nelpages

First Fall

.

.

.

.

“Coba sini deketan deh, kyu.”

Suara Jeongwoo terdengar jelas di taman belakang sekolah siang itu. Tentu saja, taman belakang bukanlah salah satu tempat yang menjadi tujuan saat istirahat tiba, maka dari itu kini disana cukup sepi.

Sesuai arahan Jeongwoo, Junkyu pun memilih mendekat. Jarak mereka saat ini mungkin cukup ambigu jika dilihat dari kejauhan, dan tentu dapat menyebabkan kesalahpahaman. Seperti yang terjadi kali ini.

Dari kejauhan, seorang laki-laki berjalan tergesa menuju ke arah dua orang yang saat itu menempati kursi taman. Dengan wajah yang memerah akibat menahan emosi, segera laki-laki itu ulurkan tangan kanannya lalu menarik kerah belakang Jeongwoo.

Bukk

Satu pukulan mendarat di pipi kanan Jeongwoo, menyebabkan ia yang saat itu tak siap menjadi oleng dan terjatuh ke sebelah kursi.

Junkyu yang masih kaget karena hal yang ada dihadapannya itu segera tersadar, begitu melihat laki-laki yang tadi memukul Jeongwoo hendak melayangkan pukulannya kembali.

“Haruto, stopp!!”

Laki-laki itu, Haruto, mengacuhkan larangan dari Junkyu tadi dan kembali memukul pipi kiri Jeongwoo hingga sudut bibirnya mengeluarkan sedikit darah.

“Gue udah diem aja ya selama ini, tapi sekarang bisa-bisanya lo mau cium Junkyu? Lo beneran nusuk gue dari belakang wo??”

Jeongwoo yang terkena pukulan tiba-tiba sebanyak dua kali itu masih tak mampu menjawab pertanyaan Haruto. Haruto yang sedang dikuasai amarah itu pun kembali mengangkat kepalan tangannya, namun terhenti begitu Junkyu memeluk tubuhnya dari depan.

Please ruto, lo jangan gini, lo jangan emosi. Gue takut...”

Merasakan badan Junkyu yang mendekapnya itu bergetar, membuat kesadaran Haruto dalam sekejap kembali. Amarahnya seketika meluap tergantikan kepanikan karena mendengar isakan kecil Junkyu.

Ia pun membalas pelukan itu, “Hei, cil jangan nangis dong, maafin gue ya? Gue gak sengaja, gue tadi emosi, gue—”

Cup

Perkataanya terhenti karena Junkyu yang mengecup pipinya tiba-tiba.

“Iya iya, jangan marah lagi. Jangan pukul-pukul orang lagi. Gue gak suka”

Haruto tak menjawab namun memilih mengeratkan pelukannya pada Junkyu. Dagunya ia bawa menumpu di puncak kepala Junkyu, beberapa kali mengusaknya lembut hingga aroma shampoo Junkyu yang manis menguar memenuhi indra penciumnya.

Adegan berpelukan keduanya terus berlanjut, sampai mereka melupakan sesosok laki-laki yang telah terdampar di rumput taman sejak tadi.

“Udah pacaran cuma gara-gara dare Jungwon, kena bogem dua kali, sekarang gue malah nontonin orang uwu-uwu pula, sedih pangeran..”

First Meet


Dengan alasan bahwa ia sudah merasa lapar, Lena akhirnya membawa papanya pergi ke cafe tempat ia sering menghabiskan waktu untuk membuat tugas atau sekadar memperhatikan kakak gantengnya.

Siang itu, begitu mereka sampai, keadaan cafe cukup lengang. Lena mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang ingin ia kenalkan pada papanya, namun sampai kini batang hidungnya tak nampak sama sekali. Ia pun menghela nafas berat.

“Kenapa, dear?”

“Ah gak apa-apa pa, yuk pesan dulu.”

Setelah memesan beberapa makanan berat untuk menghilangkan lapar keduanya, Lena mengajak papanya menuju tempat duduk di dekat jendela.

“Kamu sudah sering kemari ya?”

Lena mengangguk semangat, “Iya pa, ini cafe punya bundanya temen aku yang aku ceritain waktu itu. Tempatnya juga tenang, aku suka. Menurut papa gimana?”

“Bagus, anak cantik papa emang pinter pilih tempat.”

Lena tersenyum lebar begitu mendapat pujian dari papanya. Sejenak, rasa sedihnya tak bertemu sosok yang ia cari itu terhapus karena quality time yang akhirnya ia dapatkan bersama papanya itu.

Bel pada pintu cafe berbunyi gemerincing, membuat Lena yang saat itu fokus mendengar cerita papanya teralihkan pandangannya. Muncul sosok yang ia cari sejak tadi, dan kini berjalan menuju bagian depan untuk membawa pesanan pada pelanggan.

Beruntungnya, pesanan yang ia bawa itu adalah pesanan Lena dan papanya.

Senyum Lena semakin lebar melihat kakak gantengnya itu sampai di meja milik ia dan papanya. Laki-laki yang sedari tadi merasa diperhatikan itu sempat kaget dan berucap kecil,

“Loh ketemu lagi?”

“Hai kakak ganteng, aku yang waktu ini minta nomor telpon kakak di toko bunga di sebelah, hehe.”

Junkyu yang melihat anaknya bercengkrama dengan orang asing, mengerutkan dahi bingung.

“Ini siapa, dear?”

“Oh iya pa, ini kakak ganteng yang waktu itu kasih bucket daisy buat papa. Nah kak, kenalin ini papaku yang waktu itu mau aku kenalin ke kakak.”

Keduanya refleks mengulurkan tangan guna berkenalan dengan resmi.

“Kim Junkyu.”

“Watanabe Haruto.”

Beneran cantik ternyata papanya, batin Haruto.

“Kak, gabung sama kita dulu dong, sambil ngobrol-ngobrol sama papa.”

Haruto yang awalnya kaget, tapi akhirnya memilih untuk ikut mendudukkan diri tepat di kursi samping milik Junkyu.

Suasana diantara mereka bertiga, atau tepatnya antara Junkyu dan Haruto yang awalnya canggung, lama kelamaan berubah menjadi pembicaraan seru akibat topik-topik yang Lena bawa.

Beberapa kali Lena menatap wajah papanya yang tersenyum lebar, sangat manis dan cocok dengan kakak ganteng yang baru ia kenalkan itu. Dalam hati ia berdoa, semoga usahanya itu membawa hasil agar papanya bisa bangkit dari kesedihan yang selama ini ia pendam.

Hampir setengah jam berbincang bersama, tiba-tiba pembicaraan mereka diinterupsi nada dering yang berasal dari ponsel Junkyu.

“Ya halo?”

”...”

“Ah harus sekarang?”

”...”

“Tapi aku lagi gak bawa kendaraan, tadi habis jalan-jalan sama Lena.”

”...”

“Di depan? Mobil putih itu?”

”...”

“Iya sekarang kesana.”

Panggilan itu terputus, dan Lena segera menyuarakan rasa penasarannya,

“Siapa pa?”

“Itu temen papa yang waktu ini sempet ke rumah, dia jemput kita soalnya papa harus ke butik sekarang. Ayo, kita pulang.”

