leviaphile

permaisuri alam mimpi

[fanfiksi fictogemino untuk hari ulang tahun aki ♡ dapat dibaca dari paragraf atas ke bawah dan dari paragraf bawah ke atas.]


Sekarang Belphegor sendiri, tetapi hatinya senantiasa mencari.

Di manapun Aki berada, dia selalu menemuinya. Sengaja atau tidak, nyata atau sekadar ilusi dari sel otak.

“Selamat pagi, Bintang Utaraku.”

Avatar of Sloth memikirkan satu nama sambil memeluk bantal bermotif kulit sapi.

Baru saja dia terbangun dari salah satu mimpi indah tentang wanita yang matanya sewarna hortensia. Seseorang yang kukuhkan takhta hingga ke alam mimpi sang pria. Perasaan yang dulu tidak pernah Belphegor sangka dapat dia punya.

Belum apa-apa, Belphegor ingin tidur lagi. Kemalasan memang mendarah daging dalam dirinya.

Lagi-lagi, hanya dalam mimpi, apa yang dia dambakan termanifestasi.

Andai saja dunia nyata menjadi seindah mimpi. Namun, walau tidak sempurna, tetap ada hal yang dia apresiasi; pertemuan dengan sang kekasih. Untuk Lord Diavolo dan program pertukaran pelajar RAD, dia selalu berterima kasih.

Suara yang hangat menyapa di ruang makan. Belphegor sangat rindu walau rutin mendengarnya dalam mimpi.

“Selamat pagi. Kamu kesiangan lagi, Belphie?”

Ketika Hujan

Lima belas Januari, hujan turun dengan deras.

Di SMA Gagak Malam, hujan mengganggu kegiatan dalam kelas. Pendengaran terdistraksi oleh suara hujan dan suasananya sebabkan kantuk datang. Namun, Pak Crewel tidak ingin konsentrasi siswanya pecah. Dia tinggikan suaranya menyaingi rintik hujan. Terkadang, dia ketukkan tongkat kecil di papan tulis.

Holly melirik ke luar jendela. Intensitas hujan cukup besar hingga seolah membentuk tirai dari air. Tampaknya, hujan tidak akan reda dalam waktu dekat, sedangkan matapelajaran Pak Crewel adalah yang terakhir untuk hari ini.

Holly tidak membawa payung. Haruskah dia mengerjakan PR langsung di sekolah sembari menunggu hujan reda? Sayangnya, kepala Holly sudah terasa berasap seharian ini. Mungkin dia nanti bisa menunggu sambil mengobrol dengan teman-teman.

Atau Deuce, batin Holly.

Pikirannya tertuju pada siswa bertato spade dari kelas sebelah. Bukan sembarang siswa, tetapi pacarnya.

Membayangkan nanti menunggu hujan reda bersama Deuce membuat Holly tersenyum sendiri. Kemudian, Pak Crewel mengetukkan tongkatnya ke papan tulis lagi. Holly tersentak sadar dari lamunan. Entah apakah teguran itu diarahkan padanya atau bukan, Holly tidak berani berkhayal lagi. Dia fokus terhadap buku dan papan tulis.


Siswi berambut dua warna melemaskan kedua bahu begitu kelas berakhir. Pak Crewel telah keluar, tetapi sebagian besar siswa masih di dalam. Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda.

Deuce, kelasmu di mana? tanya Holly via chat.

Deuce langsung membalas, Di gedung A.

SMA Gagak Malam terdiri atas tujuh bangunan utama. Membacanya, Holly mendesah kecewa. Gedung A cukup jauh dari Gedung G tempatnya saat ini. Letak gedung A bersebelahan dengan gedung pusat dan berada di dekat lapangan upacara.

Dengan hujan sederas ini, tidak mungkin bagi Holly untuk menghampiri Deuce, atau sebaliknya. Sepertinya Holly harus puas hanya ditemani lewat chat.

Mereka berdua berbalas pesan, saling bercerita tentang hari yang dialami. Deuce dan Ace tadi diceramahi Pak Crowley karena terlambat memasuki kelas usai jam istirahat. Duo sahabat tersebut terlambat 20 menit. Lucunya, ternyata kata teman sekelas mereka, Pak Crowley juga datang terlambat 15 menit. Begitu jam pelajaran yang diajar Pak Crowley usai, Ace menggerutu bahwa guru yang terlambat seharusnya tidak memarahi siswa.

Holly tertawa kecil karena dapat membayangkan situasinya. Ganti dia yang bercerita tentang kelas olahraga Pak Vargas tadi pagi. Selanjutnya, Holly mengeluhkan PR dari Pak Crewel.

Suara hujan di luar terdengar seperti lagu ketika Holly larut dalam percakapan di media sosial. Lagu pengiring obrolan dengan seseorang tersayang.

Lantas, saat hujan berganti menjadi gerimis dan semakin menghilang, Deuce bergegas mengirim pesan: Aku datang ke kelasmu, Holly.

Dilihat dari masih pekatnya mendung di langit, hujan pasti belum usai, sekadar reda sejenak. Kilat pun menyambar.

Tidak sampai lima menit, dia tiba di depan kelas Holly. Rambut dan seragam Deuce tidak basah, tetapi sepatunya amat kotor. Pastilah Deuce habis berlari secepat kilat.

Senyuman lebar terpampang di wajah Deuce saat mengajak Holly. “Ayo kita pulang sebelum hujannya deras lagi!”


Sepasang remaja berjalan di bawah mendung. Langit masih abu-abu dan sesekali kilat tampak di kejauhan. Petrikor memenuhi udara sekitar, membawa sensasi nyaman. Pohon dan bangunan basah usai terguyur air dari langit. Sejumlah titik air jatuh dari dedaunan ketika tertiup angin.

Deuce dan Holly asyik mengobrol. Saking hanyutnya dalam kebersamaan, mereka lupa untuk bergegas, padahal siswa-siswi lain berlari melewati mereka ... hendak menuju halte atau tempat parkir.

“Menu telur di warung belakang sekolah tadi enak,” ujar Deuce.

“Besok aku ingin mencoba. Tadi aku makan di kantin seperti biasa,” komentar Holly.

“Tahu begitu tadi kubelikan.”

“Hahaha. Kapan-kapan makan bareng saja yuk!”

Lantas, mereka dikagetkan oleh tetesan besar air yang turun dari langit. Hujan tiba-tiba turun lagi saat mereka berada di tengah lapangan olahraga—dalam perjalanan menuju gerbang.

Holly menengok ke belakang lalu ke depan. Dari lokasi mereka sekarang, maju atau mundur sama-sama akan basah. Dia menyesal tidak membawa payung hari ini.

Sigap, Deuce melepaskan jaket dan membentangkannya di atas kepala mereka. “Kamu tidak apa-apa?” tanyanya.

“I-iya.” Holly gugup karena berpayung jaket bersama Deuce.

Kegugupan Holly dan kecanggungan Deuce terhenti karena hujan bertambah deras. “Kita cari tempat berteduh yuk.”

Mereka berdua pun berlari menembus hujan. Sepatu mereka basah karena menerjang genangan air, tetapi mereka berdua tertawa. Badan memang kedinginan, tetapi hati tidak. Deuce dan Holly pun sepaham; mungkin semangkok bubur dan secangkir teh dapat menghangatkan sembari menunggu redanya hujan.

Ketika bersama, ternyata situasi ini tidak menyebalkan. Ketika bersamanya, langit abu-abu tidak terasa suram.

Trafalgar D. Water Law benar-benar datang dari jendela.

Nerona Nami membekap mulut sendiri supaya tidak memekik. Konon, konflik para D dan WG (Nerona termasuk di dalamnya) telah berlangsung ratusan tahun. Singkat kata, Law seolah cari mati dengan masuk seorang diri ke daerah lawan.

“Di sini sangat kaya, tetapi kamu malah kurusan padahal baru seminggu,” komentar Law sekilas.

“Tidak nafsu makan,” ringis Nami.

