bakuroou

KuroTsuki: Seesaw Kuroo Tetsurou x Tsukishima Kei

Trigger Warning: Mild Implicit Sexual Scene, Implied Bullying and Violence, Cheating but not really.


Menurutnya, nama Tsukishima Kei tak pernah merujuk dengan kata 'cantik'.

Si rambut blonde tak pernah menghabiskan waktu lama di depan cermin kamarnya untuk menatap diri. Tubuh kurus tinggi dan kulit pucatnya tak pernah menarik perhatiannya. Bajunya dipakai asal tanpa mempedulikan warnanya. Rambutnya juga tak sulit diatur, cukup disisir ke satu arah dan ia siap untuk keluar rumah.

Begitu; Tsukishima tak peduli dengan penampilan dirinya sendiri.

Sampai suatu hari kakak kelas SMA-nya dengan sok akrab mengajaknya keluar di jam istirahat. Tsukishima yang risih diperhatikan teman-temannya yang lain karena si kakak kelas itu lumayan populer tak mau banyak bertanya. Ia menurut saja. Walau dalam hati cemas. Kakinya mengikuti langkah si kakak kelas, tapi kepalanya sibuk mereka-reka.

Apa ia pernah tanpa sengaja menyinggung kakak kelasnya karena tampang judesnya ini? Apa mungkin Tsukishima pernah disapa tapi tak membalasnya karena telinga yang tersumpal headphone?

Kukunya menekan kulitnya lihat langkahnya kini menuju belakang gedung sekolah. Sepi. Ia bahkan tak pernah menginjakkan kakinya ke area ini selama setengah tahun bersekolah disini.

Ah, apa ia akan dibuat babak belur disini? Apa background story yang dialami tokoh utama komik yang pernah dibacanya akan terjadi di kehidupannya? Apa cuma enam bulan saja ia menikmati kehidupan SMA-nya yang nyaman?

Matanya menatap punggung kakak kelas di depannya.

Jentik basah diujung rambut legamnya membuat Tsukishima berasumsi si kakak kelasnya ini baru saja selesai dengan pelajaran olahraganya. Agak aneh. Keringat tak tercium sama sekali. Sengat matahari yang tercampur wangi sabun cuci tangan di kamar mandi pria malah mengudara.

Tubuh yang lebih tua lurus tegap dengan pundak yang meregang kain baju olahraganya. Tubuhnya terlihat keras. Dilihat sekilas saja sudah jelas Tsukishima kalah soal kekuatan. Tinggi tubuhnya tak membantu sama sekali.

Matanya membulat besar saat lelaki di depannya tiba-tiba berhenti untuk berbalik.

Pandangan Tsukishima di balik cermin matanya ditantang oleh mata yang coklat cerah, sewarna dengan daun ginkgo yang gugur di bawah sepatunya.

'Oh, sekarang musim gugur, ya?'

“I like you.”

'Tapi, kenapa Kuroo Tetsurou melihatnya seakan musim semi telah tiba?'

Begitu; Akhirnya Tsukishima Kei peduli dengan pantulannya di cermin.

“You are so pretty.”

Suara lelaki itu terdengar sangat percaya diri. Seakan sedang membaca teori tak terbantahkan bahwa bumi itu bulat. Ditambah Kuroo mengatakannya setidaknya dua kali sehari, bagaimana Tsukishima tak merasa penasaran apa yang dilihat Kuroo pada wajahnya?

Hari ini dua minggu dan Tsukishima belum memberikan jawabannya. Hari ini, Kuroo dengan berani menyentuh pipinya dengan ibu jarinya.

“You have tiny freckles here,” Kuroo tersenyum, jadikan krim melon di pinggir bibir Tsukishima jadi jalur permisi untuk memegang tulang pipinya, “cantik.”

Tsukishima memandang wajahnya 5 menit lebih lama setelah mencuci wajahnya di malam hari. Ia mendekatkan dirinya pada refleksi di cermin, menelusuri apa-apa yang sekiranya buat Kuroo bilang bahwa ia cantik.

Pemuda itu diam duduki wastafel kamar mandinya. Merasa kesal tiap detik berlalu.

Apa yang cantik? Mananya yang cantik?

Akhirnya, Tsukishima dibuat penasaran dengan jawabannya. Makin hari, Tsukishima memandang lebih lama dirinya di depan cermin. Tsukishima Kei mulai menghabiskan banyak waktu untuk memilih bajunya. Ia juga mencoba beberapa kali mengganti gaya rambutnya walau tak berhasil. Lambat laun, raknya makin dipenuhi oleh produk kecantikan. Tujuannya untuk memuaskan dirinya. Untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa apa yang Kuroo katakan benar.

Tsukishima Kei cantik.

Jerawat kecil yang ada di bawah dagunya menghilang dan Kuroo Tetsurou mengelusnya tepat disana, dengan takjub berkata _’perasaan aku aja atau kamu makin cantik? Jerawat kamu yang ada disini hilang.’

Kalimat sederhana Kuroo terasa menyenangkan di telinganya. Kepercayaan diri yang tadinya tak pernah menampakkan diri tiba-tiba membanjiri dadanya dengan riuh. Tsukishima tercengang, pandangi Kuroo di depannya.

Begitu sadar, Kuroo sudah menerobos spasi pribadinya. Menatapnya yang tadi terbengong karena terpaku pada getar di dada.

Kemudian hatinya berdegup kencang dipandangi lebih dekat oleh si kakak kelas yang pahanya menempel dengan miliknya. Kuroo bertanya dengan enteng namun tiga tingkat lebih serius daripada berkali-kali ajakannya yang lalu,

”Mau jadi pacarku?”

Dan kali ini jawaban Tsukishima yang terasa menyenangkan di telinga Kuroo.

-

“Kamu gak ada niat jadi model, Kei?” adalah hal kedua yang diutarakannya pada sang kekasih setelah pertama kalinya mereka menanjak langkah selanjutnya yang lebih dewasa dalam hubungan mereka.

Hal pertama adalah, “sakit gak Kei?” yang dijawab pukulan tak pelan di paha yang telanjang.

Tsukishima tertawa dengan suara serak, “ide asal darimana itu?”

Kuroo tergagap bingung mulai darimana. Inginnya banyak-banyak berteori. Tubuhnya saat itu gatal ingin duduk di meja belajarnya menyusun essay sebanyak minimal 13.000 kata dan menjabarkan apa-apa saja yang menjadi landasan dari gagasannya tadi.

Tubuh Tsukishima Kei begitu… cantik. Sebuah asumsi pasaran yang mudah ditebak hanya dengan melihat wajahnya yang cantik. Tapi, Setelah melihat Tsukishima yang polos tanpa busana di atas kasurnya, Kuroo berpikir bahwa kekasihnya itu benar-benar tak terkira menawannya.

Ditengah serbuannya menerjang tubuh bagian bawah Tsukishima tadi ia berpikir tentang lukisan. Kuroo bukan anak yang paham seni, asal tahu saja. Tapi, tiba-tiba saja ia mengerti perasaan Jack Dawson yang ingin mengabadikan keindahan Rose Dewitt Bukater dengan pensilnya. Kekasihnya yang berpeluh dengan mulut terbuka buat jantungnya berdebum-debum, menggelitik tangannya untuk melakukan sesuatu, tapi Kuroo tak begitu gila untuk lari mencari pensil dan kertas hanya untuk melukis kekasihnya dan meninggalkan kenikmatan dunia di tengah kakinya. Toh, ia tak bisa menggambar.

Selain lukisan, keinginan untuk memfoto juga terlintas di kepalanya. Kuroo tak mengerti bagaimana fotografi bekerja dan apakah pantas untuk menjepret Tsukishima yang bibirnya merah karena digigiti, tapi wajah cantik Tsukishima yang merona rasanya pantas didokumentasikan. Walau soal ini mudah dilakukan karena Kuroo bisa langsung saja mengambil ponselnya dan memotret, niatnya diurungkan saat kaki jenjang nan indah Tsukishima mendekap punggungnya. Permintaan bisu untuk Kuroo masuk lebih dalam. Akhirnya ia melupakannya, ingatnya hanya kaki bersih yang diciuminya.

Dan ya—itu lah kenapa akhirnya pertanyaan minat untuk menjadi model terlontar begitu saja dari mulutnya.

“Kamu cantik.” akhirnya menjadi jawaban setelah memutar kepala. Sang kekasih hanya mengangguk. Pikirnya mungkin Tsukishima tak terlalu menanggapi serius morning talk-nya setelah malam yang melelahkan.

Tapi, ternyata Tsukishima membalas jawabannya,

“Nanti, mungkin. Kalau aku butuh uang.”

Kuroo menyipitkan matanya. Bukannya bagaimana, tapi mendengar Tsukishima membutuhkan uang dan harus bekerja untuk mendapatkannya terdengar aneh saat ini. Setaunya, walaupun belum pernah benar-benar berkunjung ke rumah sang kekasih, Kuroo tau bahwa Tsukishima adalah salah satu orang terpilih; ia terlahir di keluarga yang cukup berada. Ya mungkin maksudnya adalah apabila pekerjaan di masa depannya tak berjalan begitu mulus. Tapi keluarganya tak mungkin membiarkan anaknya kesulitan, kan?

Kuroo tak berpikir lebih jauh karena Tsukishima tiba-tiba menciumi punggungnya dan ia melupakannya begitu saja.

Sampai akhirnya Kuroo tahu maksud Tsukishima di hari itu. Butuh dua tahun untuk mengetahuinya.

Malam itu gerimis, Kuroo sedang menyusun rancangan belajar untuk murid-muridnya minggu depan. Sudah setahun sejak Kuroo menjadi guru kimia di Sekolah Menengah Akhir yang dulu menjadi tempatnya belajar. Targetnya menjadi dosen dibanding menjadi guru, tapi Kuroo memerlukan biaya tambahan selain pemberian orang tuanya untuk melanjutkan ke jenjang S2. Ia juga butuh rekomendasi untuk mengajar di yayasan mengajar yang lebih tinggi.

Ponselnya berdering jam sepuluh malam. Kuroo langsung terbirit keluar karena pesan singkat yang memberitahu bahwa kekasihnya berada di depan rumah.

Tsukishima berdiri di depan pagarnya, tudung abunya menghitam karena rintik hujan.

“Hei,” Kuroo mengedip bingung lihat Tsukishima menatapnya dengan wajah yang merah. Bukan merah bersemu yang biasa jadi favoritnya. Dari matanya mengalir air yang lebih deras dari rintik hujan yang mematuk kepala, “ada apa?”

“Mereka mengusirku.”

Tsukishima hanya berkalimat satu kali, tapi ribuan penjelasan mengetuk kepala Kuroo.

Apa ini alasan mengapa Kuroo tak pernah diperbolehkan untuk mendatanginya rumahnya?

Sekali, Kuroo pernah memberikan kejutan dengan menunggu di depan rumahnya jam 1 malam karena Tsukishima yang menolak berbicara dengannya. Biasa, pertengkaran kecil. Tapi pertengkaran itu hampir berubah menjadi besar. Tsukishima, dengan tangan gemetar dan suara berbisik menyuruhnya pulang, menyuruhnya untuk tidak menyalakan mesin motor di depan rumahnya. Tsukishima mau memaafkannya setelah ia berjanji untuk tidak datang ke rumahnya atas izinnya.

Tiap kali Kuroo punya waktu menjemputnya di kampus untuk mengantarnya pulang, Kuroo selalu dibuat berhenti di depan konbini dekat rumahnya. Inginnya bertanya, tapi Tsukishima terlihat tak mau banyak bicara. Kuroo benci mendorong Tsukishima melakukan yang tak mau dilakukannya, makanya Kuroo memilih diam dan menikmati es krim dengan Tsukishima di sampingnya.

Kini Kuroo paham. Selama ini Tsukishima menyembunyikan dirinya dari keluarganya. Malam ini mungkin akhirnya ia mengaku dan Tsukishima kehilangan keluarganya.

Kuroo mengecupnya di kelopak mata. Ia menawarkan rumahnya, menawarkan hangat yang diberikan oleh ibu dan saudara-saudaranya yang mengerti siapa Kuroo Tetsurou dan mengetahui hubungannya dengan Tsukishima. Sang kekasih menolak, tak mau merepotkan tapi mengiyakan ajakan menginapnya.

Malam itu Tsukishima yang tak banyak bicara terasa makin bungkam. Kuroo yang biasa cairkan suasana di antara berdua juga ikut diam.

Ingin sekali bertanya apa yang sebenarnya terjadi, apa yang membuat Tsukishima yang terbiasa bersembunyi kini keluar menampakkan diri, tapi Kuroo merasa malam itu kekasihnya tak mau banyak ditanya. Bukan pertanyaan yang dibutuhkan oleh kekasihnya malam itu.

Merasa tak mampu melakukan apa-apa, ia hanya membalas pelukan Tsukishima yang erat melingkari tubuhnya, menjadi pegangan saat lelaki yang didekapnya mencari nyaman di tubuhnya.

Setelah semalam menginap, Kuroo mengantar Tsukishima ke rumah barunya; kamar sewa yang ukurannya benar-benar kecil. Kasurnya di lantai dan hanya cukup untuk satu orang. Hasil dari menabung, katanya.

Tenggorokannya tercekat melihat lelaki yang dicintanya merapikan barang yang keluar hanya dari satu ransel. Matanya pandang Tsukishima yang punggungnya terlihat kecil dan turun.

Tsukishima mengusirnya karena Kuroo punya kelas yang harus diajarnya siang hari. Ia Berjanji akan kembali nanti malam dan menginap. Besok Sabtu dan sekolah libur, alasannya. Tak ada kasur tersedia untukmu, alasan Tsukishima.

Si tuan 'kamar' menyandarkan tubuh kurusnya di pintu, perhatikannya yang memakai jaket di pintu masuk.