Lena seketika menampakkan wajah ingin menangis, “Yah, padahal aku masih mau disini pa..”

Dear?”

Haruto yang berada di antara pembicaraan anak dan papanya itu memilih membantu membujuk Lena,

“Besok-besok kan masih bisa main ke sini, Lena. Nanti ngobrol sama kakak lagi, janji.”

“Kakak janji ya, nanti kita ngobrol lagi. Nanti aku pasti bawa papa kesini, atau aku ajak kakak ke rumahku buat cari papa!”

Junkyu yang melihat anaknya merajuk itu merasa sedikit malu, apalagi dengan Haruto yang baru ia kenal hari ini. Namun melihat Lena yang sepertinya nyaman dengan Haruto, ia urungkan untuk menegur anaknya itu.

Akhirnya Lena pergi mengikuti papanya, setelah sebelumnya berpamitan dengan Haruto.

Haruto yang saat itu penasaran dengan teman yang menjemput Junkyu pun mengarahkan pandangannya mengikuti langkah kaki Junkyu dan Lena.

Sampai akhirnya, sesosok lelaki tegap keluar dari mobil mewah yang sejak tadi terparkir di seberang cafe, membukakan pintu untuk Lena dan juga Junkyu. Tak lama setelahnya, mobil itu pun melaju meninggalkan tempatnya tadi.

Melihat hal itu, entah mengapa rasa senang Haruto tadi akibat diterima baik diantara Lena dan Junkyu, tergantikan rasa kecil hati yang kini terus-menerus memenuhi hatinya.

First Fall

.

.

.

.

“Gamau pegangan sama gue aja sekalian?”

Suara berat Haruto terdengar pelan di telinga Junkyu karena teredam kaca helm. Ya, mereka akhirnya pulang bersama siang ini.

Tadinya Junkyu tidak ingin berbohong pada Jungwon, namun karena hubungan Haruto dan Jungwon yang masih tidak baik-baik saja, jadi ia terpaksa melakukan itu.

Kini, motor ninja milik Haruto yang ditumpangi keduanya telah membelah jalanan besar yang biasa mereka lewati. Laju motor itu tidak terlalu cepat, namun tidak juga lambat. Junkyu yang awalnya hanya mencengkram jaket Haruto, terpaksa menyerahkan tangannya untuk dilingkarkan di pinggang Haruto agar lebih aman.

Haruto tersenyum kecil begitu melihat wajah Junkyu yang memberengut terpantul di kaca spion kirinya.

Beberapa kali ia mengusap lutut Junkyu dengan salah satu tangannya, memberi rasa nyaman sekaligus mampu membuat pipi Junkyu merona hangat. Untunglah, pipinya terhalangi helm yang ia pakai, jadi Haruto tak bisa dengan jelas melihatnya.

Begitu motornya berhenti karena lampu merah yang menyala, Haruto bertanya, “Mau makan dulu gak? Gue ada tempat bagus.”

“Boleh, gue juga laper banget.”

Hanya percakapan pendek, karena setelahnya lampu telah menyala hijau kembali dan Haruto melajukan motornya ke tempat tujuan.

Selama perjalanan, satu tangannya yang tak memegang kemudi aktif mengelus punggung tangan Junkyu yang terkait di depan perutnya. Mungkin saking nyamannya, si manis juga menyandarkan kepalanya pada punggung lebar Haruto.

“Cil, nyandar di punggung gue bentaran lagi ya, ini kita udah sampai,” ia mengucapkan itu sembari menepuk pelan punggung tangan Junkyu yang ia elus sedari tadi.

Junkyu yang kesadarannya tinggal setengah akibat mengantuk buru-buru mengangkat kepalanya, merasa malu. Ia pun segera turun dan membuang muka, agar Haruto tak menangkap basah pipinya yang masih merona sejak tadi.

“Kayaknya punggung gue nyaman juga ya, lain kali gue sering-sering deh bawa motor, biar bisa lo peluk erat kayak tadi, hehe.”

Menahan malu yang semakin menjadi, Junkyu memukul kecil bahu Haruto sampai sang empunya mengaduh kesakitan.

“Iya iya gak gue godain lagi, mana sini tangannya pegangan dulu, di dalem rame nanti lo hilang.”

“Gue bukan anak kecil ya!”

Haruto memajukan tubuhnya, membuat tubuh keduanya hampir menempel. Ia menjatuhkan dagunya di atas kepala Junkyu, “Tuh kan, kecil.”

Segera pukulan-pukulan cepat dari tangan kecil Junkyu melayang di atas dadanya, membuat Haruto tertawa kecil walaupun beberapa kali terbatuk-batuk. Akhirnya, ia menarik tangan Junkyu cepat untuk masuk ke tempat yang mereka tuju.

***

“Tunggu disini ya, gue mau pesen dulu.”

Setelahnya Haruto menuju tempat pemesanan makanan di bagian depan, meninggalkan Junkyu seorang diri di meja yang bersampingan dengan kaca besar, lokasi favorit Junkyu.

Tak sampai lima menit, Haruto kembali dan langsung mendudukkan dirinya di kursi di hadapan Junkyu.

“Loh, gak sekalian ditungguin disana?”

“Enggak, nanti ada yang panggil kok.”

Junkyu hanya mengangguk tanda mengerti. Kemudian mereka terlibat percakapan kecil, mulai dari tugas sekolah dan segala kerandoman Haruto yang tak ada habisnya menggoda Junkyu.

Tiba-tiba saja percakapan mereka diinterupsi panggilan yang cukup keras,

Atas nama Kim Junkyu pacar kecilnya Haruto!

Junkyu yang mendengarnya kaget, berbeda dengan Haruto yang memasang senyum lebar menikmati ekspresi menggemaskan si manis.

Atas nama Kim Junkyu pacar kecilnya Haruto!!

Panggilan kedua kalinya itu seketika membawa kesadarannya kembali, Junkyu melotot gemas pada laki-laki di hadapannya, namun hanya dibalas kekehan kecil.

Atas nama Kim Junkyu—

“Ya ya saya.”

Cepat-cepat Junkyu menuju tempat pengambilan makanan mereka, sambil menutup wajah malu karena yang benar saja, siang itu pelanggan di tempat mereka makan sedang ramai-ramainya. Beberapa menampakkan wajah menggoda Junkyu, membuat ia menjadi semakin malu.

Tergesa-gesa membawa makanannya, hingga hampir saja ia tersandung kaki meja sebelum Haruto dengan sigap menangkap pinggangnya.

“Hati-hati, kecil.”

Tak tahu lagi semerah apa wajah Junkyu saat ini, membuat ia cepat-cepat mengalihkan pandangan dari Haruto dan mulai melahap makanannya dengan semangat.

Lagi-lagi tingkah si manis membuat ia tersenyum lebar, ah, Junkyu kecilnya ini memang happy pill yang diciptakan khusus untuknya.

“Pelan-pelan dong, sayang.”

Hampir saja tersedak, buru-buru Junkyu meminum iced tea yang ia pesan tadi untuk meredakan degupan keras di dadanya akibat panggilan sayang yang mengalun lembut dari laki-laki di hadapannya.

