sunfloOra07

Marvin dan Hazen sedikit berlari mengingat Hevin yang menangis mencari mereka. Saat mulai memasuki area stage, mereka melepas genggaman tangannya. Lalu langsung menuju ke backstage.

Acara Manajemen Festa baru saja selesai setelah pesta kembang api, hanya diputarkan lagu-lagu secara random dari stage sehingga penonton pun mulai berhamburan pergi dari sana.

Oooeeeekkk hiks hiks paaaa maaaaa hiksss oooeeeeekkk

Hazen meringis saat suara tangisan Hevin terdengar memilukan begitu ia masuk ke dalam ruangan yang ada di backstage. “Hevin!” panggilnya.

Suara Hazen membuat belasan kepala disana menoleh, melihat kedatangan Hazen yang tak lama kemudian disusul dengan kedatangan Marvin.

Hevin yang memang sudah sangat hafal dengan figur Hazen dan Marvin pun sontak meraung-raung, tangannya meraih-raih udara minta digendong oleh Hazen.

Mamamamama maaaa mama hiks hiks hiks

Bi Mina langsung menyerahkan Hevin kepada Hazen yang sigap diterima Hazen. “Maaf ya? Pasti bosen di rumah sejak tadi pagi ya?” Ucap Hazen mengusap buliran air mata Hevin yang membasahi pipi tembamnya.

Hiks hiks mama hiks mamamama maaaa

“Iya, Mama udah disini, jangan nangis lagi. Cup cup anak pinter.”

Fyi, teman-teman Marvin ataupun Hazen baru pertama kali bertemu dengan Hevin. Sedikit cerita bagaimana bisa Bi Mina sampai di stage ini.

Bi Mina menaiki taksi untuk pergi ke kampus Neo Dream dengan Hevin yang masih menangis sambil memanggil Papa dan Mama nya. Saat Bi Mina sampai di depan gerbang Neo Dream, satpam menghentikannya.

“Permisi, ada keperluan apa Ibu datang kemari? Mencari seseorang?”

“Iya, saya mencari Mas Marvin dan Mas Hazen.”

“Ada perlu apa? Kampus sedang ada kegiatan, orang luar harus memiliki tiket masuk untuk bisa masuk ke dalam.”

“Maaf ini darurat Pak, saya tidak ada tiket masuk, tapi saya harus bertemu dengan Mas Marvin dan Mas Hazen sekarang juga.”

“Maaf Bu, jika tidak ada tiket masuk, saya tidak bisa memberi izin.”

“Tapi saya perlu masuk sekarang Pak, lihat! Anaknya Mas Marvin menangis sejak tadi, mencari-cari Mas Marvin dan Mas Hazen.”

Seketika satpam itu melototkan matanya dan menganga. “A-anak?”

Bi Mina menepuk jidatnya, dia keceplosan. Tapi ia harus melakukan ini agar ia bisa masuk. “Iya, anaknya. Dia mau ketemu Papa nya, tolong biarkan saya masuk.”

“Anda siapa? Istrinya?”

“Saya pengasuhnya, tolong saya Pak, lihat. Apa bapak tidak kasian liat bayi ini menangis terus dan memanggil Papa nya???”

Satpam itu mengerjapkan matanya, sebenarnya ia iba melihat Hevin menangis tersedu-sedu sembari menyebut Papa dan Mama. “Sebentar, saya panggil dulu crew nya, nanti Ibu bisa bicara dengan crew nya untuk izin masuk.”

“Iya, cepat Pak. Atau anak ini akan kehabisan suara karena menangis.”

Satpam itu mengangguk lalu menyalakan walkie talkie nya yang tersambung kepada Johan, seksi keamanan.

Drrrttt drrrttt

“Dengan Johan disini, ada apa Pak?”

“Maaf mas Jo, ini di depan ada ibu-ibu yang ngotot ingin ketemu sama Mas Marvin dan Mas Hazen, dia membawa bayi, katanya itu anak Mas Marvin. Bayi nya menangis, mencari Mas Marvin dan Mas Hazen.”

“Apa??? Sebentar, mereka dimana Pak? Biar saya yang kesana.”

“Di gerbang depan Mas.”

“Baik Pak, saya kesana sekarang, amankan mereka dulu di pos ya?”

“Baik Mas Jo.”

Lalu sambungan walkie talkie itu terputus.

“Mas Johan akan kesini, silahkan duduk dulu Bu.”

Bi Mina mengangguk lalu duduk di kursi yang ada di depan pos satpam. “Makasih Pak.”

“Baik Bu.”

“Emm Pak, saya boleh minta tolong lagi?”

“Selama saya bisa bantu, saya akan tolong.”

“Soal anak ini, tolong rahasiakan ya Pak? Jangan sampai orang-orang kampus tau jika dia anaknya Mas Marvin dan Mas Hazen.”

Papapaaaaa hiks hiks hiks Maaa mamama hiks hiks

Satpam itu sedikit terjingkat, sempat diam beberapa detik kemudian terkekeh canggung. “Itu teh bukan urusan saya atuh Bu, lagian Neo Dream fleksibel. Tidak ada aturan tidak boleh menikah atau memiliki anak saat menjadi mahasiswa disini, bahkan boleh membawa anak saat ke kampus, asalkan tidak mengganggu proses mengajar saja.”

Bi Mina bernafas dengan lega. “Meski begitu, tolong rahasiakan ya Pak? Saya tidak ingin Mas Marvin dan Mas Hazen mendapat penilaian yang tidak-tidak, mereka orang yang baik, menolong anak ini dan mau merawatnya seperti anak sendiri.”

Satpam itu menggaruk kepalanya, ia bingung harus menanggapi seperti apa ketika Bi Mina bercerita. “Iya Bu, saya akan merahasiakannya. Ibu bisa tenang.”

“Makasih ya Pak.”

Papaaa Mamaaaa hiks hiks maaa paaa hiks

Hevin masih menangis namun tidak sekencang tadi karena Bi Mina terus mengusap pundaknya, namun Hevin tetap menggumamkan kata Papa dan Mama dalam tangis nya.

Lalu tak lama kemudian Johan datang bersama dengan Ben. Yang langsung disambut oleh Pak Satpam. Johan dan Ben mengangguk lalu menghampiri Bi Mina.

Bi Mina langsung berdiri saat melihat Johan dan Ben.

“Apa benar anda yang mencari Marvin dan Hazen?” Tanya Ben.

“Iya, saya Mina, ART nya Mas Marvin dan Mas Hazen di apart.”

Johan mengangguk lalu melirik bayi yang digendong oleh Bi Mina, ia ingat Marvin dulu mengirimkan foto Hevin di grub saat memberitahukan bahwa Marvin memiliki anak.

