bakuroou

sakuaka: fireworks

-

Taman Sumida, Tokyo.

Musim panas, 20 juli 2020; tahun ini Akaashi berangkat lagi.

Si pemuda memoles cakap wajahnya, tak sembunyi di balik bingkai kacamata seperti biasa. Satu gores hitam di garis matanya dan sececah merah di pipi dan bibir, buat kepercayaan dirinya meruak. Yukata biru prusia merekat di tubuhnya familiar, tak sesak juga tak terasa longgar walau berusia tiga tahun. Obi hitam pekat melingkarinya rapat-rapat, buat perbatasan antara pinggang dan pinggulnya terlihat jelas. Kekasih yang seharusnya bersamanya akan tau dimana untuk mengistirahatkan tangannya.

Iya, Seharusnya.

Tahun ini, lagi-lagi, pinggangnya dingin tanpa teman; Akaashi Keiji sendiri lagi tanpa Sakusa Kiyoomi.

Tiga tahun bayang nyata lelaki tinggi dengan rambut ikal kesukaannya tak dijumpai mata. Rupanya cuma berbentuk kumpulan piksel di layar ponsel, tampilkan kesibukannya gapai mimpi di Sydney, Australia. Jarak tetap membentang besar, samudra dan sembilan jam yang pisahkan ke duanya tak menyempit sama sekali.

Akaashi pilih menjauh dari hingar-bingar ramai. Tawa puas pengunjung akan kebersamaan dengan yang dikasihi kini samar didengar, tak lagi mengancam kepasrahan Akaashi akan kekosongan yang menganga di sampingnya.

Pemuda dengan rambut selegam arang itu menghempaskan diri di bangku kosong dekat tepi sungai. Sejauh mata memandang cuma temukan beberapa tikar yang digelar dengan penghuni di atasnya.

“Akaashiㅡ”

Serebrum di kepalanya buktikan kegunaannya; kepalanya tak bosan memutar memori tiga tahun lalu. 2017, yang juga tahun kelulusan Sekolah Menengah Akhirnya.

“Sydneyㅡ Sydney berkilo-kilo jauhnya, Kak.” responnya terlalu datar, bagai ditembak tepat di rusuk dada yang rasa sakitnya tak terasa di detik itu karena lambat diproses otaknya.

“Ya,” Sakusa genggam erat kedua tangannya, “mau sampai sini? gak mau perjuangkan hubungan ini?”

“Mana bisa,” matanya pedih berkaca-kaca, jadi wali perih di hati, “aku sayangㅡ mana bisa?”

Sakusa mengangguk, kecupi buku jari kekasihnya. “Ya, tau. Aku tau betul, Akaashi.” “Aku sama sayangnya, aku tak mau lepas kamu.”

Awal Juli 2017, ciuman perpisahan tak bisa dihindari. Sakusa hilang ditelan pintu departure Bandara Narita, bawa kabur janjinya untuk bergandengan tangan lagi di Taman Sumida, kembang api meletup-letup di atas kepala mereka yang saling mengantuk untuk menyapa ranum satu sama lain.

Akaashi menghela nafas keras, berharap air mata yang siap menyungai ikut menguap, tak jadi turun basahi kedua pipinya.

Harapan tinggal sebuah harapan; Akaashi menangis lagi.

Di tengah hiruk-pikuk antusias penantian bunga api di langit, Akaashi menangis.

Rindu, Akaashi begitu rindu.

Pertukaran kabar di tengah kesibukan tak lagi berguna tutupi lubang besar di sanubari.

Mana tau ia tak akan puas dengan berbaris-baris percakapan di aplikasi media sosialnya? Mana tau suara Sakusa yang terdengar begitu dekat lewat earphonenya tetap terasa bermil-mil jauhnya?

Yang dibutuhkannya bukan Sakusa di layar ponsel dinginnya, tapi Sakusa yang hangat di indra perasa, Sakusa yang dengan mudahnya lingkari tubuhnya di dalam peluknya.

“Benar, kamu disini.”

Sorak sorai pengunjung makin mendengung di pendengaran, tapi Akaashi tak melewatkan baris kalimat tersebut.

Akaashi mengedip, bukti kepalanya sedang berputar mencari. Suara yang baru saja masuk ke dalam gendang telinganya dialihkan ke otaknya untuk diproses, untuk dikenali.

Udara di sekitarnya terasa menyusut, yang awalnya cuma mengitari dirinya seorang kini dibagi berdua. Obi di tubuhnya terasa mencekik, menyesakkan Akaashi sampai ke paru-parunya.

Matanya melebar, ingin dengan benar melihat apa yang kini menjulang di depannya, halangi pemandangan sungai hitam di depannya.

Gelap, pandangannya mengabur karena minim cahaya. Tiga tahun, waktu yang cukup lama untuk melupakan apa yang tak bisa dilupakan.

Tapi, mana bisa? Mana bisa Akaashi tak melihat dengan jelas? Mana bisa Akaashi melupa?

“Ibu bilang kamu keluar rumah, rapi pakai Yukata. Aku ingat, ini Juli, jadi aku pikir, oh, kamu ke festival ini lagi.”

Akaashi menegak, hendak buat tingginya setara dengan pemuda yang satu. Tapi percuma, walau dimakan waktu, Sakusa tetap buatnya mengadahkan kepala.

Bibirnya tak mainkan perannya. Akaashi tak sanggup bicara. Berbanding-balik dengan matanya yang bertindak semaunya.

Air yang sudah menyungai sejak tadi kini terjun leluasa, tapaki bebas pipi Akaashi.

Sakusa disana, di depannya, berdiri tegak dengan kemeja hitam panjang selimuti tubuhnya. Kainnya begitu asing di mata, tapi untaian rambut jelaga ikalnya masih sama.

Bibirnya tertarik kecil tanda menang. Kelihatan tau benar bahwa kedatangannya mengejutkan si pujaan hati.

Tangan Sakusa menggores halus di pipi, hentikan aliran sungai di wajah Akaashi dengan jempolnya.

Suara bunga api mulai melejit di belakang, lurus-lurus gapai langit untuk kemudian buyar, pecah menjadi kepingan berbagai warna, ciptakan bunga yang membara, cantik memanja mata.

Tapi, mata Akaashi tak bergeming, tak peduli dengan keindahan langit malam yang dihiasi bermacam-macam rona.

Retinanya basah, buatnya jadi layar sempurna untuk pantulan proyektor kembang api di langit dan juga Sakusa di depannya.

Sakusa dan juga kembang api.

Tubuhnya digapai, dilingkari bukan hanya dengan kain yukatanya tapi juga lengan yang didambanya.

Kembang api di langit masih meletup-letup, tercerai-berai di langit untuk warnai malam musim panas.

Kembang api yang penuhi rongga dada Akaashi terasa sama, meledak-ledak memompa jantungnya, lebur dengan aliran darahnya, menyebar panas sampai ke ujung jemarinya yang kuat-kuat mencekal di pundak kekasih yang dirindunya.

“Aku pulang.”

-

vhasuna: panas warning: slight somnophilia (but not really)

-

suna melepas kaosnya, dalam hati ngedumel karena cuaca hari ini.

surabaya lagi panas-panasnya di siang begini. tengok ponsel, temperatur sentuh angka 38. pendingin ruangan biasanya bisa jadi andalan, tapi sialannya, benda itu lagi ngambek. rusak di tengah panas begini. kipas angin dari ibu kos pacarnya jadi pengganti di ujung kamar.

iya, hari ini suna main di kosan pacarnya. biasa, rutinitas seminggu berkali-kali setelah jemput pacarnya dari kampus. tapi, kalau tau begini, pacarnya aja yang diajak ke rumahnya, bukan dia yang kesini. masalahnya, di rumah ada adiknya, kalau tiba-tiba ada mood mesra-mesra sama pacarnya, ya gawat?

suna terkekeh. mata masih fokus sama film romance yang tadi ditonton bareng sama pacarnya. tadi. sekarang si pacar tidur pulas di atas ranjangnya, guling mesra dipeluk si cantik. tinggalkan dirinya sendiri.

suna menyedot es teh yang dibuatnya tadi. adegan romansa pria dan wanita di depannya makin intense.

si penonton solo mendecih. ya elah, pasaran banget? bentar lagi juga ngewe. begitu dalam hati dengan kurang ajar. bungkus permen yupi manis punya si pacar dibuka dan dikunyah. wajahnya santai perhatikan adegan di depan yang makin ketebak arahnya.

nah, kan. mulai panas.

awalnya suna biasa aja, santai meneguk teh dan yupi bergantian. tapi ketika suara desah makin berisik di telinga dan kulit yang makin terekspos makin banyak, insting lelakinya bereaksi; celana suna menggunung, menghimpit jeans yang dipakai.

suna menghela nafas. gila kali. bisa-bisanya nafsu melejit karena nonton semi-porno.

ya mau gimana? perempuan yang jadi aktor punya dada yang lumayan berisi. nyaring bunyi pipi pantat yang ditampar berkali-kali oleh aktor lelaki buat kaki suna resah di lantai.

mata lelaki itu terlihat malas cuma fokusnya meradang, ingatannya memedar ke pacarnya, ke waktu-waktu ia sama pacar bercumbu.

ah, kayanya punya vha lebih gede? kalau vha dicubit begitu mau gak ya. gila ceweknya berisik.

kurang ajar.

suna menengok ke pacarnya yang masih tidur di atas ranjang, rambutnya berurai di bantal.

si lelaki mengedip, tangan buru-buru matikan laptop, kemudian hampir meloncat ke pacar. niatnya mau ajak pacarnya mesra-mesraan. urusan dimarahin nanti belakangan, yang penting urusan selangkangan selesai.

vha ini agak galak kalau soal tidur. gak suka banget kalau tidurnya diganggu.

si pacar diam sebentar, putar otak ingat-ingat kembali apa si cantik punya tugas yang buatnya bergadang dari kemarin.

