nelpages

Another Chance


Suara berdenging memenuhi indra pendengarnya. Sudah hampir satu jam, namun dengung itu tak mau hilang.

Berulang kali ia menggelengkan kepala, berusaha mengusir suasana tak nyaman yang semakin menyesakkan.

Tidak, seharusnya tidak begini. Ia sudah berjanji untuk bahagia, ia hampir mencapai kebahagiaannya itu, tidak mungkin ia menyerah secepat ini.

Tangannya bergerak mencari pegangan. Gelap, basah, sesak, seakan oksigen di sekitarnya terserap habis. Berulang kali ia memukul dadanya, tidak, ia harus keluar dari tempat ini.

Namun nihil, pergerakan yang sejak tadi ia usahakan tak ada kemajuan sama sekali. Ia tetap terjebak di dalam sana, dengan nafasnya yang mulai tersengal-sengal.

Kelopak matanya mulai memberat, seakan diberikan lem membuatnya merekat satu sama lain. Namun sebelum itu terjadi, ia berusaha tetap membuka matanya. Tiba-tiba saja ia takut dengan kegelapan, kakinya mulai terseok-seok menyadari ada sinar yang menyorotnya di ujung sana.

Lupakan dulu seluruh tubuhnya yang terasa sakit, ia harus mencapai ujung sinar itu.

Dengan segala usahanya, ia hampir setengah jalan. Hampir sampai, sebelum tiba-tiba ia mendengar pekikan kecil di bagian kanan. Seorang gadis kecil, lucu, mirip dengannya. Dengan gaun putih cantik, membawa buket bunga daisy, bunga yang ia sukai.

Di belakangnya berdiri seorang lelaki tampan. Ah, kapan terakhir kali ia melihat wajah tampan itu. Lelaki dengan manik bening yang menatap teduh, tampan dengan sentuhan tahi lalat kecil di ujung bibirnya.

Lelaki itu tersenyum, yang anehnya membuat bulir-bulir bening keluar dari sudut matanya. Begitu terus, seperti tak bisa ia hentikan. Hampir saja ia lupa dengan sinar yang menjadi tujuan awalnya tadi.

Kini sinar itu makin redup, tidak, harusnya ia sampai disana lebih cepat. Ia tak bisa tetap disini. Meskipun langkahnya makin tertatih, dengan berat hatinya meninggalkan dua sosok yang ia sayangi di belakang sana, isakan tangisnya makin keras.

Semakin mendekati sumber sinar itu, nafasnya makin berat. Dadanya sesak, ditambah isakan tangisnya yang tak terkendali. Kepalanya menggeleng rusuh, ia terus bergumam,

aku harus keluar

aku harus keluar dari sini

aku...

.

.

.

Kyu

Junkyu

Sayang, kau mendengarku?

Sayang ini aku, ayo bangun

Sayang

Hahh hahh

Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya ia dapatkan, begitu melihat sesosok lelaki yang ia cintai di hadapannya, dengan luka di kepala yang tidak bisa dibilang kecil, namun tak menyurutkan raut khawatir yang begitu kentara itu menatapnya sendu, ia memeluk lelaki itu erat, benar-benar takut kehilangan,

“Haruto, aku selamat..”

Haruto mengangguk mengiyakan, amat sangat bersyukur ketika mendapati lelaki manis dalam pelukannya ini merespon panggilannya. Tangannya terus bergerak mengelus pelan punggung Junkyu, berusaha menenangkan kekasihnya.

Namun berbeda dengan lelaki manis yang kini mendadak teringat dengan mimpinya, ah, itu bahkan seperti kejadian nyata dimana ia menjadi pemeran utamanya. Membuat ia teringat sesuatu yang hilang, yang eksistensinta tak tertangkap pandangan mata,

“Haru, Lena dimana?”

Restu


“Mampir bentar ketemu temen kakak gaapa ya, len?”

Mendengar pertanyaan itu, ah, tepatnya panggilan yang ia sandangkan pada dirinya sendiri, membuat anak perempuan yang sedang fokus memasang seatbelt di sebelahnya merengut kesal.

“Ih kan udah Lena bilang, panggilnya daddy, bukan kakak lagi, huh!”

Protesan kecil itu membuat Haruto menggaruk tengkuknya salah tingkah, “Iya iya, ketemu temen daddy sebentar, oke?”

“Siap, kajja dad!!”

Beberapa kali menghabiskan waktu dengan Lena seperti ini, membuat Haruto menyadari dirinya lebih banyak tersenyum. Bukan hanya pembawaan Lena yang lucu menggemaskan seperti papanya, anak itu juga tidak menutup diri dengannya dan seakan memberi restunya seratus persen.

Tentu saja hal itu tidak akan ia sia-siakan, terlebih perasaan pada Junkyu bukanlah cinta monyet khas anak remaja.

Kini kendaraan roda empat yang dikendarainya telah memasuki halaman parkir salah satu cafe tempat janji temu ia dengan seorang yang tiba-tiba memintanya untuk berjumpa.

Jujur saja, sebenarnya selama perjalanan tadi ia cukup gugup, dalam pikirannya telah terputar skenario buruk yang berujung ia yang tak direstui. Namun entah mengapa, begitu sampai dan menyadari ada Lena di sampingnya, ia merasa lebih tenang dan percaya diri.

Omong-omong, seorang itu mengubah janji temunya menjadi pukul 3 siang, dan kebetulan tadi Lena meminta agar daddynya itu membawanya pergi jalan-jalan. Jadi ia pikir tak ada salahnya mengajak Lena ikut menemui seorang yang mungkin saja Lena juga mengenalinya.

Begitu memasuki cafe tersebut, Haruto yang menggandeng tangan mungil calon anaknya itu segera menuju tempat duduk yang sebelumnya sudah dikabari oleh seorang yang akan ia temui.

Dari kejauhan, tampak salah satu kursinya telah terisi seorang lelaki, yang sayangnya memunggunginya, membuat ia semakin penasaran.

Dan begitu mencapai meja itu, ia tak bisa menutupi keterkejutannya,

“Loh? Doyoung? Lo ngapain disini? Bentar, lo orang yang mau ketemu gue itu?”

Doyoung, atau lengkapnya Kim Doyoung, yang juga menjadi salah satu teman tak dekat Haruto itu hanya tersenyum kecil, mempersilahkan Haruto duduk terlebih dahulu.

Dan begitu pandangannya jatuh pada anak perempuan yang digandeng Haruto, ia tersenyum lebih lebar,

“Hai cantik? Udah lama ya gak ketemu sama om?”

Lena menghambur ke dalam pelukan Doyoung, berpelukan bak dua orang yang sudah lama tak bertemu, dan Haruto yang ada di hadapan mereka hanya bisa memasang raut wajah bingung, menoleh pada Doyoung meminta penjelasan.

“Tunggu, pesenannya dateng bentar lagi.”

Kini meja itu dipenuhi percakapan antara Lena dan Doyoung, dan lagi-lagi Haruto hanya menjadi orang asing dalam pembicaraan keduanya.