Ia tahu bahwa Tsukishima yang secara fisik terlihat lebih baik di depannya tidak boleh kembali disenggol, tapi Kuroo merasa harus mengatakan sesuatu, ingin mengatakan sesuatu. Tegang semalaman tak berikan kesempatan untuk dirinya berbicara.

Ia berbisik di telinga sang kekasih. Halus, tapi ia berusaha meyakinkan dengan tegas, dengan percaya diri.

Tsukishima menangis keras mendengarnya, tangannya memeluk Kuroo dekat.

“Aku akan menjadi keluargamu, Kei.”

-

“Menurut kamu gimana?”

Musim semi 2014, Fukuoka. Dua bulan setelah Kuroo dan Tsukishima memutuskan pindah dari Miyagi untuk tinggal bersama. Tidak ada lagi Tsukishima yang tinggal di kamar sewa yang disulap menjadi tempat pacaran karena hampir dikunjungi setiap hari oleh Kuroo.

Penyebab pindahnya adalah Kuroo yang diterima oleh Universitas Fukuoka untuk melanjutkan gelar magister Pendidikan Kimia setelah menabung dua setengah tahun. Ia juga mendapat pekerjaan baru di sekolah swasta, yang berarti bayarannya lebih besar.

Alasan membawa Tsukishima adalah jarak tempuh yang lumayan buat pegal. Kuroo terbiasa menempel lengket dengan sang kekasih. 1,506 km terdengar keterlaluan.

Awalnya Kuroo takut mengajak Tsukishima tinggal bersama. Ia tak dapat menjanjikan sebuah apartemen besar, hanya sebuah tempat tinggal yang hangat di musim dingin dan tak terlalu panas di musim panas.

Selain itu ada komitmen yang tertera jelas saat tinggal bersama, frekuensi bertemu lebih sering yang mengakibatkan kurangnya ruang pribadi dan pertimbangan-pertimbangan berat lainnya.

Sisi lain dirinya tahu bahwa tak mungkin Tsukishima menolaknya, tapi sisi pesimisnya lebih banyak berteriak. Tsukishima lebih sering mencari ketenangan dan kesendirian yang mana berbanding terbalik dengannya. Walau ia tak pernah sama sekali mempermasalahkan keberadaan Kuroo bahkan di hari-hari buruknya, tetap saja, tinggal bersama bisa terdengar lebih merepotkan daripada yang sebenarnya.

Lagi, mengajak pasangan untuk tinggal bersama adalah langkah baru dan besar dalam sebuah hubungan. Kuroo siap, entah Tsukishima.

Kenyataan berkata lain; delapan tahun berpacaran dan baru kali ini Kuroo salah menebak Tsukishima.

“Boleh,” jawab Tsukishima enteng, menghadapi Kuroo yang belakang kepalanya timbul keringat, “asalkan tempat tidurnya memojok ke dinding dan aku tidur di bagian dalam.”

Lelaki yang lebih tua begitu ingat sensasi lunturnya cemas yang digantikan kebahagiaan.

Kuroo duduk di atas wastafel, mengadahkan wajah. Pisau cukur yang digenggam Tsukishima berada di belakang dagunya, menggesek rontok bulu-bulu disana.

“Kamu harus ambil,” jawab Kuroo, “kayanya kamu harus lebih serius soal modelling, Kei. Kamu berbakat, aku yakin kamu bisa berkecimpung lebih jauh.”

“Tapi modelling gak bertahan lama,” alis lelaki di depannya mengkerut-kerut, berusaha fokus dengan bagian mana dari wajah Kuroo yang belum tercukur tapi juga berusaha agar tak sakit kepala dengan topik berat begini di pagi hari, “mukaku mengkerut, selesai.”

“Jangan pesimis begitu, setua apapun umur kamu, kamu tetap cantik.”

Tsukishima mencibir.

“Nanti kamu bisa balik lagi jadi ahli diet, kan? Pengalaman 1 tahun 7 bulan itu lumayan,” “Atau gimana kalau buka restoran? menunya makanan sehat semua. Nanti aku bantu.”

Sudah hampir setahun sejak Tsukishima mulai menggeluti dunia modelling, menjadikan hal tersebut sebagai kerja sampingan dari pekerjaan utamanya sebagai Ahli Diet di perusahaan kebugaran yang cukup bergengsi.

Terhitung dua bulan ini, Tsukishima telah melepas pekerjaannya sebagai Ahli Diet. Hal ini karena perhitungannya soal menerima agensi utama dari sub-agency tempatnya bernaung saat ini.

Awalnya Tsukishima ditawarkan oleh teman dari temannya yang seorang model recruiter . Tsukishima yang melakukan member broadcast untuk sesi konsultasi diet dianggap menarik.

Kuroo yang mendengar itu mana mungkin diam saja? Ia ribut mendorong sang kekasih untuk menerima tawaran audisi dan interview dan ya— Tsukishima diterima begitu saja. Alasannya karena kaki jenjang yang indah, wajah datar dingin dan rambut terang yang terlihat hangat.

Tsukishima menyukai pekerjaan sampingannya lebih dari yang ia duga. Wajahnya dipoles cantik, baju-baju modis dan aksesori cantik yang bisa dicoba secara cuma-cuma dan Tsukishima hanya perlu berdiri di depan kamera dengan pose yang minim.

Si pemuda berumur 24 mendapatkan kepercayaan dirinya dan ia sangat menyukainya.

Tsukishima yang di awal masih kaku untuk bersikap di depan kamera makin lama makin mendapatkan dirinya. Ia kini tahu dimana harus menempatkan tangan dan kakinya, tahu bagaimana membuat kakinya terlihat lebih jenjang lagi, tahu cara memasang ekspresi wajah yang membuat penikmat majalah dan page website tak berpaling darinya.

Pernah suatu ketika Tsukishima yang baru pulang dari pemotretan diterjang begitu saja oleh sang kekasih. Diciumi punggung tangannya kemudian pipinya dan ia diangkat bagai putri kerajaan dan dilempar halus ke singgasananya; ranjangnya.

Tsukishima yang mengerang karena diciumi kedua belah kakinya teringat kalau majalah Vogue dirilis hari itu. Dimana ia memakai suit sebagai atasan tapi dengan maxi skirt tipis menjadi bawahannya.

Ia juga ingat foto dimana ia melebarkan kakinya lolos perilisan.

Ya, contoh nyata orang-orang yang tak berpaling dari hasil pemotretannya adalah Kuroo tetsurou ini.

Setelah mencuci mukanya, kini Kuroo bersih. Tak ada lagi rambut yang akan menggelitik Tsukishima di tengah ciuman mesra seperti pagi tadi.

Ya, Tsukishima menghentikan morning smooches session merea karena tak tahan geli dan menarik Kuroo untuk dicukur dagunya.

“You think so?” dagu Kuroo dikeringkannya lembut dengan handuk, “Gak cemburu?”

Kuroo mengeryit, “soal?”

“Aku yang join agensi besar gini, aku bakal makin sering dimuat di majalah atau website terkenal.”

Kuroo memasang wajah sok dewasa, tak terima dituduh begitu, “Gak lah! Aku justru seneng karena pacarku sukses. Coba bayangin kamu ada di billboard besar gitu—”

“Walaupun aku pake baju seksi?”

Sikap dewasa lelaki berambut legam luntur, bibirnya menipis.

Tsukishima tertawa, memeluk kekasihnya yang bersandar di wastafel.

Kuroo ikut tertawa setelah berpikir, tangan telanjangnya memeluk balik kekasih.

“Gak apa-apa kayanya kalau lihat, kan tetap aku aja yang bisa begini tiap pagi sama kamu? No one can get The Tsukishima Kei in their arms, almost naked.

Mendengar lelaki yang mendekapnya berkata-kata dengan percaya diri, entah kenapa buat Tsukishima mengecup bibirnya bulat-bulat. Hatinya penuh. Kuroo Tetsurou selalu berhasil membuatnya merasa bagaikan orang yang paling berharga sedunia; sebuah perasaan yang paling dibutuhkan olehnya mengingat banyak hal yang terjadi sejak ia resmi lulus dari perguruan tingginya.

“How about breakfast with The Tsukishima Kei on the plate?”

“Sure. Only if i get to taste healthy juice right from the source.”

Cubit di pinggang buat Kuroo mengaduh.

“Will you let me?”

Tsukishima dengan bibir yang digigit mengangguk.

“You better eat me good, Sir.”

-

Osaaka: Blinding Light

Warning: nsfw, explicit sexual scene.


Air hujan mengetuk keras-keras kulit besi. Beramai-ramai berusaha tembus bongkahan padat mobil untuk menyelinap masuk mengganggu penumpangnya. Nihil. Walau berisik, kedua insan di dalam tak peduli. Sibuk dengan suara berisik yang berasal jauh di dalam.

Ya, asalnya dari jantung yang bergemuruh di balik tulang-belulang dada, memekakkan telinga.

Ditambah gesek kain yang entah kenapa terasa lebih berisik daripada seharusnya.

Akaashi beranjak menciumnya beberapa detik lalu setelah bertanya dengan halus, can i kiss you?.

Jarinya erat menjadikan seat supir sebagai pegangan. Takut tubuhnya berakhir menimpa Osamu dibawahnya—

—atau bisa jadi sebagai pegangan karena penantian ekspektasi bahwa Osamu pandai menggunakan bibirnya untuk mencium dan memanfaatkan lidahnya untuk menjilat.

Osamu dengan nekat membawa Akaashi dipangkuannya tanpa bertanya. Tangan kanan dengan kemeja kusut yang tergelungnya menurunkan tuas dan dengan ajaib satu kursi kini menangguh dua lelaki dewasa di atasnya.

“What are we going to do?” tanya Akaashi ditengah lidah dan bibir yang bersua.

“Kamu mau apa?” tanya Osamu, bibirnya mengecup rahang lelaki di atasnya, beri spasi untuk Akaashi berpikir, “you started this.”

“We can bring your car to the basement?” usul Akaashi dengan matanya yang terlihat kabur, lehernya makin tinggi memudahkan Osamu mengendusinya, “l-let's go inside, to my room.”

Osamu yang biasa mungkin akan mengiyakan, akan kembalikan Akaashi ke kursi penumpang. Miya yang lebih muda akan dengan sabar menjaga tangannya jauh dari Akaashi saat telusuri bertingkat-tingkat lantai apartemen dengan lift. Ia akan mencoba menyapu kabut di kepalanya sebelum sampai di kamar Akaashi, saat privasi tinggal milik berdua, untuk kemudian menelanjangi apa yang ada di tubuh atasannya itu dan menciumi apa yang ada dibaliknya.

Tapi ini Osamu yang berbeda. Ini Osamu yang mengenal Akaashi belum genap dua minggu lamanya. Miya yang lebih muda menjadi tak punya banyak sabar di dalam dirinya. Akalnya hilang kala berurusan dengan Akaashi.

Hubungan intim di dalam mobil tak pernah jadi hobinya, tak pernah terlintas di kepalanya. Dengan Akaashi di atas tubuhnya, mengerang rendah saat Osamu tak sengaja menggesek pusat tubuhnya yang tegang ke pahanya buat prinsip Osamu buyar dimakan nafsu. Moral dan etikanya sebagai seorang penduduk lenyap tak tersisa.

“Disini aja.” Ujarnya, “aku gak mau kehilangan waktu untuk naik ke kamar kamu padahal aku bisa menghabiskannya dengan menelanjangimu.”

Tubuh Akaashi yang tak tenang di atas pahanya menjawab pertanyaan Osamu.

Osamu tertawa kecil, jarinya naik di bibir Akaashi, “i don't have lube with me, do you mind to— you know— make it wet.”

Tanpa basa-basi, Akaashi dengan mata tertutup melahap dua jari di depannya. Lidahnya yang menyapu Osamu dengan baik buatnya mempertanyakan keahlian Akaashi.

Selama tangan kanannya sibuk di dalam mulut Akaashi, tangan kirinya membantu Akaashi melepas celana kainnya.

Lelaki yang ternyata 2 tahun lebih tua dari Osamu itu dengan lentur melipat tubuhnya sedemikian rupa untuk runtuhkan celananya yang mengganggu.

Sama seperti wajahnya, Akaashi punya kaki yang indah. Cahaya lampu mobil yang berkeliaran di sekitar mereka memudahkan Osamu melihat lebih baik. Maunya nyalakan lampu, ingin lihat tubuh yang lembut di bawah telapaknya, penasaran dengan bagaimana wajah Akaashi saat diuleni nikmat di bagian dalamnya tapi Osamu tak mau hentikan momen ini untuk pergi ke kantor polisi.

Jari dilepas, Osamu langsung menyelip ke ceruk di belakang tubuh Akaashi. Yang berambut hitam mendesah tepat di telinganya. Cuit Akaashi terdengar begitu manja dan basah. Terdengar sangat berdosa dibanding suara tegasnya saat mengoreksi lembaran laporan temannya tadi siang.

Osamu menggeram saat kupingnya tak sengaja tergigit.

“Maaf, aku— can we— just—” atasannya terdengar berantakan di atasnya, pinggulnya kesana kemari mengejar Osamu, “Osamu, aku mohon—”

“Ya, Akaashi— fuck— sebentar.”

Susah payah, Osamu membuka laci dashboard-nya, mengusak isinya cari pengaman.

“Kamu kenapa punya kondom disitu?”

“Atsumu, dia iseng kasih tadi dan aku bingung taro dimana.”

Akaashi terkekeh, “he basically knows what we are going to do then... oh my god—”

Osamu mencium telak dibibir Akaashi, “dia cuma iseng,” kejantanannya yang telah dibungkus digeseknya di antara dua belah bokong Akaashi, “ready?”

Pundaknya dicengkram erat dan Osamu menggerus Akaashi ke dalam.

Akaashi mencengkramnya ketat-ketat buat Osamu kewalahan menjorok ke dalam. Yang dimasuki resah di atasnya, terlihat takut untuk melahap semua Osamu tapi juga jelas terlihat lapar.