...dan kayanya enggak? tadi moodnya juga lagi bagus. dia bahkan ditraktir makan. gombalannya gak dihadiahi gebukan di paha. pasti si pacar hari ini lagi gak punya alasan marahi dia.

“s-sayang?”

panggil suna, suaranya kecil, beda sama keinginan kuat pelepasannya yang besar.

vha gak bergeming, kepala masih menghadap tembok dengan guling dipelukan.

suna iri. gila kali. iri sama guling.

matanya matai si pacar. kaki jenjang yang cuma dibalut celana pendek. tanktop hijau pastel yang tutupi tubuh atasnya. vha sudah biasa dengan baju begini jalan-jalan di depan mata suna. tapi, siang ini rasanya vha seksi banget.

rambut vha dibelai sayang. sayang banget sama si pacar. tapi selangkangannya makin sakit. ini gimana?

suna bergerak, tiduran di belakang si pacar yang gak tahu ada apa di belakangnya.

sialan. wangi banget dia.

si lelaki mendesah kepalanya menyender di tengkuk si pacar. matanya ke bawah, tak sengaja jumpai bokong seksi si pacar.

mampus. bagus banget. bagus.

instingnya bawanya mendekat, suna makin menempel, buat jaraknya menyempit dengan vha. karena reflek, selangkangan yang menggunung itu menyenggol bokong si pacar.

“mhhh-”

suna mengepalkan tangannya. sialan, sialan, sialan.

matanya tertutup. tunggu si pacar bergerak dan temukannya dengan niat bandel, tapi, yang ditunggu tak datang-datang.

vha masih tak bergerak.

suna mengedip, tangannya bergerak peluk pinggang si pacar, percobaan lagi.

dan tetap gak bergerak.

suna menggigit bibirnya, hidungnya membaui rambut pacar yang wangi manjai hidung. takut sama perbuatannya sendiri. takut pas vha bangun, dia bakal marah karena tidurnya diganggu.

oh? diingat-ingat, dulu ia pernah terbangun dari tidurnya dengan si cantik di pahanya, mengulum serius penisnya. suna suka sih, tangannya malah ikut bantu si pacar. jadi, dia gak apa-apa 'kan kalau balas dendam?

tangan suna naik, naik, naik. meremas bulat di dada vha.

suna mendesah. makin memeluk vha di dekapannya. kan. betul apa ingatannya. vha lebih besar dari yang di film tadi.

kabut nafsu mengepul makin pekat, suna memejam mata, menggesek apa sumber siksaannya ke tubuh si pacar.

“hnnng- vh- vha-”

suna membuka celana jeansnya, celana dalamnya mulai basah di pusatnya. ia menggesek lagi, nafasnya berat. tangan masih sibuk meremas di depan dan di bokong pacarnya.

“vha-”

tiba-tiba kekehan tawa mengaung, vha menengok ke arahnya, wajahnya segar bagai tak ada jejak tidur.

“enak?”

suna diam, tangan berpindah karena vha yang bergerak.

“v-vha-”

si cantik maju, kecup suna di bibir, “bandel banget? orang tidur digrepe?”

“sejak k-kapan?”

“daritadi? gue kan gampang bangun? lo gimana?”

suna memerah malu, tangannya peluk leher si pacar, menciumi leher vha sampai tulang selangkanya.

“lagi manja ya? kenapa?”

“film tadi... semi porno anjir.”

vha tertawa. tangannya turun, remas suna di tempat yang paling butuh perhatian. kaki suna menggeliat, tangan si cantik bagai alat kejut listrik di tubuhnya.

“ini keras banget?” jari lentiknya meremas-remas dengan telaten. sesekali turun ke bagian bola yang tercetak jelas di celana dalam hitam si lelaki.

suna mendesah, jarinya menggeret kulit pacarnya.

“vha, m-mau...”

tawa manis mengalun rendah. penuh licik, kemenangan, tapi gairah yang sama.

“mau apa, sayang?”

“apa aja, kamu mau kasih aku apa aku mau?”

vha tertawa lagi, lihat suna begitu di bawah kuasanya.

“okay, i will get my hands here.”

vha mengukung suna, tubuh atasnya dibuat polos, tinggalkan bra yang menggantung longgar di tubuhnya, buat payudaranya bebas menjadi pemandangan suna. si lelaki menarik nafas, tangannya naik raba vha di tubuhnya.

“you can suck on my tits.”

suna mengangguk dengan mata tak lepas dari payudara pacarnya. kepalanya mendekat pada vha, menciumi si pacar di payudaranya.

vha mengerang, bibir suna menyesap begitu keras.

tangan vha bergerak, turunkan celana dalam pacarnya. penis suna sukses lolos berdiri di udara.

vha meneguk ludahnya. pacarnya memang favoritenya. ukurannya begitu sesuai dengan idealnya, dengan urat yang menonjol kala si pacar dalam mode butuh begini.

tangan cantiknya menggengam suna kuat, ingin lihat betapa suna tak muat dilingkari jarinya. yang sedang memakan payudaranya mendesah, mendengung bawa vha ikut meremang di kulit.

vha mengocok tangannya, turun-naik di kulit sang pacar yang basah karena terlalu banyak precum yang turun basahi tongkatnya itu.

sesekali jarinya memutar di ujungnya, menekan lubang kecil di tengahnya. vha menggaruk disana, buat suna puas ditekan disana. kakinya bergerak ribut di ranjang, bibirnya yang mencumbu payudaranya makin beringas. tangannya bergerak mencubit di payudara yang satunya.

vha mendesah, tangannya cepat di bawah, “t-there you go honey,” “sucking on me so eager.”

dipuji begitu, tangan suna makin giat, meremas-remas begitu kuat, menggoyang-goyangkannya bagai mainan pribadinya. yang dimulutnya dimakan lebih keras, lidah terjulur liar, menjilat-jilat tepat di puting.

bibirnya tiba-tiba terbuka, mengecup vha sebelum mendesah keras, “v-vha, mhhm mau- mau keluar-”

vha yang merasakan penis di tangannya bergetar langsung dengan cepat menurunkan kepalanya, mendekati pacarnya di selangkangan.

bibirnya terbuka lebar, melahap suna sampai setengah dari penisnya. mau bagaimana? suna berukuran besar. vha gak bisa masuki semuanya. pipinya menyekung, menyedot suna habis-habisan.

tangan suna berjalan, dekati bokong si pacar yang ada di samping tubuhnya. meremasnya bagai pegangan.

“hhhn- vha- vha-” erangan suna makin besar, berisik di kuping vha. tapi suna tak berinya ampun, terus menjilati suna di bawah.

“mmhhhh-”

suna melepas spermanya, belepotan di mulut vha, keluar sampai lewati bibirnya.

si cantik menjilat puas bibirnya, lidahnya bermain di pucuk si pemuda, buatnya bersih tanpa sisa.

suna mengatur nafasnya, kepalanya lemas menyender di dinding. matanya agak kabur karena ekstasi yang diberi si kesayangan-

-yang tangannya masih setia di penisnya.

si lelaki menegun kala tangan si pacar makin intense bermain pada penisnya yang masih sensitif, lemas di tangan cantik si pacar.

“v-vha, udah. jangan dipegang- hhh vha-”

“belum, na. sekali lagi, ya?”

suna menarik nafas, vha menopang tubuhnya di lutut. duduk di depan penisnya, “sini tangan kamu.”

tangan suna di bawa ke tengah celana pendek si cantik, jari-jarinya dituntun untuk menggelitik di bawah.

vha bergerak tak nyaman, tunggangi jari suna yang keras di vaginanya yang tertutup kain.

suna akhirnya paham maksud vha. jarinya menggaruki vagina yang basah di kulitnya.

