on twitter @5U0703

Ini temu pertama bagi Satoru, setelah sekian tak bersua dengan perempuan di hadapannya kini. Mereka duduk berseberangan; dengan posisi Satoru menyenderkan punggung bertumpu bantal-bantal usang—yang sedikit melorot pada dinding. Sedangkan perempuan itu diam bersimpuh dengan kedua tangan mengantup di pangkuannya.

Penerangan kamar yang remang bersama heningnya suara, membuat suasana menjadi ganjil. Pun, dua pasang mata beradu tatap, saling menelusuri setiap jengkal entitas. Birunya Satoru menangkap pantulan cahaya pada wajah perempuan itu. Ada bekas luka, darah, dan koreng di sudut bibir; juga guratan di hidung mungil. Mungkin orang lain yang melihatnya akan tergugu, atau memalingkan wajah kasihan, atau bahkan meludah jijik. Tapi, berbeda untuknya, ini cantik, terlampau cantik. Sempurna yang terpaksa bersembunyi; menunggu disibak oleh seseorang yang tepat. Dan Satoru berpikir, dialah yang akan menarik cantik itu sendiri.

Beralih pandang. Perempuan itu, yang dijuliki sebagai oiran yang jatuh, memandang takjub Satoru. Rambut putih keunguan, mata bagai cakrawala, bahu lebar nan tubuh tegap, dan hal terpenting: kedudukan terpandang di masyarakat. Sangat mengherankan mereka dapat bertemu lagi ketika dirinya sudah kehilangan segalanya. Yang tersisa ialah sebuah julukan, kimono mewah peninggalan masa jaya, serta rumah tua di sudut kota.

“Di mana lagi?”

Sepatah pertanyaan mengalun. Membuyarkan tatapan mimpi si perempuan. Lantas ia ikut bertanya, “Lukanya?”

“Ya.”

“Bahu,” jawabnya pelan sembari mengelus daerah yang disebut.

“Perlihatkan.”

Sebuah perintah. Tajam dan otoriter. Yang menerima sekilas membayangkan kala Satoru menjadi seorang mandor. Pastilah semua orang mendengarnya. Membangkitkan rasa tunduk dengan tatapan dan nada kering bagai belati.

Perlahan, mata Satoru mengikuti gerakan halus perempuan di depannya. Dibalik kimono itu, tampak bahu seputih susu dengan beberapa goresan luka. Tidak dapat dipungkiri, bahu mungil dengan tulang sedikit mencuat memberi kesan lembut. Terlebih, ada rona merah di sana. Entah karena malu, atau memar yang memudar. Bagi Satoru tidak masalah apa pun alasannya. Tetap cantik. Selalu cantik.

“Itadori Yuuji.” Satoru mendekat. Membelai helaian rambut milik Yuuji. “Rambutmu cantik, mengingatkanku pada kelopak sakura. Tidak hanya itu, semuanya memang cantik. Aku suka.”

“Terima kasih, Tuan.”

Yuuji mengulum senyum. Ada perasaan aneh ketika diucapkan kalimat manis. Ia beranggapan bahwa dirinya tidak lagi menarik. Namun, Satoru terus memujinya.

“Tidak perlu berterima kasih. Kamu memang pantas untuk disanjung. Lagi pula, aku datang ke sini untuk membawamu.”

Yuuji menatap lurus kepada Satoru. “Tuan menginginkan seorang pelayan?”

“Bukan.” Satoru tersenyum lalu mengecup kening Yuuji. “Aku ingin menikahimu. Jadilah istriku.”

mungkin surat ini akan kusimpan. mungkin juga kukirimkan. atau mungkin hangus terbakar. maaf, jika tidak bisa menyampaikan perasaanku dengan tepat. ada banyak alasan dan pertimbangan karena sesungguhnya kamu adalah muridku. memang dunia jujutsu ini tidak ada moral yang jelas. bisa saja aku mengencanimu sekarang sebelum semuanya terlambat. memangnya, siapa yang mau menentang keputusanku? tidak para murid-muridku, tidak para petinggi, tidak kamu juga, bahkan dewa sekali pun.

