Ambil daging baru, gorenglah lagi. Aku akan mengawasimu kali ini.”

“Lalu siapa yang bertugas di depan?”

“Pamanku dan Xiaoping. Originalnya, aku ini staf dapur. Lihat topiku?”

“Kaubilang topi itu untuk melindungi agar rambut tidak jatuh ke mana-mana.”

“Dan sebagai identitas staf dapur, seperti yang kaubilang.”

“Berhenti menggodaku,” sergah Chenle. “Segini cukup?”

Renjun mengamati nyala api di bawah penggorengan. “Kecilkan lagi.”

“Segini?”

“Ya, cukup.” Renjun menyobek kulit daging yang gosong, membuangnya ke sebuah keranjang kecil. Dengan telaten ia memotong daging besar itu menjadi bentuk yang lebih kecil—kira-kira sebesar ibu jari—dengan cepat. “Hei, Lele. Apa kau tahu cara melipat perahu kertas?”

“Aku bahkan bisa melipat bintang, melipat perahu itu kecil.

Renjun menarik lengkung tipis di bibir, “Ajari aku kalau begitu.”

*

18 Mei, Venesia, Italia

Ciao!

Aku akan singgah agak lama di Venesia sekalian mengunjungi teman lama. Tempat ini mungkin terdengar sangat umum, ya? Tapi aku suka warna biru airnya, haha. Mengingatkanku pada coretan di dahimu sewaktu holi. Aku sedang dipaksa makan semifreddo, nih. Enak sekali. Renjun, apa restoran tempatmu bekerja juga menjual panganan manis? Aku ingin mencobanya suatu hari.

Sampai berjumpa kembali,

Na Jaemin

Renjun tidak langsung pulang dari restoran meskipun papan bertuliskan tutup itu telah dibalik di jendela. Ia membawa serta laptopnya ke tempat kerja hari ini, pamannya minta untuk dibuatkan tampilan menu baru seperti milik restoran kebanyakan; ada gambar, deskripsi, dan berlembar-lembar. Kini mereka duduk di sebuah meja kosong, mengudap makanan sisa dan menyulut sigaret.

“Teman lamaku datang berkunjung tempo hari, kau ingat? Pria gemuk yang tangannya buntat-buntat itu? Yang menyisir rambutnya ke samping padahal tinggal secuir? Masa, dia menyengih saat melihat kertas-kertas menu itu. Katanya, restoran kita terlalu kuno dan yang seperti itu hanya buang-buang pulpen saja karena kita harus menyediakan untuk setiap meja. Kukatakan padanya, buang-buang pulpen apa? Toh mereka cuma menconteng. Nah, bayangkan, katanya, kalau pulpen-pulpen itu dicuri oleh setiap tamu yang datang—mahasiswa kere sudah jelas jadi tersangka utama—maka berapa banyak kerugian yang mesti kita tanggung?

Awalnya, aku tidak memedulikan perkataan bodohnya itu. Dia itu terlalu sering berprasangka buruk pada orang, makanya bibirnya selalu melengkung ke bawah, menukik seperti pesawat kertas butut. Tapi beberapa hari kemudian, aku pergi makan di restoran cepat saji yang menjual ayam goreng itu, kulihat mereka memajang menu di papan lampu LED di atas meja kasir. Aku ingin yang seperti itu, tapi menu kita tidak akan muat di sana. Kita kan tidak seperti mereka yang cuma modal jual ayam goreng tepung saja, daftar makanan kita lebih kaya dari itu. Lalu, aku dan bibimu pergi makan malam di sebuah restoran yang dari tampilannya sih biasa-biasa saja. Tapi Junjun, mereka memberikan menu dengan sampul yang dilaminasi, tiap halamannya pun dilaminasi tapi kertasnya lebih tipis. Kami jadi terbayang mau makan apa. Si pelayan memberi kami sebuah kertas untuk ditulis, ketika kami selesai menulis pesanan, dia datang dan menagih menu, kertas tadi, dan juga pulpennya. Aku membayangkan membuat yang seperti itu untuk restoran kita, lalu tahu tidak bibimu bilang apa? Dia bilang itu brilian. Bayangkan, bibimu yang biasanya cuma mengomel tentang lipatan perutku akhirnya memujiku.”