Masih sambil menatap Junkyu yang kini fokus pada minumannya, Haruto mulai berbicara lagi,

“Cil, gue harap setelah ini lo gak bakal sedih-sedih lagi. Gue janji bakal datangin kebahagiaan yang gak ada habisnya buat lo. I know you love me so much, but do you know anything new? You're not alone with that feeling, because i already love you as much as you love me.”

Mendengarnya, membuat benteng pertahanan Junkyu seketika rubuh. Soal meyakinkan diri, jauh dari dalam hati kecilnya ia sudah mempercayai Haruto sebesar itu. Ia tahu, Haruto kini benar-benar mencintainya.

Senyum lebar itu kini tak hanya tersemat di bibir Haruto, namun menular pada Junkyu yang kini pipinya merona kembali. Membuat Haruto tak tahan untuk mengelus pipi chubby itu dengan ibu jarinya.

Suasana hangat di antara mereka itu tak bertahan lama, karena tiba-tiba panggilan keras kembali menginterupsi kegiatan mereka,

Atas nama Kim Junkyu pacar kecilnya Haruto, silahkan mengambil bonus es krim sesuai pesanan pacar tampan Anda!

Ah, rasanya Junkyu ingin memukul gemas kepala Haruto sekarang juga.

First Fall

.

.

.

.

Duduk berdampingan di sofa ruang tamu, dan dalam keadaan canggung seperti kali ini benar-benar bukan pilihan. Sedari tadi keduanya ingin berinisiatif memulai pembicaraan, namun tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka.

Jaehyuk sudah pulang sedari tadi, meninggalkan dua orang yang kini bergulat dengan pikirannya masing-masing. Ia tadi hanya menjalankan rencananya, mengantarkan Haruto kepada Junkyu, dengan alibi ingin menjenguk dan membawa es krim.

Bahkan es krim yang tadi dibawa Haruto berkunjung itu pun hanya tergolek di meja tengah, tanpa tersentuh sama sekali.

“Cil..”

“Ya?”

Dalam hidupnya, baru kali ini Haruto merasa sulit untuk memulai pembicaraan dengan orang lain, apalagi dengan tujuan mengutarakan perasaannya terlebih dahulu pada orang yang betul-betul ia sukai.

Menarik nafas perlahan, kemudian ia melanjutkan kata-katanya, “Maaf.”

“Huh?”

Wajah kebingungan Junkyu sangat menarik di mata Haruto, oh tidak, sebenarnya apapun ekspresi Junkyu itu terlihat menarik di matanya. Ia memutuskan untuk menatap Junkyu lembut sembari memantapkan hati untuk mengungkapkan tujuannya kemari,

“Gue mau minta maaf, maafin orang bodoh kayak gue ya, cil. Gue tau, gue udah nyakitin lo berkali-kali, tapi gue masih aja gak sadar sama apa yang gue lakuin.”

“Ruto..”

“Gue juga minta maaf karena masih gak jujur soal perasaan gue..”

“Maksud lo?”

“Perasaan gue, yang baru gue sadarin beberapa hari lalu, tepatnya sejak lo ngejauh dari gue. G-gue suka...sama lo, cil..”

Sebentar, apa Junkyu barusan salah dengar? Haruto mengatakan bahwa laki-laki itu menyukai dirinya?

Haruto membawa ibu jarinya mengelus pipi kanan Junkyu perlahan, menyalurkan kehangatan sekaligus besarnya rasa sayang dan cinta yang ia simpan selama ini untuk laki-laki manis dihadapannya itu.

Perlakuan lembut Haruto pada dirinya tak pernah gagal membuat Junkyu semakin jatuh, bertekuk lutut pada pesona Haruto yang telah membuatnya mabuk kepayang.

Junkyu menutup matanya perlahan, menikmati elusan lembut di pipinya yang membuatnya sedikit mengantuk. Ia bahkan tak sadar saat nafasnya bertubrukan dengan nafas laki-laki yang berada dihadapannya itu.

Karena kaget, Junkyu tiba-tiba membuka matanya, dan mendapati wajah Haruto yang kini berjarak kurang dari dua sentimeter tepat di depan wajahnya. Manik tajam Haruto menatap maniknya lembut, seolah meyakinkan kata-kata yang diucapkannya tadi.

Perlahan wajah Haruto mendekat, mengecup lembut bibir tipis Junkyu. Hanya sekejap, tapi mampu membuat keduanya sama-sama merona.

Senyum lebar terpatri di wajah tegas Haruto, membuat Junkyu semakin salah tingkah. Kekehan kecil terdengar dari bilah bibir si tampan, menertawai tingkah lucu si manis yang dipujanya itu.

Karena terlalu malu, Junkyu refleks melingkarkan tangannya pada leher Haruto dan menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher milik Haruto yang tampak nyaman. Beberapa kali ia mengusakkan rambutnya sendiri, membuat geli laki-laki yang sedang ia peluk itu.

“Cil, lo suka sama gue gak? Gue pengen tau perasaan lo juga..”

“Suka..”

“Beneran? Jadi gue gak bertepuk sebelah tangan dong?”

“Bener..”

“Sekarang kita pacaran?”

“Nggak mau.”

“Kenapa? Gue kurang cakep ya?”

“Bukan..aku suka ruto, suka banget, aku sayang ruto, sayangggggg banget, i love you so much and you already know that, but..”

Masih dalam pelukan kecil mereka, Haruto membeo, “But?”

Make me believe that your love for me is real, can you?”

First Fall

.

.

.

.

“Pasang seatbelt, cil.”

Masih dengan nafas yang terengah-engah, Junkyu menuruti perintah dari laki-laki di sampingnya itu. Bahkan kini ia masih mengatur nafasnya, akibat berlari dari lantai dua untuk segera menghampiri Haruto yang sudah hampir setengah jam menunggu di depan rumahnya.

Perjalanan mereka sore itu sangat hening, tidak ada lagu yang menemani karena Junkyu yang meminta. Si manis juga lebih memilih mengarahkan pandangannya ke luar jendela, menghitung pepohonan dan mobil-mobil yang terlewati.

Beberapa menit fokus dengan jalan di hadapannya, Haruto menoleh pada lelaki manis di sampingnya yang sedari tadi hanya diam. Kini laki-laki itu tampak gelisah, sambil sesekali memperhatikan ponselnya.

“Kenapa?”

“Ini, Juju ngira gue pergi sama Arin, tapi Jay bilang Arin abis dari rumahnya. Alamat gue kena sidang nih bentar lagi..”

“Lo sepanik itu? Belum bilang yang sebenernya?”

“Kalo gue bilang putus sama Arin, Juju pasti marah.”

“Kan bentar lagi gue bantu lo balikan?”

Mendengar jawaban Haruto itu, seketika membuat mood Junkyu turun. Harusnya ia merasa senang, karena itu adalah permintaannya dan Haruto pun menepati janji membantunya, tapi untuk kali ini bukan jawaban itu yang ia harapkan.

Haruto yang menyadari bahwa lelaki di sampingnya itu kembali diam menjadi bingung, berpikir mungkin saja ia sempat salah bicara. Ia pun memutuskan untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba canggung,

“Gue ada rekomendasi toko es krim baru, mau gak cil?”

Junkyu yang mendengar tawaran itu langsung menatap Haruto dengan mata berbinar, “Es krim? Mau!!!”