“Oh ini anaknya Marvin sama Hazen ya?” Tanya Johan sembari tersenyum.

“Iya Mas, boleh saya ketemu Mas Marvin atau Mas Hazen nya? Hevin sedari tadi menangis mencari mereka.”

Ben mengangguk. “Boleh, ayo ikut saya Bu.”

Lalu Johan berpamitan dengan satpam untuk membawa Bi Mina dan Hevin masuk ke dalam.

Ben dan Johan membawa mereka ke ruangan yang ada di backstage karena disana yang paling aman, hanya berisi panitia saja untuk ruang istirahat panitia.

Bi Mina dan Hevin disambut baik oleh teman-teman Marvin.

“Maaf mas jika saya mengganggu kalian, tapi saya perlu ketemu dengan Mas Marvin dan Mas Hazen agar Hevin bisa berhenti menangis.”

Jay dan Tristan menghampiri Bi Mina.

“Sebenernya Marvin pergi setelah tampil, dan kami tidak tau dia ada dimana. Ibu sudah menghubungi Marvin?” Tanya Tristan.

“Sudah, saya bahkan juga menelfon. Dua-duanya tidak ada yang merespon, baik Mas Marvin ataupun Mas Hazen.”

Jay mengangguk. “Sepertinya mereka sedang bersama Bi, kami coba hubungi Marvin dan Hazen lagi.”

Bi Mina dipersilahkan duduk di sofa empuk, dengan Hevin yang masih sesenggukan, dihibur oleh Juan, Willy, Ben, dan Keenan. Agar Hevin bisa sedikit diam.

“Hevin, cilukkkk baaaa, cilukkkkk baaaa.” Willy dengan konyolnya mengajak Hevin bermain cilukba.

Oeeekkk papaaa mamaaaa hiks hiks

“Willy bodoh, makin nangis ini bayinya!” Juan menjitak kening Willy.

“Akh, jangan ngomong kasar depan bayi, stupid!” Ucap Willy sembari mengelus keningnya.

Keenan geleng-geleng kepala. “Kalian berdua sama aja, udah sana pergi kalian. Biar gue sama bang Ben aja yang hibur.”

Mamamamama papaaaa hiks hiks hiks

“Hai anak ganteng, lihat, kakak punya apa?” Keenan mengeluarkan kunci mobilnya yang bergantungan kunci squishy kucing hitam.

“Kalau kamu berhenti nangis, kakak kasih ini. Gimana?”

Paaaa papaaa hiks hiks Maaaaa

Ben pun berjongkok, lalu mengusap pipi gembil Hevin yang dipangku Bi Mina. “Nanti Papa bakalan dateng kalo kamu berhenti nangis, sekarang main sama kak Ben dan kak Keenan dulu ya?”

Hevin sedikit meredakan tangisnya, lalu Keenan memberikan squishy kucing hitam itu kepada Hevin.

“Jangan dimakan ya tapi? Diteken-teken aja, oke?” Ucap Keenan.

Keee hiks hiks hiks

“Aaaa gemes banget sih.” Ucap Ben mengusap kepala Hevin.

Hevin masih sesenggukan namun tidak menangis, ia memainkan squishy yang diberikan oleh Keenan. Bi Mina bernafas lega, setidaknya fokus Hevin bisa teralihkan sekarang sambil menunggu Marvin dan Hazen datang.

Sedangkan yang lain sibuk menghubungi Marvin dan Hazen.

“Siapa yang punya kontak nya anak Golden Boyz? Coba tanya mereka dimana keberadaan Hazen.” Ucap Tama.

“Gue udah tanyain ke Nathan, katanya tadi Hazen ijin ke toilet tapi belum balik sampai sekarang.” Ucap Jay.

“Hadeh, gue makin yakin ini emang tuh anak berdua janjian.” Ujar Yudha.

“Tapi bukannya Marvin mau temuin calon pacarnya?” Ucap Juan.

“Ya berarti Hazen calon pacarnya.” Kata Willy.

“Hm bisa jadi sih, kalo dari pengamatan gue, Marvin agak berubah semenjak ada Hazen, ngerasa nggak lo pada? Kayak bukan Marvin yang biasanya gitu loh.” Ucap Deon.

“Iya anjir, tweet nya dia juga aneh banget akhir-akhir ini, gue agak ngamatin tweet nya Hazen yang lumayan nyambung sama tweet Marvin.” Kata Tristan.

Jay tergelak tawa. “Ah kalian telat menyadari, gue udah mengamati mereka berdua lumayan lama, sejak Hazen nge tweet tentang yang katanya seatap tapi nggak pernah saling ngomong, hmm kebetulan gue mergokin snapgram Hazen yang lagi genjrengan bareng Marvin, kenal banget gue sama suara Marvin.”

“Eh itu snapgram kapan? Gue kok nggak liat?” Tanya Tama.

“Masih 1 menit langsung dihapus sama dia, karena gue notice duluan kalo ada Marvin disana.”

“Anjir pantesan gue nggak tau juga, lo orang gabut apa gimana dah Jay bisa gercep gitu liat snapgram nya Hazen?” Tanya Juan.

“Kebetulan aja, gue lagi scrolling timeline trus liat Hazen buat story ya gue liat, eh ternyata isinya lagi genjrengan sambil ketawa ketiwi sama Marvin.”

“Anjir, mereka berdua diam-diam menghanyutkan parah, gue nggak akan kaget sih kalo misalnya yang ditembak Marvin tadi beneran Hazen.” Kata Johan.

“Lihat aja nanti, kalo gue sih 100% yakin pasti Hazen orangnya.” Ujar Yudha.

“Nathan barusan chat gue, karena gue bilang ke dia kalo anaknya nyari Hazen di backstage, trus Nathan bilang mau kesini sama temen-temennya.” Ucap Jay.

“Ya udah suruh kesini aja, sekalian mau ucapin makasih ke mereka.” Kata Tristan.

Begitulah ceritanya, mengapa bisa semuanya berkumpul di backstage bersama Bi Mina dan Hevin.

Sehingga, Hevin disana pun diajak bermain oleh teman-teman Marvin beserta teman-teman Hazen. Bayi itu bahkan tertawa merasa terhibur karena ulah mereka.

“Bi Mina pasti capek banget kan urusin Hevin seharian ini karena Kak Marvin sama Hazen nggak ada, Bi Mina istirahat aja sekarang. Hevin biar kami aja yang ajak main.” Ucap Jidan.

“Makasih banyak nak Jidan, Hevin sepertinya kesepian mangkanya nggak mau berhenti nangis tadi di apart, buktinya sekarang dia bisa diam dan ketawa lagi karena ada banyak orang disini.”