“ahh- su- suna-”

suna makin semangat dengan desah manis vha, tangannya menusuk-nusuk si pacar. tak mau kalah, vha juga ikut percepat tangannya di penis si lelaki.

vha mendesah resah, “v- vha, aku baru keluar-”

“sekali lagi, bareng aku?”

vha mengocok lebih keras, bawa penis suna tinggi-tinggi dekati selangkangannya yang kini dilecehi jari suna.

“f-fuck hhh- vha, basah banget.”

vha mengangguk, ciumi suna di pipi untuk kemudian dijilatnya.

“vh- vhaa- vha, s-sakit-”

“mau keluar?”

suna menggangguk, penisnya yang sudah keras gemetar di tangan vha.

“s-suna-”

di tengah ributnya, suna memasuki tangannya, menyelip di celana pendek. kini tangannya tepat di kulit vha yang berlipat-lipat.

jarinya masuki vha pelan-pelan. vha begitu basah, suna bergerak dengan mudah.

vha mendesah keras, tangannya memompa frustasi suna di bawahnya, buatnya layaknya penis suna yang masuk terobos vaginanya.

“v-vha-”

“keluar- ss- suna- keluar-”

suna mengangguk, ciumi payudara yang sempat dilupakan, kemudian menyedotnya dengan kasar.

keduanya mengerang, keduanya keluar.

vha keluar, basahnya sampai telapak tangan suna, mengalir terus sampai basahi ranjangnya. suna gak beda dari vha, cairan spermanya lebih bening dari yang tadi, kotori paha sekal si cantik dan ranjangnya.

suna mencium pacarnya di leher, kulit yang paling dekat dengan bibirnya.

“maaf, capek ya?”

vha tertawa, menggeleng, “gak apa-apa. udah puas? apa masih mau?”

suna menggigit bibirnya, pilihan sulit. masih mau, tapi kakinya masih meremang karena ejakulasi kedua.

“istirahat dulu? nanti lagi?”

si pemuda tersenyum, mengangguk, bawa si cantik di pelukannya, “tidur siang dulu?”

“hm.”

-

atsukita: fabric.

-

“muka kamu merah, miya.”

tanpa diberi tahu, miya sudah sadar diri. tahu betul keadaan wajahnya saat ini. merah menyala-nyala warnai pipinya sampai leher, bukti nyata miya benar-benar terbakar sampai dalam.

penyebabnya tidak lain adalah si pacarnya, yang katanya main-main memakai rok yang jadi dalang penyebab miya kini duduk memojok di atas ranjangnya, kita shinsuke di atas tubuhnya, bermain dengan kuping miya.

yang berambut pirang mengangguk, tangannya berdiam di pinggang kita.

“k- kamu gak apa-apa pakai ini? nyaman?”

tawa gugup mengalun di telinga, kita di atasnya menggeleng. wajahnya setenang biasanya, tapi penuh fokus, menatap miya seperti mengukur tiap inci kanvas yang siap digarit oleh kuasnya.

“o-oh, mau aku bantu lepas?”

“please.”

kain ditanggalkan, begitu pula nafas miya. walau begitu tangannya tetap gigih merayap naik, sentuh kita di pahanya dengan mata rajin mencari ekspresi tak nyaman di parasnya. inginnya perjalanan pertama ini milik berdua, tanpa kita yang tak nyaman.

di detik berikutnya, miya dikagetkan dengan kepalanya yang tiba-tiba direngkuh, pelipisnya dikecup banyak penuh sayang.

“miya, you can do more. please.”

bisikan tersebut terasa berisik untuk miya. oh, artinya ia bisa melakukan lebih dari ini.

miya menyekal erat kita di pahanya, tangan yang satu melonggarkan kita dimana-mana; dimulai dari celana dalamnya sampai bagian terdalam kita, dengan sebelumnya membasahi banyak jarinya dengan lubrikan yang dibelinya mendadak.

miya mendongak, memburu ranum kita yang disambut hangat oleh sang mangsa. kita membalas cumbunya sama antusias, mencium miya tanpa kesulitan. buah dari rutinitas selama seminggu ini menyandang status yang bukan lagi sekedar teman sekamar.

“hn-nnh mi- miya-”

“sakit?” “dua jari lagi dan kamu siap, oke?” tanggap miya terlalu tenang, bagai tak tersiksa sama sekali, bagai celananya tidak menggunung di tengah, bagai tenggorokannya tidak kesat karena kita yang terlihat indah di atas tubuhnya, menari-nari mengikuti ritme jari-jari di dalamnya, penisnya yang basah dipermainkan tangan miya yang menganggur.

kita yang meracau makin tak karuan buat miya yakin untuk menghempaskan kita di atas kain ranjangnya. miya mengukung kita, masih dengan tiga jari merenggangkannya, meniru lingkaran di lubangnya.

si rambut abu yang bersimbah peluh dengan pipi merona dikecup miya, “aku mulai, ya?”

miya membawa penisnya terbenam masuk ke dalam tubuh kita, melahirkan dua desah yang berbeda namun dengan sarat nikmat yang sama. yang di atas merengkuh yang di bawah. leher kita diendusi untuk kemudian dikecupi lagi.

“ahh- m-miya- miyamiya- miya-”

miya membisik, “gimana?” “kita, rasanya gimana?”

pundak dengan kaus hitam miya dikoyak, kita bernafas keras-keras ditengah desau halusnya.

“hmmh- kita?”

“it- it- feels- mhh- good, mi- miya-”

“is it good? is it that good?”

kita mengangguk asal, tubuh miya didekapnya makin dekat, buatnya dengan si pujaan hati tak berjarak.

miya bergerak lebih cepat, pinggang maju lebih dalam dan mundur lebih jauh. kejantanan miya mengantuk tepat di sumbu nikmat kita, buat kita makin dimanja di dalam. sesekali, dengan ahli si perancang memutar pinggulnya, melonggarkan kita lebih lebar, membuat ruangnya sendiri di dalam tubuh kita untuk mengingatkannya siapa yang berhasil menyentuhnya sedalam ini.

“sama, kita- hhm-” “you feel so good- fuck- you feel so good around me- oh my god-”

kita mendenguk puas, kaki mengayuh di atas ranjangnya, tanpa sadar menyekik miya lebih keras.

“kamu dekat? k-kita kamu dekat? mau keluar?”

kita mengangguk, suara basah karena tenggorokannya terlalu banyak dibalur saliva, “k-keluar- miya- keluar-”

miya mengangguk, menikam lebih cepat, terburu-buru, ingin hinggapi surga bersama yang paling dicintanya.

“miyamiyamiya- hh- miya-”

miya menanggapi desah kita dengan erangan dalam, jari mengerat di pinggul kita; pelepasan memukulnya begitu keras.

miya keluar terjelak penuhi kita di dalamnya, disusuli kita yang buyar karena kenikmatan, merasakan hangat dan basah sampai sedalam-dalamnya.

tubuh miya lebih dulu reda dari gemetar. si pemuda yang lebih tinggi melepas lebih dulu cumbuan malas yang dibagi keduanya, tubuhnya hampir menegak kala tungkai kita memeluknya, mengunci geraknya.

“mau kemana?”

miya mengedip, “aku mau cari kain, mau bersihin kamu?”

kita menggeleng tak setuju, memeluk miya lebih erat, kepalanya mengusak lebih jauh pada bahunya, “nanti aja.”

“tapi, ta-”

“temenin aku tidur dulu?”

miya tertawa kecil, mengecup kita di pipi yang merahnya mulai memadam.

“okay.”

-

ushisuna: love is a bitch

-

suna bermain dengan kaus kakinya, menarik-lepas karetnya untuk menampar halus kulitnya. inginnya menampar pipinya sendiri, tapi suna tak mau terlihat lebih bodoh daripada ini.

dalam hatinya cemas, merapal ngapain suna fucking fuck suna lo ngapain seakan kalimat itu ampuh untuk menegur kelakuannya sekarang.

iya, suna duduk di ruang tamu yang tak asing, menunggu orang yang juga tak asing... setidaknya tubuhnya. suna ingat benar bagaimana tubuhnya.

soal kepribadian, suna gak mau pikir banyak untuk saat ini. yang bersangkutan bilang mereka bisa mengenal satu sama lain pelan-pelan.

ushijima, pelanggan di bar tempatnya bekerja, semalam membawanya ke apartemennya untuk bercinta dan malam ini suna berada disana dengan alasan yang sama. bedanya, kali ini suna disiksa dengan menunggu si partner untuk mandi. gue baru pulang kerja, mandi dulu ya? alasan si laki-laki yang lebih besar, kemudian mengusak kepala suna.