“Hmmh— Mi-miya—”

Meminimalisir goyangnya mobil, Osamu tak begitu banyak bergerak, tak biarkan Akaashi juga mencari puas di atas penisnya.

Osamu mengeruk pelan namun dalam. Geraknya tak buas, tak juga lembut. Yang berambut abu menghunus begitu dalam untuk kemudian bergerak di udara, tak sentuh kursinya. Tangannya tegas menopang berat tubuhnya dan Akaashi di atasnya, menekan Akaashi di dinding-dinding sensitifnya.

“Ya Tuhan— Mi-Miya— lebih— tolong—”

“No can do, Akaashi. Bear with it now.”

Akaashi yang tak terima pelan-pelan membalas tumbukan Osamu dibawahnya. Osamu mengerang, terasa dijemput orgasmenya oleh gerak Akaashi.

“A-akaashi—”

Come,” jawab Akaashi dengan mulutnya yang terbuka, keningnya basah dengan keringat yang mengilat, “come with me.”

Akaashi begitu cantik dengan Osamu yang mengacaukan tubuhnya. Buat jantungnya berdebar keras lihat pinggulnya yang lapar mencari nikmat dari kejantanan di tengah kakinya.

Mana mungkin Osamu menolak ajakannya?

. fin .

Iwaizumi Hajime: Skin Hunger

warning: nsfw, explicit sexual scene.


kamu sebenarnya bukan penggemar berat olahraga.

kalau waktu dimundur empat tahun lalu dan televisi menayangkan pertandingan olahraga, apapun itu, kamu gak akan mikir dua kali untuk menekan tombol next dan mencari tontonan lain.

pagi ini, walau dengan kepala kosong, kamu membiarkan siaran ulang pertandingan sepak bola menyala-nyala di depanmu.

minat iwaizumi hajime ternyata menular padamu.

pacarmu itu memang sejak SMA sudah punya ketertarikan dengan dunia olahraga. kamu masih ingat bagaimana kakak kelas kamu di masa SMA itu rajin mengharumkan nama baik sekolah lewat prestasinya di bidang olahraga lewat ekstrakulikuler yang digelutinya.

awalnya iwaizumi hanya cakap di bidang voli, tapi iwaizumi muda banyak penasaran dengan bidang yang lain. basket, sepak bola, sampai renang; iwaizumi tidak asing dengan hal-hal yang berhubungan dengan fisiknya.

bukan kejutan kalau pacarmu direkomendasikan dan akhirnya menjadi pelatih kesehatan atlet junior tingkat kota walau baru lulus dari universitas.

waktunya banyak tersita untuk adaptasi di lingkungan baru. iwaizumi sering pulang dengan otot yang tegang dan lelah yang tertera jelas di wajah.

jadi wajar, sesi malam mesra berdua kalian makin berkurang tiap minggunya.

“ini selai kacangnya abis, gak apa-apa kalau coklat?”

kamu mendengung, iwaizumi terkekeh serak di tenggorokan saat kamu dengan malas menubruk tubuhnya dari belakang. rambutmu menggesek di punggungnya yang telanjang.

“kenapa, sih?” tanyanya lalu lanjut mengoles selai di atas roti. kepalanya mengangguk dengar empty places-nya justice der yang mengalun di ruangan. playlist milikmu. sebab dia agak payah soal musik.

lebih dari seminggu kekasihmu itu gak berinisiatif melakukan sentuhan intim. ada pertandingan penting di bulan maret yang memaksa perhatian malam iwaizumi penuh pada tabel porsi latihan untuk anak didiknya.

memang terdengar egois, tapi kamu juga punya kebutuhan jasmani.

iwaizumi bisa bergantung pada kunjungan gym mingguan, sedangkan kamu bergantung pada kunjungan iwaizumi di ranjang.

alasan. tubuhmu cuma haus belainya.

kamu sudah berusaha kok untuk menjadi pacar yang pengertian. yang tak mau pacarmu overwork hanya karena nafsu seksualmu.

tapi, lihat pacarmu di minggu pagi berdiri dekat konter dapur tanpa kaos di tubuh bagian atasnya buat usahamu menjadi pacar yang pengertian terbuang sia-sia.

sekarang maunya kamu bukan roti dengan selai di atasnya, tapi mungkin iwaizumi dengan selai di atasnya.

kamu menggeram di pundaknya. tanganmu dengan gemas memeluk tubuh lelaki kesayangan di depanmu.

“masih ngantuk?”

bagian mana aku masih ngantuk? celamu dalam hati. kesal dengan iwaizumi dan ketidakpekaannya. juga kebiasaannya yang tidur dengan piyama lengkap tapi bangun dengan atasan yang hilang.

kamu yang tak mau peduli lagi melonggarkan erat di perutnya. dua telapak tanganmu bermain di atas perut iwaizumi.

iwaizumi memang bukan atlet aktif, tapi konsistensinya teguh untuk selalu menjaga bentuk tubuhnya. iwaizumi tak pernah puas dengan tinggi tubuhnya, tapi massa otot di bagian-bagian tubuhnya menutupinya sedemikian rupa sampai tinggi tubuhnya tak berarti.

dan iwaizumi hajime tahu betul hal itu.

jarimu mengusap di bagian datar perutnya sampai naik ke lekukan bukit. sesekali ujung jarimu mencubit disana.

iwaizumi agak berjengit, tapi tangannya pindah ke lembar roti berikutnya.

sampai jarimu menarik karet celananya untuk kemudian melepaskannya.

ctak

karet celananya menjerit bertemu dengan kulit pinggangnya.

“oh,”

sampai bibirmu mengecup pundaknya yang telanjang dan iwaizumi meletakkan rotinya.

“feeling needy? hm?”

kamu mendesah kesal, “took you long enough.”

iwaizumi tertawa mengejek. mencuci tangan masih dengan kamu yang menempel di belakangnya.

“aku mau olahraga.”

iwaizumi mengangguk, “mau main sepak bola? di lapangan depan atau—” iwaizumi berbalik dengan senyum mengejek, “ranjang?”

kamu dengan kesal mencubit bokong lelaki menyebalkan di depanmu.

“stop playing around.”

“alright, princess.” tanpa aba, iwaizumi mengangkatmu naik ke atas konter dapur. beratmu tak ada apa-apanya dengan massa beban yang biasa diangkat oleh lengan coklat iwaizumi.

“aku lapar. buka kaki kamu.”

ya tuhan. apa iwaizumi pikir dengan dua lengan keras mengukungmu dan perut telanjang yang berlekuk-lekuk akan membuatmu tunduk?

dengan senang hati.

kakimu melebar tak tahu malu setelah iwaizumi dengan kurang ajar melorotkan celana pendekmu.

jarinya bermain di bagian depan celana depanmu. menggesek titik paling sensitif dengan dua jari keras yang kasar. kain celana dalam terasa tak ada gunanya, malah buatmu makin terbakar rasa tak sabar.

“kamu mikir apa?” suaranya samar di kerongkongan, iwaizumi mengecup pipimu, “sampai udah basah begini?”

“kamu,” mendengus dengan letup nafsu di dada, kamu menyambar bibir iwaizumi di depanmu, “cuma mikirin kamu.”

iwaizumi pergi setelah meninggalkan satu gigitan di bibirmu. ia menemui tubuh bagian bawahmu yang kini tersaji di depannya.

tangannya masih nakal memijat kamu dengan jempolnya.

“boleh aku tambah selai, gak?”

kamu menarik nafas keras sebelum menapakkan kaki di atas pundak iwaizumi untuk membawanya lebih dekat ke tempat yang paling rindu sentuhan.

“dan bikin aku tiap makan roti selai ingat kamu eating me out? gak, iwa.”

iwaizumi tersenyum lalu bergegas menyapa bagian tengah kakimu dengan lidahnya. jarinya kasar menarik minggir kain yang menutupi vaginamu untuk dilahapnya tanpa gangguan.

“hmmh— iwa—”

suara kain yang terobek buatmu menarik hitam rambutnya untuk makin mendekat dan terus mendekat. kamu mengerang keras kala ujung tumpul yang basah menerobos lembaran dindingmu, menjilat disana dengan suara yang nyaring di telinga.

garukan liarmu di kulit kepala iwaizumi malah makin membakar semangatnya. lelaki itu malah melebarkan kakimu yang mengatup-ngatup dengan rasa tak bersalah. sifatnya yang pantang menyerah begitu menyusahkanmu di saat-saat seperti ini.

“i-iwa— god iwa— udah—”

ia mengecupmu pamit sebelum berdiri kembali, tangannya dengan perhatian mengusap di kakimu yang gemetar untuk kemudian menarikmu mendekat dengan kakinya; piyamanya yang menggunung di bagian tengah.

“maaf soal celana dalamnya.”

matamu bergulir tak peduli. ada urusan lebih penting daripada mengurusi celana dalam yang robek.

“make it up to me.”

“iya, nanti sore kita ke victoria secret. mau?”

“maksudnya bukan itu.”

“hm? apa kalau gitu?”

bibirmu mengecupnya asal, “main bolanya, cepet.”

iwaizumi mendengus kemudian tertawa dengan kilatan mata yang menggelap.

“baru tau ada gawang yang gak sabar dimasuki bola.”

dengar itu, kamu menarik pipinya jengkel, “berisik. ayo?”

iwaizumi meloloskan celananya. gulungan kulit yang tau akan bawamu capai kabut ekstasi terpampang jelas di depan matamu.

iwaizumi berukuran besar. bukan besar yang menakutkanmu. iwaizumi berporsi besar sesuai yang bisa kamu bawa ke dalam tubuhmu. besar yang memenuhimu dan merenggangmu tak berlebihan. besar yang bisa senggol titik-titik sensitifmu dengan mudah sampai kamu menangis puas.

pacarmu memutari pintu dengan kuncupnya sampai menemukan celah untuk masuk.

“good— hhh you are so good for me.” gumamnya buat desah puas lepas dari mulutmu seiring iwaizumi yang memaju. lelaki di depanmu mengecup bibirmu dengan bunyi ceplak yang keras.

iwaizumi bergerak dengan pola bundar. memasukimu begitu dalam untuk kemudian menyeret dirinya keluar lalu menghunus kembali kamu di dalam.

“hn— ahm— iwa— hmmh—”

“hm?” iwaizumi merapatkan dirinya, mencecap di lehermu yang naik tinggi ke angkasa, “feeling good?”

anggukanmu berantakan, begitu juga jarimu di punggungnya.

“tau gak?” iwaizumi tertawa ditengah desaunya, “lupa kondom.”

kamu mana peduli. gak peduli. sadar akan iwaizumi yang telanjang tanpa kondom di dalam buatmu tanpa sadar mengeratkan dinding. iwaizumi menggeram nikmat, jarinya erat-erat berpegangan pada konter.

“aku gak bisa tahan lama— hhh you are amazing down there.”

dipuji begitu terasa digelitik di ujung perut. kamu menendang-nendang pinggul iwaizumi sampai akhirnya orgasme membasahi vaginamu.

iwaizumi mengerang dan bawa penuh keluar dirinya.

bibirnya ada di telingamu saat kekasihmu itu memutuskan untuk membasahi celana dalammu yang sobek dan masih menggantung di kakimu dengan laharnya.

matanya terpejam karena pelepasan. paras tampannya digenangi titik keringat dan kamu dengan tak sabar menciumi rahangnya.

“satu lusin celana dalam victoria secret, gak mau tau.”

.

fin

.

Iwaizumi Hajime: Boop-boop


sekali, satu teman kamu terbengong dengar sebuah cerita di tengah padatnya break kelas.

“iya, iwaizumi itu, yang mana lagi?” tanggap kamu lihat temanmu dengan dramatiknya melebarkan bibirnya, “gue beneran pacaran sama dia. kenapa, sih?”

“gue masih inget banget pas ketemu dia di rumah lo,” temanmu menggeleng, “gue gak paham. oke dia ganteng, tapi dia jutek, galak lagi. yakin tahan?”

dengan enteng dan senyum di puncak kasmaran kamu mengangkat bahu. berusaha tahan diri untuk gak beberkan apa-apa poin plus iwaizumi sampai mengiyakan ajakan pacaran lelaki yang berusia satu tahun di atas kamu itu.

ya tapi, penilaian temanmu soal iwaizumi memang gak salah.

iwaizumi benar jutek. mukanya bukan tipe pemuda ramah, tapi entah kenapa mukanya bisa cerah sapa kedua orang tuamu kalau bertamu sambil bawa masakan buatan keluarganya. mukanya langsung berbeda 180 derajat pas lihat kamu tiduran di kamar dan bruk bantal melayang tepat di mukamu.

iwazumi juga galak. pernah suatu hari sang mahasiswa tingkat akhir itu tidur di tengah kertas-kertas tugas yang menumpuk. kamu yang kebetulan mampir diminta mama Iwaizumi untuk bangunkan anak sulungnya untuk makan dan ya— kamu habis dibentaknya.

kalau diingat lagi, kamu juga akan tanya diri sendiri lagi; kenapa kemarin bisa mau diajak pacaran sama iwaizumi hajime?

iwaizumi jutek yang lempar bantal ke mukamu itu diam pasrah saat kamu kejar dan tarik-tarik rambutnya. mukanya datar serius lihat kamu.

“celana lo pendek banget, tau gak? lain kali, kunci pintunya kalau baju lo begitu.”

iwaizumi yang kelepasan marah-marah dan hampir bikin kamu nangis, dengan muka jelek dan rambut kusut pegang kepala kamu. tangannya menyusur halus sepanjang rambutmu.

sorry, kelepasan,” suaranya serak sebab kurang tidur, “gue beneran ngantuk dan gak maksud— oke, besok gue jemput ya? pulangnya borong es krim di toko bude.”

sang pacar memang galak, memang jutek, tapi afeksinya gak kalah besar. jarinya gak kalah lembut walau punya lidah yang kadang menghunus. alisnya memang sering tajam menukik, tapi matanya tak mau kabur tatap kamu.

seperti sekarang. mulutnya sibuk makan, tapi kamu merasa iwaizumi berkali-kali curi pandang ke arahmu. kamu yang memang dasarnya iseng pura-pura gak sadar ditatap seksama begitu.