Leo ikut nimbrung, ia pun mengangguk. “Sepertinya gitu Bi.”

Oooeeeekkk hiks hiks oeeekkk

Bi Mina terkejut mendengar suara tangisan Hevin lagi, ia pun menghampiri Hevin yang sedang dipangku oleh Ben. “Kenapa nangis sayang?”

Ben menghela nafas lalu menatap Raden dan Jendra sanksi. “Itu Bi, Raden sama Jendra rebutan buat mau nyubit pipinya Hevin yang berujung cekcok, nangis deh Hevin liatnya.”

Raden dan Jendra seketika mundur dan sungkan.

Bi Mina terkekeh. “Hahaha, oh gitu. Ya udah sini kasih ke bibi.”

Ben pun memberikan Hevin kepada Bi Mina. “Cup cup cup, kenapa nangis? Kakak-kakak nya nggak jahat, cuma mau pegang Hevin aja kok, ssstt udah ya jangan nangis.”

Tangisan Hevin jadi kencang seperti awal tadi, membuat Nathan menghela nafas lalu memukul kepala Raden dan Jendra bergantian.

“Belegug teh sia! Hadeh.”

Yang dipukul cuma meringis dan mengaduh.

Oooeeeekkk hiks hiks paaaa maaaaa hiksss oooeeeeekkk

“Hevin!” Suara Hazen pun mengalihkan semua atensi mereka disana.

Hiks hiks mama hiks mamamama maaaa

“Iya, Mama udah disini, jangan nangis lagi. Cup cup anak pinter.” Hazen menepuk-nepuk punggung kecil sang anak.

Semua melongo mendengar itu. Mereka pikir ocehan Hevin tadi hanya ocehan bayi, ternyata Hevin bilang Mama itu untuk memanggil Hazen? Sungguh mereka syok mendengarnya.

Papa papaaaaaa hiks hiks paaaa

“Iya sayang, ini Papa. Jangan nangis lagi dong, kan udah ada Papa sama Mama disini.”

Teman-teman Marvin dan Hazen saling lirik dan membisu disana, apa yang mereka dengar sekarang terlalu membuatnya tercengang. Membuat mereka diam membisu tanpa kata.

“Bi Mina, bawa susu nya Hevin nggak?”

“Bawa Mas Hazen, sebentar Mas.” Ucap Bi Mina mengambilkan dot susu yang masih terisi penuh susu formula lalu memberikannya kepada Hazen. “Ini Mas.”

Hazen langsung memberikan dot nya kepada Hevin yang langsung di respon dengan baik, Hevin menyesap susu nya. Hazen memegangkan dot nya. “Anak pinter, dihabisin ya? Kita pulang dan bobok.”

Hevin masih sesenggukan, jemari kecilnya menggerayangi wajah Hazen, ingin menyentuh. Hazen yang paham pun menunduk agar Hevin bisa menggapainya. Hevin menepuk-nepuk kecil pipi Hazen.

Para penonton hanya melihat tanpa kata, karena sejujurnya mereka tak berpikir bahwa Hazen sebaik ini dalam merawat bayi, apalagi partner merawatnya adalah Marvin.

Marvin mengalihkan atensinya dari sang bayi menuju ke teman-temannya dan teman Hazen. “Makasih ya udah izinin Bi Mina sama anak gue masuk sini, gue sama Hazen pamit pulang duluan.”

Tristan pun terkekeh canggung. “Ah santai Vin, nggak masalah. Soalnya anak lo nangis kejer nyariin kalian berdua. Gue mana tega sih ngebiarin dia di luar?”

Marvin tersenyum. “Ya udah, gue balik ya bro.” Ucapnya lalu menoel lengan Hazen.

“Makasih buat kerja kerasnya Kakak semuanya, gue pamit pulang dulu.” Ucap Hazen.

“Iya, hati-hati kalian.” Kata Ben.

“Terimakasih Kak.”

Hazen melirik teman-temannya. “Gue balik duluan cuy, kalo mau nanya apa-apa nanti bisa nanya di grub. Lo semua hati-hati di jalan.”

“Yoi Zen.” Jawab Leo, yang lainnya mengacungkan jempol.

Bi Mina pun menyusul Marvin dan Hazen yang berjalan keluar duluan. “Saya juga ikut permisi Mas, terimakasih banyak untuk hari ini.”

“Sama-sama Bi.” Jawab mereka kompak.

Setelah kepergian keluarga cemara itu, mereka semua saling berpandangan lalu heboh.

“Itu tadi Marvin bukan sih? Kok auranya beda banget, kayak bukan Marvin.” Ujar Juan.

“Mau bilang bukan, tapi itu tadi emang Marvin.” Sahut Deon.

“Kok bisa ya?” Keenan menggeleng heran.

“Bisa lah, love can change anything, including personality.” Ucap Jay.

Raden tersenyum tipis, miris dalam hatinya. Sepertinya malam ini, ia akan menangis lagi. Setidaknya untuk terakhir kalinya, ia ingin menangisi Hazen, karena untuk selanjutnya, ia akan menjadi Raden yang tegar.

“Kayaknya Hazen sama Kak Marvin emang pacaran deh.” Ucap Leo.

“Gue juga ngerasa gitu, berarti tadi Hazen bohong ke kita soal toilet, dia mau nemuin Kak Marvin.” Kata Nathan.

“Udahlah, kita bisa sensus Hazen nanti, sekarang kita pulang. Gue mau rebahan.” Ujar Jidan.

Lalu Golden Boyz pun pamit kepada anak-anak BEM untuk pulang.


Hevin sudah tidur dengan pulas di keranjang bayinya, sisa Marvin dan Hazen yang berbaring bersama di kasur Hazen. Saling memiringkan badan hingga mereka berhadapan.

“Kak, menurut lo, bakalan aneh nggak kalo kita nunjukin Hevin ke publik? Maksud gue, kayak kita posting foto-foto Hevin di sosmed kita, bakalan aneh nggak sih?” Tanya nya sembari memeluk gulingnya.

“Anehnya dimana? Menurut gue sih enggak.”

“Kalo ada yang nanya, kita jawab gimana? Anak kita?”

“Lo maunya jawab gimana? Kalo gue sih ya bilang anak gue, kan emang begitu kenyataannya sekarang.”

Hazen menggerakkan bibirnya yang tertutup rapat ke kanan dan ke kiri. “Iya juga sih, maksud gue, bakalan aneh nggak kalo Hevin kita sebut sebagai anak kita? Mungkin kalo disebut anak lo aja atau anak gue aja itu wajar, tapi kalo anak kita berdua? Kayak gak mungkin gitu nggak sih?”

“Mungkin aja, karena kita punya status. Lo pacar gue, bahkan calon tunangan gue.”