Haruto berdeham kecil, mencoba menarik perhatian. Dan tepat waktu, saat itu juga makanan pesanan Doyoung sebanyak tiga porsi datang dan tersaji begitu saja dihadapan mereka.

Setelah mempersilahkan Lena makan terlebih dahulu, dan melihat raut wajah Haruto yang terus menuntut penjelasan darinya, Doyoung memilih untuk memberi sedikit titik terang,

“Jadi gue adik kandungnya Kak Junkyu. Kim Junkyu, yang sekarang jadi pacar lo.”

Meskipun sempat terpikirkan olehnya, tetap aja Haruto terkejut karena sepengetahuannya Doyoung itu anak tunggal.

Teringat dengan pesan kemarin, Haruto memilih bertanya, “Terus, maksud chat lo itu?”

“Ya gue mau ngomong empat mata sama lo, gue mau tau keseriusan lo sama kakak gue. Eh taunya lo bawa Lena juga.”

Sorry, tadi gue sekalian jemput soalnya.”

Doyoung terkekeh kecil, “Gaapa, dari sini juga gue udah tau kalo lo udah sejauh apa sama kakak gue. Lena aja udah seklop ini sama lo kan?”

Tentu, mendengar itu semua dilontarkan oleh Doyoung sendiri mampu meningkatkan kepercayaan diri Haruto kini untuk meyakinkan adik dari pacarnya sekaligus temannya itu.

“Perasaan gue bukan main-main sama kakak lo, dan gue rasa lo sedikit banyak tau sifat gue. Kalau yang lo tanya gue punya apa buat deketin kakak lo, gue punya rasa cinta yang tulus dan gue jujur dari hati gue sendiri. Gue juga punya beberapa tabungan dari kerja keras gue selama ini. Kakak lo udah nerima gue dengan keadaan gue sekarang, begitupun gue ke kakak lo. Jadi gue harap lo percaya sama gue buat jaga dan bimbing kakak lo ke depannya.”

Lena yang sedari tadi menyimak pembicaraan keduanya ikut bersuara, “Om Doyi jangan jahatin daddy, papa sama Lena udah sayang sama daddy tau!”

“Daddy?” Hampir saja Doyoung tersedak tulang ayam jika ia tak buru-buru menegak habis es teh di hadapannya.

“Iya, daddy Haruto, daddy baru aku.”

Doyoung menggeleng tak habis pikir, menoleh pada Haruto yang kini hanya memasang senyum tak bersalah.

Setelahnya, suasana antara ketiganya berangsur lebih menyenangkan, tak ada lagi kecanggungan seperti saat tadi Haruto baru datang. Topik yang dibicarakan seakan tak ada habisnya, tentu didominasi cerita Lena tentang hari sekolahnya.

Dan saat senja nampak mulai akan tergantikan malam, mereka pun bersiap untuk pulang. Lena yang mengantuk memilih berjalan terlebih dahulu meninggalkan dua orang lelaki yang kini saling melempar senyum teduh.

Sebelum Doyoung masuk ke dalam mobil yang terparkir tepat di sebelah kiri kendaraan milik Haruto, ia menepuk pelan bahu temannya itu seraya berucap tulus,

“Makasih udah bantu kakak gue bangkit dari masa lalunya, sekarang gue percayain kakak gue ke lo, to.”

Little Daisy


Begitu bel berbunyi, dengan tidak sabarnya Lena segera menuju tempat dimana biasanya ia menunggu jemputan dari papanya.

Dalam benaknya kini dipenuhi, apa surprise yang menantinya setelah ini. Walaupun beberapa menit yang lalu ia sempat sedih dan kecewa akibat janji yang dibatalkan tiba-tiba oleh papanya, namun semua kini menguap tergantian antusias yang tinggi.

Dari kejauhan dapat ia lihat sebuah mobil berhenti tepat di tempat janji temu ia dengan papanya. Berbeda, itu bukan mobil papa, ataupun sopir yang biasanya menjemput ia pulang.

Walaupun ragu, ia memberanikan mengetuk kaca jendela samping kemudi.

Tok tok

Tak sampai semenit, kaca jendela itu terbuka, menampilkan wajah tampan seseorang yang tak mungkin ia tak kenal.

“Kakak ganteng!!”

Wajah gembira yang Lena tampilkan dibalas senyuman lebar oleh Haruto, orang yang sedari tadi berada di dalam mobil putih yang diperhatikan Lena dari kejauhan.

Lelaki tampan itu segera membuka pintu kemudi, pun menuntun Lena menuju mobil bagian kanan untuk membukakan pintu dan mempersilahkannya masuk.

Begitu keduanya telah berada di dalam mobil, sebelumnya lelaki itu mengecek seatbelt yang dipakai anak perempuan di sampingnya, kemudian setelah sudah siap, ia mulai menjalankan kemudinya.

“Kok bisa kakak ganteng yang jemput? Papa yang suruh ya?”

Haruto mengangguk kecil sebagai balasan, “Gimana surprisenya?”

“Seneng!! Aku kaget kirain Pak Lee yang bakal jemput.”

Haruto mengulurkan tangannya, mengelus surai bagian depan Lena yang sedikit berantakan, “Syukur deh kalo seneng, jangan marah sama papamu ya. Papamu pasti sedih kalo kamu marah lama-lama.”

“Enggak kok, Lena gak marah, serius!”

Melihat sekilas wajah serius Lena, membuat lelaki di belakang kemudi itu terkekeh kecil. Lena yang merengut benar-benar seperti Junkyu versi perempuan.

Ditengah pembicaraan kecil mereka, Lena sempat meminta ijin untuk menghidupkan radio dalam mobil. Dan begitu saluran yang ia pilih memutarkan lagi boyband kesukaannya, ia pun ikut bersenandung pelan.

Tak disangka, seseorang di sampingnya pun ikut bernyanyi.

“Kakak tau lagu ini?”

“Tau dong, di cafe kan suka puter lagu kayak gini.”

Tak disangka selera keduanya begitu cocok, membuat mereka pun akhirnya terlarut dalam suasana yang ceria, bernyanyi bersama mengikuti lagu-lagu yang terputar dari saluran yang dipilih Lena.

***

“Ayo turun dulu.”

Lena yang tak sempat menanyakan tujuan mereka baru mengedarkan pandangnya, mendapati keduanya telah berada di salah satu kedai es krim.

Melihat ekspresi Lena yang seakan meminta penjelasan, membuat Haruto yang telah melepaskan seatbelt menatap ke arahnya, “Sekarang makan es krimnya sama kakak dulu oke? Nanti lain kali kita makan bertiga sama papa kamu.”

Mendengarnya tentu membuat Lena mengangguk senang, dengan cekatan melepas seatbeltnya dan membuka pintu untuk segera menuju ke dalam kedai es krim.