“kamu kenapa senyum-senyum begitu?” tegur iwaizumi sambil mengunyah lebih keras kentang di mulutnya, “kentangnya nanti habis sama aku.”

hari ini libur di hari minggu. kamu dan iwaizumi sudah dua jam di kamar si pemuda ditemani playstation hasil rental. beronde-ronde street fighter kalian mainkan sejak jam 11 siang. akibat perut lapar dan mama iwaizumi yang pergi arisan tanpa tinggalkan makanan buat kalian pesan burger king untuk isi tenaga sebelum cari game yang lain.

“kamu makan aja,” tanganmu beralih ke gumpalan bungkus berisi burger, “kamu mau? coba yang beef deh, kamu yang chicken 'kan tadi?”

ada satu lagi fakta soal iwaizumi yang buat kamu kaget setengah mati saat pertama kali kamu tahu.

iwaizumi, yang galak dan jutek itu, ternyata canggung terima afeksi fisik dari kamu.

si lelaki memang pernah gandeng tanganmu, pernah menyuapi es krim rasa matcha yang kamu gak suka, pernah gelung rambutmu di antara jarinya.

tapi, semuanya dilakukan sambil membuang muka; matamu dan iwaizumi tak bertemu saat iwaizumi memulai gerak kecil penuh perhatiannya.

dan saat ini, matamu menatap antisipasi iwaizumi tepat di mata. tangan mengudara dekati bibir iwaizumi dengan burger daging.

iwaizumi melirik sebentar ke arahmu dan maju terlalu banyak—

burgernya memang masuk ke mulutnya, tapi hidung iwaizumi kini kotor oleh campuran saus dan mayonaise.

“duh, kamu—”

“oh—” kamu tertawa kecil dengan tangan repot cari tisu, “salah kamu sendiri loh? sebentar.”

jarimu dengan telaten dan dibalut tisu mengelap ujung tumpul hidung si pemuda yang sekarang malah ambil ponsel sok sibuk padahal cuma berputar-putar di homescreen.

kamu tersenyum, tahu betul pacarmu canggung dan malu.

malu. ya tuhan. satu kata yang gak kamu sangka suatu hari bakal disandingkan sama tetangga kamu yang sifatnya jauh dari kata malu.

“belum?”

menahan tawa, kamu melepas tisu. pucuk hidung pacarmu sudah bersih, tapi entah angin darimana, kamu merasa belum puas. kamu masih mau buat sang pacar lebih malu lagi. mau buatnya salah tingkah.

kini telunjuk kamu mencolek-colek acak di hidung iwaizumi.

“belum, sedikit lagi.” ucapmu sok serius.

boop

boop

boop

kamu duduk makin mendekat, jarimu makin mudah menggoda di hidungnya.

iwaizumi menghela nafas. alisnya menukik sebelah dengan mata menyipit terang-terangan melihatmu.

“kamu ngapain?”

“iseng.” jawabmu enteng.

sampai hidung kamu dijepit untuk ditarik ke kiri dan ke kanan.

kamu berusaha memundurkan badan, “ih, iwa—”

“kamu duluan iseng, aku cuma isengin balik.”

“tapi aku gak tarik hidung kamu.” hidungmu ditarik begitu, kamu membalas perlakuan sang pacar dengan menarik lebih keras hidung pacarmu.

“sama aja, kamu iseng.”

“aku cuma colek hidung kamu,” kamu melepas cubitan di hidung iwaizumi untuk mencoleknya lagi, “begini.”

“oh,” jepitan di hidungmu melonggar dan iwaizumi ikut mencolek pucuk hidung kamu, “begini?”

kamu mengedip saat iwaizumi malah terus-terusan mencolek hidungmu.

“begini?” “colek begini?” “nih.” “begini bener?” ejek iwaizumi mencolek-colek hidungmu.

gantian, kini kamu yang menghela nafas.

sayang, jebakan kamu malah berbalik memburu kamu.

awalnya, kamu berniat buat iwaizumi salah tingkah. nyatanya sekarang kamu malah bingung mau apa saat jari iwaizumi mencolek banyak di hidungmu.

panas di pipimu makin terasa saat muka iwaizumi kelihatan puas lihat reaksimu.

“udah— iwa— udah!”

sekali jepit di hidung lagi, iwaizumi yang tubuhnya agak menyerong ke depan kini duduk santai punggungi kayu ranjang lagi.

“makanya, jangan iseng lagi.”

matamu memutar kesal, pandangi iwaizumi yang memegang ponsel dan meraup burgernya—

—loh, itu kan burger daging kamu?

kamu yang hampir protes langsung mengurungkan niat. matamu menyipit dan menemukan ujung telinga pacarmu memerah.

oh, jadi gak gagal—

iwaizumi berdehem dan melirik kamu, “mau main game apalagi?”

.

fin

.

SuguSato: Cigar Candy

Getou Suguru x Gojo Satoru

warning: explicit words, mild nsfw ditulis dalam bahasa indonesia non-eyd alias suka-suka


jari panjangnya menjentik di atas asbak, asap mengepul bentuk lekukan abstrak di udara.

salah pikir suguru sambil pandangi pacarnya yang kini asal telentang di atas ranjangnya, komik di tangan.

bukan, masalahnya bukan komiknya yang dipegang dengan tangan kiri si rambut terang (halaman komik bisa cepat rusak apabila dibuka paksa oleh satu tangan) yang biasanya bisa buat suguru marah, tetapi, tangan kanan satoru lah yang buat ponsel suguru gak semenarik tadi.

satoru sedang... memakan permen bertangkai. lollipop. tebak saja apa yang buat suguru resah?

pertama, si sumber masalah, lollipop rasa shocking orange.

si lollipop bulat yang buat iri ini membentuk ruang baru di pipi satoru. kalau dilihat dari kacamata sehat, pacarnya kelihatan menggemaskan dengan pipi menggembung sebelah begitu. nyatanya, sekarang suguru lagi gak sehat, jadi imajinasinya jauh dari satoru yang menggemaskan; suguru malah membayangkan hal lain yang ada di mulut si pacar, membentuk gumpalan di pipinya karena memaksa masuk pe- oke, sampai disitu.

selanjutnya, bagian yang cukup meresahkan, lidah.

ya tuhan lidah pacarnya. sesekali, entah kenapa, si pacar mengeluarkan lollipop bulatnya ke udara, menggapai-gapainya dengan lidah. buat apa? pikir suguru. padahal, lebih mudah masuk ke dalam mulut saja, kan? lidahnya tak perlu keluar menjemput si lollipop untuk masuk ke dalam mulutnya. kalau begini, bukan lollipop tak bernyawa itu yang tergiur untuk masuk ke dalam mulut satoru.

yang terakhir, ini memang masuk daftar alasan kenapa suguru mengiyakan ajakan pacaran satoru; bibir.

bibir yang disukai suguru itu kini sedang bertindak kurang ajar dengan si lollipop. bibir yang mengilat karena air liur dan gula dari permen itu menciumi si lolipop dengan intim. satoru yang mencumbui lolipop terasa bagai pertunjukkan slow motion di mata si rambut hitam dengan zoom in tepat di pucuk bibir yang menguncup. suara pop yang basah dan berisik buat kepalanya makin kabur.

salah, benar-benar salah.

harusnya gak perlu bawa satoru ke rumahnya yang kosong setelah pulang kelas.

harusnya gak perlu tawarkan lollipop karena minim cemilan di rumahnya. lebih baik lihat satoru kelaparan daripada sekarang suguru yang kelaparan.

suguru menarik nafas lewat rokoknya untuk kemudian menghembuskan kabut rokok dari hidung dan mulutnya ke udara, buramkan penglihatannya dari satoru.

“kenapa?” kaki jenjang pacarnya naik tumpangi kaki satu lagi, “gelisah?”

apa katanya tadi? gelisah?

satoru duduk menegak, bibirnya memulas dipucuk lollipop dengan mata tak lepas dari suguru. menantangnya dengan alis yang menaik satu.

pop, pop, pop bunyi si lollipop meresahkan telinga suguru.

yang ditantang mengeryit, “sengaja?”

satoru terbahak dan suguru meninggalkan kursi belajarnya untuk menerjang si pacar.

“loㅡ satoruㅡ”

satoru masih tertawa dengan si pacar memerangkapnya. tangannya yang tadi sibuk dengan komik kini digenggamnya kasar.

kuping yang ditindik diraba mesra oleh satoru, “eager much?”

“gimana enggak?” suguru tersenyum lebar walau kening mengerut kesal, “you tempting me.”

“you reek of cigarette,” satoru memasang muka jijik yang main-main, “you won't taste good.” jari-jarinya kini berjalan di wajah yang pandanginya bagai pengembara yang menemukan mata air di tengah gurun kering.

suguru siap meminumnya, siap dipuasi dahaganya.

“you love it on me, don't you?”

“not today,” satoru menggeleng, menggoyang-goyangkan tangkai lollipop di depan suguru, “ini lebih enak.”

“oh ya?”

“hmm.”

“i can fix that.”

tanpa permisi, suguru melahap lollipop di tangan satoru.

“ya tuhan,” satoru terkekeh kecil, tapi kalimat yang diujarnya terasa kasar dari tenggorokannya, “filthy.”

satoru memang mengejek suguru yang kini sibuk menjilati lollipop yang kecil dibandingkan lidahnya, tetapi ejekan barusan juga berlaku untuk dirinya sendiri yang menatap fokus bagaimana bibir suguru mengecup air liurnya sendiri yang terpoles di lollipop oranye itu.

kepalanya liar berandai-andai memasangkan lidah suguru dengan salah satu bagian tubuhnya. berurusan dengan lidah suguru selalu berakhir basah dimana-mana dan satoru merasa kotor karena terlalu menyukainya.

mencoba kembali waras, dengan iseng satoru memutar-mutar lollipopnya di dalam mulut suguru. mata pacarnya terpejam saat satoru mendorong lollipopnya menggesek lidahnya sampai akhirnya masuk lebih dalam, dalam, dalam

krak

sampai suguru memilih menggigit si permen sampai hancur berantakan di dalam mulutnya.

satoru terbengong dengan tongkat kecil di tangannya.

lelaki yang bertubuh lebih besar mengeryit, gemeletuk permen masih berbunyi dari mulutnya “shocking orange, indeed.”

yang di bawahnya mengedip, “asam?”

“asam.”

suguru menyamankan dirinya di atas satoru, tangannya dengan perlahan tapi penuh ketegasan menyelip di balik kaus putih satoru. sedang yang satu naik terjulur menarik bibir bawah satoru.

“how about helping me getting rid of the taste?”

bibir satoru menguncup, menciumi jempolnya, “gue kan baru makan lollipopnya juga?”

“gak peduli.”

suguru terjun gapai bibir satoru dengan miliknya sendiri. tangannya masih disana, menarik terbuka bibir satoru untuk menciptakan landasan yang lebih lebar.

“hmngㅡ”

satoru ikut menjulurkan lidahnya, mempertemukannya dengan lidah suguru untuk bergelut di antara dua bibir yang sewarna dengan buah persih setengah matang. pengaruh pewarna dari permen tadi. bedanya suguru agak hitam karena kandungan nikotin yang dikonsumsi setiap hari.

satoru lebih suka manis permen dibanding pahit nikotin, sedang suguru bukan penggila manisan dan memilih pahit rokok untuk obati resahnya.

kini keduanya malah saling berburu di masing-masing mulut lawannya. mengorek ke sisi paling dalam bagai jari yang masuk ke dalam selai toples coklat.

ingat soal basah kalau berurusan dengan lidah suguru? selain karena salivanya sendiri yang tak bisa tertelan, saliva suguru turun banyak mengotori satoru di sekeliling bibirnya. tugas suguru adalah menghirup kekacauan yang diperbuatnya, menjilati jalan yang dilalui salivanya untuk membersihkannya. sedang tugas satoru hanya diam mengerang kecil di bawahnya.

“suguㅡ hmhㅡ”

protesan satoru dilahap, dikunyah, untuk kemudian ditelan oleh suguru. sampai protes pacarnya hilang menjadi dengung nikmat di dada, menggedor-gedor di bawah tangan suguru yang telah naik di dada untuk ikut bermain.

suguru naik ke permukaan, kecupnya tinggalkan bibir yang berlinang saliva di bawahnya. satoru menarik nafas banyak, matanya yang berjendela bulu mata yang cantik tatap sayu suguru.

yang di atas mengecap berlebihan bibirnya, “shocking orange.”

satoru tertawa lemah sebelum menggapai kepala lelaki yang satu. jarinya menyisir di antara helai hitam sampai karet rambut suguru lepas, bebaskan rambut panjangnya terurai.

satoru mengigit bibirnya, “want to find out whats more shocking down there?”

bibir suguru naik di satu sisi, “sure.”

.