kembali lagi, surat ini berisi perasaanku. terdengar aneh karena seorang gojo satoru memilih untuk merahasiakan perasaannya. aku tidak punya pilihan lain. aku takut hari eksekusi tiba. aku takut berpisah untuk kedua kalinya. dan takut atas kemungkinan lainnya; yang kelak mengubah hari-hari kita. tentu saja semuanya adalah takut yang terpendam. jika orang lain tahu, harga diriku akan tercoreng. dan aku tidak mau.

namun, lucunya aku meminta tolong kepada orang lain, yang lagi-lagi terdengar aneh—bahkan mustahil, tapi itulah kenyataannya. aku meminta nanami untuk menjaga dan memberi pengajaran yang terbaik padamu. maaf ya, aku tidak bisa mengajarimu dengan pantas. tapi, aku selalu, dan akan tetap, menjadi teman berlatihmu. seperti masa persembunyian waktu itu. aku senang melihatmu berusaha. perkembanganmu selalu naik pesat, meski bukan seorang yang berbakat. lagi pula, versus dengan kutukan tingkat atas itu pengalaman paling berkesan, bukan? aku menunjukkan domain-ku. dan matamu berbinar. cantik sekali.

selain nanami, aku juga menitipkanmu kepada kakak kelasmu, okkotsu yuuta. kami pergi bersama. dan saat itulah aku membicarakan kecurigaanku akan masa depan. kamu tahu? saat aku meminta untuk menjaga anak tahun pertama dan kedua, yuuta membalas dengan goyunan. dia menjawab, “seperti terjadi sesuatu? kayaknya kamu mendapatkan pacar.”

ya ... ya, benar. kamu adalah pacarku yang tertunda.

semoga kamu nyaman dengannya. tapi jangan terlalu nyaman ya. biarpun jauh di sini, aku cemburu, loh.

ada banyak hal yang ingin kutuliskan, tapi kiranya sampai sini dulu. dan terakhir;

yuuji, apakah kamu menyayangiku?

bukan sebagai gurumu. namun sebagai seorang kekasih.

terakhir kali satoru melihat tawanya dua hari lalu. muridnya pulang dengan mata yang sembap dan hatinya seketika mencelus. balasan pilu pun terlontar, saat mencoba tanya pada rekan kerja sekaligus adik kelasnya. ia mendengar bahwa anak laki-laki itu sedang berduka; menyesali mengapa dirinya tidak cukup untuk menyelamatkan teman barunya.

beberapa cara ditempuh agar laranya meluruh. namun, tawa dan senyumnya bilas berubah hambar. ramai ekspresi tiap film diputar, juga celotehan kecil perihal alur dan pelakonnya tidak ia temukan malam ini. satoru tidak suka. ada yang kurang. harus dikembalikan.

“ayo kita pergi ke tempat yang jauh sekali ... hingga kita berdua saja, mau?”

mata pemuda di hadapan satoru membulat.

“tolong ajak aku, sensei!

mereka berangkat di petang hari setelah menyetujui tawaran yang lebih tua. tidak ada barang lebih yang dibawa; hanya raga dan harapan satoru agar yuuji dapat kembali ceria.

kini, mereka duduk bersisian di kereta dengan jemari saling bertaut. kereta melaju kencang tanpa bising suara. entah mengapa, suasananya lengang. tidak banyak orang yang mengisi lorong. padahal jam menyentuh pukul lima—yang berarti, waktunya jiwa-jiwa lelah melepas diri dari kerepotan duniawi. seakan semesta ingin mereka berdua sejenak.

anggaplah mereka sedang menulis kenangan di sisa waktu terbatas. sebelum semuanya berubah. sebelum yuuji kembali bersedih. sebelum hari eksekusi tiba. sebelum, sebelum, sebelum tiada lagi hari-hari yang normal.

lama yuuji memandangi ombak yang datang dan pergi. separuh jiwanya seperti ikut terombang-ambing. deburannya datang menyapu pasir dan kaki, kemudian mundur meninggalkan kekosongan. namun, horizon berlukis jingga di depannya memberi panorama menarik.

