nelpages

Ajakan tak Terduga


Junkyu yang siang itu sedang menghabiskan waktu luangnya bersama Lena, tiba-tiba dikejutkan oleh nada dering ponselnya sendiri. Ia mengernyitkan dahi bingung, begitu melihat nama penelpon yang terpampang jelas di layar. Membuat ia segera mengangkat panggilan itu,

“Iya ruto, kenapa tiba-tiba nelpon?”

“Kak, aku ada di depan rumah kakak. Ada waktu gak hari ini? Maunya aku ajakin kakak jalan-jalan mumpung aku lagi luang.”

Panggilan dari Haruto yang tiba-tiba itu saja sudah mengejutkan Junkyu, apalagi mendapat ajakan yang mengarah seperti ajakan kencan ini.

Junkyu menggelengkan kepala cepat, mengusir pikirannya yang terlalu jauh, yang cukup untuk membuat pipinya merona.

“Aku lagi main sama Lena—”

Lena yang disebut namanya kemudian menggelengkan kepala, memberi instruksi untuk menerima ajakan itu dan meyakinkan bahwa ia tak apa jika bermain sendiri sekarang melalui raut wajahnya.

“Ah, jadi gabisa ya kak?”

Mendengar nada kecewa yang sangat kentara keluar dari bilah bibir Haruto membuat Junkyu menjawab cepat, “Bukan gitu, aku ada waktu kok sekarang.”

Setelah panggilan itu berakhir, dengan ajakan pergi—atau kencan— yang diajukan Haruto diterima baik oleh Junkyu, membuat pria Kim itu segera menuju kamarnya untuk bersiap. Lena yang memperhatikannya pun tersenyum lebar.

“Asik, bentar lagi dapet daddy baru!”

***

Setelah berpamitan dengan Lena yang kini asik dengan dunianya sendiri, Junkyu kini telah berada di depan rumahnya, memperhatikan mobil yang nampak tak asing ada di seberang jalan.

Tak jauh di depan mobil itu, nampak seorang lelaki tampan dengan tubuh terbalut kaos putih dan jaket jeans sebagai luaran, ya, cukup untuk membuat Junkyu terkesima beberapa menit.

Begitu mendapat lambaian tangan dari lelaki yang sudah menunggunya 15 menit itu, Junkyu segera menghampiri dan masuk ke dalam mobil itu setelah Haruto membukakan salah satu pintunya.

Begitu keduanya telah memasang seatbelt, dan Haruto yang nampak telah siap melajukan kendaraan itu, Junkyu memilih untuk bertanya,

“Mau kemana?”

“Kemana pun tempat yang kakak mau, aku bakal anterin. Itung-itung kencan pertama?”

Ah sial, sekarang jantung Junkyu berdetak lebih cepat dari biasanya. Mungkin wajahnya juga telah memerah sempurna, saking malunya.

Haruto yang melihat itu semua tersenyum kecil, merasa gemas pada lelaki yang bahkan sudah memiliki satu anak itu. Hingga tanpa sadar tangannya telah terulur, mengusak surai lembut milik Junkyu pelan.

Tak lama setelahnya, mobil itu melaju pelan dengan tujuan taman bermain, tempat favorit Junkyu.

Yang tanpa keduanya sadari, tak jauh dari tempat dua orang tadi bertemu, seorang pemuda yang bahkan lebih dahulu ingin bertamu menatapnya sendu,

“Kayaknya emang gak pernah ada kesempatan itu ya?”

Palette


“Semoga lo ada disana, kyu.”

Lelaki tampan yang sudah sejam berkeliling tak tentu arah itu memantapkan hati untuk menuju halte dekat kampus. Entahlah, tiba-tiba tempat itu terbesit dalam benaknya.

Laju mobil yang ia kemudikan itu cukup cepat, mengingat jaraknya saat ini dengan tempat tujuan cukup jauh. Belum lagi gerimis hujan yang lama-kelamaan bertambah deras, membuat ia semakin panik.

Ia tak ingin lelaki manis yang saat ini ia cari itu kedinginan, apalagi sampai sakit karena menahan dingin di tengah hujan.

Halte tujuannya sudah ada dalam jarak pandang mata, awalnya terlihat sepi tanpa ada seorang pun yang sedang menunggu bus disana. Namun, saat sampai tepat di seberang halte itu, ia dapat melihat seorang lelaki yang sedang menunduk memeluk dirinya sendiri.

Haruto segera turun dari mobilnya setelah sempat mengambil payung dari kursi belakang. Berlari cept menyebrang menuju halte, kemudian berdiri tepat di hadapan lelaki itu. Benar, itu Junkyu, lelaki manis yang ia cari.

“Kyu, ini gue.”

Tepukan pelan mendarat di bahunya, membuat Junkyu mendongakkan kepala yang membuatnya bersitatap dengan manik tajam Haruto yang menatapnya teduh.

“Kenapa disini, hm? Lo bisa kedinginan tau.”

Haruto melepas jaketnya, kemudian memakaikan pada tubuh mungil Junkyu yang kini tenggelam dalan balutan jaketnya itu. Junkyu masih diam, tak ada tanda ia akan mengucapkan sesuatu.

Sehingga Haruto mengambil inisiatif untuk duduk disampingnya, sedikit rapat agar terpaan angin dan tetes hujan tak mengenai si manis.

Tangannya ia bawa melingkari bahu Junkyu, kemudian menariknya masuk dalam pelukan hangat miliknya.

“Lo gak boleh sakit. Kalo lo sakit, nanti gue sedih.”

Junkyu hanya berdeham kecil sebagai balasan.

“Nanti lo bisa dengerin penjelasan Bang Jihoon. Gue gak maksa, tapi ada baiknya lo denger cerita dari dia. Gue bisa ngerasain tulusnya sayang dia ke lo bahkan dari pandangan matanya aja, kyu. Lo pasti lebih tau itu.”

Tak ayal apa yang Haruto ucapkan itu membuat ia berpikir kembali. Pikiran buruknya mengenai alasan Jihoon menjauhkannya dengan Haruto mulai memudar sedikit demi sedikit, ia tau Jihoon pasti punya alasan untuk itu.

Hujan yang awalnya sedikit deras itu kini telah berhenti. Entah karena udara dingin disekitar atau suasana yang mendukung, membuat Junkyu mengeratkan pelukannya, membenamkan wajahnya pada dada bidang Haruto.

“Kyu?”

“Ya?”

“Ngantuk?”

“Lumayan. Mau pulanggg.”

Haruto sedikit melonggarkan pelukan mereka, kemudian membawa satu jarinya mendongakkan sedikit kepala si manis. Manik Junkyu yang awalnya terpejam karena mengantuk, perlahan terbuka. Dan hal yang pertama kali ia lihat adalah warna-warni kesukaannya di atas sana.

“Wah pelangi! Ruto ruto lihat ada pelangi!!”

Junkyu memekik girang, berkat pelukan Haruto kini ia dapat melihat pelangi setelah hujan telah berhenti. Senyum lebar itu terus menghiasi wajah manisnya, membuat Haruto gemas dan mengecup pipinya cepat.