'kan. ushijima yang begini yang buat suna jatuh hati, yang banyak perlakuan kecil biasa tapi terasa luar biasa di kulit suna.

semalam ushijima memperlakukannya begitu lembut, penuh kehati-hatian, penuh...perasaan.

suna direnggangkan sampai benar-benar halus, sampai suna bisa menerima ushijima dengan baik, sampai suna tak rasakan sakit walaupun ushijima adalah yang terbesar yang pernah dilahap suna.

kepalanya tak terantuk kepala kasur sama sekali. ushijima berinya bantal paling nyaman untuk kepalanya, biarkan suna menggigit gumpalan kapas itu saat ushijima mengaisnya dalam-dalam, mendesah besar-besar karena nikmat.

“suna?”

pikiran suna yang panjang dipotong begitu saja; ushijima keluar dari kamar mandinya, rambut dan leher basah dengan samar uap panas mengelilingi tubuhnya.

suna menegun. tak sabar ingin merasakan dekapan lelaki itu lagi. kulit ushijima pasti terasa hangat dirabanya.

“kenapa bengong?” tegur ushijima, melangkah mendekat, buat suna menggeser di sofanya.

“gak apa-apa,” suna berusaha tersenyum, berusaha menutup paniknya karena fuck sabun yang membaluri tubuh ushijima begitu memabukkan kepalanya, “jadi gimana? mau?”

lelaki di depannya terbuka bibirnya, kemudian menutupnya kembali, “lo serius?”

jawaban yang ambigu itu ingin dibuat iya tanpa ragu oleh suna.

kakinya dengan cepat menemukan lantai. suna mengeratkan kedua tangannya di kedua tungkai ushijima.

“serius,” lelaki yang lebih muda menatap ushijima lekat-lekat, “gue mulai, ya?”

tangan besar ushijima hendak hentikan suna, naik hampir sentuh rambutnya, tapi terlambat; suna sudah menurunkan celana training hitamnya, kemudian menciumi ushijima di celana dalamnya, menjilati, membasahi, sampai mengecupinya tanpa ragu.

“s-suna-”

tangannya bergerak, kali ini turunkan celana dalam ushijima, untuk melahap yang sebenarnya.

bokuaka: matahari.

-

akaashi bangun karena panas dimana-mana.

kelopak matanya terlipat perlahan, buat sepasang bola mata hitam berandangnya mulai bekerja, menelisik apa yang buat tidurnya terganggu paksa.

bias cahaya menyusup di antara kain abu, lurus membentuk garis sampai menikam akaashi tepat di wajah.

hatinya meringis, ia tidak menutup sepenuhnya kain jendela semalam.

akaashi menggeram vokal, menutup wajahnya yang panas akibat matahari pagi. niatnya ingin memundurkan tubuhnya, menghindari tusukan cahaya yang mengganggu di mata, tapi tubuhnya tak bisa bergerak; ada gumpalan di belakangnya yang buat spasi geraknya begitu minim, ditambah tangan besar melilit di perutnya.

ia menengok ke balik pundaknya.

oh, ini. selain panas matahari di luar, akaashi ternyata merasakan panas matahari dari atas ranjangnya yang memanggang punggungnya.

bokuto, kekasihnya, tertidur. semalam menerobos masuk apartemennya entah jam berapa karena late night flightnya.

“aku malas pulang ke rumah, shi. sepi, gak ada kamu,” rengeknya di telepon sebelum naik pesawat, “aku janji gak akan ganggu tidur kamu, oke?”

setidaknya si lelaki berambut abu itu menepati janjinya; akaashi tetap terlelap nyenyak sampai tak menyadari bokuto yang masuk ke dalam selimutnya.

si kekasih benar gapai mimpi SMA-nya untuk menjadi atlet nasional, mengharumkan nama negaranya lewat bakatnya dalam olahraga voli, yang juga berarti bokuto harus rajin bolak-balik wisata ke negara lain, baik karena pertandingan resmi atau latihan tanding sekaligus kunjungan ke negara tetangga.

makanya, terbangun dengan bokuto di sampingnya adalah pemandangan asing sejak keduanya lulus universitas dan terjun di dunia yang lebih dewasa.

akaashi diam tatapi yang mendengkur. kelopak mata si kekasih dengan bulu mata lentik disentuhnya, begitu hati-hati, memperlakukannya bagai kupu-kupu yang bisa terbang meninggalkannya kapan saja.

bibirnya yang sedikit terbuka tak luput dari kejahilannya. ujung kukunya menekan ringan disana. alis akaashi mengerut, merasakan kulit bibir yang kasar. dalam hati mencatat untuk membeli pelembab bibir karena jelas, ciuman bokuto paling membuai saat bibirnya sehat merekah dan basah.

akaashi tersenyum, tak sabar ingin mencium sang bidadara hati. dua minggu tak merasakan bibirnya dikudap oleh yang lebih tua buatnya resah.

tubuhnya mendekati bokuto, kekesalan karena tubuhnya yang panas akibat dekapan bokuto dilupakan.

akaashi ternyata ingin lebih dekat lagi; akaashi begitu rindu.

inginnya menjadi egois. ingin sekali selamanya melengket di ranjang bersama yang paling didamba. ingin sekarang juga melepas baterai dari semua jam di apartemennya agar mereka lupa waktu.

inginnya, bokuto tetap bersamanya.

akaashi begitu rindu, pikirnya terbakar karena panas tubuh bokuto pun tak masalah, asal ia bisa senantiasa merasakan tubuhnya meletup-letup bahagia karena keberadaan bokuto di sisinya.

“shi?”

akaashi merasa bagai pintu yang diketuk. kepalanya yang berisik seketika senyap saat suara bokuto masuk diproses otaknya. matanya ditatap oleh mata yang masih layu karena kantuk.

bokuto terbangun, lengannya memeluk si surai jelaga lebih erat.

“hey, you okay sweetheart?”

akaashi menyelam lebih jauh dipelukan bokuto, tangan bergerak melingkar di lehernya.

yang lebih muda mengangguk, gelitiki bokuto di pipi.

“kangen?”

akaashi mendesau malu karena ditembak tepat di titik tengah. pasti tadi ia melamun sampai tak menyadari bokuto yang bangun dan melihatnya yang tak fokus karena kepalanya yang ribut.

ia menyerah, mengangguk untuk mengiyakan bokuto.

yang dikangeni tertawa rendah sekali. suaranya berat dan serak karena baru dipakai setelah tidur semalam.

akaashi dikecup di dahi, “siapa yang semalem bilang gak mau aku kesini?”

yang diejek diam, mengecupi balik pundak telanjang di bawah dagunya, “aku gak tahu, ternyata sekangen ini sama kamu.”

“sibuk kerja?”

“hmm.”

“terus?”

“apanya?”

“aku 'kan disini, kamu mau apa?”

akaashi menatap bokuto di mata, biarkan retina keemasan milik kekasih bersua dengan retina arangnya.

“first, can we kiss?”

tanyanya dijawab senyum lebar di wajah.

bokuto merendah gapai dirinya untuk mencium lembut ranumnya. ia mengecapnya penuh manja, terasa ingin bawanya terlena dengan sesekali tinggalkan gigitan.

akaashi kemudian dikecup di kedua pipinya.

“udah?”

dahinya mengerut, rindunya masih bergejolak, “begitu aja?”

“akaashi,” pipinya digesek halus oleh ibu jari, “aku mau lanjut, tapi aku laper?”

bokuto dicubit di perutnya, buat tawa keduanya menggema di kamarnya.

“mau ke bawah? cari sarapan?”

satu kecup penuh diberikan sebelum bokuto meloncat keluar dari selimutnya, “sure.”

-

fin.

bokuaka: lemonade.

-

puluhan air tanggal beramai-ramai dari langit, menghantam di jendela kamar lantai dua. guruh dibarengi kilat pembelah langit samar-samar menggemuruh.

benar, hujan.

yang bersurai hitam diam tatap kesal titik air yang memilih untuk menempel di kaca yang kemudian meluncur kalah karena titik gravitasi; akaashi merasa diejek.

memang, matanya merah, tapi tak kunjung hujan. kesal, hujan di luar seakan menyemangatinya untuk ikut kalah bersama langit dan menangis.

hatinya resah, rasanya berat untuk ditopang rongga dadanya. kepalanya sakit, entah karena menerobos gerimis atau tidak bisa berhenti mereka adegan di jam istirahat sekolahnya tadi, tepatnya di belakang halaman sekolah.

akaashi melihat rambut hitam panjang dengan ikal di bawahnya itu, rok manis menutupi sepertiga kaki panjangnya.