Untuk berjaga-jaga, Law mengamati seisi kamar, memeriksa setiap sudut. Tidak ada CCTV atau penyadap suara. Tampaknya, mereka angkuh mengenai keamanan penjagaan di bawah.

Terdapat sekeranjang buah di meja. Utuh. Tangan bertato Law meraihnya lalu membawa ke tempat tidur. Dia mengupaskan jeruk lalu menyuapkannya ke Nami. “Kamu harus makan, Nami-ya.”

Kendati sedikit enggan, Nami membiarkan Law menyuapinya buah-buahan. Toh, dia perlu tenaga untuk kabur. Namun, secara tidak sengaja Nami kemudian keliru melahap jari telunjuk dan jari tengah Law.

Dokter muda tersebut membeku sedetik, tetapi tidak menarik jarinya. Mereka sampai pada kesepakatan non verbal akan sesuatu. Nami lanjut mengulum jari-jari Law, sementara dia membelai lidah dan rongga atas mulutnya.

Lantas, Law mengeluarkan jarinya yang basah, menggantikan posisi dengan lidahnya. Ciuman mereka sedinamis ombak samudera; kadang lembut, terkadang mengganas, dan ada saatnya mereka tidak bergerak—sekadar bersua.

“Kamu yakin, Nami-ya?” tanya Law begitu ciuman terlepas.

Sebagai jawaban, Nami mengambil apel merah—yang menurut dongeng merupakan simbol dosa. Digigitnya apel tersebut perlahan. Gigitan renyah diikuti dengan mengalirnya beberapa tetes air buah dari bibirnya. “Iya, Law. Dan, tolong bawa aku keluar dari sini.”

Sejurus kemudian, Law memposisikan diri di atas Nami. Apel merah terjatuh dari tangannya, tetapi siapa peduli. Law mengusap pipi Nami sejenak. Ada kehangatan yang menguatkan Nami menjalar dari sana. Ada kelembutan yang menenangkan di sepasang mata emas itu.

Seiring wajah Law mendekat, Nami merangkul lehernya. Ada senyum di wajah nona berambut jingga. Lagi, mereka berciuman—kali ini terasa lebih panjang.

Jemari Law bermain di renda bahu gaun Nami—tali kecil yang menahan pakaian tipis dan longgar tersebut. Di dekatnya, lidah Law turun dari leher Nami, menyusuri selangka, lalu singgah untuk menggigit pundaknya.

Seolah memahami kebimbangan Law, Nami berujar pelan, “Robek saja. Aku tidak mau membawa apa pun dari sini.”

Tentu, Law melakukannya dengan senang hati. Suara robekan kain menyebabkan degup jantung mereka berpacu.

Pemuda berambut gelap ini mundur sedikit agar dapat melihat semuanya. Berbaring di sana, perempuan jelita tanpa satu pun tabir. Kekasihnya, walau belum ada penegasan antara mereka berdua.

“Wajahmu merah. Ternyata kamu bisa berekspresi begini,” kikik Nami, meski dia sendiri juga malu.

Siapa yang tahan jika di bawah badannya ada bidadari? timpal Law dalam hati, sebelum mencium Nami lagi ... dan lagi.

Bekas kemerahan terus bertambah dari waktu ke waktu. Peluh membasahi tubuh mereka. Kamar—yang lebih pantas disebut penjara mewah dipenuhi desahan pelan dan erangan tertahan. Bercinta ternyata dapat dijadikan sebagai perlawanan terhadap keadaan. Pergolakan hasrat serta kerinduan—untuk menyongsong kerinduan baru di masa depan. Dan cinta.

(Belum ada kata “cinta” antara keduanya, tetapi cinta berayun dari mata ke mata, bergelayut di nama mereka, dan memenuhi udara.)

Malam mereka berdua masih panjang.


Law berulang kali menatap jam tangan dan penjaga di luar bergantian, sedang menunggu saat yang tepat. Di punggungnya, Nami memakai hoodie kuning berlogo wajah tersenyum. Perempuan itu menyandarkan dagu di bahu kiri Law.

“Tempatmu di laut bersama mereka, Nami. Aku akan menyusul ke laut bersama Bepo dan yang lain kemudian.”

“Kamu tidak ikut berlayar dengan kami?”

Memang Nami bertanya, tetapi dia telah paham jawabannya sendiri. Luffy adalah kapten. Law juga adalah kapten. Tidak ada dua kapten di satu kapal.

“Aku perlu memastikan kalian tidak dikejar, jadi aku tetap di sini sampai kalian aman dan berlayar cukup jauh,” jelas Law.

Perkataan yang logis, tetapi tidak bisa dipungkiri Nami menjadi sedih. Tangannya memeluk leher Law lebih erat. “Aku benci Nerona,” ungkapnya pedih.

Topi putih bertotol membentur rambut Nami saat Law menoleh. Lelaki itu mengecup pipinya. “Kalau kamu benci nama Nerona, bagaimana kalau memakai nama Trafalgar?”

Entah apakah dia serius atau bercanda. Situasi belum mengizinkan mereka membahas lebih jauh. Jadi, meski wajahnya semerah apel dan degup jantung menggila, Nami berusaha menjawab sejenaka mungkin.

“Sayang sekali aku tidak akan menjawab apa pun kalau kamu tidak membawa cincin. Sebagai informasi, aku tidak mau cincin murahan.”

Law tertawa kecil, Nami juga. Lantas, mereka kabur dari jendela. Nami mendongak sepintas ke angkasa. Rasanya ... bebas.

Beberapa kilometer dari sini adalah pantai, tetapi entah mengapa Nami merasa bisa mendengar laut memanggilnya. Mungkin, Law mendengar suara yang sama. Hanya saja, petualangan yang menunggu mereka berbeda ... hingga saatnya tiba.

“Ayo bertemu lagi di Sabaody.”

“Mau kubantu pakai baju?” tawar Nami—walau dia sendiri sedikit tidak rela karena masih ingin melihat badan bertato itu.

Law melihat Nami dan kaos di kasur bergantian sebelum menggeleng. “Tidak perlu, Nami. Malam ini sedikit ... gerah,” jawabnya, terdengar ragu di kata terakhir.

Nami mengangguk cepat. Ternyata bukan cuma dia yang merasa gerah. Dia beranjak untuk menyalakan kipas angin. Rambut oranye tertiup angin karena Nami entah kenapa bengong di tempat.

Sang Perempuan tersentak saat tangan besar dan hangat mengusap kedua sisi kepalanya untuk mengumpulkan rambut ke belakang. “Bahaya kalau rambutmu masuk ke kipas,” tutur Law.

“O-oh, makasih.”

Begitu Law melepaskan rambutnya lagi, Nami berbalik. Tanpa wedges andalan terpasang di kaki Nami, Law terlihat lebih tinggi. Dia perlu mendongak untuk menatap wajahnya.

Kipas angin kembali berulah. Ujung rambut Nami hampir masuk ke kipas, sehingga Law refleks menariknya mendekat. Gerakan Law yang mendadak menyebabkan Nami tersandung kaki sendiri dan jatuh menimpa si lelaki berkulit tan. Topi putih khas Law jatuh ke lantai, menampakkan rambut biru gelap—nyaris hitam yang berantakan.

Dada Nami menekan dada Law dan kipas angin membuat rok—yang sudah pendek— itu berkibar. Law terus mengingat rasa sakit dihajar Doflamingo supaya terdistraksi dari siksaan ini. Tampaknya Nami juga merasa malu, tetapi dia salah langkah karena membenamkan wajah di badan Law yang masih telanjang dada. Dan ketika Nami mendongak untuk melihat ekspresi Law, kebetulan dia juga sedang menunduk menatapnya.

“Uh ... Nami, kapan kamu akan bangun?” Law memuji ketenangan dalam suaranya sendiri padahal secara mental dia cukup kacau.

“Maaf, Law.”

Sejurus kemudian, Nami bangun dan berlari ke tempat tidur. Lalu, dia tengkurap dan membenamkan kepala ke bantal Law. Kakinya bergerak-gerak seperti di kamar sendiri. Dia masih malu. Sangat.

