sunfloOra07

—26;


Ballroom Hotel yang disewa Jeno dan Jaemin kini hanya disinari oleh lampu remang-remang, yaitu lampu pesta karena saat ini sudah waktunya untuk party sesudah makan malam dengan tenang beberapa jam lalu.

Jam 9 malam, Mark Lee sudah menghabiskan 3 botol vodka untuk dirinya sendiri. Toleransi alkohol Mark terbilang bagus, karena ia kuat menghabiskan 4 botol hingga detik ini. Dia tidak pingsan, namun sudah excitement.

“Jen, Jaem, emang salah gue ya kalo gue nurutin apa kata Papa sama Mama gue sebentar aja sebelum gue berani ngelawan demi Haechan?”

“Kenapa Haechan putusin gue, Ren? Gue cinta banget sama dia, harusnya dia tau itu kan? Dia harusnya bisa lihat itu dari seluruh love language gue ke dia, tapi kenapa dia nggak mau nunggu sebentar aja?”

“Kenapa Le, Sung, kenapa Haechan nyerah dan biarin gue jatuh cinta sendirian sampe sekarang sedangkan dia nggak munculin batang hidungnya sama sekali sejak 6 tahun lalu. Kenapa? Gue salah ya?”

Pengaduan itu terus terlontar berulang kali dari bibir tipis Mark, meracau dengan nada kesedihan, keputusasaan. Sendu sekali, setiap kalimat yang keluar dari mulutnya dapat menyayat hati siapapun yang mendengarnya.

“Apa artinya Haechan udah nggak sayang sama gue lagi mangkanya dia nyerah dan milih akhirin hubungan kita?”

“Tapi dia dulu bilang kalau bakalan berjuang bareng lawan Papa sama Mama gue, but in the end, dia pergi ninggalin gue. Siapa yang salah disini? Gue? Atau Papa Mama? Atau Haechan?”

Air mata Mark mulai menetes, dadanya terasa sesak karena pengaruh alkohol yang terus diteguknya dan juga isak tangisnya.

Renjun mencekal tangan Mark yang sedang meneguk vodka dari botol yang utuh. “Stop, Mark. Lo udah mabok ya bangsat, jangan minum lagi.”

Mark menampik tangan Renjun dengan keras sampai Renjun terhuyung, untung segera ditangkap oleh Jaemin dari belakang.

“Mark!” Renjun membentaknya dengan keras.

Yang dipanggil tersentak kaget sampai botolnya jatuh ke lantai dan pecah.

Prankk

Untung pecahan botol itu tidak mengenai teman-temannya, namun mengenai kaki Mark yang memang tak memakai sepatu.

“Mark, kaki lo berdarah goblokkkk.” Teriak Jeno. “Siapapun ambilin kotak P3K di tas gue!”

Jaemin lari dan mengambil kotak P3Knya. Jeno memang selalu membawa P3K kemanapun ia pergi, maklum lah dia seorang Dokter.

Tak berselang lama, Jaemin menyerahkan kotak P3K itu kepada Jeno, dan Jeno lekas mengobatinya. Sedangkan Chenle dan Jisung membereskan pecahan botol itu dan isi vodka yang tercecer.

Renjun mendekati Mark, menatapnya dengan ekspresi merasa bersalah. Ia menepuk pundak Mark. “Bodoh, sakit nggak tuh kaki lo?”

Mark terkekeh dan menggeleng, kakinya mati rasa. Entah karena ia yang terlalu mabuk atau emang karena ia sudah mati rasa akibat kesedihan dan keputusasaannya. Nyatanya, hatinya pun telah mati rasa sejak 6 tahun lalu. Jantungnya hanya berdebar ketika memikirkan Haechan, membayangkan parasnya, tawanya, semua tingkah lucu Haechan bisa membuatnya berdebar, bahkan namanya saja membuat ia berdebar.

Sorry, gue buat lo kaget ya?” Nada Renjun melembut, kemudian memeluk Mark dan mengusap punggungnya.

“Haechan, kamu kemana aja sayang? Aku kangen, kamu jangan pergi lagi ya? Katamu mau berjuang bersama demi kita, katamu mau punya dua anak lucu, satu cewek dan satu cowok. Jangan kabur lagi ya? Disini aja, kita bangun keluarga harmonis dengan anak-anak. Mau ya, sayang?” Ucapnya memeluk Renjun erat.

Jeno dan Jaemin diam membisu mendengar itu. Mark sudah ditahap frustasi dan kesedihan yang mendalam, biasanya Mark tidak pernah melihat salah satu dari mereka sebagai Haechan dalam keadaan mabuk, namun malam ini Mark memeluk erat Renjun sebagai Haechan.

“Chan, kamu kok diem aja? Kamu nangis ya?” Tanya Mark.

Renjun memang menangis saat ini dipelukan Mark, ia merasa sedih melihat sahabatnya sekacau ini. Sampai dirinya tak bisa berkutik hanya untuk sekedar menyadarkan Mark bahwa dirinya bukan Haechan.

Akhirnya Renjun memutuskan untuk membuat Mark bahagia malam ini saja, setidaknya agar sahabatnya itu tidak terus menerus merasa kacau.

Renjun mengusap kepala Mark, “Iya, aku nggak pergi kemana-mana kok. Maaf ya kalau aku pergi gitu aja. Mark, jangan sedih ya? Aku mohon, bahagialah meski ada aku atau enggak nantinya. Kamu buat aku dan temen-temen kamu sedih Mark, jangan begini. Kalau kamu sedih, aku nggak mau ketemu kamu lagi.”

Reflek, Mark mempererat pelukannya, ia takut Haechan nya pergi lagi. “Jangannn, jangan pergi Haechan. Aku nggak sedih kok asalkan kamu tetep bertahan sama aku. Disini aja ya sayang? Jangan kemana-mana.”

“Iya, Haechan disini, Mark.” Ucap Renjun menggigit bibirnya untuk menahan tangisnya yang ingin keluar makin keras.

Kemudian terdengar suara deru nafas teratur di telinga Renjun.

“Udah capek dia Ren, kita pulang aja deh ya? Mark butuh istirahat.” Ucap Jisung yang baru saja datang bersama Chenle dan sempat mendengarkan racauan Mark di kalimat terakhir sebelum pingsan.

“Bantuin gue dong, Mark itu berat anjir.” Ucap Renjun yang berusaha membuat Mark berdiri dari pelukannya dibantu Jeno dan Jaemin.

Benar, sebenarnya apa alasan Haechan meninggalkannya? Sampai sekarang Mark tidak tahu apa alasan Haechan memutuskan hubungannya disaat Mark sudah ingin memberanikan diri menentang Papa dan Mama nya.

Marvin membuka almarinya untuk berganti pakaian, karena ia sudah janji akan mengikuti rapat angkatan 22. Hevin sudah tidur, jadi ia akan tenang meninggalkan sang anak di apart bersama Bi Mina.

Ia mengambil kaos putih dan celana jeans hitam, dan tak lupa memakai topi hitam. Hanya se simpel itu penampilan Marvin, karena ini sudah di luar jam KBM Neo Dream. Ia bercermin sekali lagi untuk melihat penampilannya, kemudian menyemprotkan parfum secukupnya.

Tok tok tok

Marvin membuka pintu kamarnya dan muncullah Bi Mina.

“Siang Mas.”

“Siang Bi, kenapa Bi?”

Bi Mina menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Anu Mas, anak saya mau lahiran. Jadi saya mau izin pamit pulang, apa boleh ya Mas?”

Marvin jadi bingung, ia harus ke kampus sekarang. Tapi Bi Mina malah mau pulang. Mau dititipkan ke Sandra pun, kakak nya itu sedang bekerja. Daddy dan Papa nya juga ada di kantor masing-masing. Ayah dan Bunda Hazen ada di Belanda untuk mengurus perusahaan yang ada disana sekaligus mendampingi Devon yang mau sidang skripsi.

“Ya udah Bi, bibi pulang aja nggakpapa. Semoga anaknya Bi Mina lancar melahirkannya dan cucu Bi Mina lahir dengan selamat. Amiin.”

Bi Mina tersenyum lalu menundukkan kepalanya. “Makasih banyak Mas, saya izin selama 5 hari untuk tidak kesini, boleh Mas?”

Marvin tidak bisa untuk menolak, karena bagaimanapun saat ini momen bahagianya Bi Mina sebagai seorang nenek. Maka ia hanya bisa mengangguk meng-iyakan permintaan Bi Mina. “Iya Bi, boleh. Tenang aja, gajinya nggak saya potong kok.”

Sekali lagi Bi Mina menundukkan kepalanya. “Terimakasih banyak Mas, kalau gitu saya pamit dulu Mas.”

“Eh sebentar Bi, tunggu dulu.” Ucap Marvin lalu kembali masuk ke dalam kamarnya, membuka almari rak bawah nya, kemudian mengambil amplop coklat yang lumayan tebal dan memasukkan beberapa lembar ratusan ribu lagi ke dalamnya. Lalu ia kembali menghampiri Bi Mina.

“Ini gajinya buat bulan ini, sama sedikit pesangon dari saya.” Ucapnya mengulurkan amplop coklat itu.

Bi Mina menerimanya. “Ya ampun Mas, kenapa saya dikasih pesangon? Ini bukan hari natal, Mas.”

Marvin terkekeh. “Nggakpapa, Bi Mina udah bekerja keras buat bantu saya dan Hazen jagain Hevin. Ini nggak seberapa sama capeknya Bi Mina saya repotin tiap hari kalau saya sama Hazen nggak bisa jagain Hevin.”

“Itu sudah pekerjaan saya atuh Mas, membantu kebutuhan Mas Marvin dan Mas Hazen termasuk adek Hevin.”

“Memang, tapi saya mau apresiasi Bi Mina. Anggap aja, ini sebagai pesangon ucapan selamat saya untuk kelahiran cucu Bi Mina yang kedua.”

Bi Mina tersenyum lebar. “Terimakasih banyak Mas Marvin, semoga Tuhan selalu memberikan kebahagiaan untuk Mas Marvin, Mas Hazen dan juga adek Hevin.”

“Amiin, makasih untuk doanya Bi.”

Lalu Bi Mina pamit undur diri dari hadapan Marvin, pulang menuju kampungnya di Banyuwangi.

Marvin menghela nafasnya, sekarang harus bagaimana? Apakah ia harus membawa Hevin ke kampus?

“Gue bawa Hevin aja kali ya? Lagian Neo Dream kan fleksibel, nggak ada larangan buat bawa anak ke kampus. Dan juga, ini udah bukan jam KBM.” Monolog nya dan menutup pintu kamar, berjalan menuju kamar Hazen untuk membangunkan sang anak.


Marvin berangkat ke kampus memakai mobil, rencananya tadi ia ingin memakai motor Ninja merahnya saja, tetapi ia membawa Hevin saat ini, sehingga mau tak maupun ia harus membawa mobil. Hevin duduk di car seat yang ada di kursi belakang.

Anak itu langsung terbangun saat Marvin menoel pipi dan hidungnya tadi, kemudian menangis sebentar karena kesal tidurnya diganggu. Untung saja Marvin sudah terlatih selama 6 bulan ini untuk merawat Hevin dengan benar. Sehingga ia tak kesusahan mendiamkan bayi itu untuk berhenti menangis.

“Paaaa, Mamaaa naa?”

Marvin melirik sang putra dari kaca mobil yang ada di dalam mobil lantas tersenyum. “Mama kamu ada di kampus, ini kita lagi samperin Mama.”

“Pusss? Mama ii puss?”

“Heem, Mama ada di kampus buat belajar. Nanti Hevin kalau udah besar juga belajar di kampus kayak Mama sama Papa.” Ucapnya dan menyetir dengan tenang sembari menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari anaknya.

Dalam 30 menit, akhirnya Marvin sampai di kampus. Ia membuka pintu belakang dan menggendong sang anak memasuki area kampus. Marvin berjalan dari parkiran mobil, disapa oleh satpam dengan senyum ramah.

“Loh Mas Marvin, ini anaknya yang waktu Manajemen Festa itu ya?” Tanya sang satpam saat Marvin menyapa sang satpam.

“Iya Pak hehe, udah gede nih sekarang. Ayo sayang disapa dulu bapak nya.”

Hevin mengerjapkan matanya lalu memperhatikan sang satpam. “Alooooo hihihihikkk.” Sapanya sembari melambaikan tangan heboh.

Sang satpam tergelak tawa dan membalas lambaian tangan Hevin. “Halo anak manis, namanya siapa?”

“Namanya Hevin Pak.” Jawab Marvin mewakili sang anak karena Hevin belum bisa menyebut namanya sendiri.

“Oh Hevin, nama yang bagus.” Satpam itu tersenyum.

“Pak, saya pergi duluan ya Pak? Saya ada rapat angkatan soalnya.”

“Oh enggeh siap Mas, silahkan.”

“Bilang dada dulu sama Bapaknya.” Ucap Marvin memerintah sang anak yang ada di gendongannya.

“Umm, paiipaiiiii.” Hevin lagi lagi melambaikan tangannya dengan riang gembira yang dibalas Pak Satpam dengan ketawa dan anggukan.

Marvin melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 2, yang artinya rapat sudah harus dimulai. “Hazen kayaknya udah nggak di rooftop lagi deh.” Gumamnya lalu mengambil ponsel di saku celananya.

Dan benar saja, ada pesan spam dari kekasihnya itu bahkan ada telpon tak terjawab juga. Marvin menghela nafasnya, tadi ia lupa menyalakan suara di ponselnya alias ponsel Marvin dalam keadaan silent. Tanpa membuka pesan dari kekasihnya itu, ia bergegas menuju aula tertutup Neo Dream.

“Paaaa, Mama naaa?” Hevin agaknya sudah kesal tidak sabar ketemu sang Mama, ia merengek menepuki pipi Marvin.

“Iya sebentar ya Hevin, ini lagi jalan nyamperin Mama kok.”

“Pattt Paaa, mau Mamaaaa.” Rengek sang anak mendusal di ceruk leher Marvin.

“Heem, sabar sedikit, hampir sampai ini.” Marvin berjalan sedikit terburu-buru menuju aula tertutup.

Banyak mahasiswa dan mahasiswi yang menatap Marvin, bahkan meskipun Marvin menggunakan topi dan masker, semua juga tahu itu Marvin. Apalagi dengan adanya Hevin di gendongannya, bayi itu sudah terkenal di Neo Dream. Berita tentang Marvin dan Hazen yang memiliki anak juga seluruh Neo Dream sudah tahu, sepertinya dosen hingga rektor pun tahu.

Saat sudah ada di depan pintu depan aula tertutup, Hevin meronta ingin turun dari gendongan Marvin. “Paaa runnn.” Ia memukuli dada Marvin.

“Iya iya, sebentar, Papa buka dulu pintunya baru kamu boleh turun. Jangan berisik ya? Mama lagi rapat di dalam.”

“Paaa runn, runnn.” Hevin tidak mau mendengarkan ucapan sang Papa dan terus memukuli dada Marvin.

Marvin pun menurunkan sang anak. “Sebentar, diem dulu. Papa buka pintunya.” Ia pun membuka pintu aula tertutup itu perlahan.

Keadaan di dalam aula itu ramai sekali, ada ribuan mahasiswa/i yang duduk lesehan, dan terlihat Hazen duduk paling depan menghadap ke arahnya, namun Hazen tidak sadar jika Marvin ada di ambang pintu. Karena kekasihnya itu sedang berbicara memberikan pengarahan kepada teman-teman angkatannya.

Sibuk memperhatikan Hazen yang serius mendiskusikan sesuatu dengan teman-temannya, Marvin jadi tidak sadar jika sang anak sudah tidak ada di ambang pintu bersama dirinya.

“Mamaaaaaaa Maaaaa Maaaaa.”

Putar dulu lagunyaaa pleaseee hehehe

https://www.youtube.com/watch?v=yWYDDvHBODc

Teriakan itulah yang akhirnya menyadarkan Marvin dan segera mengedarkan pandangannya mencari keberadaan sang anak yang lepas dari pengawasannya. “Hevin!!!” Panggil Marvin dan mengejar sang anak yang lari sedikit terseok-seok menghampiri Hazen.

Ribuan mata disana pun tertarik untuk melihat ke belakang karena teriakan sang bayi yang menggema di aula tertutup itu, karena Hevin terus memanggil Hazen sembari terkikik. Di tambah suara Marvin yang juga memanggil sang anak sembari mengejar.

“Mamaaaaaa Maaaaa.”

Mahasiswa/i pun otomatis minggir memberi jalan untuk Hevin ketika bayi itu melwati kerumunan begitu saja, lari tanpa rem.

“Astaga Hevin, jangan lari-larian, nanti jatuhhh.” Hazen yang akhirnya menyadari eksistensi sang anak pun segera berdiri dan berlari menuju sang anak, menangkap tubuh kecil itu yang berlari kencang hingga masuk ke dalam pelukannya.

Marvin berhenti di belakang Hevin yang sedang dipeluk oleh Hazen dan menghela nafas lega. Ia sungguh takut jika Hevin jatuh tadi karena berlari kencang namun jalannya masih terseok-seok.

Hazen melirik ke belakang, menemukan sang kekasih yang meringis ke arahnya. Hazen menghela nafas, tidak habis pikir apa yang dipikirkan oleh Marvin untuk membawa sang anak ke rapat umum seperti ini.

Masih dengan ribuan mahasiswa/i yang memperhatikan mereka bertiga, bahkan diam-diam banyak yang memotret dan merekam kejadian ini. Bagi mereka, kapan lagi mendapatkan momen langka seperti ini?

“Kenapa bawa Hevin kesini Kak?”

“Nggak ada yang jagain, Bi Mina pulang kampong, anaknya lahiran. Papa sama Daddy sibuk kerja, Sandra juga lagi kerja. Lo tau sendiri Ayah dan Bunda lo di Belanda.”

“Oh gitu, ini mau gimana? Masa diajak rapat sih?”

“Emang kenapa? Kan udah biasa juga kita ajak Hevin rapat.”

Hazen mengerlingkan matanya, “Itu mah sama anak-anak BEM, bukan rapat angkatan begini kali.”

“Apa bedanya? Sama-sama rapat. Udahlah Zen nggakpapa, Hevin kan selalu seneng liat banyak orang. Dia perlu adaptasi sama lingkungan yang ramai, buat bantu perkembangan dia dalam mengenal orang.”

“Hmm iya iya. Ya udah, ayo kesana. Gue tadi udah sampein beberapa, tapi masih perlu bantuan masukan dari lo.” Hazen menggendong Hevin dan berdiri, berjalan menuju tempatnya yang semula, diikuti Marvin.

Mahasiswa/i disana pun langsung pura-pura sibuk diskusi, berlagak tidak tau melihat apa-apa padahal mereka sudah gibah di grub chat masing-masing.

Hazen dan Marvin duduk di depan ribuan mahasiswa/i, Hevin duduk di tengah kedua orangtua nya. Hazen menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sedangkan Marvin pasang poker face seolah ini adalah hal biasa, bukan apa-apa.

“Ekhm, guys sorry ya kalau rapat kita nanti agak sedikit ada gangguan. Soalnya ada anak gue, gue nggak ngejamin dia bakalan diem aja, ada lah kalo ngerecokin jalannya rapat. Tapi gue usahain rapat kita selesai hari ini tanpa perlu mengulur waktu pulangnya meski ada beberapa gangguan dari anak gue nantinya.” Ucap Hazen.

“Nggakpapa Zen, santai aja. Lagian kita kan rapat santai kayak biasanya.” Kata mahasiswa 1.

“Bener, anak lo bisa jadi hiburan juga sih malahan, anak lo lucu banget tau.” Ucap mahasiswa 2.

Hazen tergelak tawa mendengar jawaban dari teman-temannya. “Thanks guys atas pengertiannya. Kita lanjut diskusinya ya?”

Akhirnya diskusi pun dilanjutkan, Hazen kembali berbicara memberikan pengarahan serta membalas setiap aspirasi dari teman-teman seangkatannya. Hevin yang merasa diabaikan oleh Hazen pun merangkak naik ke pangkuan sang Papa yang sedang memperhatikan penjelasan Hazen.

“Paaaa papa, papaaaa papapapaaaaa.” Hevin menarik-narik kaos Marvin meminta perhatian.

Ia menunduk untuk melihat sang anak yang sudah duduk di atas pahanya. “Kenapa? Bosen ya?”

“Mainnnn Paaa muuuu maiinnnn.”

Marvin membuka ransel mini yang ia bawa tadi lalu mengeluarkan beberapa mainan Hevin. “Main ini ya? Jangan gangguin Mamamu, dia lagi sibuk.”

Hevin diam saja dan lekas memainkan mainan favoritnya. Piano suara hewan. Bayi itu asal memencet seperti biasanya, dan saat ini keluarlah suara kucing. Hevin yang senang mendengar itu pun tergelak tawa dan menirukan suara kucing.

“Mong mong mong hihihihikk monggg monggg.” Tawa ceria nya mengundang banyak perhatian dari mahasiswa/i disana.

“Ssst Hevin jangan berisik ya? Masih ada rapat.” Peringat Marvin mengambil piano itu dari Hevin.

“Oooeeeekkkkk oeeeekkkkk hueeeeeee ueeee Mamaaaa maaaaa.”

Hevin menangis, Marvin kelimpungan dan membuat Hazen memijat pangkal hidungnya dan menghampiri si kecil. Lalu mendudukkan sang anak di pangkuannya. “Utututu kenapa nangis sih? Siapa yang nakal, hm?” Ucap Hazen sembari mengelap air mata Hevin dengan jemarinya.

“Oeeeekkk Papaaa hiks hiks hiks Papaaa hattt Maaaa hiks hiks.”

“Papa yang nakal? Biar Mama pukul ya Papanya, tapi Hevin harus berhenti nangis, oke?”

“Oeeeekkkk Maaaa, Papaaa hattt hiks hiks hiks.”

Marvin menepuk jidatnya mendengar aduan sang anak. Lantas Hazen mendekati Marvin kemudian memukul lengan Marvin tidak kencang.

Plakk

Marvin hanya pasrah dan tersenyum kecut lantas mengusap pipi sang anak yang basah karena air mata.

“Papa udah Mama pukul, jangan nangis lagi dong ya? Hevin anak baik, anak pinter masa nangisan? Malu dilihatin kakak-kakak nya tuh.” Ucap Hazen menunjuk ribuan mahasiswa/i untuk memberitahu Hevin.

“Papa minta maaf ya udah ambil mainan Hevin, nih Papa balikin deh.” Kata Marvin memberikan lagi mainan piano itu kepada sang anak.

“Hiks hiks hiks Papa Mama maaaaaa innnn hiks hiks.”

Marvin dan Hazen saling menatap, berbicara lewat tatapan mata, beginilah jika mata bisa berbicara.

“Gimana Kak? Rapat nya belum selesai tapi Hevin rewel banget.”

“Gue juga bingung Zen, gue ajak keluar aja ya? Lo rapat sendirian bisa kan?”

“Jangan anjir, nanti Hevin makin nangis tau. Lagian gue butuh aspirasi lo ini tentang proker nya.”

“Trus gimana dong? Masa kita ladenin Hevin main padahal masih rapat?”

“Kayaknya gue beri jeda istirahat aja deh rapatnya, ini prokernya tinggal dikit aja buat minta pendapat dari lo, kita bisa temenin Hevin main dulu.”

“Terserah lo aja, lo kan ketua angkatannya di angkatan ini.”

Para mahasiswa/i disana menahan teriak kegemasan dengan interaksi keluarga cemara di depan mereka. Tentu saja mereka syok mendengar panggilan Papa Mama untuk Marvin dan Hazen. Bukannya mereka geli, justru mereka semua gemas mendengarnya.

Hazen mendudukkan Hevin lagi di tengah setelah anak itu akhirnya diam dan sibuk memencet piano suara hewan itu.

“Moooo mooooo hihihihilkkkk mooooo.” Ucap Hevin saat suara sapi yang berbunyi.

Marvin dan Hazen terkekeh mendengarnya, berkali-kali keduanya mendengar ocehan Hevin pun tetap terasa menyenangkan di dengar meski ocehannya sama setiap hari.

“Iya bener, itu suaranya apa? Suara sa???” Tanya Marvin.

“Piiiii.” Jawab Hevin sembari tepuk tangan riang.

Hazen melihat teman-teman seangkatannya lalu menangkup tangannya bermaksud minta maaf. “Guys kayaknya istirahat dulu aja ya sebentar, 15 menitan. Hevin lagi rewel, mau temenin dia sebentar aja. Nggakpapa kan?”

“Nggakpapa Zen sumpah nggakpapa!!!!!” Teriak beberapa mahasiswi kompak.

Hazen tergelak tawa lalu mengacungkan dua jempolnya. “Kalian bisa pergi ke cafeteria kalo mau, daripada bosen duduk doang di aula sini.”

“Lihat kalian bertiga aja lebih enak sih Zen, kalian bertiga lucu, gue suka liatnya hehe.” Kata salah satu mahasiswi.

Marvin yang mendengar itupun tersenyum simpul, namun ia tetap bermain dengan Hevin tidak ikut nimbrung ke pembicaraan itu. Hazen ikut bergabung dengan Marvin dan Hevin yang sedang bermain piano dan buku-buku bergambar.

“Ini namanya buah Anggur.” Ucap Marvin menunjuk gambar buah Anggur.

“Gurrr?” Tanya Hevin.

“Iya, ang-gur. Anggur.” Ulang Hazen menjawab pertanyaan sang anak.

“Coba tebak yang ini sayang, buah apa?” Tunjuk Hazen ke gambar buah pisang.

“Nana, nanaaaa hihihikk nanaaaa.”

Marvin dan Hazen lagi-lagi tertawa, Hevin lebih suka menyebut nana alias banana daripada pisang.

“Iya udah banana, sekarang coba berhitung. Udah hafal sampai angka berapa?” Tanya Marvin.

“Sudah sampai 10 dong….” Ini Hazen yang menjawab sembari menggerakkan tangan Hevin menunjukkan 10 jarinya.

“Coba kita berhitung ya? Terusin setelah Papa oke?”

“Keeeeeee hihihihik.”

Marvin berdeham lalu memulai mengeja angka satu. “Sa?”

“Tuuuu.”

“Du???”

“Waaaaa.”

“Ti???”

“Gaaa.”

“Em???”

“Patttt.”

“Li???”

“Maaa.”

Mahasiswa/i disana dibuat terpukau, takjub. Ini benar-benar pemandangan yang indah. Sungguh, moment seperti ini perlu diabadikan. Mereka pun terlarut dalam drama keluarga yang tersaji di depan mata mereka.

“En???” Giliran Hazen yang mengucapkannya, membuat Marvin diam dan menyimak sang anak yang menjawab pertanyaan angka mereka sambil menyusun puzzle.

“Nammm.”

“Tu???”

“Cuuu.”

“Dela???”

“Pannn.”

“Sembi???”

“Lannn.”

“Sepu???”

“Luhhh.”

Hazen bertepuk tangan bangga lalu menghadiahi ciuman kupu-kupu di seluruh muka Hevin. “Aduh pinternya, aduh gemessss.”

Marvin tertawa kecil lalu mengusap kepala Hevin. “Pinternya anak Papa, nanti belajar hafalin abjad ya?”

Hevin hanya mengangguk sebagai respon karena ia asik bermain.

“Maaa maaaa mamammmm.”

“Loh? Laper ya?” Tanya Hazen.

“Pelll Maaa.”

Hazen melirik Marvin, memberikan kode untuk membelikan makanan. “Kak, di cafeteria ada kue bolu. Beliin aja buat Hevin.”

“Gue bawa aja kesana gimana? Biar rapat lo lancar?”

“Nggak usah, Hevin udah diem anteng kok. Lo bawain aja makanan nya kesini, suapin dia dan gue tinggal rapat.”

“Ya udah, tunggu.” Marvin berdiri dan pergi ke cafeteria untuk membeli kue bolu.

Siang itu, menjadi rapat yang menyenangkan untuk mahasiswa/i Manajemen Bisnis angkatan 22 karena bisa melihat pemandangan keluarga bahagia secara langsung. Semakin banyak juga yang mendukung hubungan Marvin dan Hazen setelah melihat interaksi langsung kedua orangtua muda itu kepada sang anak. Melihat Marvin yang menyuapi kue bolu untuk Hevin, sedangkam Hazen yang rapat bahas proker sembari sesekali meladeni Hevin yang minta perhatian.

Proker pun terselesaikan dengan baik karena Marvin mengoreksi dan memberi masukan yang bagus untuk angkatan 22. Rapat dibubarkan pukul 5 sore.

@_sunfloOra

Saat Marvin dan Hazen sampai di Angkringan Pak Joko pukul 6 lebih 25 menit, keadaan Angkringan sedikit sepi, karena ini hari produktif, lagipula di bagian selatan yang luas sudah di booking oleh Marvin untuk rapat.

Teman-temannya duduk lesehan di atas karpet yang disediakan oleh Angkringan tersebut. Di tengah-tengah mereka sudah banyak makanan, minuman dan snack. Marvin sudah memperingati teman-temannya untuk tidak merokok atau nge vape karena ada Hevin. Biasanya kalau rapat di luar begini, mereka selalu merokok dan nge vape.

Marvin bukan maniak rokok ataupun vape, namun ia akan nge vapor jika nongkrong seperti ini, jika di apart ia tidak melakukannya karena ada Hevin. Sedangkan Hazen, anak itu merokok jika merasa stress saja, itupun dua batang cukup. Kalau tidak stress, Hazen menghindari rokok bahkan minum, ia memiliki pola hidup sehat.

“Wah pasusu kita sudah datang guyssss.” Sambut Ben terkekeh melihat Marvin dan Hazen yang berjalan menuju arah mereka, dengan Hevin yang digendong oleh Marvin. Di punggung Hazen ada ransel, yang berisi beberapa mainan Hevin, susu, dot, botol minum dan termos mini.

Hazen mendengus sedangkan Marvin mengerlingkan matanya karena teman-temannya ikut bersorak setelah Ben.

“Vibes pasusu nya udah keliatan banget nggak sih? Cocok dah kalian berdua.” Ujar Keenan.

Mereka menggeser tubuh dan memberikan ruang untuk Marvin dan Hazen agar bisa ikut duduk. Hevin di dudukkan di tengah-tengah Papa dan Mama nya. “Hevin, bilang halo dulu ke kakak-kakak nya.” Titah Hazen, mengajari sang anak untuk menyapa.

“Bilang apa sayang? Halo kakak, gitu ya?” Ucap Marvin.

Hevin diam beberapa detik kemudian tangannya diangkat dan melambai heboh. “Alooooo kakkkkkkk hihihihikkk.”

“Halo Hevin.” Jawab para lelaki disana kompak. Ada yang teriak kegemasan.

“Aduh aduh, lucu bangettttt. Vin, boleh ya gue pegang pipinya sebentar?” Tanya Willy.

“Pegang aja, jangan diuyel-uyel, awas lo!” Marvin mengizinkan dan sedikit menyingkir saat Willy menghampiri Hevin.

“Jangan dicubit pipinya Kak, ntar nangis anaknya.” Peringat Hazen.

“Iya, pegang doang yaelah, posessif amat lo berdua.” Kata Willy dan mengusap lembut pipi Hevin sembari tersenyum.

“Hai Hevin, ini Kak Willy.” Ucap Willy memperkenalkan diri.

“Aloo kak lliyyyy.” Sapa Hevin sembari terkekeh.

“Lucunyaaaaa.” Willy hampir saja mencubit pipi Hevin namun tidak jadi saat Marvin berdeham. Willy nyengir lebar dan undur diri setelahnya.

“Hevin, main ini dulu ya? Papa sama Mama mau rapat dulu.” Ucap Hazen menyerahkan patung plastik berbentuk hewan-hewan serta ring donat yang disusun menjadi menara.

Kemudian setelah Hevin mulai fokus dengan mainannya, rapat pun dimulai. Serius namun santai.

Event nya 25 Mei. Tepat 4 bulan dari sekarang.” Kata Tristan memulai.

“Susunan acaranya berubah, bukan podcast sama talk show lagi, tapi jadi marketing event yang ada kompetisi startup nya. Nanti di event marketing, setiap pembelian produk bakalan dikasih surat, jadi bisa kirim tuh produk sebagai hadiah buat seseorang. Nah, ntar itu barang sama suratnya di kasih ke stand broadcast buat sampein pesan yang tertera, biar diambil sama targetnya itu barangnya.” Jelas Marvin.

“Mau jualan apa aja di event marketingnya emang?” Tanya Jay.

“Banyak, jadi rencana gue nanti acaranya ada di aula terbuka, trus bangun beberapa stand, untuk apa yang dijual, gue udah hubungin beberapa sponsorship sih, nanti sisanya jualan dari anak-anak manajemen. Yang dari jurusan kita sendiri mau buka toko buket bunga, ada toko boneka, buket sama parsel snack, ada lukisan, patung sama buka stand kafe buat jualan dessert sama minuman ala kafe gitu sih. Oh sama sediain photobooth.” Kata Hazen.

“Berarti nanti stand lainnya yang dari sponsorship gitu kan?” Tanya Tama.

“Iya bener, ngomong-ngomong, lo udah hubungin apa aja Zen?” Tristan bertanya sembari mengunyah Potabee.

Skincare sama kosmetik, t-shirt distro, sepatu, jaket, kamera, ponsel sama aksesorisnya, tas.”

“Mereka mau kan? Kalau mau kita tinggal ajuin proposal ke mereka.” Tanya Juan.

“Mereka bilang mau, katanya kalo sponsorin Neo Dream sih nggak mungkin ditolak.” Hazen terkekeh mengingat jawaban email dari sponsorship yang ia hubungi.

“Anjay, oke oke. Nanti lo list aja ya Zen apa aja yang jadi sponsorship biar gue buat proposalnya gampang.” Kata Deon selaku sekretaris.

“Oke Kak.”

“Oh ya, Wil berarti lo paham kan tema posternya nanti kayak apa? Harus segera dibuat dan disebar. Soalnya kompetisi startup nya itu butuh waktu lama juga persiapannya.” Ucap Ben.

“Paham Bang, beres itu mah, besok udah jadi poster nya, bisa disebar ke base.” Ujar Willy.

“Nah untuk masalah hadiah pemenang startup gimana?” Johan yang sejak tadi hanya pihak pendengar pun ikut berbicara.

“Dari sponsorship, itu kan barang-barang mahal dan mewah juga sponsorship nya, nah nanti yang dapet hadiah dari sponsorship yang juara 1 sampai 3. Untuk yang peserta dikasih gift dari produk-produk anak manajemen aja.” Kata Marvin.

“Bener, trus nanti dikasih sertifikat juga, buat semua peserta kompetisi startup nya.” Tambah Hazen.

“Setuju sih gue, nanti juara 1 bisa tuh dikasih kamera satu-satu untuk satu grub nya. Yang juara 2 bisa dikasih ponsel untuk tiap anggota grubnya, yang juara ke 3 dikasih kayak jaket, t-shirt, sepatu dan kosmetik/skincare kalo ada ceweknya di grub itu.” Usul Yudha.

“Bisa banget sih, sponsorship nggak akan keberatan kalo kata gue. Lagian per grub ada berapa orang rencananya?” Tanya Keenan.

“4 orang aja sih, nanti kalau banyak-banyak waktu presentasi startup nya nggak efektif, kalau 4 kan bisa kebagian semua buat presentasiin bisnis plan nya nanti.” Jawab Tristan.

“Hm menarik, gue liat drakor start up itu beneran kagum anjir. Ngebayangin masa depan gue dalam berbisnis dan merintis usaha.” Ucap Jay.

Hazen mengangguk. “Ya teknis nya kayak gitu sih, bedanya kita nanti langsung lihat hasil presentasinya, nggak lihat proses kerja mereka kayak gimana.”

“Maaaa Paaaa innnn.” Hevin menepuk paha Hazen dan Marvin.

“Inn Maaa Paaa innn.” Ulangnya lagi.

“Kenapa? Mau main?” Tanya Marvin dan memangku sang anak.

“Yaaa Paaa innn tuuuu.” Hevin menunjukkan kolam mandi bola.

Hazen terkekeh. “Oh, mau mandi bola ya?”

Hevin mengangguk lucu. Perhatian teman-teman Marvin pun teralih kepada sepasang orangtua dan anak gemasnya itu.

“Ya udah ayo main, Hevin bosan ya main sendiri?” Tanya Marvin mencium pipi kanan sang anak.

“Sann Paaa.” Hevin memeluk leher Marvin dan mendusal ke ceruk leher sang Papa.

Marvin menatap teman-temannya. “Kalian lanjutin ya rapatnya, gue mau ajak main Hevin dulu, nanti nangis kalau nggak diturutin.”

“Oke santai, kita tinggal bahas beberapa aja kok.” Kata Ben melirik jam tangannya menunjukkan pukul 7 malam.

Thanks bro gue kesana dulu.” Marvin menggendong Hevin dan pergi dari perkumpulan lesehan rapat.

Kemudian rapat pun berlanjut.

“Untuk yang jaga stand broadcast siapa? Kita angkatan 21 kan?” Tanya Yudha.

“Iya, sama yang panitia startup competition nya.” Jawab Tristan.

“Angkatan 22 yang jaga stand event marektingnya berarti?”

Hazen mengangguk menjawab pertanyaan Tama. “Iya Kak gitu, hari Kamis sih gue mau adain kumpul angkatan buat pembagian jaga stand ini.”

“Oh ya udah bagus sih itu, lebih cepat lebih baik. Kalo gitu posternya bisa disebar besok aja kan? Biar cepet banyak yang daftar juga.” Kata Juan.

“Ada batasan berapa nggak peserta nya? Gue yakin banyak yang daftar kalo nggak dibatesin.” Ujar Johan.

“15 kelompok aja ya? Jadi dikasih waktu daftarnya untuk 15 kelompok tercepat yang daftar, nah abis itu langsung tutup pendaftaran.” Usul Ben.

“Boleh Bang, segitu aja. Soalnya nanti 15 kelompok itu aja kita kewalahan buatin sertifikat sama seleksi pemenangnya nanti. Liat 15 kelompok presentasi lieur pasti.” Kekeh Tristan.

“Contac person* nya ke siapa ini? Tristan? Deon?” Tanya Willy.

“Marvin sama Hazen aja, ini acara angkatan soalnya. Ide Marvin sama Hazen juga lagian.” Ucap Deon.

Hazen tersenyum. “Iya ke gue sama Kak Marvin aja nggakpapa Kak Wil.”

Willy mengacungkan jempolnya. “Oke deh.”

“Hihihihik Paaa niii innn.”

Suara Hevin yang tertawa riang membuat para lelaki yang sedang rapat itu menoleh.

Disana, Marvin duduk di dalam kolam bola bersama Hevin. Papa dan anak itu saling berhadapan, Hevin melemparkan bola-bola plastik ke arah Marvin sedangkan Marvin mengguyur tubuh Hevin dengan bola-bola kecil itu, si kecil tertawa terbahak-bahak.

Pemandangan seperti itu otomatis membuat siapapun yang melihatnya merasa bahagia juga.

Hazen tertawa kecil, Marvin dan Hevin sangat lucu. Bahkan teman-teman Marvin pun ikut tergelak tawa.

“Marvin banyak berubah ya.” Ujar Jay tiba-tiba.

“Bener, belum pernah gue liat Marvin yang kayak gini, bener-bener soft and warm, gue jujur aja masih nggak percaya kalo di hadapan gue itu Marvin temen gue yang kayak gunung es.” Kata Yudha.

“Ternyata bener pepatah yang bilang kalo cinta bisa merubah segalanya. Liat Marvin sekarang, dia menjadi Marvin yang penyayang dan banyak senyumnya. Keliatan manusiawi daripada dulu.” Tambah Ben.

“Sebenernya gue ngerasa perubahan Marvin kayak gini tuh setelah ospek. Itu Hevin sudah dateng belum Zen?” Tanya Deon.

“Belum Kak, Hevin datang 3 bulan setelah ospek selesai.”

“Tadinya gue ngira perubahan Marvin yang kayak gini karena Hevin, tapi kayaknya sih ada faktor lain yang memacu perubahan dia ke arah positif begini.” Ucap Juan.

“Hahaha, roommate nya sih kalo kata gue.” Johan tertawa sembari melirik Hazen.

“Udah pacar kali, bukan sekedar roommate tinggal nunggu undangan pernikahan aja sih kita.” Keenan ikut menimpali.