“jadi pacarku?” sebutnya pada lelaki di depannya yang begitu familiar di lima indra akaashi.

bokuto koutarou. kakak kelasnya itu berdiri di depan si murid perempuan, tangan canggung menggantung di samping tubuhnya.

niatnya memotong jalan untuk sampai lebih cepat ke ruang kelas murid kelas tiga harus diurungkan. dua roti melon dan susu yang jadi favorit dan bokuto dipegang erat di tangan.

akaashi gemetar di balik dinding.

pemandangan begini baru untuk dilihat akaashi walaupun ia tahu betapa bokuto banyak dikagumi di sekolahnya.

bokuto koutarou yang jadi kebanggaan sekolahnya karena partisipasinya mengikuti kejuaraan karate juga olimpiade geografi, selalu pulang dengan piala di tangan.

bokuto koutarou yang juga selalu menarik perhatian karena tinggi tubuhnya yang tidak banyak dimiliki anak SMA. mata keemasan yang mencalak penuh pesona tapi tetap dengan senyum dan tawa yang mendebarkan orang disekitarnya.

bokuto koutarou yang dikenal tak congkak dan mudah diajak bicara, bukan murid yang menolak ajakan karaoke untuk belajar di rumahnya.

bokuto koutarou yang menakjubkan itu, bintang yang berkelip paling menyilaukan di tengah hamparan bintang di langit itu, lebih memilih tidur di kelasnya di jam istirahat, menunggu akaashi menghampirinya dengan cemilan pilihannya yang berbeda di tiap harinya.

akaashi bertanya mengapa, bokuto enteng menjawab di tengah kunyahannya, “aku main game semalaman, malas ke kantin, lagipula makanan pilihan kamu selalu enak. gak apa, ya?”

si adik kelas pikir tak masalah. kakinya memang harus menempuh lebih jauh karena kantin dan kelas bokuto ada di arah yang berbeda.

tapi, tak masalah.

kelas bokuto yang kosong hanya akan diisi mereka berdua, hanya akan dipenuhi gerutuan bokuto soal permainan buruknya semalam, hanya akan ada akaashi yang diam mendengarkan atau ikut tertawa, hanya akan ada akaashi yang melihat bokuto memakan rotinya dengan mata setengah terbuka,

-hanya akaashi yang dibiarkan bokuto untuk membelai rambutnya yang halus dihembus angin, hanya akaashi yang bisa hitung tiap hela nafas bokuto di waktu tidur, hanya akaashi yang bisa saksikan bintang sebegini dekat tanpa membutakan matanya.

“azuna,” bokuto sebut nama si cantik di depannya, “-kamu cantik,”

akaashi ingat kerasnya ia menarik nafas, kemudian berlari, tak mau dengar.

bokuaka: lemonade rain.

-

puluhan air tanggal beramai-ramai dari langit, menghantam di jendela kamar lantai dua. guruh dibarengi kilat pembelah langit samar-samar menggemuruh.

benar, hujan.

yang bersurai hitam diam tatap kesal titik air yang memilih untuk menempel di kaca yang kemudian meluncur kalah karena titik gravitasi; akaashi merasa diejek.

memang, matanya merah, tapi tak kunjung hujan. kesal, hujan di luar seakan menyemangatinya untuk ikut kalah bersama langit dan menangis.

hatinya resah, rasanya berat untuk ditopang rongga dadanya. kepalanya sakit, entah karena menerobos gerimis atau tidak bisa berhenti mereka banyak adegan.

adegan pertama ini berhubungan dengan kakak kelasnya, bokuto koutarou.

kesan pertamanya pada yang lebih jangkung itu tak begitu baik. gak seburuk itu, hanya saja, kakak kelasnya itu terlalu berbeda. asing di hidup akaashi yang begitu-begitu aja. terlalu berona untuk akaashi yang pucat. terlalu riuh untuk akaashi yang biasa sditemani sunyi di telinga.

waktu itu, akaashi si murid baru, kebingungan cari toilet. jam pelajaran masih berlangsung dan koridor sekolah swastanya begitu sepi.

akaashi ditepuk di pundak, “hai,” sapa bokuto yang menjulang, “kamu mondar-mandir sejak tadi? kelas satu?”

yang ditanya hampir balik bertanya. ah, ada garis merah di lengan seragamnya, tanda akaashi memang anak kelas satu.

“iya, kak,” garis hijau, yang di depannya anak kelas dua, “toiletㅡ aku bingung dimana toilet?”

“dasar anak baru,” punggung akaashi ditepuk agak kasar, si pelaku tersenyum begitu lebar, mengejek, “ada di pojok sana, ruang perkakas belok kiri.”

akaashi mengangguk, kaki mulai berjalan, “oh, oke, kak. terima kasih-”

“bokuto.”

”-ya?”

“nama. bokuto koutarou. nama kamu?”

akaashi yang agak panik karena tinta spidol di tangannya bisa mengering kapan saja menjawab sambil berjalan menjauh, “akaashi, akaashi keiji.”

ia tahu ini bukan sepenuhnya salah si kakak kelas, tapi, sejak saat itu setiap berpapasan, bokuto sering memanggil namanyaㅡ

“akishi!”

ㅡdengan salah.

“ikashi!”

“akaishi!”

akaashi kesal, setiap kali ingin membenarkan, kakak kelasnya itu sudah menghilang entah kemana. maka suatu hari, akaashi yang tak tahan lagi menarik tangannya,

“akaashi, namaku akaashi-”

“oh, ya?”

“iya.”

bokuto tertawa, keras sekali, “tau kok. aku cuma iseng. gak sadar ya?”

akaashi padam di wajah, ternyata si kakak kelas itu menggodanya.

godaan beragam variasi dari otak cemerlang bokuto awalnya mengesalkan, buat akaashi menyumpal telinganya. hari-hari banyak berlalu, akaashi terbiasa, kekesalannya padamㅡ akaashi tertawa.

akaashi menikmati kejutan-kejutan si kakak kelas. penasaran, keisengan macam apa yang dipirkirkan untuknya. akaashi menunggu.

sampai di minggu kedua maret, tiga hari akaashi begitu senyap.

bokuto ternyata sakit. demam 38.5 derajat.

akaashi datang ke rumah untuk pertama kali, satu kantong jeruk di tangan.

“katanya orang bodoh gak akan demam.”

bokuto tertawa di selingi batuk di balik masker, tangannya naik ke pipi si adik kelas untuk mencubit lemak disana.

yang dicubit diam, yang mencubit diam.

bokuto batuk lagi, “kamu bawa apa?”

yang lebih muda pulang setelah satu jam, pipi masih merah. akaashi pikir ini karena cubitan tadi, tapi si pelaku tak mencubit sekeras itu.

akaashi gemetar di tangan. kulitnya masih merasa jelas suhu panas tubuh si kakak kelasnya itu.

jantungnya ribut, akaashi menyadari perasaannya.

bokuaka: pretty first night.

-

“how are you feeling?”

akaashi mendengung puas. kepala mengadah untuk memudahkan kepalanya dipijit oleh kekasihnya. wangi tea tree dari shampoo menguar menyentuh hidung. kakinya mengecipak di air, merasakan sensasi air di bathtub yang menyela masuk di tiap celah jari kaki.

tawaran bokuto soal mandi benar-benar tepat. tegang pada ototnya akibat kesibukan kuliah dan kerjanya luntur begitu saja dibawa air hangat. racikan bau eucalyptus dan chamomile dari bath bomb juga ikut menyugesti tubuhnya untuk tenang dan melupa lelah.

“nah, selesai.” bokuto mengakhiri bagai jentikan jari ditengah hipnotis. seketika akaashi mengedip untuk menegakkan tubuhnya.

“udah?”

“ya, udah.”

akaashi memainkan air yang beriak di sekitar tubuhnya, menyentuh permukaan air di bathtub yang berwarna hijau pastel pekat dengan serbuk keemasan berkat bunga kamomil. mata yang awalnya fokus pada ujung jarinya, bagai pelukis yang berusaha berkarya dengan air sebagai kanvasnya, kini menatap bokuto penuh harap.

“aku masih mau disini.”

bokuto melipat kakinya, lutut sentuh lantai kamar mandi. lelaki itu tersenyum puas, pikirnya berhasil buat akaashi menyukai sesi mandinya malam ini, “does it feel nice?”