Haruto yang melihatnya hanya menggeleng pelan, memilih mengikuti Lena dari belakang sembari mengirim pesan mengabari lelaki manis yang menunggu pesannya dari beberapa menit yang lalu.

Kini keduanya telah duduk berhadapan di salah satu meja bagian kiri pintu, Lena yang memilihnya. Di hadapan mereka telah tersaji masing-masing satu mangkuk es krim yang menarik meminta untuk segera dicicipi.

Melihat anak perempuan dihadapannya menyendok es krim miliknya dengan semangat, lagi-lagi menarik senyum lebar milik Haruto.

“Pelan-pelan aja, cantik. Gak ada yang mau ambil kok.”

Lena hanya tersenyum kecil, sedikit malu akibat antusiasnya yang tinggi melihat es krim di hadapannya. Sesekali ia menatap Haruto yang juga menyantap es krim miliknya dengan tenang, tampan sekali. Cocok dengan papanya.

“Kakak ganteng lagi gak punya pacar kan?”

“Eh? Kok tiba-tiba?”

“Kakak cocoknya sama papaku.”

Hampir saja es krim dalam mulutnya tersembur keluar, untung saja Haruto bisa menahannya.

Ia baru sadar, sepertinya Junkyu belum menjelaskan hubungan antara keduanya pada Lena. Pantas saja tadi Junkyu meminta bantuan padanya.

“Kakak udah punya pacar...”

Raut wajah Lena yang semula berbinar bahagia dalam sekejap berubah menjadi muram. Namun sebelum ia sempat bertanya, Haruto menambahkan,

“Pacar kakak itu papamu.”

Kaget, tentu saja. Bisa-bisanya papa tersayangnya itu tak mengatakan apa-apa padanya. Padahal niatnya setelah ini adalah memaksa kakak gantengnya itu untuk menjadi pacar papanya, eh ternyata ia sudah keduluan.

“Kok diem? Gak suka ya?”

Lena menggeleng rusuh, bukan itu maksud keterdiamannya. Ia hanya kaget, dan sedang mengumpulkan kesadaran. Kini wajah muramnya tadi sudah berganti senyum lebar, jauh lebih bahagia dibanding saat tadi mendapati kakak gantengnya itu yang menjemputnya di sekolah.

“Berarti sekarang aku bisa panggil kakak daddy, kan?”

Little Daisy


Langit sore itu kelabu, awan-awan cukup tebal menyatu nampak bekerja sama menyembunyikan sang surya. Namun semua itu tak menyurutkan niat keduanya, yang kini bergandengan tangan menuju tempat di bagian ujung sana.

Dan begitu sampai, Junkyu menyimpuhkan kakinya terlebih dahulu.

“Yoshi, aku datang lagi.”

Tak ada jawaban, tentu. Namun angin entah dari mana datangnya tiba-tiba bertiup kecil seakan menjawab sapaan tadi.

“Maaf aku baru sempat jenguk kamu lagi hari ini, dan maaf aku gak bawa Lena. Tapi aku tau, kamu pasti selalu perhatiin Lena dari atas sana kan?”

Menjeda sejenak kalimatnya, Junkyu kemudian melanjutkan,

“Yoshi, hari ini, aku bawa seorang laki-laki. Ia pekerja keras, baik hati, pembawaannya juga tenang, dan...ia juga menyayangiku.”

Haruto yang mendengar namanya disebut ikut bersimpuh di sebelah kiri si manis.

“Hai kak, aku Haruto,” ucapnya pelan sembari mengelus nisan di hadapannya.

Melihat Junkyu yang kini nampak tengah menahan tangisnya, membuat Haruto mengulurkan tangan, menggenggam tangan mungil Junkyu tidak erat, mengelus punggung tangannya lembut.

Masih menghadap nisan di depannya ia pun melanjutkan, “Kak, mungkin aku belum banyak memiliki pengalaman hidup, tapi aku berjanji untuk selalu bekerja keras dan tidak menyerah apapun yang aku hadapi nanti. Tentang perasaanku ini, aku benar-benar mencintai lelaki manis yang memiliki senyum secerah matahari bernama Kim Junkyu, yang kini berada tepat di sampingku, tak ada terbesit dalam pikiran untuk bermain-main dengan perasaan ini. Aku tulus menyayangi lelaki ini, kak.”

“Begitupun dengan Lena, ia sudah aku anggap adik, bahkan jika nanti aku akhirnya mendapat kesempatan menjadi ayahnya, aku berjanji menyayanginya setulus aku menyayangi kak Junkyu. Aku tidak bisa menjanjikan, tapi aku akan berusaha selalu mendatangkan kebahagiaan pada dua orang yang aku sayangi ini.”

“Sebelumnya, terima kasih karena telah menjadi sandaran mereka, menjadi lelaki yang menyayangi dan mencintai mereka dengan tulus, mengajarkan dan menuntun mereka pada hal yang baik. Aku sangat menghargaimu untuk semua itu. Dan kini, saatnya aku menjalankan tugas itu, akan aku lanjutkan untuk mencintai dan menyayangi mereka dengan seluruh jiwaku, aku tidak akan biarkan mereka menangis karena hal buruk di luar sana.”

Isakan tangis yang keluar dari bilah bibir mungil si manis terdengar semakin keras, membuat Haruto mengarahkan tubuhnya ke samping, menarik Junkyu dalam pelukannya. Menumpahkan semua kesedihan yang selama ini ia pendam, agar selanjutnya dapat ia isi dengan kebahagiaan, hanya itu.

Sembari menenangkan Junkyu yang ada dalam dekapannya, Haruto melanjutkan kembali apa yang ingin ia sampaikan,

“Kak, aku disini hadir untuk meminta ijin, ijin untuk membahagikan kak Junkyu dan juga Lena, ijin untuk membawa hubungan kami ke jenjang yang lebih serius, aku akan membuktikan apa yang telah aku katakan, sehingga nanti di atas sana, kau dapat tersenyum melihat kedua malaikat manismu ini selalu berbahagia.”

Mendengarnya, membuat Junkyu tiba-tiba mendongakkan wajah, menatap manik Haruto yang juga tengah menatapnya teduh. Mencoba mencari kebohongan yang terselip dari janji yang ia ucapkan tadi, namun tak ada sama sekali. Haruto bersungguh-sungguh dengan perkataannya.

Sembari merapikan surai si manis yang sedikit berantakan dengan jarinya, Haruto bertanya pelan, “Kamu mau?”

Mau, sangat sangat mau.

Namun kalimat itu tak keluar dari bibirnya, digantikan ia yang tersenyum lebar, dan menganggukkan kepalanya semangat. Membuat Haruto kepalang gemas dan berakhir mencubit kecil kedua pipi tembam itu.

Junkyu merengut kecil, Haruto yang melihatnya pun refleks mengecup cepat bibir yang mengerucut itu. Sontak saja Junkyu membolakan matanya, kemudian mengarahkan pandangan kemana saja asal tidak pada manik Haruto, ia benar-benar malu.