“Ih kok dicium sih!”

“Tapi suka kan? Pipinya aja merah, cieee”

Godaan Haruto membuat Junkyu segera menutup wajahnya dengan kedua tangan, sungguh, kini ia merasa sangat malu.

“Ahaha jangan ditutup dong mukanya, gamau liat pelangi lagi?”

Ah, hampir saja ia lupa mengabadikan keindahan itu.

Palette


Kaki jenjangnya berayun pelan menuju tempat yang kemarin sudah dijanjikan. Memperhatikan kembali jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya, pukul 3.45. Ia lebih cepat 15 menit dari waktu yang disepakati.

Biasanya, bagian belakang perpustakaan fakultas ekonomi itu akan ramai oleh mahasiswa yang berlalu lalang, apalagi saat jam perkuliahan berlangsung. Namun saat ia sampai disana, keadaan sudah cukup sepi, karena biasanya kelas-kelas sudah selesai saat waktu menunjukkan pukul 4 .

Ia berjalan menuju tembok bagian ujung yang berdekatan dengan toilet. Samar-samar ia dapat melihat bagian belakang tubuh seseorang yang akan ia temui. Mempercepat langkahnya hingga berada tepat di belakang pria itu, ia membawa tangannya menepuk bahu di hadapannya sekali,

“Bang Jihoon.”

Laki-laki yang dipanggil itu menoleh, kemudian memasang wajah datar dengan raut yang tak terbaca menghadap ke arah si pemanggil nama.

“Lo mau ngomongin apa, to? Kalo gak penting gue balik sekarang.”

Nada tegas yang mengiringi ucapannya itu sedikit membuat Haruto takut, namun jika ia memilih mundur ia rasa permasalahan antara keduanya akan makin rumit.

Ia berdeham kecil untuk menghilangkan rasa gugupnya, “Sebelumnya gue gak tau ini beneran atau nggak, tapi gue rasa lo kenal Jess, cewek yang juga temennya bang Ben.”

Jihoon tak bereaksi, ia hanya menatap manik tajam Haruto dengan tatapan menusuk, namun tetap mempersilahkan Haruto melanjutkan apa yang ingin ia katakan.

“Gue rasa cara lo salah bang kalo lo niat jauhin gue sama Junkyu dengan bawa Jess diantara kita. Gue gak tau apa motif dan alasan lo buat ini semua, tapi lo masih nganggep Junkyu temen lo kan?”

Raut wajah Jihoon mengeras mendengar pertanyaan itu. Hatinya terasa tercubit, mendengar pertanyaan yang seakan mempertanyakan ketulusannya pada Junkyu.

Jihoon menggeram kesal, “Lo gak tau apa-apa jadi jangan asal ngomong!”

“Iya, gue emang gatau apa-apa, jadi kenapa gak lo jelasin aja semuanya? Gue ada disini buat bantu Junkyu sembuh bang, lo tau kan seberapa pengennya dia buat balik kayak semula? Kenapa lo malah—”

“Gue suka sama Junkyu.”

Tidak. Bahkan jawaban ini sama sekali tak masuk opsi dalam bayangannya untuk menjadi alasan Jihoon melakukan ini semua. Ia pikir, mengapa bisa?

“Gue suka sama Junkyu jauh sebelum abang lo yang brengsek itu dateng. Gue selalu jaga Junkyu baik-baik, gue bahkan gak bisa maafin diri gue kalo sampai buat dia nangis walaupun sekali. Tapi dengan seenaknya, abang lo itu buat Junkyu jauh dari gue, bahkan nyakitin Junkyu dan buat Junkyu jadi kayak gini! Gue benci abang lo, gue benci semua yang berkaitan sama abang lo, gue benci liat lo ada di deket Junkyu!”

Dada Jihoon naik turun, nafasnya sesekali tercekat akibat menahan emosi yang bergejolak dalam dirinya. Begitu kuat ia tahan kepalan tangan yang sedari tadi ingin meluncur pada wajah tampan lawan bicaranya itu.

Seolah kini semua memori lalu yang berusaha ia kubur itu kembali ke permukaan. Tatapan mengejek yang Ben berikan padanya, Junkyu yang tertawa bahagia saat bersama pacarnya, Junkyu yang menangis dalam pelukannya saat Ben dengan sengaja memukul Junkyu karena rasa cemburunya yang tak masuk akal, hingga keputusasaan Junkyu yang ia saksikan selama bertahun-tahun akibat kecelakaan tragis itu.

Semua kenangan itu berputar dalam pikirannya, seakan menertawakannya yang tak bisa menjaga satu-satunya teman yang sayangnya membuat ia jatuh hati. Hingga membuat emosinya semakin memuncak, ia sudah tak tahan lagi.

Mungkin satu pukulan tak apa untuk melampiaskan sakit hatinya. Namun belum itu sempat terlaksana, lelaki di hadapannya berucap pelan,

“Tapi lo juga tau, kalau gue yang bisa nyembuhin dia. Jadi kenapa lo lakuin ini?”

Ya, satu pertanyaan itu cukup untuk memukul telak ego yang ia miliki. Ego yang awalnya tercipta karena rasa bencinya pada mantan pacar Junkyu, dan kini bercampur dengan rasa cemburunya melihat kedekatan Junkyu dengan adik mantan pacarnya itu.

Hingga membuat Jihoon lupa akan kenyataan di depan mata, yang memaksanya untuk sadar bahwa keputusannya itu tidaklah benar.

“Lo gatau rasanya jadi gue. Gue udah berusaha relain dia buat Ben dulu, tapi lihat kan apa yang terjadi? Gue gak mau hal yang sama terulang lagi, gue sayang banget sama Junkyu, asal lo tau. Gue setengah mati nahan diri buat gak lari meluk dia setiap dia kelihatan down lagi, gue benci liat dia hancur, gue gamau gagal jaga Junkyu lagi, gue mau dia jauh dari lo—”

Srekk

Kedua lelaki yang tengah terlibat pembicaraan serius itu nampak terkejut, kemudian mencari sumber dari suara yang menyela keduanya.

Sempat Haruto berpikir itu hanya kucing liar yang biasanya ada di sekeliling kampus, namun sepertinya ia salah. Yang kedua matanya tangkap malah raut wajah terkejut milik lelaki manis yang menjadi topik pembicaraan keduanya sedari tadi, yang kini berlari menjauh akibat tertangkap basah telah menguping pembicaraan itu,

“Junkyu?”

Palette


Cantik. Mungkin itu satu kata yang Junkyu ucapkan berkali-kali sedari tadi, sembari membawa pandangannya ke arah langit yang tampak terang akibat gemerlap kembang api yang dinyalakan untuk memeriahkan puncak kegiatan expo tahunan kampus.

Namun sayang, semua itu sepertinya kurang berkesan. Kembali menyadari keterbatasannya, yang membuat ia tak bisa menikmati cantiknya taburan warna yang kini menghiasi langit atasnya itu.