FIN

.

bokuaka: four pink walls (part 1)

warning: M for sexual scene


yang tenggelam adalah setengah tubuhnya, tapi akaashi merasa otaknya-lah yang mengambang di dalam kepalanya tak berguna.

menjadi anak seorang coach renang membuat segala paham soal cabang olahraga air satu ini tertelan mantap secara natural oleh tubuhnya. ayahnya banyak mengajarinya sejak akaashi mulai bisa mengambang di air dengan harapan anak keduanya mewarisi bakat sang ayah yang mantan perenang nasional dengan medali yang jumlahnya lebih banyak daripada bajunya.

tapi, mau bagaimana? akaashi tiba-tiba hilang minat saat usianya menginjak 15. dikelilingi air tak terasa menyenangkan lagi. tubuhnya entah kenapa bosan mengayuh di dalam air. kakinya tak menyipak semangat lagi seperti pertama kali menyentuh air.

untungnya, ayahnya bukan diktator, merasa tak perlu memaksakan egonya kepada akaashi yang lebih memilih fokus Sports Physician sebagai future careernya dan meninggalkan dunia renang.

ayahnya masih punya hajime, kakaknya, yang kini dalam perjalanan gemilangnya menjadi nomor satu di jepang.

masalahnya, sejak memutuskan tak lagi geluti dunia renang dan walaupun setuju menggantikan sementara posisi manager di klub renang ayahnya, akaashi tak pernah merendam basah tubuhnya di kolam renang, kecuali menyeburkan telapak kakinya iseng saat perhatikan para atlit.

apa alasan yang harus diberikan pada ayahnya saat lihat tubuhnya basah begini?

oke, basah dalam masalah ini adalah basah dalam makna sebenarnya, bukan basah yang itu.

akaashi mengetuk kepalanya ke hand railing kolam renang.

padahal sebab yang buatnya mau-maunya terjun ke dalam kolam adalah karena ia mulai basah yang basah itu.

ini karena atlit rookie kurang ajar yang menggodanya.

akaashi menarik nafas.

Suna Rintarou

warnings: nsfw, explicit sexual scene tags: masturbation, self-pleasure


menjadi bagian dari tim eastern japan paper mills raijin bukan hal yang bisa dicapai semua orang, bukan tanggung jawab yang biasa dipikul sembarang orang.

suna rintarou di umur ke-22 menjalani kehidupan sehari-harinya sebagai middle blocker tim profesional bergengsi tersebut. rutinitasnya tersusun rapi dalam seminggu; 4 hari untuk latihan fisik intensif dan 1 hari mempelajari materi untuk pakan otaknya.

si lelaki bermata sipit tumbuh sebagai pemuda yang ambisius. wajahnya memang terlihat banyak tak peduli, tapi suna benar serius dengan hobi sekaligus pekerjaannya ini. terpilih menjadi anggota EJP raijin membuatnya berdiri ditengah-tengah ambisinya sendiri dan tekanan dari teman-temannya yang tak kalah jagoan. ia ingin memantaskan diri, ingin bakatnya diakui. sudah menapaki jalan ini, mana mungkin suna menjalaninya setengah-setengah?

memang, kecakapannya dalam voli tak perlu diragukan lagi, tetapi mengasah kemampuan bukan hal yang akan dilewatkan suna. tiap celah dalam permainannya akan berusaha ditambalnya untuk kemudian dipoles sampai celahnya menjadi sebuah keuntungan dalam setiap permainan. bahkan kebiasaan lamanya sejak SMA untuk tinggal lebih lama di gedung latihan sulit ditinggalkannya.

sampai akhirnya suna menghabiskan waktu dan pikirnya untuk voli. lelah? jelas. pemuda yang tak gampang puas macam suna rintarou tetap manusia, tetap punya batasnya sendiri.

belum lagi suna ini seorang idola. olahraga voli yang kini digandrungi banyak kalangan menjadikan suna yang berparas tampan juga dibumbui aura cool and composed jadi sorotan orang-orang. tak jarang suna yang menikmati weekendnya bertemu teman lama di pusat kota harus berhenti karena penggemar yang menyapanya dan bahkan meminta foto bersama.

di luar lapangan, wajahnya yang terlihat tak punya banyak emosi dicap menggemaskan. berputar seratus delapan puluh derajat, di lapangan mata suna memicing serius, tajam perhatikan langkah tiap pemain sekaligus bola yang jadi banyak incaran. hal ini buat komentar di page EJP raijin ramai selain karena pertandingan yang mengagumkan tapi juga penuh oleh relawan yang siap dibanting layaknya bola yang terbentur nyaring ke lantai oleh suna.

suna tersenyum kecil kala menandatangani buku (jurnal kuliah?) seorang laki-laki yang terang-terangan menyatakan kekagumannya. 'i really really adore you, i even will let you do anything to me' katanya, dan dengan santai suna mengembalikan buku yang sudah tergores tintanya, 'you don't know.'

betul. penggemarnya itu tak tau apa-apa soal dirinya.

-

suna rintarou membanting tas besarnya di samping ranjang. jaket biru-putih khas milik EJP raijin dan celana trainingnya dilepasnya buru-buru dan bruk, suna menyelami ranjangnya, desah nyaman keluar dari bibirnya.

hari ini timnya menangi pertandingan lagi. tepuk tangan meriah masih terngiang jelas di telinga, buat hatinya besar-besar terasa penuhi rongga dada. setengah dirinya merasa masih berada di lapangan, dengan sukses memblokir bola-bola lawan yang mengincar ranah lapang timnya.

senyum kecil terpoles di wajah suna. blokirnya yang sukses di akhir bawa kemenangan untuk timnya. bola yang diarahkan ke sisi timnya malah terpental ke daerah lawan.

tangan yang tadi menjadi tameng bola terasa berdenyut, buatnya mengeratkan tangan.

ah, hari ini benar-benar memuaskan.

bukan, bukannya karena semangatnya masih meletup di dada, ia dengan gila masih bisa bermain lagi. beda dengan kobaran semangatnya, kakinya lemas kelelahan. suna bersyukur dalam hati menyempatkan mandi di stadium karena kakinya mungkin akan ambruk kalau dipaksakan ke kamar mandi yang cuma lima belas langkah.

suna mendesah. rasanya sayang kalau ia tidur sekarang. lagipula besok libur, ia bisa bermalas-malasan seharian.

sampai refleknya yang memeluk guling erat menyentil bagian pusat tubuhnya.

suna terjengit kaget, kemudian mengetuk kepalanya pada guling dipelukan.

semangat kemenangan ternyata bukan hanya penuhi dadanya, tapi juga ujung perutnya.

suna merapatkan diri pada gulingnya, ingin merasakan lagi cubitan listrik di kejantanannya.

oh, betul juga. sudah lama sejak dirinya bermain sendiri. sudah lama sejak suna memanjakan dirinya. voli benar-benar menyita waktunya bahkan untuk memperhatikan kebutuhan diri sendiri.

mata sipitnya mengedip beberapa kali, pandangi lampu meja yang samar di depannya. hatinya tertawai diri sendiri.

ya, suna rintarou memang jagoan di lapangan. suna jadi bahan langganan teriakan para penggemarnya yang liar saat permainan berlangsung. suna juga tahu bahwa ia beberapa kali jadi objek fantasi perempuan dan laki-laki yang mengaguminya; soal jarinya, soal tatapannya yang tajam sarat dominasi, soal wajahnya yang dingin akan terlihat kejam menindih mereka.

sayangnya, suna tidak dapat memenuhi fantasi itu.

suna rintarou yang asli ingin dijari bukan menjari, bukan menatap tapi ingin memejam nikmat, bukan berada di atas, tapi inginnya di bawah dengan pipi bersemu.

sang pemuda itu memeluk gulingnya erat, pinggangnya bergoyang ringan, buat bulatan dengan pinggulnya.

“hmmhㅡ hnㅡ”

rasanya nikmat. kain celana dalamnya memerangkap dengan pas selangkangannya, buat gesekan-gesekan halus langsung dengan kulitnya. kapuk di gulingnya menubruk-nubruk halus penisnya.

giginya mengigit guling, malu dengan suaranya sendiri di apartemennya yang sepi.

suna banyak berimajinasi, banyak penuhi kepalanya dengan bayangan-bayangan laki-laki di tengah kakinya.

gumpalan kapuk dibayangkan layaknya paha kekar seseorang yang entah siapa. dalam hati mengumpat karena gulingnya terlalu lembut untuk fantasi paha yang berlipatan otot.

tubrukannya mengencang tiba-tiba kala kepalanya tak sengaja menggambarkan lelaki random di antara penonton yang matanya tak lepas dari lekuk tubuh suna saat melakukan umpanan. suna pernah membaca komentar berbunyi 'aku ingin melihat suna melompat-lompat dipangkuanku.'

pinggulnya makin frustasi menggesek di gulingnya. tentu, tentu mau sekali.

kepalanya berpendar lagi, bayangkan lelaki dengan setelan kantor lengkap dengan dasi duduk angkuh di balik meja. entah kenapa suna membayangkan kepala sponsor timnya yang tak pernah ditemui.

tapi, bagaimana kalau lelaki yang mengantungi uang dan koneksi dimana-mana itu dengan pribadi meminta suna menemani malamnya? menjadikan uang dan karir gemilang sebagai imbalannya.

fuck, tanpa imbalan pun suna rasanya dengan senang hati duduk dipangkuannya.

“fuck it.”

merasa tak akan puas dengan gesekan di depan, suna merayap di atas kasurnya, mengambil lubrikan dan mainan kesayangan dari laci paling bawah.

setelah celana dalamnya turun, suna yang kini berpeluh menungging cantik di atas ranjangnya. kepalanya menengok ke belakang tubuhnya, seakan memberikan pertunjukkan indah untuk seorang penonton.

“ahh- y- ya tuhanㅡ”

tangannya basah memompa penisnya sebelum bergerak ke belakang.

telapak tangannya menguleni bokongnya sendiri kemudian menamparnya tak terlalu keras, tapi cukup nyaring penuhi kamarnya.

” t-touch meㅡ” mohonnya pada lelaki fantasinya.

suna terseret-seret di atas ranjang karena ulahnya sendiri. tangannya bermain dengan penisnya lagi. goda ujung lubangnya sampai kakinya gemetar.

tangan kanannya menemukan dildonya dan suna membawanya ke dalam mulutnya.

suna mengerang kecil, senang mulutnya ditemani. dua jarinya pun dengan cekatan menyelip di bokongnya, ingin dipenuhi di semua lubangnya.

meliar, kepalanya membayangkan dirinya menghisap penis salah satu temannya sebelum pertandingan. misal, misalnya washio. tubuh teman se-timnya itu besar dengan dua lengan yang keras. suna berpikir, penisnya pasti bisa dengan mudah penuhi mulutnya. tangannya yang berurat akan mengelus suna halus di rambut tapi kemudian menariknya kasar untuk menelan semuanya.

“hngㅡ”

tahu akan datang, suna melepas kedua sumpalan dari tubuhnya, buat kakinya menyeret tak senang.

tapi, dengan buru-buru, suna menusukkan mainannya ke analnya.

fuckfuckfuckㅡfuck, ahhㅡ”

puas dipenuhi di belakangnya, suna tanpa ampun menarik mundur dan menabrak maju disana dengan cepat. dildo dengan ukuran yang memuaskan itu menggesek dengan baik dindingnya.

wajahnya tenang yang sudah luntur kini hilang, diganti oleh pipi merah dengan peluh dimana-mana. bibirnya tak mau mengatup, terbuka bebas berikan jalur untuk lidah dan salivanya. matanya setengah terpejam, kadang tertutup rapat kala ujung dildonya menyundul telak di bagian yang paling nikmat.

“p-pleaseㅡ pleaseㅡ”

iya, baru saja lelaki dengan berat 80kg itu memohon-mohon frustasi dengan benda plastik yang menyerupai penis. kakinya bergerak gelisah, pinggulnya mengayun ke belakang mengejar dildonya. ingin dipenuhi. ingin dihajar habis-habisan analnya.

“ak- aku mau keluarㅡ tolongㅡ mau ke- keluarㅡ”

suna rintarou, middle blocker tim voli eastern japan paper mills raijin ejakulasi banyak hanya oleh dildonya. jeritan puasnya begitu keras, bisa saja terdengar oleh tetangga sebelahnya kalau saja ia tak menyumpalnya dengan bantal.

dan ditengah nafasnya yang satu-satu dan matanya yang berair, suna merasa belum sepenuhnya terpuaskan.

.

bokuaka: reverse

tags:


tangan besar dikalungi besi, mata emas cemerlang gelap terhalangi kain; bokuto tak berkutik tanpa celah.

pemuda di pangkuannya tertawa kecil dengan hembusan nafas di antaranya.

“baby,” pipinya yang berpeluh disapu lidah, “do you like it here?”

bokuto meneguk salivanya,

bottomi + suna

(warning: nsfw, bahasa suka-suka)


“katanya mau nemenin nugas? kok malah ganggu?”

sakusa di depannya mengulum bibir, “m-maafㅡ”

bohong. sakusa tak mengganggu sama sekali.

sakusa yang mengangkang di atas meja belajarnya dengan muka merah padam? gangguan?

jauh. jauh. jaaauh lebih baik daripada lihat jurnal tebalnya yang mengangkang di atas meja.

suna terkekeh, menyenggol penis sakusa yang berdiri di tengah kaki dengan pulpennya.

“aku mau lanjut baca, nih. kamu gak mau minggir?”

capek-capek memindahkan semua barang yang ada di atas meja untuk duduk disana, sakusa gak mau menyerah gitu aja.

tapi, namanya 'kan sakusa kiyoomi. mana punya muka untuk minta itu?

sakusa menggeleng, “r-rin-”

yang dipanggil tersenyum jahil, kursi menggeser lebih dekat ke mejanya, memotong jaraknya dengan selangkangan sakusa yang tersaji lebar di depan mata. five course meal lewat pokoknya.

“apa, sayang?” “omi mau apa?”

mau dilanjut lagi.

mau dimasuki.

masuki aku yang udah banjir karena kamu nyiram lubrikan kebanyakan.

mau menyerah, mau utarakan saja maunya, tapi bibirnya gemetar. yang pasti bukan karena pendingin ruangan.

padahal, sakusa tinggal sebut dan boom, suna the witch akan kabulkan permintaannya, kok. cuma-cuma. paling minta bayaran desahan sakusa yang merdu, serak panggil nama yang lebih tua.

“hm? omi mau apa? ayo bilang?”

matanya menyipit. suna tahu maunya. tahu jelas kenapa jari kakinya mengerucut dan kedua lututnya menyatu, butuh sentuhan di tengah kakinya.