Terdiam selama 15 menit dalam pelukan lelaki yang sejak beberapa hari lalu telah menjabat menjadi kekasihnya itu, Junkyu memilih memundurkan tubuh, menguraikan pelukannya. Tentu saja setelah ia meredakan rona merah pada kedua pipi akibat perbuatan Haruto tadi.

Pandangannya mengarah pada nisan di hadapannya, kini tatapan sendunya beralih menjadi binar yang lebih hidup, terpancar kebahagiaan kecil yang siap untuk tumbuh memenuhi hatinya.

“Yoshi, terima kasih untuk semuanya. Sekarang, aku ijin untuk mengejar bahagiaku juga ya?”

Little Daisy


Suasana canggung melingkupi kedua laki-laki yang terpaut usia 7 tahun itu. Tidak ada yang mengeluarkan suara, tidak ada yang berinisiatif membuka percakapan.

Sejak setengah jam yang lalu ia dijemput secara tiba-tiba oleh lelaki manis yang kini setiap waktu memenuhi pikirannya itu, ia merasakan aura yang gelap, tidak ada senyum manis seperti biasanya.

Ingin bertanyapun rasanya sulit, hingga ia memutuskan untuk memilih membawa pandangannya ke arah luar jendela, tanpa tau tujuan tempat kemana ia akan dibawa.

Bahkan ia sama sekali tak terpikirkan, bahwa tempat tujuan dari si manis adalah sebuah tempat yang sunyi, tenang, dimana sejauh ia memandang tempat itu berhiaskan batu-batu nisan dengan rumput hijau di sekelilingnya.

Ia sebenarnya bukan penakut, namun hawa disini memang sedikit menyeramkan. Belum lagi Junkyu yang sejak tadi tak mengeluarkan suara, membuat ia berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana jika orang yang disampingnya ini bukan Junkyu yang asli?

Memikirkan hal itu membuat ia bergidik beberapa kali, menggelengkan kepalanya ribut, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Dan sepertinya, hal itu berhasil menarik perhatian si manis yang sedari tadi menutup mulutnya rapat-rapat.

“Hei, lo gak papa to?”

Pertanyaan yang Junkyu berikan dengan suara yang sedikit nyaring itu berhasil menyadarkan Haruto dari pikiran buruknya. Ah, tapi ia sedikit bingung dengan panggilan yang tak biasa dari lelaki di sampingnya itu.

“Lo?”

“E-eh..kamu maksudnya, aneh ya?”

“Gaapa kak, senyamannya kakak aja. Oh iya, ini aku beneran diajak kesini kak?”

Junkyu mengernyitkan dahinya bingung, “Ya iya? Kan kamu ada disini sekarang.”

“Gak salah? Maksudnya, kakak serius ajak aku kesini? Ini tempat, kak Yoshi itu kan?”

Iya, Haruto ingat dengan jelas nama ayah Lena sekaligus lelaki yang dulu menjadi seorang yang paling dicintai oleh lelaki manis yang kini berada satu mobil dengannya.

Bukannya tidak siap, ia bertanya seperti itu pun untuk menanyakan keyakinan Junkyu padanya.

“Iya, keputusan aku udah bulat. Aku gak bisa terus-terusan terikat sama masa lalu aku, to. Aku juga mau bahagia.”

Sungguh, kalau boleh Haruto katakan, ekspresi sendu pada wajah Junkyu yang saat ini ditampakkannya sangat tidak cocok untuk wajah manisnya itu. Hatinya perih memikirkan, seberapa besar beban dan kesedihan yang lelaki manis ini pikul selama ini.

Maka tanpa banyak bicara, ia perlahan merentangkan tangannya, menberi kode agar si manis mendekat.

Dan hal itu tentu disambut baik, Junkyu menghambur pada dekapan hangat itu. Menenggelamkan wajahnya pada perpotongan leher Haruto yang nyaman, seakan posisi ini benar-benar membantunya mengisi energi yang hilang.

“Makasih, makasih udah ada disini dan nemenin aku.”

Kepala Haruto yang bertumpu pada pucuk kepala Junkyu mengangguk kecil, jari-jarinya mengelus surai halus Junkyu pelan.

“Walaupun kita belum terlalu lama kenal, tapi aku percaya sama kamu. Walaupun usia kita yang terbilang cukup jauh, tapi kamu jauh lebih dewasa dari aku. Jangan pernah raguin dirimu sendiri, ya?”

Perkataan Junkyu tadi sangat mampu menenangkan gejolak tak nyaman yang ada dalam dirinya. Ia tau, tak semestinya ia membuat Junkyu ragu, melainkan ia seharusnya mampu membuat Junkyu nyaman dan saling membagi kekuatan.

Junkyu mendongakkan wajahnya, menatap mata Haruto lurus, “Mau sekarang gak jenguknya?”

“Kalo kakak udah siap, aku juga pasti siap.”

Halloween Party


Pesta halloween yang diadakan sekolah kali ini berlangsung meriah, bahkan jauh lebih meriah dibandingkan tahun lalu. Nampaknya, panitia acara ini pintar untuk menggaet siswa-siswa Treasure High School untuk meramaikan acara, salah satunya dengan mendatangkan guest star idola remaja, Kuburan Band.

Tidak hanya itu, di bagian loket kedatangan tadi, ada panitia yang membagi-bagikan souvenir kecil berbentuk labu yang khas untuk perayaan halloween ini, usaha yang patut diacungi jempol.

Jam menunjukkan pukul tujuh, yang berarti 15 menit lagi acara akan dimulai. Siswa-siswi masih berpencar, entah itu di aula, di lapangan, di parkiran, dan juga di toilet. Untuk yang terakhir, toilet menjadi tempat yang diburu untuk merapikan make up dan kostum halloween yang mereka pakai.

Omong-omong tentang kostum, siswa-siswi yang datang melakukan kreasinya sendiri karena tidak ada batasan dari panitia. Entah itu kostum hantu insternasional, sampai hantu nasional pun ada. Mungkin jika ada masyarakat luar yang datang, acara ini lebih seperti reuni hantu dari berbagai daerah, ya.

Kembali ke aula, tempat acara halloween party ini akan dimulai, keriuhan kini tercipta dari suka cita masing-masing orang yang datang. Semua bergembira, terlebih di bagian depan aula tadi mereka semua telah dibagikan panganan secara gratis. Siapa yang tak senang kalau begitu?

Tak terkecuali seorang lelaki yang sedang berdiam diri di bagian dinding pojok kanan aula. Lelaki dengan manik tajam itu sedari tadi mengecek satu-persatu orang yang datang melalui pandangannya, mencari pujaan hati yang tadi sempat memberi kode bahwa ia akan menggunakan kostum berwarna hitam.

Tadi, waktu ia sampai di tengah aula, ia sempat mengecek ponselnya. Namun kabar dari Abin, nama calon pacarnya itu tidak kunjung tiba. Sehingga ia memilih untuk berdiam di pojok yang lebih sedikit orangnya, dan memperhatikan orang yang berlalu lalang satu-persatu.