Akhirnya, senyum Junkyunya kembali lagi.

“Iya, jadi jangan cemberut terus, ok? Nanti gue traktir es krim yang banyak.”

“SIAPP BOS!!”

***

Kedua laki-laki itu memilih tempat tepat di samping kaca karena pilihan si manis. Supaya bisa lihat orang-orang yang lewat, katanya.

Begitu pesanan mereka datang, Junkyu tanpa basa-basi langsung mencicipi es krim yang ia pesan. Karena tawaran Haruto yang mengatakan akan mentraktirnya tadi, ia pun sekaligus memesan dua porsi berbeda rasa. Ia tentu tak menyia-nyiakan kesempatan ini.

“Pelan aja, gak ada yang mau curi es krim lo, cil.”

Junkyu hanya menatap Haruto malas sebagai balasan. Ia kembali fokus dengan es krim di hadapannya.

“Soal lo mau balikan itu, lo serius?”

“Menurut lo?”

Fifty fifty, lo kelihatan ragu buat balikan kalo gue perhatiin.”

“Kalo kayak gitu mending lanjut apa gak usah?”

“Kalo lo gak yakin buat balikan, artinya lo gak yakin juga sama perasaan lo. Jadi buat apa kalo tetep dilanjut?”

“Oke.”

Bingung dengan jawaban singkat dari Junkyu itu, Haruto yang awalnya berbicara sambil menyantap es krimnya, kini memfokuskan penuh pandangannya pada lelaki manis yang masih asik dengan es krimnya itu.

“Maksud lo gimana?”

“Yaudah gue gak usah balikan. Mending gue cari orang lain aja.”

Haruto mengangguk mendengar jawaban si manis, kemudian menimpalinya,

“Tapi kenapa harus cari orang lain lagi, kalo ada orang di hadapan lo ini?”

Fokus Junkyu pada es krimnya langsung buyar, tergantikan tatapan bingung yang kini ia berikan pada Haruto. Haruto yang saat itu juga sedang menatap wajah Junkyu yang entah mengapa tampak berkali-kali lipat lebih manis, membalas tatapan itu dengan senyum lebarnya.

“Gue bilang pelan aja makan es krimnya, lihat kan belepotan gini..”

Haruto mengarahkan ibu jarinya mengusap lembut sisa es krim di sudut bibir Junkyu, jari telunjuknya tak diam ikut bergerak mengelus pelan pipi chubby si manis. Junkyu masih terdiam saat melihat Haruto yang membawa ibu jari dengan sisa es krim itu ke depan bibirnya sendiri,

“Manis, kayak bibir lo.”

Should I?

.

.

.

cw // kiss

**

Begitu mendapat tugas dan telah menyadari siapa targetnya kali ini, Haruto dengan nama samaran Travis itu bergegas menuju lokasi yang sudah ditujukan oleh salah satu rekannya, Choi.

Kini pikirannya bercabang, antara melaksanakan tugasnya untuk menculik Junkyu dan membawanya ke tempat persembunyian mereka, atau membawa Junkyu ke salah satu rumahnya untuk membuat kesepakatan baru.

Beruntung, ia masih dapat mengendarai mobil dengan fokus, walaupun terkejar waktu dan pikirannya yang kemana-mana.

Begitu sampai di Bandara XM, tidak sulit untuk ia dapat menemukan targetnya. Junkyu yang saat itu sedang melamun di depan salah satu toilet, bahkan tidak ada orang yang berjaga di sebelahnya, memudahkan misi Haruto.

Segera ia kalungkan lengan kanannya pada leher Junkyu, sembari mengeluarkan salah satu pisau lipat kecil yang kini tepat di depan wajah targetnya.

Junkyu yang tiba-tiba tersadar dari lamunannya hampir berteriak, namun menyadari situasi yang tak memungkinkan, ia pun menuruti orang yang sedang menyanderanya ini.

Mungkin Haruto yang saat itu menggunakan topi hitam, masker hitam, lengkap dengan jaket jeans hitam itu tidak dapat dikenali, namun saat melihat sorot matanya, Junkyu merasa seperti pernah mengenal orang yang membawanya itu. Karena itulah, ia tidak terlalu panik walaupun nyawanya bisa melayang kapan saja.

Begitu dibawa masuk ke dalam mobil yang ia duga milik pemuda yang menculiknya itu, ia diminta menyerahkan ponselnya. Tidak memberi perlawanan, ia menyerahkan ponselnya begitu saja. Ya, mungkin Junkyu juga penasaran apa yang akan terjadi padanya setelah ini.

Perjalanan mereka menghabiskan waktu sekitar 45 menit. Selama perjalanan itu tidak ada yang bersuara, karena mulut Junkyu juga diikat dengan sehelai kain. Padahal hal itu tak ada gunanya, toh Junkyu tidak bodoh dengan berteriak dalam mobil yang melaju dengan kecepatan 90 km/jam itu.

Mereka sampai di depan sebuah rumah besar, yang nampak sepi dari luar. Tidak seperti tadi saat dibawa dari bandara, kini ia hanya digandeng biasa, bahkan Junkyu menikmati genggaman tangan pemuda yang membawanya lari itu.

Begitu masuk, ia bisa menyadari bahwa pemuda itu tinggal sendiri di rumah besar ini. Ia didudukkan di salah satu sofa, kemudian pemuda itu pergi menuju dapur.

Beberapa menit setelahnya, pemuda itu datang dan berhenti di hadapan Junkyu.

“Lo gak takut?”

”...”

Menyadari kebodohannya, Haruto segera melepaskan kain yang menutupi mulut Junkyu itu.

“Gue tanya, lo gak takut? Gue orang asing dan gue bawa lo pergi dari temen-temen lo.”

“Bentar, kayaknya gue kenal lo? Suara lo ini...”

“Oh, lo nyadar?”

Tak mau berbasa-basi, Haruto melepaskan topi dan masker yang menutupi wajahnya. Dapat ia lihat keterkejutan nampak pada wajah manis di hadapannya.

“Haruto?”

“Kenapa? Lo gak nyangka kalo ini gue?”

Junkyu hanya diam, masih dikuasai keterkejutannya.

“Lo gak takut Jun? Gue, orang yang lo tolak tiga tahun lalu setelah gue ngejar-ngejar lo hampir dua tahun, sekarang ada di hadapan lo lagi, dan dalam situasi yang gak menguntungkan lo, menurut lo gimana?”

Junkyu masih tak mengeluarkan suara, hanya menatap tajam manik Haruto yang tampak mengejeknya.

“Harusnya gue gak bawa lo kesini, lo udah jadi incaran musuh bokap lo, tapi lihat, sekarang lo ada di rumah gue, dan gaada yang bakal bisa nemuin lo, hahaha”

“Serius?”

“Ponsel lo udah gue buang, gaada yang bakal nemuin lo, Junkyu!”

“Bawa gue pergi.”

Haruto yang mendengarnya menatap tak suka, “Maksud lo? Gue gak bakal ngelepasin lo Junkyu, gue udah senekat ini bawa lo pergi!”

“Yaudah, buat nekat lo 100%. Bawa gue pergi Haru, gue udah muak sama kehidupan gue dibawah tekanan ayah. Ayo bawa gue pergi jauh dari sini, please?”