Hazen memukul Marvin dengan guling yang dipeluknya.

Bugh

Marvin menahan teriaknya karena mengingat Hevin sedang tidur. “Kalo mau ngajak ribut jangan di kamar lo, nanti Hevin bangun.”

Hazen mencibir. “Habisnya, gue nanya beneran ini anjir.”

“Gue jawabnya juga beneran Hazen, bagi gue itu wajar kalo kita punya status, apalagi status kita nggak sekedar sepasang kekasih, tapi calon tunangan. Udah wajarnya kalo kita adopsi anak kan? Anggap aja gitu.”

“Kan biasanya yang adopsi anak itu pasangan yang udah nikah, sedangkan kita kan enggak.”

“Bukan enggak, tapi belum.”

Hazen mendengus, ia tidak mau terlihat salah tingkah di depan Marvin. Dirinya juga laki-laki, ia tak ingin menjadi malu-malu kucing hanya karena tingkah dan ucapan manis Marvin. “Kayak yang bakal nikahin gue aja lo.”

“Lihat nanti, kalo beneran jodoh ya pasti nikah sih.”

“Kalo enggak jodoh?”

“Ya nggak nikah lah.”

“Trus apa gunanya gue jadi calon tunangan lo?!”

“Anggap aja lagi jagain jodoh orang sementara sebelum dapet jodoh yang aslinya.”

“Anjing, ngeselin.”

Marvin terkekeh. “Bercanda, kalo lo bukan jodoh gue, gue maksa buat jadiin lo jodoh gue.”

“Prettt.”

“Dih, beneran gue. Lagian kan Daddy sama Papa juga udah setuju. Ya kali kita nggak jadi sepasang suami-suami?”

Hazen terkekeh. “Lo suka banget ya Kak sama gue?”

“Lo juga suka banget sama gue.”

“Kepedean, kata siapa tuh? Fitnah.”

“Kalo nggak suka kenapa lo nerima gue?”

“Kasian aja sih.”

“Oh aja.” Ucap Marvin lalu bangun dari berbaringnya. “Minggir lo.”

Hazen ikut bangun. “Mau kemana lo?”

“Tidur lah.”

Hazen menatap Marvin lekat-lekat kemudian terkikik pelan. “Jiakh, marah lo?” Katanya dan menoel-noel lengan Marvin.

“Siapa bilang?” Marvin mendepak tangan Hazen yang menoel-noel lengannya.

“Jangan marah, gue bercanda ih. Gitu aja ngambek huu, malu sama Hevin coba.”

Marvin mengerlingkan matanya. “Gue mau tidur beneran njir, mata gue berat banget.”

Hazen menarik lengan kanan Marvin hingga lelaki itu jatuh terbaring lagi di kasur. Kemudian di susul Hazen yang berbaring di samping Marvin, menyingkirkan guling yang menjadi pembatas di antara mereka. “Tidur sini aja.”

“Males.” Katanya, tapi lelaki itu malah mendekatkan diri kepada Hazen dan menarik tubuh Hazen ke dalam dekapannya.

“Males model apaan yang malah meluk erat banget kayak gini hah?”

Marvin terkekeh dan menumpukan dagunya di atas kepala Hazen. “Gue mager naik tangga, udah ngantuk berat. Tidur disini merupakan pilihan terbaik.”

“Heleh, bilang aja kalo lo emang mau tidur disini. Pake alesan mager naik tangga.” Ucap Hazen melingkarkan kedua tangannya di pinggang Marvin dan menyamankan kepalanya di ceruk leher sang kekasih.

“Iya, pengen berduaan sama lo soalnya.”

Hazen menghirup aroma parfum Marvin, bukan parfum maskulin kebanyakan lelaki di luar sana. Marvin ini sedikit unik, sama seperti dirinya. Jika Hazen suka memakai parfum floral yang khas dengan buah-buahan segar dan aroma bunga, itu bukan parfum perempuan kok, itu parfum floral khusus laki-laki karena baunya tidak manis, melainkan segar dan harum. Kalau Marvin menyukai parfum woody, yang bernuansa hangatnya alam.

“Lo harum Kak hehe.”

“Tau, sampe lo ngendusin leher gue dari tadi.”

“Lo numpahin parfum apa gimana? Wangi amat.”

“Parfum mahal, semprot dikit baunya kuat dan tahan lama.”

“Anjir sombong, mentang-mentang manusia paling kaya se Indonesia.”

“Lagak lo ngomong kayak orang miskin aja, lo kan juga termasuk jajaran orang kaya se Indonesia.”

“Tapi parfum gue nggak mahal-mahal amat.”

“Nggak mahal buat lo tuh harga berapaan?”

“2,5 juta an doang parfum gue.”

“Mahal itu goblok, punya gue nggak beda jauh dari lo.”

“Lo suka nggak sama bau parfum gue?”

“Suka.”

“Kak.”

“Tidur Zen, istirahat. Lo capek, selama 2 bulan ini latihan, rapat, urusin Hevin juga.”

“Nyanyiin dong Kak.”

“Males, gue ngantuk.”

“Ya udah, gue aja kalo gitu yang nyanyiin buat lo. Anggep aja balesan dari lagu lo tadi di stage.”

“Hm, terserah.” Marvin sudah memejamkan mata sejak ia memeluk Hazen. Namun ia belum sepenuhnya tidur, hanya memejamkan mata saja, karena ia masih ingin menanggapi pembicaraan Hazen.

Di putar dulu yuk lagunya, biar asemewew asek asek :D “Tulus – Teman Hidup”

https://www.youtube.com/watch?v=u7I_WdVRs5Y

Dia indah meretas gundah Dia yang selama ini ku nanti Membawa sejuk memanja rasa Dia yang selalu ada untukku

Di dekatnya aku lebih tenang Bersamanya jalan lebih terang

Marvin tersenyum tipis dengan mata yang masih terpejam. Mendengarkan setiap untaian lirik yang keluar dari bibir Hazen. Ia pun mengeratkan pelukannya, seolah tak ada hari esok untuk bisa memeluk Hazen seerat ini.

Tetaplah bersamaku jadi teman hidupku Berdua kita hadapi dunia Kau milikku ku milikmu kita satukan tuju Bersama arungi derasnya waktu

“Iya, kita hadapi bersama ya Zen, kita bahagia bersama, dengan Hevin.” batinnya.

Kau milikku ku milikmu Kau milikku ku milikmu

“Iya, lo punya gue. Begitupun juga gue yang cuma milik lo.” Batin nya lagi, menjawab setiap lirik yang dinyanyikan Hazen.