Ia memilih berdiri seorang diri di bagian pojok panggung dekat lapangan. Bukan karena ia tak ada teman, tapi ia memang memilih untuk menenangkan diri setelah seharian melalui penatnya tugas yang ia emban.

Di bagian tengah lapangan sana nampak banyak panitia lain, bercanda tawa serta mengabadikan keindahan yang ada. Ah, Junkyu jadi sedikit iri.

Mengeratkan sedikit jaket yang kebetulan ia gunakan, ia kembali memandangi pertunjukan diatas sana. Berharap Sunghoon yang berjanji akan menemaninya itu akan segera datang. Oh iya, Junkyu tentu merasa beruntung setidaknya ada satu orang yang mau memperhatikannya lebih, dan secara bersamaan mampu membuat ia merasa nyaman.

Tentang Haruto, ah, pesan lelaki itu bahkan tidak ia balas sama sekali. Ia bukan cemburu, hanya saja merasa kecewa karena janji yang lelaki itu berikan sebelumnya tidak ditepati.

Baru lima menit berjalan dari awal pertunjukan itu, tiba-tiba pandangannya gelap, tertutupi sebuah telapak tangan seseorang yang kini berdiri tepat di belakangnya, bahkan ia merasa seorang itu juga memeluknya.

Hampir saja nama Sunghoon keluar dari bibir mungilnya, namun ia tersadar saat ia mencoba menurunkan tangan yang kini menutupi matanya, hal yang ia nanti sedari tadi tampak di hadapan mata. Ia dapat melihat jelas warna-warni kembang api yang semarak itu, begitu indah sesuai perkiraan.

Mendadak jantungnya berdetak lebih keras, iya, berarti yang saat ini sedang memeluknya bukanlah Sunghoon. Masih terkejut dengan kenyataan itu, tiba-tiba saja badannya dibalikkan, sehingga kini ia menatap langsung wajah tampan Haruto yang menyunggingkan senyum lebar.

“Gue cariin lo dari tadi, kyu.”

Junkyu mengerjap kecil dan memasang wajah datar, “Kenapa?”

“Gue kan udah janji nemenin lo, gue juga mau lo puas liat cantiknya pertunjukan kembang api yang disiapin anak-anak perkap.”

Haruto mengarahkan sedikit wajah Junkyu menghadap langit, “Liat kan, cantik banget, kayak lo.”

Tak bisa berbohong jika kata-kata itu membuat Junkyu sedikit berdebar.

“Kirain lo sibuk sama anak dokum.”

Mendengarnya membuat Haruto merasa semakin bersalah, “Sorry, dia nempelin gue mulu. Gue gak maksud kecewain lo dengan gak nepatin janji gue. Maaf ya?”

Kini manik Junkyu memilih menatap langsung ke arah Haruto, mencoba meyakinkan hatinya untuk memaafkan lelaki di hadapannya ini. Yang sebenarnya bahkan sudah ia maafkan sedari tadi.

“Iya, dimaafin.” Hanya kalimat pendek itu saja membuat Haruto kini lebih lega, bahkan senyumnya semakin lebar saja. Segala risau dan kekhawatiran yang tadi memenuhi hatinya kini menguap tak bersisa.

“Oh iya, gue kan bilang gue ada cara baru, mau coba gak?”

“Apaan emang?”

Haruto yang kini dihadapkan dengan wajah penasaran Junkyu hanya balik menatap si manis dengan raut wajah yang tak terbaca.

“Heh! Ditanyain juga, apaan ca—”

Cup

Belum sempat menyelesaikan pertanyaannya, kini bibir tebal Haruto telah menempel apik pada bibir mungilnya. Hal itu pun membuat Junkyu refleks menutup mata.

“Hei, jangan ditutup dong matanya, katanya mau lihat kembang api.” Masih dengan posisi semula, Haruto membisikkan kata itu lembut, membujuk si manis agar membuka matanya.

Junkyu menurut, kemudian membuka matanya perlahan, maniknya menatap tepat pada manik tajam milik Haruto, lelaki yang kini telah mengambil ciuman pertamanya.

Masih dengan bibir yang saling menempel, Junkyu sempat melihat ke atas sana, benar saja, bahkan pertunjukan kembang api itu menjadi 10 kali lipat lebih cantik.

Hingga ia yang lebih dulu memutus ciuman itu, menundukkan kepalanya, namun kini memilih mengeratkan pelukan yang ia dapat sedari tadi dari Haruto. Membuat lelaki yang tengah mendekapnya itu terkekeh kecil.

“Kenapa, hm?”

“Malu...”

“Bibir lo manis.”

Pukulan kecil dari Junkyu telak mendarat di punggung lebarnya.

“Cantik gak kembang apinya?”

Junkyu menggangguk kecil dalam dekapannya, “Cantik banget..”

“Keren dong cara baru gue.” ucap Haruto yang sedang tersenyum bangga.

Junkyu hanya mengangguk kembali sebagai balasan, yang kini beralih menyamankan dirinya dalam pelukan Haruto yang diam-diam ia rindukan sejak awal sampai di tempat ini. Dengan satu tangannya yang mengelus lembut belakang kepala si manis, Haruto menundukkan kepalanya, memposisikan bibirnya di samping telinga si manis kemudian berucap pelan,

“Mau coba lagi gak, kyu?”

Morning, love


Pagi yang damai. Matahari yang telah sepenuhnya bersinar itu mengintip malu dibalik tirai tipis yang menghiasi jendela suatu kamar. Sinarnya terpantul masuk, mencoba mengusik ketenangan yang ada.

Ranjang cukup lebar itu berderit pelan. Seorang lelaki susah payah menarik selimut, mencoba menghalau sinar yang tepat mengenai wajahnya.

“Akhh aku masih mengantuk...”

Suara serak khas bangun tidur itu terdengar memenuhi ruangan yang hening. Namun bukannya kembali terlelap, ia mengarahkan tubuhnya kesamping kiri, tepat menghadap seorang laki-laki berparas tampan, yang kini masih mengarungi mimpi indahnya.

Jari lentiknya mulai menyentuh pahatan wajah tampan itu, menyusuri mulai ujung rambut, dahi, pelipis, pipinya yang sedikit tirus, hingga dagunya yang lumayan lancip.

Pelan sekali ia gerakkan jarinya, menikmati degupan jantungnya yang mulai lebih cepat, menciptakan euforia yang mampu membuat pipi chubbynya merona manis.

“Morning, love.”

Suara serak yang berasal dari laki-laki tampan yang ia sangka masih tidur itu, menghentikan pergerakan jarinya. Perlahan manik tajam milik si tampan terbuka, menangkap raut terkejut milik si manis.

“Kenapa, hm?”

Si manis menggeleng kecil, “Gapapa.”

“Masih marah?”

Si manis yang ditanyai tiba-tiba itu tak menjawab sama sekali. Ia memilih menatap balik manik tajam yang kini terfokus pada dirinya, seakan menjawab pertanyaan tadi lewat matanya.