Seketika pikiran Haruto blank dihadapkan dengan permintaan tak masuk akal Junkyu itu. Ini benar-benar jauh dari bayangannya, bahkan Junkyu sendiri yang meminta untuk tetap bersamanya, ya, walaupun itu dengan alasan lain.

Should i?”

“Ayo, jangan sia-siain waktu lo. Bawa gue pergi, gue bakal ikut lo kemana pun lo mau.”

Tolong katakan Haruto bermimpi, ini sungguh melampaui ekspetasinya.

Melihat Haruto yang masih terdiam, akhirnya Junkyu pun membawa dirinya hingga kini berada tepat di hadapan Haruto.

“Haru...”

“Nggak, ini pasti mimpi kan? Bilang gue mim—”

Cup

Bahkan kecupan lembut Junkyu itupun terasa seperti mimpi.

“Lo gak mimpi, gue udah nunggu dimana lo bisa bawa gue pergi dan bebas dari kehidupan gue yang sekarang. Mungkin ini jawaban Tuhan dari doa gue selama ini, jadi ayo, bawa gue kemana pun lo mau, ya?”

Setelah kesadarannya sedikit terkumpul, Haruto membawa jari-jarinya menggapai wajah manis Junkyu dan memberinya kecupan kupu-kupu. Terakhir, ia tempelkan bibirnya lebih lama, merasakan manis bibir Junkyu yang ia impikan selama ini.

Ia pun merengkuh Junkyu dan menenggelamkannya dalam pelukan hangat, “Sure, gue bakal lakuin apapun yang lo minta, tapi lo harus janji..”

“Apa?”

“Tetep sama gue ya? Apapun yang terjadi nanti, gue bakal lindungin lo, Jun.”

“Huum, gue juga bakal lindungin lo, jadi lo gak usah takut.”

“Lama gak ketemu, lo makin manis tau?”

“Gue makin manis biar nanti kalo kita ketemu, lo gak nyesel nungguin gue.”

Oh God, Jun. Jangan mancing gue gitu..”

Cup

Usai mengecup lagi bibir Haruto, Junkyu memasang wajah mengejek, “Siapa sih yang mancing?”

“Junkyu..”

“Apa?”

“Sayang..”

“bentar, INI KITA KAPAN PERGINYA, HARUTO??!”

First Fall

.

.

.

.

Siang itu, Arin memutuskan untuk menghabiskan waktunya untuk menonton film dari laptopnya, bertemankan smoothies dan teh herbal kesukaan. Hitung-hitung untuk menenangkan dirinya, dan melupakan sedikit masalah yang kini ia hadapi.

Tadi siang ia memang pulang bersama Sunghoon, begitu juga dengan makan siang bersama atas dasar ajakan Sunghoon, yang sayangnya tidak bisa ia tolak karena pikirannya yang sedang kalut saat itu. Ia hanya perlu teman untuk bercerita, itu saja.

Tapi ia sama sekali tak ada menceritakan masalahnya dengan Junkyu pada Sunghoon, hanya cerita ringan mengenai guru yang memberi banyak tugas dan sejenisnya. Bagaimanapun ia juga tahu, kalau Sunghoon pernah terlibat masalah dengan Junkyu.

Omong-omong soal masalahnya dengan Junkyu, sebenarnya ia sudah mengetahui hal itu sejak kepulangan mereka dari pesta Jay dua hari lalu. Ia yang saat itu hendak menyusul Junkyu, malah dihadapkan dengan kenyataan pahit bahwa kekasihnya sedang berciuman dengan laki-laki yang sialnya adalah temannya sendiri.

Dan sejak saat itu pula, ia menghindari Junkyu. Memang terkesan kekanak-kanakan, namun entah, setiap melihat Junkyu membuatnya merasa sedih bercampur marah. Dan ia juga tak ingin menyulut emosi kekasihnya, maka ia memilih untuk menjauh terlebih dahulu.

Selama menghindari Junkyu, ia banyak berpikir. Mengenai apa yang harus ia lakukan setelah ini, dan bagaimana ia harus menghadapi Junkyu nantinya. Dan sebelum memutuskan hal itu, ia ingin mendinginkan kepalanya terlebih dahulu.

Smoothies yang ia bawa sudah hampir setengah habis padahal film yang ia tonton belum sampai lima menit, dan saat itu tiba-tiba terdengar ketukan pintu kamar yang ia kira adalah pembantunya. Arin pun hanya berteriak agar orang itu langsung masuk.

“Arin?”

Suara ini, tidak mungkin kan Junkyu tiba-tiba ada di kamarnya.

“Rin?”

Suara itu terdengar semakin mendekat, karena posisi arin yang membelakangi pintu kamar membuatnya tak bisa memastikan orang yang masuk kamarnya saat ini. Terasa sedikit pergerakan di bagian kasur sampingnya, disusul sebuah tangan yang menyentuh bahunya pelan.

“Arin, lihat sini dulu dong.”

Arin hanya diam, ia bisa memastikan bahwa ini memang Junkyu, kekasihnya, dari aroma parfum yang ia pakai. Namun ia tetap memilih memfokuskan pandangan pada film di hadapannya.

“Seriusan gamau lihat aku dulu?”

“Aku lagi fokus nonton, jangan ganggu.”

Bohong, padahal sejak suara Junkyu masuk dalam telinganya tadi, ia sudah tidak fokus lagi dengan film yang ia tonton itu. Belum lagi tangan Junkyu yang lebih besar menggenggam tangan kanannya, mengelusnya pelan.

“Sayang,”

Oke, jika Junkyu sudah mode soft seperti ini Arin sudah tidak sanggup. Akhirnya ia pun memilih memfokuskan pandangannya pada laki-laki yang sejak tadi meminta atensinya itu.

“Masih marah ya?”

Arin hanya mengangguk mengiyakan.

“Maafin aku ya, aku belum bisa jadi pacar yang baik buat kamu. Aku malah ngecewain kamu, buat kamu nangis, aku nyesel banget rin—”

“—aku tau apa yang aku lakuin waktu itu salah, aku gabisa ngendaliin diri aku sendiri, aku nyesel, beneran rin, aku nyesel banget karena udah nyakitin kamu. Aku bodoh banget nyakitin orang sebaik kamu, aku bener-bener minta maaf, ok?”

Junkyu membawa satu tangannya lagi untuk mengelus rambut Arin pelan, ia hanya ingin agar Arin tau bahwa ia benar-benar menyesali kesalahannya itu. Arin memilih menatap manik Junkyu yang saat ini sedang menatapnya pula, mencari kesungguhan atas apa yang kekasihnya itu tadi katakan.

Ia tahu, Junkyu benar-benar menyesal, dan jauh dari lubuk hatinya pun ia telah memaafkan Junkyu sebelum Junkyu datang ke rumahnya. Maka, ia pun memantapkan hati pada keputusan yang telah ia pilih untuk saat ini.

“Kyu?”

“Hm?”

“Aku mau tanya, boleh?”

“Boleh, tapi jangan matematika, aku gak bawa kalkulator.”

Mendengarnya, membuat Arin memukul bahu Junkyu pelan, “Ya enggak, ish.”