Hingga satu jam berjalan acara, ia masih tak menemukan orang yang ia cari. Membuat ia memutuskan maju sedikit, menerobos kerumunan orang yang sedang asik menikmati pesta dengan minuman di masing-masing tangan mereka.

Sialnya, ia juga tak menemukan teman-temannya. Ah, atau tepatnya ia yang tak minat mencari? Sebenarnya fokusnya sedari tadi sudah tersita untuk mencari Abin dan mempersiapkan diri untuk menyatakan perasaannya pada gadis itu.

Hingga akhirnya ia menemukan seorang dengan postur mirip gadis yang ia cari. Menggunakan kostum serba hitam, orang itu sedang berdiam diri di bagian kanan dekat pintu aula. Dan kabar baiknya, ia seorang diri. Membuat Haruto yang bagaikan mendapat jackpot itu berteriak senang dalam hati, pun memutuskan untuk menghampiri.

Kalau ia lihat dari belakang, kostum yang digunakan oleh orang yang ia sangka Abin itu adalah kaonashi, ah sangat menggemaskan. Dibanding ia yang menggunakan kostum demon itu nampak gagah, seorang yang kini ada tepat di hadapannya itu menggunakan kostum lucu yang membuat badannya hampir tenggelam. Ingatkan Haruto untuk menyubit pipinya gemas nanti.

Entah dorongan dari mana, Haruto yang saat itu diliputi kegembiraan tiba-tiba saja melingkarkan tangannya ke pinggang orang yang ia sangka Abin. Pinggangnya yang ramping, membuat orang itu tenggelam dalam pelukan yang diberikan Haruto.

Sempat ia rasakan orang yang ia peluk itu sedikit terkejut, namun kini telah rileks kembali. Membuat Haruto dengan santai meletakkan dagunya di puncak kepala orang di hadapannya.

“Gue cariin lo dari tadi tau,” ucapnya setengah berbisik karena keadaan aula yang kini bertambah riuh.

Orang itu masih diam, tidak memberi jawaban apapun. Hingga Haruto yang sudah kepalang gemas, memutar tubuhnya. Pandangan mereka bertubrukan, ah, nampaknya Haruto baru menyadari bahwa orang dihadapannya ini bukan orang yang ia cari. Bahkan bukannya perempuan, melainkan seorang lelaki manis dengan bedak tebal di wajahnya dan hiasan hitam di sekitar mata.

Namun, walaupun ia menyadarinya, pelukan yang ia berikan tidak ia lepas, bahkan kini lebih erat.

“Lo, kenapa diem aja waktu gue peluk?”, Haruto memasang raut wajah pura-pura bingung.

“Gue...kaget.”

Mendengar suara orang itu yang terdengar imut di indra pendengarnya, membuat Haruto tersenyum kecil. Sepertinya, ia mengenal orang yang berada dalam dekapannya itu.

“Lo, Kim Junkyu kan? Yang pernah gue gotong ke UKS tahun lalu gara-gara kena bola basket?”

“Lo inget gue?”

“Gimana gue gak inget, lo kayaknya tiap hari ngeliatin gue mulu.”

Perkataan blak-blakan yang keluar dari mulut Haruto itu otomatis membuat wajah Junkyu, lelaki manis yang berada dalam dekapannya merona. Ah, bahkan sekarang wajahnya telah total memerah akibat malu.

Iya, pertemuan keduanya memang terjadi tahun lalu. Dan setelah kejadian “terkena bola basket” itu, mereka tak pernah bertegur sapa lagi. Namun, jujur saja, Junkyu mulai memperhatikan penolongnya sejak saat itu. Tentu saja, secara sembunyi-sembunyi. Karena, yah, Haruto itu siswa populer, yang bahkan selalu dikelilingi temannya baik laki-laki atau perempuan.

Dan kenyataan bahwa Haruto mengetahui kegiatan sembunyi-sembunyinya itu, membuat Junkyu sangat malu. Bisa-bisanya ia tertangkap basah, padahal ia pikir sudah bersembunyi dengan rapi.

Haruto yang menyadari jika orang yang memperhatikannya selama ini adalah Junkyu, dilihat dari lelaki itu yang tak mengelak bahkan sekarang menunduk malu, membuat ia terkekeh geli.

Ah, lelaki yang masih dalam pelukannya itu sangat lucu dan menggemaskan. Melebihi Abin, calon pacarnya. Bahkan sekarang ia telah sepenuhnya lupa dengan perempuan itu.

Satu tangannya ia gunakan menangkup wajah si manis, hingga kini keduanya saling bertatapan langsung. Manik jernih milih Junkyu seperti memiliki pesona tersendiri, membuat Haruto tak henti-hentinya tersenyum. Juga membuatnya jatuh hati, dalam sekejap.

Berlatarkan riuh ramai pesta halloween yang berlangsung, keduanya tenggelam dalam pesona masing-masing. Hingga tanpa sadar keduanya menipiskan jarak, sampai bibir Junkyu yang mencapai bibir Haruto terlebih dahulu.

Kecupan singkat itu mengagetkan keduanya, membuat wajah si manis semakin memerah. Namun sebelum ia menyembunyikan wajahnya, Haruto lebih dulu menempelkan bibir keduanya kembali. Mencecap manis strawberry lipbalm milik lelaki manis dalam dekapannya, begitu manis hingga ia tak ingin melepasnya.

“Woi, Haruto!”

Pekikan lumayan keras itu masuk dalam indra pendengar keduanya, menarik kesadaran mereka ke permukaan. Si manis lebih dulu memalingkan wajah, mencoba melepaskan tangan Haruto yang masih melingkar di pinggangnya. Namun nihil, Haruto makin mengeratkan pelukannya.

“Nanti temuin gue di depan perpus, lo pulang bareng gue.”

Sebelum melepas pelukannya, Haruto menyempatkan mengecup bibir Junkyu kembali, membuat manik si manis membola kaget. Diakhiri tepukan di puncak kepalanya, Haruto pergi menyusul temannya yang kini memasang wajah bingung melihat keduanya, sesekali mengedipkan satu matanya, memberi senyum lebar pada Junkyu.

Junkyu, yang nampaknya kesadarannya baru terkumpul setengah setelah sedari tadi dikagetkan oleh tingkah laku Haruto, yang selama satu tahun lebih ini menjadi orang yang ia sukai, berulang kali memukul kepalanya gemas,

“Sial, kenapa dia cium gue waktu muka gue cemong gini?”

Palette


“Kyu, bangun yuk, udah sampai nih.”

Salah satu tangannya ia bawa mengusap surai lembut milik si manis perlahan, mencoba membangunkan kekasihnya yang telah terlelap beberapa menit yang lalu sebelum keduanya mencapai tempat tujuan.

Berkat tepukan kecil di pucuk kepalanya, si manis melenguh, mengerjapkan kedua maniknya lucu, mencoba menyesuaikan dengan sinar yang mengenai wajahnya.