Menyadari raut wajah Junkyu, nama si manis, yang nampak lebih bersahabat dibanding kemarin malam, membuat Haruto menarik senyum tipis. Jari-jari panjangnya terangkat, mengelus pelan pipi berisi milik kekasihnya. Junkyu yang mendapat perlakuan itu menutup matanya, menikmati afeksi lembut yang membuat ia nyaman.

“Jangan tidur lagi.”

“Nggak kok.”

“Kamu udah gak marah kan? Maaf ya, kemarin pulang telat, kamu jadi ngerayain ulang tahun ruby sendirian.”

Iya, jadi kemarin Junkyu merajuk karena Haruto yang sudah berjanji akan merayakan hari bertambahnya usia ruby bersamanya itu malah mengingkari janjinya. Sehingga kemarin saat Haruto pulang, ia mendapati wajah Junkyu yang ditekuk tebal, sangat tidak enak dipandang. Ah, dia kapok membuat Junkyu kesal seperti kemarin, tak akan ia ulangi lagi.

“Aku juga minta maaf, kamu pasti capek kemarin pulang kerja.”

“Jadi, aku dimaafin?”

“Iya sayang, tapi janji, lain kali harus berkabar dulu.” Junkyu memasang wajah garang, namun terlihat gemas di mata Haruto. Wajar, namanya juga bucin.

Haruto tak dapat lagi menahan rasa gemasnya, membuat ia memajukan wajahnya, menggigit gemas pucuk hidung mungil milik Junkyu. Dan itu membuatnya mendapat hadiah cubitan kecil di pinggang, dari siapa lagi kalau bukan si manis.

Nampaknya kini suasana hati kekasihnya itu sangat baik, terlihat dari ia yang menarik tubuh besarnya mendekat, kemudian membenamkan wajahnya di ceruk leher Haruto yang nyaman. Sesekali mengusakkan wajahnya, membuat ujung-ujung surai halusnya menggelitik leher si tampan.

Bukannya menghentikan kegiatan si manis, Haruto malah tersenyum semakin lebar, ah, kekasihnya itu sedang dalam mode manja, pikirnya.

“Hari ini aku gak kerja, mau cuddle seharian sama kamu.”

Mendengarnya membuat Junkyu terlonjak girang, mengangkat wajahnya dari posisi semula untuk mengecek kesungguhan perkataan itu pada wajah Haruto.

“Beneran??”

“Iya, mau manjain pacarku yang manis ini.”

“Kalo gitu cium.”

Junkyunya memang selalu sulit ditebak.

“Gamau ya?”

Melihat Junkyu yang memunculkan tanda-tanda akan merajuk lagi membuat Haruto cekatan membawa sebelah tangannya untuk menangkup wajah kecil Junkyu, memberi kecupan-kecupan kilat pada bibir tipis itu. Sebelah tangannya lagi bergerak mengelus lembut pinggang ramping si manis, berusaha memberi afeksi sebanyak yang ia bisa.

Hingga bibir yang awalnya mengerucut kesal itu kini tergantikan senyum manis, bahkan lesung pipinya timbul tenggelam tertutupi telapak tangan si tampan yang masih mengelus lembut pipinya.

Begitupun saat diakhiri dengan kecupan yang lebih lama, yang selalu mampu menghangatkan hati keduanya yang sedang dimabuk asmara.

Dan begitulah, pagi mereka yang damai.

Palette


tw // mention of death , blood , toxic relationship

.

Keheningan di salah satu lorong rumah sakit itu terasa begitu nenyesakkan. Seorang lelaki manis yang baru saja sadar beberapa jam yang lalu, masih lengkap dengan perban yang melingkari kepalanya, duduk seorang diri di atas sebuah kursi roda tak jauh dari taman milik rumah sakit.

Baru saja ia dihadapkan dengan sebuah fakta, yang bahkan tak pernah ia pikirkan akan ia alami dalam hidupnya. Kehilangan seseorang yang ia sayangi terlebih tepat di depan mata, benar-benar menjadi bayangan buruk yang terus menghantuinya.

Semua ini berawal dari pertengkaran antara keduanya, yang sesungguhnya sudah biasa terjadi, namun entah mengapa hari itu emosi keduanya tak bisa diredamkan. Tak ada sama sekali yang mau menurunkan egonya.

Mobil yang dikendarai lelaki yang merupakan kekasihnya itu melaju cepat, begitu pula perselisihan keduanya belum juga mereda, bahkan semakin memuncak.

“Udah aku bilang aku gak selingkuh, ben. Kamu ngerti gak sih?”

“Gak selingkuh tapi kamu mau aja dipeluk dia, itu aja udah ke gap aku, coba kalo gak ketauan? Kamu mau aja dicium sama orang itu kan?”

”...”

“Kamu diem karena gabisa jawab kan? Aku bener, iya? Gimana aku bisa percaya sama kamu kalo kayak gini hah??”

“Kamu itu terlalu posesif, kamu batesin aku ini itu, aku gak suka ben, bahkan mama papaku gapernah kayak gini!”

“Oh sekarang kamu bandingin aku sama ortumu? Siapa yang selama ini selalu jagain kamu? Itu aku kyu, ortu kamu itu gak peduli sama anaknya, dan saat itu ada aku, aku yang terus ada di samping kamu, dan gini balasan kamu? Aku cuma minta kamu setia sama aku, ngerti nggak?”

“Berhenti! Berhentiin mobilnya, turunin aku disini!”

“Nggak!”

“Ben, kamu mau mati?!”

“Biarin, kenapa gak kita berdua aja yang mati kalo gitu?”

“Ben please, sadar!”

”...”

“B-ben a-aku takut..”

”...”

Brakk

Sejenak pandangannya menggelap, mobil yang mereka kendarai terguling akibat menghantam mobil lain yang saat itu juga melaju kencang dari arah berlawanan.

Tangannya mencoba menyeka darah yang mengalir di pelipisnya, kepalanya pusing, pun penglihatannya tampak semakin kabur. Ia mencoba melihat keadaan lelaki di sampingnya, tak jauh berbeda, wajah tampan kekasih yang ia selalu puja itu pun kini tertutupi darah hampir seluruhnya akibat benturan yang sangat keras.

Tepat sebelum ia kehilangan kesadarannya, samar-sama ia mendengar kekasihnya berucap lirih,

I love you, kyu.”

***

Lagi-lagi ia menarik nafas berat, mengingat semua itu membuat kepalanya berdenyut nyeri. Belum lagi kaki dan tangannya yang juga terbalut perban akibat luka yang lumayan parah. Hari ini betul-betul hari yang berat baginya.

Jika ditanya, apakah ia membenci kekasihnya, maka jawaban Junkyu saat itu adalah tidak. Besar cintanya bahkan masih bisa mengalahkan seluruh sakit dan luka yang selalu Ben buat padanya. Terlebih dengan keadaan sekarang, Junkyu semakin menyalahkan diri sendiri. Dalam kepalanya terus berputar skenario lain, bagaimana jika ia memilih mengalah, lagi, apakah ia dan kekasihnya itu akan baik-baik saja? Apakah ia masih bisa memperbaiki semuanya?