Hazen tersenyum tipis kemudian ikut tertawa juga memikirkan asumsi katingnya ini. “Gue nggak lakuin apa-apa, Kak Marvin aslinya emang orang yang hangat dan lembut kok. Cuma ya—tertutup karena suatu hal. Dan sekarang karena adanya Hevin, Kak Marvin yang sebenernya kembali. Hevin bener-bener kayak pembawa berkah dan kebahagiaan buat Kak Marvin begitupun juga gue.”

“Kalian emang nggak capek apa rawat Hevin dari masih bayi sampai sekarang? Udah berapa bulan dia sama kalian?”

“Udah 6 bulan ini, sejak Hevin umur 6 bulan dia ada sama gue dan Kak Marvin. Kalau merasa capek sih pasti Kak, di awal-awal kedatangan Hevin tuh bener-bener struggle banget buat gue sama Kak Marvin, harus ngesampingin ego masing-masing demi Hevin. Yang tadinya gue sama Kak Marvin nggak pernah satu tujuan pun berakhir memiliki satu tujuan yang sama. Membesarkan Hevin dan ngebuat dia bahagia, merasa dicintai dan memiliki sosok orangtua.”

Teman-teman Marvin mendengarkan dengan saksama, tersentuh dengan kata-kata Hazen. Mereka tidak menyangka jika Marvin dan Hazen rela mengesampingkan ego demi orang asing seperti Hevin.

“Gue rasa emang benar kalo Hevin pembawa kebahagiaan buat kalian berdua, gue seneng banget liat Marvin kayak gini Zen. Belum pernah gue denger dia ketawa lepas, senyum lebar dan banyak omong kayak sekarang. Setiap gue liat interaksi dia sama Hevin tuh—gue beneran kagum kayak—wow, ini beneran Marvin temen gue? Hahaha, sampai sekarang aja gue masih speechless.” Kata Jay.

“Jangankan lo Kak, gue aja kaget banget. Dulunya gue beneran gedeg deh sama Kak Marvin, tapi perlahan gue sadar, Kak Marvin yang sebenernya bukan orang yang dingin, cuek, acuh tak acuh. Dia tuh tsundere banget jadi orang, geregetan dah gue. Dia mau bantuin gue urusin Hevin aja bimbang, kebaca banget ekspresi dia khawatir sama gue tapi gengsi.”

Lelaki disana tergelak tawa mendengar cerita Hazen.

“Sekarang udah nggak tsundere kan? Gue makin kaget perubahan Marvin yang super bucin gini sama lo. Kayak gue tuh nggak nyangka, dimana image Marvin yang acuh, cuek, dan masa bodo sama orang sekitar? Ilang ludes abis pacaran sama lo.” Tristan terkekeh.

“Marvin kalo udah jatuh cinta kayak gitu kalo udah jatuh cinta. Dia beneran ngasih segalanya, berusaha kasih yang terbaik buat pasangannya, memberikan kebahagiaan sebisa mungkin selama dia bisa kasih, kalo nggak bisa, dia bakalan cari cara apapun untuk membuat pasangannya merasa lebih baik, dia menawarkan diri buat direpotin sewaktu-waktu asalkan pasangannya bahagia, prioritasin orang yang dicintainya daripada dirinya sendiri. Dan gue liat itu semua ke lo Zen, iya nggak?” Tanya Yudha.

Hazen jadi malu, ia mengangguk sembari tersenyum simpul. “Bukan ke gue aja Kak, ke Hevin dia juga melakukan semuanya. Bener apa kata lo, dia ngasih segalanya ke orang yang dicintainya. Gue bersyukur banget Kak Marvin menerima Hevin sepenuhnya, mau janji sama gue buat rawat Hevin bersama sampai besar nanti. Bahkan tadinya gue nggak kepikiran Kak Marvin bakalan bilang gitu duluan ke gue.”

“Semoga kalian bahagia selalu ya? Ada rencana mau nikah kan kalian?” Ini Tama yang bertanya.

Hazen menggigit bibir dalamnya. “Nggak tau, gue ikutin apa kata takdir aja sih Kak. Kalo emang jodoh kan nggak akan lari kemana.”

“Maaa Mamaaa niii.” Hevin berteriak memanggil Hazen. Akhirnya Marvin menggendong Hevin dan berjalan menghampiri Hazen.

“Mamaaa iinn yoooo.”

“Loh kan ada Papa, seneng kan main sama Papa?” Tanya Hazen.

“Nengg, Maaa inn gaaa.”

Marvin terkekeh. “Diajakin main juga Zen, lo yang peka ngapa, nggak seru main berdua kayaknya ya?”

“Tapi rapatnya—“

“Nggakpapa Zen, temenin anak kalian main aja. Kasian, dia pasti bosen cuma dengerin kita rapat dari tadi.” Ujar Tristan.

Hazen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Beneran nih Kak? Tapi rapatnya belum selesai.”

“Yang inti kan udah kebahas semua, nggakpapa Zen. Kita mau santai dulu juga, nanti dibahas lagi kalau kalian udah selesai main.” Tambah Tama.

“Mereka aslinya pengen nyantai Zen, kan ini kita emang rapat sambil nongkrong. Nggakpapa ada jedanya.” Ucap Marvin meyakinkan Hazen.

“Ah gitu ya? Ya udah deh, kita ajak Hevin main sebentar. Kak, turunin anaknya. Biar dia jalan sendiri, nanti dia males jalan kalo digendong terus.”

Marvin menurunkan Hevin, anak itu berdiri dan berpegangan di celana Marvin dan Hazen.

“Yuk jalan kesana sayang.” Ajak Hazen menuntun sang anak jalan dengan menggenggam tangan kiri Hevin sedangkan Marvin menggenggam tangan kanan Hevin.

Let’s go, mau main ayunan nggak?” Tanya Marvin sembari jalan bersama Hazen dan sang anak meninggalkan kerumunan teman-temannya.

Di depan 10 lelaki itu, Hazen dan Marvin tengah bermain ayunan. Lebih tepatnya Hazen yang naik ayunan dan di pangkuannya ada Hevin yang ia peluk koala erat sekali sedangkan Marvin yang mendorongnya dari belakang. Tawa Hevin terdengar nyaring dan ceria, membuat rongga telinga siapapun yang mendengar bisa ikut merasakan kebahagiaan si kecil.

“Hihihi Paaaa gii giii.” Ucap Hevin sambil tepuk tangan menatap sang Papa.

“Peluk Mama yang erat ya, biar nggak jatuh.” Jawab Marvin.

Hevin memeluk leher Hazen makin erat, sedangkan Hazen mengusap punggung sang anak sembari tertawa. Marvin juga ikut tertawa mendengar si kecil yang ceria sembari tepuk tangan.

“Hahaha Kak, agak kencengan dikit ayoo.” Hazen berseru, ia ikut senang bermain ayunan.

Marvin mendorong ayunan itu lebih kencang lagi, Hevin terlihat senang sekali karena anak itu tersenyum lebar dan tergelak tawa.

“Kak, naik ayunan sebelah situ, kita main bareng aja.” Teriak Hazen dan mendongak untuk melihat sang kekasih yang ada di belakangnya.

“Iya, sebentar.” Marvin pun beralih duduk di ayunan sebelah Hazen.

“Paaa iinn tuuu.” Hevin menunjuk perosotan pendek yang ada di sebelah kolam mandi bola.

“Eh jangan sayang, nanti jatuh.” Peringat Hazen.

“Iya, jangan ya? Nanti kalau udah 2 tahun baru boleh.” Tambah Marvin. Hevin mengerjapkan matanya dan mengangguk saja.

Di sisi lain…

“Gue lagi liat gambaran kalo Marvin sama Hazen udah menikah, bakalan se gati itu sama anak kali ya?” Kata Johan tiba-tiba.

“Belum nikah aja udah se gati itu sama Hevin, gimana nanti kalo udah nikah?” Timpal Willy.

“Nggak tau kenapa, gue tetep kagum dan selalu kagum sama parental servicenya Marvin dan Hazen ke Hevin. Kayak—nggak semua orang bisa sekuat mereka berdua di tengah kesibukan kuliah masih harus urusin bayi yang usia aktif-aktifnya. Nggak kebayang se capek apa mereka berdua.” Ucap Jay.

“Gue penasaran banget siapa orangtua Hevin sebenernya, kenapa harus Marvin sama Hazen yang jadi target orangtuanya buat jagain Hevin? Kalo kayak gini sih pasti dia orang yang kenal Marvin dan Hazen kan? Apalagi sampe bisa masuk asrama Marvin tanpa ketauan cctv.” Opini Deon dimulai, membuat yang lain berpikir.

“Jelas sih ini, kalo nggak kenal nggak mungkin bisa senekat itu naruh anak di asrama orang asing. Lagian kalo emang niatnya membuang, bukannya lebih baik ke panti asuhan? Kenapa harus di titipin ke Marvin sama Hazen?” Ujar Juan.

“Entahlah, misteri ilahi ini mah. Marvin sama Hazen keliatan udah sayang banget sama Hevin, kayaknya mereka bakalan sedih misalnya suatu saat nanti orangtua kandung Hevin datang dan ambil anaknya.” Kata Tama.

“Jangan mikirin yang belum tentu terjadi, mendingan kita main UNO, gue bawa nih hehe.” Yudha mengeluarkan UNO kartunya.

“Anjir mantap, ayo dah gas.” Seru Keenan bersemangat.

Mereka pun bermain UNO dengan heboh sebanyak 10 orang.


“Maaa cuuu cuuuu.” Hevin menguap dan memukuli dada Hazen.

“Udah ngantuk? Jam berapa sih emangnya Kak?”

Marvin melihat jam tangannya. “Jam 9, ya maklum kalo gitu dia ngantuk. Ya udah kita balik ke sana aja, bikini Hevin susu.”

Akhirnya Marvin dan Hazen kembali ke perkumpulan teman-temannya yang tertawa terbahak-bahak dan heboh sekali karena bermain UNO.

“Bro, rapatnya masih di lanjut nggak?” Tanya Marvin tetiba duduk, begitupun juga dengan Hazen yang di gendongannya ada Hevin.

“Yang inti sebenernya udah kebahas semua, ini tadi sambil sedikit-sedikit bahas beberapa pas main UNO.” Kata Ben.

“Anak gue ngantuk, kalau rapatnya masih di lanjut, ayo lanjutin.”

“Dikit lagi aja yuk kita lanjutin, abis ini lo sama Hazen bisa pulang. Kasian Hevin.” Ucap Tristan.

Lalu rapat pun berlanjut dengan santai karena mereka juga sembari makan, baru saja pesan roti bakar dan martabak, sedangkan Marvin tengah membuatkan susu untuk Hevin. Hazen tengah menimang sang anak dengan menepuk-nepuk pantat dan mengusap punggung Hevin.

“Cuuuuu Maaaa cuuu.”

“Iya sayang sebentar ya, susunya masih dibuatin Papa.”

Teman-teman Marvin makan sambil memperhatikan kegiatan kedua orangtua muda itu. Sampai terbengong-bengong mereka melihatnya.

“Ini susunya udah jadi, sekarang bobok ya?” Marvin memberikan dot nya kepada Hazen dan Hazen memasukkan dot itu ke mulut sang anak yang langsung disesap.

“Pinter banget, waktunya bobok malam.” Hazen mecium pipi dan kening Hevin.

“Zen, mau cium juga.”

“Hah? Jangan gila please Kak.” Hazen memelototi Marvin dan melirik teman-teman Marvin yang sama bengong nya mendengar ucapan Marvin.

“Apa sih? Mau cium Hevin maksudnya.” Sebelah alis Marvin terangkat.

Tawa canggung terdengar dari Hazen sedangkan teman-teman Marvin cekikikan melihat ekspresi Hazen.

“Kalo ngomong yang lengkap ngapa si, ambigu banget.” Hazen mendengus lalu memundurkan wajahnya agar Marvin bisa menunduk untuk mencium sang anak.

“Kalo sama lo nanti aja, di apart.” Bisik Marvin di telinga Hazen sambil tersenyum jahil lantas mencium kening Hevin untuk pengantar tidur.

Hazen mengerjapkan matanya dan seketika telinganya memerah, untung saja malam hari, jadi tidak terlalu terlihat bagaimana salah tingkahnya Hazen sekarang.

“Selamat bobok anak Papa.” Ucap Marvin.

Kemudian Hazen menyanyikan lagu ‘Lihat Kebunku’ sebagai pengantar tidur Hevin yang tak kunjung menutup mata. Sedangkan Marvin juga ikut bernyanyi untuk sang anak, menyamakan irama dengan suara Hazen.

Belasan mata disana saling lirik melihat adegan yang tersaji di hadapan mereka.

“Kita transparan guys.” Kata Juan yang mengundang gelak tawa dari yang lain.

“Brisik, anak gue nggak tidur-tidur nanti!” Marvin memberikan tatapan tajam kepada teman-temannya, seketika mereka kicep dan memilih untuk berbicara dengan berbisik, makan dan minum dengan tenang.

Hazen terkekeh melihatnya dan menggelengkan kepala. “Papa kamu galak.” Bisiknya kepada Hevin yang perlahan memejamkan mata masih dengan menyesap dot susu nya.

@_sunfloOra

Kediaman apartemen besar Marvin menjadi ramai setelah bertahun-tahun begitu sepi dan dingin. Semenjak 3 bulan lalu, kepindahan Hazen dan Hevin ke apartemen nya membuat suasana menjadi hangat, menyenangkan, ramai, berwarna dan hidup.

Kemudian, tepat 6 bulan Hevin bersama Marvin dan Hazen, kediaman luas itu lebih berwarna lagi, lebih ramai, berisik, hangat, dan lebih hidup karena suara gelak tawa dari orang-orang yang ada di dalam sana.

Marvin dan Hazen baru saja selesai memakaikan baju untuk Hevin, sweater warna pink lengkap dengan beanie nya. Kedua orangtua muda itu asik memotret dan merekam Hevin yang duduk di sofa sembari tertawa melihat tingkah si kecil yang menggemaskan.

Di dapur, ada Sandra dan Kirana sedang membuat kue tart untuk Hevin. Sedangkan Jagat dan Devon tengah membuatkan minuman untuk tamu undangan. Siapa lagi jika bukan teman-temannya Marvin dan Hazen? Kemudian Kaisar dan Noah tengah menata makanan-makanan ke meja yang telah di masak oleh Hazen, Jagat, dan Kirana tadi.

“Kak, gue bantuin Ayah sama Om Noah dulu ya?”

Marvin mengangguk, kemudian Hazen pergi dari sana, membiarkan sang anak bermain dengan sang Papa. Hazen menghampiri Ayah dan Noah.

“Ayah, belum selesai ya?”

Kaisar tersenyum. “Sedikit lagi, temen kamu sama Marvin berapa banyak? Kayaknya kalo ini aja nggak cukup deh buat makan ramai-ramai.”

Telunjuknya mengetuk dagunya, sedang berpikir. “Temen aku ada 5, temen kak Marvin berapa ya? Ummm kayaknya ada 10 sih, berarti total ada 15 orang.”

Noah menganga. “Banyak banget temennya Marvin. Ini nggak cukup kalo tamu kalian sebanyak itu. 15 orang, ditambah keluarga kita ada 8 orang.”

“Itu banyak banget, ini masih sempet nggak kalo masak lagi?” Tanya Kaisar.

Kemudian Kirana dan Sandra datang membawa 2 kue tart dan menaruhnya di meja yang sudah di dekorasi balon-balon dan confeti.

“Kenapa? Aku barusan denger ada yang bilang perlu masak lagi.” Ucap Kirana menghampiri suaminya.

“Iya Bun, kata Ayah makanan nya kurang kalau ada temen-temen aku sama Kak Marvin.”

Sandra mengangguk. “Bener sih, ini cuma cukup buat makan kita satu keluarga.”

“Ya udah mumpung temen-temen kak Marvin sama temenku datang agak siangan katanya, kita masak dulu. Bi Mina, masih banyak kan persediaan dapur?” Tanya Hazen saat Bi Mina sedang meletakkan sendok garpu dan pisau di meja makan.

“Masih banyak Mas, kalau ada butuh beberapa bahan lagi, saya bisa belanja ke supermarket sekarang.”

“Hm, enaknya masak apa ya yang cepet?”

Sandra menjentikkan jarinya. “Karena belum ada Pasta sama Kwetiau, kita masak itu aja. Sisanya kita buat Tumis bakso dan sosis mumpung banyak tuh di kulkas. Ah itu juga, kayaknya buat Salad buah juga cepet cuma motongin buahnya,”

“Itu tadi Bunda liat di kulkas juga ada dimsum, siomay, di kukus aja semuanya. Nugget nya juga di goreng sekalian. Bunda mau buatin Waffle sama Pancake aja. Cepet itu.”

“Oke, kalo gitu aku sama Kak Sandra buat menu yang disebutin tadi. Bi Mina, ada waktu nggak misalnya Bi Mina tambahin masak semur telur?”

“Sempet banget Mas, itu gampang kok. cepet buat bumbu sama goreng telurnya.”

Hazen mengangguk. “Ya udah kalau gitu Bi, itu aja deh Bi.”

“Baik Mas.”

“Aku bantuin buat Dessert nya Kir.” Kata Jagat kepada Kirana.

“Boleh, aku buat Pancake sama Waffle, kamu mau buat apa?”

“Puding.”

“Oke deh ayo.”

Akhirnya 5 orang itu pun menuju ke dapur. Kaisar dan Noah yang sudah selesai menata hidangan di meja memilih bermain dengan cucu mereka bersama Marvin.

“Papaaa hihihi hmm paaa liii paaa hehehehehkkk.”

Marvin sedang membaringkan Hevin di atas karpet bulu tebal, dan menciumi seluruh wajah anak itu bertubi-tubi.

Kaisar dan Noah ikut tergelak tawa mendengar suara tawa Hevin, keduanya menghampiri Marvin dan ikut duduk di lantai.

“Nanti anaknya ngompol loh Vin diciumi gitu terus, geli pasti dia.” Kata Noah.

Marvin mendongak dan terkekeh. “Abisnya lucu banget Pa, Hevin makin bulet kayak Hazen.”

Kaisar dan Noah tertawa lagi, Kaisar mengangguk setuju. “Kamu kasih makan apa Hazen sampai bisa gembul kayak gitu Vin?”

“Yang ada aku Om yang dikasih banyak makan sama Hazen, dikit-dikit makan, jajan, nanti kalo dia nggak habis ujung-ujungnya aku juga yang habisin makan dia. Berat badan aku naik beberapa kilo juga Om karena Hazen.”

“Mmmppaaaa Papaaa ndoonnn.”

Marvin menoleh dan mengangkat Hevin agar duduk di pangkuannya. “Udah bisa jalan masa gendong terus? Nanti kamu males jalan.”

“Sana coba jalan, samperin Kakung sama Grandpa.” Ucap Marvin menunjuk Kaisar dan Noah.

“Kunggg, Lanpaaa hihihi.” Ucap Hevin sembari tepuk tangan dan beranjak dari pangkuan Marvin, berjalan perlahan menghampiri dua lelaki paruh baya yang tak jauh darinya.

“Utututu sini cucu Kakung yang paling lucu.” Kaisar merentangkan tangannya, siap menyambut sang cucu di pelukannya.

Noah hanya tersenyum, menatap lamat langkah kecil Hevin yang menghampiri Kaisar dan dirinya.

“Kunggg.” Hevin langsung memeluk leher Kaisar erat. “Kungg ndooonnn.”

“Nggak ah, nanti kamu nggak mau jalan kalau Kakung gendong.”

“Mmmm ndooonnn Kunggg ndoonnnn.” Hevin merengek dan menarik-narik kerah baju Kaisar.

“Iya iya, Kakung gendong, sebentar aja ya? Abis itu jalan sendiri.”

“Oteeee hehehehe.”

Kaisar gemas, lantas mencium pipi mochi Hevin. “Duh gemes banget, jangan cepat gede ya Hevin?”

Noah geleng-geleng kepala. “Ya kamu buat anak lagi aja kalau nggak mau cucumu cepat besar.”

Marvin tergelak tawa mendengarnya.

“Kamu aja sih coba adopsi anak lucu kayak Hevin, biar Hevin ada temen mainnya.”

“Hmm, bisa aku pikirkan. Nanti akan aku tanyakan pada Jagat.” Noah melirik Marvin. “Mau punya adek lagi nggak Vin?”

“Terserah Papa aja sih, nanti kak Jelita aja yang ngajak main tapi. Aku sudah punya Hevin hehe.”

Kaisar dan Noah terkekeh. Noah mengangguk kecil. “Hm, padahal lucu kalau nanti kamu sama Hazen jagain dua anak. Satunya gendong Hazen, satunya kamu gendong.”

“Kunggg ndoonnn.”

Kaisar mengerjapkan matanya lalu mengangkat sang cucu ke dalam pelukannya. “Iya ini kakung gendong, kita ke taman ya? Lihat kupu-kupu sama capung.”

“Kupu? Apung?”

“Iya, kupu-kupu sama capung.” Kemudian Kaisar pergi dari sana dan turun menuju taman apartemen.

Tinggal lah Noah dan Marvin disana.

“Papa udah bilang ke Daddy kamu Vin.”

“Bilang apa Pa?”

“Papa tau selama ini Daddy kamu selalu nuntut kamu buat jadi yang terbaik, Papa tau pasti itu bebanin kamu kan selama ini? Sandra bilang, kamu belajar dan belajar terus selama ini buat kejar target lulus cepet.”

Marvin menundukkan kepalanya. “Aku suka belajar, tapi aku jadi muak kalau inget Daddy selalu bilang ipk aku harus sempurna. Bukannya aku nggak yakin sama kemampuan aku, cuma ya—ada kalanya aku capek hidup kayak gitu. Tapi kayaknya karena aku udah kedoktrin buat jadi yang terbaik dari kecil, ngebuat aku terbiasa buat hidup kayak gitu.”

“Kamu bisa berhenti Vin, kamu belajar sesuai porsi umumnya aja. Kamu masih semester 3, belajar layaknya kamu semester 3, nggak usah capek-capek ngejar tartget lulus 3,5 tahun. Lulus 4 tahun juga nggakpapa, wajarnya S1 ya 4 tahun lulus.”

“Kamu masih muda Vin, seneng-seneng aja dulu sama temen-temen kamu. Jangan dibuat belajar terus, nilai bagus nggak menjamin kesuksesan, sukses itu tergantung dari gimana usaha kamu, bukan nilai di kertas kamu.”

“Aku ada Hevin Pa, aku mau fokus kuliah sama rawat dia sampe besar. Mangkanya aku pengen cepet-cepet lulus kuliah biar bisa nafkahin Hevin pake keringat aku sendiri, bukan uang dari Daddy.”

“Motivasi yang bagus, kalau itu emang tekad kamu, Papa nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Yang jelas, Daddy nggak akan nuntut kamu lagi, dia nggak akan nanyain berapa ip kamu tiap semester, atau nanyain berapa nilai ujian kamu. Jalani kehidupan ini sesuai kehendak kamu Vin, jangan hidup di belakang bayang-bayang orang lain, ini hidup kamu, bukan punya Daddy mu.”

Marvin mendongak dan menatap Noah kemudian tersenyum lembut. “Pa, terimakasih banyak dan—maaf.”

Noah menaikkan sebelah alisnya. “Maaf untuk apa?”

“Merebut Hazen dari Kak Jelita.” Ucapnya lirih yang masih bisa di dengar Noah.

Noah terkekeh lalu beringsut mendekati Marvin, kemudian merangkul bahu sang putra. “Bukan salah kamu, Sandra sama Hazen emang nggak berjodoh mangkanya dipisahin. Cinta nggak bisa dipaksain Vin, hasilnya nggak akan bagus, justru menyakiti keduanya kalo dilanjut. Papa memang marah saat itu, merasa Sandra di khianati keluarganya sendiri, tapi setelah Papa pikir lagi, itu jalan terbaik jika Sandra dan Hazen tidak saling mencintai, Papa egois kalo maksa Hazen dan Sandra buat bersama dalam keadaan nggak ada perasaan gitu. Papa seneng ternyata kalian nggak sandiwara hanya buat batalin perjodohan.”

Marvin tersenyum kikuk, Papa nya nggak tau saja kalo memang awalnya hanyalah kesepakatan untuk membatalkan perjodohan, namun takdir memang ajaib hingga membuat kepura-puraan itu menjadi nyata. “Trimakasih Pa, terimakasih sudah mencintai Daddy dan buat Daddy bisa punya semangat hidup lagi, bisa senyum dan ketawa lagi. Aku beneran bahagia Daddy ada di tangan orang yang tepat kayak Papa.”

Noah menepuk pundak Marvin. “Its okay boy, I love your Daddy very much. So, no need to thank you with me. Kita keluarga, kita bangun rumah yang hangat bersama ya Vin?”

“Iya Pa.”

Jagat yang sudah selesai membuat puding dan tengah menguping pembicaraan suami dan anaknya yang menunggungi dirinya pun tersenyum haru. Di belakangnya, Kirana menepuk pundaknya.

“Marvin tumbuh jadi anak yang hebat, kamu berhasil mendidik anakmu Gat.”

Jagat tersenyum. “Bukan aku yang mendidiknya Kir, dia membentuk karakternya sendiri sejak ditinggal Mommy nya, bahkan aku baru tau jika Marvin selama ini merubah dirinya menjadi sosok yang dingin, acuh dan menyendiri. Marvin kecil ku sudah hilang, tapi aku rasa berkat Hazen, Marvin putra kecilku yang hangat, lembut dan banyak senyum udah kembali.”

Kirana terkekeh. “This is called the power of love.”

Jagat mengangguk setuju. “Benar, karena aku juga merasakannya, sejak ada Noah.”


Hazen, Sandra dan Bi Mina keluar dari dapur dan membawa piring besar di kedua tangan mereka, membawanya ke meja makan. Marvin dan Noah membantu menatanya di meja makan hidangan yang baru saja selesai dimasak oleh Hazen, Sandra dan Bi Mina.

Devon yang baru saja kembali dari supermarket setelah membeli banyak snack dan minuman botol untuk dihidangkan di ruang tamu pun menaruh plastik belanja besarnya ke kursi.

“Huft, akhirnya selesai juga ya? Berapa jam kita ini tadi masaknya?” Ucap Hazen menyeka keringat di pelipisnya.

“2,5 jam haha, sekarang udah jam setengah 10 tuh.” Ucap Sandra.

“Dek, ini langsung ditata di ruang tamu aja?”

“Iya Mas, nanti biar kalau tamunya pada dateng bisa nyemil dulu sebelum makan.”

“Oh ya udah.” Devon beranjak dari sana menuju ruang tamu.

“Gue gerah, mau mandi lagi kalo gitu. Um Kak, nanti kalo temen-temen gue atau temen lo dateng, disambut dulu ya kalo gue belum selesai mandi.”

Marvin yang sedang menata makanan pun mengangguk. “Iya, lo mandi aja sana. Bau.” Tangannya ia kibaskan mengusir Hazen.

“Biarin, ini bau kerja keras gue memasak di dapur selama 2,5 jam tau!” Hazen menghentakkan kakinya dan pergi menuju kamarnya.

Sandra, Marvin, Noah dan Bi Mina tertawa.

“Hazen tuh lucu ya? Dia sering gitu ya Vin kalo kesel?”

“Menurut lo aja gimana Kak?” Marvin tersenyum jahil.

“Ah sudah cukup, jangan diterusin karena gue tau jawabannya.”

Marvin terkekeh. “Jomblo mana ngerti, cari pacar sana mangkanya.”

“Idih lo bahasnya itu mulu, malesin. Mau nyusul Kak Devon aja huu.” Katanya dan menyusul Devon ke ruang tamu.

Kirana pun ikut bergabung ke meja makan. “Kaisar kemana No?”

“Ke taman tadi sama Hevin.”

“Dari tadi pagi?”

“Iya, belum balik emang?”

“Kalau aku nanya berarti ya belum lah Noah...”

“Utiiiiii.”

Seketika semuanya menoleh saat mendengar suara menggemaskan menyapa telinga mereka.

Hevin jalan sedikit berlari menghampiri Kirana.

“Eh sayang, jangan lari-lari, nanti jatuh loh, jalan yang pelan aja.” Kirana menghampiri Hevin dan berjongkok, menyambut sang cucu ke dalam pelukannya.

“Hihihi Utiiii.”

“Iya, ini Uti, dari mana tadi sama Kakung?”

“Mannn tiii hehehe.”

“Ke taman?”

Hevin mengangguk dan memainkan rambut Kirana.

“Ngapain aja tadi kesana?”

Kaisar duduk di sofa, sudah kakek-kakek begitu ia kelelahan meladeni Hevin yang aktif jalan kesana kemari mengajaknya bermain. Harusnya tadi ia mengajak Noah saja biar bisa capek berdua.

Jagat yang prihatin pun membawakan Jus Jambu kepada Kaisar. “Dasar kakek-kakek, capek ya Kung main sama cucu? Hahaha.”

Kaisar menerima satu gelas jus Jambu dan meneguknya hingga setengah. “Coba aja kamu yang ladenin Hevin sendirian, pasti udah encok kamu mah.”

“Hahaha, dia emang lagi masa aktif-aktifnya. Ntar kalo udah jalan nya lancar dan bisa ngomong jelas makin kewalahan deh ngurusnya. Marvin sama Hazen nanti stress nggak ya?”

“Hmm, aku kasihan sama Marvin dan Hazen, mereka masih muda tapi udah harus urusin anak. Kalau bukan kita-kita yang bantu, mau siapa lagi? Kita keluarganya, udah sepantasnya kita bantu Marvin sama Hazen buat rawat Hevin.”

“Belum ada kejelasan siapa orangtua nya Hevin, Kai?”

“Sebenernya bagiku ini mudah buat nyari tau, tapi Hazen bilang jangan pernah cari tau siapa orangtua Hevin. Biarkan orangtuanya yang datang nanti kalo emang masih membutuhkan Hevin.”

“Mereka berdua memang mau menyerahkan Hevin kalau nanti diminta orangtuanya?”

Kaisar mengedikkan bahunya. “Entahlah, Hazen cuma bilang nggak mau kehilangan Hevin. Mungkin dia nggak mau nyerahin Hevin ke ortunya, tapi kalo misalnya Hevin maunya sama ortu kandungnya, Hazen sama Marvin bisa apa?”

Jagat menghela nafas. “Anak itu membawa banyak kebahagiaan buat Marvin, aku bisa melihat perubahan Marvin, putra kecilku kembali setelah sekian lama hilang tersapu angin. Aku rasa, Marvin nggak akan semudah itu lepasin Hevin nantinya.”

“Aku juga merasa begitu, aku bahkan kaget Hazen bisa kayak gitu. Dia nggak mau punya adik karena nggak mau direpotin anak kecil, tapi justru sekarang dia berperan sebagai orangtua dari bayi. Mengejutkan sekali.”

“Manusia juga bisa apa kalau takdir maunya gitu, bagaimanapun juga manusia nggak bisa melawan takdir yang udah dirancang Tuhan. Tuhan maha membolak-balikkan hati manusia.”

“Kekkkkkk.”

Suara si kecil membuat Jagat menoleh dan tersenyum lebar. “Halo cucu Kakek yang lucu, hari ini senang?” Jagat berjongkok dan memeluk Hevin kemudian menggendongnya.

“Nangg Kekkk hehehe.”

“Bagus, harus senang dong. Kan hari ini ulang tahun nya Hevin.”

Ding Dong

Hazen berlari keluar dari kamarnya membuat Marvin terkejut ketika ia akan membuka pintu.

“Astaga Hazen, jangan lari-lari gitu. Ntar lo kepleset trus nyungsep hidung lo pesek tau rasa.”

Hazen mendengus dan menggeser Marvin agar di belakangnya. “Temen-temen gue yang dateng.”

“Ya kan bisa gue yang bukain, tadi lo udah bilang gitu juga.”

“Gue udah selesai hehe, gue aja yang buka.”

Marvin mengerlingkan matanya. Lalu beranjak pergi dari sana.

Ding Dong

“Iyaaa sabar woi ah elah.” Teriak Hazen kemudian membukakan pintunya.

Ceklek

“Selamat siang!”

“Anjirrrrrr kaget.” Teriak Hazen menganga melihat pemandangan di depannya, membuat Marvin pun kembali menghampiri Hazen.

Di depan pintu, 15 orang tengah tersenyum setelah mengucapkan selamat siang. Benar, itu teman-teman Hazen dan Marvin.

“Kok bisa barengan?” Marvin menggeser tubuh Hazen ke samping agar bisa berdiri di sampingnya.

“Nggak sengaja ketemu di basement.” Ucap Tristan.

Hazen menghela nafas. “Ya udah ayo masuk semuanya.”

Kemudian mereka semua masuk ke apart yang teramat luas itu. Ini pertama kalinya mereka mengunjungi apart Marvin. Baik teman-teman Marvin maupun Hazen.

15 orang itu duduk di ruang tamu, lesehan. Kursi sudah disisihkan agar tamu-tamu bisa duduk leluasa. Disana sudah ada hidangan snack dan minuman kaleng begitu banyak, ada Dessert juga.

Di ruang tamu sudah di dekor sedemikian rupa serba warna biru, dari balon, confeti, dan hiasan-hiasan lainnya. Khas hiasan ulang tahun anak kecil.

“Papa, Mama!” Hevin berjalan menuju ruang keluarga, diikuti orangtua Marvin dan Hazen.

Belasan kepala disana ikut menoleh melihat sumber suara. Kemudian mereka berdiri dan menunduk mengucapkan salam ketika melihat orangtua Marvin dan Hazen.

Hazen menggendong Hevin begitu sang anak mengangkat tangannya, kode minta di gendong.

“Selamat siang Om, Tante.” Ucap mereka kompak.

“Selamat siang.” Jawab ortu Marvin dan Hazen bersamaan.

Kemudian Sandra datang menyusul bergabung. “Eh sebentar, kalian berempat—yang pernah busking depan Monas itu bukan sih?” Tunjuk Sandra kepada Golden Boyz.

Golden Boyz saling lirik lalu Leo mengangguk. “Iya, kebetulan beberapa bulan lalu kita abis busking di sekitar Monas.”

“Astaga, kalian temennya Marvin apa Hazen?”

“Mereka temen gue Kak.” Kata Hazen.

“Dunia emang sempit banget apa ya????” Sandra menutup mulutnya, syok.

Jendra mengernyitkan dahinya. “Sebentar, lo Kak Andra bukan?”

Jidan, Leo dan Nathan seketika kaget dan ikut memperhatikan Sandra.

“Hahaha, ah ketahuan. Iya, gue Andra yang pernah minta duet sama kalian waktu busking di Monas.”

Hazen tercengang. “Jadi kak Andra yang nyanyi sama Raden itu lo Kak???”

“Oh, namanya dia Raden ya?”

Nathan menggeleng tak percaya. “Lo siapanya Hazen kak An?”

“Dia kakak gue Nat.” Ucap Marvin.

“Kakak? Demi apa? Gila, Jakarta luas penduduk banyak, kok bisa kebetulan banget?” Ucap Jidan.

Sandra terkekeh. “Ini yang dinamakan takdir. Mungkin kita emang ditakdirin buat kenal satu sama lain. Btw, nama gue Sandra, bukan Andra, waktu itu gue nyamar aja hehe.”

“Hahaha astaga udah dong wajah cengo nya, lol banget muka kalian sumpah. Intinya sekarang gue lega kagak penasaran lagi.” Ucap Hazen.

Teman-teman Marvin ling lung nggak tau mau ngapain.

“Woi anak-anak kecil, lo semua nggak kangen gue?”

“Bang Devon! Lo balik ke Indonesia?” Teriak Nathan heboh saat Devon datang dan bergabung.

“Weh Bang Devon.” Leo menghampiri Devon bersama Nathan, diikuti Jendra dan Jidan.

“Wetsss peluk dulu sini, gue kangen ah liat lo pada. Dulu perasaan masih pendek-pendek pas SMP, sekarang udah tinggi aja. Apalagi ini Jidan buset, makan tiang listrik ya lo?”

Nathan, Jendra, Leo dan Jidan berpelukan dengan Devon.

“Minum susu sapi Bang, mangkanya gue tinggi.” Kata Jidan sembari terkekeh.

“Nanti kalo gue wisuda, dateng ya ke Belanda.”

“Asal lo bayarin tiket pesawatnya aja sih Bang hehe.” Ucap Nathan.

“Minta Hazen aja, dia duitnya banyak.”

Hazen melirik dan mendengus. “Yang ngundang siapa, yang bayarin siapa. Dasar.”

“Iya Bang, kita dateng kok tenang aja.” Ucap Leo.

“Gue kangen Raden, dia belum balik ke Indonesia sama sekali abis berangkat 2 bulan lalu?” Tanya Devon.

Suasana jadi menyendu. Mereka melepaskan pelukan. Jendra terkekeh. “Raden nggak ada kabar 2 bulan ini Bang, sosmed nya aja nggak ada yang aktif semua. Kayaknya dia ganti nomer deh, kan nggak mungkin dia pake nomer Indo buat disana.”

Marvin melirik Hazen yang tatapannya menyendu juga.

“Mamaaa mmmaaaa.” Hevin menepuk-nepuk pipi Hazen yang sedang melamun.

Marvin menghampiri Hazen dan mengambil alih menggendong Hevin. “Zen, untuk hari ini, don't cry, anak kita ulang tahun, sayang. Nanti, lo boleh nangis kalo semuanya udah pergi dan tinggal kita berdua.” Bisiknya.

Hazen mendongak dan tersenyum kecut. “Gue nggakpapa Kak, tadi gue lagi mikirin kapan ini mulai acaranya deh?”

Marvin hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

“Guys, kita mulai aja ya acaranya? Keburu makanan nya ntar dingin.” Kata Marvin dan berjalan maju menarik tangan Hazen ke depan semua orang yang duduk lesehan. Tepatnya di belakang kue tart diletakkan.

Hevin masih ada di gendongannya Marvin, dan Hazen berdiri di samping Marvin.

“Semuanya, silahkan berdiri ya? Gue mau kita nyanyi lagu selamat ulang tahun buat Hevin.” Ucap Hazen.

Semua yang ada di sana berdiri, kemudian setelah Hazen menghitung, pada hitungan ke 3 akhirnya mereka menyanyikan lagu Happy Birthday bersama.

Happy Birthday Hevin Happy Birthday Hevin Happy Birthday Happy Birthday Happy Birthday Hevin

Mereka mengulangnya selama 2 kali sambil tepuk tangan. Sandra dan Devon bagian dokumentasi setiap moment. Devon yang merekam sambil live instagram menggunakan ponselnya Hazen . Sandra yang memotret. Hevin terkikik sambil tepuk tangan senang melihat semua orang bernyanyi kompak sembari tepuk tangan.

“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga* Sekarang juga, sekarang juga

Lalu Marvin dan Hazen menunduk untuk meniup lilinnya, bersama dengan Hevin yang hanya bertepuk tangan senang saat melihat lilinnya mati karena ditiup Marvin dan Hazen bersamaan.

Prok prok prok prok

“Yeayyy sekarang waktunya potong kue!” Seru Kirana semangat.

Kemudian mereka lekas menyanyikan lanjutannya.

Potong kuenya, potong kuenya, potong kuenya sekarang juga Sekarang juga, sekarang juga

Marvin dan Hazen memegang satu pisau bersama, kemudian memotong kue nya tepat di tengah dan menaruhnya di piring kecil.

“Hevin buka mulutnya aaakkkkk.” Hazen memberi instruksi kepada sang anak yang dituruti Hevin, kemudian Hazen memasukkan sepotong kue yang sangat kecil untuk Hevin ke dalam mulut Hevin.

“Selamat ulang tahun sayang.” Ucap Hazen kemudian mencium pipi kiri Hevin.

Hevin terkikik sembari mengunyah dan tangannya menggerayangi baju Hazen, minta di gendong. Hazen pun menggendong sang anak. Marvin yang kini mendapatkan giliran menyuapi Marvin.

“Sekarang giliran Papa, ayok anak pintar buka mulutnya aaaakkkk.”

Hevin dengan senang hati membuka mulutnya, mengunyah suapan kecil sang Papa.

“Happy Birthday my Son.” Marvin mencium pipi kanan Hevin.

“Hevin, cium pipi Papa Mama nya ya sekarang. Oke?” Ucap Noah.