“hmmm.” tangan akaashi sibuk dengan air, sedangkan matanya sibuk dengan hal lain; matanya pandangi bokuto penuh minat.

kepalanya memutar ke beberapa bulan lalu, malam pertama kali akaashi ditatap telak di mata oleh si kekasih.

bokuto, si pria kantoran yang nyaris sentuh kepala tiga, yang melepas penat dengan minum-minum di barnya. bokuto yang malam itu dengan kepala dingin menyelamatkannya dari lagi-lagi pelanggan hidung belang yang tak paham apa itu batas dan ruang pribadi. bokuto yang malam itu buat akaashi hampir tak gapai mimpi di tidurnya karena lelaki asing itu tiba-tiba memenuhi kepala akaashi dan muncul bagai mimpi itu sendiri.

masih menempel di kepalanya begitu jelas bagaimana bokuto pada akhirnya buat akaashi tak mau berpaling padahal pria itu memakai jas kantoran layaknya semua karyawan di dalam ruangan waktu itu. bokuto tidak spesial; dasinya bukan dari brand ternama yang seharga berbulan-bulan gajinya, kemeja dan jasnya juga bukan custom tailored yang dibuat khusus untuknya, tapi kain-kain itu dengan mengagumkan menempel pada bokuto, melekat sempurna untuk membanggakan lekuk tubuhnya yang seakan berteriak akan dominasi.

pantas saja, tanpa banyak bicara, bawahannya waktu itu tak berani lagi pandang bokuto. karyawannya itu seakan tahu dimana tempatnya, yang mana, adalah di bawah bokuto.

akaashi meneguk salivanya di detik itu. sama, akaashi merasakan hal yang sama, bedanya ia mau melakukannya dengan sukarela.

akan tetapi, untuk berada di bawah si lelaki yang lebih tua itu, secara harfiah dan metafora, ternyata begitu sulit.

bokuto terlalu banyak berpikir dan penuh ragu.

pikirnya akaashi belum siap menerimanya, ragunya ia tidak dapat memperlakukan akaashi dengan layak.

akaashi kesal. padahal ia sudah jelas menyuarakan kemauannya, sudah jelas ingin diambil alih oleh bokuto. akaashi menaruh kepercayaan yang besar untuk bokuto. akaashi tau pasti, hal terakhir yang akan bokuto lakukan padanya adalah menyakitinya. tapi tetap saja, bokuto terlihat banyak takut untuk maju.

maka dari itu, akaashi pikir, bokuto tak bisa digerakkan hanya dengan lisan. ia harus bergerak, tangannya harus bergerak.

“tapi, ada yang kurang.” celetuk akaashi.

bokuto yang mengeringkan rambut basah lelaki yang lebih muda dengan handuk mengeryitkan dahinya, “kurang? apanya?”

yang ditanya tersenyum manis. tangannya menyekung ke bawah untuk menggayungi air dari bathtub, kemudian tanpa merasa bersalah menyiramnya pada bokuto; lebih tepatnya, tubuh bagian depan bokuto.

ya, pada bokuto yang hanya mengenakan kaos longgar putih dan celana pendek rumahannya.

“you. you didn't join me.”

tidak berhenti disitu, tangan cantik akaashi tak mau pergi. jari-jarinya merenggang di tubuh bokuto, menyeplakkan air lebih banyak pada kaos bokuto, buat apa yang berada di balik kaos itu menerawang begitu saja.

diraba begitu, bokuto memperingati, “'kaashi-”

akaashi menarik nafas, tangannya tak mau berhenti. telapak tangannya menelusuri tubuh bokuto yang jelas di indra penglihatan dan perabanya. kain yang basah di bawah tangannya memudahkannya meraba-raba apa dan bagaimana bokuto di bawahnya.

keras. kulit bokuto terasa keras pada kulit telapak tangannya, buat akaashi tak sabar.

“kaashi?”

“pak-” akaashi berbisik, menekan nafsunya untuk tak meledak, “i want you.”

-

bokuto kini mengukung akaashi. tangan kirinya berpegangan dengan sisi bathtub, sedangkan tangan kanannya menyelam masuk air, melakukan sihir; jari-jarinya merenggangkan akaashi di bawah, bibir sambil repot mengimbangi ciuman akaashi.

ini bukan pertama kalinya untuk akaashi disentuh di titik itu. akaashi juga lelaki, juga punya dorongan seksual yang sama besar seperti apa yang orang bilang soal kaum adam.

tapi, mungkin caranya memuaskan diri tidak dilakukan semua orang itu. akaashi lebih banyak ingin tahunya, lebih banyak bereksperimen pada dirinya sendiri.

maka, di malam yang penuh butuh, akaashi bukan hanya bermain dengan penisnya, tapi juga dengan pintu belakangnya. tontonan porno di tangan untuk membantu imajinasinya, tiga puluh menit kemudian akaashi baru keluar.

malam kemarin, saat bokuto menolak menyentuhnya lebih dengan alasan pekerjaan, akaashi sampai di kostannya dengan rasa butuh yang berat. kepalanya tak bisa berhenti membayangkan apa yang bisa bokuto lakukan padanya di mobil yang sempit itu. tangan besarnya. abdomennya yang terasa kesat dibalik kain. kakinya yang begitu keras di bawah bokongnya.

dua jari bokuto masuk. lubrikan yang terasa berlendir dibarengi air mandinya yang masuk ke dalam buat kaki akaashi meremang. kedua kakinya terbuka lebih lebar untuk menerima lebih dari jari bokuto.

bokuto menggeram, gigit ujung bibirnya, “kamu tidak serapat yang aku kira?”

“it's your doing,” akaashi membalas jujur, menggigit balik bokuto, “aku main sendiri kemarin pas kamu tinggal.”

“main... sendiri?”

“iya, pak.”

“pakai apa?”

“hmm, jari?”

“jari. cuma jari?”

“ya,” tangan akaashi mencengkram leher bokuto keras saat dirasa jari ketiga masuk, merenggangnya lebih lebar, yang juga buat lebih banyak air masuk ke dalam dirinya, “cuma jari.”

“you will be the death of me,” bokuto terkekeh, tangannya maju mundur di bawah lebih cepat, buat air di sekitar selangkangan akaashi berkecipak ribut, “kamu harus siap sama apa yang bakal aku kasih kalo gitu.”

akaashi menarik nafasnya sebelum mengecup bibir di depannya, “terus apalagi yang kamu tunggu?”

dan tiba-tiba saja akaashi dibawa naik tinggalkan air, terkesiap dipangkuan bokuto bagaikan duyung yang dibawa lari dari habitatnya.

akaashi mengalungkan tangannya di leher bokuto.

kalau ya memang dia adalah duyung dan bokuto adalah pangeran yang dicintainya saat ia menengok daratan, akaashi rela menukar ekor duyungnya untuk sepasang kaki. rela meninggalkan habitat amannya untuk berpetualang menelusuri dunia yang baru.

dan ranjang bokuto yang kini ditujunya adalah dunia barunya untuk malam ini, dengan bokuto sebagai pemandunya.

akaashi yang polos tanpa kain dibaringkan begitu halus di atas ranjang yang berbalut sprei beige. baru saja ingin merasakan bagaimana helaian kain itu menyentuh punggungnya, akaashi langsung diberikan pemandangan bokuto di atasnya, mengukungnya setelah melepas kaosnya yang kuyup karena ulah akaashi.

akaashi tertegun melihat lelaki yang didambanya kini akhirnya berada di atasnya, akhirnya ia berada di tempat yang diinginkannya.

kehilangan kata, akaashi menggigit bibirnya. tangannya, sekali lagi, menelusuri tubuh bokuto, yang kini bernafas terlalu keras untuk di dengar di kamar yang minim bunyi. tangannya menggores di kulit tegas bokuto dengan mesra. dimulai dari dadanya yang bidang dan coklat, turun ke perut yang bergariskan otot-otot, sampai ke bagian pinggangnya yang melekuk. bokuto menakjubkan di nayamnya, luar biasa di ujung jarinya.

akaashi menatap bokuto penuh ingin, penuh damba, penuh permohonan; akaashi begitu menginginkannya.

dan ternyata bokuto memandangnya dengan tatap yang sama.

hasil dari pantulan cermin dan apa kata orang, akaashi sadar bahwa ia juga banyak dikagumi rupanya. tubuhnya yang ramping dengan otot tak berlebih, pinggang sempitnya yang berhubung langsung dengan bokongnya yang molek, matanya yang tajam entah kenapa berpadu manis dengan helai rambutnya yang sekelam langit jam 3 pagi, berpatutan dengan pribadinya yang diam tapi tetap sopan.

dan saat ini ia juga menyadari bahwa ia lain dari biasanya; matanya kini menyipit penuh nafsu, rambutnya sedikit basah dan berantakan, kulit tubuhnya yang sebersih porselen sangat kontras dengan bokuto yang agak coklat karena tuntutan aktivitasnya, pipinya panas entah karena air hangat atau karena imajinasi liarnya tentang tubuh bokuto. akaashi tahu tidak ada yang bisa menolak pesonanya saat ini.

perkiraannya tepat karena bokuto tidak berhenti membisikinya betapa akaashi begitu memikat hatinya.

“you are so pretty,” celetuk bokuto, bibirnya turun mencium dan makin membasahi leher akaashi dengan lidahnya, “a beauty,” turun, turun, turun sampai tulang selangkanya, “aku sampai takut sentuh kamu.”