Tanpa sadar pipinya mulai basah, ia terisak seorang diri. Tak hanya fakta bahwa kekasihnya itu telah meninggalkannya saja yang harus ia tanggung, kini ia kembali teringat perkataan dokter yang menanganinya tadi.

Benturan, gangguan penglihatan, permanen, tak bisa sembuh seperti semula.

Kata-kata itu semakin memenuhi kepalanya, menambah sesak, seakaan mimpi buruk yang tak berkesudahan. Dalam malam yang sunyi itu, isakannya semakin pilu, hingga mungkin yang mendengarnya pun dapat ikut merasakan.

Hingga samar ia mendengar langkah seorang mendekat ke arahnya, pun diikuti dengan tepukan pelan pada bahunya yang ringkih, dapat ia lihat sahabatnya, Jihoon, yang dengan raut wajah khawatir dan nafas terengah akibat berlari itu berada tepat di hadapannya.

“Kyu..”

Dan semuanya kembali gelap.

Palette


Cafe tempat mereka akan bertemu sore itu tidak terlalu ramai. Tempat ini memang biasa dikunjungi oleh anak-anak kampusnya, terlebih ketika malam selesai mereka berkegiatan atau untuk mengerjakan tugas bersama.

Ini kali pertama Junkyu pergi seorang diri, karena jujur saja semenjak beberapa tahun lalu, Jihoon selalu menemaninya kemanapun untuk memastikannya tetap aman. Kali ini ia memberanikan diri, terlebih ia berjanji hanya bertemu berdua dengan Haruto, orang yang selama empat tahun ini menjadi tujuannya.

Beberapa kali pintu cafe itu terbuka, namun batang hidung Haruto masih belum tampak. Hingga sepuluh menit lamanya dari terakhir ia mengirimkan pesan pada lelaki itu, tampak seorang lelaki tampan berjalan dengan pasti menuju meja tempatnya duduk.

Junkyu sempat berpikir, bagaimana bisa Haruto begitu cepat mengenalinya, bahkan setelah mereka yang tidak pernah bertemu beberapa tahun itu. Ia merutuki diri sendiri, yang kini pandangannya begitu fokus menunggu lelaki itu untuk duduk di hadapannya.

“Ah sorry kyu, tadi sempet macet jadi gue agak lama nyampe sini.”

Junkyu menggeleng kecil, “Gaapa kok, harusnya gue lagi yang minta maaf, kan gue yang tiba-tiba minta buat majuin jam buat ketemunya.”

“Oh ya, lo belum mesen apa-apa?”

“Tadinya mau nunggu lo biar sekalian.”

Haruto segera mengambil duduk di hadapan Junkyu dan melambaikan tangan menginstruksikan agar seorang pelayan menghampiri meja mereka.

“Lo mau mesen apa, kyu?”

“Gue strawberry smoothie deh.”

“Mbak, strawberry smoothienya satu, mango smoothienya satu ya. Itu aja kan kyu?”

Begitu Junkyu mengangguk sebagai jawaban, pelayan itu pun pergi meninggalkan dua orang laki-laki yang kini tampak sedikit canggung untuk memulai percakapan.

Beberapa kali Junkyu mencuri pandang pada lelaki tampan di hadapannya. Masih sama saat pertama kali ia melihat Haruto di kantin Fakultas Ilkom, ia mampu melihat beberapa warna yang ada di sekitar Haruto. Warna kusen jendela, warna terang lampu di tengah cafe, bunga-bunga palsu yang menjadi hiasan di bagian pojok, hingga warna pakaian seorang wanita yang lewat di belakang lelaki itu.

Namun sayangnya, begitu ia mengalihkan pandangan karena Haruto yang kini menyadari tatapannya sedari tadi, maniknya hanya mampu menangkap warna yang sama seperti biasa, hanya hitam dan putih. Tanpa sadar ia menghela nafasnya pelan.

“Kenapa?” tanya Haruto yang berusaha untuk mencairkan suasana diantara keduanya.

“Gak apa kok, cuma kepikiran tugas aja.”

“Maaf ya gue tiba-tiba ngajak lo ketemuan gini, abisnya gue kangen, udah lama banget gak ketemu lo. Dan omong-omong, lo makin manis, tau?”

Sedikit banyak ucapan Haruto tadi membuat pipinya bersemu kemerahan. Ah, kini ia jadi semakin malu untuk hanya sekadar menatap mata Haruto.

“Lo beneran baik kan, kyu? Sorry kalau semenjak empat tahun lalu itu gue gak pernah hubungin lo lagi, kayaknya lo block nomor gue deh.”

Sorry, tapi gue beneran baik kok. Beruntung ada temen gue yang selalu nemenin gue.”

“Baguslah, gue udah mikir buat banyak minta maaf ke lo karena kelakuan abang gue dulu. Tapi kayaknya maaf aja gak cukup, lo yang jadi korban disini dan gue tau kelakuan abang gue gabisa secepet itu buat dimaafin.”

“Ruto..”

“Ya?”

“Gue—”

Belum sempat menyelesaikan perkataannya, seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. Kini, meja yang awalnya kosong itu telah berisikan dua buah gelas dengan isi yang sama penuh.

Tangan Junkyu terulur untuk mengambil minuman pesanannya, namun saat tangannya akan menarik gelas itu, Haruto lebih dulu menyela,

“Kyu, itu smoothie pesenan gue, yang ini strawberry smootie pesenan lo.” Meski tampak bingung, tangan Haruto bergerak menukarkan minuman pesanan mereka.

Junkyu merutuki kebodohannya, ia dapat menangkap raut kebingungan pada wajah lelaki di hadapannya. Menghilangkan kegugupannya, ia meminum smootienya terlebih dahulu.

“Ada yang mau lo ceritain ke gue?”

Merasa keberaniannya telah sedikit terkumpul, Junkyu memilih untuk memulai bercerita,

“Gue cuma bisa liat warna hitam sama putih, gue gak bisa bedain warna selain warna itu..”

Melihat Haruto yang nampak meminta kejelasan mengenai ceritanya, ia melanjutkan, “..dan ini semenjak kejadian empat tahun lalu.”

Raut wajah Haruto nampak mengeras, sedikit terkejut, setelahnya tak dapat terbaca. Junkyu sudah menyiapkan diri jika Haruto akan mengatakan bahwa ia aneh dan pergi meninggalkannya setelah ini, namun sepertinya ia salah sangka.

“Kalau boleh tau, kenapa lo nyariin gue lewat base beberapa hari lalu? I mean, lo foto gue kan, dan nanya gue anak fakultas apa.”

“Soal itu..” Junkyu menelan ludah susah payah, keberanian yang ia kumpulkan sejak tadi nampak menguap sedikit demi sedikit. “..gue bisa lihat warna lain waktu ada lo. Gue tau warna baju lo sekarang biru, gue juga bisa liat warna benda lain yang ada di belakang lo—”

“Terus smoothie ini?”