“Hehe yaudah iya mau nanya apa?”

“Kamu, beneran gak ada rasa sama Haruto?”

“Ya enggak lah, kamu kok nanyanya aneh gitu?”

“Serius?”

“Iya sayang, lagian aku udah ada kamu.”

Arin hanya menghela napas pelan, ia harus mendapatkan jawaban yang pasti.

“Kyu, kamu bisa jujur sama aku.”

“Soal apa? Aku selalu jujur sama kamu rin, sekarang aja aku ngaku kan?”

“Jujur ke aku soal perasaan kamu, please.”

Melihat Arin menatapnya memohon, membuat Junkyu bungkam. Sebenarnya ia masih meragukan perasaannya sendiri, dan mendapat pertanyaan macam ini, membuat ia kembali goyah.

“Rin—”

“Kamu suka kan sama Haruto? Aku bisa lihat itu kyu, itu jelas bahkan dari pandangan kamu ke dia aku bisa tau.”

“Gak gitu, rin—”

“Coba tanya ke diri kamu sendiri, jauh di dalam hati kamu itu perasaanmu buat siapa? Aku gaapa kyu kalo emang itu bukan aku, lebih baik kamu jujur daripada kita terus-terusan kayak gini.”

“Maaf, maafin aku rin..”

It's okay, aku cuma mau ini semua jelas. Kalau emang kamu suka Haruto, kejar kyu. Selama ini aku rasa kalian sama-sama saling suka, tapi kalian gak sadar itu dan lebih milih denial sama perasaan sendiri.”

Junkyu tidak bisa berkata apa-apa lagi, semua perkataan Arin yang ditujukan padanya membuat ia semakin sadar, bahwa keraguan perasaannya selama ini menyakiti kekasihnya itu. Ia pun mendekatkan dirinya pada Arin, menarik perempuan itu ke dalam pelukannya.

“Maafin aku rin, aku udah nyakitin kamu sebanyak ini tanpa aku tau..”

Arin yang berada dalam pelukan Junkyu itu menggeleng pelan, “Gaapa, dari awal aku sayang sama kamu itu gak berharap banyak buat kamu bales perasaanku juga. Jadi apa yang aku lakuin sekarang, itu karena aku mau kamu bahagia kyu, bukan karena terpaksa.”

Junkyu mengelus lembut rambut Arin yang ada dalam dekapannya. Tak pernah ia pikirkan, bisa bertemu dengan orang yang memiliki pemikiran sedewasa Arin. Ia benar-benar beruntung.

Junkyu melonggarkan pelukan antara mereka dan memilih untuk bertanya hal yang ia pikirkan sejak tadi, “Kita masih bisa temenan, kan?”

“Hmm iya, selama kamu bahagianya gitu, aku ngikut.”

“Aku bodoh ya, nyia-nyiain orang sebaik kamu..”

“Kyu?”

“Oke oke, kita temenan?”

Junkyu menyodorkan jari kelingkingnya, lalu menatap Arin. Melihat itu, Arin tersenyum kecil dan menautkan jari kelingking mereka.

Tak pernah Arin pikirkan, akhirnya ia memilih keputusan ini. Ia harap, ia tak melakukan kesalahan sama sekali. Junkyu yang tersenyum lebar dihadapannya ini, adalah kebahagiaannya juga, maka dari itu ia memilih mengorbankan perasaannya.

“Mau lanjut nonton?”

“Kamu mau ikut?”

“Boleh, tapi aku mau jus jeruk.”

“Idih gak modal kesini gak bawa oleh-oleh.”

“Iya iya nanti aku traktir es krim.”

Dan begitulah, hubungan antara mereka yang awalnya terikat kasih kini berubah menjadi pertemanan yang tak kalah eratnya.

Kyu's Bday

.

.

.

***

“Pokoknya kalo kamu kalah, kamu harus ikutin mauku ya?”

“Siapa takut!!”

Sengitnya permainan yang dilakukan kedua laki-laki yang terpaut usia satu tahun, menciptakan ketegangan di ruang tamu yang cukup besar itu. Keduanya sama-sama ahli, dan berambisi besar untuk memenangkan permainan.

Haruto, nama laki-laki yang lebih muda, awalnya berniat untuk menumpang makan di rumah Junkyu, kekasihnya. Itu sudah menjadi hal yang rutin dilakukan mengingat Haruto yang tinggal berjauhan dengan orang tuanya. Berbeda dengan Junkyu yang masih tinggal lengkap bersama kedua orang tuanya.

Namun keadaan Junkyu tidak jauh dengan Haruto, ia lebih sering menghabiskan waktu bersama Bi Inah, pembantunya di rumah besar ini, dibandingkan orang tuanya yang sibuk sepanjang waktu. Yang sialnya juga, melupakan hari spesial untuk Junkyu hari ini.

Kembali pada dua orang di ruang tengah itu, setelah bermain sekitar 30 menit, akhirnya salah satu dari mereka berteriak keras akibat memenangkan permainan.

“YESSS!! Kamu kalah wleee, udah aku bilang kalo aku yang paling jago!”

Melihat Junkyu yang terlalu senang sambil menjulurkan lidahnya mengejek, membuat laki-laki yang lebih muda menggelengkan kepala tak habis pikir oleh tingkah laku kekasihnya itu.

“Itu mah kamu lagi beruntung aja, soalnya sekarang kan lagi tanggal cantik punyanya kamu.”

“Ishh, ngaku aja kenapa sih kalo aku yang paling hebat!”

Nahkan, sekarang Junkyu malah merajuk.

“Iya sayangku, kamu yang paling hebat, serius!! Sekarang, kamu mau aku ngapain?”

Mendengar pertanyaan Haruto, membuat Junkyu yang awalnya merajuk itu pun matanya kembali berbinar.

“Naik hoverboard ya? Harus mau!”

“Gitu doang?”

“Tapi sambil temenin aku jalan-jalan ke mall, hehe”

“Malu sayang, diliatin nanti sama anak-anak kecil disana,” Haruto mencoba menawar pada Junkyu dengan memasang wajah memelasnya. Tapi, Junkyu tetaplah Junkyu.

No no no, kamu udah janji tadi.”

Ya, dengan begitulah keduanya pun kini sudah berada di tengah mall besar yang berada di dekat wilayah perumahan Junkyu. Berbekal hoverboard milik Junkyu yang sudah menganggur tiga minggu, kini benda itu berpindah tangan pada Haruto.

“Nah, ayo sekarang dinaikin dulu, terus temenin aku keliling-keliling.”

“Sayang, malu loh diliatin...”

“Oh, jadi gamau nih?”

Oke, sepertinya mood Junkyu hari ini gampang naik turun karena kini ia kembali memasang muka cemberut.

“Nih nih, aku udah naikin. Ayo, kamu mau jalan kemana dulu?”

“Hehe gitu dong dari tadi, yuk kita cari es krim dulu, kajja kajja!!”

***

Hampir satu jam mereka berkeliling mall, memasuki satu toko ke toko lain sesuai keinginan Junkyu. Haruto yang awalnya merasa malu, sekarang malah asyik sendiri dengan hoverboard-nya.