Tawa kecil lolos dari mulut Law. Usai memungut topinya—untuk diletakkan di meja, Law duduk di sebelah Nami.

“Mau kuantar pulang sekarang?” selagi aku masih bisa mengontrol diri. Bagian terakhir hanya Law ucapkan dalam hati.

Berganti posisi ke rebahan, Nami menggeleng yakin. “Aku masih mau di sini. Kita sudah lama nggak ketemu yang banyak mengobrol,” jawabnya santai.

Lelaki bermata emas memijit kepalanya. Masih rebahan, Nami menjulurkan tangan untuk mengusap pipi dan rahang Law, kemudian cemberut saat tidak mendapatkan respons kata-kata.

Geraman pelan diikuti oleh gerakan yang sangat tiba-tiba. Law menumpu berat badan di tangan dan lutut, mengungkung badan Nami di bawahnya. “Jangan menggodaku, Nami! Aku tidak sebaik itu.”

Sekejap mata Nami membulat, pipinya bertambah merah. Mungkin dia memang tidak kepikiran sampai ke arah sana. Namun, hanya dalam hitungan detik senyuman sensual terkembang di bibirnya.

“Aku tidak menggodamu kok, belum. Lenganmu kan sedang terluka. Aku tidak mau lukanya terbuka.” Lalu, Nami mengalungkan kedua tangan ke leher Law, menariknya mendekat hingga hidung mereka bersentuhan. “Aku hanya ingin bersamamu lebih lama.”

Persetan. Law sedang tidak peduli kalau nanti dia harus pergi ... waktu berada di sekitar Nami tinggal sedikit lagi. Pun Law tidak mengerti apakah sosok di bawahnya merupakan jelmaan malaikat atau iblis. Indah, terlarang, tetapi menggodanya yang semakin terjerumus dari hari ke hari.

Luka tusukan dari Doflamingo sedikit berdenyut, tetapi berdasarkan pertimbangan Law, ini tidak akan terbuka dengan mudah—dan dia bisa mengabaikan nyeri ketika terfokus pada sesuatu yang lebih besar.

Tangan kiri Law memegang pipi Nami. Dia menggesekkan hidung mereka pelan, lalu menjauhkan wajah sebentar untuk bertanya, “Boleh?”

Baru saja Nami mengangguk, bibirnya telah tertawan dalam sebuah ciuman. Lidah mereka saling menyapa dan beradu demi dominasi. Nami membalas dengan gigih, tetapi Law tetap unggul. Ciuman berakhir saat Nami mendorong kepala Law, karena dia butuh meraup udara untuk bernapas. Law menyeringai penuh kemenangan sebelum mengecup lagi bibirnya.

Mereka tidak berhenti hanya dengan ciuman. Ujung jemari lentik Nami turun dari leher Law, menyusuri tato hati di dadanya yang kekar. Selama beberapa detik, badan Law menegang. Dan saat perempuan itu mencium bagian tengah tatonya, Law turut membelai tato di lengan kiri Nami. Gestur penuh afeksi, mengapresiasi rangkaian cerita yang melatarbelakangi keberadaan tato tersebut. Setelahnya, mereka kembali berciuman.

Wangi jeruk seakan mengundang Law untuk membenamkan kepala di ceruk leher Nami sementara si gadis mengusap punggungnya. Tubuh mereka berdua nyaris berhimpit. Lantas, Law menyingkap baju Nami ke atas sembari membelai kulit yang terekspos jengkal demi jengkal.

“Namiii, kenapa lama sekali?”

Suara Luffy terdengar dari balik pintu. Diikuti oleh gerutuan Zoro, “Witch, kalau mau numpang berak, di tempatku saja.”

Sepasang sejoli buru-buru melepaskan diri. Mereka dongkol terhadap dua pengganggu, tetapi tidak memiliki pilihan lain.

Nami merapikan baju. “Lain kali saja. Bye, Torao,” ujarnya sambil berjalan ke pintu.

“Ya, di tempat yang lebih aman,” timpal Law, memakai kembali kaos yang sejak tadi terlupakan.

Setidaknya, mereka masih punya lain kali. Mereka harap begitu.

Cinta Transaksional

Hal yang terjadi beberapa menit belakangan seolah menguap dari kepala. Ketika fokus Nami kembali, dia telah duduk di pangkuan Trafalgar Law—di atas tempat tidur, dan lelaki tersebut tengah membenamkan kepala di ceruk lehernya. Sadar apa alasannya berada di sini, Nami memeluk punggung Law—menyusupkan tangan dari bagian bawah kemeja hitamnya, membelai punggung berotot itu.

Usai menyusuri rahang Nami dengan mulut, Law memegang bagian belakang kepala perempuan berambut oranye, mendekatkan wajah mereka untuk sebuah ciuman. Sesaat, Nami refleks menghindar, tetapi Law menahan kedua sisi wajahnya.

Ini pertama kali jarak mereka begitu dekat. Nami mengamati Law lekat-lekat.

Matanya emas. Rambutnya gelap, tetapi bukan hitam. Modelnya cukup berantakan dan biasa tertutup topi. Warna kulit normal Law—tanpa efek cahaya atau kusam berkeringat— cenderung tan.

“Nami-ya, kita bertransaksi untuk bercinta. Tolong, cintai saya sepanjang durasi ... walau hanya pura-pura.”

Demikian kata Law sebelum menyatukan bibir mereka. Anggukan kecil Nami dibalas dengan ciuman yang mengganas. Tangan Nami keluar dari kemeja Law, berpindah ke lehernya sambil memperdalam ciuman mereka.

Mereka berpura-pura jatuh cinta.

(karena tahu bahwa mereka tak mungkin saling jatuh cinta. mereka tidak memiliki “hati” untuk mencinta.)

Ciuman bertambah, berpindah, dan hasrat kian bergelora. Satu demi satu pakaian teronggok di lantai. Tetes demi tetes keringat turun bersama napas yang memburu. Desahan dan erangan memenuhi kamar.

Tidak ada kulit yang tak terjamah. Semua lekuk tersentuh. Serta usapan lembut di bekas luka lama—dan ciuman pelan sepanjang tato mereka yang menyimpan kisah. Tidak luput juga jemari yang sesekali bertautan. Atau mata yang ... menatap lembut di sela-sela aktivitas yang bertambah kasar.

(ini hanya bagian dari transaksi. mereka mencari orgasme, bukan rayuan manis dan janji kosong. tidak ada kupu-kupu yang menari di perut karena semua bagaikan badai. angin, petir, dan gelombang air mengacaukan rasionalitas.)

Mereka menyatu. Tidak ada kata cinta. Namun, mereka tetap berpura-pura jatuh cinta. Saling menandai. Mencoba berbagai posisi. Di dalam durasi, mereka saling memiliki.

“LAW!”

“Nami!”

Hilangnya julukan dan honorifiks menandakan satu lapis benteng luruh antara mereka berdua, untuk sementara. Di atas kasur yang kotor oleh dosa, tanpa kata, cerita, penghakiman, atau penghiburan.

Sebab mereka bertransaksi belaka.


Esok pagi, Nami terbangun di rengkuhan pria bertato. Harus dia akui semalam cukup menyenangkan—ralat, sangat. Namun, sudah saatnya dia menerima bayaran yang dijanjikan, lalu mereka akan berpura-pura tak ada yang terjadi.

Dia berusaha bangun tanpa mengusik tidur Law, tetapi lelaki itu malah memeluknya lebih erat. Sepasang mata emas terbuka sedetik, lalu memejam lagi seraya menggerutu.

“Masih libur, kan? Aku mengantuk.”

Demi Tuhan, suara Law saat bangun tidur terdengar lebih memikat. Wajah Nami terasa seperti sedikit terbakar.

“Aku harus pulang, Law-kun.”

“Jangan dulu,” gumam Law, menggesekkan dagunya ke puncak kepala Nami, “dan jangan berpikiran untuk mencari klien lain.”

“Tapi—”

“Akan kuambil semua slotnya. Kalau kamu membuka paket GF rent, kuambil juga.”