“loh, jangan ditutup,” suna ketawa lebih renyah, tangannya membuka lebar kaki pacarnya, “aku mau lihat.”

sakusa mengigit bibirnya malu. malu berat. mata suna memicing bagai binatang buas yang tenang perhatikan mangsa sebelum bergerak menerkam.

suna menganggap kaki terbukanya dengan remeh. sedangkan harga diri sakusa berkumpul disana semua.

bangsat, bangsat, bangsat.

“mau ini? omi mau ini?”

tanpa peringatan, suna memasukkan jarinya ke dalam sakusa yang basah. cuma satu jari, tapi jarinya begitu lihai mengeruknya.

“hmmh- rin- rintarou-”

“ini? tadi 'kan kamu ngejahilin aku karena liat aku nulis?” suna tersenyum manis ke arah si pacar, jarinya kini masuk dua, “ini, jari kesukaan kamu. udah masuk ke dalam kamu.”

yang dijahili menggeleng, bahasa yang artinya bukan.

jari suna tambah tiga.

“oh bukan? masa, sih? kayanya kamu suka?”

mau gimana gak bilang sakusa suka? pinggulnya menggeser-geser di atas meja belajar yang putih. bergoyang pelan tanpa niat menggoda, cuma mau jari suna menyentuhnya masuk jauh lebih dalam. mau gesekkan hangatnya jari suna baluri dinding analnya.

suna menjilat bibirnya, “gila kamu, suka ya? ayo ngaku?”

sakusa menggeleng.

masih ngotot menggeleng.

menolak mengaku.

padahal sesekali mengaduh kecil kala suna menyenggol terlalu dalam, menyentuh bundaran terintimnya.

suna mimpi apa semalam? pacarnya yang judes itu mau-maunya duduk pasrah diisengi olehnya di siang bolong begini? cahaya matahari dari jendela tepat di belakang punggung si rambut ikal buat perbuatan mereka pulang kuliah ini makin bahaya. makin berdosa.

kalau ada tetangganya yang lewat dan iseng nengok ke lantai dua rumahnya, gimana? mereka bakal liat punggung berkaos putih sakusa basah, kerepotan kasih pertunjukkan solo buat anak sulung keluarganya, begitu?

“terus, omi maunya apa? aku bingung.”

tak tahan lagi, kaki sakusa yang panjang gemetar naik ke atas pundak si pacar. jemari kecil kakinya meremas suna.

“m-mauㅡ” “aku- aku mau-” sakusa menggeleng, “ak- aku mau kamu-” “ri-rintarou, mau kamu di dalam-”

“iya, sayang. ini kan jari aku di dalam. mau apalagi?”

sakusa mau memprotes kalimat jahil barusan, tapi suna malah memasukinya dengan jari keempat.

“ri-riiin-”

“hm?”

sakusa hampir terisak, pinggulnya maju mundur mengejar suna yang besar di dalamnya. iya, jari suna besar di dalam. tapi kurang, sakusa masih kurang. belum puas cuma dengan jari.

“m-mau- mau-”

“iya?”

“mau- penis kamu- p-penis kamu-”

“oh, penis? mau penis aku?”

kecil, tapi akhirnya anggukan pertama sakusa diterima si pacar yang sekarang berdiri menjulang, kelihatan sama tak sabar.

“c-cepetㅡ”

suna tertawa begitu lantang. ibunya di lantai bawah pasti akan mengira anak kesayangannya dan pacarnya yang kalem sedang sibuk nonton film komedi.

wah, jadi sakusa yang hampir menangis karena mau penis suna itu film komedi, ya?

erotis mampus kalo ini.

suna menyeret resleting celananya ke bawah, melorotkan jeansnya. pegang gulungan kulit yang paling ditunggu-tunggu si pacar.

“siap-siap tuan putri.”

si tuan putri membuka kakinya lebih lebar, perhatikan penis suna yang dibasahi lubrikan begitu takjub.

dari semua deretan mantan sakusa, ukuran suna yang paling besar bukan main. kesukaan sakusa.

oh, bukan kok. sakusa gak pacaran sama suna karena barangnya, ya. jangan salah. suna anak baik, kok. prestasinya lumayan di kampus.

“tuan putri, pangeran masuk ya?”

tapi bangsat.

kalau sakusa gak panas berat, kepala suna pasti sudah dijegalnya. tapi, mau gimana? sakusa mau sekali. mau jadi tuan putri kalau artinya dimasuki penis pangeran kesukaannya.

sakusa mengangguk, mengangkat pinggulnya, menawarkan sarung untuk penis si pacar.

lagi, suna tertawa. tapi, dengan nafas terengah. liat pacarnya gak sabaran begini buat suna pusing kepala.

“bajingan,” suna bergerak masuk, hati-hati, begini-begini cinta sekali sama pacarnya, gak mau pacarnya merasa sakit.

“emang ada tuan putri yang kayak jalang begini?”

cinta, tapi mulut tetap kurang ajar.

akhirnya dimasuki total, sakusa gak protes. denguk kemenangan mendengung di telinga suna.

“sayang, sempit banget? 'kan baru main dua hari yang lalu?”

yang disayang menggeleng. mana tahu? sekarang yang penting suna harus bergerak.

kakinya menekan pinggang suna untuk lebih maju, untuk lebih masuk, masuk, masuk.

suna memasuki sakusa gak begitu kasar. sesuai dengan gerak kesukaan si rambut hitam. maju mundur tapi dengan ikut menekan dinding bagian atas dan bawahnya, memastikan si pacarnya mengerang puas, mengerang karena suna berhasil menyundul semua tempat favoritnya.

pandangan pemuda yang dominan lurus ke bawah, ke wajah si pacar. yang berpeluh, yang bersemu sampai telinga karena ledakan nafsunya, yang matanya agak berair karena nikmat, yang bibirnya membulat dan kadang tergigit karena desauan.

“cantik, anjing. lo cantik merah begini. sesuka itu ya?”

sakusa yang awalnya perhatikan persatuan di bawah kini memandang suna.

suna yang mengigit bibirnya karena dijepit, yang sama berkeringatnya, yang matanya sipit perhatikan lamat-lamat dirinya.

“hmmh- hng-”

diperhatikan begitu buat birahinya melejit naik, kakinya sekali lagi menguncup.

“kenapa, sayang? mau keluar?”

gelengan lagi.

bukan karena bukan, tapi sakusa gak mau.

gak mau keluar secepat ini. gak mau sudahi sesi bercintanya siang ini.

“gak apa-apa, keluar aja? kita main sampe sore.”

“i-ibu hhh ibu kamu-”

“udah aku kunci, paling- hh mikirnya kita tidur siang,” suna mengecup dahinya, “ya gak bohong juga, 'kan? aku nidurin kamu.”

sakusa mengadah, kepalanya menjeduk kecil jendela bening di belakangnya.

suna tersenyum licik, “kamu kayaknya mau dipergokin ya?”

gelengan lagi. samar bibirnya mengerucut.

sakusa tahu benar suna akan mulai lagi dengan mulut kotornya.

“kamu bayangin, kalau tetangga aku lewat, terus liat kamu lagi dijahilin sama aku? gimana?”

“laki-laki rambut ikal di perumahan kita 'kan kamu doang? nanti langsung jadi bahan gosip satu komplek.”

“kiyoomi yang rambut ikal anak blok F siang bolong diisengin sama rintarou.”

tangan sakusa keras-keras mencengkram pundak suna.

kesal. sakusa kesal. deretan kalimat jahil begitu disukai tubuhnya. bukannya nafsu persetubuhannya mengendur, pinggulnya malah ikut naik, kejar dorongan kuat suna di dalamnya.

“gimana? semuanya bakal tahu dong?”

“r-rin- rintarou-” “r-rintarou a-aku mau-”

suna menurunkan tubuhnya, menjilati bibir sakusa yang berisik. air liur yang lolos dengan cuek dihirupnya.

“keluar, sayang.”

sakusa meledak dengan bibir suna yang menghisap di rahangnya.

“hmmn-”

tahu sakusa selalu berisik di tengah ejakulasinya, suna memasukkan jarinya ke dalam mulut pacarnya. menekan lidahnya untuk menekan suaranya.

dan sakusa yang hilang akal karena pelepasannya malah menghisap jari-jari di mulutnya, lidah dengan lemas ikut andil membasahi tiga buku jari suna.

suna mana tahan? ejakulasi juga masih jauh di mata.

“maaf sayang, aku juga mau keluar. gak tahan liat kamu.”

yang lebih tua bergerak lagi, gak peduli sakusa yang belum turun pijaki kesadaran lagi.

sakusa bisa saja teriak dan mengalahkan suara tv di lantai bawah kalau saja bibirnya masih tak tersumpal.

“ngggh- ss- r- rhinm-”

pinggul sakusa digenggamnya, dibuatnya diam untuk memudahkan penisnya masuk dengan tepat.

suna memang gak niat ejakulasi sendiri. mau bawa lagi pacarnya jalan-jalan sampai tak sadarkan diri.

“hmn- you are so tight, baby,” suna menggapai penis sakusa untuk diremat-remat, untuk memaksa ejakulasi kedua keluar, “kesayangan aku, emang.”

dimanja dimana-mana, sakusa makin gak karuan. tubuhnya bergetar dan ribut di atas meja. kakinya menyeret-nyeret di pinggang suna.

kenangan yang bagus, ya. mulai sekarang, tiap kali suna ada tugas essay lima ribu kata, pasti yang diingat cuma kaki cantik sakusa yang kelimpungan karena penisnya.

“k- keluar, ya? sama aku?”

sakusa menurut, walau bibirnya dipermainkan sedemikian rupa dan air liurnya banyak menetes dimana-mana, sakusa menurut kata pacarnya. sayang, mau bagaimana?

suna bergerak makin kuat, tangannya memijat di penis sakusa makin cepat.

sampai akhirnya keduanya mengerang berat karena orgasme.

lahar panas suna menyelimuti analnya sampai dalam, buat si submisif memejam mata. puas, tapi gak mau bilang sama si pacar.

suna membanting dirinya ke tempat duduknya. tangannya menyugar rambutnya yang lepek, perhatikan pacarnya yang masih meremang di atas mejanya. kaki lemas masih terbuka.

dengan jahil, suna memasukkan jempolnya ke dalam sakusa. melebarkan lubangnya dan tak peduli cairannya keluar mengotori mejanya.

“r-rin u-udah.”

“mau aku bersihin,” suna bergerak menggeser lagi kursinya mendekat, tangannya menggenggam kedua paha sekal si pacar, “kamar mandi 'kan di bawah.”

lidah suna dengan santai menjilati sakusa di bawah, meneguk apa yang keluar dari analnya dengan senang tanpa rasa jijik karena meminum cairannya sendiri.

“a-ah, r-rin-” sakusa menggenggam kepalanya, kukunya menggesek di kulit kepala si pacar.

suna mengecup lubangnya seakan itu adalah bibir sakusa.

senyumnya cerah, biasanya senyum begini suna mau mengajaknya ke tempat makan favoritnya.

“pindah ke kasur, yuk?”

bukan, ternyata.

tapi, kasur emang tempat favorit makan suna dengan sakusa sebagai hidangannya, sih.

.

fin

.

Ushijima harem: Starvation (feat. Oikawa, Sakusa, Akaashi, Suna, Miya Atsumu)

warning: mention of blood, harem sex scene (Ushijima x omegas), graphic sexual scene.


“You can just come in, you know?”

Oikawa tersenyum sebelum melewati Ushijima yang menutup kembali pintunya. Yang lebih kurus berjalan selangkah di depan Ushijima, seakan berjalan di atas tanahnya sendiri.

Lelaki berumur 36 tahun itu datang dengan kain merah membalut tubuhnya. Ushijima pernah memujinya ditengah peluh dan nafas tersenggal bahwa Oikawa terlihat sempurna dengan warna merah di kulitnya.

(Sebenarnya yang dimaksud ushijima adalah bekas gigitan berikut ceplakan darahnya, tapi Oikawa dengan dress blouse tetap tak bisa dielakkan pesonanya.)

“You look good,” tangan besar si tuan rumah tanpa permisi melingkar di pinggang sang tamu “this way.”

Sang vampire terus menggiring Oikawa ke dalam villanya. Ruangan demi ruangan. Ruang tamu dan dapur dilewati, beberapa pintu kamar juga tak dihiraukan.

Ushijima memilih tempat yang tepat untuk acara malam ini. Villa di puncak bukit begini sangat senyap. Cuma ketukan buram kaki dengan lantai dan sayup kucuran air dari kolam indoor capai telinga keduanya. Sejauh mata memandang, yang ditemukan sang tamu hanya campuran beton, kayu dan batu kapur sebagai bahan dasar furnitur. Jendela kaca yang besar-besar buat cahaya bulan banyak menyorot masuk. Oikawa mengerti mengapa Ushijima tidak menyalakan penerangan terlalu banyak.

“Dimana yang lain?”

Ushijima tersenyum tipis dengan dua emosi yang paling kentara; gairah dan gelisah.

Ushijima biasa menangani para omega yang juga personal blood banknya dalam musim heat secara bergilir, tapi malam ini jauh berbeda dari biasa. Ushijima harus menangani lima dalam satu malam; lima omega untuk dipuaskan satu-satu hasrat dikawininya.

Catatan, omega tak akan bisa puas dengan satu pukulan ejakulasi.

Akhirnya mereka sampai di depan pintu yang menjulang dua kali tinggi Ushijima. Kokoh, terbuat dari jati yang keras. Suara di dalam terendam begitu sempurna.

“They are here already.”

.

Ushijima kembali ke posisinya sebelum Oikawa datang.

Satu-satunya yang bermata merah berbaring di tengah kasur, punuknya bersandar ditumpukkan bantal dan dua omega yang wangi tubuhnya sudah pekat dengan birahi berlaku bagai semut yang mengerubungi gula yang menjadi favorit.

Akaashi di sebelah kirinya, pinggang ke bawah sudah telanjang, menyisakan turtle neck yang membungkus lengket tubuh atasnya. Kakinya saling menggesek tak karuan.