Dari memasang gaya berdiri, sekarang ia pun mencoba berjongkok di atas hoverboard milik kekasihnya itu. Junkyu yang melihatnya pun tak menyia-nyiakan kesempatan dan segera mengabadikan pemandangan di hadapannya.

Haruto yang menyadari kekasihnya tertinggal di belakang pun segera menghampiri dan mengajak Junkyu untuk duduk di salah satu kursi khusus untuk pengunjung.

Duduk berdampingan, Junkyu pun menunjukkan foto yang baru saja ia abadikan.

“Ruto ruto lihat deh, kamu kecil banget, hihi.”

“Enak aja, kamu yang lebih kecil tau. Buktinya aku lebih tinggi, wlee!”

Mendengarnya, Junkyu refleks memukul bahu Haruto cukup kencang, “Ah curang, bawa-bawa tinggi badannn!”

Haruto hanya tertawa mendapat pukulan dari kekasihnya, karena faktanya, pukulan dari Junkyu itu tak terasa menyakitkan sama sekali. Beberapa menit setelahnya, Junkyu tiba-tiba ikut tertawa.

Melihat itu, membuat Haruto tak tahan untuk bertanya,

“Kyu?”

“Ya?”

“Gimana? Udah seneng sekarang?”

“Seneng dong, gak liat aku dari tadi ketawa gara-gara liat kamu malu karena diketawain anak kecil?”

“Jangan diingetin lagi!”

“Ahahaha, abisnya lucu tau!!”

Melihat Junkyu yang bahagia seperti itu, membuat Haruto menjadi lebih lega.

“Maaf ya, di hari spesial kamu ini aku belum bisa ngasih apa-apa.”

Junkyu menggelengkan kepalanya kecil, “Kamu gak sadar ya, kamu itu udah ngasih aku hadiah besar hari ini.”

“Apa emang?”

“Waktu kamu. Kamu sebenernya bisa tidur di waktu luang kamu ini, tapi kamu lebih milih buat nemenin aku keliling gak jelas di mall, terus kamu mau lakuin hal bodoh yang bikin aku ketawa daritadi.”

“Kyu—”

“Kamu tau, rasa bersyukur aku karena kamu ada disini itu lebih besar daripada yang kamu bisa bayangin.”

Melihat Junkyu yang mulai berkaca-kaca, Haruto pun segera merentangkan tangannya, memberi gestur agar Junkyu mendekat. Tak lama, Junkyu menghambur masuk ke dalam pelukan itu.

Keduanya saling mengeratkan pelukan, saling berbagi kenyamanan. Junkyu rasa, semua rasa sedihnya menguap begitu saja hanya karena pelukan hangat yang kini ia dapatkan. Beberapa kali ia mengusakkan kepalanya dalam pelukan Haruto, membuat kekasihnya terkikik geli karena rambut halus Junkyu yang mengenai dagunya.

Haruto menundukkan sedikit kepalanya, membisikkan sesuatu pada kekasih manisnya itu,

Happy birthday, sayang. Kamu, Kim Junkyu, orang yang paling berharga yang ada di hidup aku setelah orang tuaku, harus selalu bahagia. Aku gak mau banyak janji, tapi aku bakal buktiin, kalo aku bisa kasih kebahagiaan buat kamu dari hal sekecil apapun.”

“Iya aku percaya, kecil.”

Haruto sedikit melonggarkan pelukan mereka agar dapat menatap wajah Junkyu, “Siapa kamu bilang kecil?”

“Kamu lah, kamu kan lebih muda satu tahun dari aku.”

“Ah curang, bawa-bawa umurr!!”

Mendengar kalimat itu berbalik padanya, membuat Junkyu tertawa lebar, belum lagi Haruto yang memasang wajah sebal yang nampak sangat menggemaskan, cocok untuk panggilan si kecil darinya.

Bahkan ngelakuin hal bodoh pun aku sanggup, asal bisa lihat kamu senyum lebar terus kayak gini. Kamu harus selalu bahagia ya, kyu.

First Fall

.

.

.

cw // kiss

***

Perayaan pesta ulang tahun Jay hari itu sangat meriah. Meskipun yang hadir hanya teman-teman dekatnya, namun hingar bingar pesta itu tidak berkurang sama sekali.

Junkyu dan Arin yang saat itu memilih memisahkan diri dari kerumunan memilih balkon lantai dua rumah Jay sebagai tempat untuk bersantai. Beruntung bagi mereka, karena pemandangan yang tampak dari ketinggian itu memang sangat indah.

Tak banyak yang mereka bicarakan, hanya bertukar cerita ringan, sama seperti yang mereka lakukan dua minggu terakhir ini. Selama itulah, Junkyu telah mencoba membuka hatinya dan berubah menjadi kekasih Arin yang baik hati.

Beberapa menit yang lalu, Arin meminta ijin untuk pergi ke toilet, meninggalkan Junkyu seorang diri yang saat itu sedang fokus mengabadikan pemandangan yang terpampang di depan mata.

Angin yang berhembus cukup membuatnya kedinginan, terlebih saat itu ia hanya menggunakan kemeja putih tanpa jas yang ia tinggalkan di dalam mobil.

Omong-omong, ia juga tak banyak minum, hanya setengah gelas, itupun karena ia mengingat kewajibannya untuk membawa pulang Arin dengan selamat. Sebenarnya ia masih haus, tapi tak apa, nanti ia bisa memesan minuman lain yang lebih aman.

Keheningan di balkon kala itu, menghanyutkan Junkyu dalam lamunannya. Tapi tak lama setelahnya, kegiatannya terusik oleh suara berat yang tiba-tiba terdengar begitu dekat di samping telinga,

“Lo ngapain sendirian disini?”

Terkejut pasti, ia pun refleks mendorong bahu laki-laki yang telah berani mengganggu lamunannya. Begitu menyadari itu adalah orang yang akhir-akhir ini ia hindari, membuatnya mengerutkan kening bingung,

“Bukan urusan lo, lagian tau darimana gue disini?”

“Ramalan Doyoung.”

Jawaban itu membuat Junkyu refleks memukul bahu Haruto lumayan keras.

“Aduh, santai dong. Gue kesini mau ngecek lo, siapa tau lo tiba-tiba niat loncat dari sini kan bahaya.”

Junkyu memutar bola matanya malas mendengar alasan tak masuk akal itu.

“Ngaco, mabok ya lo?”

“Sedikit, untung naik tangga tadi gak kepleset.”

Mungkin, lama tak berbincang dengan Haruto membuat Junkyu merindukan percakapan random seperti ini. Ia pun menolehkan kepala ke samping, menyadari Haruto yang seperti mencari sesuatu,

“Ngapain?”

“Arin mana? Bukannya tadi sama lo?”

“Ngapain cari pacar gue? Mending lo samperin pacar lo gih, pasti bingung nyari lo yang tiba-tiba hilang.”

“Lo cemburu?”

“Gak usah kepedean, gue udah punya pacar!”

Ucapan ketus dari Junkyu tadi membawa kecanggungan antara keduanya. Junkyu yang bingung apakah jawabannya tadi menyinggung Haruto, dan Haruto yang kebingungan mencari topik baru.

Sampai akhirnya Haruto kembali bersuara,

“Cil?”

Panggilan ini, sungguh Junkyu sangat merindukannya.