Hevin mengangguk dalam gendongan Hazen, kemudian si kecil mencium pipi Hazen, kemudian mencium pipi Marvin bergantian.

Cup cup

Suara riuh tepuk tangan haru terdengar mengisi apartemen luas itu. Marvin dan Hazen saling pandang dan tersenyum bahagia.

“Hihihi Mamaaa ntikkk, Papaaaaa mpannn.”

“Mama tampan juga tau sayang, bukan cantik.” Kata Hazen tak terima dibilang cantik.

Sedangkan tamu undangan hanya tergelak tawa mendengar rajukan Hazen.

“Cantik itu relatif Zen, benda aja banyak yang cantik, nih contoh aja kue nya cantik kan?” Ucap Marvin.

“Hmm iya sih...”

“Heh Hazen, lo cantik serius. Lihat baju lo cerah banget buset bikin gue silau itu sunflowers nya.” Kata Yosa.

Lalu yang lain mengangguk setuju, karena memang hari ini Hazen sangat cantik dengan rompi kuning sunflowers nya. Mencerminkan Hazen pribadi yang ceria dan penuh semangat.

Hazen mendengus lalu acara pun berlanjut menuju makan bersama.


“Silahkan dinikmati, harus sampe kenyang ya. Dijamin enak, soalnya yang masak anak saya sama istri saya.” Ucap Kaisar.

“Terimakasih atas hidangan yang teramat banyak dan enak ini Om, kami akan memakannya sampai habis.” Ucap Nathan.

“Hahaha iya Nat, dikenyangin ya. Yuk yang lain juga langsung makan aja.”

23 orang disana pun menikmati makan diselingi canda tawa, Kaisar, Noah dan Jagat yang sudah berumur pun bisa menanggapi setiap lelucon yang dilontarkan Jay, Juan dan Yudha disana.

Ada cerita-cerita tentang Marvin dan Hazen juga turut andil mengalir dalam obrolan mereka.

“Marvin kalo di kampus gimana? Ansos nggak Jay?” Tanya Jagat.

“Hmm, bukan ansos sih Om sebenernya, soalnya emang nggak ada yang berani deketin Marvin haha, cuma kita ber 10 ini yang setia kawan banget sama Marvin.”

Yang digibahin sibuk mengelapi wajah Hevin yang cemot saat makan. Dan Hazen makan sambil menyuapi Marvin.

“Marvin serem Om, mukanya galak banget, jadi orang-orang pada takut deketin dia. Takut ditelen hidup-hidup sama Marvin.” Kata Yudha.

“Waduh, pantesan ya saya nggak pernah denger Marvin punya pacar.” Jagat terkekeh.

“Punya, nih yang lagi suapin aku kan pacarku.” Marvin angkat bicara setelah diam.

Hazen mendengus geli. “Apa sih Kak, diem aja deh lo. Makan aja, jangan ngomong.”

“Gini nih Om, saya korban nya Marvin sama Hazen kalo pacaran, saya dijadiin setan, berasa transparan tak terlihat kalo mereka udah asik berdua gitu.” Deon mengadu.

Kaisar dan Kirana tergelak tawa. Kaisar manggut-manggut. “Iyakah? Siapa yang flirting duluan emang?”

“Dua-duanya Om, sama-sama bucin hadeh, saya sampe lelah lihat kebucinan mereka berdua.” Jawab Deon.

“Bilang aja Kak Deon iri, mangkanya tuh segera confess coba, sebelum hilang diambil orang loh.” Hazen melirik Tama yang sedang mengunyah Ayam bakar.

“Apa? Kenapa lo liatin gue?” Tama menaikkan sebelah alisnya.

Noah terkekeh. “Ah masa muda emang indah ya? Kalian jangan belajar mulu, nikmati hidup selagi masih muda, soalnya kalo udah tua kayak kami gini isinya kerja mulu, nggak sempet seneng-seneng.”

“Waduh bener banget nih Om Noah. Marvin tuh Om, anaknya ambis banget, saya sampe bosen ingetin dia istirahat.” Kata Ben.

“Iya Om, diajak nongki bilangnya ada tugas mulu, atau lagi belajar. Padahal saya yang banyak satu kelas sama dia nggak sesibuk Marvin.” Seru Juan.

“Ya lo pemalas namanya, beda sama gue.” Marvin mengerlingkan matanya.

Kemudian terdengar tawa dari semua orang.

“Tapi saya salut Om sama Marvin dan Hazen, beneran kayak nggak nyangka mereka bisa rawat bayi sampai udah satu tahun. Kayak saya mikir, Marvin? Yang nggak pernah suka wilayahnya diusik, nggak suka keramaian, tetiba punya anak, yang notabene anak kecil pasti rame dan rewel.” Ucap Johan.

“Bener banget, saya juga sampe cengo waktu Marvin kasih tau ke kita kalo dia punya anak. Saya kira Marvin udah nikah diam-diam tanpa undang kami haha.” Tambah Keenan.

“Anak gue sama Hazen sih ini, belum nikah mangkanya nggak ada undangan.”

Hazen yang sejak tadi diam hanya memakan Tumis bakso sosis nya, ia tak ingin menanggapi ucapan manis Marvin.

“Marvin nih bucin banget om sama Hazen, tiap saat ada aja yang diomongin tentang Hazen ke grub.” Tristan membocorkannya sambil tergelak tawa.

Hazen jadi tertarik topiknya. “Eh yang bener kak Tris?”

“Bener Zen, kalo lo mau tau buka aja nih grub imess kita.”

“Nggak usah melebih-lebihkan deh lo Tris, nggak tiap saat kali. Beberapa kali doang.” Kata Marvin.

“Idih gengsi dia tuh Zen, asli deh lo tuh diomongin tiap saat sama Marvin di grub.” Ucap Yudha.

“Wah pantesan aja mata gue sering kedutan, ternyata lo yang gibahin gue Kak.” Hazen terkikik.

“Udah-udah stop, nanti dia kepedean kalo lo semua buka mulut.” Ucap Marvin.

“Hm, sebenernya sama aja loh Kak, Hazen juga sering muji Kak Marvin.” Jidan angkat bicara.

“Heh bongsor, fitnah aja lo.” Hazen memelototi Jidan.

“Katanya gimana guys? Gue sampe lupa saking banyaknya dia muji Kak Marvin.” Jidan melirik teman-temannya.

“Hmm gue inget Hazen pernah bilang gini. Kak Marvin tuh Papaable banget tau, dia kalo sama Hevin tuh keliatan sisi lembut dan penyayangnya. Ke gue juga, kalo deep talk gitu dia beneran bisa bikin gue lega.” Kata Nathan.

“Katanya juga, Kak Marvin itu definisi rumah yang sebenernya buat gue. Kak Marvin yang aslinya tuh baikkkk banget, dia mau nurutin apapun yang gue mau, soft dan perhatian bener dah. Sering dibikinin bekal gue hehe.” Tambah Leo.

Hazen menutup kedua telinganya sambil memejamkan mata. Ia malu.

“Hahaha ada nih yang paling sering diomongin Hazen kak. Katanya, Gue kayak punya suami, dinafkahi kak marvin tiap hari, rasanya gue pengen nikahin Kak Marvin beneran deh, bikin gue jantungan mulu tuh manusia Ya Tuhan, lo semua kalo jadi gue gitu harus gimana?.” Kata Jemdra sembari tertawa terbahak-bahak menirukan nada Hazen sedemikian rupa.

Orang-orang disana tergelak tawa mendengarnya.

“Sumpah, kalian berdua bener-bener dah. Gue nggak bisa berkata-kata lagi. Kalian nikah aja cepet-cepet gimana?” Kata Sandra menggelengkan kepalanya.

Hazen membuka mata dan telinganya. “Lo semua jahat, gue block lo pada, nggak peduli gue, bukan temen cih.”

Marvin terkekeh dan mengusap kepala Hazen. “Yaelah muji pacar sendiri ngapain malu sih? Nggak usah sungkan gue nafkahin, kan nantinya juga gitu?”

Syok, speechless semua orang disana mendengar itu.

“Bubar-bubar, saya mau gulung bumi ini.” Yosa mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah.

“Kak Marvin, lo mending diem deh kata gue!” Hazen menutup kedua wajahnya dengan telapak tangannya.

Marvin tertawa terbahak-bahak, ia tak peduli lagi image cuek, acuh dan dinginnya hilang tertiup angin.

“Kapan nih tanggal pernikahannya enaknya Kai?” Noah melirik Kaisar.

“Hahaha, besok aja deh No, kayaknya udah siap banget emang ini berdua buat jadi pasusu.” Kata Kaisar.

“Ayahhhh, please, jangan bicara aneh-aneh lagi.” Hazen mengerucutkan bibirnya.

“Zen, lo jangan gitu. Lihat itu wajah Marvin nahan gemes, mupeng pengen nyosor itu.” Kata Jay.

“Waduh, tolong ada anak kecil disini.” Ucap Johan menunjuk Golden Boyz.

“Kami udah 19 tahun Kak Jo.” Protes Nathan.


Hevin sedang dikerumunin oleh teman-teman Marvin dan Hazen. Anak itu tengah dibantu membuka kado dari mereka, yang isinya adalah mainan. Hevin bertepuk tangan kesenangan melihat banyak mainan baru.

“Itu namanya kereta api.” Ucap Tristan saat Hevin memegang mainan kereta api lengkap dengan rel nya. Hadiah dari Tristan.

“Taaa pii?”

“Heem, kereta api.” Tristan terkekeh gemas.

“Nah ini nih namanya pesawat terbang.” Kata Ben.

“Watt bang hihihihi bbrrmmmmm.” Hevin mengangkat pesawat terbang itu dan meliuk-liukkan kesana kemari.

“Vinnn anak lo gemes, boleh gue culik sehari nggak?” Teriak Juan.

“Gue slepet sini muka lo Ju.” Marvin menghampiri kerumunan yang ramai itu dan ikutan duduk.

“Zen, ada gitar nggak?” Tanya Jendra.

“Ada, mau genjrengan?”

“Hooh, kalo boleh.”

“Boleh, Hevin suka dengerin orang nyanyi juga. Bentar ya gue ambilin dulu gitarnya.” Hazen pergi ke kamarnya, disana ada gitar Marvin yang senantiasa ada di kamarnya.

Kemudian beberapa saat kemudian, Hazen kembali membawa gitar dan menyerahkannya kepada Jendra.

“Le, lebih indah ya?” Ucap Jendra.

“Yoi kiw.” Leo sudah siap menyanyi.

Putar dulu bestie, biar makin uwu~~~ “Lebih Indah by Leo”

https://www.youtube.com/watch?v=ybAw-FrXMjM

Genjrengan gitar Jendra mengalihkan atensi orang-orang disana, termasuk Hevin.

Saat ku tenggelam dalam sendu Waktupun enggan untuk berlalu Ku berjanji tuk menutup pintu hatiku Entah untuk siapapun itu

Semuanya mulai menikmati nyanyian Leo.

Semakin ku lihat masa lalu Semakin hatiku tak menentu Tetapi satu sinar terangi jiwaku Saat ku melihat senyummu

Memasuki reff, semuanya ikut bersenandung bersama Leo. Hevin merangkak menuju pangkuan Marvin yang duduk di sebelah Hazen.

Dan kau hadir merubah segalanya Menjadi lebih indah Kau bawa cintaku setinggi angkasa Membuatku merasa sempurna

Marvin dan Hazen saling lirik dan terkekeh, Hevin bertepuk tangan mendengar semuanya bernyanyi kompak. Hazen menyandarkan kepalanya di lengan Marvin, menikmati momen ramai-ramai bersama sahabat dan keluarga.

Para tetua ada duduk di sofa turut mendengarkan, Devon dan Sandra juga bergabung ke kerumuman. Mereka sudah akrab satu sama lain, Devon dan Sandra orang yang ramah, sehingga teman-teman Marvin dan Hazen juga nyaman berbicara dengan mereka berdua.

Dan membuatku utuh tuk menjalani hidup Berdua denganmu selama-lamanya Kaulah yang terbaik untukku

Kini ku ingin hentikan waktu Bila kau berada di dekatku Bunga cinta bermekaran dalam jiwaku Kan ku petik satu untukmu

“Zen, hidup gue juga lebih indah semenjak ada lo.” Bisiknya.

Hazen mendongakkan kepalanya. “Tau, karena gue juga rasain yang sama. Apalagi ada Hevin, makin nano-nano dah hidup gue hehe.”

“Kira-kira sampe kapan kita bisa kayak gini Zen?”

“Kayak gini yang gimana maksud lo?”

“Bahagia, bertiga kayak gini. Tuhan baik sama kita sampai kapan?”

Hazen tersenyum lembut lalu mengusap pipi sang kekasih. “Percaya sama Tuhan, dia maha baik. Kita bertiga bisa bahagia, sampai akhir. Bukannya lo yang selalu bilang kalo gue jangan khawatirin yang belum tentu terjadi? Kok jadi lo yang overthinking?

“Maaf, gue nggak akan overthinking lagi. Kita nikmatin apa yang ada saat ini aja ya?”

“Iya, 3 bulan lagi kita udah semester genap. Lo udah semester 4, makin sibuk. Jadi fokus study sama Hevin aja ya Kak? Jangan pikirin yang lain, eh boleh sih, pikirin gue aja hahaha.”

Marvin terkikik dan mencubit hidung Hazen. “Itu sih tiap hari gue mikirin lo.”

Dan kau hadir merubah segalanya Menjadi lebih indah Kau bawa cintaku setinggi angkasa Membuatku merasa sempurna

“Tumben nggak gengsi bilangnya? Apa karena cuma gue yang denger?”

“Bukan gengsi, gue males diledekin mereka. Suka hiperbola juga mereka tuh.”

Dan membuatku utuh tuk menjalani hidup Berdua denganmu selama-lamanya Kaulah yang terbaik untukku Kaulah yang terbaik untukku

“Hahaha ngaku aja sih lo setiap saat memuji gue. Katanya kalo sama pacar ngapain malu? Gitu kan kata lo?”

“Hm, ada sih sesuatu yang gue pikirin banget.”

“Tentang gue?”

“Kita berdua dan Hevin.”

“Apa emang?”

“Lo mau nggak sih kalo gue nikahin pas belum lulus? Gue mendadak pengen nikahin lo cepet-cepet deh.”

“Anjrit, lo kalo ngomong pake rambu-rambu napa si Kak?” Cicitnya mendusalkan wajahnya di lengan Marvin.

Ku percayakan seluruh hatiku padamu Kasihku satu janjiku kaulah yang terakhir bagiku

“Gue serius, karena gue udah janji sama diri gue sendiri, lo adalah yang pertama dan terakhir buat gue Zen. Kalo bukan lo orangnya, gue nggak mau dan nggak bisa.”

Hazen mendongak, kedua mata hazelnya menatap dalam, bibirnya tertarik ke atas. “Lo nggak sadar apa kalo kita itu udah kayak orang nikah? Rawat Hevin bersama, ajakin Hevin jalan-jalan tiap weekend, quality time bertiga, ajarin Hevin jalan, ngomong bahkan ajarin dia makan yang bener berdua. Mandiin dia juga berdua, nemenin tidur berdua. Kurang kayak pasangan nikah gimana lagi kita?”

“Status Zen, validasi dari orang lain kalau kita pasangan menikah, itu yang gue mau. Kalo udah ada validasi begitu, artinya udah nggak ada hak lagi orang-orang buat ambil lo dari gue. Kalo gini, status gue cuma pacar lo, orang lain masih berhak buat suka sama lo bahkan deketin lo pun masih berhak karena lo bukan punya gue secara sah.”

“Lo lagi cemburu? Sama siapa sih?”

Marvin mendengus. “Kalo lo nanya gitu, udah puluhan orang gue cemburuin Zen. Lo terlalu baik dan welcome ke semua orang. Jadi gitu, beberapa orang ambil kesempatan dari keluguan lo ini duh.”

Hazen terkekeh. “Ah gemes banget kalo cemburu. Denger ya Kak Marvin, pacarnya Hazen, Papa nya Hevin. Gue nggak akan suka sama orang lain gimanapun usaha mereka narik perhatian gue, oke? Cause what?, gue udah ngerasa terikat sama lo dengan adanya anak kita, Hevin. Selain itu gue sayang banget sama lo, ummm cinta deh. Gue tuh udah klepek-klepek sama lo anjir Kak, nggak akan bisa juga gue jatuh cinta lagi sama orang lain. Lo pikir gue semudah itu buat jatuh cinta? Enggak Kak, lo itu orang kedua yang berhasil buat gue jatuh cinta.”

“Kedua? Yang pertama siapa?”

“Hmm adalah dulu, waktu masih kecil banget haha. Cinta monyet itu mah, masih ingusan tau apa tentang cinta?”

Marvin mengangguk. “Oh gitu.”

“Jangan bilang lo cemburu sama first love gue? Yang bener aja Kak?”

“Nggak cemburu.”

“Emang lo nggak pernah suka sama seseorang waktu kecil?”

“Pernah.”

“Ih, siapa?”

“Kepo, ada pokonya, waktu masih SD.”

“Jadi gue ini orang ke berapa? Kata lo tadi gue ini pertama dan terakhir buat lo?”

“Iya pertama dan terakhir, karena gue nggak anggep cinta monyet itu sebagai cinta. Itu hanya perasaan kagum dan senang anak-anak yang punya temen dekat.”

“Idih, tapi gue dulu beneran suka banget sama dia tau Kak meski cuma cinta monyet.”

“Ya udah coba cari tau orangnya dimana sekarang? Siapa tau dia juga pengen liat lo lagi?”

Hazen terkekeh. “Cemburuan amat dah. Utututu sayang deh. Nggak perlu nyariin dia, kan gue udah ada lo hehe.”

Marvin mengacak rambut Hazen gemas.

Mereka tak sadar saja, sejak beberapa menit lalu genjrengan gitar Jendra sudah tak bernada lagi karena sedang sibuk melihat drama roman picisan yang tersaji di depannya. Termasuk semua mata yang ada di sana.

“Indahnya kisah kasih remaja, dunia berasa milik berdua, yang lain cuma semut lewat doang.” Sindir Sandra kencang membuat Marvin dan Hazen tersadar.

“Enak ya pacaran di tengah keramaian? Mesra banget elah.” Tambah Devon.

Lalu yang ada disana pun tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi kikuk Marvin dan Hazen.

First Love? Gue punya, dulu. Bagaimana kabar dia sekarang? Sejujurnya, gue sedikit pengen tau keberadaan dia dimana

@_sunfloOra

Suara knalpot motor KLX 250 milik Hazen terdengar memasuki garasi apartemen milik Marvin. Hari sudah larut malam, tadi Hazen dan Golden Boyz berkumpul di asrama Raden, kumpul untuk terakhir kalinya. Sebetulnya, besok pagi mereka juga akan mengantar Raden ke Stasiun. Namun dasarnya anak-anak itu sedikit berlebihan atau karena terlalu menyayangi Raden hingga ingin menghabiskan sisa waktu yang ada bersama. Entahlah, sepertinya dua-duanya benar.

Setelah mencabut kunci motornya, Hazen melangkah lesu, saat ia akan memasukkan password, pintunya justru terbuka dahulu. Hazen terkesiap dan mendongakkan kepalanya, di depannya ada Marvin yang berdiri menjulang sembari tersenyum hangat menyambut Hazen.

“Akhirnya lo pulang juga. Do you need my hug, honey?” Ucap Marvin merentangkan tangannya lebar, siap menyambut sang kekasih ke dalam pelukannya.

Hazen yang sudah lesu karena hatinya sangat sedih pun tak kuasa, bibirnya melengkung ke bawah dan mata nya mulai berkaca-kaca. Lantas dengan cepat, ia menghambur ke pelukan Marvin setelah pintunya tertutup. “Kak Marvin hiks Raden hiks Raden pergi hiks hiks, pergi jauh hiks, ninggalin gue hiks.”

Marvin menumpukan dagunya di atas kepala kecil Hazen, tangan kirinya mengusap punggung sang kekasih sedangkan tangan kanannya mengusap lembut kepala Hazen. “Iya, gue tau. Udah pamitan baik-baik kan?”

Hazen tidak menangis kencang, ia hanya menangis sesenggukan. “I-iya, baik-baik kok hiks, besok gue anter dia ke stasiun sama yang lain juga. Gue hiks sebenernya nggak sanggup anter Raden pergi, tapi hiks gue nggak mau kesempatan gue untuk lihat Raden yang terakhir kalinya hilang gitu aja hiks. Gimana dong hiks, Kak?”

Pelukan Hazen mengerat, ia mendusal di dada Marvin, menumpahkan tangisnya di kaos putih tipis yang Marvin gunakan. Marvin menghela nafas lalu merenggangkan pelukannya, kemudian menangkup wajah mungil Hazen, menatap kedua manik hazel yang sembab itu. “Ngobrol di kamar gue aja mau nggak? Hevin udah tidur, kalo lo masih terusin nangis, yang ada malah ganggu Hevin.”

“Mauuuu, hiks gue masih mau nangis hiks. Dari tadi gue nahan buat nggak nangis di depan temen-temen gue. Rasanya sesek banget liat Raden ketawa tadi bercanda sama mereka, padahal gue tau Raden hatinya hancur juga karena harus ninggalin mereka besok.” Hazen menarik ingusnya, membuat Marvin terkekeh gemas.

“Keliatan kalo lo pengen nangis kejer, suara tarikan ingus lo kenceng, pasti banyak ingusnya tuh di dalem.”

Hazen mencubit lengan Marvin cuma-cuma, si empunya teriak kesakitan.

“A aduh aduh Zen ampun ampun, jangan dicubit duh, sakit bener anjir.”

“Rasain! Gue lagi sedih bisa-bisanya malah dikatain. Pacar laknat.” Ucapnya melepaskan cubitan mautnya dari lengan Marvin.

Marvin mengusap bekas cubitan itu kemudian membalasnya dengan mencubit kedua pipi gembul Hazen. Lebih ke menguyel-uyel pipinya Hazen sih...

“Kak Marvin ih, jangan digosok-gosok pipi gue. Bukan ale-ale loh ini.” Hazen berusaha melepaskan jemari Marvin yang menguyel-uyel pipinya.

“Aduh gemes banget pacar gue kalo ngambek haha. Gue tuh lagi hibur lo, bukan ledekin. Nggak lucu ya emang?” Katanya melepaskan jemarinya dari Pipi Hazen, lantas berganti mengusap pipi Hazen lembut.

“Sedikit lagi lucu, tapi gue sedih nya kebangetan, jadi nggak lucu.”

Marvin tersenyum simpul lalu berjongkok memunggungi Hazen. “Ayo naik, nggak capek apa berdiri terus?”

Hazen mengernyitkan dahinya. “Lo mau gendong gue gitu maksudnya?”

“Ya iya anjir, lo kira gue jongkok gini mau ngapain?”

Hazen menarii ingusnya lagi lalu mendekati Marvin. “Gue berat, nanti punggung lo encok.”

“Nggakpapa, bisa pake koyo nanti.”

“Serius Kak, gue berat kayak sapi.”

Marvin menepuk jidatnya. “Iya, mau lo berat kayak gajah juga nggakpapa, Hazen.”

“Nanti lo patah tulang, ya kali lo mau gendong gue buat naik ke lantai 2? Yang bener aja anjir kak?”

Habis sudah kesabaran Marvin. Ia berbalik dan menghadap Hazen, tanpa aba-aba ia memeluk pinggang ramping Hazen dan mengangkatnya, membuat Hazen terkejut setengah mati.

“Aaa Kak Marvin, gue hampir aja jatuh, bego!” Protesnya dan tangannya spontan memeluk leher Marvin sedangkan kedua kakinya mengapit pinggang Marvin. Karena Marvin mengangkat tubuh Hazen untuk digendong koala.

Marvin tergelak tawa. “Bawel sih, dibilang suruh naik dari tadi pake ngong ngang ngong ngeng segala. Lama.” Katanya, mengeratkan pelukannya di pinggang Hazen dan mulai berjalan.

“Kak, gue jalan sendiri aja deh ya? Gue berat, tadi abis makan Gurame Bakar, nasinya 2 porsi.”

Marvin tak peduli, ia terus berjalan menuju tangga. “Lo nggak berat-berat amat, masih berat Jay.”

“Lo pernah gendong Kak Jay?”

“Jay yang tetiba naik ke punggung gue, kurang ajar emang, nggak sadar diri beratnya kayak kerbau.”

Hazen tertawa, sudah berhenti sesenggukan, air matanya juga sudah berhenti meski masih berkaca-kaca. “Hahaha, kalian berdua lucu ya? Udah sahabatan dari lama ya?”

“Lama banget, dari jaman SD.”

“Kak Jay SD nya di Kanada juga dong?”

“Iya, waktu dia tau gue pindah ke Indonesia, dia ikutan nyusul. Kasian, nggak punya temen kayaknya dia tuh, mangkanya nyusulin gue.” Kedua kaki Marvin perlahan menaiki anak tangga hingga setengah tangga.

Hazen terlihat nyaman saja dalam gendongan Marvin, karena anak itu menyandarkan kepalanya di ceruk leher Marvin. Hazen memang lelah seharian bermain di pantai, menyetir pulang pergi, sehingga ia terasa lemas juga sekarang, tenaga nya terkuras buat menangis dan bergerak.

“Zen, lo tidur?”

“Hm, nggak.”

“Jangan tidur dulu, kalo lo tidur, gue gelindingin dari sini nih.” Marvin menepuk pantat Hazen.

“Ishhh jangan tepok-tepok, bukan gendang ini bang.” Hazen menggigit cuping telinga Marvin sebagai balasan.

“Aw, kok di gigit sih? Nanti kalo telinga gue putus gimana?”

Hazen mengerlingkan matanya. “Lebay, nih gue obatin deh.” Lalu Hazen mengecup cuping telinga Marvin yang baru saja ia gigit.

Marvin terhenyak, sampai menghentikan langkahnya. Ia merinding jujur saja, hembusan nafas Hazen yang menggelitik telinga dan area lehernya membuat ia menjadi—meremang.

“Kenapa berhenti Kak? Gue berat ya?” Hazen menatap iris gelap sang kekasih yang posisinya lebih rendah darinya.

Marvin mendongak lalu menggelengkan kepalanya. “Nggak, bukan itu. Ada semut nyebrang tadi.”

“Hah?”

Marvin tersenyum lalu melanjutkan jalan menaiki anak tangga. Shit, hampir aja gue kelepasan mau nerkam Hazen. Huft sabar, ini cobaan.” Batinnya menggerutu.

Hazen kembali menyamankan posisinya seperti semula, meletakkan kepalanya di bahu Marvin dan menghidu aroma kekasihnya dalam-dalam. “Seperti biasanya, lo wangi banget. Gue suka.”

Ceklek

Marvin membuka pintu kamarnya karena sudah sampai, kemudian menutupnya dengan kaki.

“Gue selalu wangi, kapan gue pernah bau?”

“Nggak pernah sih hehe.”

“Udah sampe, turun lo.”

Bukannya menurut, Hazen malah mengeratkan pelukannya di leher serta pinggang Marvin. “Nggak mau!” Katanya dan mendusalkan wajahnya di leher Marvin.

“Hazen, turun sayang.”

Hazen menggelengkan kepalanya. “Nggak mau, mau dipeluk Kak Marvin.” Bibirnya melengkung ke bawah, menatap Marvin dengan puppy eyesnya.

Marvin memejamkan matanya sebentar, mengambil nafas dalam dan menghembuskannya. “Lo kalo sedih, jadi manja banget.”

“Mangkanya hibur dong, kan pacarnya lagi sedih, harusnya dimanjain kek, apa kek.”

Marvin mendudukkan tubuhnya di tepi kasur, masih dengan Hazen yang ada di gendongannya. “Ya udah, tapi gue duduk ya? Capek berdiri.”

“Okeeee.” Hazen mengangguk dan kembali memeluk Marvin masih dalam pelukan koala nya. Marvin memeluk pinggang Hazen, menumpukan dagunya di bahu Hazen juga.

“Jadi nangis nggak?”

“Jadi, sebentar.”

Ada jeda beberapa saat, sampai terdengar isakan dari Hazen. Spontan, kedua tangan Marvin mengusap punggung serta kepala Hazen. “Nangis yang kenceng nggakpapa sayang, keluarin semuanya malam ini, dan besok lo nggak boleh nangis lagi, lo harus senyum lebar waktu anter Raden ke stasiun. Gue bersedia meluk lo kayak gini sambil duduk berjam-jam sampai lo berhenti nangis.”

Makin kencang isakan Hazen, terdengar pedih dan memilukan.

Yuk, putar lagunya juga bestie, biar makin awesome :) “Sayap Pelindungmu by TheOvertunes”

https://www.youtube.com/watch?v=B73IlZdhUUM

“Hiks Kak, gue ini jahat banget sama Raden ya? Emang nggak bisa apa kalo gue sayang banget sama dia tanpa perlu mencintai? Salah ya kalo gue sayang Raden sebagai sahabat yang paling gue sayang, paling berharga. Nggak boleh gitu emang? Hiks hiks gue jahat ya hiks udah sakitin hati Raden?”

“Nggak salah Zen, sayang bukan berarti harus cinta. Sayang sama cinta itu beda definisi dan penerapannya. Sayang sama cinta punya kesamaan, yaitu universal dan bebas. Bisa ke benda mati, hewan, manusia, tanaman atau hal goib kayak Tuhan, Bapa, Dewa, Malaikat, Nabi, Rasul, dan sebagainya. Kalau cinta otomatis sayang, tapi kalo sayang belum tentu cinta, nah maksud gue disini adalah, maknanya beda.”

Hazen mendengarkan dengan masih menangis, membasahi leher Marvin karena lelehan air matanya yang deras.

“Kalo cinta itu sebuah emosi kompleks yang didalamnya ada afeksi, devotion, kelembutan, dan sensitivitas. Mau berusaha buat saling melengkapi kekurangan, ingin melakukan yang terbaik untuk seseorang meski dirinya sendiri harus berkorban, istilahnya rela mau ngapain aja asalkan dia bahagia meski bahagianya dia nyakitin lo. Dan bisa disebut ketertarikan seksual alias pengen milikin, artinya dia tertarik dan punya perasaan sama lo. Itu yang dinamakan cinta.”

“Contoh gampangnya, kayak gue ke lo. Gue tertarik sama lo, suka sama semua yang ada sama lo. Nggak cuma fisik, melainkan pribadi lo, karakter lo, sifat lo, itu ngebuat gue jatuh cinta sama lo. Karena gue jatuh cinta sama lo, udah dipastikan gue sayang banget sama lo, gue nggak mau kehilangan lo, gue bisa lakuin apa aja buat lo asal lo bisa ketawa, senyum, bahagia. Gue siap jagain lo dan jadi pelindung buat lo dari kejamnya dunia ini. Nggak ada yang boleh jahatin lo, siapapun yang berniat jahat sama lo bakal gue hadepin, gue nggak akan biarin siapapun berani jahatin lo.”

Hazen makin menangis keras, dadanya naik turun sesenggukan mendengarkan kejujuran Marvin yang begitu gamblang, namun sejujurnya Hazen juga ingin tertawa, karena Marvin yang bilang, maka ini terdengar aneh. Meski begitu, Hazen tidak bisa untuk tidak menangis, karena ia sangat bersyukur punya Marvin ada di sisinya.

“Sedangkan sayang itu, bukan ketertarikan seksual. Hanya perasaan tulus seseorang, murni tanpa adanya perasaan ingin memiliki dan meminta balasan. Respon dalam diri seseorang untuk nunjukin kepedulian, empati, perhatian, dan rasa untuk melindungi.” Katanya masih mengusap kepala Hazen.

“Oh ada lagi perbedaan yang mencolok. Prioritas. Kalo cinta, dia pasti orang yang lo prioritasin daripada orang lain, bahkan daripada diri lo sendiri. Semuanya harus dia dulu, baru yang lain. Cinta itu dikasih ke orang yang spesial, alias bukan untuk banyak orang, spesifik. Buat kekasih, suami, istri. Kalo sayang jangkauannya luas, bisa ke banyak orang dan nggak ada yang lebih spesial, tahta nya sama rata. Nggak ada yang lebih di prioritasin.”

“Contohnya kayak lo sayang sama sahabat-sahabat lo. Diantara Raden dan yang lainnya, sayang lo sama rata kan? Nggak pilih-pilih? Harus utamain Raden daripada Nathan, Jendra, Leo ataupun Jidan? Nggak gitu kan?”

Hazen menggeleng. “Gue sayang hiks semuanya hiks, nggak ada yang lebih hiks bgue bprioritasin diantara mereka ber 5 hiks.”

“Nah, lo naksir mereka nggak?”

“Ya enggaklah hiks, kalo naksir ya udah gue jadiin pacar hiks.”

“Ya udah, itu bedanya. Sayang belum tentu naksir, cuma mau beri perhatian yang tulus ataupun rasa pengen jagain dan ada buat dia kalo dia butuh. Beda sama cinta, kalo cinta udah jelas naksir dan pengen jadiin dia miliknya, jadiin teman hidupnya sampe seumur hidup.”

“Intinya, lo ataupun Raden nggak ada yang salah, perasaan Raden ke lo juga nggak salah, apalagi rasa sayang lo ke Raden, nggak salah. Wajar sayang sama temen, sahabat, keluarga. Kita manusia, diciptain dengan dikasih perasaan untuk menyayangi makhluk lain. Jadi lo jangan merasa bersalah gitu, karena lo nggak nyakitin Raden, lo cuma menjalani apa yang jadi kehendak lo sebagai sahabat, sayangin dia, kasih perhatian, perlindungan dan kenyamanan. Cuma aja, emang hukum alam, kalo nggak bisa handle perasaan, jadinya ya gitu, jatuh cinta. Apalagi cinta datangnya bisa karena apa dan kapan aja. Memang bukan rejeki Raden buat dibales perasaannya, artinya lo bukan orang yang ditakdirin buat Raden.”

“Satu lagi, kalo cinta itu tiap lo liat dia atau mikirin dia, di deket dia juga, perasaan lo kerasa membuncah, berdebar, seneng, tremor, tegang jadi satu. This is called fall in love.”

“Hiks kak Marv hiks, berarti gue bukan sekedar sayang sama lo hiks. Karena yang gue rasain ke lo beda sama yang gue rasain ke Raden dan sahabat-sahabat gue. Ke mereka gue nggak ada rasa tremor, berdebar ataupun membuncah gitu hiks, tapi kalo sama lo, kayak gitu hiks, sekarang contohnya hueeeee.”

Marvin terkekeh lalu menangkup kedua pipi Hazen, menyeka air mata yang terus mengalir dari wajah si manis. “I know, your eyes tell me everything. I can see it from the look in your eyes. That you love me, I can feel how your heart beats when you're with me, or your nervousness when you're around me. We're same, cause, i feel that when I'm with you, Zen. I love you so much, can you see or feel that?”

Hazen ,menatap sendu sang kekasih lalu mendekatkan wajagnya hingga hidung keduanya bersentuhan. Kedua tangannya mengusap rambut Marvin, maniknya beradu tatap begitu dekat dengan Marvin, sama-sama saling mengunci pandangan. “Bisa, gue bisa lihat dan rasain itu. Sekarang, gue bisa dengerin detak jantung lo yang kenceng, sama kayak gue. And also, your eyes tell me if you really love me. I can see it, I can feel that. Kak Marv, gue cinta sama lo, dan rasanya gue nggak pengen jauh dari lo, gue beneran takut kalo tetiba lo pergi gitu aja ninggalin gue hiks gue hiks nggak tau harus gimana kalo sampe itu terjadi hiks gue nggak mau dan nggak akan pernah siap bu—”

Ucapan Hazen terhenti begitu saja karena akses bicaranya baru saja dibungkam oleh bibir Marvin. Dipagut lembut bibir semanis cherry itu oleh Marvin tanpa meminta izin. Bukannya ia sebal karena Hazen banyak bicara, ia tidak ingin mendengar ketakutan Hazen yang jelas tidak akan terjadi. Marvin tidak akan pernah pergi dari Hazen begitu saja, meski takdir nantinya memisahkan mereka, Marvin akan pamit sebelum pergi. Hazen memiringkan kepalanya dan memejamkan mata lalu membuka mulutnya lebih lebar lagi untuk membalas ciuman sang kekasih, sama-sama memagut bergantian atas bawah.

Tangan Marvin yang semula mengusap punggung Hazen pun beralih mengusap pipi Hazen yang masih basah karena air mata, mengusap dengan ibu jarinya. Kepala keduanya bergantian miring ke kanan dan kiri, mencari posisi yang nyaman untuk memperdalam ciuman mereka, yang tadinya hanya saling memagut dan melumat bibir atas bawah, kini Marvin menggigit bibir kenyal Hazen, si empunya mendesis kenikmatan. Hazen mengeratkan pelukannya di leher Marvin.

Tempo ciuman itu berubah menjadi lebih agresif dan memacu adrenalin, membuat udara di sekitar terasa panas, keringat mulai muncul di pelipis keduanya. Lidah mulai ikut andil dalam mengeksplor rongga mulut keduanya, beradu saling menukarkan saliva untuk dicicipi. Nafas mereka perlahan mulai naik turun, sesak dan membuat kepala pening.

Hazen mencengkram bahu Marvin ketika lidahnya digigit Marvin saat sedang menyesap saliva yang berhasil ditukar. “Kak Mmmaaamhhh, udah huh....” Racau Hazen dengan suara seraknya.

Bukannya mendengar racauan Hazen, Marvin justru berdiri dan memeluk pinggang Hazen erat lantas berbalik dan membanting Hazen dikasur masih dengan sibuk melumat bibir Hazen yang bagai candu untuknya.

Brukk

Hazen terbaring di kasur dengan Marvin yang mengungkung di atasnya, tak hentinya ia melumat bibir Hazen bak orang kesetanan.

“Ssshhh Kak mmmhhhmaarvv umhhh.”

Hazen meremat rambut Marvin kuat, ia ingin Marvin menghentikannya sebelum ia kehabisan nafas dan berakhir pingsan atau parahnya bablas tinggal nama aja.

“Euungggmmmhh Kakhh u-udahh, gue mau matii bangsattthhh ughh.”

Barulah Marvin melepaskan pagutan itu, masih dengan posisi mengungkung Hazen. Si manis terlihat sangat berantahkan, bibirnya sangat basah, bahkan bengkak dan mengeluarkan darah sedikit. Wajahnya dipenuhi keringat serta sisa air mata nya tadi, kedua pipi dan telinga nya memerah, kedua matanya berkaca-kaca, nafas tersengal-sengal.

Sungguh, pemandangan yang indah untuk Marvin.

Marvin menatapnya lembut, menyisir helaian rambut Hazen yang berantahkan, merapikannya agar tidak menutupi wajah manis Hazen. Ia juga menyeka keringat Hazen. “Jangan pernah ngomong kayak gitu lagi Zen, lo harus percaya sama gue, kalo gue nggak akan ninggalin lo apapun alasannya. Gue udah janji sama lo, kalo kita besarin Hevin bersama, bahagiain anak kita bersama. Trus menurut lo, gue bakalan pergi gitu aja Zen? Enggak sayang, gue punya tanggung jawab sebagai Papanya Hevin, sebagai calon tunangan lo. Nggak akan gue pergi ninggalian kalian berdua, meski kita nggak tau masa depan kayak apa, tapi gue bakalan lawan takdir itu, gue nggak mau ikutin skenario Tuhan kalo misalnya skenario itu misahin gue dari lo dan Hevin.” Ucapnya begitu lembut dan menatap dalam Hazen.

Hazen memeluk leher Marvin dan menariknya hingga Marvin terjatuh di sampingnya. Hazen memeluk Marvin seperti guling, mendusalkan kepalanya di dada sang kekasih. “Maaf, gue cuma takut Kak, bukannya maksud gue meragukan lo, tapi ini gue beneran takut yang takut banget. Apapun yang terjadi nanti Kak, gue nggak akan lepasin lo gitu aja, gue bakalan pegang lo erat-erat ketika takdir membawa lo pergi dari gue dan Hevin.”

Marvin memiringkan tubuhnya sehingga berhadapan dengan Hazen lalu menarik Hazen ke dalam pelukannya. Menciumi seluruh permukaan wajah manis Hazen. “Gue nggak akan kemana-mana Zen, gue sayang banget sama lo dan Hevin. Jangan pikirin yang enggak-enggak ya? Karena nggak semuanya yang datang itu akan pergi, contohnya gue. Gue nggak akan pergi ninggalin lo, kecuali kalo Tuhan ambil nyawa gue, itu udah di luar kehendak gue Zen, mau nggak mau, gue harus ninggalin lo.”