Nami tidak membenci gagasan tersebut. Lagipula Law orang kaya yang pasti mampu membayar mahal. Namun, dia bingung. Apakah yang mereka berdua lakukan benar? Jujur saja, sekarang rasanya Nami tidak ingin menyentuh uang Law—tetapi enggan menolak dan terjepit keadaan.

“Jangan jatuh cinta padaku,” gurau Nami.

“Jangan khawatir. Kamu juga jangan jatuh cinta padaku,” tanggap Law.

(mereka bertransaksi cinta karena merasa tidak memiliki hati. dunia memang tempat berjual beli. jadi, sepertinya tidak mengapa.)

Tangan bertato DEATH menyingkirkan rambut Nami ke samping, melirik kiss marks yang dia tanam semalam. Di bagian tengkuk hingga bagian bawah leher, tergambar ikon wajah yang tersenyum. Trademark seorang Trafalgar Law.

Jangan bertanya mengapa semalam Law melakukannya, karena dia sendiri tidak mengerti.

Thousand Sunny dipadati oleh para mahasiswa—yang sebagian sedang terluka. Memar, lecet, plester, dan perban tidak menghalangi mereka untuk bersenang-senang.

“Sanjiii, daging di sebelah sini kurang!” panggil Luffy.

“Ambil dan panggang sendiri!” balas Sanji.

“Jinbei, ayo kita minum-minum. Hal lain bisa dipikir nanti,” ajak Zoro.

“Blackleg-ya, kenapa di meja ini ada roti?” protes Law.

“Buat gua/aku saja,” seru Kid, Bonney, dan Luffy kompak.

Law meninggalkan mejanya untuk bergabung dengan Chopper. Mereka membicarakan matkul Fakultas Kedokteran. Pembicaraan serius ini diusik ketika Brook menyetel lagu dengan speaker. Di tambah lagi, Franky beberapa kali membunyikan klakson vespa yang baru dia motifikasi di teras Thousand Sunny.

Robin duduk bertopang dagu mengamati kawan-kawannya, sedangkan Nami bersandar di pundak Robin sambil membaca majalah fashion terbaru.

Tiba-tiba lampu padam. Kemudian, Usopp menyorot wajahnya sendiri dari bawah dengan senter. “Teman-teman, ada urban legend yang ditakuti oleh Gorosei. God Usopp akan memberitahu kalian.”

“Usopp!” pekik Chopper.

“Jangan bermain lampu!” Sanji menyalakan lampu lagi.

Mata Luffy berbinar penuh antusiasme. “Ceritakan urban legend-nya, God Usopp!”

Usopp mengusap bagian bawah hidung panjangnya. “Begini ceritanya, anak muda ....”

Pesta pun berlanjut dengan makanan, lagu-lagu, sampai tarian absurd. Semua tertawa seolah hari ini tidak terjadi apa-apa.

Ada keresahan yang sedang mereka abaikan. Banyak masalah menunggu di depan.

Mereka pasti akan menghadapi “nanti”, tetapi biarlah untuk sejenak menikmati “saat ini”. Melepaskan ketegangan usai hari yang berat. Mengumpulkan energi sebelum mengobarkan perlawanan baru. Saling mengobati luka di fisik dan hati kawan satu barisan.

—Mereka melawan dengan bergembira.

Sebagian geng Topi Jerami berjaga di titik kumpul satu, Universitas One Piece. Jinbei dan Franky membantu geng Hati di titik kumpul dua, depan stasiun kota lama. Aliansi Kid dan geng Bonney bergerak dari titik kumpul tiga, alun-alun.

Sebelum ke kampus, mereka berkumpul di rumah kontrakan yang menjadi basecamp Topi Jerami, Thousand Sunny.

Robin melihat ada sesuatu di samping pinggang Zoro, “Kamu membawa senjata?”

“Cuma pedang kayu kok. Firasatku buruk,” jawab Zoro sambil menggaruk tengkuk. Dalam hal seperti ini, biasanya firasat Zoro selalu benar.

Perkataan Zoro membuat para anggota Topi Jerami tampak lebih serius. Luffy mengangguk, dan mereka langsung paham. Chopper berlari untuk mengambil lebih banyak stok obat, Nami membawa tongkat andalan, dan Sanji mengganti sepatunya. Semua orang juga memastikan kelengkapan barang bawaan; googles, masker, sarung tangan, sebotol air, dan lain-lain.

“Aku sudah mengabari grup aliansi, tetapi cuma Torao yang menjawab,” tutur Luffy.

“Semoga kali ini firasat 'digebukin polisi' Zoro salah,” doa Nami.

“Baiklah, waktunya kita berangkat!” tukas Luffy.

Zoro dan Robin berjalan beriringan dari tempat parkir ke titik kumpul di kampus. Mereka sengaja berjalan lebih lambat sehingga teman-teman lain berada beberapa meter di depan. Tidak ada yang sadar kalau dua sejoli tersebut menggunakan sedikit waktu untuk mengobrol.

“Jangan terluka lagi, ya?” pinta Robin.

“Kuusahakan, tetapi, bagaimanapun nanti, aku tidak akan mendapatkan luka di punggung.”

Begitulah Zoro. Apa adanya dan tidak pengecut. Dia bukan tipe yang akan mengatakan kebohongan manis untuk menenangkan Robin, tetapi entah kenapa kejujuran ini membuatnya lega. Robin yakin mereka akan baik-baik saja.

“Kalau begitu, aku akan menjaga punggungmu.”

Mahasiswa berkulit tan ini tersenyum, “Aku akan mempercayakannya padamu.”


Long march dilakukan sambil bernyanyi dan orasi ringan. Sanji menyetir pick up yang membawa speaker serta perlengkapan lain. Luffy dan Zoro berjaga di depan, sedangkan Usopp dan Brook lain di belakang, Robin berjaga di tengah, lalu Chopper dan Nami di luar barisan sebagai tim medis.

Balaikota semakin dekat. Barisan depan sudah bisa melihat kawan-kawan massa aksi dari titik kumpul lain. Kemudian tiba-tiba saja terdengar teriakan Usopp dan Brook.

Bagian belakang diserang oknum berpakaian preman. Luffy dan Zoro tidak bisa membantu karena mereka ikut diserang tiga orang dari arah depan.

Tiba-tiba saja situasi menjadi kisruh. Polisi yang berjaga datang memukul Zoro dengan tongkat. Polisi tersebut berkata kasar menuduh Zoro menyerang rekannya. Zoro mengeluarkan pedang kayu.

Lantas, mereka dikejutkan oleh water canon yang menyerang massa aksi dari titik kumpul tiga. Dari kejauhan tampak Kid yang tengah berorasi diseret turun oleh polisi. Aksi utama bahkan belum dimulai. Beberapa polisi juga menembakkan gas air mata ke tiga arah. Ada yang mengarah ke tempat para Topi Jerami.

“Kawan-kawan, pergilah ke tempat yang aman!” seru Robin dari tengah barisan. Dia mulai mengenakan Alat Pelindung Diri.

Para anggota topi jerami ikut mengenakan Alat Pelindung Diri. “Kawan-kawan, sembari menuju ke tempat yang aman, jika kalian bisa, tolong ambil dokumentasi,” tambah Nami.

Nico Robin berjalan memungut cartridge yang jatuh tidak jauh dari mereka. Dia bergumam, “Ini kadaluwarsa. Kita bisa mengumpulkannya sebagai barang bukti. Namun, karena ini barang kadaluwarsa, maka akan lebih berbahaya.”

Kemudian Usopp dan Brook bergabung setelah mengalahkan preman. Namun, sebagian massa aksi telah berlarian panik. Zoro yang sudah memukul mundur polisi mengambil komando—sebab Luffy masih sibuk.

“Chopper dan Brook, kawal teman-teman ke titik evakuasi. Koki, kita akan menyelamatkan yang masih terjebak. Usopp dan Robin, kumpulkan barang bukti, lalu susul Chopper. Jika kalian bertemu kawan kita, bawa mereka juga. Di sana mulailah menyusun kronologis dan menghubungi jaringan solidaritas. Berkoordinasilah dengan geng Hati atau yang lain kalau sudah ketemu.”