“Wahhh!!”

Pekikan senang keluar dari bibir mungilnya, begitu melihat pemandangan hijau di luar sana yang selama ini sangat ia idam-idamkan. Haruto yang berada di sebelahnya tersenyum kecil, kemudian membantu si manis melepaskan seatbelt dan keduanya pun keluar bersamaan.

“Suka gak tempatnya?”

Junkyu mengangguk semangat, “Suka, suka banget ruto!”

Haruto mengulurkan sebelah tangannya untuk Junkyu genggam, yang disambut si manis dengan suka cita. Keduanya pun berjalan beriringan menuju bagian tempat yang paling cocok untuk menonton pertunjukan alam beberapa jam lagi.

Ya, keduanya kini berada di puncak bukit, dikelilingi pohon-pohon kehijauan yang memanjakan mata, pun udara yang sejuk untuk menenangkan pikiran. Sungguh memenuhi kriteria untuk menjadi tempat healing favorit Junkyu.

Haruto menggelar kain bermotif kotak-kotak di atas rerumputan kecil untuk tempat duduk keduanya, lalu mengeluarkan panganan manis kesukaan Junkyu untuk menemani waktu luang mereka.

Sembari mengambil roti manis yang diserahkan kekasihnya, Junkyu mulai bersuara, “Nemu tempat ini dimana?”

“Dulu papa pernah ajak kesini, terus karena bagus jadi aku suka. Kalo kamu suka juga, aku bakal sering-sering ajak kesini.”

Junkyu mengangguk riang mendengar ajakan itu.

Beberapa menit berlalu, keduanya masih betah menatap ke arah depan sana, memandangi langit bak kanvas putih raksasa yang samar-samar berhiasi warna jingga. Junkyu membawa tubuhnya menghadap Haruto, rasa penasarannya sudah tak bisa terbendung lagi,

“Tadi katanya mau ada yang dibicarain, apa?”

Haruto yang ditanya begitu, ikut memfokuskan dirinya pada si manis yang kini memandanginya lekat,

“Kamu udah sembuh kan?”

Sedikit terkejut, namun Junkyu sudah menyangka akan mendapat pertanyaan ini, “Iya udah, dari beberapa hari yang lalu.”

“Kenapa ngehindarin aku? Jangan ngelak, aku tau kamu pasti lagi kepikiran sesuatu, kan?”

Junkyu menghela nafas berat, memutuskan untuk berkata jujur saja kali ini, “Aku takut kamu ninggalin aku kalau tau aku udah sembuh. Aku takut kamu nemu orang yang lebih dari aku, aku gak rela.”

Haruto mengernyit heran mendengar jawaban itu, ah, ternyata ini bersumber dari ia yang tidak memberi penjelasan pada Junkyu secara gamblang mengenai perasaannya.

“Sayang denger ya,” Haruto membawa kedua tangan mungil Junkyu untuk ia genggam, “I love you so much and i mean it, aku bakal selalu ada di samping kamu, entah kamu belum sembuh atau sebaliknya, aku mau jadi orang yang bisa jaga dan lindungin kamu, yang bisa jadi tempat buat kamu bersandar, yang bisa ngertiin kamu.”

Kedua manik jernihnya nampak berkaca-kaca, membuat Haruto segera menghapus begitu satu bulir bening jatuh membasahi pipi tembam si manis.

“Jangan nangis lagi, aku janji buat selalu kasih kamu kebahagiaan setelah ini, kamu percaya kan sama aku?”

Junkyu percaya, sangat mempercayai lelaki di hadapannya ini, jika ingin jujur, perasaan cintanya yang sangat besar itulah yang membuat Junkyu takut kehilangan, begitu juga dengan Haruto.

Junkyu mengangguk mantap, kemudian melingkarkan kedua tangannya di sekeliling leher Haruto, seraya menarik kekasihnya itu ke dalam pelukan hangat. Kini ia menjadi jauh lebih tenang setelah mendengar pengakuan dari kekasihnya tadi. Seakan sebuah batu besar terangkat begitu saja dari rongga hatinya.

Haruto membalas dengan tepukan lembut di punggung si manis, mengelus surai lembutnya bergantian.

“Kyu, kamu tau, kamu itu punya banyak warna dalam diri kamu, jadi kamu harus percaya diri. You're beautiful just the way you are. Hari-hari yang kita jalani selanjutnya itu seperti kanvas putih, aku yakin kamu bisa buat kanvas putih itu jadi penuh warna. Dan disini, aku mau jadi sebuah palet yang akan bantu kamu warnain kanvas itu.”

“Kamu masih inget cerita ku ya?”

Haruto mengangguk kecil, “Kamu tau, anak kecil yang kamu ceritain itu sebenernya aku.”

Kedua manik si manis membola, tak percaya dengan apa yang dikatakan lelaki di hadapannya itu.

“Kamu dulu pernah ikut les melukis. Bareng anak kecil cowok, itu aku. Kamu bilang, palet kayu yang aku bawa bagus, kamu mau. Tapi aku cuma punya satu, jadi kamu nangis. Akhirnya aku traktir kamu es krim biar gak nangis lagi.”

Pipi chubby itu merona, malu mengingat kejadian masa kecilnya. Membuat ia merunduk, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Haruto yang melihatnya terkekeh pelan, pun menarik kedua telapak tangan yang menutupi wajah cantik kekasihnya itu.

“Ciee pipinya pink, manis banget sih, pacarku.”

“Diemmmm ih!”

Lagi-lagi pipinya merona akibat godaan yang keluar dari bibir Haruto. Membuat Haruto kembali mendapat ide untuk menjaili kekasihnya itu.

“Sayang, aku mau buktiin kalo aku bisa jadi palet nih sekarang.”

Junkyu yang penasaran, memiringkan sedikit kepalanya, mengajukan pertanyaan, “Emang gimana caranya?”

Menyadari tatapan Haruto yang semakin dalam menatap fokus pada maniknya membuat si manis salah tingkah, pun saat ia menyadari kedua pipinya telah ditangkup oleh tangan besar milik kekasihnya itu, memperpendek jarak diantara mereka,

“Gini caranya..”

Haruto mengecup puncak kepala Junkyu perlahan, diikuti kecupan lembut di dahinya, pucuk hidung mungilnya, kedua pipi chubbynya yang kini semakin memerah, dan diakhiri dengan kecupan lembut di bibir pink manis milik Junkyu.

Rasa sayang dan cintanya tersalurkan dalam kecupan itu, perlahan, lembut, membuat si manis nyaman memejamkan matanya.

Berlatarkan kanvas raksasa diatas sana yang kini telah hampir penuh oleh warna jingga pekat, kehangatan yang tersampaikan pun memenuhi hati keduanya. Menjadi memori indah sebagai awal mula jalinan antara dua insan yang telah dimabuk asmara.

“Lihat, pipi kamu udah aku kasih warna merah. Sekarang, mau lanjut gak?” Jari Haruto mengelus leher jenjang si manis perlahan, “Aku bisa kasih warna disini juga.”