“Kak Marvin! Jangan ngomong gitu hiks, nanti gue nangis lagi hiks.” Katanya memukul dada Marvin.

“Hahaha bercanda. Sekarang gimana? Udah lega belum?”

“Lumayan, tapi gue kalo keinget Raden rasanya mau nangis lagi Kak.” Cicitnya lirih.

“Ya udah nangis lagi aja, gue bilang kan malam ini terakhir lo nangisin Raden, gue bilang, besok lo harus anterin dia dengan senyuman.”

Hazen menghela nafasnya, memeluk Marvin makin erat. “Raden dulu anaknya pendiem, suka menyendiri, nggak punya temen. Nggak ada yang mau temenan sama dia karena orang-orang tau Ibu Raden um—aktris film dewasa yang terkenal waktu itu. Kalo lo pernah denger, aktris Wilona Arunika, itu Ibunya Raden.”

Marvin memilih bungkam ketika Hazen tetiba menceritakan tentang Raden.

“Waktu malam natal lo nolongin gue, ada 12 orang disana kan? Mereka yang bully Raden waktu SMP, yang menguak identitas Raden sebagai anak dari aktris Wilona.”

“Sejak saat itu, satu sekolah jahatin Raden, cemooh, nge bully sampe kekerasan fisik juga. Gue nggak satu kelas sama Raden, jadi gue nggak kenal Raden saat itu kalo nggak berita tentang Raden tersebar di seluruh sekolah.

“Dan mulai saat itu, gue deketin Raden dan menawarkan diri buat jadi temennya. Satu-satunya temen di sekolah. Dan mulai saat itu, gue yang jadi tameng buat Raden, karena semua tau gue atlet Judo, nggak ada yang berani lawan gue. Tapi Asahi, ketua geng nggaj jelas itu nantangin gue buat berantem. Gue jabanin, karena janji dia nggak akan gangguin Raden lagi kalo gue menang. Dan akhirnya dia babak belur sampe masuk rumah sakit waktu itu, gue disidang di BK, hampir gue dikeluarin dari sekolah. Kalo aja Raden nggak bilang semuanya bahwa Asahi dan gengnya itu kelompok pembully di sekolah. Karena emang gak cuma Raden yang jadi bahan bully mereka.”

“Berkat Raden, gue cuma dihukum skorsing 2 minggu, Asahi dikeluarin dari sekolah dan pindah ke Paris sama keluarganya. Sekolah jadi tentram, nggak ada yang nge bully Raden lagi karena gue selalu ada 24/7 buat Raden. Dikit-dikit, dia gue ajarin bela diri. Dan gue masih tetap satu-satunya temen dia di SMP, meski Raden nggak di bully lagi, itu nggak memperbaiki keadaan yang kenyataannya Raden anak dari aktris Wilona. Semua jauhin Raden, cuma gue yang mau temenan sama dia.”

“Gue tuh nggak habis pikir sama anak sekolah gue, emang kenapa sih kalo Ibu nya aktris film dewasa? Kan nggak ngerugiin mereka juga, padahal Raden anaknya kalem, pendiem, sopan, baik lagi. Sampai waktu masuk SMA, Raden daftar bareng gue, dia bilang nggak mau pisah, takut dia nggak punya temen lagi di SMA. Lalu kita ketemu Jendra, Nathan, Leo sama Jidan pas MOS satu kelompok. Ya, lalu kita berteman. Bahkan mereka ber 4 nerima Raden setelah tau kenyataan siapa Ibu nya Raden. Gue bersyukur banget mereka welcome sama Raden.”

“Raden jadi anak yang periang saat SMA, banyak ketawa dan senyumnya, karena mereka berempat peduli dan perhatian banget sama Raden. Tapi sejak saat itu juga, Raden yang kalem, pendiem, sopan dan santun nya ilang ditilep Jeki. Dia jadi berani, barbar dan bisa mengekspresikan diri karena mereka berempat. Hahaha kalo gue inget-inget lucu juga, Raden berubah 180 derajat. Gue bersyukur karena Raden bisa bebas, lepas kayak gitu.”

“Mangkanya Kak, gue sayang banget sama Raden. Gue ngerasa kayak negrawat Raden dari kecil sampe sekarang, gue jagain dia selama 6 tahun, hampir 7 tahun berjalan. Ngerasa liat tumbuh kembangnya Raden dari SMP sampe sekarang. Sesayang itu gue sama Raden Kak, karena dia pun orang yang bijak, dia sering nasehatin gue ini itu kalo gue salah dan gegabah. Intinya gue sama Raden tuh saling melengkapi, gue merasa kayak punya abang sekaligus adek sekaligus temen kalo bareng Raden.”

“Terlalu complicated kan ya hubungan gue sama Raden? Hahaha.” Tawanya hambar, rasanya Hazen ingin menangis lagi.

“Raden hebat Zen, apalagi lo. Jagain Raden selama 6 tahun. Dan Raden tumbuh dengan baik juga, hubungan kalian emang nggak bisa di deskripsikan dengan kata-kata. Jadi kalian nggak ada yang salah disini, ini hanya perihal pihak mana yang nggak bisa jaga perasaannya sendiri untuk nggak jatuh cinta, dan Raden pihak yang nggak bisa jaga itu dan berakhir cinta sama lo. Oleh karena itu, Raden udah bilang kan kalo dia relain dan lepasin lo?”

Hazen mengangguk.

“Maka semuanya sudah selesai Zen, lo juga harus rela lepasin Raden. Biarin dia cari bahagianya sendiri, karena lo, udah jadi bahagianya orang lain, bahagianya gue sama Hevin. Bukan punya Raden lagi.”

“Gue udah ikhlas Kak, gue relain Raden kok. Gue seneng banget dia bisa gapai cita-citanya buat jadi seniman terkenal, gue saksi bisu gimana Raden dari SMP sampe sekarang hobinya coret2 kanvas sama kertas dan jadiin yang kosong mlompong menjadi sebuah karya seni yang indah dan artistik. Raden pantes dapat beasiswa ini, dia berbakat. Gue egois kalo nggak bisa lepasin dia.”

Marvin menepuk pucuk kepala Hazen lalu mengecup keningnya. “Bagus, ini namanya bijaksana. Hazen yang gue tau, bukan orang yang egois dan mikirin diri sendiri. Lo hebat, kesayangan gue hebat.”

Hazen tersenyum namun air matanya keluar lagi. Ia bahagia memiliki Marvin sebagai support system nya. Hazen sangat mencintai lelaki di pelukannya ini, sungguh.

“Makasih Kak, lo beneran penyembuh buat gue. Dan gue juga bakalan jadi sayap pelindung buat lo. Bukan cuma lo yang harus lindungin gue, tapi gue juga mau jagain lo. Kita saling menjaga aja ya Kak? Siapapun yang jahatin lo harus berhadapan sama gue. Dunia nggak boleh jahat sama lo, cukup di masa lalu dunia membuat lo sedih dan hancur, sekarang waktunya lo bahagia Kak.”

Marvin terkekeh gemas lalu mencium hidung Hazen. “Iya iya, nanti kalo dunia jahat sama gue, gue ngadunya ke lo aja ya?”

“Harus tuh! Hehehe.”

Keduanya tertawa dan berbagi afeksi menenangkan malam itu. Berbagi ucapan-ucapan menenangkan hati. Hazen yang sedih pun bisa tersenyum lagi berkat Marvin.

@_sunfloOra


Hazen dan Raden duduk di gundukan pasir Pantai Pulau Bidadari. Sedikit jauh dari tempat tinggal mereka, namun Raden ingin perpisahannya dengan Hazen berkesan, menikmati waktu terakhir berdua saja. Bahkan Marvin pun mengijinkan ketika Hazen memberitahunya.

Marvin bilang, “Bermainlah sepuas kalian hari ini, Hevin biar gue yang jagain, Daddy sama Papa juga kepengen main sama Hevin. Lo bisa habisin waktu seharian bareng Raden.”

Hazen menatapnya sendu lalu memeluk Marvin. “Makasih banyak, lo nggak cemburu kan Kak? Lo tau kalau Raden—”

Marvin mengelus helaian rambut Hazen kemudian mencium tengkuk leher Hazen. “Nggakpapa, Raden ada lebih dulu buat lo daripada gue, dia sahabat terbaik lo kan? Gue percaya sama lo, lo sendiri yang nolak dia waktu itu. Kalian perlu menyelesaikan semuanya, diantara kalian masih belum ada yang selesai. Jadi, pakai waktu hari ini buat selesaiin kisah rumpang kalian ya?”

Hazen mengangguk di dalam pelukan Marvin. “Makasih banyak buat pengertiannya Kak, nggak tau kenapa hari ini gue ngerasa sedih. Seolah-olah hari ini adalah hari terakhir gue ketemu Raden.”

“Kalau itu beneran terjadi, lo harus ikhlas ya Zen? Apapun keputusan Raden nanti, tolong hargai, lo mungkin sedih, marah ataupun kecewa, tapi itu hak Raden buat lakuin apapun untuk hidupnya. Jadi, apapun yang terjadi nanti, lo harus lapang dada. Oke?”

“Ih, lo kayak lagi ngasih tau gue kalo Raden beneran bakal pergi tau Kak. Jangan gitu, gue makin sedih mikirinnya.”

Marvin tersenyum sendu, karena kenyataannya memang begitu. Raden sudah memberitahu semuanya kepadanya tentang pertemuan apa yang akan mereka lakukan. Marvin tidak berhak memberitahu Hazen, dia tidak berhak ikut campur. Marvin pikir biarkan Hazen dan Raden menyelesaikan semuanya berdua.

“Gue nggak bilang gitu, tadi lo yang ngerasa Raden mau pergi. Biasanya insting sahabat itu ada benernya. Jadi gue bilang, apapun yang terjadi, hargai keputusan Raden dan lo harus ikhlas. Oke sayang?”

Dengan polosnya Hazen mengangguk seperti anak kecil. “Iya.” Ucapnya merenggangkan pelukan lalu tanpa izin mencium bibir sang kekasih.

Tentu saja dengan senang hati, Marvin membalas ciuman itu. Marvin dan Hazen tidak pernah canggung lagi setelah menjalin status sebagai kekasih untuk melakukan skinship intim seperti ini. Hanya sampai cium bibir saja, belum sampai tahap yang lebih, karena Marvin bilang, dia mencintai Hazen, orangnya. Bukan hanya keindahan tubuhnya.

Setelah ciuman itu dirasa cukup mengurangi kecemasan Hazen, ia pun menyudahi pagutan bibir mereka. Hazen tersenyum lalu mencium pipi kanan Marvin. “I love you, gue pergi dulu ya? Titip salam buat Daddy sama Om Noah.”

Marvin mengangguk dan mengusak rambut Hazen. “Iya, nanti gue sampein. Oh iya, sampein salam juga ke Raden ya.”

“Okidoki, kalau gitu gue berangkat. Bye-bye.” Ucap Hazen melambaikan tangannya yang dibalas oleh Marvin juga.

Bye sweetheart, kayaknya gue harus siap-siap buat tenangin lo ntar malem.” Gumamnya dan menghela nafas.


Raden dan Hazen hanya diam dan menikmati pemandangan birunya air pantai Bidadari. Pantai sedang sepi, mungkin karena ini masih siang. Biasanya akan ramai saat sore hari.

Angin pantai menerbangkan helaian rambut keduanya, suara deburan ombak mengiringi kesunyian diantara keduanya.

“Den.” Panggil Hazen, menoleh untuk melihat Raden yang melamun menatap pantai.

“Hm? Iya, kenapa Zen?” Raden menoleh juga untuk membalas panggilan Hazen.

Hazen menghela nafas. “Kayaknya ada sesuatu yang penting yang mau lo omongin ke gue. Nggak biasanya lo ngajak gue ke pantai sejauh ini berdua tanpa ajak anak-anak lain.”

Raden terkekeh lalu menatap ombak pantai lagi. “Emang, ternyata lo peka juga ya.”

“Jadi? Mau ngomong apa? Gue udah deg-deg an bahkan disaat lo belum ngomong apapun.”

Raden menundukkan kepalanya lalu mengambil ponsel dari sakunya, membuka sebuah situs web kampus yang menunjukkan daftar nama-nama mahasiswa yang terpilih beasiswa ke London.

“Gue mau kasih tau ini ke lo.” Ucapnya mengulurkan ponselnya kepada Hazen.

Hazen mengambil ponsel Raden dan membacanya dengan seksama, beberapa detik kemudian ia membelalakkan matanya dan menatap Raden sanksi. “Berangkat kapan?”

“2 hari lagi, besok gue mau pulang ke Malang, pamit sama Ibu.” Ucapnya lirih.

Hazen meremat ponsel Raden. “Kenapa lo baru bilang sekarang? Lo nggak bilang ke gue waktu mutusin buat daftar beasiswa, dan sekarang waktu lo kasih tau gue, udah mau berangkat aja. Nggak sekalian lo berangkat tanpa kasih tau gue gitu Den?” Sarkas nya sembari terkekeh.

Raden tertawa hambar. “Tadi sih pengennya gitu, langsung berangkat aja tanpa kasih tau lo.”

“Trus? Kenapa lo repot-repot kasih tau gue sekarang?”

“Karena lo sahabat gue. Lo masih jadi orang yang paling penting buat gue selain Ibu dan Golden Boyz. Gue nggak mau kabur, tapi gue mau pamit. And then, here we go.

Hazen teringat kata-kata Marvin tadi sebelum ia berangkat kesini, entah kekasihnya itu dukun atau apa, ternyata nasehatnya tadi berujung nyata sekarang. Raden benar-benar akan pergi jauh darinya.

“Selamat Den, gue bangga banget sama lo. Ini cita-cita lo sejak dulu, dan akhirnya sekarang lo bisa meraih itu. Gue seneng, terharu karena usaha lo membuahkan hasil. Gue—bahagia buat lo.”

Raden menoleh, di sampingnya Hazen tersenyum menatap dirinya. Raden sudah menahan tangis sejak tadi, dan kini tatapan tulus dari Hazen menggoyahkan pertahanannya.

Raden menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan mulai menangis. Raden bukan laki-laki cengeng, tapi dia bisa menangis tersedu-sedu jika menyangkut Ibunya dan Hazen. Memang seberarti itu Hazen untuknya, dan sekarang waktunya ia melepas Hazen, mengikhlaskannya dengan lapang dada. Karena Hazen kini sudah dimiliki oleh orang lain, ia tidak berhak lagi untuk memaksakan kehendaknya agar Hazen membalas perasaannya.

“Hiks Hazen hiks hiks maaf gue cengeng hiks gue—gue...”

Grep

Hazen memeluk tubuh kecil Raden, menumpukan dagunya di atas kepala Raden. “Lo nggak cengeng, nangis aja Den, sepuas lo.”

Kedua tangan Raden yang tadinya digunakan untuk menutupi wajahnya pun beralih untuk memeluk pinggang Hazen, menumpahkan semua tangisnya di hoodie Hazen. Menangis sekencang-kencangnya. Karena sejujurnya hati Raden sakit menghadapi kenyataan bahwa hari ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Hazen, terakhir kalinya juga ia bisa memeluk Hazen. Semua serba terakhir—tentang Hazen.

Hazen menitikkan air matanya tanpa suara, diam dan hanya mendengar isakan kencang dari sahabatnya. Hazen sedih, sedih sekali. Karena bagaimanapun juga, ia sangat menyayangi Raden. Rasa sayangnya tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. Terlalu komplek, namun seperti kata Marvin, ia harus rela dan lapang dada menerima perpisahan ini dengan Raden.

“Hiks Hazen, gue seneng bisa berangkat ke London hiks tapi gue sedih karena harus pisah sama lo hiks. Maaf, gue tamak dan lancang masih cinta sama lo hiks meski lo udah jadi milik Kak Marvin. Maaf hiks, jangan benci sama gue ya Zen? Beri gue waktu lagi buat hilangin perasaan gue.”

“Gue nggak benci, yang ada harusnya lo yang benci sama gue Den, gue brengsek banget nyakitin hati lo, gue nggak tau harus apa Den, gue bener-bener nggak ngerti sama hubungan kita yang rumit gini. Gue sayangggg banget sama lo, tapi gue nggak bisa Den, gue nggak bisa bales perasaan lo, rasa sayang gue ke lo beda, bukan dalam artian gue cinta sama lo. Tapi lebih ke—lo sama berartinya kayak Bunda, Ayah, dan Mas Devon buat gue. Yang artinya, gue nggak bisa buat kehilangan lo.”

Hazen menghela nafasnya dan mengusap rambut halus Raden penuh kelembutan. “Jangan hilang ya Den? Gue harap, disaat semua diantara kita udah selesai, kita bisa ketemu lagi. Ketemu dengan diri lo yang bahagia, gue mau liat lo bahagia Den.”

Raden sesenggukan, bahagia katanya? Apa yang harus Raden lakukan kalau orang yang buat dirinya bahagia saja tidak bisa digapainya?

“Lo kebahagiaan gue Zen, kalo lo mau buat gue bahagia, biarin gue hilang sebentar aja, sampai gue siap buat lihat lo lagi nantinya. Dan—lo juga harus bahagia disini, sama Kak Marvin dan anak kalian. Kalo lo bahagia, gue juga bahagia Zen. Meski gue harus nangis berulang kali nantinya, gue nggak akan nyesel lepasin lo. Karena tujuan gue buat pergi selain meraih cita-cita juga untuk lo agar bebas dari bayang-bayang gue. Makasih untuk 6 tahun nya Zen, selama 6 tahun ini, lo masih jadi satu-satunya orang yang ajarin gue apa itu bahagia.”

Hazen mengangguk dan mengeratkan pelukannya. “Maaf, dan terimakasih Raden, gue berdoa untuk kesuksesan lo. Gue yakin lo akan jadi orang hebat disana, nanti—kalau lo udah siap, tolong hubungi gue, kasih tau gue kalo lo nggak lupa dan masih inget gue Den, maaf kalo gue egois, tapi please jangan lupain gue, lo boleh lupain perasaannya tapi jangan gue nya.”

“Iya, gue nggak lupa. Kecuali kalo gue amnesia hahaha.” Kekehnya hambar, karena air matanya masih saja menetes.

“Raden, jangan ngomong gitu. Lo buat gue takut.”

“Zen, boleh gue minta satu permintaan terakhir dari lo sebelum gue bener-bener pergi?”

Hazen menghapus air matanya dan merenggangkan pelukannya, lalu menyisir poni Raden yang menjuntai dan mengangguk. “Boleh.”

Raden berdiri lalu menawarkan bantuan kepada Hazen agar ikut berdiri dengannya, yang dituruti Hazen tentu saja.

“Ayo buat kenangan indah sebagai tanda perpisahan. Gue mau perpisahan kita bukan berupa tangisan memilukan, gue mau perpisahan kita adalah tangisan kebahagiaan.” Ucap Raden menggenggam jemari Hazen dan membawanya lari menuju tepi Pantai.

Raden mengeluarkan handy cam dari tas slempangnya kemudian mulai merekam Hazen, Raden ingin menyimpannya jika ia merindukan Hazen nanti, ia akan melihat video ini nantinya.

“Lo ngapain Den?”

Record lo lah, emang ngapain lagi?”

“Gue harus ngapain?”

“Terserah lo aja sih, ngesot Kek, ngapain kek hahaha.”

“Anjir, mendingan sini lo record gue yang aesthetic gitu, vibes vibes pantai pokonya.”

Raden mengernyitkan dahinya. “Oh, lo berdiri di situ gih, ngapain aja ntar gue record.”

Hazen pun berdiri di depan Raden dan bergaya sesukanya, Raden merekam apapun yang dilakukan Hazen.

Putar dulu bestie lagunya, “Garis Terdepan by Fiersa Besari”

https://www.youtube.com/watch?v=pqu2ImwjAT8

Raden mengambil ponselnya ketika Hazen sedang selca, lalu merekam nya sembari bernyanyi beberapa lirik Garis Terdepan. Raden berniat akan mengeditnya setelah ini agar ada instrumennya, karena suara ombak pantai dan angin begitu kencang disini.

Bilur makin terhampar dalam rangkuman asa Kalimat hilang makna, logika tak berdaya Di tepian nestapa, hasrat terbungkam sunyi Entah aku pengecut, entah kau tidak peka

Raden bernyanyi dan terus merekam kegiatan Hazen dengan ponselnya, karena untuk ini, ia ingin menyimpan dalam ponselnya. Raden terkekeh ketika Hazen berjongkok bermain pasir yang basah seperti lumpur.

“Ya ampun Zen, lo ngapain sih?”

“Den, lihat ada keong! Lucu banget, jalan di tangan gue nih hahaha.” Ucap Hazen menunjukkan keong di telapak tangannya.

Raden tergelak tawa. “Gue jadi keinget waktu SD suka koleksi keong gitu deh sampe mati-mati, cangkangnya lucu digambarin gitu.”

“Bener, padahal ternyata bagus kalo alami gini. Idih geli tangan gue, dia jalan-jalan masuk hoodie gue Den, help!” Teriak Hazen mengibaskan tangannya.

“Hahahaha goblok sia, sumpah lo lucu banget Zen.”

“Bukannya di tolongin malah diketawain.” Sewot Hazen kemudian menghampiri Raden.

“Eitss tangan lo kotor, tolong jangan mendekat sebelum cuci tangan!”

Hazen menaikkan sebelah alisnya lalu tersenyum jahil. “Ayo kita kotor bersama hahaha.” Ucapnya mengejar Raden, dan jadilah mereka kejar-kejaran di pantai.

“Hazen jorok! Cuci tangan ihh, elo mahhhhh.”

“Nggak mau, mangkanya ayo kotor. Masa lo bersih daritadi cuma kena pasir putih pantai doang.” Katanya masih mengejar Raden di depannya.

Raden berhenti berlari karena ia kelelahan, lalu berbalik dan menarik tangan Hazen menuju pantai. “Cuci tangan! Astaga Zen, berasa gue lagi bawa anak kecil main deh.” Ucapnya mencelupkan tangan Hazen ke air pantai yang bening untuk membersihkan pasir di tangan Hazen.

Hazen hanya terkekeh saat Raden mengusap telapak tangannya untuk membersihkan pasir yang menempel. “Lo seneng nggak Den?”

“Sekarang?” Tanyanya menoleh untuk menatap Hazen.

“Iya, sekarang.”

Raden tersenyum tipis lalu mengangguk. “Seneng, dan itu harus. Gue bilang perpisahan kita nggak boleh menyedihkan. Kalo lo sendiri gimana? Seneng nggak?”

“Nggak.”

Jemari Raden yang sedang membasuh jemari Hazen pun terhenti, dan beralih memfokuskan untuk melihat dua manik hazel milik Hazen. “Maaf, gue—”

“Gue sedih banget karena lo beneran mau pergi Den, tapi gue seneng kok hari ini. Gue bahagia bisa habisin sisa waktu yang ada sebelum lo pergi, disini, berdua. Gue bahagia.” Katanya mengukir senyum yang lebar untuk sang sahabat.

Otomatis Raden pun ikut tersenyum. “Karena itu gue bilang, jangan sedih lagi. Waktu yang sisa sedikit ini kita gunain buat quality time berdua. Gue udah izin ke Kak Marvin kalo lo takut dicariin dia.”

“Eh? Lo kasih tau Kak Marvin kalo kita mau ketemu?”

“Uhum, dia yang kasih gue ijin buat culik lo seharian haha, katanya—selesaiin semua yang rumpang diantara kita, biar gue bisa pergi tanpa beban.”

“Sebentar, Kak Marvin tau lo mau pergi?”

“Gue kasih tau waktu gue minta ijin buat bawa lo kesini, jangan marah sama Kak Marvin karena dia nggak ngasih tau lo, itu gue yang minta.”

“Nggak marah, pantesan Kak Marvin bilang kayak gitu tadi sebelum gue berangkat.”

“Bilang gimana?”

Hazen tersenyum lalu menangkup tangan Raden ketika tangannya sudah bersih. “Apapun yang terjadi, semua adalah hak lo buat memilih. Jadi gue harus terima dengan lapang dada dan ikhlasin lo.”

Raden mengerjapkan matanya, tersenyum miris. Marvin orang baik, bahkan ia tidak cemburu dan mengizinkan Hazen bersama Raden untuk menghabiskan waktu bersama, belum lagi nasehat itu. Raden terkekeh, “Kalian berdua emang cocok, sama-sama orang baik. Gue lega dan tenang buat lepasin lo. Lo udah berada di tangan orang yang tepat Zen. Gue harap, lo sama Kak Marvin bahagia selalu ya?”

Hazen merengkuh si kecil ke dalam pelukannya. “Lo juga berhak bahagia, suatu saat nanti, akan ada orang yang sayang ke lo lebih dari gue, yang cinta sama lo dan anggap lo sebagai dunianya. Tunggu sebentar ya Den, karena semua orang berhak bahagia dengan porsi bahagia masing-masing, termasuk lo.”

“Iya, makasih Zen.”

Kemudian keduanya melanjutkan kegiatan bermain di pantai sampai Raden yang kelelahan pun memilih duduk di tepi pantai. Hazen pun ikut duduk di depan Raden, lalu merekam Raden yang sibuk bercerita tentang Ibu nya.

“Lo lagi rekam gue?”

“Iya.”

“Ishh, gue lagi curcol tentang Ibu loh.”

“Nanti gue edit, gue kasih backsound suara gue nyanyi, tenang aja.”

“Awas lo kalo ngibul.”

Raden terus berceloteh, sedangkan Hazen sibuk bernyanyi sembari merekam Raden tanpa henti.

Kumendambakanmu mendambakanku Bila kau butuh telinga 'tuk mendengar Bahu 'tuk bersandar, raga 'tuk berlindung Pasti kau temukan aku di garis terdepan Bertepuk dengan sebelah tangan

“Ishh malah nyanyi, gue lagi serius ini bangsat!”

“Hahaha oke oke. Btw lo jadi pulang ke Malang besok?”

“Jadi, gue kangen sama Ibu, udah berapa tahun dah gue nggak ketemu Ibu?”

“Kayaknya lo terakhir ketemu Ibu itu kelulusan SMP bukan?”

“Ah iya, waktu itu Ibu berhenti jadi aktris karena banyak kontrofesi di sekolah kita tentang Ibu, dan Ibu milih pulang ke Malang dan buka toko sembako disana.”

“Masa lalu jangan diinget-inget lagi Den, lo harus buang jauh-jauh ingatan masa SMP yang bajingan itu. Gue kalo inget-inget seketika naik pitam sama kelakuan Asahi dan geng kurcilnya itu.”

Raden tergelak tawa. “Tuh orang kabar gimana? Nggak gangguin lo lagi kan sehabis malam natal?”

“Nggak, Kak Marvin buat mereka takut hahaha, asli deh Kak Marvin nyeremin waktu itu.”

“Lo belum cerita kejadian detailnya waktu itu.”

“Ya intinya Kak Marvin tiba-tiba nembakin peluru ke bohlam lampu diatas gue sama Asahi waktu lagi tonjok-tonjokan. Ngebuat kita semua kaget. Dan abis itu Kak Marvin ancem mereka kalo sampe berani dateng lagi temuin gue sama lo, mereka bakalan habis ditangan Kak Marvin, dia bilang gitu sambil nodongin pistolnya ke mereka.”

“Gue baru tau Kak Marvin mahir pake senjata api.”

Hazen tersenyum tipis mengingat cerita dibalik kenapa Marvin selalu membawa pistol. “Dia harus mahir, karena dia emang butuh itu buat lindungin diri.”


Hazen duduk selonjoran dan bersandar pada pohon kelapa, sedangkan Raden tiduran di paha Hazen. Hari sudah sore, namun mereka masih ingin menikmati Cakrawala di sini.

“Kita pulang abis sunset ya?” Tanya Raden.

“Iya, mau malem juga nggakpapa kalo lo nggak takut digondol wewe gombel.”

Raden memukul lengan Hazen, sang empu justru tertawa terbahak-bahak. “Sumpah deh, gue sahabatan sama lo sampe 6 tahun, tetep aja gue suka merinding kalo lo udah ngomongin setan. Jangan-jangan disini banyak setannya?”

“Ada, penjaga pantai nya lagi senyumin lo tuh.”

Raden langsung memeluk erat perut Hazen dan menyembunyikan wajahnya disana. “Hazen lo bisa diem nggak? Ini udah hampir malem goblok, jangan nakutin ngapa.”

“Hahaha, bercanda anjir. Lo mah nggak usah takut, selama ada gue akan aman kok. Gue kan bestie sama mereka.”

“Elo bestie, gue yang ketar-ketir, sialan.”

“Ssttt jangan ngomong kasar disini, nanti mereka marah.”

“Hazeeennnnnn.” Rengek Raden makin erat memeluk perut Hazen yang sedang tertawa terbahak-bahak.

Hazen mengelus kepala Raden. “Jangan takut, mereka nggak akan berani deketin lo karena ada gue yang lindungin lo.”

“Zen, untuk terakhir kalinya gue mau mencurahkan semua isi hati gue sekali lagi. Boleh?” Tanyanya mendongak untuk menatap Hazen.

“Iya, boleh. Dan untuk terakhir kalinya juga, lo bisa nangis. Karena setelah pulang dari sini gue ngelarang lo nangisin gue. Ini untuk terakhir kalinya.”

Raden menyamankan posisinya, ia memeluk perut Hazen lagi.

Seperti biasa, putar lagunya dulu bestie T_T kalau nangis berarti ya angst, kalau enggak berarti ya hanya cerita sedih. “Bulan dikekang Malam by Rossa”

https://www.youtube.com/watch?v=Yol5SlQQzv0

“Sejujurnya jauh di dalam lubuk hati gue, gue masih menyimpan secercah harapan Zen, harapan yang nggak akan pernah bisa terkabul. Harapan itu adalah, lo cinta sama gue, bukan sayang yang seperti ini, anggep gue sebagai bagian keluarga lo. Bukan kayak gitu.” Air mata Raden perlahan mulai berjatuhan, ia tidak menghentikannya karena ia ingin menangis sepuasnya untuk terakhir kali.

Hazen mendongak menatap langit yang mulai menggelap, lebih tepatnya sunset sudah terlihat di depan sana. Mendengarkan setiap kalimat yang dikatakan oleh Raden.

“Kata orang, mencintai tanpa dibalas itu merupakan hal yang sia-sia dalam hidup, buang-buang waktu. Tapi bagi gue nggak gitu Zen. Mencintai lo itu termasuk bagian terindah di hidup gue, lo—anugerah terindah yang Tuhan kasih buat gue, dan gue mensyukuri itu. Gue bahagia Tuhan baik karena mempertemukan kita, meski kita hanya jadi sebatas sahabat.”

“Setiap lo perlakukan gue dengan baik, menjaga gue kayak barang yang berharga dari SMP sampai sekarang, itu ngebuat gue terlena Zen, udah dari dulu gue nasehatin diri gue sendiri buat jangan jatuh cinta sama lo. Tapi ternyata gue lemah sama semua treatment lo ke gue dan berakhir gue jatuh cinta sama lo, perasaan gue tumbuh gitu aja dan makin meletup-letup setiap harinya.”

“Gue tau, gue aja yang kepedean karena lo begitu ke semua orang. Kenyataan menampar gue telak, saat lo nolak gue di Planetarium waktu itu. Harusnya gue sadar dari awal, gue nggak harusnya naruh perasaan lebih ke lo hanya karena lo yang memperlakukan gue dengan sangat baik, membuat gue bahagia, membuat gue tertawa, kehidupan gue yang abu-abu bener-bener jadi berawarna karena lo. Gue jatuh cinta sama lo karena itu Zen, no one can treatme like that except you, Zen. Gue merasa disayangi banget karena lo.”

“Setiap harinya gue kayak meluk bayang-bayang lo Zen, karena gue tau, lo nggak akan pernah bisa gue gapai seberapa kalipun gue mencoba. Karena bagi lo, gue Raden sahabat lo, bukan Raden orang lain. Pengennya gue bisa terus sama lo sampai tua, hidup bahagia berdua, tapi nyatanya itu nggak akan pernah bisa kewujud.” Raden tertawa lirih, tertawa miris lebih tepatnya.

“Karena gue harus pergi, nggak akan bisa bersama lo sampai tua, lo bakalan nikah sama kak Marvin, dan gue yang berusaha buat move on dari lo.” Terdengar isakan dari suara Raden yang bergetar.

Hazen mengusap air matanya berkali-kali sejak tadi, menangis dalam diam.

“Gue bisa menghapus perasaan cinta gue ke lo, tapi sampai kapanpun lo tetep harum di ingatan gue Zen, sebagai orang paling berharga selain Ibu. Lo yang selama 6 tahun ini selalu ada di sisi gue, nggak akan pernah bisa gue hapus dan gue lupain dari ingatan.”

“Seperti janji gue ke lo, gue akan ikhlasin dan relain lo dengan pilihan lo. Meski gue sakit hati, gue sedih, gue marah dan kecewa sama diri gue sendiri, tapi percayalah Zen, gue bahagia buat lo, karena lo jatuh cinta dengan orang yang tepat. Gue percaya kalau Kak Marvin bisa beri lo kebahagiaan yang berlimpah nantinya. Dia bisa buat lo senyum dan ketawa setiap hari, gue bisa lihat itu dari Kak Marvin, kalau dia—sangat mencintai lo. Dan gue rasa, cinta dia ke lo lebih besar dari rasa cinta gue ke lo.”

Hazen mengepalkan tangannya, meremat pasir pantai itu keras. Hatinya sesak, ia ingin menangis dan memeluk Raden, membiarkannya untuk tetap tinggal disini bersama dirinya.

“Gue udah nerima takdir gue Zen, gue udah ikhlas dan mencoba lapang dada dengan jalan takdir yang ditulis Tuhan buat gue. Dan Tuhan pengen, gue pergi dari lo agar semuanya bisa bahagia. Mungkin ini juga jalan gue buat mencari kebahagiaan sendiri kan? Entah rencana apa yang Tuhan siapin buat gue, tapi gue udah pasrah, gue menerima semuanya. Asalkan semua orang yang gue sayang bahagia, terutama lo.”

“Suatu saat nanti, kalo ada yang berubah dari gue, lo harus percaya Zen. Dari semua perubahan gue, ada satu yang nggak akan pernah berubah. Rasa sayang gue ke lo, sebagai sahabat. Sampai kapanpun lo tetaplah sahabat terbaik gue, dan gue nggak akan lupa itu. Gue jadi Raden yang sekarang, juga karena lo.”

Tumpah sudah tangis Raden tak tertahankan, ia menangis sedikit kencang membuat Hazen tak kuasa, ia ikut menangis dengan isakan lirih.

Saat iti, langit pun sudah malam. Cakrawala menjadi gelap, sinar matahari pun digantikan oleh cahaya bulan purnama dan lautan bintang untuk menghiasi cakrawala.

Dengan suara paraunya, Hazen akhirnya mengucapkan sebuah kalimat setelah hanya terdiam mendengarkan pengakuan Raden. “Den, can I hug you for the last time?

Raden bangun dari tidurannya di paha Hazen, lalu dengan cepat merengkuh Hazen ke dalam pelukannya. Keduanya menangis bersama di bawah langit malam dan di tepi pantai.

“Terimakasih, karena lo udah sejauh ini buat bertahan dalam perasaan dan hubungan yang rumit diantara kita Den. Dengan ini, gue juga ikhlas serta lapang dada lepasin lo, tolong jaga diri baik-baik disana, cari kebahagiaan lo, bagaimanapun bentuknya. Nggak ada yang namanya kesedihan ketika disana, cukup tinggalin semua kesedihan lo di sini, jangan dibawa kesana. You deserved to be happy, Raden Bintang Kejora.

Raden menumpahkan air matanya di ceruk leher Hazen, membasahi leher itu dengan lelehan air matanya, ia juga menghidu aroma tubuh Hazen, aroma tubuh yang selalu membuatnya tenang setiap kali dirinya merasa gelisah dan gundah. Kehadiran Hazen di dekatnya adalah obatnya. Dan sekarang ini adalah kesempatan terakhir bagi Raden untuk bisa menghidu aroma Hazen, karena setelahnya ia hanya bisa menyimpannya dalam ingatan sebagai kenangan.

“Relain lo, gue merasa seperti bulan dikekang malam, Zen. Karena seberapa kalipun gue mau lari, gue emang nggak akan bisa hapus lo dari benak gue sampai ada orang lain yang tempatin itu. Sama kayak bulan, dia nggak akan bisa pergi kalo hari masih malam. Langit malam selalu bersama bulan, dan akan berganti jika langit sudah menemui pagi karena tergantikan oleh matahari.” Ucapnya dalam hati.

“Tapi, di bawah cakrawala tepi pantai ini, gue ucapin selamat tinggal dan sampai jumpa, Hazen Aditya Buana.” Tangisnya makin keras yang hanya bisa mengucapkan sebuah perpisahan dalam hatinya.

“Selamat tinggal sahabat terbaik, semoga sang cakrawala menyaksikan perpisahan kita lalu berbaik hati untuk menyampaikan kepada Tuhan agar kita berdua bisa bertemu lagi suatu hari nanti dalam keadaan tersenyum lebar dan sudah bahagia masing-masing.”

cakrawala/cak·ra·wa·la/ berarti lengkung langit; langit (tempat bintang-bintang); peredaran bintang di langit (kerap pula berarti sebagai bintang di langit); kaki langit; tepi langit; batas pemandangan; horizon.

@_sunfloOra

Tw // character death , family issue , broken home, mention of blood, penculikan.

Ini part penting banget sebenernya, tapi kalo takut ke trigger bisa skip aja ya^^


“Bunga seperti biasanya Mas?” Tanya sang florist kepada Marvin.

Marvin tersenyum ramah dan mengangguk. “Iya Bu.”

“Saya sudah menyiapkan nya untuk Mas Marvin sejak dua bulan lalu, tapi tumben Mas Marvin tidak datang setiap bulan seperti biasanya.” Ucapnya sembari merangkai buket bunga anyelir.

“Iya Bu, lagi sibuk banget akhir-akhir ini, baru sempat jengukin Mommy.”

Sang florist—sebut saja Bu Salsa. “Oh begitu, pasti Mommy nya seneng sekarang udah dijengukin. Ini Mas bunganya.” Ucapnya menyerahkan satu buket bunga anyelir ukuran sedang berwarna pink.

Marvin menerimanya lalu membayar. “Terimakasih Bu, saya pergi dulu. Permisi.”

“Baik Mas, silahkan.”

Lalu Marvin memasukkan buket itu ke dalam ranselnya dan memakai helm full face nya, menancapkan gas motor Ninja merahnya menuju TPU yang berjarak sekitar 500m dari toko bunga.

Setelah sosok Marvin tidak terlihat, Hazen mencopot helm full face nya dan menyebrang untuk berjalan ke toko bunga.

“Permisi...”

Bu Salsa yang sibuk menata bunga pun menoleh ketika mendengar suara Hazen. “Ya Mas. Ada yang bisa saya bantu?”

Hazen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Um... itu Bu, kalau boleh saya tau, cowok yang tadi beli bunga apa ya?”

“Cowok yang tadi? Yang pakai Ninja merah?”

“Iya Bu, itu hehe.”

“Oh, dia beli buket bunga anyelir Mas.”

“Anyelir? Yang warna apa?”

“Warna pink.”

Deg

Ia jadi teringat beberapa tahun lalu...

Hazen ingat betul, dulu saat SMA, Raden suka melukis bunga, lalu tanpa diminta, Raden selalu menjelaskan makna setiap bunga yang ia lukis kepada Hazen. Dan Hazen yang sedang menggambar konstruksi bangunan pun mendengarkan dengan hikmad.

Ia juga ingat, waktu itu Raden sedang melukis bunga anyelir warna pink. Tapi saat itu, Raden diam saja tidak seperti biasanya. Lalu, Hazen berinisiatif untuk bertanya, apa makna dari bunga anyelir pink yang sedang dilukis Raden. Kemudian Raden menatap Hazen dan tersenyum lembut ketika itu dan berkata, “Bunga anyelir pink ini adalah salah satu bunga kesukaan gue Zen, selain bunganya yang cantik, maknanya juga penuh arti.”

“Oke... apa emang maknanya?”

“Aku tidak akan pernah melupakanmu.” Ujarnya masih dengan senyuman manis seorang Raden.