Sanji melompat turun dari pick-up dan melemaskan kakinya. “Brook, kamu saja yang menyetir. Pekerjaanku banyak.”

“Nami, ikut kami. Karena Chopper tidak ada, tugasmu ada dua. Pertolongan pertama dan mengamankan jika ada barang bukti lain. Aku dan Alis Keriting akan melindungimu,” lanjut Zoro.

Mereka berpencar sesuai tugas masing-masing. Luffy yang sudah mempercayai para nakama kini berlari menembus barisan, hendak menolong Kid dan Killer yang sedang dipukuli.

Dari titik kumpul kedua, Law, Jean Bart, dan beberapa orang lagi pasang badan melawan para polisi selagi yang lain mengevakuasi massa aksi. Situasi di sini paling stabil dibandingkan dengan dua kelompok lain. Meski begitu, banyak anggota Geng Hati yang terluka sampai berdarah-darah. Zoro dan Nami membantu Geng Hati, sementara Sanji menahan agar tidak ada yang mengejar kawan-kawan saat mengamankan diri.

Waktu seakan melambat bagi Nami saat seorang oknum polisi menembak bahu Law dengan peluru karet.

“LAAAW!” pekiknya histeris.

Sembari memegangi bahu, Law tersenyum padanya, “Hei, aku tidak akan tumbang hanya karena peluru karet.”

“Aku tahu.” Nami membuka kotak P3K sambil berjalan menghampiri Law. Suaranya terdengar seperti datang dari tempat yang sangat jauh.

“Nami, kita masih berada dalam aliansi. Aku akan memelukmu nanti,” ucap Law kemudian.

Perempuan tersebut mengangguk. “Aku akan menyisir areal sana. Bantu Luffy menolong Kid dan yang lain.”

Mereka pun berpencar lagi.

Beberapa saat yang lalu, Bonney hendak menolong Kid dan teman-temannya yang menjadi sasaran empuk para polisi. Tempat ini paling kacau dan paling banyak korban luka-luka. Bonney bingung mengapa ada lebih banyak aparat menargetkan titik kumpul mereka.

“Hoiii, jangan ke sini!” perintah Kid yang sedang melawan saat dikeroyok beberapa polisi.

“Jangan ngatur-ngatur! Lu bonyok gitu!” sahut Bonney galak.

“Udah, pergi aja! Bawa kawan-kawan ke tempat yang aman.” Pria berbadan besar itu masih bersikeras. “Gua bakal ngajak lu makan berdua nanti. Tapi jangan pesan banyak-banyak. Gua kan proletar.”

Ajakan Kid sangat tidak sesuai tempat, tetapi Bonney mengiyakan. “Dasar goblok! Jangan kalah ya!” jawabnya.

Mengusap setitik air di mata, Bonney lalu mengambil alih komando. Prioritas saat ini ialah menyelamatkan sebanyak mungkin kawan. Hatinya lega saat dia melihat Luffy berlari ke arah mereka.

“Aku pasti menolong Kid,” janji Luffy.

Kembali ke saat ini, Luffy dan Zoro telah menolong Wire dan Killer. Tinggal Kid yang masih sulit didekati karena dikelilingi banyak polisi. Dua orang polisi menyeret Kid.

“KIIIIDD!” seru Luffy, berlari secepat mungkin, “JANGAN AMBIL KAWAN KAMI!”

Mahasiswa bertopi jerami meninju orang yang akan membawa Kid. Mereka terlibat baku hantam dua lawan puluhan, lalu Law bergabung dalam barisan. Mereka berhasil mengalahkan aparat dengan susah payah.

Berjalan gontai, Luffy naik ke pick up perlengkapan aksi lain yang kosong karena pengemudinya lari. Dia memegang mikrofon dengan tangan kiri dan toa di depan mikrofon dengan tangan kanan. Tawa khas Luffy bergema. Lalu, dia mulai menyanyi tanpa musik.

“KARENA KEBENARAN AKAN TERUS HIDUP SEKALIPUN KAU LENYAPKAN KEBENARAN TAKKAN MATI AKU AKAN TETAP ADA DAN BERLIPAT GANDA SIAPKAN BARISAN DAN SIAP TUK MELAWAN!”

Fokus semua orang yang berada di sekitar lokasi tertuju pada satu arah. Topi jerami Luffy terpasang di belakang leher—lepas usai pertarungan tadi. Terik sinar matahari dan sisa asap membuat rambut Luffy seolah berwarna putih.

Kemudian, dia meletakkan mikrofon dan toa ke tempat asalnya. Setelah itu, Luffy memakai topi jerami dan berjalan turun. Limbung, dia jatuh terkapar ke tanah.

Zoro memapah Luffy. Law memapah Kid. Killer dan Wire saling memapah. Perlawanan hari ini berujung kekalahan. Namun, mereka belum menyerah. Mereka tidak akan hancur.

Perjuangan belum berakhir.

Sesampainya di warung kopi langganan untuk diskusi, Nami sedikit gugup karena tatapan mata orang-orang tertuju pada mereka. Dia sangat jarang menghadiri agenda eksternal, apalagi di malam hari. Luffy dan Zoro belum datang, jadi pilihan terbaik adalah berada di dekat Law.

“Hai, Bonney dan Kid!” Nami menyapa kawan yang ia kenal.

“Hei, Nami! Malam ini banyak cowok tiba-tiba patah hati,” gurau Bonney sambil melirik teman-teman Kid.

Perubahan wajah mereka begitu signifikan di dua premis. Satu, ada perempuan cantik dan seksi. Dua, tetapi pawangnya adalah Trafalgar Law.

“Hai kalian.” Kemudian, Kid menoleh pada Law, “Kirain bareng Bepo, Trafalgar.”

“Ternyata Bepo ada tugas.”

Mereka mengobrol beberapa saat sampai Luffy dan Zoro datang. Secara alami, Nami bergabung dengan teman-temannya. Dari tempat duduk Law, Kid, dan Bonney, tampak Luffy dan Zoro mengomentari sesuatu tentang Nami lalu perempuan itu menjitak mereka berdua. Tidak sampai dua menit berselang, tiga orang tersebut kembali bercanda.


Pertemuan diawali dengan mengonsep rencana aksi. Jika sudah final, baru akan mendiskusikan isu yang dibawa dan teknis pelaksanaannya. Mereka telah sepakat untuk mengadakan aksi penolakan terhadap pengesahan RUU dan revisi RKUHP pasal tertentu.

“Kampus kita kan beda-beda. Bagaimana kalau kita berkumpul di beberapa titik lalu long march ke balaikota?” usul Luffy.

Kid mengangguk setuju. “Boleh juga, Mugiwara. Nanti kita bikin panggung seni lagi di sela-sela beberapa orasi. Fresh dan bisa menarik atensi media.”

“Tapi kalau titik kumpulnya banyak, apa massa aksi kita nggak lebih rentan?” tanya Nami, memegangi lengannya karena merinding, “Aksi lalu saja disusupi dua oknum. Mereka orang berbahaya dan kita hampir kecolongan padahal bersiaga penuh.”

Bonney meminum milkshake sampai setengah gelas lalu meletakkan gelasnya cukup kencang. “Benar. Mereka bukan orang sembarangan. Data di KTP-nya palsu. Dari gelagatnya, mereka pun bekerja sama dengan polisi atau pihak lain yang tidak kalah berkuasa.”

“Bagaimana dengan kawan-kawan pusat? Apa cuma kita yang diganggu penyusup antah berantah?” tanya Zoro.

“Kalau kata Ace, di sana juga panas, tapi belum diketahui apa itu penyusup atau polisi yang mengada-ada.” Luffy memiringkan kepala ke kiri, “Waktu aksi Hari Buruh lalu, dari CCTV salah satu toko kelihatan kalau polisi yang merusak mobil mereka sendiri buat menjelekkan para demonstran.”

“Kalau jadi menyebar, menurutku tiga titik awal sudah maksimal. Lebih dari itu akan penuh risiko,” komentar Law.