“Itu karena gue udah mengalihkan pandangan lumayan lama dari lo, jadi warna yang gue liat balik hitam putih lagi. Gue juga bingung gimana kerja semua ini, gue cuma pernah denger dari seseorang tiga tahun lalu kalau gue bakal ketemu orang yang bisa bantu gue buat kembali seperti semula.”

“Dan orang itu gue?”

“Awalnya gue ragu, tapi setelah gue buktiin lagi tadi, kayaknya emang lo. J-jangan salah paham dulu, gue bukan mau modus sama lo atau gimana biar lo mau nemenin gue kemana-mana, tapi ini emang beneran gue gak bohong, serius.”

Melihat lelaki manis di hadapannya yang menjelaskan dengan tergesa-gesa dan raut wajah panik membuat Haruto terkekeh kecil. Bahkan Junkyu masih sama menggemaskannya seperti dulu.

“Iya iya gue ngerti, jadi mulai sekarang gue bakal bantu lo buat balik seperti semula.”

“Lo mau?”

“Gaada alasan buat gue nolak lo, kyu. Ini juga sebagai permintaan maaf gue atas apa yang abang gue lakuin, lo juga tau kan dia gak bakal bisa lagi buat nebus kesalahannya sendiri.”

Thanks ruto, maaf gue harus ngerepotin lo karena keadaan gue ini.”

Haruto mengulurkan tangannya, menggenggam tangan kecil junkyu yang saling bertautan di atas meja itu, “Gue harap gue bisa bener-bener bantu lo, kyu. Semoga lo cepet sembuh.”

Keduanya kini saling melemparkan senyuman, dengan tangan Haruto yang masih nyaman mengelus punggung tangannya. Kecanggungan di antara mereka telah lenyap tergantikan perasaan nyaman, layaknya teman lama yang kembali bertemu saat reuni.

Dalam hati Junkyu mengucap harap, semoga keputusannya ini tak akan membawa hal buruk. Kini ia hanya ingin fokus pada tujuannya, mengembalikan penglihatannya seperti sedia kala. Dan semoga Haruto memang orang yang tepat untuk itu.

Semoga kita berhasil, Haruto. Dan dengan begitu, gue bisa tulus maafin kakak lo.

About Daisy


Lonceng yang menghiasi bagian depan pintu itu berbunyi dua kali. Seorang lelaki manis masuk dengan berjalan pelan, memperhatikan keadaan dalam toko yang saat itu terdapat dua orang pelanggan.

Perhatiannya tertuju pada seorang lelaki tampan yang sedang merangkai buket lily dengan terampil, dalam hati ia menyimpan kagum pada kegigihan dan kesungguhan yang terpancar saat lelaki itu melakukan sesuatu.

Begitu menyelesaikan urusannya, lelaki tampan tadi pun mengedarkan pandangan, hingga maniknya menangkap eksistensi lelaki manis yang beberapa hari belakangan ini memenuhi pikirannya. Segera ia hampiri, dan mengajak lelaki manis itu menuju tempat duduk depan toko yang teduh oleh pepohonan.

Ia pun memilih untuk membuka percakapan, “Kak Junkyu udah lama disini?”

“Enggak kok, paling 10 menit yang lalu.”

Mendengarnya membuat Haruto merasa bersalah, “Ah maaf kak, aku gak sadar.”

Junkyu menggeleng dan memasang senyum manisnya, “Gaapa, aku juga tadi kebetulan mau jemput Lena, eh taunya dia duluan balik sama pamannya. Karena udah disini, jadi sekalian aja mampir, gaapa kan?”

“Gaapa dong kak, aku juga seneng bisa ketemu kakak lagi.”

Setelahnya mereka memilih memandangi taman bagian depan toko bunga, memperhatikan beberapa kupu-kupu yang tampak sibuk dengan tugasnya, pun diiringi suara kendaraan yang saling berebut untuk lebih dulu mencapai rumah masing-masing.

Dalam keheningan yang tercipta itu, Junkyu tiba-tiba bersuara, “Ruto, aku boleh cerita?”

“Boleh. Cerita apa kak?”

“Tentang aku, Lena, dan ayahnya Lena.”

Haruto tak menjawab, melainkan langsung memposisikan dirinya menghadap samping agar dapat melihat raut Junkyu lebih jelas, lalu mengangguk mempersilahkan Junkyu memulai ceritanya.

Entah apa yang mendorong dirinya kali ini, Junkyu dapat membuka kenangan bahkan luka yang selama ini ia pendam pada Haruto, orang yang notabene masih baru sekali dalam hidupnya. Seperti ada hal yang menarik dirinya, membuat ia dapat seterbuka itu pada pria di hadapannya ini.

Selama itu Haruto tak menyela, ia mendengarkan dengan baik apa yang Junkyu ceritakan. Sesekali memperhatikan raut wajah Junkyu yang tersenyum, mengerut kesal, hingga menyendu begitu menjatuhkan air matanya.

Sesuai naluri ia mengulurkan tangan, menggenggam tangan kecil Junkyu yang entah mengapa tampak pas dalam balutan tangannya. Sesekali mengusap punggung tangan yang tampak rapuh itu, berharap mampu meringankan sedikit beban yang lelaki manis itu rasakan.

Cairan bening masih menghiasi manik cantik milik Junkyu, bahkan saat cerita panjang yang ia sampaikan itu telah usai. Dengan satu tangannya yang bebas, Haruto membantu mengusap pipi basah si manis, dan beruntung perlakuannya itu diterima dengan baik. Bahkan mungkin, jauh dalam lubuk hatinya, Junkyu menyukai semua afeksi yang Haruto berikan sejak tadi.

“Ruto..”

“Ya?”

“Boleh peluk?”

Lagi-lagi Haruto tak menjawab, melainkan langsung merentangkan tangannya, yang disambut suka oleh si manis. Pelukan yang Haruto berikan seperti menenggelamkannya, menarik semua luka yang selama ini ia simpan rapat-rapat, dan memberi sepercik kebahagiaan yang semakin lama mungkin mampu memenuhi hatinya.

Dalam pelukan itu, Haruto mengusap punggung si manis pelan, memperlakukan dengan lembut bak menjaga kaca yang mudah rapuh, sembari memberi kata-kata penenang yang mungkin bisa membantu mengikis sedikit demi sedikit beban yang lelaki dalam pelukannya itu pikul.

Hampir lima belas menit dalam posisi yang sama, hingga akhirnya Junkyu lebih dulu menyadari bahwa langit di sekitarnya kini mulai menggelap, membawa kesadarannya kembali bahwa ia harus segera pulang. Ia yang terlebih dahulu menguraikan pelukan, menatap tepat wajah Haruto yang kini memberikannya senyuman tampan,

“Makasih Ruto, makasih udah luangin waktu buat dengerin ceritaku. Kayaknya aku harus pulang sekarang, takut Lena kelamaan sendiri di rumah.”