“hhaa-hh.” akaashi mengerang saat bibir bokuto akhirnya sampai di putingnya, menghisap kuat disana dan menjilatnya. punggung akaashi terangkat dari ranjang, tangannya mencengkram rahang bokuto untuk menghentikannya. percuma, akaashi paham sekali. bokuto punya ambisinya sendiri. apabila lelaki itu mau, ia akan memaksakan kehendaknya dan melakukannya dengan sungguh-sungguh.

ya, sungguh-sungguh, karena kini bokuto malah makin liar menghisap putingnya, menggigitnya sesekali diujung yang buat akaashi nyilu bukan main kemudian mendinginkannya dengan menjilatinya begitu basah dengan air liur.

“p-pak, jangan di- hhh disitu-”

“kak, akaashi.” tegurnya, masih bersikeras menolak panggilan 'pak', “tapi kayanya kamu suka disentuh disini?”

bokuto menyesap dalam di putingnya lagi, akaashi mengadahkan kepalanya dan mengerang lagi.

bukannya tak suka, tapi rasanya aneh. asing. akaashi tak pernah menyentuh dirinya disana dan kini ia mengerang keras karenanya. tangannya menjambak kasar di kepala lelaki yang usil bermain di tubuhnya.

“udah, pak- kak-, udah-”

“kenapa?”

akaashi menggeleng, tangannya menggaruki kepala bokuto yang masih menjilatinya, “aku takut- takut keluar duluan- hmmh–”

lelaki berambut kelabu itu naik mengecup dagunya, “okay,” kemudian turun kembali, bawa kaki akaashi merenggang dan bersandar di kedua sisi pinggulnya.

akaashi pikir rangsangan di tubuhnya akan mereda karena bokuto kini sudah setengah berdiri di depannya, tangannya hanya berada di kedua betis akaashi yang terbuka. nyatanya, perkiraan akaashi salah.

bokuto diam disana, menatap akaashi dari atas sampai bawah, menjejaki tiap sudutnya sampai berhenti di pusat tubuhnya. mata berwarna logam mulianya fokus menyalang disana, bagai belati yang haus untuk membelah. bokuto hanya menatap, tapi akaashi merasa hangus, terbakar habis oleh semara bokuto yang melejit-lejit hanya lewat pancar matanya.

“kamu bahkan cantik disini kaashi,” bokuto menggumam meredam hawa nafsunya, “i really want to eat you up.”

jari-jari kaki akaashi menguncup memalu mendengar kalimat barusan, kakinya menendang lemah bokuto.

“gak, sayang. lain kali aja, ya? i don't want to make you feel overwhelmed in your first time.”

bokuto melonggarkan celana pendek sekaligus celana dalamnya, menyeimbangi akaashi yang sama polos di bawahnya.

akaashi, jujurnya, lelah. berkali-kali nafasnya terasa diambil oleh bokuto dan bahkan mereka belum sampai inti dari pergerumulan mereka malam ini.

bokutoㅡ penis bokuto berdiri tegak di depan matanya.

si satu-satunya penonton malam ini hampir mendesau vokal. akaashi tau bahwa bokuto tak akan mengecewakan, pernah merasakannya dibalik celana bahwa ukuran bokuto bukan untuk main-main, tapi melihatnya telanjang begini buat imajinasinya tinggi-tinggi. bayangan bagaimana bokuto akan memasukinya, bayangan bagaimana bokuto yang sebesar itu memasukinya buat kepala akaashi pusing setengah mati.

tangannya gatal ingin merasa, lidahnya gemas ingin mencecap bagaimana rasa pilar yang dibungkus kulit yang basah karena precum dengan urat-urat yang menebal itu.

“pa- kak- please.”

“sebentar, kaashi. aku harus yakin kalo kamu siap.”

bokuto menyiram penisnya dengan lubrikan cukup banyak, sampai cairan itu deras rontok di ranjangnya. tangan bokuto aktif naik turun di penisnya sendiri, tangannya dengan telaten membaluri kulitnya sendiri agar mudah memasuki akaashi, sesekali menggoda dirinya sendiri dengan menggaruki pucuknya.

bokuto melakukannya sendiri, tapi akaashi yang merasa kehilangan akalnya.

sedang tangan kirinya bermain sendiri, bokuto agak merendahkan badannya, menggodai lubang akaashi yang akan disinggahi.

akaashi mendesah, jempol bokuto melingkari pintunya, sesekali menusuk masuk untuk kemudian keluar lagi, melingkari, lalu masuk lagi, kadang terlalu dalam sampai jempolnya habis, kadang terlalu dangkal dari yang akaashi mau. kaki akaashi yang menapak di ranjang menggesek gelisah.

tangannya menggapai-gapai bokuto, “p-pak ayo- ayo, masuk-”

bokuto mengangguk, terlihat sama gelisahnya, sama tak sabarannya. tangannya mengocok lebih cepat sambil mendekati tujuannya, “kalau sakit, bilang, ya?”

yang di bawah mengangguk sebelum mengerang kecil saat bokuto memulai perjalanannya merangsek masuk.

kecil sampai erangan akaashi hampir terdengar seperti racauan yang keras.

besar. di mata, bokuto terlihat besar. di dalam, bokuto terasa begitu hebat memenuhi kanalnya. menggapai semua yang tak pernah disentuhnya.

“hmn- ahh-hn- pa- pak bokuto-”

bokuto menarik ulur nafasnya, dahinya berkerut dengan serius melihat ke bawah, ke bagian dimana ia dan akaashi bersatu.

sakit. bohong kalau akaashi bilang hanya nikmat yang dirasanya. perenggangan paksa yang dilakukan oleh penis bokuto pada analnya sedikit menyakitkan.

akaashi tak berkata, tapi tangan akaashi diraih untuk menyentuh bantal di kepalanya. dahinya diciumi sebegitu rupa, dengan bokuto yang merapal 'it's okay, i won't break you', 'you are doing great, sweetheart'.

bokuto mengambil lubrikan lagi dan menuangnya tanpa ragu di antara mereka berdua, membasahi penisnya berikut lubang akaashi. yang lebih tua mencoba lagi memaju-mundurkan tubuhnya dengan perlahan, buat akaashi terbiasa dengan apa yang ada di tubuhnya.

akaashi mendesah kala kepala bokuto menemukan sebuah titik bantalan di dalamnya yang berikannya kejut sampai ujung rambutnya.

lelaki di atasnya mengaung rendah, tangannya mengerat di telapak akaashi, sedangkan yang satu menggenggam paha belakang akaashi. bokuto maju lebih dalam, menggali lebih dalam kanal akaashi, buat tulang panggulnya menabrak akaashi.

suara kulit bertabrakan makin nyaring, menggema terlontar di kiri-kanan pendengaran. begitu pula suara bokuto yang berat di pangkal lehernya, menikmati bagaimana akaashi memeluk penisnya.

akaashi bahkan tak bisa mendengar suara dari tenggorokannya karena beradu keras dengan apa yang berdebar di dada kirinya. bokuto sedemikian memenuhinya, menjangkau apa yang tak pernah disentuhnya, menyapa tempat yang tak pernah disinggahi siapapun.

“p-pak bo- bokuto- bokuto hhmnnn- pak-”

leher bokuto dipeluk, dibawa mendekat dan menempel pada tubuhnya. ingin merasa panas tubuh bokuto lebih banyak, ingin merasakan debar jantung bokuto di atas tubuhnya, ingin bokuto, ingin bokuto, ingin bokuto.

tapi, nafsu yang bergolak setara itu tidak diperlakukan semena-mena oleh bokuto; akaashi tetap diperlakukan bagai kaca yang rentan. berkali-kali akaashi dikecup dimanapun yang bisa digapai bibir yang lebih tebal, berbagai pujian tak henti-hentinya terngiang di telinga, bahkan akaashi yang menggigit bibirnya karena malu dengan suaranya diberi pundaknya, “b-bite my shoulder, hhh- don't hurt yourself.”

dan semua itu dilakukan bokuto dengan masih menggerakan pinggulnya dengan rajin, dengan dorongan yang hati-hati namun begitu dalam, memuaskan akaashi sampai kenikmatan menyelimuti akalnya, sampai akaashi tak punya kemampuan berpikir lagi, seakan seumur hidupnya hanya dilatih untuk mengeja nama bokuto.

“akaashi? feeling good? fuck- how is it? are you feeling good?”

akaashi mengangguk ditengah ketidakmampuannya dalam berkata, bibirnya menggigit lebih keras kala bokuto menyenggol titik yang itu-itu saja di dalamnya.