Pertanyaan itu dibalas pukulan kecil bertubi-tubi dari si manis.

“RUTO BISA DIEM AJA GAKK?!”

—fin.

Palette


“Gue tiduran disini aja, ya?”

Pertanyaan tadi hanya dijawab dengan anggukan oleh si manis, yang kini menuju kamar mandi dalam kamarnya itu guna membersihkan dirinya. Junkyu ini memang punya kebiasaan mandi yang beda dengan orang di luar sana, jelas saja badannya wangi bak toko parfum berjalan.

Kembali pada lelaki yang sedang rebahan santai di kasur empuk milik si manis. Bisa dibilang kalau apa yang terjadi padanya itu sebuah keajaiban, yang walaupun telah membuat panik orang-orang terdekatnya, namun Haruto mampu sembuh lebih cepat dari yang diperkirakan. Kini hanya bagian kanan dahinya yang masih berhias perban, mungkin menunggu beberapa hari lagi hingga luka itu betul-betul mengering.

Hampir 30 menit bergelung di bawah selimut Junkyu yang hangat, terdengar bunyi pintu kamar mandi yang terbuka pelan. Menampilkan sosok manis yang kini berbalut pakaian santai, kaus hitam dilengkapi celana tidur dengan gambar koala berwarna abu.

Padahal masih siang, tapi penampilannya macam mau pergi tidur saja, batin Haruto.

Junkyu mengambil posisi terlentang di sebelah Haruto yang sedang menatapnya diam. Lama-lama risih juga, sehingga Junkyu mencoba memulai percakapan antara keduanya.

“Lo, gaada yang mau lo jelasin ke gue?”

Haruto yang merasa ini waktu yang tepat mulai menegakkan tubuhnya, memilih duduk bersila namun pandangannya masih mengarah pada si manis.

“Gue pergi ke Jepang, disuruh mama, ada masalah keluarga.” Menghela nafasnya pelan, Haruto melanjutkan, “Mungkin Ben gapernah cerita ini ke lo, tapi sebenernya kita bersaudara bertiga, kita punya adek cewek. Tapi, dia udah gaada, dibawa pergi salah satu kerabat jauh waktu masih sekitar satu tahunan.”

Walaupun mengingat masa lalunya itu sangat berat bagi Haruto, namun ia telah memantapkan hati untuk membuat pemuda Kim itu mengerti.

“Ben jadi pribadi yang protektif, bahkan sampai berlebihan, lo juga pasti ngerasain itu. Semua itu karena lingkungan keluarga besar gue yang gak sehat. Waktu gue pulang beberapa minggu lalu, sepupu gue jadi korban, lagi. Gue takut kyu, gue takut gue sama kayak Ben juga, gue takut kehilangan orang-orang yang gue sayang.”

“Gue sayang sama lo, itu yang gue pikirin waktu balik kesini. Tapi kabar kalau lo yang udah jadian sama Sunghoon bikin fokus gue buyar, dan akhirnya kecelakaan itu terjadi gitu aja. Gue minta maaf karena udah bikin lo khawatir, tapi—”

Belum selesai ia menjelaskan, Junkyu langsung menerjangnya dengan sebuah pelukan erat. Samar-sama ia dengar si manis yang terisak lumayan keras, begitu juga gumaman si manis yang memintanya agar jangan pergi lagi. Hal itu tentu membuat hatinya menghangat, terlebih diucapkan oleh orang yang ia sukai.

“Hiks, gue takut, hiks, lo beneran pergi, hiks, gue takut..”

Haruto semakin mengeratkan pelukannya, mengelus punggung Junkyu dengan lembut, bergantian dengan mengelus belakang kepala si manis dengan perlahan. Membuat Junkyu lebih tenang daripada sebelumnya.

Kini si manis mendongakkan sedikit kepalanya, menatap wajah Haruto yang juga menunduk menunggu ia berbicara, “Ruto?”

“Hm?”

“Janji gak bakal ninggalin gue lagi?”

Bukannya menjawab langsung, Haruto membawa jari kelingkingnya ke hadapan si manis, membuat lelaki dalam pelukannya itu tersenyum kecil, dan ikut mengangkat jari kelingkingnya tanda mereka yang kini terikat janji untuk tetap berada di sisi masing-masing.

“Kyu, soal yang di chat itu gue serius..”

Sebenarnya Junkyu sudah mengerti kemana arah pembicaraan selanjutnya, namun ia memilih untuk pura-pura tidak peka, “Yang mana?”

“Gue suka sama lo, itu tulus. Di luar dari janji gue buat bantu lo sembuh, gue beneran suka, ah nggak, gue udah cinta sama lo, kyu.”

Junkyu rasa, damage kalau mendengar langsung pengakuan dari Haruto ini memang tak ada duanya. Ia jadi tak menyesal karena telah berpura-pura tadi.

Belum sempat si manis menjawab pernyataannya, Haruto melanjutkan lagi, “Gue tau dari Jihoon kalau lo sempet sembuh waktu gue balik Jepang, tapi sekarang malah balik kayak sebelumnya lagi ya? Gaapa, gue bakal bantu lo sembuh, gue pasti buktiin janji gue ini.”

Junkyu mengangguk senang, ia juga menunggu kesempatan itu. Bersama Haruto sampai ia kembali seperti sedia kala, bahkan ia ingin meminta agar dapat seterusnya bersama Haruto.

“Gue mau buat pengakuan deh, to.”

“Hah apaan? Lo juga suka sama gue? Itumah gue udah tau sih.”

“Idih pd banget.”

“Tapi bener?”

Junkyu merengut kesal, “Iya ish, diem dulu ini mau ngomong.”

Haruto terkekeh melihat lelaki yang ia sukai itu nampak marah namun menggemaskan. Kemudian ia memberi kode agar si manis melanjutkan pengakuannya.

“Waktu itu sebenernya gue udah ngerasa sembuh sejak kita balik dari tempat expo..”

”...”

“Gue udah bisa lihat warna lain walaupun gue gak bareng lo, ya memang gak banyak, tapi itu kabar baik gak sih?”

”...”

“Heh kok diem mulu, lo dengerin gue gak?”

“Kyu, abis expo berarti habis gue cium lo kan? Mau ciuman lagi gak?”

Palette


Bak mengulang kejadian yang lalu, Junkyu kini berada di salah satu kamar rawat di sebuah rumah sakit. Setelah tadi dijemput oleh Jihoon setelah memberi kabar yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan itu, ia bahkan tak mengeluarkan satu kata pun.

Barusan Jihoon ijin untuk pulang terlebih dahulu karena ada keperluan lain, meninggalkan Junkyu yang masih terpaku menghadap lelaki yang sedang terbaring dengan tenang di atas kasur rumah sakit.

“Kenapa jadi gini, ruto?”