Hazen sedikit cengo. “Itu artinya bunga anyelir pink?”

“Iyup, betul sekali.” Lalu Raden lanjut menggores kuas nya dengan cat air warna soft pink ke lukisan nya.

Hazen memperhatikan setiap gerak tangan Raden yang dengan lincah menari-nari di atas kanvas.

Hazen mengangguk, lantas ia bertanya lagi kepada Bu Salsa. “Kalau saya boleh tau, apa Kak Marvin sering membeli bunga kesini?”

“Iya, setiap bulan rutin ia beli bunga anyelir untuk hadiah Mommy nya di tempat istirahat terakhirnya.”

Lagi-lagi, Hazen terkejut bukan main mengetahui fakta ini. Demi Tuhan, ia kira, Marvin masih mempunyai keluarga lengkap, namun orangtua nya cerai. Tak disangka, Om Jagat menikah lagi karena istrinya sudah meninggal.

“Um, Bu saya mau buket bunga Lily putih nya ya?”

“Baik Mas, mohon tunggu sebentar.”

Hazen menghela nafas, menatap sendu jalanan di depannya yang sedikit lengang. “Kak Marvin...” lirihnya sembari meremat kedua tangannya yang terkepal.


Hazen melajukan motor KLX nya menuju satu-satunya TPU yang dekat dengan toko bunga tersebut. Ia memarkirkan motornya sedikit jauh dari area parkiran pemakaman. Setelah mencopot helm nya, ia mencabut kunci motor dan berjalan perlahan memasuki TPU.

Sepertinya karena ini hari Jum'at mangkanya banyak yang datang kesini untuk mendoakan orang terkasih masing-masing. Hazen celingukan kesana kemari untuk mencari sosok Marvin diantara banyaknya nisan di sini. Di tangannya sudah ada sebuket bunga Lily putih yang segar dan cantik.

Hazen berjalan memasuki area TPU untuk menemukan Marvin, dengan pelan, matanya berpendar. Masuk semakin jauh, kedua manik hazelnya menangkap punggung yang meluruh sedang duduk berjongkok di samping nisan keramik warna putih.

Tadi yang Hazen tau, Marvin memakai jaket kulit hitam nya. Sekarang lelaki itu melepasnya dan menyisakan kemeja hitam lengan panjang yang sedikit tipis. Ia tau, itu adalah Marvin, tinggal selama hampir 4 bulan bersama Marvin, membuatnya hafal figur tubuh lelaki itu bahkan meski dari punggung nya saja.

Hazen tidak mendekat kesana, melainkan ia ikutan berjongkok di samping nisan makam seseorang yang tidak ada pengunjungnya, tepatnya di belakang Marvin, selisih 4 baris nisan yang memisahkan keduanya.

Bacanya sambil dengarkan lagunya ya bestie, “Bahasa Kalbu by Raisa”

https://www.youtube.com/watch?v=3PBetn4m8n0

“Hai Mom, selamat sore, maaf aku hanya diam sejak 15 menit lalu dan cuma natap nisan Mommy, aku merasa bersalah udah 2 bulan nggak jengukin Mommy, tapi sekarang hati aku udah lega liat Mommy, jadi aku mau ngomong sama Mommy sekarang.”

Hazen masih setia menatap punggung lebar Marvin, bukan maksudnya ia menguping, ia tau ini privasi Marvin, harusnya ia tidak boleh tau. Tapi—ia ingin merasakan kesedihan Marvin juga, ia sudah berjanji dulu kepada Marvin bahwa ia bisa menjadi apapun untuk Marvin, bersedia menjadi tempat berkeluh kesah, menangis, bahagia dan sebagainya. Maka disinilah ia sekarang, mendengarkan setiap kalimat yang Marvin ucapkan kepada Mommy nya.

“*Mom, yang pertama aku mau kasih kabar, kalau Daddy udah nikah 1 bulan lalu, sama Papa Noah. Papa orang baikkkkk banget, sangat mencintai Daddy, begitupun sebaliknya. Aku punya saudara tiri yang lebih tua, dia cewek yang cantik, dan—aneh haha. Lebih ke unik sih Mom, pasti Mommy suka kalo liat Jelita.* Ucapnya terkekeh hambar, ada rasa sedih bercampur senang saat ia menceritakan tentang keluarga barunya kepada sang Ibu.

Hazen meremat kepalan tangan kanan nya, hatinya bergejolak, seperti ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Marvin ketika menyampaikan berita kepada sang Ibu. Hazen menghela nafas lirih, masih menatap dan mendengarkan ocehan Marvin.

“Dan—sebenernya Mom, ada alasan kenapa aku selama 2 bulan ini nggak jengukin Mommy. Mom, you have a grandson, his name is Hevin. He's my son. Aku sibuk mengurusi dia, karena dia masih bayi, sehingga nggak ada waktu buat jengukin Mommy, karena waktuku setelah kuliah, ya merawat anakku.”

“Dia bukan anak kandungku karena aku belum menikah, ada seseorang yang menitipkan dia buat aku jaga, tapi aku sayang banget sama dia Mom, aku udah anggep dia kayak anak aku sendiri. He's very cute and funny, if you see him, surely you will like my son too.” Kekeh Marvin sembari membayangkan Hevin yang tertawa dan bertingkah nakal namun menggemaskan.

Hati Hazen trenyuh dan menghangat mendengar Marvin menceritakan sosok Hevin, apalagi Marvin menceritakannya dengan penuh kasih sayang. Tanpa sadar, bibirnya melengkung ke atas mendengar perkataan Marvin tentang Hevin. “I told you, if you are indeed a great father to Hevin, Kak. Hevin beruntung punya Papa kayak lo.” Batin nya tak memudarkan senyum nya.

Marvin mengusap nisan sang Mommy. “Oh ya Mom, sejujurnya juga, aku nggak sendirian merawat Hevin selama ini. Ada orang baik yang rela menjaga Hevin bersama denganku. Hevin manggil dia Mama. Hevin emang manggil dia Mama, tapi bukan berarti dia perempuan cantik ataupun kekasihku. Orang baik itu, sudah aku anggap Mama nya Hevin karena selama ini, figur seorang Ibu Hevin diambil alih sama dia. Dia benar-benar baik Mom, dia juga sayang banget sama Hevin, nggak pernah ngeluh buat direpotin jagain bayi padahal dia juga sama sibuknya kayak aku, harus kuliah dan banyak tugas.”

“Dia rela waktu mainnya sama temen-temennya tersita buat bantu aku jagain Hevin. Telaten banget urusin Hevin, dari mulai menggendong, buatin makanan, nyuapin makan, buatin susu, mandiin, gantiin baju, pampers dan menenangkan Hevin kalau nangis dan rewel. Pinter banget nimang Hevin sampe Hevin ketawa kesenengan. Suaranya juga bagus, Hevin jadi cepet tidurnya kalo denger Mamanya nyanyi.”

Hazen mengerjapkan matanya, jantungnya berdentum begitu cepat mendengar Marvin mendeskripsikan dirinya kepada Mommy. Mata Hazen berkaca-kaca, sungguh ia ngin menangis sekarang. Ada rasa—bahagia karena Marvin begitu menyanjung dirinya di hadapan batu nisan sang Ibu. “Kak Marv...” cicitnya begitu lirih yang hanya dapat didengar olehnya sendiri.

“Namanya Hazen Aditya Buana. Bagus ya Mom namanya? Tau nggak arti namanya? Aku sempat iseng cari nama buat Hevin dulu sebelum Hazen yang ngasih. Trus aku ketemu nama Hazen.”

“Tadinya aku pengen namain Hevin sebagai Radeva, artinya pembawa kebahagiaan. Nanti bisa dipanggil Deva. Tapi—Hevin juga bagus. Karena kata Hazen, itu nama gabungan dari aku sama dia. Hevin artinya Hazen Marvin. Haha lucu ya Mom? Akhirnya aku setuju, lagian memang kan dia anak aku sama Hazen?”

Hazen makin speechless, sungguh ia tidak menyangka Marvin juga sempat memikirkan calon nama untuk Hevin. “Hevin Radeva? Nama yang indah.”

“Mau cerita tentang Hazen sebentar boleh ya Mom? Selain Hevin, aku ingin Mommy tau orang baru yang masuk di hidup aku beberapa bulan ini. Dan itu cukup berdampak untuk aku Mom. I feel, I can be me when I was with you when they came. Before the cold creeps in my body and freezes all the warmth you've ever given me. I felt that warmth back when I was with Hazen and Hevin. Bukankah itu mengejutkan Mom?

Tangan Hazen sudah berkeringat dingin, angin sepoi-sepoi menerbangkan poninya. Semakin memburamkan penglihatannya karena mata nya yang mulai berembun lebih banyak, dan sebentar lagi akan jatuh. Semua perkataan Marvin, ia mendengarnya dengan jelas, ia menahan untuk tidak lari dan memeluk lelaki itu erat.

“Hazen, artinya tertawa dan tersenyum. Lalu Aditya, artinya matahari sedangkan Buana, artinya dunia, semesta—

nama itu cocok untuk dia Mom, karena Hazen memang orang yang periang, selalu tertawa dan tersenyum. Tawa dan senyumnya membuat orang di sekitarnya ikut senang dan bahagia, energi positifnya bisa tersalur dengan mudah ke orang lain. Dia bersinar secerah matahari, dia membawa cahaya untuk menerangi kegelapan ke semua orang dengan cara menawarkan dan berbagi kebahagiaan kepada orang lain tanpa memilih. In short, he is a loving and warm person. Kemudian dia memang seperti dunia, karena orang-orang berpusat ke dia.”

“Kenapa aku bilang begitu? Karena dia mampu membuat semua orang nyaman ketika bersamanya. Dia memberi tanpa meminta balasan, sehingga dunia pun berpusat kepadanya, semua memuja dan kagum sama dia. Hazen orang tertulus yang pernah aku kenal Mom.

“He even offered me the long lost happiness after Mom left me and Daddy. Subconsciously, I felt dependent on him, just as Hevin needed him. He showed me that the world is beautiful, should not be sad for long. He said, I deserve to be happy, and he can be anything to give happiness to me.”

“Bahkan Mom, aku dan Hazen adalah orang asing. Yang kebetulan kami dipertemukan karena dia terpilih menjadi ketua angkatan sama sepertiku, serta menjadi roommate yang berujung kami harus merawat bayi bersama dan mendeklarasikan Hevin sebagai anak kami. Bukankah Hazen orang yang sangat baik Mom?, kepada orang asing sepertiku aja dia kayak gitu, aku rasa orang lain juga akan diperlakukan sama olehnya. Cause, he is indeed a very kind and pure hearted person. Help without asking for anything in return. Sincere man, right?

Hazen memeluk lututnya dan menunduk, menyembunyikan wajahnya dibalik lipatan tangannya yang memeluk lutut. Jika kalian ingin tahu, Hazen sedang menangis. Ia menahan suara sesenggukannya agar Marvin tidak mendengarnya, hati Hazen terasa meletup-letup mendengar kalimat yang begitu panjang dan polos itu keluar dari bibir Marvin. Hazen tidak menyangka sama sekali jika Marvin sangat memperhatikannya sedemikian rupa. Semua yang ia lakukan untuk Marvin itu ikhlas, ia tidak ingin Marvin sampai memujinya seperti itu. Itu sungguh mengejutkan untuknya. Hazen bertanya-tanya, apakah dirinya memang sebaik itu? Apakah dirinya pantas mendapatkan pujian sebaik itu dari Marvin? Hatinya berkecamuk, dia sangat senang dan terharu.

Jujur saja, ia ingin memeluk Marvin sekarang. Ia ingin Marvin bisa berkeluh kesah padanya, ia ingin Marvin bercerita banyak kepadanya. Hazen siap untuk mendengarkan apapun yang akan Marvin katakan. Dia siap ikut bersedih karena Marvin berbagi beban kesedihannya yang selama ini dipendam sendiri. Tapi tubuh Hazen rasanya lemah hanya untuk sekedar beridir, bahkan saat ini pun Hazen telah terduduk di atas tanah dan menyembunyikan wajahnya di balik lipatan lengan, menangis tersedu-sedu disana tanpa suara.

“Sepertinya aku ceritanya kepanjangan ya Mom?. Haha, maaf, aku terlalu excited bercerita karena sudah 2 bulan aku nggak cerita sama Mommy.

“Sekali lagi Mom, ini cerita terakhir aku.” Marvin menarik nafas dan menghembuskannya pelan—

Mom, Daddy waktu itu nyuruh aku buat kenalin calon tunangan, tapi aku nggak suka sama semua pilihan Daddy, aku masih nggak mau mikirin tentang tunangan, tapi Daddy ngotot minta dikenalin sama calon tunangan yang aku pilih sendiri waktu pernikahan Daddy sama Papa. Dan aku mengenalkan Hazen sebagai calon tunanganku, aku—bingung Mom, in the future, aku sama Hazen harus gimana? Karena kami sepakat untuk jadi calon tunangan pura-pura buat pertahanin Hevin biar bisa sama kami selama mungkin.”

Hazen tak kuasa mendengarnya, air matanya makin deras saja membasahi pipinya. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan nya agar tidak terdengar. Matanya pedih, karena air matanya tidak mau berhenti. “Kak Marvin...” Cicitnya tanpa suara.

“Aku harus apa Mom? Semua akan berantahkan kalau kebohongan aku sama Hazen terbongkar, kami berdua ingin merawat dan menjaga Hevin sampai besar, sepakat untuk hidup bertiga. Apa sebaiknya aku mengikat Hazen dalam hubungan yang nyata aja Mom? Demi Hevin?”

Tik tik tik

Marvin mendongak, ternyata hujan mulai datang untuk membasahi bumi. Ia pun memandang nisan sang Mommy sekali lagi. “Ah hujan Mom, kayaknya cukup sampai sini aja deh aku ceritanya. Bulan depan, kalo ada cerita baru, aku pasti datang lagi. Mom, tolong bahagia ya di atas sana? Jangan lupa senyum, karena Daddy, aku pun juga bahagia. Sampai jumpa lagi Mom, aku pulang dulu.” Ucapnya mengusap nisan sang Ibu lalu beranjak berdiri dan mengeluarkan payung nya dari ransel.

Saat ia melewati Hazen, Marvin mengernyit, kenapa pemuda itu duduk telungkup seperti itu di tengah-tengah hujan yang mulai deras begini? Saat Marvin ingin menanyakan pada Hazen, terdengarlah suara isakan begitu lirih di telinga Marvin, membuatnya urung bertanya, namun ia tetap mendekati Hazen. “Mas, hujan nya mulai deres. Nanti kalo udah selesai, jangan lupa pulang pake payung ya? Payung nya ada di samping Mas.”

Setelah meletakkan payung transparan itu di samping Hazen, Marvin segera berlari dari sana, menutupi kepalanya dengan jaket untuk menuju parkiran TPU.

Hujan semakin lebat, Hazen pun mengangkat kepalanya. Lalu mendongak menatap langit yang mendung. Wajahnya basah karena air mata sekaligus guyuran air hujan. Tubuhnya pun sudah basah kuyup, karena Hazen yang tak berniat beranjak dari sana. Hazen melirik payung transparan di sampingnya lantas tersenyum. “Payung lo nggak guna Kak, gue udah basah kuyup.” Kekehnya, “Tapi makasih, gue simpen payung lo ya?” Lalu Hazen pun berdiri dan memakai payungnya, berjalan menghampiri makam Mommy nya Marvin.

Ia berjongkok disana sembari memegang payung. Ia meletakkan buket bunga Lily putih di sebelah buket bunga anyelir pink. “Selamat sore Mommy nya Kak Marvin, ini—Hazen.” Ucapnya sembari mengusap nisan.

“Maaf kalau aku lancang datang kesini, aku ingin menyapa Mommy nya Kak Marvin. Aku—nggak sebaik yang Kak Marvin bilang Mom, yang ada, Kak Marvin lah orang paling baik yang pernah aku temui, ya walaupun kadang sedikit nyebelin sih hehe, tapi beneran deh Mom, Kak Marvin Papa yang hebat untuk Hevin. Aku kagum sama dia Mom, dia rela melakukan apapun untuk Hevin, mempertahankan anak kami, dan berjanji buat besarin Hevin bersama. Bahkan ia mau berbohong untuk menjadikan aku sebagai calon tunagannya, padahal kami tidak terikat dalam sebuah hubungan apapun, hanya sebagai orangtua Hevin.”

Hazen menghela nafas dan menunduk. “Maaf Mom, aku pasti mengecewakan harapan Mommy ya? Harusnya Kak Marvin mengenalkan perempuan cantik sebagai calon tunangan, sebagai menantu Mommy, bukannya aku yang jauh dari kata cantik. Tapi Mommy, kami hanya pura-pura, mungkin nanti kami bisa memperbaiki keadaan ketika Hevin diambil orangtua kandungnya, lalu aku dan Kak Marvin akan mengakhiri hubungan pura-pura ini.”

Mommy, semoga selalu bahagia di atas sana. Hazen mendoakan untuk kebahagiaan Mommy, tolong bantu aku Mom, untuk membuat Kak Marvin bahagia terus, Kak Marvin berhak bahagia seperti saat Mommy masih ada disini. Biar aku bisa tenang jika suatu saat nanti harus berpisah dari Kak Marvin. Mom, sepertinya aku—” Hazen menjeda ucapannya dan menggigit bibir nya lagi.

“Um, sepertinya aku harus pergi sekarang. Hari sudah sangat sore dan hampir petang, lain kali aku datang lagi kesini ya Mom? Selamat sore, Hazen pamit Mom.” Katanya lalu berdiri meninggalkan makam tersebut. Berjalan tergesa menuju motornya dengan payung yang ia gunakan untuk melindungi tubuhnya yang sudah basah.

Ketika sosok Hazen sudah tak terlihat di area TPU, Marvin menatap makam Mommy nya dari kejauhan, terlihat ada sebuket bunga Lily putih yang menemani buket bunga anyelir miliknya.

Tadinya Marvin ingin kembali ke makam Mommy nya untuk menebar kelopak bunga mawar merah, tadi ia lupa karena keasikan cerita. Namun langkahnya terhenti ketika melihat seseorang duduk di sebelah makam Mommy nya dan meletakkan sebuket bunga Lily disana. Lalu ia teringat payung dan hoodie abu-abu itu, itu adalah lelaki yang ia kasih payung tadi. Akhirnya Marvin mengawasi dari kejauhan, lebih tepatnya di gazebo yang ada di TPU tersebut.

Dan ia sangat terkejut ketika orang itu berlari kecil melewatinya, yang ternyata adalah Hazen. Hazen tidak menyadari kehadirannya karena Marvin menutupi kepalanya dengan tudung jaket dan menggunakan masker.

“It seems you know everything today, Zen. You know some of the secrets of my life today, do I have to tell you everything after this?” Cicitnya lirih menatap KLX 250 warna Hijau baru saja lewat jalanan depan TPU yang tak jauh dari tempat Marvin berdiri.

Hazen tidak langsung pulang ke apart Marvin, ia mau mampir ke studio musik Golden Boyz untuk mengambil kamera yang akan ia gunakan untuk merekam latihan dance nya yang akan mereka tampilkan di Manajemen Festa nanti.


  • Gug gug gug gug*

Rimie menyambut kedatangan Marvin dengan antusias, berlari lalu mendusal di sela kaki Marvin.

Marvin menunduk lalu mengambil Rimie dan menggendongnya. Rimie menjilati wajah Marvin yang membuat sang empunya tertawa kegelian. “Hei, stop it Rimie, gue mau mandi. Nanti ya kita mainnya?”

Gug gug gug

“Udah makan belum?”

Rimie menjulurkan lidahnya, itu berarti Rimie belum makan. Marvin masih menggendongnya dan berjalan menuju rumah anjing Rimie yang ada di ruang sebelah dapur.

Marvin mengernyitkan dahinya, karena apart nya sangat sepi, tadi cuma ada Bi Mina sedang menyaring daun-daun yang jatuh di kolam renang. “Hazen belum pulang? Padahal dia tadi balik duluam, kok belum dateng?”

Gug gug gug

“Hazen belum pulang ya Rim?”

Gug gug

Marvin mengangguk saja, itu artinya Hazen memang belum pulang. Soalnya kalau Hazen sudah pulang, biasanya Rimie akan bermain dengan Hazen jika tidak ada Hevin bersama Hazen.

“Kemana dah tuh orang? Lupa alamat apart atau gimana?” Monolognya sembari menuangkan sarden kesukaan Rimie dalam mangkuk, tak lupa mengisi air minumnya juga di baskom besar.

Ia menurunkan Rimie agar anjing itu bisa makan. Rimie malahap sarden itu dengan lahap, Marvin terkekeh dan mengusak kepala Rimie. “Makan yang banyak ya Rim, gue mandi dulu.”

Marvin pergi dari sana, saat melewati kamar Hazen, Marvin berhenti lalu membuka pelan pintu kamar Hazen. Kemudian masuk tanpa suara, Marvin bernafas lega ketika menemukan Hevin sudah tidur nyenyak. Pasti Bi Mina tadi susah menidurkan Hevin. Nyatanya jam segini Hevin masih tidur, harusnya ini jam bangun nya Hevin agar malam jam 8 nanti bisa tidur.

Setelah selesai mengecek Hevin, ia pun keluar dari sana dan menuju kamarnya sendiri di lantai 2 untuk mandi sore.

Tak perlu waktu lama untuk mandi bagi Marvin, 7 menit cukup. Ditambah berganti pakaian 3 menit dengan total 10 menit ia sudah rapi dan bersih.

Krucuk krucuk

Marvin menepuk perutnya, ternyata ia lapar. Tadi ia tidak ikut makan siang bersama teman-temannya karena ia ada di perpustakaan untuk mencari buku-buku buat kepentingan tugasnya.

“Laper, tapi bentar lagi udah jam makan malam. Diganjel apaan dulu ya enaknya?” Gumamnya sembari menuruni tangga menuju dapur.

Ketika sampai di dapur, ia membuka kulkas dan mendapati kulkasnya penuh bahan makanan. “Apa gue masak buat makan malam sekarang aja? Biasanya Hazen yang masak, sekali-kali gue yang masak nggakpapa lah ya? Meski masakan gue nggak enak-enak amat, tapi bisalah kalo dimakan.”

Akhirnya Marvin memutuskan untuk memasak makan malam saja, karena sebentar lagi pun memasuki jam makan malam. Menu yang ia pilih untuk makan malam adalah Kwetiau Goreng dan tak lupa menggoreng nugget dan sosis goreng.

Marvin tidak bisa memasak makanan rumah yang ribet, ia hanya bisa yang mudah seperti ini. Jika masak Kwetiau, masakannya masih dapat dikategorikan lezat. Hazen pasti akan menyukainya nanti.

Selesai memasang apron nya, Marvin pun mulai sibuk merebus Kwetiau nya dahulu dan meracik bumbu Kwetiau. Berkutat di dapur dengan tingkat fokus yang tinggi, membuatnya tak memperhatikan sekitar.

“Loh? Mas Marvin kenapa masak?” Tanya Bi Mina saat Bi Mina ingin berpamitan kepada Marvin.

Marvin menghentikan kegiatannya mengupas bawang putih dan bawang merah. Matanya sedikit berkaca-kaca. “Nggakpapa Bi, saya pengen masak buat makan malam.”

“Aduh, itu pedes pasti ya? Bibi aja yang masak ya Mas? Mas Marvin duduk aja.”

“Jangan Bi, jam kerja Bibi udah habis. Bibi silahkan pulang dan istirahat ya? Capek kan jagain Hevin seharian karena saya sama Hazen di kampus dari pagi?”

“Tapi Mas—”

“Bi Mina... pulang dan istirahat atau saya potong nih gajinya?”

Bi Mina menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Hehe iya deh Mas, saya pulang kalau gitu. Mas Marvin hati-hati ya Mas?”

“Oke Bi, makasih ya Bi sudah jagain Hevin.”

“Sama-sama Mas, saya pamit dulu. Selamat malam Mas.”

“Malam juga Bi, hati-hati.”

“Baik Mas.”

Kemudian Marvin melanjutkan lagi kegiatan masaknya setelah sosok Bi Mina tak terlihat lagi.

Sudah ada 20 menit Marvin sibuk di dapurnya, jam telah menunjukkan pukul 18.35 WIB.

Tap tap tap

Hazen dengan hoodie yang masih basah namun tidak sebasah tadi memasuki apart, hidungnya kembang kempis saat bau sedap memasuki indra penciumannya. “Eh? Bi Mina belum pulang jam segini?”

Akhirnya Hazen pun memilih untuk mengecek dapur, harusnya Bi Mina sudah pulang, jika belum pulang, maka ia yang akan menggantikan Bi Mina untuk memasak.

Hazen terhenyak ketika punggung lebar itu yang menyapa penglihatannya pertama kali saat memasuki dapur. Ada suara tarikan ingus juga disana. Lelaki itu sedang memotong di atas telenan, karena terdengar suara pisau beradu dengan telenan, memotong sesuatu.

Hazen terkekeh dalam hati. Sungguh, ini sangat lucu melihat Marvin memotong bumbu dapur, biasanya Marvin hanya memasak yang simpel seperti telur goreng, mie instan, omelet, pasta, yang tak perlu memotong bumbu-bumbu dapur seperti ini.

“Huftt mata gue pedes anjir, gue jadi pilek mendadak juga. Gak asik.” Gerutu Marvin masih dengan memotong cabai menjadi kecil-kecil.

“Need some help?”

Marvin menoleh ke belakang begitu mendengar suara Hazen. Di ambang pintu dapur, Hazen menyandarkan tubuhnya di pintu, menatap Marvin dan melipat kedua tangannya di perut. Masih dengan hoodie abu-abu basahnya seperti di makam tadi.

“Nggak, daripada lo ngerecokin gue, mendingan lo mandi.” Ucapnya kembali fokus dengan kesibukannya.

Hazen berjalan mendekati Marvin dan berdiri di sampingnya. “Lo udah ingusan, mata lo merah. Udah berhenti aja, biar gue yang masak. Lo nggak ada bakat masak, jangan coba-coba kenalan sama bumbu dapur.”

“Bacot, minggir sana Zen. Jangan gangguin gue masak please.”

“Yakin nih nggak mau gue bantuin? Lo masak Kwetiau ya?”

“Iya yakin, hmm. Udah sono lo mandi, bau apek hoodie lo. Nggak pake mantel apa gimana sih kok basah kuyup?” Tanya nya pura-pura bego.

“Bawa tapi males pake. Apek banget ya Kak bau gue?” Tanya nya sembari mengendusi hoodie nya.

“Banget, bau kencing tikus. Sana jauh-jauh lo dari gue, mandi yang bersih baru turun buat makan malam.”

“Weitsss macam istri idaman aja lo Kak hehe.”

“Istri pala lo peyang, suami idaman iya!”

“Ya oke, suami idaman. Gue mandi dulu, masak nya jangan sampe gosong ya? Nanti istri lo brewokan kalo masak nya gosong.”

“Lo kan yang brewokan? Mana peduli gue.”

“Heh! Istri lo dongo, bukan gue.”

“Iya, istri gue kan elo? Gitu bukan? Hevin aja panggil gue Papa dan panggil lo Mama.”

“Bajingan, dahlah gue mandi aja.” Ucap Hazen pergi begitu saja darisana, sejujurnya pipi Hazen sudah memerah, pun dengan telinganya.

“Oi Zen, Hevin lagi tidur. Jangan berisik pas masuk kamar.”

“Yoooo.” Jawabnya dan benar-benar menghilang dari dapur.

“Marvin bangsat, lancar banget gombalnya.” Gerutu Hazen dalam hati.

Marvin menahan tawa sejak tadi melihat ekspresi Hazen yang kesal namun terlihat menahan malu. “Mampus, salah siapa recokin gue masak.” Cicitnya sembari memasukkan Kwetiau yang sudah matang ke wajan penggorengan setelah mengeseng bumbu nya.


Hazen baru saja selesai mandi, anaknya masih memejamkan mata. Ia mendongak melihat jam dindingnya. “Duh udah jam 7, ini kalo Hevin belum bangun, ntar susah tidur. Apa gue bangunin aja ya? Waktunya makan malam juga.”

“Ganti baju dulu aja lah.” Ucapnya berjalan menuju almari, memilih pakaian santai. Kaos hitam dan celana longgar selutut.

Dug

“Anjrittt sakit banget bangsat!” Umpat Hazen terduduk di kasurnya dan mengusap lututnya yang terbentur ranjang bayi Hevin dan—

Oeekkkkk oeeeekkk hueeeee hiks hiks hiks Maaaa Paaaa

Hazen langsung berdiri dan mengangkat Hevin dari ranjang bayinya, menggendongnya sembari menepuk punggung sempit sang anak. “Maaf sayang, aduh maafin Mama ya? Tadi nggak sengaja ketendang ranjang nya, maaf. Cup cup cup, jangan nangis ya?”

Ceklek

Marvin masih dengan apron yang melekat di tubuhnya pun menghampiri Hazen. “Kenapa Hevin nangis? Kebangun?”

“Iya kebangun karena gue nggak sengaja senggol ranjang bayinya.”

Marvin menghela nafas dan menggeleng. “Ya udah nggakpapa, waktunya Hevin bangun juga dan makan malam. Ayo turun, makan malam udah siap.”

Oeeekkkk Papa paaaa hiks hiks paaa

“Jangan sama Papa dulu, Papa mu masih kotor bau dapur. Nanti ya? Kalo Papa udah bersih.” Ucap Hazen masih menimang sang anak agar diam.

“Nanti ya sayang, abis ini makan disuapin Papa ya? Diem dulu, anak pinter nggak boleh cengeng, nanti diketawain Rimie loh.” Kata Marvin mencuri kecupan di pipi gembil sang anak.

Hiks hiks hiks eunggg Maaa hiks maammmmm

“Iya kita mamam ya?” Ucap Hazen berjalan keluar kamar bersama dengan Marvin yang mengekor di belakangnya.


Hevin duduk di kursi makan bayinya, disuapi oleh Marvin seperti janjinya tadi. Sedangkan Hazen makan dan menyuapi Marvin. Kegiatan seperti ini sudah biasa mereka lakukan. Kalau kata Bi Mina, sudah cocok jadi suami-suami.

Hazen akan menanggapi dengan kekehan malu sedangkan Marvin hanya menggeleng dan menghela nafas. Hevin lah yang senang dan setuju dengan perkataan Bi Mina, ia akan tertawa dan bertepuk tangan.

“Aaaaaakkkk ammmmmm.” Kata Marvin saat meluncurkan satu sendok smoothie buah mangga ke dalam mulut Hevin.

Hazen tergelak tawa melihatnya, Marvin tidak peduli di tertawai Hazen.

“Makan yang banyak sayang, hargai effort Papa kamu ya?”

Hevin bertepuk tangan dan lahap menerima suapan dari sang Papa.

“Ayo Papa buka mulutnya juga, aaaaaaakkkkkk.” Ucap Hazen sembari terkikik.

Marvin mendengus lalu melahap satu gulungan besar Kwetiau yang diulurkan Hazen. “Gue bukan bayi, nggak usah gitu ya Zen? Atau lo beneran gue pukul pake sendok.”

“Hahaha iya iya. Ayo habisin, Kwetiau nya enak banget sumpah. Gue nggak bohong, lo jago masak Kwetiau ternyata.”

“Bukan jago, ini pertama kali gue nyoba btw.”

“Oh ya? Tapi enak banget kok, sama kayak Kwetiau di resto rasanya. Ajarin masak Kwetiau yang enak gini dong Kak.”

“Liat youtube, ada tutorial nya.”

“Idih, nggak enak liat tutorial. Mendingan langsung praktek daripada lihat sambil praktek.”

“Alesan, nanti kalo gue nggak sibuk tapi.”

“Iya, nanti gue juga bisa ajarin lo masak yang lain kalo lo mau.”

“Nggak mau.”

“Lah kenapa? Kan biar bisa gantian masak kalo gue nggak sempet masak.”

“Masakan lo selalu enak, nggak kayak gue yang enaknya pas mood bagus doang.”

Hazen mengerjapkan matanya, ia tersenyum simpul. Secara tidak langsung, Marvin sedang memuji dirinya bahwa masakannya memang enak. “Yaa, makasih pujiannya meski artinya itu harus gue yang masak disini.”

Marvin terkekeh lalu menyentuh tangan Hazen yang sedang menggulungkan Kwetiau untuknya. Kemudian mengangkat tangan Hazen dan menariknya menuju mulutnya, melahap gulungan Kwetiau itu dari garpu. “Lama, gue masih laper.”

Hazen tertawa lalu giliran dirinya yang menyuapi dirinya sendiri. Ngomong-ngomong, mereka memakai 1 garpu untuk makan berdua :)

Selesai makan malam, Hazen yang membersihkan bekas makan mereka dan mencucinya. Sedangkan Marvin mengajak Hevin bermain di ruang tamu. Ada Rimie juga ikut bermain disana, jadilah Hevin sedang asik bermain dengan Rimie dibawah pengawasan Marvin.

Hevin duduk di tengah-tengah kaki Marvin, karena Hevin masih perlu sandaran untuk duduk. Hevin melemparkan squishy bentuk burger ke lantai, kemudian Rimie akan berlari mengambil squishy itu dan membawanya ke hadapan Hevin. Lalu Hevin tertawa dan bertepuk tangan kemudian melemparnya lagi.

Marvin hanya tergelak tawa melihatnya dan memotret Hevin serta Rimie sangat banyak.

Gug gug gug gug gug

Hihihihikkk Paaaa cuuuu

“Apa? Rimie lucu?”

Hevin mengangguk dan tertawa lagi. “Miieee cuuuu hihihihikkk”

“Aduh gemes banget, ini mah yang lucu dua-duanya.” Kata Marvin menciumi pipi Hevin bertubi-tubi hingga anak itu tertawa kegelian.

Hihihihikk Paaaa papa liii

“Salah sendiri kenapa gemesin hm? Kan Papa jadi pengen ciumin terus.”

Papaaaaa hihihihihikkk liii, Paaaa

“Aduh kayaknya seru ya? Join donggggg.” Teriak Hazen berlari kecil menghampiri Papa dan anak itu yang tengah duduk lesehan di ruang tamu berssama Rimie.

Hihihikkk Mama, maaaaa maaa

“Sini, main sama Mama ya? Biar Rimie main sama Papa, biar adil.” Ucap Hazen mengangkat sang anak dan mendudukkannya di pangkuannya.

Gug gug gug

Rimie berlari dan melompat ke arah Marvin yang sigap ditangkap oleh Marvin.

Posisi Hazen dan Marvin duduk berhadapan, Hazen yang memangku Hevin sedangkan Marvin memangku Rimie dan mengelus bulu anjing itu yang tengah bermain dengan Hevin. Bermain bola plastik.

Ketika Hevin menggelindingkan bola itu dengan tangan mungilnya ke arah Rimie, maka Rimie juga akan menggelindingkan bola dengan kakinya ke arah Hevin sehingga bola itu bergulir dari Hevin ke Rimie. Begitu terus.

Hevin tertawa terbahak-bahak diikuti gonggongan senang dari Rimie, anak bulu yang cantik.

Marvin dan Hazen turut senang dengan interaksi Hevin bersama Rimie, memang pada usia Hevin sudah harus dikenalkan dengan Hewan dan berkomunikasi seperti ini untuk membantu otak dan sarafnya mengenali benda-benda yang ada di sekitarnya.

Hihihihi Mieee niii laaaa nya

Gug gug gug , Rimie menggulir bolanya ke arah Hevin yang sigap ditangkap oleh Hevin.

“Sarimi kalo gini nggak nakal ya? Biasanya dia suka ngajakin gue gelut.” Kata Hazen.

“Udah dibilang namanya Rimie bukan Sarimi.” Ketus Marvin dan menyentil kening Hazen.

“Awww, idih kasar. Dia aja nggak marah gue panggil Sarimi, kok lo yang sewot?” Ucap Hazen sembari mengusap keningnya.

“Tau kenapa lo diajak gelut terus sama Rimie?”

Hazen dengan polosnya menggeleng. Marvin menghela nafas lelah. “Itu karena lo panggil dia Sarimi, nih anjing sensian, mangkanya panggil yang bener!”

“Nggak mau, terlanjur enak Sarimi wlekkkk.” Hazen menjulurkan lidahnya, mengejek Marvin.

Marvin mengerlingkan matanya. “Terserah, pokoknya jangan lupa aja kasih makan Rimie kalo gue belum pulang dan Bi Mina nggak ada disini.”

“Itu mah tiap hari, asal lo tau aja selama ini Sarimi jarang minta makan ke lo karena apa? Ya karena gue yang baik hati ini kasih dia makan rutin meski dia ngeselin suka jilatin muka gue.”

Marvin tertawa kecil. “Kalo dia jilatin muka lo, artinya dia mulai nyaman sama lo. Rimie nggak mau jilatin orang asing.”

“Hmmm gitu, gue tuh demen sama Sarimi kalo nggak bikin kesel. Gue kesel kalo dia jilatin pas gue udah mandi dan wangi, kan gue jadi cuci muka lagi.”

“Cuci muka tinggal cuci muka juga, nggak ribet.”

“Ya tapi air liurnya itu loh buset, bau sarden.”

Marvin langsung tertawa terbahak-bahak, membuat Hevin jadi ikutan tertawa serta Rimie yang ikut serta menggonggong. Ramai sekali suasana apartemen luas ini.

“Apanya yang lucu? Gue lagi menderita loh ini.” Hazen mengerucutkan bibirnya karena semuanya tertawa di atas penderitaannya.

“Hahaha ya ampun perut gue sakit banget ngetawain ini 2 menit. Bentar gue nafas dulu.” Kata Marvin mengatur nafasnya.

“Ya mau gimana lagi? Rimie sukanya sarden, sosis, ayam, nugget, tempura, siomay ikan begitu. Mangkanya kalo emang Rimie belum tidur jangan mandi dulu.”

“Ishh ya masa harus nunggu Sarimi tidur dulu baru gue mandi? Bisa-bisa gue mandi tengah malam.”

“Lebay deh, jam tidur Rimie tuh sama kayak Hevin.”

“Ya malam kan, sama aja.”

Kemudian 3 manusia dan 1 anjing itupun melanjutkan bermain sembari menonton film kartun agar Hevin cepat tidur. Hevin sudah menyesap susu nya dan bersandar di dada Hazen sembari melihat kartun We Bear Bears yang tayang di tv.

Rimie sudah tidur nyenyak di pangkuan Marvin. “Rimie udah tidur, gue mau ke kandang dia dulu. Hevin kayaknya udah ngantuk tuh, matanya merem melek dari tadi.”

Hazen menunduk untuk melihat sang anak. “Oh iya ya, ya udah gue gendong sambil puk puk aja kalo gini ntar pasti merem.”

“Iya.” Lalu Marvin berjalan menuju ruangan Rimie untuk menidurkan anak bulu itu.

Hazen menggendong Hevin dengan gendongan koala dan menepuk-nepuk punggung serta pantatnya. Dot nya sudah terlepas karena susu nya habis.

Hevin bobok ooohh Hevin bobok Kalau tidak bobok, digigit Rimie Hevin bobok ooohhh Hevin bobok Kalau tidak bobok, digigit Rimie

Hazen mengubah lirik lagu Nina Bobok itu dengan semangatnya, niatnya untuk pengantar tidur Hevin, tapi dia sendiri malah terkekeh.

“Serem ah digigit Rimie, ntar rabies.” Cicitnya lirih.

“Oke ganti lagu deh.” Hazen berjalan memasuki kamarnya lalu membuka jendela nya yang langsung disuguhi pemandangan langit malam yang terang karena sinar bulan dan bintang.

Marvin yang baru saja selesai menidurkan Rimie pun terhenti di depan pintu kamar Hazen yang terbuka lebar. Ia menatap punggung Hazen yang sedang berdiri di depan jendela. Sedangkan Hevin matanya masih merem melek dalam gendongan koala Hazen.

Ambilkan bulan Bu… Ambilkan bulan Bu… Yang selalu bersinar di langit

Ambilkan bulan Bu… Ambilkan bulan Bu… Yang selalu bersinar di langit

Marvin melipat kedua tangannya di dada lalu bersandar pada pinggiran pintu kamar Hazen, memperhatikan Hazen dan Hevin dari belakang.