Bila di depan nanti Banyak cobaan untuk kisah cinta kita Jangan cepat menyerah Kau punya aku ku punya kamu selamanya kan begitu

“Gue nggak akan nyerah, nggak akan pernah gue lepasin lo gitu aja meski nanti sesulit apapun keadaannya.” Masih setia bergumam dengan batinnya.

Tetaplah bersamaku jadi teman hidupku Berdua kita hadapi dunia Kau milikku ku milikmu kita satukan tuju Bersama arungi derasnya waktu

Kau milikku ku milikmu Kau jiwa yang selalu aku puja

“Lo juga Zen, selama ini gue nggak pernah memuja seseorang selain Mommy, dan sekarang selain Mommy, gue memuja lo dan Hevin. Kalian berdua indah, melengkapi hidup gue yang tadinya datar, monokrom dan sepi menjadi penuh warna, cerah dan bahagia. Makasih banyak Zen, i love you so much.” Lagi-lagi Marvin hanya bisa membatin.

Hazen sedikit mendongak untuk melihat Marvin, ia tersenyum lembut saat mendapati Marvin memang memejamkan mata dan nafasnya berhembus teratur. Hazen menaikkan sedikit tubuhnya lalu mengecup bibir Marvin.

Hanya sebuah kecupan namun cukup lama, ia memejamkan matanya. “Selamat malam dan selamat istirahat Kak, gue sayang banget sama lo.” Ucapnya lirih setelah melepaskan bibirnya.

Kemudian Hazen kembali ke tempat semula, memeluk Marvin dan menyandarkan kepalanya di dada Marvin, menyusul untuk memejamkan mata dan tidur.

Marvin membuka kedua matanya ketika merasa Hazen sudah tenang dan tidak banyak gerak, lalu tersenyum simpul. “Gue lebih sayang sama lo, Zen. Selamat malam juga, sleep tight, honey.” cicitnya sangat lirih, sampai hanya dirinya yang dapat mendengar.

@_sunfloOra

Bestie, siapkan mental, jiwa, dan raga dahulu sebelum membacanya. Baca doa, jangan lupa peluk gulingnya kalo lagi rebahan, biar bisa digigit, hehehe.


Manajemen Festa dimulai sejak jam 9 pagi, dimulai pembukaan dengan adanya lomba-lomba dan penampilan budaya seperti tari tradisional, saat ini jam sudah menujukkan pukul 5 sore.

Hazen sedang berburu kuliner bersama sahabat-sahabatnya selepas ia tampil bersama Deon dan Golden Boyz. Ini acara jurusan Manajemen Bisnis, jadi penampilan-penampilan pun berasal dari mahasiswa/i Manajemen Bisnis, namun Golden Boyz mendapat hak istimewa karena Hazen ketua angkatan, lagi pula Tristan sendiri yang meminta Golden Boyz untuk tampil.

Hazen, Raden, Nathan, Jendra, Leo dan Jidan tengah duduk di bawah pohon mangga untuk menikmati Es Pleret yang baru saja mereka beli. Ke 6 lelaki itu haus sekali habis tampil nyanyi dan dance sekaligus.

“Gue mau beli cilor, sapa yang mau ikut cung tangan?” Tanya Nathan sembari meneguk Es Pleret nya hingga tetes terakhir.

“Otak lo ntar molor ntar Nat, trus mulut lo pegel-pegel kalo makan cilor.” Ucap Jendra.

Hazen dan Raden tergelak tawa, meski Jendra dan Nathan sepasang kekasih, kedua sahabatnya itu tidak pernah menebar kemesraan yang menye-menye seperti pasangan umumnya. Mereka bucin, tapi tidak terlihat menggelikan.

“Kalo mulut gue pegel, lo yang abisin cilor nya. Oke pacar?”

Jendra mendengus. “Ogah, gue mah mending makan sosis bakar jumbo sih kenyang. Ada yang mau ikut gue nggak?”

“Gue ikut Jen, gue juga dari tadi ngincer sosis bakar.” Leo mengangkat tangannya.

“Oke, let's go, bau sosis bakarnya sampe sini anjing, makin ngiler deh gue.” Ucap Jendra menarik tangan Leo untuk berdiri dan berlalu meninggalkan yang lainnya.

Nathan mengerlingkan matanya. “Ya udah kalo nggak ada yang mau ikut, gue beli sendiri.”

“Nat, gue temenin. Tapi gue bukan mau beli cilor, tapi cilok.” Ucap Hazen saat Nathan berdiri dari duduknya.

“Yaelah ribet, mending beli cilor aja sekalian sih Zen, nggak ada bedanya juga.” Jawab Nathan.

“Ada bedanya, lo pake 'r', kalo gue pake 'k'.”

Jidan terkekeh mendengarnya. “Udah sana pergi lo berdua, mau beli makan aja debat dulu.”

“Lo berdua nggak mau beli emang?” Tanya Hazen.

“Nanti aja, mager gue.” Ucap Raden.

“Gue nemenin Raden aja, capek juga gue.” Sambung Jidan.

“Ya udah, ayuk Zen cepetan, nanti ngantri panjang.” Nathan menarik tangan Hazen darisana meninggalkan 2 insan yang berteduh di bawah pohon mangga.

“Gimana beasiswa lo? Kapan pengumumannya?”

“Hahaha, pas banget lo nanyanya. Karena besok pengumuman beasiswanya.”

Jidan menghela nafas. “Mumpung belum berangkat, tapi gue doain lo tetep berangkat ke London, nggak mau berubah pikiran buat ngasih tau Hazen aja Den?”

“Nggak, gue kan udah bilang, nanti yang ada Hazen malah merasa bersalah, kepergian gue karena dia, padahal nggak sepenuhnya bener.”

“Justru Hazen akan merasa bersalah karena lo nggak bilang, tolol. Sumpah deh Den, gue saranin lo ngomong aja.”

“Iya, nanti ya Ji.”

“Kapan?”

“Pulang dari Manajemen Festa.”

“Ya bagus deh. Ayo temenin gue.”

“Kemana?” Sebelah alis Raden terangkat.

“Menghibur hati, galau gue ditinggalin Leo muluk.”

Raden terkekeh. “Sampai kapan sih lo diem aja? Udah tau Leo orangnya gengsian duh.”

“Sebentar, gue bingung mau ungkapinnya gimana Den. Leo galak banget, nanti kalo gue dipukul pake emas batangan gimana coba?”

“Hahaha lo berdua lucu banget, lo jangan maju mundur gitu, nanti Leo nya keburu digebet orang lain tau rasa lo.”

“Direbut lagi lah, gampang itu mah. Ayo nyari makan, pengen makan sempol gue, doyan kan lo sama sempol?”

“Kalo lo traktir sih ya doyan.” Raden meringis polos.