Yang satu lagi Sakusa. Sahabat sang vampire itu masih lengkap dengan kaus biru dan celana bahan di tungkainya. Bedanya, dua kain tersebut basah oleh keringat dan cairan dari selangkangannya sendiri.

Keduanya sama, sudah lebih dulu sampai di puncak masa kawinnya, sudah lebih dulu mengais kehangatan dari yang lebih dominan. Keduanya menggesekkan tubuhnya pada vampire yang mereka jepit di tengah, bibir berisik meracau meminta belas kasih sang penghisap darah.

Tak punya pilihan lain selain menurut, Ushijima mengelus mereka tepat di titik kawin masing-masing.

Oikawa duduk di samping Akaashi, mata perhatikan Ushijima yang membagi adil kecupannya.

“Oh my god” Oikawa terkekeh, tangannya mengelus pergelangan Ushijima yang maju-mundur di bokong Akaashi, “dan kamu belum gigit mereka?”

“I know right?” suara dari pojok ruangan menanggapi, rokok di tangan dengan kaki tak sopan naik ke atas meja, “what would happen if they were bitten?”

Yang paling tua tersenyum, “and you are?”

“Suna,” jawabnya, asap di tengah bibir, “dan belum- aku belum.”

“Kapan?”

“Gak tau, tapi aku udah mulai di basah.”

Lelaki yang duduk tak bersuara di belakang tubuh Sakusa tiba-tiba berdiri, tak puas hanya menyaksikan pertunjukkan di sampingnya.

Kasur besar dengan kain putih itu berderik; Miya tiba-tiba berdiri. Tungkai panjang dengan celana washed jeans yang robek-robek tarik semua perhatian.

Miya Atsumu dengan gemetar dan nafas berat menduduki kaki Ushijima, punggungnya bersandar pada kaki Ushijima yang tertekuk naik.

“It's coming,” katanya dengan terburu-buru, “Ushijima-”

Tangan Ushijima naik ke pipi si penunggang, menenangkan yang pipinya mulai memanas, “come here, kiss me.”

Ushijima dipagut begitu dalam oleh Miya. Bibir ditarik-tarik mendekat, buat si vampire menggeram.

“Want me to bite you?”

Miya mengerang, begitu menyukai gagasan barusan.

Lehernya meninggi, menyerahkan diri pada sang algojo di bawahnya untuk hukuman yang tau akan bawanya makin terjorok masuk ke dalam kepulan kabut nafsu.

SSSH, taring Ushijima menembus lehernya, lewati tiga lapis pertahanan kulitnya sampai akhirnya menancap di tempat yang paling menyenangkan. Bukan hanya bawa keluar darah yang dicecap gembira oleh sang vampire, tapi juga satu-satunya insting omega di masa heat, yaitu untuk digagahi.

Tak berhenti di Miya, Sakusa dan Akaashi yang menonton temannya mengerang nikmat karena insting heatnya keluar juga meminta bagian.

Sakusa dan Akaashi digigitnya dan tiga erangan berbeda kini saling menyahut di atas ranjang. Wajah memerah karena tubuh yang terbakar dan basah di tengah tungkai mereka tak membantu sama sekali.

Ushijima bangkit dari posisinya. Kerongkongannya basah dan dahaganya terpuasi. Tubuhnya meletup-letup dari dalam, mengalirkan energi yang berbeda dari biasa, pengaruh dari berbagai macam darah yang diminumnya.

Darah Miya di lidah Ushijima terasa bagai kebebasan, gemerlap masa muda di tengah musik yang berdenging dan lampu temaram dan ia yang berdansa di tengah kerumunan.

Akaashi sarat akan keingintahuan, pengembara hamparan langit malam hari yang gelap, yang banyak rasa ingin tahu, yang tak peduli kemungkinan dilahap oleh kegelapan, yang matanya tetap berbinar elok walau dihadapkan dengan hitam tak berujung.

Sakusa punya magis sendiri ditiap rintik darahnya, buat Ushijima bagai berdiri di pinggir laut dengan air biru langit berlomba-lomba kasar mengejar daratan, angin berhembus sentuh kulitnya menggoda. Ushijima merasakan ketenangan, tapi juga hasrat untuk menghirup lebih banyak.

“Fuck fuck fuck fuck-” Suna mematikan rokoknya yang sepanjang kelingking, menekannya keras pada asbak, “this is getting interesting.”

“Yes,” Oikawa yang juga menjadi audiens tak bisa diam saja, kaki rapat-rapat saling menggesek, “mulai kerasa, Suna?”

Yang dimaksud Oikawa adalah heatnya dan Suna menggangguk tak malu, menyalakan rokok ke tiga malam itu untuk menenangkan dirinya.

“Pa-pak Ushijima-” Akaashi menarik tangannya ditengah kegiatannya mengulum penis Miya.

Ushijima berdiri dengan lututnya, melorotkan semua kain yang ada di tubuhnya. Tiga omega di depannya terkulai lemas karena belum dipuasi hasratnya. Nafas ketiganya tersenggal, tatap Ushijima begitu mendamba.

“Let me handle you three, okay? Do you trust me?”

Ketiganya mengangguk dan Ushijima mulai benar-benar bekerja.

Ushijima mengutamakan Sakusa dan Akaashi yang lebih dulu memasuki masa heatnya. Maka, didudukannya Akaashi di atas pinggangnya, tepat di atas kejantanannya.

Ushijima menggesekkan Akaashi dengan tiga jari sebelum menggantinya dengan penisnya, perlahan memasuki lubang senggamanya yang paling menanti sentuhan.

“Hmmh- nggh,”

“Gak apa-apa? Sakit?”

Akaashi menggeleng, mencengkram Ushijima di sisi perutnya. Sang vampire selalu terasa seperti pertama untuknya, besar memenuhi tiap sudut dirinya.

Hmmh b-besar- hhn,”

Ushijima menggerakkan pinggulnya naik turun, buat Akaashi ikut terlempar ke atas dan ke bawah. Leher tinggi-tinggi mengais nafas. Akaashi mendesah terpuaskan karena akhirnya titik kawinnya ditumbuk oleh penis sang vampire.

“Lakukan sendiri, ya? bergerak naik turun.”

Si omega mengangguk, dengan frustasi naik-turun di atas Ushijima mengejar kenikmatan, memuaskan hasrat omega dalam dirinya.

Melihat Akaashi yang mulai terbiasa dengan gerakannya sendiri, Ushijima menarik Sakusa dan Miya untuk bergerak dekati tubuhnya.

Miya yang panas nafasnya dibuat memeluk tubuhnya di bagian kiri.

Miya dicumbunya halus, tangannya menjelajah turun dekati bokongnya, “kau begitu basah, Miya.”

Sang omega mendesah kala jemari-jemari Ushijima dengan mudah mengintrupsi rapatan lubangnya. Wajahnya menelisik leher Ushijima malu karena telah membanjiri tangan Ushijima dengan cairannya sendiri.

Si rambut hijau tertawa kecil, “is this okay?”

Lidah Miya terjulur menggoda, menjilat tulang selangka Ushijima, “gue mau lebih, Ushi.”

_“Of course, Miya. You will get your turn, okay?”

Mengalah, Miya mengangguk. Pinggulnya bergerak mundur, mengejar jari Ushijima yang mengoreknya begitu dalam.

Yang terakhir Sakusa. Si rambut ikal yang merintih kesakitan di sampingnya dituntun untuk berdiri dengan lututnya dan mendekati wajahnya.

Sakusa terkesiap saat tahu maksud temannya itu, “To-toshi-”

“Ride my face, let me taste you.”

Ini bukan pertama kalinya. Ushijima memang pernah sesekali mencicipinya di bawah tanpa persetujuannya, tapi duduk di wajah temannya bukan cerita yang sama.

Sakusa menggeleng, wajah memerah bukan hanya karena panas tapi juga malu. Malu dengan kepalanya yang seenaknya membayangkan rasanya lidah Ushijima di dalamnya.

“No- no, Toshi. I-”

“I want to, okay? Let me eat your sweet slick.”

Ragu, akhirnya dengan gemetar satu kaki Sakusa melewati kepalanya.

Pantas Sakusa begitu malu. Si lelaki kurus begini basah dimana-mana. Dari penisnya dan lubangnya. Cairannya turun basahi kedua pahanya.

Ushijima menjilat bibirnya. Jelas, omega bukan hanya lezat di darahnya, tapi juga cairan kawinnya.

“Pegang sesuatu.”

Sakusa mencengkram kepala kasur, Ushijima mencengkram bokongnya.

Lelaki yang sama-sama berumur 34 tahun itu didudukkan di atas mulutnya.

“Hhng- T-toshi- mmh Tosh- Toshi-”

Lidah Ushijima menjilati pintunya, melingkari pinggirannya untuk terbuka dan kemudian menerobos masuk, melambaikan lidahnya sentuhi dindingnya yang basah dan terus makin basah.

Sakusa menggeleng kewalahan, menarik helai rambut Ushijima di tengah kakinya.

“Waka- Wakatosh-i- Toshi- jangan- god jangan-”

Bibirnya meneriakan penolakan, tapi tubuhnya berbicara lain. Sakusa menggoyangkan pinggulnya, masukkan lidah Ushijima lebih jauh ke dalam dirinya.

Begitu. Ushijima menyantap Sakusa masih dengan tangan kirinya yang aktif menusuk-nusuk Miya dibokongnya dan penisnya yang berdiri tegak digenjoti Akaashi.

Erangan ketiganya menyahut.

Makin terpuasi, makin keras suara yang memantul di kamar tidur itu.

Oikawa mendekati Akaashi yang masih kewalahan mengais nikmat di penis besar sang vampire.

Lelaki dengan surai coklat cedar itu menggigit bibirnya kala menemukan benjolan samar di perut bagian bawah sang omega tiap kali berhasil membawa masuk penuh penis Ushijima ke dalam tubuhnya.

“Ushijima, kamu terlalu besar,” Oikawa tertawa kecil di tengah deru nafasnya, jarinya menekan halus penis Ushijima di perut Akaashi, “you reach him so deep. You know about this?”

“I know,” jawab Ushijima di tengah penetrasi lidahnya, “he cried in joy knowing it for the first time.” katanya enteng, buat Akaashi mengerang malu, pinggulnya bergerak makin berantakan.

“I think he will come.” celetuk Suna sambil berjalan ke arah ranjang dan duduk di sisi lain Akaashi.

Suna mengerling nakal ke arah Akaashi yang tersenggal, “you like it there, young omega?”

Akaashi mengangguk, “s-suka-” dan Suna tertawa karena ia merasakan hal yang sama tiap kali dimanja Ushijima.

“Then come, let me have my turn.”

Ushijima ikut menggerakkan pinggulnya di detik-detik pelepasannya dan Akaashi keluar begitu hebat sampai suaranya hilang di pangkal tenggorokan. Cairannya yang banyak membanjiri perut Ushijima.

Tubuh lemasnya ditangkap Oikawa. Kulitnya meremang karena post-orgasm dan Oikawa membisikinya kata-kata manis untuk menenangkannya sebelum dibawa ke sisi ranjang untuk beristirahat.

Setelah Akaashi lepas dari tubuhnya, Ushijima dengan halus menjauhi Miya dan Sakusa juga dari tubuhnya untuk dengan lebih serius mengatasi Sakusa.

Sakusa dibanting ke sampingnya dan pinggulnya di bawa naik dekati udara. Lubangnya yang sudah terlalu banyak pemanasan dimasuki penis Ushijima tanpa jeda.

“Ah- hhh ah-”

Lelaki dengan dua titik di dahinya mendesah keras-keras, mencengkram bantal di tangannya.

Penis Ushijima yang besar dan keras menerobosnya begitu saja dan bergerak jauh dari halus. Ushijima tahu Sakusa hampir mencapai puncaknya, maka si vampire tak berniat membuang waktu.

“Pelan- pelan, Tosh- hhhh Wakatoshi-” tangan Sakusa menggapai-gapai ke belakang untuk menghentikan laju temannya yang terlalu keras-keras menekan titik nikmatnya.

Tak mau dengar, Ushijima menekan penisnya makin dalam, menekan telak di titik Sakusa, di titik yang membuat Sakusa mencengkram lebih keras, mengerang lebih ribut.

Sampai akhirnya matanya gelap saat ejakulasinya berhasil dicapai. Tubuhnya merenggang dan kakinya mengayuh di atas ranjang.

Ya, dari semua omega yang ditangani Ushijima, Sakusa memang salah satu yang paling dewasa, tapi kadar kesensitifan tubuhnya adalah yang paling tinggi. Sakusa biasa menangis di ejakulasi pertama saat masa heatnya.

Dan disini Ushijima, mendekap Sakusa erat dengan tubuhnya sampai gemetarnya berhenti, sampai kakinya berhenti menyereti kain.

“Kiyoomi? Kiyoomi?”

Tangan Sakusa lemah menggoresi punggung telanjang temannya, bibirnya terbuka menciumi pundak Ushijima.

“L-lagi, Wakatoshi- want you- you inside me–”

“I will give it to you later, okay?” Ushijima menciumi lehernya, menenangkan omega dipelukannya, “take a rest first, the night is still young.”

Sakusa mengangguk pelan dan dibaringkan di samping Akaashi yang matanya sayu kelelahan. Si rambut ikal terlihat sama berantakannya.

Sang vampire terburu-buru mendekati Miya yang nafasnya begitu panas. Tangannya besar membungkus pipinya, “you okay, Miya?”

Miya menggeleng. Mencari hangat di telapak tangan Ushijima.

Ushijima menengok ke bawah dan menemukan selangkangan Miya yang begitu basah, terlalu basah. Ushijima ingat memberikan tekanan terlalu banyak pada gigitannya tadi. Wajar kalau Miya saat ini adalah yang paling merasa panas dibanding Sakusa dan Akaashi.

Si vampire turun menjilat Miya di bawah, menciumi dan meneguk cairan kawinnya yang banjir membasahi dagunya. Miya mengalir begitu deras dan Ushijima tak mau membiarkan cairan itu hilang diserap kapas ranjangnya.