Di langit bulan benderang Cahayanya sampai ke bintang

Ambilkan bulan Bu… Untuk menerangi Tidurku yang lelap di malam gelap

“Udah tidur itu anaknya, taruh di ranjang gih.” Kata Marvin dan masuk ke dalam kamar Hazen setelah menutup pintunya.

Hazen menoleh ke belakang dan terkejut mendapati Marvin di belakangnya. “Beneran udah tidur?”

“Iya, udah.”

Hazen menghela nafas lega lalu menaruh Hevin ke ranjang bayi dengan hati-hati dan pelan agar anak itu tidak terbangun.

“Huft lega, akhirnya tidur juga.”

Marvin memperhatikan Hazen, kemudian mendekat membuat Hazen terkejut dan sontak mundur hingga ia terduduk di kasurnya. “Ke-kenapa lo?”

“Ssttt jangan keras-keras, nanti Hevin bangun.” Marvin menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Hazen membuat Hazen tahan napas dan memundurkan wajahnya.

“Lo ngapain sih Kak?” Cicit Hazen lirih.

“Bibir lo.”

“Huh? Bibir gue kenapa?” Tanya nya dan menyentuh bibirnya.

“Jangan disentuh, lo nggak ngerasa apa kalo bibir lo luka? Apa nggak sakit pas makan Kwetiau pedes tadi?”

“Ssshh duh, gue kira gue kepedesan mangkanya sakit cekit-cekit, emangnya luka ya bibir gue?”

Marvin mengerlingkan matanya lalu menarik Hazen keluar kamar dan membawanya ke ruang tamu lagi. “Duduk situ, gue ambilin obat dulu.”

“Eh Kak nggak usah, ini nggak perih kok, gue nggak—”

“Hazen, nanti makin lebar lukanya kalo lo cerewet. Diem, gue ambil obat dulu.” Ucapnya dan berlari kecil menaiki lantai 2 menuju kamarnya.

Hazen menghela nafas lalu menyentuh bibir bawahnya lagi yang memang terasa perih. “Sshhh duh, perih juga ya. Kenapa deh? Apa gue gigit nya kekencengan waktu di makam tadi?”

Tak lama Marvin datang membawa kotak P3K dan duduk berjongkok di depan Hazen yang duduk di sofa. “Ini agak perih, tahan ya? Jangan dikatupin bibirnya, biar gue mudah olesinnya.”

“Anu Kak biar gue obatin sendiri aja ya?”

“Nggak, gue aja. Kenapa bibir lo sampe sobek gitu sih? Hobi banget gigitin bibir.”

“Tsk, bukan hobi. Nggak kerasa aja kalo lagi gigit.”

Marvin menipiskan jarak diantara keduanya, jari telunjuknya sudah ia bubuhkan krim luka siap dioleskan di bibir Hazen. “Buka mulutnya, jangan dirapetin gitu.”

“Iya iya, sabar ngapa.” Kata Hazen lalu membuka mulutnya sedikit agar jari Marvin bisa menyentuh luka di bibirnya.

Jari Marvin mulai mengeksplor bibir bawah Hazen dan mengoleskan krimnya. Hazen mendesis ketika krim itu menyentuh luka nya. “Ssshh Kak, pelan dikit.” Racaunya tidak jelas.

“Iya, jangan ngomong nanti jari gue lo hisap bisa-bisa.”

Hazen mendengus dan menurut, membiarkan Marvin mengoleskan krim itu di luka nya. Hazen memperhatikan Marvin yang fokus mengobati lukanya. Kemudian menatap iba mengingat curahan hati Marvin di makam tadi.

Hazen menghentikan pergerakan tangan Marvin dengan menggenggam tangan kanan Marvin yang ada di bibirnya, membuat Marvin menatap kedua manik hazel Hazen dan menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa? Sakit banget?”

Hazen menggelengkan kepalanya. “Udah selesai. Udah nggak sakit.”

“Oh oke.” Marvin melepaskan tangannya dari genggaman Hazen dan membereskan P3K nya.

“Kak.” Panggilnya saat Marvin hendak pergi.

“Kenapa?”

“Duduk sini.” Ucap Hazen menepuk ruang kosong di sebelahnya.

“Ngapain? Gue mau balikin ini ke kamar.”

“Nanti aja, duduk sini dulu. Gue mau kita deep talk boleh?”

Marvin mengernyitkan dahinya, karena Hazen tak sabar, ia pun menarik lengan Marvin hingga terduduk di sampingnya. “Boleh?”

Marvin menatap iris Hazen, seperti tersihir, ia pun mengangguk. “Of course, so? What do you want to talk about?”

“Gue mau mengakui sesuatu ke lo.”

“Oke... then, explain now.”

Hazen menarik nafas lalu menghembuskannya. “Gue liat lo tadi, di TPU lagi jengukin Mommy lo.” Cicitnya sedikit lirih, tak sadar menggigit bibir bawahnya lagi.

“Dibilang jangan digigit, Hazen.” Kata Marvin menyentuh bibir Hazen yang baru saja digigit.

“Maaf, reflek.”

Marvin menghela nafas. “Gue tau.”

Deg

Hazen membelalakkan matanya. “Lo—tau? Kok bisa?”

“Tadinya gue mau balik ke makam Mommy buat naburin bunga mawar yang kelupaan, eh malah ada cowok yang gue kasih payung tadi duduk disana, ngasih Mommy bunga Lily.”

“Kak, lo—nggak marah? Gue nggak bermaksud lancang ataupun nguntit lo serius, tadi gue beneran nggak sengaja liat lo berhenti di toko bunga waktu gue mau beli Mie Ayam, trus gue jadi penasaran dan tanya penjual bunganya, lalu florist itu bilang kalo lo barusan beli bunga buat hadiah Mom—

Ucapan Hazen tak terselesaikan karena telunjuk Marvin memblokir gerak bibirnya. “Jangan banyak ngomong, nanti krim obatnya ketelan dan lo keracunan tau rasa.”

Hazen mengerjapkan matanya dan terdiam, hingga telunjuk Marvin berpindah tempat mengelus pipi kanan Hazen. “Zen, gue nggak marah. Yang ada gue malu.”

“Malu? Kenapa malu?”

“Lo pasti dengerin semuanya kan? Waktu gue cerita ke Mommy?”

Hazen mengangguk polos. “Maaf, gue juga nggak bermaksud buat nguping, tapi gue tetep denger.”

“Lo boleh ledekin gue kalo lo mau, lo udah denger tadi gue sebut-sebut nama lo bahkan gue cerita ke Mommy tentang lo dari sudut pandang gue.”

Hazen menyentuh punggung tangan Marvin lantas menggenggam dan mengusapnya, kedua manik nya menatap obsidian gelap Marvin. “Gue nggak akan ledekin lo, lo harus tau waktu lo kasih payung ke gue, itu gue lagi nangis. Lo tau kenapa gue nangis? Karena lo Kak, gue nangis jelek di makam sana karena lo.”

“Lo nangisin gue karena kasihan? Sorry, gue nggak butuh dikasihani.” Ucapnya ingin menarik tangannya dari genggaman Hazen, namun tidak berhasil karena Hazen menahan dan makin mengeratkan genggamannya.

“Gue nggak kasihan ataupun iba sama lo. Gue nangis, karena gue terharu asal lo tau. Gimana lo kenalin Hevin ke Mommy lo, gimana lo ceritain Sandra, Om Noah dan Daddy lo, itu semua ngebuat gue terharu dan nangis. Dan juga—tentang gue, cerita lo tentang gue ke Mommy, gue beneran nggak bisa berkata-kata lagi saat tau pandangan lo ke gue sebaik itu Kak, gue orang asing, orang baru di hidup lo, tapi lo menjunjung kebaikan gue di depan Mommy. Gimana gue nggak nangis coba? Gue ngerasa nggak pantes dapet pujian kayak gitu Kak, karena gue nggak sebaik itu.”

Tangan kanan Marvin yang terbebas pun mengelus kepala Hazen disertai senyum di bibirnya. “Hari ini lo udah tau sebagian rahasia hidup gue Zen, lo mau tau lengkapnya kisah hidup gue nggak?”

“Hum? Memangnya boleh?”

“Bukannya lo dulu pernah bilang kalo lo bisa jadi apapun buat gue? Menampung semua cerita gue dan dengerin apapun yang gue keluhin?”

Hazen mengangguk semangat seperti anak kecil senang mendapat permen. “Iya, gue bilang gitu. Tapi kalo lo nggak nyaman, jangan dipaksa cerita ke gue Kak.”

“Gue butuh temen berbagi Zen, dan lo nawarin buat jadi teman berbagi. So, wanna hear some story of my life?

“Yes, i want. Tell me your story, and I will hear your story.”

Marvin terkekeh. “Agak menyedihkan ceritanya, lo jangan nangis ya? Gue nggak mau liat lo narik ingus ntar.”

“Anjir, iya enggak nangis. Kalo ntar nangis, gue lari ke dapur deh buat buang ingus.”

“Idih, oke oke. Mari mulai. Dengerin baik-baik, karena gue nggak mau ngulang satu katapun kalo lo tanya.”

“Iya, gue diem aja kalo gitu sampai lo selesai cerita.”

“Bagus.”

Kemudian Marvin menyamankan posisinya, bersandar pada sofa, begitupun juga Hazen. Keduanya menatap langit-langit apartemen luas itu. Dengan posisi tangan mereka masih saling menggenggam bahkan jemari mereka bertaut.


Putar dulu lagunya T_T wajib banget! “Afgan – Untukmu Aku Bertahan”

https://www.youtube.com/watch?v=i0yrU_Ge_aw

“Dulu, gue, Daddy and Mommy adalah keluarga bahagia. Karena gue anak tunggal, gue dimanja sama mereka, apapun yang gue mau pasti diturutin. Gue tinggal di Kanada sampai gue lulus dari SD. Menginjak SMP, gue pindah ke Indonesia, dan saat itulah semuanya berubah.”

“Lo tau kenapa gue bawa pistol kemana-mana?”

“Buat pelindung diri kan? Dulu lo bilang gitu.”

“Iya, lo dulu nyangka gue kayak berandalan karena bawa pistol kan?”

“Iya, karena gue aja cuma bawa pisau lipat buat jaga-jaga, itupun kalo inget. Karena gue atlet Judo, jadi cukup dengan ilmu beladiri gue buat ringsekin musuh.”

Marvin mengangguk. “Gue bawa pistol, karena tandingan gue bukan orang biasa Zen.”

Hazen melirik Marvin. “Maksudnya?”

“Alasan gue pindah ke Indonesia karena Daddy dituduh sebagai bandar senjata tajam padahal Daddy nggak tau apa-apa, dia dijebak sama orang kepercayaannya Daddy sendiri.”

Hazen sedikit terkejut namun ia tak mengucapkan apa-apa, ia ingin Marvin bercerita tanpa gangguan.

“Setelah proses hukum dan terbukti Daddy gue nggak salah, akhirnya orang itu yang dimasukin penjara, Daddy gue sempat masuk penjara selama 1 bulan. Lalu Daddy adain konferensi pers buat klarifikasi salah paham itu untuk bersihin namanya sekaligus perusahaan Daddy di Kanada.”

“Tadinya kita pikir, semuanya selesai sampai disitu. Tapi—keluarga orang itu nggak terima karena orang itu masuk penjara karena Daddy, dan ancaman-ancaman serta terror pun berdatangan, sampai Daddy berhasil jeblosin orang-orang yang neror keluarga gue bahkan karyawan di perusahaan Daddy juga diganggu. Nggak sampai situ, setelahnya makin runyam. Daddy kerap diserang sama orang asing dan ujung2 nya nggak ada yang diketahui identitasnya, meski kita bisa nebak itu masih se spesies sama orang-orang sebelumnya. Mereka ancam, kalau kita lapor ke polisi atau membawa ke hukum, mereka akan semakin ngejar kita tanpa ampun, mereka bilang, hukum tidak akan menyusutkan pasukan mereka, karena orang-orang itu adalah sekelompok manusia yang pengen hancurin karir Daddy.”

“Demi keamanan keluarga, Daddy membawa kami kabur ke Indonesia, menghilang tanpa jejak. Daddy benar-benar menyewa badan intel buat urusin kepindahan kami di Indonesia agar nggak kecium sama mereka. Yah, kita berhasil kabur kesini. Dan Daddy selalu bilang ke gue, kalo gue nggak bisa tenang-tenang aja hidup disini, oleh karena itu Daddy ajarin gue main pistol dan senjata tajam waktu gue baru aja masuk SMP buat jaga-jaga.”

“Dan ini puncaknya, ketika gue hampir mati saat gue pulang sekolah. Itu waktu gue kelas 2 SMP, gue diculik dan disekap di gedung kosong. Gue nggak bisa lawan mereka dengan kemampuan shoot gue yang gak seberapa buat lawan belasan orang disana. Mereka telfon Daddy buat datang dan nukarin gue sama seluruh aset harta Daddy, kalo Daddy bawa polisi atau perlindungan, gue akan dibunuh.”

Daddy nggak mau ambil resiko datang sendiri, jadi Daddy bawa polisi diam-diam dan temuin gue sendirian. Sampe Daddy udah serahin semua sertifikat dan dokumen aset harta, datanglah polisi dan sialnya ada aja yang gercep dan nusuk perut gue dan gue pingsan.”

Hazen bergidik ngeri membayangkannya, ia jadi teringat waktu dulu saat pagi-pagi Hazen pulang dari rumahnya ke asrama, Marvin masih topless keluar dari kamar mandi. Tak sengaja ia melihat bekas jahitan di perut kanan Marvin meski hanya samar karena masih pagi dan remang-remang.

“Gue dilariin ke rumah sakit, dan gue kehilangan banyak darah. Gue perlu dioperasi karena hati gue terluka karena tusukan itu. Kalo gue nggak segera dioperasi kemungkinan hati gue rusak dan singkatnya, gue bisa mati.”

Mommy yang waktu itu lagi sibuk kerja karena peresmian toko Pastry nya pun nyalahin Daddy atas semuanya. Meski gue tau ini bukan salah Daddy sama sekali, tapi Mommy terlanjur capek, Mommy ikut kerja bangun usaha buat bantuin Daddy karena merintis perusahaan di Indonesia, yang di Kanada di tinggal buat hilangin jejak.”

“Gue selamat meski harus koma selama sebulan, dan saat gue bangun, udah pulih dan bisa beraktivitas, saat itulah gue nyesel bangun dari koma.”

Bibir Hazen bergetar, ia ingin menangis sejak tadi mendengarkan kisah tragis Marvin dan keluarganya, namun sebisa mungkin ia tahan. “Ke-kenapa?”

Marvin menghela nafas dan mengeratkan genggamannya di tangan Hazen. “Mommy minta cerai, karena Mommy nggak bisa hidup dengan jadi buronan para penjahat, tidur nggak nyenyak, mau aktivitas takut, Mommy trauma karena insiden yang terjadi sama gue. Daddy udah mohon-mohon biar Mommy batalin perceraian, tapi Daddy nggak bisa pertahanin Mommy karena tetiba ada lelaki yang masuk dalam pertikaian mereka dan ngaku sebagai calon suami Mommy yang baru.”

“Dengan mata kepala gue sendiri, gue liat Daddy terduduk di lantai dan nangis ketika Mommy memperkenalkan lelaki yang dikata calon suaminya. Daddy nggak punya pilihan lain, Daddy cinta banget sama Mommy dan milih buat lepasin Mommy demi kebahagiaan Mommy.”

Hazen mengusap jemari Marvin yang ada di genggamannya karena merasakan tangan Marvin mulai bergetar. “Kak, nggak perlu dilanjutin kalo lo nggak bisa. Okey?”

Marvin menggeleng. “Gue mau lo tau semua sampai tuntas, ini udah setengah cerita.”

“Tapi lo—”

“I'm fine Zen, gue bisa.” Ucapnya mengusap kepala Hazen.

Mommy lihat gue nguping lalu narik gue ke pelukannya, Mommy bilang kalau gue harus ikut Mommy biar gue aman dan tentram dari buronan penjahat itu. Dan ngebuat Daddy naik pitam, karena Daddy mau, gue juga ikut dia. Disitu, gue bingung banget Zen, gue nggak tau harus milih siapa, gue sayang semuanya dan nggak ingin pisah. Tapi gue harus milih ketika itu juga.”

“Gue berfikir secara rasional dan memilih buat ikut Daddy, karena gue tau perjuangan Daddy buat lindungin gue, sementara Mommy minta talak sama Daddy udah bawa calon suami baru disaat Daddy bahkan masih cinta sama Mommy.”

“Sejak saat itu, semuanya berubah. Daddy yang dulu manjain gue, selalu ada waktu buat gue pun udah sirna. Daddy kerja kayak orang gila, gue merasa sendirian di rumah sebesar itu. Gue nggak bisa rasain kehangatan dari Mommy lagi kayak dulu, semuanya hilang dan berubah jadi dingin. Rumah yang tadinya hangat, jadi beku. Bahkan Daddy pun berubah jadi orang tempramen, suka marah-marahin gue tanpa sebab, nuntut gue buat jadi nomer 1 di sekolah, katanya gue harus buat Daddy bangga. Dan gue mulai sumpek sama semua tuntutan Daddy. Bukan kayak Daddy gue banget.”

“Akhirnya, gue berhasil meraih peringkat 1 paralel di SMP dan menang banyak olimpiade di sekolah. Dengan itu gue buat persekutuan sama Daddy agar dia mau lepasin gue hidup sendiri. Tadinya Daddy marah, tapi gue ancam bakalan kabur buat nyari Mommy kalo Daddy gak ijinin gue hidup sendiri. Dan akhirnya, Daddy kasih gue apartemen ini, dan gue tinggal disini selama SMA, nggak pernah balik ke rumah karena Daddy emang sibuk jarang balik ke rumah juga. Gue ditemenin Bi Mina disini sampai sekarang.”

“Itu juga yang ngerubah sifat gue jadi kayak gini. Kayak yang lo tau, dingin, nggak bersahabat, penyendiri, cuek, dan semua temperamen buruk itu. Gue yang dulu udah mati sejak perceraian Daddy sama Mommy, but—, gue ngerasa perlahan gue balik ke diri gue yang dulu akhir-akhir ini.”

“Sejak perceraian Daddy sama Mommy gue nggak tau kabar apapun tentang Mommy, yang gue tau, Mommy pindah ke Taiwan kalo nggak Hongkong, menetap disana.”

“Sampai saat gue denger berita kalo Mommy meninggal saat lahirin anaknya, anak sama suami barunya. Daddy mengancam suami Mommy untuk makamin Mommy di Indonesia, yang akhirnya disetujui sama pihak keluarga sana. Dan mengejutkannya lagi, ternyata suami Mommy itu single parents. Hahaha, sampai sekarang gue nggak tau gimana rupa anak tiri Mommy itu ataupun anak kandung Mommy. Gue cuma peduli sama Mommy dan bersyukur bisa ketemu Mommy tiap bulan meski beda alam. Wajah Mommy terakhir gue tau waktu proses talak di pengadilan dan hak asuh gue jatuh ke tangan Daddy. Gue ngga nyangka, itu terakhir kalinya gue lihat Mommy di dunia.”

Mata Hazen sudah mengabur, airnya siap tumpah kapan saja. Dengan suara sedikit paraunya, Hazen merengkuh Marvin ke dalam pelukannya tanpa minta persetujuan Marvin.

“Gue tau lo lagi nahan nangis, lo sedih Kak, tumpahin aja semuanya. Gue temenin nangisnya, karena gue sekarang juga udah nggak tahan buat nangis.”

“Zen, gue...”

“Nangis kalo sedih Kak, jangan ditahan biar hati dan batinnya lega. Ada gue disini yang siap kasih lo pelukan hangat selama mungkin, apa gunanya gue sebagai teman berbagi kalo gue nggak bisa jadi tempat lo buat bersandar? Nggakpapa Kak, lo manusia biasa, meskipun cowok, nangis itu bukan perkara lo laki-laki atau lo orang yang kuat. Itu perasaan, siapapun bisa nangis kalo sedih, cara meluapkan kesedihan ya nangis meski lega sebentar, tapi seenggaknya lo udah tumpahin sebagian kesedihan lo dengan menangis. Dan sedikit dapat penyembuhan dari pelukan. Pelukan gue contohnya. Gue nggak ngejamin, ini bisa kurangin kesedihan lo, tapi yang harus lo tau, gue bisa jadi tempat lo bersandar sewaktu-waktu. You can cry right now if u want, dan gue akan dengerin tanpa bicara.”

Hiks hiks hiks

Mulai terdengar suara isakan dari lelaki kekar di pelukannya ini, Hazen mengeratkan pelukan itu dan mengusap punggung lebar Marvin dengan lembut. Memejamkan mata dan ikut meneteskan air mata, Hazen dapat merasakan kerapuhan lelaki di pelukannya.

“Zen hiks jangan pergi hiks hiks, jangan pergi ya?”

Hazen menangis tanpa suara, ia ingin membiarkan Marvin puas menangis malam ini di pelukannya. “Iya, gue nggak akan pergi. Kan gue udah janji untuk selalu ada buat lo.” Ucapnya dengan suara parau.

“Lo hiks hiks berarti buat gue Zen, gue hiks ngerasa jadi bergantung sama lo. Lo orang pertama dan satu-satunya yang secara sukarela gue ceritain dengan gamblang kisah hidup gue yang nggak mau gue ceritain ke siapapun. Dan sekarang lo udah tau gue Zen, semuanya. So, don't go anywhere Zen, please.

“Gue tersanjung karena gue satu-satunya orang yang lo percaya buat berbagi kisah hidup lo Kak. Dan gue janji, gue nggak akan kemana-mana, kita juga udah janji kan buat besarin Hevin bersama? So, what can I do except stay with you?

Marvin mengangguk dan menghirup aroma tubuh Hazen yang sewangi bunga dan buah-buahan segar, begitu menenangkan untuknya. “Thank you Zen, sorry if I make it hard in the future.”

“Nggakpapa, bisa diatasi bareng-bareng. Lo berhak bahagia, pantas bahagia. Sesuai nama lo, Liam yang berarti pelindung yang tegas dan Pradipta, yang berarti bercahaya terang. Nama lo bagus, dan sesuai sama lo. Karena lo emang pelindung buat Hevin bahkan buat gue, lo rela berkorban buat pembatalan perjodohan gue demi melindungi Hevin dan gue agar nggak kepisah. Lo juga kayak cahaya yang terang, karena lo, Hevin bisa rasain punya sosok Papa yang hebat, lo menerangi hidup Hevin Kak, bahkan—gue juga. Jadi, jangan sedih lagi ya Kak? Ada gue dan Hevin yang selalu support lo dan ada buat lo. Makasih udah bertahan sampai sekarang. Marvin kecil sangat hebat dan udah tumbuh jadi pria dewasa yang hebat. You did well, Kak. Everything will be oke right now. Terimakasih banget mau bertahan sampai selama ini. Saatnya lo bahagia Kak.”

“Untuk lo dan Hevin, gue bertahan.” Batinnya dan meluruhkan semua tangisnya di ceruk leher Hazen.

@_sunfloOra

Selesai upacara pembukaan ospek, semua mahasiswa baru digiring menuju aula terbuka Neo Dream University. Aula tersebut sangat besar sehingga dapat menampung 1.500 mahasiswa baru sekaligus puluhan panitia ospek yang terdiri dari anggota BEM dan ketua angkatan setiap jurusan.

Marvin tidak ikut andil dalam pemilihan pembimbing serta anggota kelompoknya siapa saja, Marvin hanya menaati perintah anak-anak BEM saja yang lebih berhak dalam urusan ospek ini, dirinya kan hanya ketua angkatan Manajemen Bisnis. Apa haknya ikut campur? Istilahnya disini, Marvin hanyalah babu BEM untuk melancarkan jalannya ospek. Marvin tidak keberatan akan hal itu tentu saja, ketua BEM nya saja sahabat nya.

Setiap kelompok terdiri dari 30 mahasiswa baru yang tercampur dari berbagai jurusan. Itulah mengapa Hazen terpisah dengan sahabat-sahabatnya, meski peluang mereka satu kelompok harusnya besar karena ke 6 anak adam itu beda jurusan semua.

Hazen jurusan Manajemen Bisnis, Raden jurusan Ilmu Seni dan Estetika, Jendra jurusan Ilmu Hukum, Nathan jurusan Kedokteran, Leo jurusan Hubungan Internasional dan Jidan jurusan Teknik Informatika.

Namun sepertinya Tuhan memang ingin ke 6 lelaki itu memiliki teman selain mereka sendiri. Kehidupan saat di SMA berbeda dengan di bangku Universitas, tentu lingkup pertemanan pun meluas, tidak seperti saat SMA.

Saat ini semua panitia ospek sedang memperkenalkan diri, mereka berdiri di atas podium aula lalu satu persatu menyebut nama serta jurusan. Ada 50 panitia yang terhitung oleh Hazen.

Hazen hanya menyimak beberapa panitia yang melakukan perkenalan, ia lebih memilih untuk berkutat dengan twitter, mencurahkan segala kedongkolannya di akun privat untuk menghujat kating menyebalkan itu yang sedari tadi menatap dirinya lekat-lekat dengan tatapan menilik serta tidak bersahabatnya. Hazen memilih tak acuh saja bahkan saat lelaki itu memperkenalkan diri, Hazen melewatkannya dan tidak mendengarkan sama sekali.

Setelah semua selesai dengan sesi perkenalan, lelaki yang memperkenalkan diri sebagai ketua BEM, namanya Tristan, lelaki itu sedang menjelaskan kegiatan selanjutnya yaitu akan dibaginya kelompok secara random yang telah ditentukan oleh panitia ospek.

“Oke, gue bilang bakalan ada 50 kelompok disini, ini kelompok selama ospek kalian, jadi selama tiga hari kedepan, kalian akan terus bersama satu kelompok buat nuntasin semua kegiatan dan tugas kelompok ospek dari kita.”

“Nanti yang namanya dipanggil, segera hampirin kakak nya yang megang kertas nomor kelompok ya? Nanti, bubarnya harus senyap gak boleh rame, yang keluarin suara berisik nanti kena hukuman. Belajar tenang dan tak tergesa, oke? Pokonya setelah gue sebut nama dan kelompok berapa, lo langsung nyari kakaknya aja, udah jelas banget mereka megang nomor kelompok gede banget pake kertas bufalo noh!” Tunjuk Tristan kepada para kating yang membuka lebar kertas bufalo berisi nomor kelompok di depan dada mereka. Ada yang mengangkatnya tinggi banget di atas, contohnya kayak si Yudha, iseng emang.

“Ada yang mau ditanyain nggak? Kalo enggak langsung gue mulai aja ini.”

“Nggak ada kak.”

“Bagus, gitu dong sekali dibilang harus paham biar gue nggak perlu ulang-ulang lagi.” Kata Tristan sambil terkekeh manis, membuat para mahasiswa baru ikutan ketawa.

Tristan dengan mic nya mulai menyebutkan satu persatu nama mahasiswa baru untuk mengisi kelompok 1. Mereka menurut, saat nama mereka disebut dengan nomor kelompok, mereka berdiri dan berjalan dengan tenang tanpa berisik untuk mencari kakak pembimbing kelompoknya.

“Leonardo Galuh Wijaya kelompok 1.”

Leo segera berdiri dan berjalan melewati mahasiswa baru di sekitarnya dengan sopan, meminta jalan agar ia bisa keluar dari kerumunan mahasiswa lalu menghampiri Juan sebagai pembimbing kelompok 1.

“Duh, kita semua bisa satu kelompok nggak ya? Leo orang ke 23 yang dipanggil sebagai kelompok 1.” Gerutu Jidan.

“Kayaknya susah deh kita satu kelompok, mereka pasti juga liat asal sekolah, kalo sekolahnya sama kayaknya bakalan dipisah meski beda jurusan, tujuan nya kan biar kita berbaur sama orang asing.” Ucap Hazen.

“Gapapa kali Ji, malah dapet temen baru. Lo nggak bosen apa emangan temenan sama kita-kita doang dari SMA?” Kekeh Raden untuk menghibur Jidan.

“Iya sih bener juga, bosen gue liat muka lo semua.”

Ucapan Jidan langsung mendapat toyor dari Nathan, tidak keras namun cukup membuat kepala Jidan sampe terjegluk.

“Ini nih yang dikata gak ada gunanya besarin anak, durhaka banget.”

“Lah? Kata siapa gue anak lo?” Jidan mengerlingkan matanya menanggapi emak jadi-jadiannya.

“Nah itu tadi untuk kelompok 1 yang dipimpin sama Juan. Untuk kelompok 1 bisa cari tempat di luar aula untuk duduk ya? Juan, tolong dibimbing adek-adeknya.”

“Wokeyy siap boss.” Teriak Juan sambil hormat lalu menggiring anak didiknya meninggalkan aula terbuka.

“Kan nggak sekelompok, bener apa kata gue.” Ucap Hazen setelah melihat kepergian kelompok 1.

Pengumuman terus berlanjut ke kelompok- kelompok selanjutnya.

“Nathan Angkasa Jingga kelompok 2.”

“Weh, duluan ya gue bro.” Pamitnya pada ke 4 temannya yang diacungi jempol oleh mereka menghindari berisik.

Nathan melihat sekeliling untuk melihat kelompok 2 lalu bernafas lega. “Sama kak Jay anjir, buset dah takut pingsan gue, ganteng banget kak Jay anjing!” batinnya bergejolak melihat senyuman Jay dari jauh sana.

“Jidan Ajisaka Mahatma kelompok 3.”

“Gue pergi dulu bro, bye.” Jidan berdiri dan membelah kerumunan mahasiswa yang menghalangi jalannya, sembari melihat dimanakah kakak pembimbingnya.

“Buset kak Johan dong, aduh ini gue kalo berulah bisa jadi ayam geprek. Sialan, serem banget anjing kak Johan, auranya kayak penjahat.” Batin Jidan melangkah dengan ngeri menuju Johan yang sedang senderan di dinding menunggu Jidan datang.

“Rajendra Tirta Gentala kelompok 5.”

“Oh kita deketan semua deh kelompoknya, setidaknya mungkin berjarak satu kelompok doang.” Ujar Hazen kemudian setelah Jendra pergi dari tempat duduknya.

“Hooh Zen kayaknya gitu.” Raden mengangguk menyetujui, hanya tinggal mereka berdua diantara semua sahabatnya yang belum terpanggil.

Deon melebarkan senyum gusi nya ketika melihat Jendra datang dan menyambut dengan ramah. Jendra hanya membalas dengan senyum canggung sampai matanya ikutan senyum.

“Raden Bintang Kejora kelompok 6.”

“Ah gue dipanggil, semoga lo kelompok 7 ya atau nggak sekelompok sama gue hehe.” Ucapnya dan menepuk bahu Hazen terlebih dahulu sebelum berdiri mencari kakak pembimbingnya.

“Oke, udah sana lo hus hus.” Hazen menggerakkan tangannya mengusir Raden.

Raden senang ia mendapat kakak pembimbing yang terlihat lebih baik dan ramah, terlihat tidak banyak tingkah juga, jadi dirinya tidak khawatir akan dikerjai olehnya. Benar, Tama lah kakak pembimbing kelompok 6.

Hazen mulai suntuk sekarang, teman-temannya sudah pergi dan ia hanya sendiri. Saat ini pengumuman kelompok 7. Ia jadi teringat perkataan Raden, kemungkinan ia ada di kelompok 7 sangat besar. Karena teman-temannya mendapatkan kelompok berurutan.

Kedua manik madunya mengedarkan pandangan untuk melihat siapa kakak pembimbing kelompok 7 dan shit! Hazen tak bisa untuk tidak terkejut.

“Pliss jangan sampe gue kelompok 7, jangan. Kelompok manapun gak masalah dah tapi jangan masuk kelompok 7 plisss.” Ia mengatupkan kedua tangannya dan memejamkan mata untuk berdoa.

Setelah memanjatkan doa berkali-kali, Hazen membuka mata dan mengatur nafasnya. Ia masih mendengarkan nama-nama mahasiswa baru yang disebut sebagai kelompok 7.

Sepertinya Tuhan sedang marah dengan Hazen, sehingga doa sekitar 5 menit lalu harus pupus, hancur dan tak tergapai.

“Hazen Aditya Buana kelompok 7.” Tristan menyebut namanya begitu lantang sampai Hazen terjingkat dan tersadar dari daydream nya.

Hazen mengerjapkan kedua matanya dan berteriak dalam hati. “What the fuck? Gue doanya semoga nggak di kelompok 7 tapi kenapa gue malah ada di kelompok 7 sih?”

“Hazen, ayo cepet berdiri kenapa bengong dah? Cepet gabung sama mereka biar yang lain segera disebutkan namanya.” Tegur Tristan yang melihat Hazen yang masih duduk saja dengan tatapan kosong.

“E-eh iya kak maaf.” Dengan berat hati Hazen berdiri dan meminta jalan kepada mahasiswa-mahasiswi yang menghalangi jalan dan segera menghampiri teman-teman kelompoknya yang sudah menunggu bersama dengan seorang lelaki yang jelas-jelas memegang kertas bufalo bertuliskan angka 7.

Dia adalah kakak pembimbing kelompok 7, kelompoknya. Siapa lagi jika bukan Marvin? Kating yang ingin dihindari Hazen namun sialnya malah harus bertemu dan berinteraksi sampai 3 hari ke depan.

Benar jika masa depan tidak ada yang bisa menebak, bahkan dalam kurun waktu yang sedikit, masa depan tak terduga yang tak diharapkan pun justru datang menghampiri.

Flo·ᴥ·

Tw // character death , family issue , broken home, mention of blood, penculikan.

Ini part penting banget sebenernya, tapi kalo takut ke trigger bisa skip aja ya^^


“Bunga seperti biasanya Mas?” Tanya sang florist kepada Marvin.

Marvin tersenyum ramah dan mengangguk. “Iya Bu.”

“Saya sudah menyiapkan nya untuk Mas Marvin sejak dua bulan lalu, tapi tumben Mas Marvin tidak datang setiap bulan seperti biasanya.” Ucapnya sembari merangkai buket bunga anyelir.

“Iya Bu, lagi sibuk banget akhir-akhir ini, baru sempat jengukin Mommy.”

Sang florist—sebut saja Bu Salsa. “Oh begitu, pasti Mommy nya seneng sekarang udah dijengukin. Ini Mas bunganya.” Ucapnya menyerahkan satu buket bunga anyelir ukuran sedang berwarna pink.

Marvin menerimanya lalu membayar. “Terimakasih Bu, saya pergi dulu. Permisi.”

“Baik Mas, silahkan.”

Lalu Marvin memasukkan buket itu ke dalam ranselnya dan memakai helm full face nya, menancapkan gas motor Ninja merahnya menuju TPU yang berjarak sekitar 500m dari toko bunga.

Setelah sosok Marvin tidak terlihat, Hazen mencopot helm full face nya dan menyebrang untuk berjalan ke toko bunga.

“Permisi...”

Bu Salsa yang sibuk menata bunga pun menoleh ketika mendengar suara Hazen. “Ya Mas. Ada yang bisa saya bantu?”

Hazen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Um... itu Bu, kalau boleh saya tau, cowok yang tadi beli bunga apa ya?”

“Cowok yang tadi? Yang pakai Ninja merah?”

“Iya Bu, itu hehe.”

“Oh, dia beli buket bunga anyelir Mas.”

“Anyelir? Yang warna apa?”

“Warna pink.”

Deg

Ia jadi teringat beberapa tahun lalu...

Hazen ingat betul, dulu saat SMA, Raden suka melukis bunga, lalu tanpa diminta, Raden selalu menjelaskan makna setiap bunga yang ia lukis kepada Hazen. Dan Hazen yang sedang menggambar konstruksi bangunan pun mendengarkan dengan hikmad.

Ia juga ingat, waktu itu Raden sedang melukis bunga anyelir warna pink. Tapi saat itu, Raden diam saja tidak seperti biasanya. Lalu, Hazen berinisiatif untuk bertanya, apa makna dari bunga anyelir pink yang sedang dilukis Raden. Kemudian Raden menatap Hazen dan tersenyum lembut ketika itu dan berkata, “Bunga anyelir pink ini adalah salah satu bunga kesukaan gue Zen, selain bunganya yang cantik, maknanya juga penuh arti.”

“Oke... apa emang maknanya?”

“Aku tidak akan pernah melupakanmu.” Ujarnya masih dengan senyuman manis seorang Raden.

Hazen sedikit cengo. “Itu artinya bunga anyelir pink?”

“Iyup, betul sekali.” Lalu Raden lanjut menggores kuas nya dengan cat air warna soft pink ke lukisan nya.

Hazen memperhatikan setiap gerak tangan Raden yang dengan lincah menari-nari di atas kanvas.

Hazen mengangguk, lantas ia bertanya lagi kepada Bu Salsa. “Kalau saya boleh tau, apa Kak Marvin sering membeli bunga kesini?”

“Iya, setiap bulan rutin ia beli bunga anyelir untuk hadiah Mommy nya di tempat istirahat terakhirnya.”

Lagi-lagi, Hazen terkejut bukan main mengetahui fakta ini. Demi Tuhan, ia kira, Marvin masih mempunyai keluarga lengkap, namun orangtua nya cerai. Tak disangka, Om Jagat menikah lagi karena istrinya sudah meninggal.

“Um, Bu saya mau buket bunga Lily putih nya ya?”

“Baik Mas, mohon tunggu sebentar.”

Hazen menghela nafas, menatap sendu jalanan di depannya yang sedikit lengang. “Kak Marvin...” lirihnya sembari meremat kedua tangannya yang terkepal.


Hazen melajukan motor KLX nya menuju satu-satunya TPU yang dekat dengan toko bunga tersebut. Ia memarkirkan motornya sedikit jauh dari area parkiran pemakaman. Setelah mencopot helm nya, ia mencabut kunci motor dan berjalan perlahan memasuki TPU.

Sepertinya karena ini hari Jum'at mangkanya banyak yang datang kesini untuk mendoakan orang terkasih masing-masing. Hazen celingukan kesana kemari untuk mencari sosok Marvin diantara banyaknya nisan di sini. Di tangannya sudah ada sebuket bunga Lily putih yang segar dan cantik.

Hazen berjalan memasuki area TPU untuk menemukan Marvin, dengan pelan, matanya berpendar. Masuk semakin jauh, kedua manik hazelnya menangkap punggung yang meluruh sedang duduk berjongkok di samping nisan keramik warna putih.

Tadi yang Hazen tau, Marvin memakai jaket kulit hitam nya. Sekarang lelaki itu melepasnya dan menyisakan kemeja hitam lengan panjang yang sedikit tipis. Ia tau, itu adalah Marvin, tinggal selama hampir 4 bulan bersama Marvin, membuatnya hafal figur tubuh lelaki itu bahkan meski dari punggung nya saja.

Hazen tidak mendekat kesana, melainkan ia ikutan berjongkok di samping nisan makam seseorang yang tidak ada pengunjungnya, tepatnya di belakang Marvin, selisih 4 baris nisan yang memisahkan keduanya.

Bacanya sambil dengarkan lagunya ya bestie, “Bahasa Kalbu by Raisa”

https://www.youtube.com/watch?v=3PBetn4m8n0

“Hai Mom, selamat sore, maaf aku hanya diam sejak 15 menit lalu dan cuma natap nisan Mommy, aku merasa bersalah udah 2 bulan nggak jengukin Mommy, tapi sekarang hati aku udah lega liat Mommy, jadi aku mau ngomong sama Mommy sekarang.”

Hazen masih setia menatap punggung lebar Marvin, bukan maksudnya ia menguping, ia tau ini privasi Marvin, harusnya ia tidak boleh tau. Tapi—ia ingin merasakan kesedihan Marvin juga, ia sudah berjanji dulu kepada Marvin bahwa ia bisa menjadi apapun untuk Marvin, bersedia menjadi tempat berkeluh kesah, menangis, bahagia dan sebagainya. Maka disinilah ia sekarang, mendengarkan setiap kalimat yang Marvin ucapkan kepada Mommy nya.

Mom, yang pertama aku mau kasih kabar, kalau Daddy udah nikah 1 bulan lalu, sama Papa Noah. Papa orang baikkkkk banget, sangat mencintai Daddy, begitupun sebaliknya. Aku punya saudara tiri yang lebih tua, dia cewek yang cantik, dan—aneh haha. Lebih ke unik sih Mom, pasti Mommy suka kalo liat Jelita.” Ucapnya terkekeh hambar, ada rasa sedih bercampur senang saat ia menceritakan tentang keluarga barunya kepada sang Ibu.