Jidan mendengus lalu menarik tangan kecil Raden agar berdiri. “Ya, 5 rebu cukup kan?”

“Pelit amat, 10 rebu ngapa?”

Tsk, nggak sadar diri, udah minta, ngelamak lagi.”

“Ayolah Ji, lo kapan lagi sih traktir gue? Nggak pernah juga lo baik hati sama gue.”

“Bacot, ayo deh ayo.”

Raden tergelak tawa dan mengikuti si bongsor dengan langkah kaki nya yang pendek. “Woi bongsor, kalem aja sih nariknya.”

“Lelet lo kayak siput.”

Hazen dan Nathan mengantri di stand cilok dan cilor selama 20 menitan. Keduanya membeli di stand yang sama, hanya beda menu saja. Karena antri, Nathan dan Hazen pun harus rela menunggu lama.

Ting Ting Ting

Hazen merasakan ponselnya bergetar di sakunya, ia pun mengambil ponselnya dan melihat notifikasi. Ia terkejut mendapat 3 pesan dari Marvin.

“Nat, gue nitip cilok gue ya? Gue buru-buru, ada hal penting. Nanti duitnya gue ganti, termasuk cilor lo.” Ucapnya lalu berlari meninggalkan Nathan tanpa mendengarkan jawaban Nathan.

“Hazen gendeng, mau kemana lo bangsat?” Teriaknya, tak peduli disitu ramai, ia kesal dengan Hazen.

Sorry Nat, ini emergency!!!”

“Anjrit Zen, kurang ajar lo sumpah, main ditinggal aja gue anjing!!!” Dumal Nathan mengacak rambut mullet nya.

Hazen langsung menuju stage, disana masih ramai seperti terakhir kali ia tampil bersama Golden Boyz. Hazen mencoba membelah kerumuman yang padat itu.

“Permisi, boleh gue lewat nggak?” Tanya Hazen baik-baik saat menyibak kerumunan.

Dan tanpa banyak protes, orang-orang memberi jalan untuk Hazen.

“Makasih semuanya.” Ucap Hazen sopan sembari menundukkan kepalanya.

Hazen mencari tempat hingga ia sedikit berada di depan, lebih tepatnya ada di tengah, tidak terlalu depan namun juga tidak terlalu belakang. Tak lama kemudian, Jay, Yudha, Johan, Tristan dan terakhir Marvin menaiki stage.

Jay berdiri di belakang piano, Yudha duduk di belakang drum, Johan yang mengalungkan bass nya serta Tristan yang memangku gitar akustik nya. Dan terakhir, Marvin. Lelaki itu duduk sembari memegang mikrofon.

Hazen mengernyitkan dahinya, ketika Marvin terlihat gelisah, kedua manik gelapnya berpendar kesana kemari seperti mencari seseorang. Hingga saat kedua mata Marvin menangkap sosok Hazen yang berdiri sedikit jauh dari stage, Marvin menghela nafasnya dan tersenyum sangat tipis.

“Dia ngapain sih?” Gumamnya begitu melihat Marvin yang menatapnya lekat dari atas panggung.

“Ekhm ekhm, selamat sore menjelang malam semuanya.” Ucap Marvin membuka suaranya.

“Selamat soreeeeee.” Jawab para penonton kompak, kamera ponsel ataupun kamera DSLR hingga mirorless sudah terangkat, siap untuk merekam dan mengambil gambar yang banyak penampilan Marvin dan teman-temannya.

Hazen juga ikut menjawab salam Marvin.

“Seperti yang kalian tau, gue Marvin, di belakang gue ada Jay, Yudha, Johan sama Tristan. Kami akan membawakan sebuah lagu untuk menghibur kalian. Gue mau bawa lagu nya Afgan, yang berjudul Kunci Hati.”

Suara riuh tepuk tangan meramaikan stage outdoor itu. Hazen ikut tepuk tangan, sejujurnya ia bingung dengan pesan Marvin padanya, sebenarnya apa yang ingin Marvin tunjukkan padanya?

Tolong banget buat diputar T_T gambaran MarvZen banget ueueueue ujkhuduefufeg

https://www.youtube.com/watch?v=E4dVBlGHfMA

Alunan piano yang mellow dari Jay memulai intro lagu berjudul Kunci Hati. Kemudian disusul suara Marvin yang masuk bagian intro. Hazen memperhatikan dan mendengarkan dengan saksama, perlu Hazen akui, suara Marvin itu bagus. Nyatanya, ia bisa terlelap tidur saat di hotel Hawaii dulu.

Teringat pada saat itu Tertegun lamunanku melihatmu Tulus senyumanmu Sejenak tenangkan Hatiku yang telah lama tak menentu

Awalnya, Marvin menatap secara random kepada seluruh penonton. Hingga kedua manik gelap itu berhenti kepada Hazen, ia fokus melihat Hazen sembari menyanyikan lagu Kunci Hati.

Rasa sepi yang telah sekian lama Selimuti ruang hati yang kosong Perlahan tlah sirna Bersama hangatnya Kasihmu yang buatku percaya lagi

Hazen tidak mau ke-gr an, tapi dia sungguh salah tingkah ditatap seperti itu oleh Marvin. Namun ia balik menantang Marvin, ia juga memfokuskan tatapannya kepada sang vokalis.

Dan ku akui Hanyalah dirimu Yang bisa merubah segala Sudut pandang gila

Yang kurasakan tentang cinta Yang selama ini menutup pintu hatiku Yang kini tlah kau buka

Jantung Hazen berdebar, demi apapun ini hanya lagu tapi mengapa jantungnya ribut sekali di dalam sana, mungkin karena ia terpesona dengan suara Marvin? Oh Tuhan, Hazen rasanya jadi ingin buang air kecil saking merindingnya.

Tiada kata yang mampu Utarakan betapa indah Ijin kan ku tuk selalu Berada disampingmu

Deg deg deg deg deg deg deg deg

Hazen menyentuh dadanya, telapak tangannya bisa merasakan betapa bertalu-talu detak jantungnya. Udara menjadi panas.

Drrttt drrrtt drrrtt

Hazen mengambil ponsel yang ada di sakunya, lalu membalas pesan yang dikirimkan Nathan.

Marvin menyelsaikan lagu Kunci Hati dan memperoleh tepuk tangan yang meriah dari penonton.

Jay, Tristan, Johan dan Yudha turun dari stage membuat penonton kecewa dan meneriakkan kata-kata 'lagi' berulang kali.

“Kak Marvin, lagi dongggg, kurang nih 1 lagu.” Teriak cewek di depan Hazen dengan kencang. Yang disambut teriakan lain dari perempuan-perempuan yang ada di sana.