Tentu tak ada jawaban. Membuat Junkyu berkali-kali menghembuskan nafasnya berat. Beberapa waktu tadi, seorang dokter yang menangani lelaki itu mengatakan bahwa terjadi beberapa kali benturan pada kepalanya, namun tidak berdampak parah sehingga kemungkinan besar ia akan sadar sebentar lagi. Ini sudah hampir setengah hari, tetapi lelaki itu masih tak menampakkan tanda-tanda akan membaik.

Memorinya yang lalu, yang telah susah payah ia lupakan menyeruak seketika. Ia takut, amat sangat takut hal itu terulang kembali. Dimana seorang yang ia sayangi meninggalkannya, untuk kesekian kalinya.

Ya, kini Junkyu mencoba jujur pada dirinya sendiri. Mengakui bahwa ia telah menyayangi Haruto lebih dari teman. Menyadari bahwa keputusan yang ia ambil sebelumnya itu salah, ia bukannya berdamai dengan masa lalu tapi malah menciptakan masalah baru.

Walaupun ia masih tak tau apa yang terjadi sehingga Haruto yang kabarnya di Jepang itu telah berada di hadapannya, pun dengan ia yang masih belum memberi kabar apapun pada Sunghoon, kekasihnya.

Menangis tak tau waktu membuat ia kelelahan, karenanya ia memilih untuk mengistirahatkan diri pada salah satu sofa di pojok ruang rawat itu. Ah, badannya mungkin bisa tumbang kapan saja jika ia paksakan berpikir keras.

Ia hanya ingin, saat ia terbangun besok dari tidurnya, yang ia dapatkan adalah kabar baik. Haruto yang menyapanya dengan senyum lebar, menggenggam tangannya lembut sembari menjelaskan apa yang laki-laki itu lakukan selama menghilang dari hadapannya. Ia berjanji akan memaafkan apapun itu alasannya.

Karena ia juga ingin mengucapkan maaf, sebab sempat berpikiran bahwa ia sudah tak memerlukan Haruto lagi.

“Ruto ayo bangun, lo harus tepatin janji lo bantu gue buat sembuh.”

Palette


Ia mengerjapkan matanya pelan. Hal yang pertama kali menyapa indranya adalah hamparan ilalang yang mungkin setinggi pinggang. Hening, bahkan tak ada seorang pun yang ada disana. Ia seorang diri.

Berusaha menembus hamparan ilalang itu, ia berjalan tak tentu arah. Kepalanya menengok ke kiri kanan, berharap dapat bertemu dengan satu orang saja, ia tak suka suasana sepi yang asing ini.

Dan tanpa terasa ia telah berjalan cukup jauh, kini dihadapannya mengalir anak sungai kecil dengan aliran air yang jernih. Bahkan pantulan wajah manisnya terlihat jelas disana.

Mencoba mendekat, pandangannya menangkap sosok anak laki-laki yang tak asing. Dan begitu ia memilih menghampirinya, ia terkejut, anak itu adalah anak laki-laki yang sama yang pernah ia temui sebelumnya.

“Hai, kita bertemu lagi.”

Anak kecil itu menoleh, kemudian tersenyum kecil.

“Ya, dan kakak masih sama cantiknya seperti terakhir kali kita bertemu.”

Ah, anak laki-laki itu sepertinya bermulut manis.

“Apa yang kau lakukan disini?”

“Menunggumu.”

Jawaban itu membuat Junkyu mengernyit, “Menungguku? Kenapa?”

Alih-alih menjawab, anak lelaki itu melempar pertanyaan lain, “Apakah penglihatanmu sudah membaik? Kau sudah bisa melihat warna lain?”

Menghela nafas berat, Junkyu menjawab tak semangat, “Belum. Bahkan kini orang yang bisa membantuku sembuh pergi meninggalkanku.”

“Kau sedih?”

“Tentu, siapa yang tak sedih jika ditinggalkan?”

“Kau menyukainya?”

Pertanyaan yang mengejutkan, membuat Junkyu tak bisa berkata apa-apa.

Sembari menatap aliran air di hadapannya, anak laki-laki itu bergumam, “Kau tau, kau harus segera berdamai dengan masa lalu. Dengan begitu, kau bisa kembali seperti semula.”

“Tapi dulu kau mengatakan bahwa ada orang yang bisa membantuku, dan aku sudah menemuinya.”

“Kau tau kan bahwa kita tak bisa berharap banyak pada manusia? Lelaki itu hadir untuk membantumu sembuh, begitulah yang tertanam dalam pikiranmu sehingga saat bersamanya kau bisa melihat warna lain. Tapi selanjutnya, adalah tanggung jawabmu untuk dapat kembali seperti semula. Baik ada atau tidak adanya ia.”

Penuturan anak laki-laki itu membuat ia tertegun. Bagaimana bisa anak itu tau?

“—Kau tentu tak lupa, ia termasuk bagian dari masa lalumu. Jika kau bisa sepenuhnya berdamai dengan masa lalu itu, maka tanpanya pun kau bisa melihat warna lain.”

Kini Junkyu sadar, apa yang sebenarnya ia perlukan. Bukanlah salah Haruto yang kini pergi itu yang menjadi hambatan ia untuk sembuh, melainkan ia yang masih terjebak dalam sakit di masa lalu itulah sumber masalahnya.

Junkyu mencoba menarik nafas menenangkan diri, menginstruksikan dirinya untuk pelan-pelan berdamai dengan masa lalunya.

Ah, ini tak sesulit yang ia bayangkan.

Maniknya yang sempat terpejam kini terbuka, dan baru ia sadari bahwa anak laki-laki itu telah berada dekat di sebelah kirinya.

“Kak, aku mau kasih kenang-kenangan sebelum kakak kembali.”

Meskipun bingung maksud perkataannya itu, Junkyu tetap menjawab antusias, “Oh ya? Apa?”

“Janji jangan marah?”

Aneh, tapi tetap ia iyakan, “Iya janji. Sekarang apa kenang-kenangannya?”

“Kakak tutup mata dulu.”

Tanpa penolakan, Junkyu segera menutup matanya.

Beberapa menit, tak ada perubahan. Namun saat ia tak sabaran dan ingin membuka matanya, sepasang bibir mungil menempel pada bibir tipisnya. Lembut, manis, bak permen kapas.

Tak ada pergerakan, hanya menempel begitu saja. Membuat Junkyu penasaran, dan memilih untuk melihat seorang yang kini mengecup bibirnya itu.

Bukan, bukan anak kecil tadi. Namun, kini yang tertangkap pandangannya adalah Haruto, lelaki yang meninggalkannya tanpa kabar setelah sebelumnya berjanji untuk membantunya sembuh.

Tak ada rasa marah, dendam, ataupun benci. Junkyu sepertinya benar-benar memilih untuk berdamai, sehingga kini ia hanya diam menikmati kecupan yang ia dapatkan. Di tengah kegiatan keduanya, lelaki dihadapannya itu berucap lembut,

“Lo pasti sembuh, kyu.”

Dan semuanya gelap.