“Ushi- Ushijima-”

“Maaf, kamu pasti sensitif sekali sekarang,” tubuh Miya dilipat dua, memudahkan Ushijima meneguknya, “mau langsung saja? aku yakin kamu akan langsung keluar saat aku masuki.”

Miya mengangguk keras, mengoyak kepala Ushijima di tengah kakinya saat yang lebih tua menghirupnya keras-keras. Suara dari mulutnya begitu basah, buat Miya memerah malu karena diperhatikan omega yang masih menunggu gilirannya.

Terlalu terpaku dengan sekitarnya, Miya melupakan Ushjima yang menjulang di depannya. Kejantanan keras mencoba memasukinya.

“Hmmn- fuck fuck– hnn-”

Ushijima tergelincir masuk ke dalamnya, terlalu dalam.

Miya meninggi, memisahkan punggungnya dari ranjang, mengoyak sprei di atas kepalanya.

“Sshh, Miya?” Ushijima mendekatkan tubuhnya, tak sengaja makin melipat Miya, makin memasuki Miya, “hei?”

Miya mengerang begitu keras, dagu tinggi memamerkan merah disekeliling lehernya, matanya hampir putih karena ekstasi dimasuki di masa heatnya.

Begitu saja. Cuma beberapa dorongan halus dan Miya jejaki puncaknya. Erangannya keras, bagai domba yang tercekik oleh binatang yang haus darah.

Tapi, nyatanya, penghisap darah di atasnya begitu lembut dibanding pukulan ejakulasi yang dipersembahkannya. Ushijima mengigiti Miya di pundaknya, tinggali gigitan. Pinggulnya memijat Miya di dalam.

“Miya, kamu terlalu capek di ejakulasi pertama,” rambut Miya yang basah di keningnya diusapnya sayang, “istirahat, besok pagi lagi, ya?”

Miya menggeleng, bersikeras. Omega di dalamnya belum terpuaskan sama sekali hanya dengan satu orgasme.

Ushijima menunduk, menggigit kecil Miya di lehernya, kali ini menusuknya. Pelan, di titik dimana omega akan merasa tenang sementara, dimana nafsu dikawininya akan mereda sedikit.

“I promise to treat you tomorrow, i will do anything you like, okay?”

Menyerah dan ketenangan berangsur menyelimutinya, Miya tak memberontak kala diangkat naik menuju sofa.

Setelah memakaikan Miya dengan celana dalam dan kaus acak dari lemarinya, Ushijima kembali menapaki ranjang, dimana dua omega yang satu langkah lagi sampai di masa heat menunggunya.

Suna sudah setengah telanjang. Matanya liar perhatikan Ushijima yang menghampirinya dan Oikawa di sampingnya.

Ushijima tertawa kecil, tangannya membantu Oikawa keluar dari dress shirt merahnya.

“Eager much, Suna?”

Suna mendengung, menaiki paha Ushijima saat Oikawa di tangannya sudah telanjang total.

Ushijima menatap Oikawa di samping tubuhnya, “Suna dulu, gak apa-apa?”

Yang ditanya mengangguk tak masalah. Kepalanya bersandar pada kepala ranjang tepat di sisi Sakusa yang masih tergeletak tak berdaya.

Suna tertawa, tangannya dengan nakal mengusap tubuh Ushijima, menghabiskan waktu agak banyak di dada dan perutnya.

“Make me scream?”

“Suna, you always scream.”

“Make me louder tonight, then.”

Ushijima mengendusi leher jenjangnya, siap membawa heatnya keluar.

“Siap?”

Ushijima perlahan menancapkan taringnya. Begitu hati-hati, tak ingin sembarangan dan membuat Suna lebih panas dari yang seharusnya.

Dan Suna benar menjerit. Heatnya naik ke permukaan, kepalanya dipenuhi insting omeganya, yang ingin berbaring dan digagahi oleh seorang dominan.

Tangannya mencengkram Ushijima di kepalanya, menekan lebih keras si vampire ke kulitnya, memohon sang vampire untuk menjilat habis darahnya, yang tentu saja disambut antusias oleh si pemburu darah.

Suna terasa bagai pemenang di pengecap Ushijima. Percaya diri meski duduk di tengah meja yang bundar dan dikelilingi oleh pesaingnya. Wild and free, tepatnya. Ushijima merasakan adrenalin luar biasa tiap kali mengecap Suna.

Si bartender dibaringkan di bawahnya dan Ushijima mengukung di atasnya, perhatikan sang omega yang sedang menikmati darah miliknya yang memanas di sekujur tubuhnya.

“That good?”

Suna mendengung serak, hidungnya menciumi tangan lelaki yang mengurung kepalanya. Membaui tubuh Ushijima yang tercium lezat di hidungnya.

“Kamu basah, Suna.”

Ushijima menusuki lubangnya dengan jari, mengeruk lubrikan alami yang mengalir dari lubangnya, buat Suna naik turun di kain ranjangnya yang kesat, menggapai jemari Ushijima di bawah.

Tak tega melihat Suna yang makin frustasi dengan catukan jarinya, Ushijima mengangkat pinggul lelaki yang lebih muda, mendekatkannya dengan Penisnya yang masih keras dan siap memanja omega.

“Hhhh- FUCK–”

Tusukkan penis Ushijima ke dalam Suna sebanding dengan tusukkan taringnya tadi pada lehernya.

Reaksinya pun masih sama, Suna bagai tertawa ditengah perkawinannya. Bibirnya menyeringai. Dorongan Ushijima di dalamnya terlihat begitu dinikmati, menyenangkan di indra perasanya.

“Fuck, Ushijim- ma- you feel so good-”

“Hhhng- Fuck- how are you- you so big-”

Lidahnya mencelos keluar ditengah maju-mundur pinggul Ushijima. Erangan bahagia dari Suna tak henti-hentinya memantulkan gema.

Sampai Oikawa datang dari belakangnya, memeluk Ushijima yang masih sibuk dengan pinggulnya.

Lelaki itu menciumi Ushijima di tengkuknya, tangannya memeta di perut si vampire yang membentuk lipatan daratan.

“Give m-me your finger, Ushijima.”

Hidung Ushijima dipenuhi wangi cairan kawin yang baru; Oikawa memasuki heatnya.

“Is it here?”

“You are having fun here, i can't wait so i play with myself a-and, it just came.”

Ushijima mengecup Oikawa, “berbaring di samping Suna.”

Tangan Ushijima langsung bekerja masuk ke dalam Oikawa sedetik lelaki itu membaringkan tubuhnya yang hangat.

Oikawa mengerang puas. Kakinya lebar-lebar mengangkang di atas ranjang, bertekad membawa jemari Ushijima memasukinya lebih dalam, membawanya lebih jauh masuk ke dalam masa heatnya.

“Ushi- Ushijima- Ushi-”

“Ushijima- Ushi-”

Dua omega dibawahnya merintih saat Ushijima mempercepat geraknya, bertubi-tubi menabrakkan titik lemah omega di dalam tubuh mereka. Suna dan Oikawa sama cantiknya dengan warna merah memperkeruh warna kulit asli mereka. Uap panas berhembus panas dari mulut yang tak berhenti merapal nama si vampire yang berkeringat di atasnya.

Yang pertama adalah Suna. Pemuda itu mendorong-dorong Ushijima dengan kaki gemetarnya. Merasa menerima berlebihan, kewalahan dengan hujaman Ushijima.

“Ush- Ushijima- Hnmn- Ushijima-”

“Come, Suna.”

Patuh dengan sang vampire, Suna benar meledak-ledak. Dadanya tinggi-tinggi menyongsong udara. Cairannya makin deras di selangkangannya.

Kepercayaan diri Suna memang bukan sembarang omong kosong. Suna stunning, begitu kata orang-orang di bar dan satu-satunya yang bisa membuatnya gaduh karena puas hanya Ushijima.

Nafas Suna terkesiap saat Ushijima meninggalkannya begitu saja. Si vampire berpindah mengurusi Oikawa yang frustasi karena Orgasmenya yang sudah dekat ditunda karena fokus Ushijima yang penuh pada Suna.

“S-sebentar, Suna.”

Ushijima menerobos bagian bawah Oikawa. Tanpa basa-basi mendorong kuat, terburu-buru ingin menerbangkan Oikawa capai orgasmenya.

“Ahh- t-there p-please- Ushijima-”

Wibawa Oikawa sebagai managing director brand ternama Marie Antoinette tercoreng di bawah Ushijima.

Oikawa Tooru dielu-elukan karena keterampilan product presentationnya yang menakjubkan. Bahasa tubuhnya menarik perhatian, buat pendengarnya tak mau sedetikpun memalingkan mata. Muda dan cerdas. Buat tidak hanya tawaran kolaborasi produk yang membanjirinya, tapi juga undangan untuk makan malam yang diakhiri di atas ranjang.

Kini lelaki yang diidamkan orang-orang memikat hanya Ushijima dengan erungan seraknya, mencakari punggung si vampire dengan mata yang hampir terbalik. Jangankan presentasi, Oikawa saat ini hanya mengingat Ushijima di lidahnya.

“Deeper- p-please reach deeper-”

“Hm? You want it deep?”

Oikawa mengangguk ribut, Ushijima menyerbu lebih keras. Tungkai kaki omega yang naik ke atas digenggamnya untuk diciumi berkali-kali, digesek dengan taringnya tepat di permukaan utasan uratnya yang berdenyut.

Ushijima mengaum rendah, perutnya ikut teraduk karena birahinya yang naik, “aku mau keluar, Oikawa.”

“In-inside, please-”

Dorongan yang dalam dan keras, akhirnya Ushijima keluar di dalam Oikawa. Pertama kalinya malam ini. Begitu deras, membanjiri lubang analnya yang rapat.

Oikawa dibawahnya meraung senang, kaki menyeret-nyeret saat orgasmenya juga ikut meletus keluar, membanjiri perutnya sendiri.

Sang vampire memundurkan tubuhnya, membawa Oikawa mendekat untuk dipeluknya. Ia berbaring di samping Suna yang menatapnya masih dengan mata sayu.

“Capek?” tanya Suna perhatian.

“Hm, tapi tidak juga,” dengung Ushijima menatapnya balik, “aku sudah banyak minum, so this much is alright.”

Suna mendengung, tubuhnya setengah meninggi untuk menjilat bibir Ushijima yang kemudian disambut dengan lidah sang vampire. Basah, saling membelit, saling menggesek hamparan pengecap satu sama lain.

“I want to taste you,” bisik Suna di tengah jilatannya, “can you come one more time?”

Sang vampire mengangguk, membiarkan Suna mengecupi tubuhnya yang coklat sampai turun ke bawah.

Ushijima Wakatoshi bukan vampire yang terbit dari cerita dongeng. Bukan vampire dengan tubuh kurus yang pucat dengan kantung mata tebal di bawah matanya.

Lelaki yang umur manusianya mencapai 34 tahun itu punya tubuh secakap Hephaestus. Kulit Ushijima panas di peraba, coklat keemasan seakan ia adalah anak kesayangan matahari yang tak habis-habisnya dikecupi. Matanya menatap dengan tampan. Retinanya coklat transparan di pagi hari dan akan berubah sepekat darah saat kehausan. Kukunya yang rapi akan meruncing dalam sedetik, perlihatkan hasratnya untuk memburu darah manusia walau tak pernah dipakainya.

Ushijima mendengung nikmat kala mulut Suna sampai di penisnya. Dilahapnya kejantanan yang telah bekerja memanja lima omega malam ini. Suna menyantapnya begitu gembira, menyekungkan pipinya untuk menghirup isi dari penis sang vampire.

Sampai Akaashi dan Sakusa terbangun dari lelahnya. Merangkak mendekati Suna yang sibuk di bawah Ushijima.

Diperhatikan begitu Suna terkekeh di tengah jilatannya, “want some?”

Akaashi, omega yang paling muda, mengangguk. Masih dengan mata yang berat, bibirnya dengan ragu menguncup, mengulum Ushijima di ujungnya.

“Use your tongue- yes, honey, like that,” Suna menarik halus rambut di kening Akaashi, “baru pertama, ya?”

Pipi yang ditanya memerah, “y-ya.”

“Mau ku ajari?”

Lagi-lagi Akaashi mengangguk, membiarkan Suna yang tak dikenalnya menuntun pipinya, sesekali dengan kasar memaksakan lidah Akaashi untuk ikut keluar. Sampai akhirnya Suna dan Akaashi saling berbagi, menjilati satu penis Ushijima untuk berdua. Lidah kadang bersapa, kuyup dengan saliva dan cairan Ushijima.

Tanpa berbicara, Sakusa ikut bergerak, menciumi bulu halus tepat di atas selangkangan sang vampire yang lurus menuju kejantanannya. Lidahnya sesekali menjilat kecil dan menggelitik, buat Ushijima melipat kakinya gelisah.

Tangan sang vampire bergerak, mencekal rambut Sakusa untuk lebih turun, ikut serta dengan dua omega yang haus di bawah.

“Aku mau keluar.”

Satu kalimat Ushijima dan ketiga omega di tengah kakinya dengan tak sabar menjilatinya dimana-mana, berniat mempercepat ejakulasi Ushijima. Tak sabar ingin menyecap cairan yang tak didapatkan untuk lubang di bawahnya.

Sang vampire menggeram rendah mencapai kulminasinya. Cairannya meleleh turun kelilingi penisnya.

Tiga omega di bawahnya menggerung puas. Menjilatinya dengan rakus, tak mau satu titik pun terbuang sia-sia.

Yang habis dicecap kembali duduk, perhatikan tiga omega cantik yang heatnya belum mereda menatapnya mendamba, menatapnya dengan banyak artian.

Belum, belum puas.

Ushijima tersenyum, tangan besarnya mengelus bergantian omega yang kakinya rapat bergerak resah.

“Siapa yang lebih dulu?”

.