“Woi Marvin, turun anjing!” Teriak Jay yang sudah ada dibalik tirai samping backstage.

Marvin menyibakkan tangannya, bermaksud mengusir Jay.

“Lo mau ngapain? Jatah kita habis bodoh!” Ini Johan yang giliran teriak.

“Yud, bawa mereka pergi cepet.” Gerak bibir Marvin memberikan instruksi kepada Yudha.

Yudha mengangkat jempolnya lalu menarik Jay dan Johan dibantu Tristan keluar dari tirai stage.

Marvin kembali memfokuskan diri kepada penonton.

Ponsel Hazen berdering lagi, kali ini ada telfon dari Nathan. Hazen pun mengangkatnya.

“Lo dimana bangsat? Ini ramai banget buset.”

“Gue di tengah, lo lihat cewek-cewek yang pegang DSLR kan? Gue di samping dia, dan samping gue lagi ada cewek yang angkat banner sama glow stick nya. Nah gue disitu.”

“Gue ada di tengah juga sama anak-anak, coba lo noleh ke belakang dan angkat tangan yang tinggi, nyalain flashlight juga, cepet!”

“Anjing, malu-maluin banget buset.”

“Peduli setan, buruan Zen, ini udah desek-desekan bego!”

*“Hmm sabar. Nih gue udah nyalain flashlight sama angkat tangan. Kelihatan nggak?”*

“Hahahaha bangsat ngakak, kelihatan anjing, oke oke gue kesana.”

“Bajingan.”

Tuttt tuttt tut

Nathan mematikan sambungan telpon itu sepihak. Lalu Hazen kembali melihat stage.

“Oke, disini gue mau tampilin 1 lagu lagi, tanpa temen-temen gue. Karena ini, gue nyanyi khusus buat seseorang.”

Seketika keadaan makin heboh, banyak yang berbisik sana-sini memenuhi indra rungu Hazen.

“Kak Marvin kayaknya mau nembak seseorang nggak sih?” Kata perempuan di sebelah Marvin bertanya pada perempuan lain.

“Mungkin sih, anjir gue penasaran cewek mana yang beruntung bisa luluhin hati Kak Marvin?”

“Duh, patah hati lah gue anjing.” Sahut perempuan lainnya.

Hazen menggelengkan kepalanya heran dan terkekeh. Ternyata Marvin memang sepopuler itu di kampus, banyak orang yang menyukainya.

“Woi!!”

Hazen terjingkat ketika pundaknya ditepuk lumayan kencang, ia menoleh dan mendapati Jendra yang cengengesan sehabis menepuk pundaknya.

“Sialan, kalem dong. Kalo gue tadi stroke karena kaget gimana?”

“Lebay lo, nih cilok lo. Bayar, total nya 20 rebu sama punya gue.”

Hazen mengerlingkan matanya, lalu membuka aplikasi dana. “Udah gue tf di dana, makasih.”

Nathan mengangguk dan mengacungkan jempolnya. “Sip.”

“Buat lo, yang gue kasih tau kalo gue mau menunjukkan sesuatu dan nggak akan nunjukin kedua kalinya kalo sampe lo nggak dateng, this song special for you. Please stay here and listen to me until the song was ending.

Deg

Hazen tidak bisa untuk tidak terkejut, matanya membelalak dan mengerjap beberapa kali. Karena ia tahu betul, orang yang Marvin maksud adalah dirinya, karena Marvin memang bilang seperti itu tadi di imess.

“Anjirr ini Kak Marvin mau ungkapin perasaan?” Jidan heboh sendiri setelah mendengar pernyataan Marvin.

“Wow wow wow, ini sih fiks lagi mau nembak orang kalo kata gue.” Sambung Leo.

“Siapa anjir? Diam-diam menghanyutkan ya Kak Marvin.” Balas Jendra.

“Hmmm, lo nggak tau siapa Zen?” Tanya Nathan.

“Ma-mana gue tau bangsat!” Hazen jadi gugup, tangannya berkeringat dingin.

“Dih santai aja kali, nggak usah ngegas.” Cibir Raden kemudian, menatap sanksi kepada Hazen.

Posisi mereka ber 6 menjadi 2 baris setelah berhasil menggusur cewek-cewek di samping Hazen. Raden, Hazen dan Nathan ada di depan Jidan, Leo dan Jendra.

Kemudian Marvin mulai memetik gitarnya, memainkan sebuah intro.

Wajib diputar!!!! Mari mletoy dan meleleh menjadi margarin bersama bestie T_T anggap aja ini akustik ya :V Song “Rahasia Hati by Nidji”

https://www.youtube.com/watch?v=ldDKa17eHMM

Kucoba merangkai kata cinta Walaupun ku bukanlah pujangga yang bisa Tuliskan kata-kata yang indah Nyatanya tak ada nyali untuk ungkapkan

“Anjinggg, sumpah Kak Marvin orang yang sweet parah, gila. Cewek mana anjing yang dinyanyiin Rahasia Hati sama Kak Marvin?” Nathan menggeleng kagum, lirik Rahasia Hati adalah ungkapan cinta paling romantis menurut Nathan.

I wanna love you like the hurricane I wanna love you like the mountain rain So wild, so pure So strong and crazy for you

“Gila, gue beneran nggak nyangka Kak Marvin bawa lagu seromantis ini buat ungkapin perasaan. Lirik Rahasia Hati tuh definisi orang bucin pake banget.” Sahut Leo.

“Penasaran banget siapa yang dibucinin Kak Marvin, anjirrr gila sih ini pasti jadi hot news.” Tambah Jidan.

Sedangkan kedua tangan Hazen sudah mengepal erat, tubuhnya panas dingin dan merinding.

Andai matamu melihat aku Terungkap semua isi hatiku Alam sadarku, alam mimpiku Semua milikmu andai kau tahu Andai kau tahu Rahasia cintaku

Boom

Hazen rasanya ingin lari saja dari sini, karena Marvin menatapnya lekat saat ini saat menyanyikan lirik itu, walaupun sebelumnya Marvin memang menatapnya, tapi tatapan ini—Hazen dapat melihat jelas kesungguhan di sorot manik gelap sang vokalis.

Berdoa dan beranikan diri Sebelum semua ini terlambat terjadi

I wanna love you like the hurricane I wanna love you like the mountain rain So wild, so pure So strong and crazy for you

Raden diam-diam memperhatikan ekspresi Hazen yang terlihat tegang dan resah, bahkan manik hazel itu terlihat sedikit berkilau, entah karena pancaran cahaya lampu atau memang mata Hazen yang berembun? Entahlah, yang jelas Raden memiliki firasat ia akan lebih patah hati hari ini.