Hazen meremat kepalan tangan kanan nya, hatinya bergejolak, seperti ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Marvin ketika menyampaikan berita kepada sang Ibu. Hazen menghela nafas lirih, masih menatap dan mendengarkan ocehan Marvin.

“Dan—sebenernya Mom, ada alasan kenapa aku selama 2 bulan ini nggak jengukin Mommy. Mom, you have a grandson, his name is Hevin. He's my son. Aku sibuk mengurusi dia, karena dia masih bayi, sehingga nggak ada waktu buat jengukin Mommy, karena waktuku setelah kuliah, ya merawat anakku.”

“Dia bukan anak kandungku karena aku belum menikah, ada seseorang yang menitipkan dia buat aku jaga, tapi aku sayang banget sama dia Mom, aku udah anggep dia kayak anak aku sendiri. He's very cute and funny, if you see him, surely you will like my son too.” Kekeh Marvin sembari membayangkan Hevin yang tertawa dan bertingkah nakal namun menggemaskan.

Hati Hazen trenyuh dan menghangat mendengar Marvin menceritakan sosok Hevin, apalagi Marvin menceritakannya dengan penuh kasih sayang. Tanpa sadar, bibirnya melengkung ke atas mendengar perkataan Marvin tentang Hevin. “I told you, if you are indeed a great father to Hevin, Kak. Hevin beruntung punya Papa kayak lo.” Batin nya tak memudarkan senyum nya.

Marvin mengusap nisan sang Mommy. “Oh ya Mom, sejujurnya juga, aku nggak sendirian merawat Hevin selama ini. Ada orang baik yang rela menjaga Hevin bersama denganku. Hevin manggil dia Mama. Hevin emang manggil dia Mama, tapi bukan berarti dia perempuan cantik ataupun kekasihku. Orang baik itu, sudah aku anggap Mama nya Hevin karena selama ini, figur seorang Ibu Hevin diambil alih sama dia. Dia benar-benar baik Mom, dia juga sayang banget sama Hevin, nggak pernah ngeluh buat direpotin jagain bayi padahal dia juga sama sibuknya kayak aku, harus kuliah dan banyak tugas.”

“Dia rela waktu mainnya sama temen-temennya tersita buat bantu aku jagain Hevin. Telaten banget urusin Hevin, dari mulai menggendong, buatin makanan, nyuapin makan, buatin susu, mandiin, gantiin baju, pampers dan menenangkan Hevin kalau nangis dan rewel. Pinter banget nimang Hevin sampe Hevin ketawa kesenengan. Suaranya juga bagus, Hevin jadi cepet tidurnya kalo denger Mamanya nyanyi.”

Hazen mengerjapkan matanya, jantungnya berdentum begitu cepat mendengar Marvin mendeskripsikan dirinya kepada Mommy. Mata Hazen berkaca-kaca, sungguh ia ngin menangis sekarang. Ada rasa—bahagia karena Marvin begitu menyanjung dirinya di hadapan batu nisan sang Ibu. “Kak Marv...” cicitnya begitu lirih yang hanya dapat didengar olehnya sendiri.

“Namanya Hazen Aditya Buana. Bagus ya Mom namanya? Tau nggak arti namanya? Aku sempat iseng cari nama buat Hevin dulu sebelum Hazen yang ngasih. Trus aku ketemu nama Hazen.”

“Tadinya aku pengen namain Hevin sebagai Radeva, artinya pembawa kebahagiaan. Nanti bisa dipanggil Deva. Tapi—Hevin juga bagus. Karena kata Hazen, itu nama gabungan dari aku sama dia. Hevin artinya Hazen Marvin. Haha lucu ya Mom? Akhirnya aku setuju, lagian memang kan dia anak aku sama Hazen?”

Hazen makin speechless, sungguh ia tidak menyangka Marvin juga sempat memikirkan calon nama untuk Hevin. “Hevin Radeva? Nama yang indah.”

“Mau cerita tentang Hazen sebentar boleh ya Mom? Selain Hevin, aku ingin Mommy tau orang baru yang masuk di hidup aku beberapa bulan ini. Dan itu cukup berdampak untuk aku Mom. I feel, I can be me when I was with you when they came. Before the cold creeps in my body and freezes all the warmth you've ever given me. I felt that warmth back when I was with Hazen and Hevin. Bukankah itu mengejutkan Mom?

Tangan Hazen sudah berkeringat dingin, angin sepoi-sepoi menerbangkan poninya. Semakin memburamkan penglihatannya karena mata nya yang mulai berembun lebih banyak, dan sebentar lagi akan jatuh. Semua perkataan Marvin, ia mendengarnya dengan jelas, ia menahan untuk tidak lari dan memeluk lelaki itu erat.

“Hazen, artinya tertawa dan tersenyum. Lalu Aditya, artinya matahari sedangkan Buana, artinya dunia, semesta—

nama itu cocok untuk dia Mom, karena Hazen memang orang yang periang, selalu tertawa dan tersenyum. Tawa dan senyumnya membuat orang di sekitarnya ikut senang dan bahagia, energi positifnya bisa tersalur dengan mudah ke orang lain. Dia bersinar secerah matahari, dia membawa cahaya untuk menerangi kegelapan ke semua orang dengan cara menawarkan dan berbagi kebahagiaan kepada orang lain tanpa memilih. In short, he is a loving and warm person. Kemudian dia memang seperti dunia, karena orang-orang berpusat ke dia.”

“Kenapa aku bilang begitu? Karena dia mampu membuat semua orang nyaman ketika bersamanya. Dia memberi tanpa meminta balasan, sehingga dunia pun berpusat kepadanya, semua memuja dan kagum sama dia. Hazen orang tertulus yang pernah aku kenal Mom.

“He even offered me the long lost happiness after Mom left me and Daddy. Subconsciously, I felt dependent on him, just as Hevin needed him. He showed me that the world is beautiful, should not be sad for long. He said, I deserve to be happy, and he can be anything to give happiness to me.”

“Bahkan Mom, aku dan Hazen adalah orang asing. Yang kebetulan kami dipertemukan karena dia terpilih menjadi ketua angkatan sama sepertiku, serta menjadi roommate yang berujung kami harus merawat bayi bersama dan mendeklarasikan Hevin sebagai anak kami. Bukankah Hazen orang yang sangat baik Mom?, kepada orang asing sepertiku aja dia kayak gitu, aku rasa orang lain juga akan diperlakukan sama olehnya. Cause, he is indeed a very kind and pure hearted person. Help without asking for anything in return. Sincere man, right?

Hazen memeluk lututnya dan menunduk, menyembunyikan wajahnya dibalik lipatan tangannya yang memeluk lutut. Jika kalian ingin tahu, Hazen sedang menangis. Ia menahan suara sesenggukannya agar Marvin tidak mendengarnya, hati Hazen terasa meletup-letup mendengar kalimat yang begitu panjang dan polos itu keluar dari bibir Marvin. Hazen tidak menyangka sama sekali jika Marvin sangat memperhatikannya sedemikian rupa. Semua yang ia lakukan untuk Marvin itu ikhlas, ia tidak ingin Marvin sampai memujinya seperti itu. Itu sungguh mengejutkan untuknya. Hazen bertanya-tanya, apakah dirinya memang sebaik itu? Apakah dirinya pantas mendapatkan pujian sebaik itu dari Marvin? Hatinya berkecamuk, dia sangat senang dan terharu.

Jujur saja, ia ingin memeluk Marvin sekarang. Ia ingin Marvin bisa berkeluh kesah padanya, ia ingin Marvin bercerita banyak kepadanya. Hazen siap untuk mendengarkan apapun yang akan Marvin katakan. Dia siap ikut bersedih karena Marvin berbagi beban kesedihannya yang selama ini dipendam sendiri. Tapi tubuh Hazen rasanya lemah hanya untuk sekedar beridir, bahkan saat ini pun Hazen telah terduduk di atas tanah dan menyembunyikan wajahnya di balik lipatan lengan, menangis tersedu-sedu disana tanpa suara.

“Sepertinya aku ceritanya kepanjangan ya Mom?. Haha, maaf, aku terlalu excited bercerita karena sudah 2 bulan aku nggak cerita sama Mommy.

“Sekali lagi Mom, ini cerita terakhir aku.” Marvin menarik nafas dan menghembuskannya pelan—

Mom, Daddy waktu itu nyuruh aku buat kenalin calon tunangan, tapi aku nggak suka sama semua pilihan Daddy, aku masih nggak mau mikirin tentang tunangan, tapi Daddy ngotot minta dikenalin sama calon tunangan yang aku pilih sendiri waktu pernikahan Daddy sama Papa. Dan aku mengenalkan Hazen sebagai calon tunanganku, aku—bingung Mom, in the future, aku sama Hazen harus gimana? Karena kami sepakat untuk jadi calon tunangan pura-pura buat pertahanin Hevin biar bisa sama kami selama mungkin.”

Hazen tak kuasa mendengarnya, air matanya makin deras saja membasahi pipinya. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan nya agar tidak terdengar. Matanya pedih, karena air matanya tidak mau berhenti. “Kak Marvin...” Cicitnya tanpa suara.

“Aku harus apa Mom? Semua akan berantahkan kalau kebohongan aku sama Hazen terbongkar, kami berdua ingin merawat dan menjaga Hevin sampai besar, sepakat untuk hidup bertiga. Apa sebaiknya aku mengikat Hazen dalam hubungan yang nyata aja Mom? Demi Hevin?”

Tik tik tik

Marvin mendongak, ternyata hujan mulai datang untuk membasahi bumi. Ia pun memandang nisan sang Mommy sekali lagi. “Ah hujan Mom, kayaknya cukup sampai sini aja deh aku ceritanya. Bulan depan, kalo ada cerita baru, aku pasti datang lagi. Mom, tolong bahagia ya di atas sana? Jangan lupa senyum, karena Daddy, aku pun juga bahagia. Sampai jumpa lagi Mom, aku pulang dulu.” Ucapnya mengusap nisan sang Ibu lalu beranjak berdiri dan mengeluarkan payung nya dari ransel.

Saat ia melewati Hazen, Marvin mengernyit, kenapa pemuda itu duduk telungkup seperti itu di tengah-tengah hujan yang mulai deras begini? Saat Marvin ingin menanyakan pada Hazen, terdengarlah suara isakan begitu lirih di telinga Marvin, membuatnya urung bertanya, namun ia tetap mendekati Hazen. “Mas, hujan nya mulai deres. Nanti kalo udah selesai, jangan lupa pulang pake payung ya? Payung nya ada di samping Mas.”

Setelah meletakkan payung transparan itu di samping Hazen, Marvin segera berlari dari sana, menutupi kepalanya dengan jaket untuk menuju parkiran TPU.

Hujan semakin lebat, Hazen pun mengangkat kepalanya. Lalu mendongak menatap langit yang mendung. Wajahnya basah karena air mata sekaligus guyuran air hujan. Tubuhnya pun sudah basah kuyup, karena Hazen yang tak berniat beranjak dari sana. Hazen melirik payung transparan di sampingnya lantas tersenyum. “Payung lo nggak guna Kak, gue udah basah kuyup.” Kekehnya, “Tapi makasih, gue simpen payung lo ya?” Lalu Hazen pun berdiri dan memakai payungnya, berjalan menghampiri makam Mommy nya Marvin.

Ia berjongkok disana sembari memegang payung. Ia meletakkan buket bunga Lily putih di sebelah buket bunga anyelir pink. “Selamat sore Mommy nya Kak Marvin, ini—Hazen.” Ucapnya sembari mengusap nisan.

“Maaf kalau aku lancang datang kesini, aku ingin menyapa Mommy nya Kak Marvin. Aku—nggak sebaik yang Kak Marvin bilang Mom, yang ada, Kak Marvin lah orang paling baik yang pernah aku temui, ya walaupun kadang sedikit nyebelin sih hehe, tapi beneran deh Mom, Kak Marvin Papa yang hebat untuk Hevin. Aku kagum sama dia Mom, dia rela melakukan apapun untuk Hevin, mempertahankan anak kami, dan berjanji buat besarin Hevin bersama. Bahkan ia mau berbohong untuk menjadikan aku sebagai calon tunagannya, padahal kami tidak terikat dalam sebuah hubungan apapun, hanya sebagai orangtua Hevin.”

Hazen menghela nafas dan menunduk. “Maaf Mom, aku pasti mengecewakan harapan Mommy ya? Harusnya Kak Marvin mengenalkan perempuan cantik sebagai calon tunangan, sebagai menantu Mommy, bukannya aku yang jauh dari kata cantik. Tapi Mommy, kami hanya pura-pura, mungkin nanti kami bisa memperbaiki keadaan ketika Hevin diambil orangtua kandungnya, lalu aku dan Kak Marvin akan mengakhiri hubungan pura-pura ini.”

Mommy, semoga selalu bahagia di atas sana. Hazen mendoakan untuk kebahagiaan Mommy, tolong bantu aku Mom, untuk membuat Kak Marvin bahagia terus, Kak Marvin berhak bahagia seperti saat Mommy masih ada disini. Biar aku bisa tenang jika suatu saat nanti harus berpisah dari Kak Marvin. Mom, sepertinya aku—” Hazen menjeda ucapannya dan menggigit bibir nya lagi.

“Um, sepertinya aku harus pergi sekarang. Hari sudah sangat sore dan hampir petang, lain kali aku datang lagi kesini ya Mom? Selamat sore, Hazen pamit Mom.” Katanya lalu berdiri meninggalkan makam tersebut. Berjalan tergesa menuju motornya dengan payung yang ia gunakan untuk melindungi tubuhnya yang sudah basah.

Ketika sosok Hazen sudah tak terlihat di area TPU, Marvin menatap makam Mommy nya dari kejauhan, terlihat ada sebuket bunga Lily putih yang menemani buket bunga anyelir miliknya.

Tadinya Marvin ingin kembali ke makam Mommy nya untuk menebar kelopak bunga mawar merah, tadi ia lupa karena keasikan cerita. Namun langkahnya terhenti ketika melihat seseorang duduk di sebelah makam Mommy nya dan meletakkan sebuket bunga Lily disana. Lalu ia teringat payung dan hoodie abu-abu itu, itu adalah lelaki yang ia kasih payung tadi. Akhirnya Marvin mengawasi dari kejauhan, lebih tepatnya di gazebo yang ada di TPU tersebut.

Dan ia sangat terkejut ketika orang itu berlari kecil melewatinya, yang ternyata adalah Hazen. Hazen tidak menyadari kehadirannya karena Marvin menutupi kepalanya dengan tudung jaket dan menggunakan masker.

“It seems you know everything today, Zen. You know some of the secrets of my life today, do I have to tell you everything after this?” Cicitnya lirih menatap KLX 250 warna Hijau baru saja lewat jalanan depan TPU yang tak jauh dari tempat Marvin berdiri.

Hazen tidak langsung pulang ke apart Marvin, ia mau mampir ke studio musik Golden Boyz untuk mengambil kamera yang akan ia gunakan untuk merekam latihan dance nya yang akan mereka tampilkan di Manajemen Festa nanti.


  • Gug gug gug gug*

Rimie menyambut kedatangan Marvin dengan antusias, berlari lalu mendusal di sela kaki Marvin.

Marvin menunduk lalu mengambil Rimie dan menggendongnya. Rimie menjilati wajah Marvin yang membuat sang empunya tertawa kegelian. “Hei, stop it Rimie, gue mau mandi. Nanti ya kita mainnya?”

Gug gug gug

“Udah makan belum?”

Rimie menjulurkan lidahnya, itu berarti Rimie belum makan. Marvin masih menggendongnya dan berjalan menuju rumah anjing Rimie yang ada di ruang sebelah dapur.

Marvin mengernyitkan dahinya, karena apart nya sangat sepi, tadi cuma ada Bi Mina sedang menyaring daun-daun yang jatuh di kolam renang. “Hazen belum pulang? Padahal dia tadi balik duluam, kok belum dateng?”

Gug gug gug

“Hazen belum pulang ya Rim?”

Gug gug

Marvin mengangguk saja, itu artinya Hazen memang belum pulang. Soalnya kalau Hazen sudah pulang, biasanya Rimie akan bermain dengan Hazen jika tidak ada Hevin bersama Hazen.

“Kemana dah tuh orang? Lupa alamat apart atau gimana?” Monolognya sembari menuangkan sarden kesukaan Rimie dalam mangkuk, tak lupa mengisi air minumnya juga di baskom besar.

Ia menurunkan Rimie agar anjing itu bisa makan. Rimie malahap sarden itu dengan lahap, Marvin terkekeh dan mengusak kepala Rimie. “Makan yang banyak ya Rim, gue mandi dulu.”

Marvin pergi dari sana, saat melewati kamar Hazen, Marvin berhenti lalu membuka pelan pintu kamar Hazen. Kemudian masuk tanpa suara, Marvin bernafas lega ketika menemukan Hevin sudah tidur nyenyak. Pasti Bi Mina tadi susah menidurkan Hevin. Nyatanya jam segini Hevin masih tidur, harusnya ini jam bangun nya Hevin agar malam jam 8 nanti bisa tidur.

Setelah selesai mengecek Hevin, ia pun keluar dari sana dan menuju kamarnya sendiri di lantai 2 untuk mandi sore.

Tak perlu waktu lama untuk mandi bagi Marvin, 7 menit cukup. Ditambah berganti pakaian 3 menit dengan total 10 menit ia sudah rapi dan bersih.

Krucuk krucuk

Marvin menepuk perutnya, ternyata ia lapar. Tadi ia tidak ikut makan siang bersama teman-temannya karena ia ada di perpustakaan untuk mencari buku-buku buat kepentingan tugasnya.

“Laper, tapi bentar lagi udah jam makan malam. Diganjel apaan dulu ya enaknya?” Gumamnya sembari menuruni tangga menuju dapur.

Ketika sampai di dapur, ia membuka kulkas dan mendapati kulkasnya penuh bahan makanan. “Apa gue masak buat makan malam sekarang aja? Biasanya Hazen yang masak, sekali-kali gue yang masak nggakpapa lah ya? Meski masakan gue nggak enak-enak amat, tapi bisalah kalo dimakan.”

Akhirnya Marvin memutuskan untuk memasak makan malam saja, karena sebentar lagi pun memasuki jam makan malam. Menu yang ia pilih untuk makan malam adalah Kwetiau Goreng dan tak lupa menggoreng nugget dan sosis goreng.

Marvin tidak bisa memasak makanan rumah yang ribet, ia hanya bisa yang mudah seperti ini. Jika masak Kwetiau, masakannya masih dapat dikategorikan lezat. Hazen pasti akan menyukainya nanti.

Selesai memasang apron nya, Marvin pun mulai sibuk merebus Kwetiau nya dahulu dan meracik bumbu Kwetiau. Berkutat di dapur dengan tingkat fokus yang tinggi, membuatnya tak memperhatikan sekitar.

“Loh? Mas Marvin kenapa masak?” Tanya Bi Mina saat Bi Mina ingin berpamitan kepada Marvin.

Marvin menghentikan kegiatannya mengupas bawang putih dan bawang merah. Matanya sedikit berkaca-kaca. “Nggakpapa Bi, saya pengen masak buat makan malam.”

“Aduh, itu pedes pasti ya? Bibi aja yang masak ya Mas? Mas Marvin duduk aja.”

“Jangan Bi, jam kerja Bibi udah habis. Bibi silahkan pulang dan istirahat ya? Capek kan jagain Hevin seharian karena saya sama Hazen di kampus dari pagi?”

“Tapi Mas—”

“Bi Mina... pulang dan istirahat atau saya potong nih gajinya?”

Bi Mina menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Hehe iya deh Mas, saya pulang kalau gitu. Mas Marvin hati-hati ya Mas?”

“Oke Bi, makasih ya Bi sudah jagain Hevin.”

“Sama-sama Mas, saya pamit dulu. Selamat malam Mas.”

“Malam juga Bi, hati-hati.”

“Baik Mas.”

Kemudian Marvin melanjutkan lagi kegiatan masaknya setelah sosok Bi Mina tak terlihat lagi.

Sudah ada 20 menit Marvin sibuk di dapurnya, jam telah menunjukkan pukul 18.35 WIB.

Tap tap tap

Hazen dengan hoodie yang masih basah namun tidak sebasah tadi memasuki apart, hidungnya kembang kempis saat bau sedap memasuki indra penciumannya. “Eh? Bi Mina belum pulang jam segini?”

Akhirnya Hazen pun memilih untuk mengecek dapur, harusnya Bi Mina sudah pulang, jika belum pulang, maka ia yang akan menggantikan Bi Mina untuk memasak.

Hazen terhenyak ketika punggung lebar itu yang menyapa penglihatannya pertama kali saat memasuki dapur. Ada suara tarikan ingus juga disana. Lelaki itu sedang memotong di atas telenan, karena terdengar suara pisau beradu dengan telenan, memotong sesuatu.

Hazen terkekeh dalam hati. Sungguh, ini sangat lucu melihat Marvin memotong bumbu dapur, biasanya Marvin hanya memasak yang simpel seperti telur goreng, mie instan, omelet, pasta, yang tak perlu memotong bumbu-bumbu dapur seperti ini.

“Huftt mata gue pedes anjir, gue jadi pilek mendadak juga. Gak asik.” Gerutu Marvin masih dengan memotong cabai menjadi kecil-kecil.

“Need some help?”

Marvin menoleh ke belakang begitu mendengar suara Hazen. Di ambang pintu dapur, Hazen menyandarkan tubuhnya di pintu, menatap Marvin dan melipat kedua tangannya di perut. Masih dengan hoodie abu-abu basahnya seperti di makam tadi.

“Nggak, daripada lo ngerecokin gue, mendingan lo mandi.” Ucapnya kembali fokus dengan kesibukannya.

Hazen berjalan mendekati Marvin dan berdiri di sampingnya. “Lo udah ingusan, mata lo merah. Udah berhenti aja, biar gue yang masak. Lo nggak ada bakat masak, jangan coba-coba kenalan sama bumbu dapur.”

“Bacot, minggir sana Zen. Jangan gangguin gue masak please.”

“Yakin nih nggak mau gue bantuin? Lo masak Kwetiau ya?”

“Iya yakin, hmm. Udah sono lo mandi, bau apek hoodie lo. Nggak pake mantel apa gimana sih kok basah kuyup?” Tanya nya pura-pura bego.

“Bawa tapi males pake. Apek banget ya Kak bau gue?” Tanya nya sembari mengendusi hoodie nya.

“Banget, bau kencing tikus. Sana jauh-jauh lo dari gue, mandi yang bersih baru turun buat makan malam.”

“Weitsss macam istri idaman aja lo Kak hehe.”

“Istri pala lo peyang, suami idaman iya!”

“Ya oke, suami idaman. Gue mandi dulu, masak nya jangan sampe gosong ya? Nanti istri lo brewokan kalo masak nya gosong.”

“Lo kan yang brewokan? Mana peduli gue.”

“Heh! Istri lo dongo, bukan gue.”

“Iya, istri gue kan elo? Gitu bukan? Hevin aja panggil gue Papa dan panggil lo Mama.”

“Bajingan, dahlah gue mandi aja.” Ucap Hazen pergi begitu saja darisana, sejujurnya pipi Hazen sudah memerah, pun dengan telinganya.

“Oi Zen, Hevin lagi tidur. Jangan berisik pas masuk kamar.”

“Yoooo.” Jawabnya dan benar-benar menghilang dari dapur.

“Marvin bangsat, lancar banget gombalnya.” Gerutu Hazen dalam hati.

Marvin menahan tawa sejak tadi melihat ekspresi Hazen yang kesal namun terlihat menahan malu. “Mampus, salah siapa recokin gue masak.” Cicitnya sembari memasukkan Kwetiau yang sudah matang ke wajan penggorengan setelah mengeseng bumbu nya.


Hazen baru saja selesai mandi, anaknya masih memejamkan mata. Ia mendongak melihat jam dindingnya. “Duh udah jam 7, ini kalo Hevin belum bangun, ntar susah tidur. Apa gue bangunin aja ya? Waktunya makan malam juga.”

“Ganti baju dulu aja lah.” Ucapnya berjalan menuju almari, memilih pakaian santai. Kaos hitam dan celana longgar selutut.

Dug

“Anjrittt sakit banget bangsat!” Umpat Hazen terduduk di kasurnya dan mengusap lututnya yang terbentur ranjang bayi Hevin dan—

Oeekkkkk oeeeekkk hueeeee hiks hiks hiks Maaaa Paaaa

Hazen langsung berdiri dan mengangkat Hevin dari ranjang bayinya, menggendongnya sembari menepuk punggung sempit sang anak. “Maaf sayang, aduh maafin Mama ya? Tadi nggak sengaja ketendang ranjang nya, maaf. Cup cup cup, jangan nangis ya?”

Ceklek

Marvin masih dengan apron yang melekat di tubuhnya pun menghampiri Hazen. “Kenapa Hevin nangis? Kebangun?”

“Iya kebangun karena gue nggak sengaja senggol ranjang bayinya.”

Marvin menghela nafas dan menggeleng. “Ya udah nggakpapa, waktunya Hevin bangun juga dan makan malam. Ayo turun, makan malam udah siap.”

Oeeekkkk Papa paaaa hiks hiks paaa

“Jangan sama Papa dulu, Papa mu masih kotor bau dapur. Nanti ya? Kalo Papa udah bersih.” Ucap Hazen masih menimang sang anak agar diam.

“Nanti ya sayang, abis ini makan disuapin Papa ya? Diem dulu, anak pinter nggak boleh cengeng, nanti diketawain Rimie loh.” Kata Marvin mencuri kecupan di pipi gembil sang anak.

Hiks hiks hiks eunggg Maaa hiks maammmmm

“Iya kita mamam ya?” Ucap Hazen berjalan keluar kamar bersama dengan Marvin yang mengekor di belakangnya.


Hevin duduk di kursi makan bayinya, disuapi oleh Marvin seperti janjinya tadi. Sedangkan Hazen makan dan menyuapi Marvin. Kegiatan seperti ini sudah biasa mereka lakukan. Kalau kata Bi Mina, sudah cocok jadi suami-suami.

Hazen akan menanggapi dengan kekehan malu sedangkan Marvin hanya menggeleng dan menghela nafas. Hevin lah yang senang dan setuju dengan perkataan Bi Mina, ia akan tertawa dan bertepuk tangan.

“Aaaaaakkkk ammmmmm.” Kata Marvin saat meluncurkan satu sendok smoothie buah mangga ke dalam mulut Hevin.

Hazen tergelak tawa melihatnya, Marvin tidak peduli di tertawai Hazen.

“Makan yang banyak sayang, hargai effort Papa kamu ya?”

Hevin bertepuk tangan dan lahap menerima suapan dari sang Papa.

“Ayo Papa buka mulutnya juga, aaaaaaakkkkkk.” Ucap Hazen sembari terkikik.

Marvin mendengus lalu melahap satu gulungan besar Kwetiau yang diulurkan Hazen. “Gue bukan bayi, nggak usah gitu ya Zen? Atau lo beneran gue pukul pake sendok.”

“Hahaha iya iya. Ayo habisin, Kwetiau nya enak banget sumpah. Gue nggak bohong, lo jago masak Kwetiau ternyata.”

“Bukan jago, ini pertama kali gue nyoba btw.”

“Oh ya? Tapi enak banget kok, sama kayak Kwetiau di resto rasanya. Ajarin masak Kwetiau yang enak gini dong Kak.”

“Liat youtube, ada tutorial nya.”

“Idih, nggak enak liat tutorial. Mendingan langsung praktek daripada lihat sambil praktek.”

“Alesan, nanti kalo gue nggak sibuk tapi.”

“Iya, nanti gue juga bisa ajarin lo masak yang lain kalo lo mau.”

“Nggak mau.”

“Lah kenapa? Kan biar bisa gantian masak kalo gue nggak sempet masak.”

“Masakan lo selalu enak, nggak kayak gue yang enaknya pas mood bagus doang.”

Hazen mengerjapkan matanya, ia tersenyum simpul. Secara tidak langsung, Marvin sedang memuji dirinya bahwa masakannya memang enak. “Yaa, makasih pujiannya meski artinya itu harus gue yang masak disini.”

Marvin terkekeh lalu menyentuh tangan Hazen yang sedang menggulungkan Kwetiau untuknya. Kemudian mengangkat tangan Hazen dan menariknya menuju mulutnya, melahap gulungan Kwetiau itu dari garpu. “Lama, gue masih laper.”

Hazen tertawa lalu giliran dirinya yang menyuapi dirinya sendiri. Ngomong-ngomong, mereka memakai 1 garpu untuk makan berdua :)

Selesai makan malam, Hazen yang membersihkan bekas makan mereka dan mencucinya. Sedangkan Marvin mengajak Hevin bermain di ruang tamu. Ada Rimie juga ikut bermain disana, jadilah Hevin sedang asik bermain dengan Rimie dibawah pengawasan Marvin.

Hevin duduk di tengah-tengah kaki Marvin, karena Hevin masih perlu sandaran untuk duduk. Hevin melemparkan squishy bentuk burger ke lantai, kemudian Rimie akan berlari mengambil squishy itu dan membawanya ke hadapan Hevin. Lalu Hevin tertawa dan bertepuk tangan kemudian melemparnya lagi.

Marvin hanya tergelak tawa melihatnya dan memotret Hevin serta Rimie sangat banyak.

Gug gug gug gug gug

Hihihihikkk Paaaa cuuuu

“Apa? Rimie lucu?”

Hevin mengangguk dan tertawa lagi. “Miieee cuuuu hihihihikkk”

“Aduh gemes banget, ini mah yang lucu dua-duanya.” Kata Marvin menciumi pipi Hevin bertubi-tubi hingga anak itu tertawa kegelian.

Hihihihikk Paaaa papa liii

“Salah sendiri kenapa gemesin hm? Kan Papa jadi pengen ciumin terus.”

Papaaaaa hihihihihikkk liii, Paaaa

“Aduh kayaknya seru ya? Join donggggg.” Teriak Hazen berlari kecil menghampiri Papa dan anak itu yang tengah duduk lesehan di ruang tamu berssama Rimie.

Hihihikkk Mama, maaaaa maaa

“Sini, main sama Mama ya? Biar Rimie main sama Papa, biar adil.” Ucap Hazen mengangkat sang anak dan mendudukkannya di pangkuannya.

Gug gug gug

Rimie berlari dan melompat ke arah Marvin yang sigap ditangkap oleh Marvin.

Posisi Hazen dan Marvin duduk berhadapan, Hazen yang memangku Hevin sedangkan Marvin memangku Rimie dan mengelus bulu anjing itu yang tengah bermain dengan Hevin. Bermain bola plastik.

Ketika Hevin menggelindingkan bola itu dengan tangan mungilnya ke arah Rimie, maka Rimie juga akan menggelindingkan bola dengan kakinya ke arah Hevin sehingga bola itu bergulir dari Hevin ke Rimie. Begitu terus.

Hevin tertawa terbahak-bahak diikuti gonggongan senang dari Rimie, anak bulu yang cantik.

Marvin dan Hazen turut senang dengan interaksi Hevin bersama Rimie, memang pada usia Hevin sudah harus dikenalkan dengan Hewan dan berkomunikasi seperti ini untuk membantu otak dan sarafnya mengenali benda-benda yang ada di sekitarnya.

Hihihihi Mieee niii laaaa nya

Gug gug gug , Rimie menggulir bolanya ke arah Hevin yang sigap ditangkap oleh Hevin.

“Sarimi kalo gini nggak nakal ya? Biasanya dia suka ngajakin gue gelut.” Kata Hazen.

“Udah dibilang namanya Rimie bukan Sarimi.” Ketus Marvin dan menyentil kening Hazen.

“Awww, idih kasar. Dia aja nggak marah gue panggil Sarimi, kok lo yang sewot?” Ucap Hazen sembari mengusap keningnya.

“Tau kenapa lo diajak gelut terus sama Rimie?”

Hazen dengan polosnya menggeleng. Marvin menghela nafas lelah. “Itu karena lo panggil dia Sarimi, nih anjing sensian, mangkanya panggil yang bener!”

“Nggak mau, terlanjur enak Sarimi wlekkkk.” Hazen menjulurkan lidahnya, mengejek Marvin.

Marvin mengerlingkan matanya. “Terserah, pokoknya jangan lupa aja kasih makan Rimie kalo gue belum pulang dan Bi Mina nggak ada disini.”

“Itu mah tiap hari, asal lo tau aja selama ini Sarimi jarang minta makan ke lo karena apa? Ya karena gue yang baik hati ini kasih dia makan rutin meski dia ngeselin suka jilatin muka gue.”

Marvin tertawa kecil. “Kalo dia jilatin muka lo, artinya dia mulai nyaman sama lo. Rimie nggak mau jilatin orang asing.”

“Hmmm gitu, gue tuh demen sama Sarimi kalo nggak bikin kesel. Gue kesel kalo dia jilatin pas gue udah mandi dan wangi, kan gue jadi cuci muka lagi.”

“Cuci muka tinggal cuci muka juga, nggak ribet.”

“Ya tapi air liurnya itu loh buset, bau sarden.”

Marvin langsung tertawa terbahak-bahak, membuat Hevin jadi ikutan tertawa serta Rimie yang ikut serta menggonggong. Ramai sekali suasana apartemen luas ini.

“Apanya yang lucu? Gue lagi menderita loh ini.” Hazen mengerucutkan bibirnya karena semuanya tertawa di atas penderitaannya.

“Hahaha ya ampun perut gue sakit banget ngetawain ini 2 menit. Bentar gue nafas dulu.” Kata Marvin mengatur nafasnya.

“Ya mau gimana lagi? Rimie sukanya sarden, sosis, ayam, nugget, tempura, siomay ikan begitu. Mangkanya kalo emang Rimie belum tidur jangan mandi dulu.”

“Ishh ya masa harus nunggu Sarimi tidur dulu baru gue mandi? Bisa-bisa gue mandi tengah malam.”

“Lebay deh, jam tidur Rimie tuh sama kayak Hevin.”

“Ya malam kan, sama aja.”

Kemudian 3 manusia dan 1 anjing itupun melanjutkan bermain sembari menonton film kartun agar Hevin cepat tidur. Hevin sudah menyesap susu nya dan bersandar di dada Hazen sembari melihat kartun We Bear Bears yang tayang di tv.

Rimie sudah tidur nyenyak di pangkuan Marvin. “Rimie udah tidur, gue mau ke kandang dia dulu. Hevin kayaknya udah ngantuk tuh, matanya merem melek dari tadi.”

Hazen menunduk untuk melihat sang anak. “Oh iya ya, ya udah gue gendong sambil puk puk aja kalo gini ntar pasti merem.”

“Iya.” Lalu Marvin berjalan menuju ruangan Rimie untuk menidurkan anak bulu itu.

Hazen menggendong Hevin dengan gendongan koala dan menepuk-nepuk punggung serta pantatnya. Dot nya sudah terlepas karena susu nya habis.

Hevin bobok ooohh Hevin bobok Kalau tidak bobok, digigit Rimie Hevin bobok ooohhh Hevin bobok Kalau tidak bobok, digigit Rimie

Hazen mengubah lirik lagu Nina Bobok itu dengan semangatnya, niatnya untuk pengantar tidur Hevin, tapi dia sendiri malah terkekeh.

“Serem ah digigit Rimie, ntar rabies.” Cicitnya lirih.

“Oke ganti lagu deh.” Hazen berjalan memasuki kamarnya lalu membuka jendela nya yang langsung disuguhi pemandangan langit malam yang terang karena sinar bulan dan bintang.

Marvin yang baru saja selesai menidurkan Rimie pun terhenti di depan pintu kamar Hazen yang terbuka lebar. Ia menatap punggung Hazen yang sedang berdiri di depan jendela. Sedangkan Hevin matanya masih merem melek dalam gendongan koala Hazen.

Ambilkan bulan Bu… Ambilkan bulan Bu… Yang selalu bersinar di langit

Ambilkan bulan Bu… Ambilkan bulan Bu… Yang selalu bersinar di langit

Marvin melipat kedua tangannya di dada lalu bersandar pada pinggiran pintu kamar Hazen, memperhatikan Hazen dan Hevin dari belakang.

Di langit bulan benderang Cahayanya sampai ke bintang

Ambilkan bulan Bu… Untuk menerangi Tidurku yang lelap di malam gelap

“Udah tidur itu anaknya, taruh di ranjang gih.” Kata Marvin dan masuk ke dalam kamar Hazen setelah menutup pintunya.

Hazen menoleh ke belakang dan terkejut mendapati Marvin di belakangnya. “Beneran udah tidur?”

“Iya, udah.”

Hazen menghela nafas lega lalu menaruh Hevin ke ranjang bayi dengan hati-hati dan pelan agar anak itu tidak terbangun.

“Huft lega, akhirnya tidur juga.”

Marvin memperhatikan Hazen, kemudian mendekat membuat Hazen terkejut dan sontak mundur hingga ia terduduk di kasurnya. “Ke-kenapa lo?”

“Ssttt jangan keras-keras, nanti Hevin bangun.” Marvin menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Hazen membuat Hazen tahan napas dan memundurkan wajahnya.

“Lo ngapain sih Kak?” Cicit Hazen lirih.

“Bibir lo.”

“Huh? Bibir gue kenapa?” Tanya nya dan menyentuh bibirnya.

“Jangan disentuh, lo nggak ngerasa apa kalo bibir lo luka? Apa nggak sakit pas makan Kwetiau pedes tadi?”

“Ssshh duh, gue kira gue kepedesan mangkanya sakit cekit-cekit, emangnya luka ya bibir gue?”

Marvin mengerlingkan matanya lalu menarik Hazen keluar kamar dan membawanya ke ruang tamu lagi. “Duduk situ, gue ambilin obat dulu.”

“Eh Kak nggak usah, ini nggak perih kok, gue nggak—”

“Hazen, nanti makin lebar lukanya kalo lo cerewet. Diem, gue ambil obat dulu.” Ucapnya dan berlari kecil menaiki lantai 2 menuju kamarnya.

Hazen menghela nafas lalu menyentuh bibir bawahnya lagi yang memang terasa perih. “Sshhh duh, perih juga ya. Kenapa deh? Apa gue gigit nya kekencengan waktu di makam tadi?”

Tak lama Marvin datang membawa kotak P3K dan duduk berjongkok di depan Hazen yang duduk di sofa. “Ini agak perih, tahan ya? Jangan dikatupin bibirnya, biar gue mudah olesinnya.”

“Anu Kak biar gue obatin sendiri aja ya?”

“Nggak, gue aja. Kenapa bibir lo sampe sobek gitu sih? Hobi banget gigitin bibir.”

“Tsk, bukan hobi. Nggak kerasa aja kalo lagi gigit.”

Marvin menipiskan jarak diantara keduanya, jari telunjuknya sudah ia bubuhkan krim luka siap dioleskan di bibir Hazen. “Buka mulutnya, jangan dirapetin gitu.”

“Iya iya, sabar ngapa.” Kata Hazen lalu membuka mulutnya sedikit agar jari Marvin bisa menyentuh luka di bibirnya.

Jari Marvin mulai mengeksplor bibir bawah Hazen dan mengoleskan krimnya. Hazen mendesis ketika krim itu menyentuh luka nya. “Ssshh Kak, pelan dikit.” Racaunya tidak jelas.

“Iya, jangan ngomong nanti jari gue lo hisap bisa-bisa.”

Hazen mendengus dan menurut, membiarkan Marvin mengoleskan krim itu di luka nya. Hazen memperhatikan Marvin yang fokus mengobati lukanya. Kemudian menatap iba mengingat curahan hati Marvin di makam tadi.

Hazen menghentikan pergerakan tangan Marvin dengan menggenggam tangan kanan Marvin yang ada di bibirnya, membuat Marvin menatap kedua manik hazel Hazen dan menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa? Sakit banget?”

Hazen menggelengkan kepalanya. “Udah selesai. Udah nggak sakit.”

“Oh oke.” Marvin melepaskan tangannya dari genggaman Hazen dan membereskan P3K nya.

“Kak.” Panggilnya saat Marvin hendak pergi.

“Kenapa?”

“Duduk sini.” Ucap Hazen menepuk ruang kosong di sebelahnya.

“Ngapain? Gue mau balikin ini ke kamar.”

“Nanti aja, duduk sini dulu. Gue mau kita deep talk boleh?”