“yuuji,” satu panggilan tidak dihiraukan.

dan dua, tiga, empat, hingga lima panggilan baru terjawab.

“bagaimana?” tanya satoru, ada getaran gelisah di penghujung kata.

seulas senyum diberikan. “indah ... terima kasih, sensei!

gelayut gamang di hati satoru terlepas saat ia menjawab. “syukurlah,” balasnya lega. “tolong, lain kali cerita pada sensei, ya? kita akan jalan-jalan sambil mendengarkan kamu cerita. jadi tolong tersenyumlah, ya?”

mereka pulang dengan membawa buah tangan.

beberapa kotak kue dan sepasang cincin.

#5ULokalWeek ; childhood-fantasy

Yuuji menarik kopernya yang tersangkut pada ceruk-ceruk aspal berlubang. Ditariknya perlahan sembari memandang pesisir pantai sana. Angin laut meniup helai rambut dan pakaiannya, begitu juga perasaannya yang mulai mengeruh. Ada pilinan gelisah yang melilit dadanya.

Pantai kali ini terasa berbeda. Lebih ramai. Lebih asing.

Ada yang hilang;

Fragmen kenangannya.

Read more...

“Satoru-san,” Yuuji memanggil, kala duduk santai di sofa berwarna merah marun. Satoru yang duduk di samping kirinya menyandarkan kepalanya ke pundak Yuuji. Ia bergumam pelan terhadap panggilan tadi. Memberi respons. “Sudah berapa lama kita menikah?” Yuuji bertanya tiba-tiba.

Read more...

#30DaysGoyuuDrabble

Denting lonceng pintu masuk. Seduhan kopi. Aroma pahit-manis. Suara panggilan kasir. Dan konversasi. Di sana, tidak jauh dari gedung-gedung besar, berdiri sebuah kafe berinterior kontemporer. Muda, masa kini, dan cocok sebagai tempat mengisi waktu bersama.

Tidak hanya suasananya. Pengurus, sekaligus pemilik kafe itu, merupakan daya tarik tersendiri bagi perempuan yang berkunjung. Dialah Gojo Satoru, laki-laki jangkung dengan paras tampan. Selalu menjadi idaman setiap kafe dibuka.

“Kak Gojo, rekomendasi hari ini apa?”

“Untuk nona manis, saya sarankan Fat-Free Cheesecake dengan Friday's Sunde.”

“Bonus senyuman?”

“Tentu dengan tambahan senyuman.”

Dan lengkungan tipis di bibir merah muda itu terkembang.

Read more...

#30DaysGoyuuDrabble

“Aku ingin memperbaiki hubungan,” ujar Satoru cepat. “Hubungan denganmu.”

Alis Yuuji tertaut. “Kurasa hubungan kita baik-baik saja, Gojo-senpai.”

“Ya ampun ....” Tangan kanan rambut putih itu menyambar satu helai tisu yang ada di meja. Perlahan dia menyeka bibir yang basah dengan tisu. “Ternyata kau pandai sekali berdusta,” lanjutnya. Sarkasme.

“Tapi ... aku memang tidak berbohong, Gojo-senpai. Aku berkata sesuai keadaan.”

“Keadaan kita tidak normal, Yuuji. Berjauhan ... singkatnya.”

Read more...

#Goyuumonth, Day 4 — Heartbeat

Akhir-akhir ini Satoru punya kebiasaan baru. Setiap saat, asalkan ada Yuuji, dia akan menyempatkan diri menaruh kepala di dada muridnya. Supaya apa? Tentu saja untuk mendengar detak jantungnya.

Read more...

#30DaysGoyuuDrabble

Yuuji belum siap kehilangan Gojo. Tidak untuk malam ini, besok, lusa, maupun selamanya. Namun, kotak yang ada di genggaman Getou palsu menjadi tamparan keras. Setelah ini, katakan selamat tinggal kepada hari-hari baik untuknya.

Read more...

METANOIA (n.) A transformative change of heart.

Read more...