Lelaki yang diajaknya berbicara itu lantas mengangguk, “Aku juga seneng kok bisa nemenin kakak, lain kali kalau butuh teman cerita bisa datang ke aku oke, free kok.”

Mendengarnya membuat Junkyu terkekeh kecil. “Kamu baik, pantes aja Lena suka cariin.”

“Kalau kakak, suka juga gak?”

“Eh?”

Merasakan pertanyaan yang ia utarakan itu ambigu, membuat Haruto buru-buru menambahkan dengan gugup, “E-eh sebentar ya kak, aku ada hadiah sebelum kakak pulang, tunggu dulu.”

Segera ia masuk ke dalam toko kembali, sembari meredakan detak jantungnya yang sedari tadi berdetak dengan kecepatan yang tak biasa. Tangannya dengan terampil dan cekatan merangkai bunga dan menghasilkan buket yang cantik. Setelahnya, ia menghampiri si manis yang kini telah berdiri di samping mobilnya.

“Ini kak, diterima ya.”

“Daisy? Waktu itu Lena juga bawa buket katanya dari kamu”

“Iya, ini sama kok bunganya kayak waktu itu.”

“Makasih, aku ngerepotin banget kesini terus tiba-tiba dapet bunga juga..”

“Gak kak, ini emang aku kasih khusus buat kakak. Dan lagi, kakak gak ngerepotin.”

Junkyu tersenyum manis mendengarnya, mungkin jika Jihoon ada disini ia akan kaget melihat betapa mudahnya lelaki itu tersenyum setelah sekian lama.

Ah, sepertinya Junkyu baru teringat sesuatu yang memenuhi pikirannya sejak sebuah buket daisy sampai di tangannya beberapa hari lalu, maka sebelum benar-benar berpamitan pulang, ia memilih mengutarakan pertanyaannya,

“Kalau boleh tau, kenapa daisy?”

Tak ia sangka pertanyaan ini datang lebih cepat dari perkiraan. Meski sempat ragu untuk mengungkapkannya, ia pikir mungkin kali ini tak ada salahnya berkata jujur pada lelaki manis itu,

“Daisy itu punya makna cinta yang setia dan murni—

—dan iya, bunga ini ngewakilin perasaanku ke kakak.”

Menyadari yang Sebenarnya

.

.

.

cw // kiss


Pagi itu, Haruto menghabiskan waktunya dengan tidur-tiduran di sofa ruang tengah, menikmati waktunya tanpa teriakan-teriakan bundanya yang menyuruhnya mandi atau memaksanya untuk makan.

Sebenarnya tidak pagi juga, karena jarum jam sudah menunjuk pukul setengah 11, sebentar lagi sudah tengah hari. Rumahnya terlihat lengang, hanya dipenuhi suara kartun shinchan dengan volume cukup kencang.

Kembali pada Haruto yang kini sedang fokus pada televisi di hadapannya, sampai-sampai ia tak mendengar ketukan pintu dan langkah seseorang yang kini sedang berjalan menuju tempatnya berisitirahat.

“KAKAK GANTENGGGG!!”

Pekikan nyaring itu keluar dari mulut kecil tetangganya, atau yang ia beri sebutan si bocil warnet. Ah ngomong-ngomong soal tetangganya ini, sudah beberapa hari ia mengabaikan pesan dan juga menghindarinya di sekolah.

Bukan tanpa alasan memang, ia hanya takut didekati tetangganya itu, yang masih termasuk hitungan orang asing. Apalagi, kesan pertama yang ia dapatkan dari laki-laki lucu di hadapannya ini adalah tontonannya yang di luar ekspetasi Haruto.

“Ish dipanggil nggak nyaut malah bengong, kesambet baru tau rasa wuuu!”

Nah kan, tingkahnya ini benar-benar tak mencerminkan anak kelas 2 SMA, lebih cocok jadi anak SD saja kata Haruto.

Karena diabaikan, Junkyu langsung mendudukkan dirinya di karpet bulu di depan sofa yang dipakai Haruto rebahan itu. Melihat tontonan kesukaannya terputar di hadapannya, ia pun mengambil posisi bersila, seraya menyamankan diri menyandar pada sofa membelakangi kaki Haruto.

Keduanya terlarut dalam tontonan kartun lucu itu, sampai Haruto yang bertanya terlebih dahulu,

“Lo ngapain kesini deh cil? Rumah lo gaada tipi ya?”

Tanpa menoleh Junkyu menjawab pertanyaan sinis itu, “Enak aja, aku kesini tuh disuruh sama bundanya kakak ganteng tau, katanya disuruh makan bukan males-malesan.”

Haruto memutar bola matanya jengah, bahkan walaupun bundanya tak disini, beliau malah menyuruh anak sma jadi-jadian seperti Junkyu untuk menengoknya.

“Males, gak mood makan.”

“Mau kyu masakin gak?”

“Gak, makasih. Jangan kira gue gak tau kalo lo gak bisa masak ya, mama lo sering ngerumpi sama bunda gue.”

“HAHH? ISH MAMA CEPU BANGET GAK LIKE!!”

Junkyu memasang wajah cemberut, bibirnya dimajukan beberapa senti, yang jatuhnya malah terlihat menggemaskan di mata Haruto. Aishh, apa yang ia pikirkan sekarang, padahal niatnya untuk tidak goyah sudah bulat, sekarang malah dihadapkan dengan Junkyu yang merajuk saja ia sudah lemah.

Tapi niat itu nampaknya memang hanya tinggal niat saja. Tontonan mereka masih terputar di televisi besar ruang tengah, namun fokus Haruto sedari tadi sudah berpindah pada sisi samping wajah Junkyu yang terlihat dari tempatnya merebahkan diri.

Mata yang berkedip lucu, hidung kecil yang mancung, pipinya chubbynya yang tampak kemerahan alami, dan jangan lupakan bibir tipisnya yang mengomentari berbagai hal sedari tadi.

Hingga tanpa sadar, kini Haruto sudah mendudukkan dirinya, membawa kedua kakinya turun dari sofa dan sedikit menempel dengan lengan kanan atas Junkyu. Karena pergerakan itu, lelaki manis yang tadinya fokus menonton kini melirik sedikit ke arah Haruto yang sedang menatapnya penuh arti.

Ditatap sedekat ini, tak ada dalam prediksi Junkyu, membuat lelaki manis itu tampak salah tingkah.

“Ngapain liatin aku sih kak? Tuh shinchannya di depan.”

“Cil...”

Masih tanpa menolehkan wajahnya, Junkyu menjawab, “Apaan sih?”

“Liat sini dulu..”

“Males.”

“Cil..”

Junkyu yang jengah dipanggil itu pun akhirnya mengalah dan membawa wajahnya menoleh ke kanan. Tak disangka, yang ia dapatkan adalah kecupan ringan tepat di bibirnya.

Bibir itu masih menempel, memperhatikan lamat-lamat Junkyu yang berkedip kaget, demi puja kerang ajaibnya spongebob, Haruto bersumpah wajah Junkyu saat ini benar-benar menggemaskan, dan juga cantik.