Marvin mengernyitkan dahinya, karena Hazen tak sabar, ia pun menarik lengan Marvin hingga terduduk di sampingnya. “Boleh?”

Marvin menatap iris Hazen, seperti tersihir, ia pun mengangguk. “Of course, so? What do you want to talk about?”

“Gue mau mengakui sesuatu ke lo.”

“Oke... then, explain now.”

Hazen menarik nafas lalu menghembuskannya. “Gue liat lo tadi, di TPU lagi jengukin Mommy lo.” Cicitnya sedikit lirih, tak sadar menggigit bibir bawahnya lagi.

“Dibilang jangan digigit, Hazen.” Kata Marvin menyentuh bibir Hazen yang baru saja digigit.

“Maaf, reflek.”

Marvin menghela nafas. “Gue tau.”

Deg

Hazen membelalakkan matanya. “Lo—tau? Kok bisa?”

“Tadinya gue mau balik ke makam Mommy buat naburin bunga mawar yang kelupaan, eh malah ada cowok yang gue kasih payung tadi duduk disana, ngasih Mommy bunga Lily.”

“Kak, lo—nggak marah? Gue nggak bermaksud lancang ataupun nguntit lo serius, tadi gue beneran nggak sengaja liat lo berhenti di toko bunga waktu gue mau beli Mie Ayam, trus gue jadi penasaran dan tanya penjual bunganya, lalu florist itu bilang kalo lo barusan beli bunga buat hadiah Mom—

Ucapan Hazen tak terselesaikan karena telunjuk Marvin memblokir gerak bibirnya. “Jangan banyak ngomong, nanti krim obatnya ketelan dan lo keracunan tau rasa.”

Hazen mengerjapkan matanya dan terdiam, hingga telunjuk Marvin berpindah tempat mengelus pipi kanan Hazen. “Zen, gue nggak marah. Yang ada gue malu.”

“Malu? Kenapa malu?”

“Lo pasti dengerin semuanya kan? Waktu gue cerita ke Mommy?”

Hazen mengangguk polos. “Maaf, gue juga nggak bermaksud buat nguping, tapi gue tetep denger.”

“Lo boleh ledekin gue kalo lo mau, lo udah denger tadi gue sebut-sebut nama lo bahkan gue cerita ke Mommy tentang lo dari sudut pandang gue.”

Hazen menyentuh punggung tangan Marvin lantas menggenggam dan mengusapnya, kedua manik nya menatap obsidian gelap Marvin. “Gue nggak akan ledekin lo, lo harus tau waktu lo kasih payung ke gue, itu gue lagi nangis. Lo tau kenapa gue nangis? Karena lo Kak, gue nangis jelek di makam sana karena lo.”

“Lo nangisin gue karena kasihan? Sorry, gue nggak butuh dikasihani.” Ucapnya ingin menarik tangannya dari genggaman Hazen, namun tidak berhasil karena Hazen menahan dan makin mengeratkan genggamannya.

“Gue nggak kasihan ataupun iba sama lo. Gue nangis, karena gue terharu asal lo tau. Gimana lo kenalin Hevin ke Mommy lo, gimana lo ceritain Sandra, Om Noah dan Daddy lo, itu semua ngebuat gue terharu dan nangis. Dan juga—tentang gue, cerita lo tentang gue ke Mommy, gue beneran nggak bisa berkata-kata lagi saat tau pandangan lo ke gue sebaik itu Kak, gue orang asing, orang baru di hidup lo, tapi lo menjunjung kebaikan gue di depan Mommy. Gimana gue nggak nangis coba? Gue ngerasa nggak pantes dapet pujian kayak gitu Kak, karena gue nggak sebaik itu.”

Tangan kanan Marvin yang terbebas pun mengelus kepala Hazen disertai senyum di bibirnya. “Hari ini lo udah tau sebagian rahasia hidup gue Zen, lo mau tau lengkapnya kisah hidup gue nggak?”

“Hum? Memangnya boleh?”

“Bukannya lo dulu pernah bilang kalo lo bisa jadi apapun buat gue? Menampung semua cerita gue dan dengerin apapun yang gue keluhin?”

Hazen mengangguk semangat seperti anak kecil senang mendapat permen. “Iya, gue bilang gitu. Tapi kalo lo nggak nyaman, jangan dipaksa cerita ke gue Kak.”

“Gue butuh temen berbagi Zen, dan lo nawarin buat jadi teman berbagi. So, wanna hear some story of my life?

“Yes, i want. Tell me your story, and I will hear your story.”

Marvin terkekeh. “Agak menyedihkan ceritanya, lo jangan nangis ya? Gue nggak mau liat lo narik ingus ntar.”

“Anjir, iya enggak nangis. Kalo ntar nangis, gue lari ke dapur deh buat buang ingus.”

“Idih, oke oke. Mari mulai. Dengerin baik-baik, karena gue nggak mau ngulang satu katapun kalo lo tanya.”

“Iya, gue diem aja kalo gitu sampai lo selesai cerita.”

“Bagus.”

Kemudian Marvin menyamankan posisinya, bersandar pada sofa, begitupun juga Hazen. Keduanya menatap langit-langit apartemen luas itu. Dengan posisi tangan mereka masih saling menggenggam bahkan jemari mereka bertaut.


Putar dulu lagunya T_T wajib banget! “Afgan – Untukmu Aku Bertahan”

https://www.youtube.com/watch?v=i0yrU_Ge_aw

“Dulu, gue, Daddy and Mommy adalah keluarga bahagia. Karena gue anak tunggal, gue dimanja sama mereka, apapun yang gue mau pasti diturutin. Gue tinggal di Kanada sampai gue lulus dari SD. Menginjak SMP, gue pindah ke Indonesia, dan saat itulah semuanya berubah.”

“Lo tau kenapa gue bawa pistol kemana-mana?”

“Buat pelindung diri kan? Dulu lo bilang gitu.”

“Iya, lo dulu nyangka gue kayak berandalan karena bawa pistol kan?”

“Iya, karena gue aja cuma bawa pisau lipat buat jaga-jaga, itupun kalo inget. Karena gue atlet Judo, jadi cukup dengan ilmu beladiri gue buat ringsekin musuh.”

Marvin mengangguk. “Gue bawa pistol, karena tandingan gue bukan orang biasa Zen.”

Hazen melirik Marvin. “Maksudnya?”

“Alasan gue pindah ke Indonesia karena Daddy dituduh sebagai bandar senjata tajam padahal Daddy nggak tau apa-apa, dia dijebak sama orang kepercayaannya Daddy sendiri.”

Hazen sedikit terkejut namun ia tak mengucapkan apa-apa, ia ingin Marvin bercerita tanpa gangguan.

“Setelah proses hukum dan terbukti Daddy gue nggak salah, akhirnya orang itu yang dimasukin penjara, Daddy gue sempat masuk penjara selama 1 bulan. Lalu Daddy adain konferensi pers buat klarifikasi salah paham itu untuk bersihin namanya sekaligus perusahaan Daddy di Kanada.”

“Tadinya kita pikir, semuanya selesai sampai disitu. Tapi—keluarga orang itu nggak terima karena orang itu masuk penjara karena Daddy, dan ancaman-ancaman serta terror pun berdatangan, sampai Daddy berhasil jeblosin orang-orang yang neror keluarga gue bahkan karyawan di perusahaan Daddy juga diganggu. Nggak sampai situ, setelahnya makin runyam. Daddy kerap diserang sama orang asing dan ujung2 nya nggak ada yang diketahui identitasnya, meski kita bisa nebak itu masih se spesies sama orang-orang sebelumnya. Mereka ancam, kalau kita lapor ke polisi atau membawa ke hukum, mereka akan semakin ngejar kita tanpa ampun, mereka bilang, hukum tidak akan menyusutkan pasukan mereka, karena orang-orang itu adalah sekelompok manusia yang pengen hancurin karir Daddy.”

“Demi keamanan keluarga, Daddy membawa kami kabur ke Indonesia, menghilang tanpa jejak. Daddy benar-benar menyewa badan intel buat urusin kepindahan kami di Indonesia agar nggak kecium sama mereka. Yah, kita berhasil kabur kesini. Dan Daddy selalu bilang ke gue, kalo gue nggak bisa tenang-tenang aja hidup disini, oleh karena itu Daddy ajarin gue main pistol dan senjata tajam waktu gue baru aja masuk SMP buat jaga-jaga.”

“Dan ini puncaknya, ketika gue hampir mati saat gue pulang sekolah. Itu waktu gue kelas 2 SMP, gue diculik dan disekap di gedung kosong. Gue nggak bisa lawan mereka dengan kemampuan shoot gue yang gak seberapa buat lawan belasan orang disana. Mereka telfon Daddy buat datang dan nukarin gue sama seluruh aset harta Daddy, kalo Daddy bawa polisi atau perlindungan, gue akan dibunuh.”

Daddy nggak mau ambil resiko datang sendiri, jadi Daddy bawa polisi diam-diam dan temuin gue sendirian. Sampe Daddy udah serahin semua sertifikat dan dokumen aset harta, datanglah polisi dan sialnya ada aja yang gercep dan nusuk perut gue dan gue pingsan.”

Hazen bergidik ngeri membayangkannya, ia jadi teringat waktu dulu saat pagi-pagi Hazen pulang dari rumahnya ke asrama, Marvin masih topless keluar dari kamar mandi. Tak sengaja ia melihat bekas jahitan di perut kanan Marvin meski hanya samar karena masih pagi dan remang-remang.

“Gue dilariin ke rumah sakit, dan gue kehilangan banyak darah. Gue perlu dioperasi karena hati gue terluka karena tusukan itu. Kalo gue nggak segera dioperasi kemungkinan hati gue rusak dan singkatnya, gue bisa mati.”

Mommy yang waktu itu lagi sibuk kerja karena peresmian toko Pastry nya pun nyalahin Daddy atas semuanya. Meski gue tau ini bukan salah Daddy sama sekali, tapi Mommy terlanjur capek, Mommy ikut kerja bangun usaha buat bantuin Daddy karena merintis perusahaan di Indonesia, yang di Kanada di tinggal buat hilangin jejak.”

“Gue selamat meski harus koma selama sebulan, dan saat gue bangun, udah pulih dan bisa beraktivitas, saat itulah gue nyesel bangun dari koma.”

Bibir Hazen bergetar, ia ingin menangis sejak tadi mendengarkan kisah tragis Marvin dan keluarganya, namun sebisa mungkin ia tahan. “Ke-kenapa?”

Marvin menghela nafas dan mengeratkan genggamannya di tangan Hazen. “Mommy minta cerai, karena Mommy nggak bisa hidup dengan jadi buronan para penjahat, tidur nggak nyenyak, mau aktivitas takut, Mommy trauma karena insiden yang terjadi sama gue. Daddy udah mohon-mohon biar Mommy batalin perceraian, tapi Daddy nggak bisa pertahanin Mommy karena tetiba ada lelaki yang masuk dalam pertikaian mereka dan ngaku sebagai calon suami Mommy yang baru.”

“Dengan mata kepala gue sendiri, gue liat Daddy terduduk di lantai dan nangis ketika Mommy memperkenalkan lelaki yang dikata calon suaminya. Daddy nggak punya pilihan lain, Daddy cinta banget sama Mommy dan milih buat lepasin Mommy demi kebahagiaan Mommy.”

Hazen mengusap jemari Marvin yang ada di genggamannya karena merasakan tangan Marvin mulai bergetar. “Kak, nggak perlu dilanjutin kalo lo nggak bisa. Okey?”

Marvin menggeleng. “Gue mau lo tau semua sampai tuntas, ini udah setengah cerita.”

“Tapi lo—”

“I'm fine Zen, gue bisa.” Ucapnya mengusap kepala Hazen.

Mommy lihat gue nguping lalu narik gue ke pelukannya, Mommy bilang kalau gue harus ikut Mommy biar gue aman dan tentram dari buronan penjahat itu. Dan ngebuat Daddy naik pitam, karena Daddy mau, gue juga ikut dia. Disitu, gue bingung banget Zen, gue nggak tau harus milih siapa, gue sayang semuanya dan nggak ingin pisah. Tapi gue harus milih ketika itu juga.”

“Gue berfikir secara rasional dan memilih buat ikut Daddy, karena gue tau perjuangan Daddy buat lindungin gue, sementara Mommy minta talak sama Daddy udah bawa calon suami baru disaat Daddy bahkan masih cinta sama Mommy.”

“Sejak saat itu, semuanya berubah. Daddy yang dulu manjain gue, selalu ada waktu buat gue pun udah sirna. Daddy kerja kayak orang gila, gue merasa sendirian di rumah sebesar itu. Gue nggak bisa rasain kehangatan dari Mommy lagi kayak dulu, semuanya hilang dan berubah jadi dingin. Rumah yang tadinya hangat, jadi beku. Bahkan Daddy pun berubah jadi orang tempramen, suka marah-marahin gue tanpa sebab, nuntut gue buat jadi nomer 1 di sekolah, katanya gue harus buat Daddy bangga. Dan gue mulai sumpek sama semua tuntutan Daddy. Bukan kayak Daddy gue banget.”

“Akhirnya, gue berhasil meraih peringkat 1 paralel di SMP dan menang banyak olimpiade di sekolah. Dengan itu gue buat persekutuan sama Daddy agar dia mau lepasin gue hidup sendiri. Tadinya Daddy marah, tapi gue ancam bakalan kabur buat nyari Mommy kalo Daddy gak ijinin gue hidup sendiri. Dan akhirnya, Daddy kasih gue apartemen ini, dan gue tinggal disini selama SMA, nggak pernah balik ke rumah karena Daddy emang sibuk jarang balik ke rumah juga. Gue ditemenin Bi Mina disini sampai sekarang.”

“Itu juga yang ngerubah sifat gue jadi kayak gini. Kayak yang lo tau, dingin, nggak bersahabat, penyendiri, cuek, dan semua temperamen buruk itu. Gue yang dulu udah mati sejak perceraian Daddy sama Mommy, but—, gue ngerasa perlahan gue balik ke diri gue yang dulu akhir-akhir ini.”

“Sejak perceraian Daddy sama Mommy gue nggak tau kabar apapun tentang Mommy, yang gue tau, Mommy pindah ke Taiwan kalo nggak Hongkong, menetap disana.”

“Sampai saat gue denger berita kalo Mommy meninggal saat lahirin anaknya, anak sama suami barunya. Daddy mengancam suami Mommy untuk makamin Mommy di Indonesia, yang akhirnya disetujui sama pihak keluarga sana. Dan mengejutkannya lagi, ternyata suami Mommy itu single parents. Hahaha, sampai sekarang gue nggak tau gimana rupa anak tiri Mommy itu ataupun anak kandung Mommy. Gue cuma peduli sama Mommy dan bersyukur bisa ketemu Mommy tiap bulan meski beda alam. Wajah Mommy terakhir gue tau waktu proses talak di pengadilan dan hak asuh gue jatuh ke tangan Daddy. Gue ngga nyangka, itu terakhir kalinya gue lihat Mommy di dunia.”

Mata Hazen sudah mengabur, airnya siap tumpah kapan saja. Dengan suara sedikit paraunya, Hazen merengkuh Marvin ke dalam pelukannya tanpa minta persetujuan Marvin.

“Gue tau lo lagi nahan nangis, lo sedih Kak, tumpahin aja semuanya. Gue temenin nangisnya, karena gue sekarang juga udah nggak tahan buat nangis.”

“Zen, gue...”

“Nangis kalo sedih Kak, jangan ditahan biar hati dan batinnya lega. Ada gue disini yang siap kasih lo pelukan hangat selama mungkin, apa gunanya gue sebagai teman berbagi kalo gue nggak bisa jadi tempat lo buat bersandar? Nggakpapa Kak, lo manusia biasa, meskipun cowok, nangis itu bukan perkara lo laki-laki atau lo orang yang kuat. Itu perasaan, siapapun bisa nangis kalo sedih, cara meluapkan kesedihan ya nangis meski lega sebentar, tapi seenggaknya lo udah tumpahin sebagian kesedihan lo dengan menangis. Dan sedikit dapat penyembuhan dari pelukan. Pelukan gue contohnya. Gue nggak ngejamin, ini bisa kurangin kesedihan lo, tapi yang harus lo tau, gue bisa jadi tempat lo bersandar sewaktu-waktu. You can cry right now if u want, dan gue akan dengerin tanpa bicara.”

Hiks hiks hiks

Mulai terdengar suara isakan dari lelaki kekar di pelukannya ini, Hazen mengeratkan pelukan itu dan mengusap punggung lebar Marvin dengan lembut. Memejamkan mata dan ikut meneteskan air mata, Hazen dapat merasakan kerapuhan lelaki di pelukannya.

“Zen hiks jangan pergi hiks hiks, jangan pergi ya?”

Hazen menangis tanpa suara, ia ingin membiarkan Marvin puas menangis malam ini di pelukannya. “Iya, gue nggak akan pergi. Kan gue udah janji untuk selalu ada buat lo.” Ucapnya dengan suara parau.

“Lo hiks hiks berarti buat gue Zen, gue hiks ngerasa jadi bergantung sama lo. Lo orang pertama dan satu-satunya yang secara sukarela gue ceritain dengan gamblang kisah hidup gue yang nggak mau gue ceritain ke siapapun. Dan sekarang lo udah tau gue Zen, semuanya. So, don't go anywhere Zen, please.

“Gue tersanjung karena gue satu-satunya orang yang lo percaya buat berbagi kisah hidup lo Kak. Dan gue janji, gue nggak akan kemana-mana, kita juga udah janji kan buat besarin Hevin bersama? So, what can I do except stay with you?

Marvin mengangguk dan menghirup aroma tubuh Hazen yang sewangi bunga dan buah-buahan segar, begitu menenangkan untuknya. “Thank you Zen, sorry if I make it hard in the future.”

“Nggakpapa, bisa diatasi bareng-bareng. Lo berhak bahagia, pantas bahagia. Sesuai nama lo, Liam yang berarti pelindung yang tegas dan Pradipta, yang berarti bercahaya terang. Nama lo bagus, dan sesuai sama lo. Karena lo emang pelindung buat Hevin bahkan buat gue, lo rela berkorban buat pembatalan perjodohan gue demi melindungi Hevin dan gue agar nggak kepisah. Lo juga kayak cahaya yang terang, karena lo, Hevin bisa rasain punya sosok Papa yang hebat, lo menerangi hidup Hevin Kak, bahkan—gue juga. Jadi, jangan sedih lagi ya Kak? Ada gue dan Hevin yang selalu support lo dan ada buat lo. Makasih udah bertahan sampai sekarang. Marvin kecil sangat hebat dan udah tumbuh jadi pria dewasa yang hebat. You did well, Kak. Everything will be oke right now. Terimakasih banget mau bertahan sampai selama ini. Saatnya lo bahagia Kak.”

“Untuk lo dan Hevin, gue bertahan.” Batinnya dan meluruhkan semua tangisnya di ceruk leher Hazen.

@_sunfloOra

Sesampainya di Lembang Park & Zoo Hevin dinaikkan ke dalam stroller, Marvin yang mendorong stroller nya, sedangkan Hazen membaa tas ransel nya. Di dalam stroller, Hevin sudah meminum susu dari dot nya. Kaki Hevin ditutupi oleh selimut mini agar tidak kepanasan.

“Mau lihat apa dulu Kak?” tanya Hazen sembari berjalan bersampingan dengan Marvin.

“Coba tanyain Hevin, dia mau liat binatang apa dulu?”

Hazen pun menunduk agar bisa melihat Hevin lebih jelas. “Mau liat apa dulu sayang? Harimau? Gajah? Rusa? Kelinci? Burung? Atau Ikan?”

Hevin mengerjapkan matanya tak mengerti, karena Hazen menyebutkan semua hewan yang tak bisa ia lafalkan cepat-cepat. Marvin menggeleng lelah. “Liat Harimau aja dulu deh, lo nanyain berbondong-bondong, lo pikir dia ngerti dan paham?”

Hazen meringis lalu menegakkan tubuhnya. “Ya udah sih, ayo kita lihat Harimau.”

Akhirnya mereka memilih untuk melihat Harimau. Sesampainya di kandang Harimau, Marvin menggendong Hevin, agar anak itu bisa melihat dengan jelas bagaimana hewan Harimau. Ia berdiri dari jarak yang aman.

“Lihat Hevin, itu namanya Ha-ri-ma-u. Harimau. Hewan Harimau.” Eja Hazen sembari menunjuk Harimau yang sedang menjilati bulunya.

“Mauuuuuu hihihi mauuuu.” Ucap Hevin sembari bertepuk tangan ceria.

“Benar sekali, mirip Papamu kalo galak, kayak Harimau rawrrrrr.” Kata Hazen sembari memberikan gestur dua telapak tangannya seperti cakaran Harimau.

Hevin tergelak tawa. “Hihihihi lawlllll mauuuuu lawlllll.”

Marvin mendengus dikatai Hazen seperti Harimau, tapi ia tak kesal karena Hevin tertawa bahagia. “Sebenernya itu lebih mirip Mamamu kalo marah-marah.”

“Fitnah, kapan gue marah-marah?”

“Hampir tiap hari, nggak sadar diri amat.”

“Bukan marah itu, hanya kesal.”

“Sama aja Mama...” Ucap Marvin mengerlingkan matanya.

Hazen sedikit terkejut mendengarkan Marvin memanggilnya Mama, apalagi ini konteks nya bukan mengajak Hevin ngomong, melainkan bicara dengan dirinya langsung. Hazen jadi salah tingkah, sialan.

“A-apa sih? Gue bukan Mama lo.”

“Siapa bilang lo Mama gue?”

“Nah tuh tadi apaan manggil gue Mama? Idih.”

“Mama dari anak gue kan?” Marvin menaikkan sebelah alisnya, menatap Hazen.

Hazen melengoskan wajahnya. “Cringe parah anjir, diem lo. Ayo kita lihat Gajah.” Ucapnya, berjalan dahulu meninggalkan sang kekasih dan anaknya sembari mendorong stroller yang berisi tas ranselnya.

Marvin terkikik geli lalu berbisik kepada Hevin. “Mama kamu kalo salah tingkah dan malu emang gitu, lucu ya?”

Sang anak menatap Papanya lalu bertepuk tangan, tanda setuju. “Cuuu Maaa cuuu.”

“Heem, Mama lucu. Ayo kita susul Mama mu, kita lihat Gajah.”

“Jah? Jahhh paaaa.” Hevin tertawa senang sembari menepuk-nepuk pipi Marvin.

Ternyata Hazen menunggu kedua kesayangannya itu dari jarak 20 meter. Saat Marvin dan Hevin sudah ada di sampingnya, ia menoleh. “Lama amat jalannya.”

“Nikmatin pemandangan.” Kata Marvin.

Hazen tak peduli, ia mengamit lengan Marvin sebelah kanan dan berjalan. Sungguh terlihat seperti keluarga kecil bahagia. Mereka menuju ke kandang Gajah, disana para Gajah sedang aktif makan, ada Gajah besar dan Gajah kecil. Karena Gajah tidak terlalu bahaya seperti Harimau, Marvin pun mengambil jarak lebih dekat dengan pagar agar Hevin bisa lihat dengan jelas di gendongannya.

“Itu namana Ga-jah. Gajah.” Ucap Marvin.

“Jah? Jah paaaa hihihihi.”

“Iya, Gajah. Tuh lihat, yang besar itu namanya Papa dan Mama Gajah, yang kecil, pendek, namanya anak Gajah.” Tambah Hazen.

Hevin hanya bertepuk tangan kesenangan saat Hazen menunjukkannya berbagai ukuran Gajah dalam penangkaran.

“Yuk kita lanjut lihat Rusa.” Hazen memeluk lengan Marvin lagi dan mendorong stroller nya menuju penangkaran Rusa.

“Zen, Rusa tuh mirip sama Pudu nggak sih?”

“Ya kan Pudu emang Rusa, tapi Rusa Amerika Selatan, Rusa paling kecil di Dunia.”

“Oh, lucu ya?”

“Iya lucu, mungil hahaha.”

“Mirip kayak lo, tapi bukan mungilnya, lucu nya Pudu kayak lo.”

Hazen mendengus dikatain Pudu, tapi ia tidak marah, toh Pudu memang menggemaskan dan lucu. “Gue Pudu, lo Harimau.”

“Lo jadi santapan gue gitu nggak sih konsepnya? Harimau kan karnivora.”

“Gimana caranya lo makan gue? Gigit-gigit?”

“Hmm, caranya ya? Bisa jadi gigit.”

“Gigit apa? Tangan? Kaki?”

“Maunya sih awalnya gigit bibir, lalu gigit leher terus turun gigit da—”

Stop!, sumpah jangan diterusin. Ini siang bolong Kak, dan tolong, ada Hevin.” Ucapnya mengangkat telapak tangannya di atas untuk menghentikan pembicaraan vulgar Marvin.

Marvin terkekeh, ia tau Hazen sedang malu, buktinya kedua telinga kekasihnya itu merah sekali sampai menjalar pipinya. “Hahaha bercanda, lo jangan mikir aneh-aneh.”

“Siapa yang mikir aneh-aneh hah? Lo tuh ya—” Jari telunjuknya menunjuk Marvin dan beberapa detik kemudian ia turunkan dan menghela nafas. “Udahlah lupakan.”

Hazen beralih fokus melihat Pudu yang sedang makan. “Hevin, itu namanya Pudu, Pu pu, Du du. Pudu.”

“U...du???”

Hazen bertepuk tangan lalu mencium pipi kiri Hevin. “Benar, itu Pudu. Ah pinternya anak Mama. Yuk kita lihat Kelinci di rumah Kelinci.”

“Ci??? Ci Maa? Ci ci ci hihihihi.”

Marvin dan Hazen terkekeh.

“Iya, kelinci.”

Lalu ketiganya mengunjungi rumah Kelinci, Hevin diletakkan ke dalam stroller karena hari makin panas. Marvin mendorongnya menuju Rumah Kelinci. Seperti tadi, Hazen dan Marvin memperkenalkan hewan Kelinci kepada Hevin, yang disambut antusias dengan sang anak.

“Kak, naik bombom car yuk, nanti Hevin biar duduk sama gue aja. Sebentarrr aja sebelum kita ke Farmhouse.” Ucapnya selesai mengunjungi semua hewan yang ada disini.

“Iya, ayo kita naik.”

“Keduanya bermain bomom car bersama, Hevin yang duduk diapit oleh Marvin pun bertepuk tangan kesenangan, bahkan Hazen tertawa kencang.

“Maaa maaaa hihihihik maaa.” Panggil Hevin saat melihat Hazen menyetir bombom car sedikit jauh darinya.

“Iyaa Hevin, Mama disiniiii.” Teriaknya juga sembari tertawa.

Tenang saja, disitu hanya ada mereka bertiga yang naik, jadi terasa seperti dunia milik bertiga.

Selesai memutari Park & Zoo setelah melihat burung, reptil, dan ikan, mereka memutuskan pergi ke Farmhouse Lembang.


Saat di Farmhouse, mereka memilih untuk istirahat sebentar, duduk di salah satu kursi panjang yang di depannya ada taman bunga, bunga-bunga bermekaran indah. Banyak yang mengambil selca disana. Hazen dan Marvin duduk di kursi besi, sedangkan Hevin ada tiduran di stroller.

“Kak pengen es krim deh, haus.”

“Tunggu sini, gue aja yang beli.”

Hazen mengangguk senang lalu memberikan finger heart kepada Marvin. “Hehe i love you.”

Marvin terkekeh lalu segera pergi dari sana untuk membeli Es Krim.

“Maaa maaa mammmm.”

“Kenapa? Hevin laper? Mau mamam?”

“Maaam mammm Mama hihihi.”

Hazen mengangguk paham lalu membuka ranselnya, mengeluarkan tupperware kaca yang berisi potongan buah pisang. Lalu menyuapkannya kepada Hevin.

“Aaaakkk aemmmm.” Ucap Hazen ketika satu potong super kecil buah Pisang masuk ke dalam mulut Hevin.

Anak itu terus mengunyah tanpa henti, sampai waktu sudah berjalan sampai 20 menit.

“Papamu beli es krim ke Irak apa gimana sih? Lama amat.”

Hevin hanya menatap polos racauan Hazen.

“Maaa pill pilll.”

“Kenapa? Mau makan buah Pir?”

“Mmm pill maaa pill.”

Hazen menutup tupperware buah pisangnya, lalu giliran membuka tupperware buah Pir.

Sampai Marvin datang membawa 2 es krim, Hazen masih menyuapi Hevin.

“Zen, mau makan es krim nya sekarang? Nanti keburu leleh.”

“Oh iya iya gue makan sekarang, lagian Hevin juga udah makan banyak tadi saking lamanya lo.”

“Maaf, tadi ngantri banget soalnya, Lembang lagi rame, weekend.”

Hazen mengangguk dan tersenyum. “Iya gue tau kok hehe, maaf tadi bercanda aja, jangan marah ya?”

“Nggak marah. Nih makan es krimnya.” Ucapnya memberikan satu cone Es Krim kepada Hazen.

Lalu keduanya menikmati makan Es Krim, sedangkan Hevin tengah minum air putih dari botolnya. Hevin sudah bisa memegang barang dengan lama, ia sudah pintar memegang dot dan botolnya sendiri.

“Kak, selca yuk, kayaknya lucu selca sambil makan es krim.”

Marvin tidak bisa menolak apapun permintaan Hazen, karena hari ini, ia berjanji akan membuat Hazen dan Hevin senang seharian. Maka dari itu, ia pun mengangguk, menyetujui permintaan Hazen.

“Ya udah ayo.”

“Gue bawa tripot, pake itu aja, biar kita bisa gaya bebas, dan hasilnya bagus. Kalo dipegang, biasanya jadi burem.” Ucap Marvin.

“Ah persiapan yang matang sekali Papa, ya udah ayo pake tripot.”

Lalu keduanya berpose setelah tripot terpasang dan ponsel Marvin yang tengah siap memotret.

“1...2....3!!!” Ucap Marvin setelah memencet tombol bidik kamera yang berdurasi timer 5 detik.

Cekrek cekrek cekrek

“Hei, bagus fotonya. Lucu, kirim dong Kak.” Katanya saat melihat hasil foto mereka.

“Iya, lo kirim aja gih, hp gue nggak ada sandi nya juga.”

Saat membuka imess, Hazen terbelalak melihat nama kontaknya di ponsel Marvin. “Bisa-bisanya, kontak gue dinamain tukang makan?”

“Fakta, lo kan kalo makan kayak babi, apa-apa ditampung dan masuk.”

Hazen mencubit lengan Marvin.

“Akh akhhh sakit Zen, Ya Tuhan....”

“Biar, lo ngeselin anjir.”

“Itu panggilan sayang gue ke lo, udah jangan banyak protes. Nanti kalo kita udah nikah, gue ganti kok.”

Hazen mengerlingkan matanya. “Lama.”

“Mau nikah besok aja apa gimana?”

“Sinting.” Ucapnya lalu mengirimkan foto-foto yang ada di boomboomcar serta foto barusan ke imess nya.

“Nah selesai, yuk kak kita keliling Farmhouse, abis itu ke Floating market, sekalian belanja bulanan. Udah pada tipis stok nya di kulkas.”

“Iya, ayo.”

Dalam hati Marvin, ia bersyukur sekali karena ia selalu membawa uang cash lebih dari 20 juta setiap mengajak Hazen dan Hevin jalan-jalan. Sebab apa? Ya seperti ini, menguras finansial sekali.


Marvin dan Hazen mengambil banyak foto-foto di Farmhouse, karena tempatnya memang fotogenic sekali. Bahkan Hevin saja senang sekali keliling Farmhouse.

Selesai keliling Farmhouse, mereka menuju Floating Market yang tujuannya hanya untuk belanja bulanan karena hari sudah sore, pukul 4. Mereka harus bergegas ke Bukit Moko sebelum hari semakin gelap.

Hevin di dalam stroller menggigiti teether Strawberry nya. Marvin yang mendorong, lalu Hazen yang berbelanja ini itu, Marvin tidak ikut campur sama sekali, ia menyerahkan keperluan apart kepada Hazen sepenuhnya. Ia hanya perlu memberikan uang untuk membayar.

Hingga menghabiskan waktu 1 jam untuk belanja apa saja kebutuhan rumah tangga mereka—upss. Maksudnya, keperluan sehari-hari mereka untuk keberlangsungan hidup.

“Beres, udah jam 5 nih Kak, kita ke Bukit Moko sekarang?”

“Iya, yuk. Pake jaketnya Zen.”

“Sebentar, jaket Hevin dulu.”

Hazen membuka tas ranselnya lalu mengeluarkan jaket bulu Hevin berwarna maroon. “Kak gendong dulu anaknya, biar gue yang pakein jaketnya.”

“Iya.” Marvin mengeluarkan Hevin dari stroller, lalu menggendong sang anak.

Dan dengan cekatan, Hazen memakaikan jaket tebal itu ke tubuh gempal Hevin. Dasarnya Hevin sudah pintar, ia menurut saat tangannya dimasukkan ke dalam lengan jaket oleh Hazen.

Fyi, mereka masih berdiri di jembatan apung untuk menyebrang antara pasar satu ke pasar lainnya, sehingga kegiatan itu ditonton oleh ratusan pengunjung Floating Market. Ada yang gemas, ada yang bisik-bisik, ada yang hanya memandang tanpa bicara, ada yang lewat tak peduli.

“Oke selesai, sini gendong Mama dulu ya? Papa mau pake jaket dulu.”

“Lo aja dulu pake jaketnya, nanti baru gue.”

“Duh, iya iya, gue pake jaketnya.” Hazen pun mengeluarkan jaketnya dari ransel lalu memakainya.

“Sudah kan? Sekarang jaket lo, dipakai juga.”

Marvin menyerahkan Hevin kepada Hazen, kemudian ia memakai jaketnya sendiri, kepalanya ia tutupi dengan tudung jaket juga. “Ayo, kita berangkat ke Moko.”


Mereka bertiga sampai di Moko jam setengah 7 malam, sudah gelap dan langit malam tampak sangat indah ditaburi ribuan bintang.

Hazen menggelar kain tipis yang ia bawa untuk dijadikan alas duduk. Hevin duduk diantara Papa Mama nya. Disana, ramai sekali pengunjung yang juga sama-sama bersantai, bahkan ada juga yang camping ataupun picnic.

Keduanya mendongak menatap langit malam yang indah.

“Kira-kira nanti ada bintang jatuh nggak ya?” Gumam Hazen yang dapat di dengar oleh Marvin.

“Papa Mama paaa maaaa hihihihikkk”

“Kalo ada bintang jatuh, mau ngapain?”

“Mau minta sebuah harapan.”

“Harapan apa kalo gue boleh tau?”

Hazen menoleh, ternyata Marvin sedang menatapnya juga. “Rahasia.”

Tak lama kemudian orang-orang disana pada teriak heboh.

“Woi ada bintang jatuh!”

“Mana-mana?”

“Itu tuh, eh banyak lagi. Ayo kita berdoa.”

Marvin dan Hazen saling berpandangan, lalu Hazen tersenyum sumringah dan memejamkan kedua matanya, menangkup tangannya. “Tuhan, aku sangat bahagia, memiliki Kak Marvin, Hevin, dan sahabat-sahabat serta keluargaku yang sangat mencintaiku. Aku mohon, tolong beri kami semua kebahagiaan tanpa terkecuali, dimanapun kami berada, sejauh apapun jarak memisahkan kami, tolong berkati kami dengan banyak kebahagiaan. Amiin.”

Marvin pun ikut memejamkan mata, tapi ia tidak menangkup tangannya. *“Tuhan, sudah cukup aku merasa sedih kehilangan Mommy, tolong jaga Mommy ku diatas sana, beri dia rumah yang bagus dan indah agar Mommy bisa tersenyum dan bahagia, sama sepertiku yang sudah menemukan rumah terbaik, rumahku adalah Hazen dan Hevin. Aku harap, Tuhan mau mengabulkan doaku untuk tak memisahkan aku dari semua orang yang membuatku bahagia, cukup Mommy yang diambil, jangan Hazen, Hevin, Daddy ataupun orang-orang yang aku sayang. Amiin.”*

Keduanya membuka kedua mata bersamaan.

“Lo tadi juga berdoa kak?”

“Enggak, gue cuma merem karena terbuai tiupan angin yang sepoi-sepoi.”

Hazen mencibir. “Oh aja sih, doain ya kak semoga permohonan gue tadi dikabulin sama Tuhan.”

“Emang lo minta apa? Kalo lo mintanya dapet jodoh selain gue ya nggak gue aminin.”

Hazen tertawa terbahak-bahak. “Nggak, doa gue baik kok. Baik buat lo, gue, dan Hevin.”

“Amiin Amiin.” Ucap Marvin kemudian.

“Paaaa papa Maaa maaa.”

Keduanya menoleh saat Hevin memanggilnya. Lalu mereka pun membaringkan tubuh, begitupun juga Hevin. Ketiganya menatap langit malam bersama.

Marvin memiringka tubuhnya menghadap Hevin, menggelitiki perut tummy sang anak sampai Hevin tertawa cekikikan.

Hazen menoleh dan tersenyum lebar melihatnya, lalu ia membuka instagram dan merekam suara tawa Hevin yang ceria itu, kemudian mengirimnya menjadi Instagram story.

Tiba-tiba Hazen menyumpalkan earpod di telinga kanan Marvin, telinga yang tak di samping Hevin. Dan terputarlah lagub dari Maudy Ayunda, Perahu Kertas.

Bestie, tolong putarrr, maksa!!! Hehehe

https://www.youtube.com/watch?v=cEepdg1k4AY

“Kak, intinya gue bahagia bisa nemuin lo diantara milyaran manusia di dunia ini, dengan radar sedekat itu, gue bahagia. Thanks Kak, karena lo datang di hidup gue.”

Perahu kertasku 'kan melaju Membawa surat cinta bagimu Kata-kata yang sedikit gila Tapi ini adanya

Marvin tersenyum lalu menggenggam jemari Hazen di bawah sana. “Gue juga, gue sangat beruntung bisa punya lo dan Hevin di hidup gue, jangan pergi kemana-mana ya? Stay sama gue, sampai akhir.”

Perahu kertas mengingatkanku Betapa ajaib hidup ini Mencari-cari tambatan hati Kau sahabatku sendiri

“Gue janji nggak akan kemana-mana, lagian gue mau kemana? Lo adalah rumah gue, kemanapun gue pergi, kembalinya juga ke lo kan?” Ucapnya memiringkan tubuh sehingga berhadapan dengan Marvin.

Ngomong-ngomong, Hevin mendadak diam, sepertinya anak itu terbuai dengan sepoi-sepoi angin bukit dan pelukan dari Marvin Hazen yang mengapitnya di tengah.

Hidupkan lagi mimpi-mimpi (cinta-cinta) Cita-cita (cinta-cinta) Yang lama kupendam sendiri Berdua 'ku bisa percaya

“Selamanya juga gitu, lo adalah dunia gue, Hevin adalah semesta gue. Itu nggak akan berubah sampai kapanpun.”

Ku bahagia kau telah terlahir di dunia Dan kau ada di antara miliaran manusia Dan 'ku bisa dengan radarku menemukanmu

Hazen tersenyum simpul dan mengeratkan genggaman tangan mereka. “Lo, Papa yang hebat buat Hevin Kak, makasih sudah bertahan sejauh ini buat Hevin. Kita besarin dia sama-sama ya Kak?”

“Iya, bersama. Kita besarin Hevin dan bahagiain dia bersama, sampai tua.”

Hazen terharu, ia ingin menangis tapi ia tak ingin terlihat lemah. Jadinya ia menahan dan terkekeh. Lalu memejamkan mata, dan mulai ikut bernyanyi lirik yang terdengar di telinganya.

Tiada lagi yang mampu berdiri Halangi rasaku, cintaku padamu

Marvin pun ikut memejamkan mata, tenggelam dalam suasana romantis di bawah langit malam bertaburan bintang. Ia ikut bersenandung pelan, bersama Hazen. Mensyukuri takdir yang begitu baik telah mempertemukan keduanya hingga menjadi seperti sekarang.

Ku bahagia kau telah terlahir di dunia Dan kau ada di antara miliaran manusia Dan 'ku bisa dengan radarku menemukanmu Oh, bahagia kau telah terlahir di dunia Dan kau ada di antara miliaran manusia Dan 'ku bisa dengan radarku menemukanmu

@_sunfloOra