“Tiga titik kumpul ini tidak harus kampus. Alun-alun juga boleh,” sambung Wire.

“Hmm. Catat dulu, Bonney. Nanti kita bahas di pertemuan selanjutnya,” suruh Kid sampai Bonney melotot.

“Kok aku lagi? Gantian kamu dong.”

“Nami, kamu bawa buku, kan?” tanya Luffy dengan cengiran lebar.

“Iya. Biar aku saja yang mencatat.” Nami menggulung lengan hoodie Law yang menutupi telapak tangannya ke atas, sampai terasa nyaman untuk menulis.

Diskusi berlanjut. Saat pembahasan isu yang ingin diangkat, terjadi sebuah silang pendapat. Kid dan Law memiliki pandangan berbeda terkait isu tuntutan aksi.

“Kita tidak punya isu bersama selain RUU dan revisi RKUHP. Bagaimana kalau kita membawa lagi tuntutan aksi sebelumnya karena yang itu belum dijawab?” Begini pendapat Kid.

Law masih mempertahankan argumennya. “Apakah tujuh tuntutan di momen fokus terhadap satu isu tidak terlalu banyak? Aku khawatir pemerintah akan mengabaikan isu RUU dan revisi RKUHP yang krusial dengan alasan sedang mempertimbangkan isu lain ... dan itu pun omong doang.”

“Tapi itu tetap bagus. Tujuh tuntutan tempo hari harus didengar semua. Bukannya bagus kalau kita bisa merangkum banyak suara rakyat?”

“Kupikir kali ini cukup satu sampai tiga tuntutan spesifik, tetapi melakukannya dengan lebih progresif.”

“Seperti mereka akan mengerjakannya saja. Kebanyakan pemerintah kan enggan berbuat baik jika tidak dipaksa.”

“Justru karena itu, Eustass-ya, kita yang memaksa.”

Luffy hanya mengupil menonton perdebatan Law dan Kid. “Jadi intinya apa?”

“Makan dulu.”

Bonney melepas topinya frustrasi. Karena hal-hal seperti inilah, agenda berkumpul antar aliansi inti diperlukan. Mereka perlu menyepakati beberapa hal vital di sini sebelum mengadakan diskusi publik dan konsolidasi. Jika dari para penggerak saja belum satu suara, akan selama apa jalannya forum yang lebih besar?

“Oke. Aku mau pesan mie lagi. Mau bareng?” tawar Luffy.

“Iya. Ayo!”

Sementara Luffy dan Bonney memesan makanan, Zoro tidur di lantai. Mereka memang memesan ruangan tanpa meja dan kursi untuk berkumpul, jadi semua duduk melingkar di atas tikar. “Nami, bangunkan aku kalau debat mereka selesai.”

Kesabaran Nami hampir mencapai batas. Dia menyesal menjadi notulis pertemuan mereka hari ini. Di saat dia hampir marah, Killer, salah satu teman Kid bicara padanya, “Mau dipesankan sesuatu, Nami? Kamu kelihatan capek.”

“Berhenti dulu mencatatnya. Nanti tinggal tanya kesimpulan ke mereka,” tambah Heat santai.

Level kemarahan Nami menurun beberapa tahap. Perempuan bermata cokelat ini mengekor mereka berdua. Dia sekilas melihat masih ada beberapa teman Kid menyimak perdebatan dua 'Kapten'. Kata Killer, selain para anggota, Kid juga mengajak aliansi internal geng mereka. Di samping beraliansi dengan para kapten Worst Generation, Kid memiliki aliansi lain untuk tujuan di bidang berbeda ... tetapi Killer menjamin bahwa hal tersebut masih sejalan dengan mereka.

Wah, mereka semangat juga, batin Nami sambil lalu.


Setelah waktu yang cukup untuk makan, akhirnya Kid dan Law mencapai kata sepakat. Mereka akan membawa satu isu bersama serta tiga isu daerah. Isu daerah yang dibawa masih berkaitan dengan isu bersama, yakni dua konflik agraria dan satu kasus kriminalisasi oleh aparat.

Forum kecil ini kembali serius saat Zoro dan Kid menjadi pemantik diskusi.

“Ingatlah hal ini saat kalian ditangkap polisi. Tanyakan surat penangkapan. Surat penangkapan hanya diberikan untuk kasus khusus dan Operasi Tangkap Tangan, sehingga sekali pun kalian dibawa ke kantor polisi, status kalian tidak akan langsung ditangkap. Lalu, mintalah hak untuk mendapatkan pendampingan hukum. Hubungi LBH atau pihak lain yang dapat mengadvokasi,” jelas mahasiswa berambut hijau.

“Pendampingan hukum sangat perlu. Dari pengalaman saya, mereka akan terus membingungkan kita dan membuat kita mengaku meski kita tidak melakukannya. Tanpa pendampingan hukum, tekanan ini dapat menyebabkan kita terseret arus,” imbuh si rambut merah.

“Lalu, jika kawan kita ditangkap polisi, kita harus ikut mengawal kasusnya. Kabarkan ke jaringan solidaritas, bila perlu viralkan.”

Tidak hanya itu, mereka pun mengupas pasal-pasal yang dinilai bermasalah dalam RUU dan draft revisi RKUHP. Semua orang menyimak pdf di gawai masing-masing. Sesekali mereka juga berpendapat terkait pasal di sana.

“Jadi, kawan-kawan, RUU baru dan revisi RKUHP akan sangat merugikan kita. Kita perlu bersatu untuk mencegahnya,” tukas Bonney.

“Dan jangan lupa sejatinya semua Undang-undang saling berhubungan. Jika sampai lolos, tinggal menunggu waktu hingga sektor lain ikut terkena imbasnya,” tambah Law.

Kemudian mereka merancang timeline kasaran persiapan aksi. Membagi jobdesc dan mendata perlengkapan yang dibutuhkan. Mendata surat apa dan ke mana saja yang dibutuhkan. Membuat juklas-juknis kasaran untuk diskusi publik terdekat, lengkap dengan perkiraan time schedule. Tak lupa mereka mengumpulkan dana kolektif dari forum untuk keperluan aksi.

Bohong besar cuitan buzzer yang mengatakan demo mahasiswa dibayar atau ditunggangi pihak lain. Meski mungkin di luar sana ada yang demikian, di sini mereka murni digerakkan oleh hati nurani. Bukan cuma Aliansi Worst Generation, mereka tahu masih banyak orang baik yang peduli terhadap isu kerakyatan di tempat-tempat lain.

Faktanya, para mahasiswa (yang sebagian sudah hidup pas-pasan itu) berkolektif untuk setiap gerakan. Menyisihkan uang untuk kegiatan operasional seperti mencetak banner, pers release, konsumsi diskusi, dan sebagainya. Bahkan untuk agenda ngopi santai begini, mereka sudah menghabiskan cukup uang untuk memesan makanan dan minuman dalam jumlah layak sehingga tidak merugikan pemilik usaha. Walau ada banyak kafe atau warung kopi yang menyediakan ruang gratis untuk perkumpulan terpisah dari tempat pelanggan umum, mereka tetap sadar diri.

“Nanti moderatornya Zoro-ya. Narasumber yang akan kita hubungi adalah Pak Rayleigh dan Ibu Shinobu. Satu lagi siapa?” ujar Law yang pindah tempat lalu berjongkok di samping Nami untuk mengintip notulennya.

“Bagaimana kalau narsumnya nanti Pak Smoker?” Luffy mengangkat tangan.

“Luffy, beliau polisi,” tanggap Nami.

Mahasiswa bertopi jerami masih berkeras ingin mengundang polisi kenalannya. Dia mengakui Smoker sebagai orang baik walau cara mereka memandang dunia berbeda. Geng Topi Jerami beberapa kali berhadapan dengan perwira polisi tersebut dan Smoker bersikap professional.

Meski tidak menyukai geng mahasiswa, Smoker sungguh memproses mereka sesuai hukum dan pelanggaran yang dilakukan. Dia tidak pernah mengada-ngada atau menuduhkan hal lain terhadap mereka. Setiap Luffy lolos dari ancaman penjara, Smoker menyalakan rokok sambil bersumpah bahwa dia sendiri yang akan menjebloskan Topi Jerami ketika mereka terbukti bersalah di kemudian hari.