“Hm?”

“Lo, gak kangen gue?”

Mendapat pertanyaan mendadak macam itu membuat Junkyu bungkam.

“Kalau gue nih, gue kangen lo, kangen banget malah. Kangen kita main bareng, kangen peluk-peluk lo, apa gue aja yang ngerasa kayak gini?”

Dalam otaknya, sudah tersusun jawaban untuk menyangkal segala perasaan rindu yang juga ia rasakan, namun yang keluar dari dua bilah bibirnya tak sesuai harapan,

“Kangen.”

Mendapat jawaban yang ia harapkan, membuat Haruto senang bukan main. Hingga akhirnya ia tak sadar memangkas jaraknya, menarik pinggang Junkyu untuk semakin mendekat.

Junkyu juga tak banyak bereaksi, ia awalnya terkejut, namun tubuhnya mengikuti kata hati untuk mengalungkan tangan ke arah leher Haruto.

Hingga Haruto membawa wajahnya mendekat, ibu jarinya ia bawa mengelus pelan bibir bawah Junkyu.

“Mau?”

Seolah tersihir, Junkyu hanya mengangguk sebagai respon.

Dan setelahnya bibir tebal Haruto pun menempel sempurna pada bibir tipis Junkyu. Mengecup tipis-tipis, namun mampu menerbangkan kupu-kupu dalam perut kedua orang yang sebenarnya memiliki perasaan yang sama ini.

Manis bibir Junkyu yang ia kecap membuat Haruto memberanikan diri melakukan lebih. Satu tangannya ia bawa ke belakang tengkuk Junkyu guna memperdalam ciuman keduanya, yang direspon dengan baik oleh sang lawan.

Tangan Haruto yang satu sedari tadi mengelus pelan pinggang Junkyu, hingga terdengar lenguhan dari bilah bibir Junkyu yang sedikit membengkak, membuat keduanya tiba-tiba tersadar dengan apa yang telah mereka lakukan.

Junkyu yang terlebih dahulu melepaskan diri, mendorong pelan tubuh Haruto yang sedari tadi mendekap erat tubuhnya, kemudian merapikan penampilannya untuk menutupi kegugupan. Tak jauh beda dengan Haruto yang kini mengalihkan pandangan ke arah mana saja asal tak menatap laki-laki manis yang telah membuatnya lupa diri itu.

“Kayaknya gue harus turun, Arin udah nunggu di bawah. Gue duluan.”

Dan akhirnya, Haruto ditinggalkan begitu saja bersama angin malam yang menjadi saksi dua orang yang tetap denial dengan perasaannya.

That Jacket

.

.

.

.

Sungguh, cuaca sore itu sangat mendukung perasaan Junkyu yang sedang bersedih karena apa yang baru saja ia alami. Ia tak habis pikir, begitu tragis kisah cinta yang ia elu-elukan selama ini. Belum lagi, ini adalah cinta pertamanya.

Pikirannya kini hanya terfokus pada kasur empuk di kamarnya, ingin segera merebahkan diri dan menumpahkan segala sesak yang ia tahan sedari tadi. Namun mau bagaimana, hujan yang saat itu mengguyur sekitaran toko buku yang ia kunjungi terlihat semakin deras.

Memberanikan diri untuk menuju teras toko itu, satu telapak tangannya ia bawa untuk menampung tetesan air hujan yang terasa begitu dingin. Sampai dingin itu menjalar ke tubuhnya, ia baru sadar bahwa sore itu ia hanya memakai kaos tipis tanpa jaket ataupun sweater. Sungguh bodoh, batinnya.

Tak mau berlama-lama menanggung dingin, Junkyu sudah bersiap untuk segera menerobos hujan guna mencapai halte yang ada di ujung jalan. Pikirnya tak apa basah sedikit, yang terpenting adalah lebih cepat sampai di rumah.

Namun langkahnya yang sudah siap itu terhenti begitu sebuah tangan yang terasa hangat menggenggam pergelangan tangan kirinya.

“Kalo lo nerobos sekarang, nanti lo bisa sakit.”

Junkyu memperhatikan orang yang kini berada disampingnya. Tangan orang itu masih setia berada di pergelangan tangannya, bahkan mengusap tangannya beberapa kali.

Harusnya ia menghempaskan tangan orang asing yang telah lancang mengusap tangannya itu, namun entah apa yang ia pikirkan, ia malah merasakan kenyamanan yang menjalar menghangatkan hatinya.

“Tangan lo aja udah sedingin ini, gak bawa jaket ya?”

Junkyu hanya mampu menggelengkan kepala sebagai respon. Hingga laki-laki di hadapannya itu tersenyum kecil, barulah ia tersadar sudah menatap wajah tampan itu terlalu lama. Ia pun berdeham mengusir kecanggungan.

“Mau ke halte yang di ujung jalan kan? Bareng gue aja yuk, tapi gue gak bawa payung sih. Pakai jaket gue aja, lumayan gede kok buat lindungin kita berdua. Mau gak?”

Lagi-lagi, seakan tersihir oleh suara berat yang mengalun dekat dengan telinganya itu, Junkyu hanya mengangguk menyetujui ajakan si laki-laki asing.

Laki-laki itu segera membentangkan jaketnya, membawanya ke atas kepala mereka berdua. Ternyata benar, jaket itu bahkan cukup untuk dua orang dewasa.

Sebelum berjalan, laki-laki itu menawarkan bantuan sekali lagi,

“Gue tau lo kedinginan, nanti jalannya agak rapet ke gue ya, biar lo gak basah kena hujan.”

“Oke.”

Walaupun terasa agak aneh saat ia merapatkan badannya pada si laki-laki asing, namun Junkyu tetap melakukannya. Bahkan, kedua tangannya kini telah melingkar manis di pinggang si tampan. Awalnya laki-laki itu tekejut oleh tingkah Junkyu, namun berakhir dengan senyum lebar yang menghiasi wajah tampannya.

Selama perjalanan ke halte, tak ada yang memulai pembicaraan. Mereka sibuk menghindari kubangan air, dan menghangatkan diri masing-masing di tengah pelukan tiba-tiba itu. Hingga halte yang mereka tuju sudah di hadapan mata, mereka pun memilih berteduh bersama.

“Sebentar lagi, busnya pasti sampai. Ini jaket bagian dalemnya gak basah kok, lo pakai aja ya? Biar gak kedinginan.”

“Terus lo gimana?”

“Gue gaapa, bentar lagi temen gue jemput kesini.”

Dan betul saja, beberapa menit kemudian bus tujuan Junkyu telah tiba di halte tersebut. Sebelum masuk dan membawa jaket yang tak sepenuhnya basah itu, Junkyu memberanikan dirinya untuk bertanya,

“Kita belum kenalan, gue Junkyu, lo?”

“Haruto. Nama lo cantik ya, sama kayak orangnya.”

Bahkan di saat seperti ini, pipi Junkyu masih bisa merona karena perkataan manis laki-laki bernama Haruto itu.

“Ini jaket lo, gimana balikinnya?”

Sembari mendorong pelan bahu Junkyu agar segera memasuki bus, Haruto menjawab dengan senyum lebarnya,

“Bawa aja, siapa tau kita bisa ketemu lagi lain kali?”