“Jadi pada akhirnya kau membenarkan ucapan temanmu?” sahut Renjun sambil membuka laman baidu, mengetik referensi tampilan menu di kolom pencarian dan menekan tombol enter.

“Harus kuakui, ya memang dia benar.”

“Tapi kau tetap keluar modal pulpen tuh.”

“Tapi kan, mengurangi risiko pulpennya dicuri kalau bisa ditagih begitu.”

“Pakai menu yang sekarang juga bisa, kau tagih kembali pulpennya begitu mereka selesai menconteng.”

Wǒde mā ya… kenapa tidak terpkir olehku?”

Renjun terkekeh, “Tapi tidak apa-apa, buku menu itu bagus, jadi lebih menarik. Lagipula, bibi sudah setuju.”

“Memang menguntungkan sekali ada anak muda di restoranku. Wah, lihat, lihat yang ini.” pamannya menunjuk sebuah gambar di layar.

“Semua pegawaimu masih muda, justru aku yang paling tua di sini.”

“Ei, justru karena mereka terlalu muda. Mereka tidak sepandai kau.”

“Kau terlalu memujiku, paman.”

“Apa salahnya memuji keponakan sendiri?” Pamannya tertawa, gelambir di bawah dagunya berguncang senang. “Kau berbakat di bidang ini.”

“Bidang apa? Membuat menu?”

“Mengelola restoran lah.”

“Ah, aku hanya bekerja sebagaimana mestinya.”

“Apa menu ini bisa dicetak besok?”

“Tentu tidak,” Renjun mengulum senyum. “Kita harus memotret semua makanan di sini, minimal satu induk untuk yang memiliki varian. Kau mau menunya bergambar, kan?”

“Kau bisa memotret?”

Renjun mendadak teringat Jaemin. Ia menggeleng pelan. “Tidak terlalu bagus.”

“Kalau digambar, bagaimana?”

“Siapa yang akan menggambarnya?”

“Kau lah.”

Asap kretek menyentak rongga hidungnya, Renjun terbatuk.

“Aiyah, kalau tidak bisa merokok, jangan lakukan. Kakekku di alam baka pasti sedih melihat buyutnya begini payah.”

“Kau mengagetkanku.”

“Dengan apa? Dari tadi aku hanya duduk di sini.”

“Dengan menyuruhku menggambar.”

“Eh, gambarmu itu bagus, tahu tidak?”

“Tanganku bisa keriting kalau harus menggambar sebanyak itu,” Renjun tertawa. Jumlah makanannya puluhan dan tema kuliner jelas bukan keahliannya. “Besok aku suruh Chenle yang mengambil gambar, anak itu lebih paham urusan beginian ketimbang aku.”

Renjun menyimpan gambar-gambar pilihan pamannya pada sebuah folder baru yang tak ia ganti namanya, sengaja supaya mudah ditemukan. Setelah menunya selesai nanti, baru folder itu akan dihapusnya. “Paman, apa kita tidak menjual panganan manis?”

“Kita ini restoran daging, buat apa jual panganan manis?”

“Yah, siapa tahu ada yang mau cuci mulut dengan hongdoutang?”

“Kau mengada-ada saja!”

*

28 Mei, Venesia, Italia

Ciao!

Aku masih di sini, tapi besok tidak. Sesuatu terjadi di Seoul, aku harus menghentikan ekspedisi ini sementara.

See you later,

Na Jaemin

Renjun memberengut. Tidak ada pertanyaan dan masih tidak ada jalan untuk membalas pesannya. Sekarang bulan Juni, tanggal 20. Musim panas sudah dimulai, tidak ada lagi mekar bunga anggrek di balkon apartemen. Kartu posnya datang terlambat, tidak akurat.

*

“Junjun!” Pamannya berseru di meja kasir, Renjun masih menuang kuah sup tahu putih ke mangkuk kecil, berlomba dengan pengunjung yang semakin riuh. “Junjun!” suara itu kembali terdengar, Renjun terpaksa menyuruh Chenle mengambil alih tugasnya sebentar.

“Kenapa teriak-teria—”

“Renjun!”

Tenaga Renjun terkuras, berlepasan ke udara hanya karena sebuah wajah.