(Bagian ini rahasia, geng Topi Jerami juga pernah tidak sengaja bertemu Smoker dan para bawahannya di acara kemanusiaan sebuah panti asuhan.)

“Tapi Pak Smoker kan oknum,” bela Luffy lagi.

Law mengernyitkan dahi. Polisi dan oknum memiliki konotasi buruk di pikiran mereka, tetapi mengapa Luffy mengatakannya dengan nada bersahabat. “Oknum?”

“Di mata Luffy, saking banyaknya polisi problematik, polisi yang baik dan berintegritas disebut oknum,” jelas Zoro, menerjemahkan kata-kata sang Kapten.

“Dan aku yakin beliau tidak akan mau menghadiri diskusi kita,” celetuk Nami.

Suara Eustass Kid menggelegar saat mengakhiri orasinya dengan sebuah jargon, “GOROSEI, HAPUS IMPUNITAS!”

“GOROSEI, HAPUS IMPUNITAS!” Massa aksi mengikuti jargon tersebut sembari mengepalkan tangan kiri ke atas.

Para panitia teknis terus bersiaga walau jalannya aksi terbilang kondusif. Jumlah orang yang datang membludak, sehingga potensi terjadi gesekan pun meningkat. Dan, personel keamanan yang didatangkan bahkan lebih banyak daripada massa aksi. Hebohnya lagi, terdapat beberapa penjual makanan keliling di depan balaikota.

Chopper, Nami, Vivi, dan Ikkaku berkeliling untuk membagikan permen serta mengecek apabila ada yang sakit.

“N-Nerona?” Seorang mahasiswa kaget saat melihat Nami.

“Maaf, sepertinya kamu salah orang.” Perempuan berambut jingga ini tersenyum manis sebelum menawarkan permen.

“Ah, begitu ya ....”

Kemudian, Nami pamit ke arah lain. Tujuannya adalah menghampiri Sanji dan Jean Bart yang berjaga di lokasi terdekat. Dia mengeluarkan dompet yang dia curi dari saku jas almamater.

“Awasi orang ini. Dia mencurigakan. Uangnya terlalu banyak untuk penampilan mahasiswa miskin dan cupu. Kalau dia terbukti aman, kembalikan dompetnya yang jatuh.”

Sanji mengangguk paham, sementara Jean Bart masih heran pada kemampuan mencuri Nami.

Kembali ke podium, saat ini Jinbei mengajak Law dan Robin berorasi bersama. Mereka adalah suara dari tempat yang dihancurkan, diabaikan, dan didiskriminasi. Pembawaan mereka yang berwibawa membuat para peserta aksi lain terdiam.

Dari ratusan (atau mungkin ribuan manusia?), Nico Robin dapat melihat Zoro dengan jelas. Zoro berjaga di sisi barat podium bersama Kid. Gerakan bibir itu mengatakan, “Terima kasih sudah bertahan.” Robin mengangguk. Dia tahu Zoro paham apa yang ingin dia katakan.

Jinbei mempersilakan Robin untuk memulai orasi. Perempuan bermata biru tersebut memulai dengan pernyataan nelangsa, “Dunia takut pada orang yang berpikir. Maka dari itu, mereka membantai kami di Ohara. Mereka mengira pengetahuan kami adalah monster, padahal mereka sendiri yang lupa bagaimana cara berperilaku seperti manusia.”

Robin melanjutkan ceritanya selama beberapa saat, kemudian dia menyerahkan mikrofon pada Law. Si pemuda bertopi gemetar menahan amarah. Lantas, dia lantang bersumpah, “KAMI AKAN TETAP ADA DAN BERLIPAT GANDA!”

Hening. Trafalgar Law mengutuk pemerintah terkait cara mereka mengatasi masalah di Flevance. Suaranya dingin penuh luka dan dendam.

.... Lalu dia melihat Nami, Bepo, Penguin, Shachi, dan teman-teman Geng Hati mendekat ke podium. Suaranya melembut ketika mengakhiri bagian orasi.

Sekarang giliran Jinbei. Mahasiswa tinggi besar ini malah turun dari podium untuk menggenggam tangan Luffy dan Nami. Law dan Robin pun ikut turun. Bukan tanpa alasan Jinbei mendatangi mereka berdua.

Nami adalah korban dari ras fishman jahat, tetapi dia tidak menggeneralisir dendam dan memaafkan Jinbei—walau dia secara tidak langsung merupakan bagian dari Geng itu. Luffy adalah orang yang menerima donor darah darinya tanpa prasangka, saat banyak orang takut berdekatan dengan fishman. Mereka adalah temannya, dan bukti bahwa orang-orang dapat memilih untuk saling menyayangi.

“Saya mengalami banyak hal dalam hidup. Tidak semuanya kelam, tetapi saya dapat mengatakan bahwa diskriminasi tidak boleh dibenarkan. Ini tidak akan membawa dunia ke arah kemajuan. Kita semua akan tetap berada dalam pusaran. Pertengkaran horizontal. Konflik yang seharusnya tidak perlu ada, karena semestinya kita semua berjuang bersama.”

“Mereka adalah teman saya. Mereka memandang saya sebagai saya, dan saya memandang mereka sebagai mereka. Apapun ras, jenis kelamin, -isme, latar belakang, dan perbedaan lain bukan masalah.” Jinbei merangkul Luffy dan Nami. “Dan kalian semua juga. Che Guevara pernah mengatakan, jika kalian bergetar geram setiap melihat ketidakadilan, maka kalian adalah kawan saya.”

“Mink juga!” Bepo berlari merangkul lengan Law. “Kami dari ras mink bersaudara dengan kalian semua!”

“Buccaneer ada di sini!”

“Kami bersolidaritas dari Elbaf!”

“Serikat Pekerja Galley-la dari rakyat untuk rakyat!”

Riuh. Banyak suara menyebutkan ras, daerah, profesi, hingga komunitas. Semua unjuk rasa solidaritas, menjalin kasih di jalanan. Di depan gedung dingin yang seolah enggan mendengar, tumbuh bhinneka cinta.

“KITA SEMUA SAUDARA SEBUMI MANUSIA,” teriak Luffy menyimpulkan. “KITA SEMUA BERHAK UNTUK HIDUP AMAN TANPA MERASA LAPAR DAN CEMAS. KALAU ADA YANG MENGUSIK HAK KITA, MAKA HANYA ADA SATU KATA: LAWAN!”

Bersamaan dengan teriakan terakhir Luffy, Usopp menembakkan semacam kembang api ke langit. Percikan aneka warna menghiasi udara. Warnanya sangat mencolok sampai bisa terlihat jelas di bawah langit pagi.

Brook memahami ketegangan yang mungkin timbul, sehingga dia menyetel lagu. Hari ini bukanlah peperangan berdarah.

Meraih mikrofon lain, Brook mulai bernyanyi. “ATAS NAMA CINTA YANG HILANG, PANJANG UMUR PERJUANGAN!”

Semua melebur dalam lagu. Menari, menyanyi, berpegangan tangan, atau sekadar mendengarkan sambil melamunkan masa depan. Membayangkan dunia yang lebih baik.

“Oke, ini cukup rapat. Dia takkan bisa kabur,” tukas Jean Bart.

Ternyata mahasiswa mencurigakan tadi memang penyusup. Dia sengaja mendatangi rombongan polisi dan hampir menyerang duluan untuk memprovokasi. Beruntung mereka berhasil mencegahnya. Orang ini tidak punya KTM dan data KTP-nya palsu, tetapi dia belum mengaku siapa yang menyuruhnya merusuh.

“Kenapa aku jadi teringat legenda Joyboy?” gumam Bonney saat melihat tarian Luffy, lalu perempuan ini duduk di punggung penyusup lain yang dia lumpuhkan.

Semua orang dapat berjuang dengan berbagai cara, dan mereka memilih untuk melawan dengan bergembira.