Membuat ia kembali mengecup bibir manis itu, menempelkannya lebih lama, merasakan rasa manis yang mungkin akan menjadi candunya mulai saat ini. Setelahnya, ia menjauhkan bibirnya, memilih untuk mencium pipi gembil Junkyu beberapa kali.

Haruto tersenyum lebar melihat pipi Junkyu yang kini semakin memerah, sangat lucu. Ia tak bisa menahan diri untuk tak mengelus pipi lembut itu dengan ibu jarinya, membuat Junkyu semakin salah tingkah.

“K-kak..udahh..aku malu..”

Astaga, kemana saja ia selama ini sampai baru menyadari bahwa tetangganya alias si bocil yang ia temui di warnet tempo hari lalu ini sangatlah manis?

“Gimana? Suka?”

“Apanya?”

“Dicium, suka gak?”

“Suka..manis. Pantesan di drama yang aku tonton mereka suka cium-cium.”

Haruto yang awalnya sudah menjauh, kini memajukan kembali tubuhnya, menatap Junkyu jahil, “Mau lagi?”

“KAKAK IH MESUM!!”

Yah, akhirnya akibat kejahilannya itu, Haruto harus mendapatkan pukulan bantal sofa telak di wajahnya, dan beberapa cubitan gemas dari siapa lagi kalau bukan Junkyu, bocil warnet yang belakangan ini ia hindari.

Ia kini menyadari, ia bukan takut didekati Junkyu, ia hanyalah menyangkal perasaan tertariknya yang sudah timbul sejak awal ia membantu lelaki manis itu di warnet milik omnya.

First Fall

.

.

.

.

Selepas bel pulang sekolah berbunyi, Haruto segera menuju kelas Junkyu dan menuntunnya ke parkir motor untuk pulang bersama.

“Akhirnya aku bisa pulang sekolah sama kamu, cil.”

Haruto berseru senang, karena niatnya pulang bersama Junkyu akhirnya kesampaian.

“Kenapa sih kok kayaknya seneng banget?”

“Tau gak, waktu kamu balik pake bus waktu itu, maunya aku ajak kamu pulang bareng, tapi malah berakhir aku ikutan naik bus sama kamu terus ketiduran, sedih lah pokoknya..”

“Pantesan waktu itu kayak ada yang melototin aku dari kursi belakang, kirain om-om mesum.”

Haruto yang mendengar itu menampilkan senyum masam. Sudahlah, lagipula ia malas mengenang kesialannya beberapa hari itu.

Haruto segera menyerahkan helm untuk Junkyu, namun belum sampai di tangan si manis, ia langsung mengarahkan tangannya untuk memasangkan helm itu pada kepala mungil Junkyu.

Menyadari jarak wajahnya dengan wajah Haruto yang terlalu dekat, membuat pipi Junkyu memerah bak tomat yang terlalu matang. Hal itu pun tak luput dari pandangan Haruto, dan melihatnya membuat ia tersenyum lebar menggoda si manis,

“Nafas dong cil, belum juga aku cium.”

Alhasil satu pukulan mendarat di lengan atas Haruto, siapa lagi pelakunya kalau bukan si manis yang sedang malu-malu itu.

Kini keduanya telah menaiki motor Haruto, jari-jari lentik milik Junkyu pun telah terkait erat di depan perut si tampan. Terjadi begitu saja, seperti sudah seharusnya. Senyum lebar tak pernah lepas dari bibir Haruto, begitu pula Junkyu yang juga menikmati situasi ini.

Perlahan kendaraan yang membawa keduanya melenggang ke tengah jalan, membelah hiruk pikuk siang kala itu. Lajunya tak begitu cepat ataupun pelan, biasa saja. Memberi keduanya waktu untuk menikmati kebersamaan yang mungkin akan menjadi awal bagi keduanya.

Begitu lumayan jauh dari sekolah, Junkyu memajukan tubuhnya, menaruh dagunya di atas bahu lebar Haruto,

“Kamu mau anter aku kemana?”

Agar suaranya tak teredam, Haruto membuka kaca helmnya sedikit, membawa pandangannya menuju kaca spion kiri untuk dapat berkomunikasi dengan si manis,

“Keliling-keliling aja, nanti aku ajak makan di tempat yang baru aku temuin lusa deh. Ada cake kesukaan kamu disana.”

Junkyu hanya mengangguk sebagai jawaban, namun tak merubah posisinya ke semula. Ia malah mengeratkan pelukan pada tubuh Haruto sembari menghirup aroma khas lelaki itu yang menguar dari jaketnya, membuat lelaki yang ia peluk itu hampir saja oleng membawa motornya.

Tepat saat lampu lalu lintas menyala merah, motor yang membawa keduanya berhenti paling depan. Siang itu cukup terik, dan beruntung keduanya mengenakan jaket. Sesekali, Haruto mengelus lutut si manis dengan tangan kirinya.

“Panes ya?”

“Sedikit, tapi gak apa.”

“Harusnya tadi aku bawa mobil buat anter kamu, cil.”

“Kalo pake mobil gabisa peluk kamu kayak gini, tau.”

Haruto terkekeh kecil mendengar jawaban itu.

“Kamu manis banget dah cil, pacar siapa sih?”

“Gatau, gak punya pacar.”

Bilangnya saja begitu, tapi jari-jarinya bergerak abstrak diatas perut Haruto yang terlapisi jaket, membuat lelaki itu menggeliat kegelian.

I love you, cil.”

“Apa? Gak denger.”

“I. Love. You. Kecil.”

“Ngomong apasih, kumur-kumur ya?”

Merasa gemas dengan jawaban Junkyu, membuat Haruto membuka lebar kaca helmnya, bersiap untuk berteriak,

“I LOVE YOU KIM JUNKYU!!”

Ah, nampaknya Haruto melupakan mereka yang kini berada di tengah jalan, terhenti oleh lampu lalu lintas. Junkyu yang awalnya terkaget oleh tingkah laku Haruto, begitu mendapat kesadarannya ia pun memukul bahu lelaki di depannya itu beberapa kali.

“Ish rutoo malu tauu!!”

Mengabaikan tatapan pengendara lain yang kini tertuju pada mereka berdua, lelaki yang sedang dipukuli itu sesekali mengaduh, diikuti dengan tawa renyah yang keluar dari dua bilah bibirnya.

“Ahahaha siapa yang tadi bilang gak denger?”

Junkyu tak menjawab dan memilih menyembunyikan wajahnya di balik punggung lebar Haruto, yang dibalas usapan lembut menenangkan dari ibu jari lelaki itu pada punggung tangannya yang masih betah terkait berada di posisi semula.

Sebelum lampu lalu lintas itu benar-benar berubah menjadi hijau, Haruto menyempatkan bertanya pada seorang pengendara yang berada tepat di sebelah kanannya,

“Mas, pacar saya cantik kan?”

“HARUTOOO!!”

.

.

—fin.