“p-pak- aku- aku-”

“ya?” bokuto mencium pipinya, memberi semangat untuknya menyelesaikan kalimatnya.

akaashi menggeleng, pipinya merah karena perutnya yang terasa diaduk, “k- hhhn keluar- mau- mhh– keluar-”

bokuto mengangguk, mengiyakan, “sure, baby. you can come.”

setelah beberapa tumbukan yang menggerus telak prostatnya, akaashi mengadah ke atas, keluar. keluar begitu deras di antara tubuhnya dan bokuto. suara dengukan keluar bersama matanya yang hampir berputar masuk ke kepalanya. listrik kejut terasa mengalir sampai ujung jari kakinya.

berbeda, memuaskan diri dengan dipuaskan betul-betul jauh berbeda. akaashi biasa harus bersusah payah capai puncaknya. kali ini, dengan pemandunya, akaashi hanya harus berbaring dan menerima apa yang si pemandu berikan padanya, yang akhirnya terasa bukan lagi hanya puncak, tetapi bahkan menembus suaka di langit, buatnya sekilas melihat putih yang ia yakini adalah awan yang dibenturnya.

akaashi menghela nafas keras, pandangi bokuto yang menciumi lehernya.

“fuck, you are so- fuck- how are you so pretty- fuck-”

perutnya yang bergetar diraba halus untuk dibawa tenang. akaashi mengecupi dahi bokuto yang menyandar di pipinya.

terus begitu sampai akaashi mengeryit karena menyadari sesuatu,

“kamu gak keluar... pak?” akaashi menatap bokuto yang mengecupi dadanya, “pak? kamu gak keluar...”

lelaki yang menahan setengah beratnya di siku itu mengedip, tersenyum layaknya tidak ada yang salah, layaknya keringat yang mengalir dari kepalanya bukan apa-apa, “gak apa-apa, aku bisa terusin di kamar mandi.”

akaashi menggeleng, benci dengan ide barusan, “gak mau, kenapa harus sendiri?”

“akaashi... kamu capek. udah ya? bisa besok lagi-”

“gak, pak,” jari lentiknya meraba halus pipi si dominan, menghantarkan ketidaksetujuannya dan juga meyakininya bahwa-, “aku masih bisa, kita lanjut lagi?”

yang keras kepala menggeleng, menjauhkan diri dari akaashi, “no, akaashi-”

malas berdebat, malas dengar kata tidak lagi, akaashi mendorong pelan bahu bokuto, buatnya terduduk, kakinya lebar terbuka di depan akaashi.

akaashi, tentunya, masih lemas dengan kejutan tadi. tubuhnya masih meremang karena semua tenaga yang keluar berikut cairan orgasmenya tadi, pun juga rasionalitasnya yang sepertinya ikut terbuang jauh.

karena saat ini akaashi memilih untuk merendahkan tubuhnya, berlutut di depan selangkangan bokuto, kemudian menciumi pahanya.

yang di atasnya menggenggam rahang akaashi untuk menghentikannya. déjà vu. akaashi juga punya keinginan kuat yang tak sembarangan bisa dihentikan bahkan oleh bokuto.

“a- akaashi-”

peringatan itu diabaikan, akaashi bergerak naik, membaui tubuh bokuto untuk kemudian menggigitinya, mengecupinya dan sesekali menghisapnya, buat bercak merah terbit di kulit bokuto.

“aku mau kasih tau kamu rahasia,” bibir akaashi sampai di perutnya, menjilat disana, “kamu bilang, kamu jatuh cinta pada pandangan pertama, kan? sama aku?”

bokuto mengangguk layak boneka yang ditarik benangnya untuk bergerak. matanya membulat lihat perlakuan akaashi pada tubuhnya.

akaashi bergerak naik, naik, naik, sampai di leher bokuto. tangannya sekali lagi mengelus rahang bokuto, memutar jempolnya di garis tajam disana, “it's not only you,” bisik akaashi kemudian menggigiti leher bokuto, menyesapnya penuh gigih, penuh tekad untuk buatnya memerah sama seperti apa yang ia lakukan pada pahanya, “i found you amazing that night, too.”

“k-kamu apa?” bokuto terkesiap, leher meninggi memberi ruang.

“you heard me,” tegas akaashi, tangannya sekarang turun, menyentuh di kulit bokuto yang paling tegang. yang satu-satunya masih berdiri.

“ya? kita lanjut lagi?” “mau aku yang bergerak sekarang?”

bokuto menelan salivanya yang menyungai, mengangguk turuti mau akaashi.

malam itu, bukan hanya bokuto yang bawa akaashi berpetualang di dunia baru. akaashi pun perlihatkan jati dirinya yang baru dilihat bokuto.

-

Meisaku.

-

kain bernomor 15 tanggal, terselip

lidah yang lebih tua menggelitik disana-sini, begitu telaten menjilati lehernya yang berkeringat. sakusa menggeram tak nyaman; malu karena tubuhnya diendusi sedemikian rupa.

tangannya meremas kepala meian kala yang lebih tua menguncupkan bibirnya untuk menghisap keras “kak- kak meian-”

“kamu jangan berisik. nanti ketahuan gimana?”

yang lebih muda menggeram.

maunya berisik, sakusa mau sekali berisik, marahi si kapten timnya untuk berhenti macam-macam.

gimana enggak? mereka kini sembunyi di balik bilik kamar mandi dan jam latihan sudah lewat daritadi. teman setimnya bisa mendobrak pintu kapan saja. si kapten yang biasa diagungkan teman-temannya karena keahlian strateginya sekarang malah memilih menyampingkan kewarasannya dengan menarik sakusa kesini.

“kamu seksi hari ini, celana baru ya?”

sakusa mengedip. iya juga, celana yang baru dibelinya kemarin memang satu size lebih kecil dari yang biasanya dipakai.

celana yang jadi masalah sudah melorot dan menyangkut di pahanya sejak tadi, akibat diremas dan ditarik ke atas ke bawah. sekarangpun tangan meian masih mencubiti sakusa di bokong, buat celana dalamnya ikut turun.

sakusa melotot.

“kak?” sakusa berbisik dengan keras, “ngapain?”

“mau masuki kamu.”

sakusa menggeleng panik, “kak- hmmh

ushisaku: pensi

-

ku jatuh cinta saat kau ada di hadapanku terbawa ku dalam tatapmu

ushijima, seingatnya, sejajar dengannya. mereka tidak butuh satu sama lain untuk mengambil barang di rak supermarket yang agak jauh dari gapai. mereka tinggi, itu urusan gampang.

namun, setelah bunyi klik pintu tertutup, dan kedua belah tangannya meraih rahang ushijima, kepalanya harus agak mengadah; bibir yang lebih tua ternyata setingkat lebih tinggi.

ruang kelas di pojok minim binar, tapi bibir keduanya tak sulit bersapa. menjejak di tiap spasi, kecup, kecup, kecup, saling menegur untuk merasa bahang dari ranum satu sama lain.

sakusa dibuai, rambut ikalnya dibelai, dibawa mundur untuk tak ganggu. pinggangnya dikepal lima jari besar, tubuh ushijima bagai magnet dan sakusa adalah feromagnetik yang tak punya kuasa selain ditarik untuk mendekat dan menempel di tubuh yang lebih besar.

yang muda dibawa mundur empat langkah kecil sampai pinggulnya membentur meja. kayu yang mengeret berisik di lantai menjadi kaca debum jantung sakusa yang ribut menusuk telinga.

entah, mungkin iya, menabuh drum keras-keras adalah salah satu alasan padatnya lengan yang kini dicengkram halus sakusa. lengan yang sama bawanya naik, tapaki udara; sakusa kini duduk di atas meja coklat yang kotor coretan putih.

baris kedua dari jendela, meja ketua kelasnya didudukinya.

saat kau cium aku saat kau peluk aku

sayup-sayup suara wanita terdengar, jauh di lapangan. pensi masih berlangsung meriah, tak peduli dua lelaki yang mematuk manis bibir di ruang kelas IPA.

sakusa tak peduli bahkan pada murid-murid yang sibuk lalu lalang di depan kelasnya karena ushijima datang lagi, kali ini bawa lidahnya. mengecap mulut sakusa bagai geleta dengan madu yang tersisa di dasarnya, buat ushijima dalam-dalam menggapainya.

kau bawa aku melayang jauh terbang ke awan

dirasa pipinya memanas akibat bibir ushijima yang pandai menghidunya. ini bukan kali pertama, tapi rasanya begitu menakjubkan dirasa. tungkai yang melayang sesekali naik di kaki yang berdiri, mencari pijakan di bumi, takut terlalu terlena di langit, tak mau pergi sendiri, mau bawa si penawar kasih ikut dengannya.

ushijima memagut, menarik ulur lidahnya bagai benang yang rapuh, yang mengikuti lonjakan angin yang memanjanya di udara, kemudian menghirup nafsu animonya.

sakusa mendengung, eratan pada pinggangnya mengerat; ushijima ikut memanas mendengar yang dicumbu menikmatinya.

kulit selembut bantal itu dikecup terakhir kalinya, sakusa direngkuh, dibawa dekat-dekat dengan jantungnya yang berteriak keras-keras.

ku jatuh cinta. saat kau ada di hadapanku.