Di antara kepedihan dan kemarahan, selalu ada hal yang tidak akan mati. Sesuatu yang berlipat ganda meski berulang kali kalah. Hal yang menjadikan mereka manusia.

Lagu berganti. Brook merendahkan badan ala vokalis band. Dia memandang langit sambil menyanyi dari lubuk hatinya. Semua massa aksi menyanyi bersama.

“DAN INTERNASIONALEEE, PASTIII, DI DUNIAAA!”

Suara Eustass Kid menggelegar saat mengakhiri orasinya dengan sebuah jargon, “GOROSEI, HAPUS IMPUNITAS!”

“GOROSEI, HAPUS IMPUNITAS!” Massa aksi mengikuti jargon tersebut sembari mengepalkan tangan kiri ke atas.

Para panitia teknis terus bersiaga walau jalannya aksi terbilang kondusif. Jumlah orang yang datang membludak, sehingga potensi terjadi gesekan pun meningkat. Dan, personel keamanan yang didatangkan bahkan lebih banyak daripada massa aksi. Hebohnya lagi, terdapat beberapa penjual makanan keliling di depan balaikota.

Chopper, Nami, Vivi, dan Ikkaku berkeliling untuk membagikan permen serta mengecek apabila ada yang sakit.

“N-Nerona?” Seorang mahasiswa kaget saat melihat Nami.

“Maaf, sepertinya kamu salah orang.” Perempuan berambut jingga ini tersenyum manis sebelum menawarkan permen.

“Ah, begitu ya ....”

Kemudian, Nami pamit ke arah lain. Tujuannya adalah menghampiri Sanji dan Jean Bart yang berjaga di lokasi terdekat. Dia mengeluarkan dompet yang dia curi dari saku jas almamater.

“Awasi orang ini. Dia mencurigakan. Uangnya terlalu banyak untuk penampilan mahasiswa miskin dan cupu. Kalau dia terbukti aman, kembalikan dompetnya yang jatuh.”

Sanji mengangguk paham, sementara Jean Bart masih heran pada kemampuan mencuri Nami.

Kembali ke podium, saat ini Jinbei mengajak Law dan Robin berorasi bersama. Mereka adalah suara dari tempat yang dihancurkan, diabaikan, dan didiskriminasi. Pembawaan mereka yang berwibawa membuat para peserta aksi lain terdiam.

Dari ratusan (atau mungkin ribuan manusia?), Nico Robin dapat melihat Zoro dengan jelas. Zoro berjaga di sisi barat podium bersama Kid. Gerakan bibir itu mengatakan, “Terima kasih sudah bertahan.” Robin mengangguk. Dia tahu Zoro paham apa yang ingin dia katakan.

Jinbei mempersilakan Robin untuk memulai orasi. Perempuan bermata biru tersebut memulai dengan pernyataan nelangsa, “Dunia takut pada orang yang berpikir. Maka dari itu, mereka membantai kami di Ohara. Mereka mengira pengetahuan kami adalah monster, padahal mereka sendiri yang lupa bagaimana cara berperilaku seperti manusia.”

Robin melanjutkan ceritanya selama beberapa saat, kemudian dia menyerahkan mikrofon pada Law. Si pemuda bertopi gemetar menahan amarah. Lantas, dia lantang bersumpah, “KAMI AKAN TETAP ADA DAN BERLIPAT GANDA!”

Hening. Trafalgar Law mengutuk pemerintah terkait cara mereka mengatasi masalah di Flevance. Suaranya dingin penuh luka dan dendam.

.... Lalu dia melihat Nami, Bepo, Penguin, Shachi, dan teman-teman Geng Hati mendekat ke podium. Suaranya melembut ketika mengakhiri bagian orasi.

Sekarang giliran Jinbei. Mahasiswa tinggi besar ini malah turun dari podium untuk menggenggam tangan Luffy dan Nami. Law dan Robin pun ikut turun. Bukan tanpa alasan Jinbei mendatangi mereka berdua.

Nami adalah korban dari ras fishman jahat, tetapi dia tidak menggeneralisir dendam dan memaafkan Jinbei—walau dia secara tidak langsung merupakan bagian dari Geng itu. Luffy adalah orang yang menerima donor darah darinya tanpa prasangka, saat banyak orang takut berdekatan dengan fishman. Mereka adalah temannya, dan bukti bahwa orang-orang dapat memilih untuk saling menyayangi.

“Saya mengalami banyak hal dalam hidup. Tidak semuanya kelam, tetapi saya dapat mengatakan bahwa diskriminasi tidak boleh dibenarkan. Ini tidak akan membawa dunia ke arah kemajuan. Kita semua akan tetap berada dalam pusaran. Pertengkaran horizontal. Konflik yang seharusnya tidak perlu ada, karena semestinya kita semua berjuang bersama.”

“Mereka adalah teman saya. Mereka memandang saya sebagai saya, dan saya memandang mereka sebagai mereka. Apapun ras, jenis kelamin, -isme, latar belakang, dan perbedaan lain bukan masalah.” Jinbei merangkul Luffy dan Nami. “Dan kalian semua juga. Che Guevara pernah mengatakan, jika kalian bergetar geram setiap melihat ketidakadilan, maka kalian adalah kawan saya.”

“Mink juga!” Bepo berlari merangkul lengan Law. “Kami dari ras mink bersaudara dengan kalian semua!”

“Buccaneer ada di sini!”

“Kami bersolidaritas dari Elbaf!”

“Serikat Pekerja Galley-la dari rakyat untuk rakyat!”

Riuh. Banyak suara menyebutkan ras, daerah, profesi, hingga komunitas. Semua unjuk rasa solidaritas, menjalin kasih di jalanan. Di depan gedung dingin yang seolah enggan mendengar, tumbuh bhinneka cinta.

“KITA SEMUA SAUDARA SEBUMI MANUSIA,” teriak Luffy menyimpulkan. “KITA SEMUA BERHAK UNTUK HIDUP AMAN TANPA MERASA LAPAR DAN CEMAS. KALAU ADA YANG MENGUSIK HAK KITA, MAKA HANYA ADA SATU KATA: LAWAN!”

Bersamaan dengan teriakan terakhir Luffy, Usopp menembakkan semacam kembang api ke langit. Percikan aneka warna menghiasi udara. Warnanya sangat mencolok sampai bisa terlihat jelas di bawah langit pagi.

Brook memahami ketegangan yang mungkin timbul, sehingga dia menyetel lagu. Hari ini bukanlah peperangan berdarah.

Meraih mikrofon lain, Brook mulai bernyanyi. “ATAS NAMA CINTA YANG HILANG, PANJANG UMUR PERJUANGAN!”

Semua melebur dalam lagu. Menari, menyanyi, berpegangan tangan, atau sekadar mendengarkan sambil melamunkan masa depan. Membayangkan dunia yang lebih baik.

“Oke, ini cukup rapat. Dia takkan bisa kabur,” tukas Jean Bart.

Ternyata mahasiswa mencurigakan tadi memang penyusup. Dia sengaja mendatangi rombongan polisi dan hampir menyerang duluan untuk memprovokasi. Beruntung mereka berhasil mencegahnya. Orang ini tidak punya KTM dan data KTP-nya palsu, tetapi dia belum mengaku siapa yang menyuruhnya merusuh.

“Kenapa aku jadi teringat legenda Joyboy?” gumam Bonney saat melihat tarian Luffy, lalu perempuan ini duduk di punggung penyusup lain yang dia lumpuhkan.

Semua orang dapat berjuang dengan berbagai cara, dan mereka memilih untuk melawan dengan bergembira.

Di antara kepedihan dan kemarahan, selalu ada hal yang tidak akan mati. Sesuatu yang berlipat ganda meski berulang kali kalah. Hal yang menjadikan mereka manusia.

Lagu berganti. Brook merendahkan badan ala vokalis band. Dia memandang langit sambil menyanyi dari lubuk hatinya. Semua massa aksi menyanyi bersama.

“DAN INTERNASIONALEEE, PASTIII, DI DUNIAAA!”