Andai matamu melihat aku Terungkap semua isi hatiku Alam sadarku, alam mimpiku Semua milikmu andai kau tahu Andai kau tahu Rahasia cintaku

Marvin menyelesaikan lagunya dan berhenti memetik senar gitarnya, lalu berdeham menarik atensi penonton yang ribut bertepuk tangan.

“Ekhm, buat yang ngerasa ini lagu buat lo—makasih udah stay disana sampai lagu ini berakhir. Dan yang terakhir sebelum gue turun dari panggung, gue cuma mau bilang ke lo, temui gue setelah ini dan jawab pertanyaan gue. Di tempat pertama kali kita ketemu, disitu. Gue tunggu lo disitu sampai 20 menit. Kalo lo nggak datang, gue yang samperin lo.”

Suara sorakan pun bersahutan, termasuk teman-teman Hazen.

“Buset, gue beneran nggak nyangka Kak Marvin seberani ini woi!” Kata Jendra.

Kemudian Marvin turun dari panggung meninggalkan penonton yang penasaran setengah mampus. Hazen semakin meremang, ia bingung harus bagaimana. Akan mencurigakan bukan jika ia keluar sekarang?

Omong-omong tempat pertama mereka bertemu? Hazen jadi linglung dimana itu. Lama berfikir, akhirnya ia mengetahui jawabannya. Hazen sedikit tertegun karena kembali mengingat pertemuan pertama mereka sungguh sangat buruk.

Kemudian penampilan dilanjutkan oleh orang lain, kali ini DJ dan berakhir semua berjoget heboh. Teman-teman Hazen pun ikut bergoyang mengikuti alunan DJ yang memutar lagu Martin Garrix ft. Troye Sivan yang berjudul There For You.

“Bro, gue kebelet pipis, gue ke toilet bentar ya?” Pamit Hazen yang diangguki teman-temannya, namun tidak dengan Raden.

Setelah mendapat izin dari teman-temannya, Hazen pun bergegas keluar dari kerumunan hingga tak terlihat lagi dari pandangan Raden. Ia terkekeh miris, ia tau Hazen bohong. Ia tau jika Hazen ingin menemui Marvin. “Ternyata beneran terjadi.”

Hazen berlarian menuju parkiran kampus, disana sedikit gelap karena memang hari sudah malam, pukul 7.

Marvin mengabaikan pesan grub yang heboh karena kelakuannya beberapa menit lalu, ia mendengus melihat Jay yang suka menebak-nebak. Ia memasukkan kembali ponselnya setelah membaca pesan grub itu tanpa membalas.

“Hazen dateng nggak ya? Kok gue deg-deg an bangsat.” Racaunya menyandarkan tubuh di dinding.

“Gue dateng kak.”

Marvin terkesiap lalu menoleh ke samping, mendapati Hazen berdiri tak jauh darinya.

Marvin berdeham lalu tersenyum kaku. “Ikut gue yuk.”

“Kemana? Lo nggak lagi mau nyulik gue kan?”

Marvin mengerlingkan matanya. “Iya mau nyulik lo terus gue mutilasi, lumayan mahal kan organ dalam lo kalo gue jual.”

“Anjing serem banget, gue serius kak.”

“Zen, lo nih jangan bego-bego banget kenapa sih? Ya nggak mungkin lah gue nyulik lo.”

“Oke... trus kita mau kemana?”

“Rooftop”

Kemudian Hazen mengikuti langkah Marvin yang berjalan dahuluan.

“Jangan jalan di belakang, lo bukan pengawal gue.” Ucap Marvin.

Hazen mencibir lalu mendekati Marvin dan berjalan beriringan menuju rooftop


Di rooftop sepi, tidak ada orang karena semua sedang menikmati pesta di bawah sana.

Marvin dan Hazen berdiri bersisihan, menumpukan lengan mereka di atas pembatas pagar kaca.

“Zen.”

“Hm...”

Marvin menoleh lalu menegakkan tubuhnya. Meraih pergelangan tangan Hazen, menariknya mendekat. Hazen yang belum persiapan pun jadi tertarik kuat oleh Marvin hingga menubruk dada bidang Marvin.

Hazen mendongak takut-takut. “Ke-kenapa Kak?”

Tanpa permisi dan aba-aba, telapak tangan kanan Marvin mendorong tengkuk Hazen dan ia memiringkan kepalanya ke kanan, tangan kirinya ia gunakan untuk menggenggam pergelangan tangan kanan Hazen. Kedua matanya terpejam.

Marvin mencium Hazen, menempelkan bibirnya disana. Hazen tersentak kaget, saat Hazen ingin melepaskan diri, Marvin mengeluarkan suara.

“Zen, gue butuh jawaban dari ungakapan perasaan gue ke lo tadi. Gue sayang sama lo, bukan sayang lagi, tapi gue cinta sama lo Zen. You changed my world, you brought so much happiness to my life that I was crazy and can't hold back my feelings for you.” Ucapnya masih menempelkan bibirnya di birai manis Hazen.

“Gue nggak akan marah kalo lo berujung nolak gue, karna perasaan gue tulus sama lo. Gue bahagia dengan kehadiran lo di sisi gue selama ini, kayak kata lo, lo membawa banyak warna di hidup gue, menunjukkan indahnya pelangi sehabis hujan menerpa. Gue suka semua yang ada di lo, Zen.”

“Kalo lo diam dan nggak bales ciuman gue sampai 2 menit ke depan, gue anggep lo nolak gue Zen.”

Jantung Hazen berpacu dengan cepat, posisi ini sungguh membuatnya pusing. Bagaimana bisa Marvin betah menciumnya yang tanpa pergerakan seperti ini? Kaki Hazen rasanya sudah lunak seperti jelly namun ia berusaha untuk tetap berdiri tegak.

Waktu terus berjalan, Hazen sibuk dengan pikirannya sendiri, ia bingung harus apa karena ini terlalu mendadak untuknya. Sampai tak terasa waktu 2 menit habis untuk Hazen berpikir.

Marvin tersenyum miris dan membuka matanya menatap Hazen yang sedang memejamkan mata erat. “Oke, gue paham. Sorry kalo gue lancang ungkapin perasaan gue dan cium lo sembarangan. Gue selesai.” Ucap Marvin menjauhkan diri dari bibir Hazen.

Namun belum sempat terlepas sepenuhnya, tengkuk Marvin ditahan oleh Hazen. Hazen mendekatkan diri kepada Marvin, mengalungkan kedua tangannya di leher Marvin. Masih dengn memejamkan mata, Hazen kembali menyatukan bibir mereka. “Maaf gue kelamaan mikir, gue bingung dan nggak tau harus apa Kak. Tapi sekarang gue tau jawabannya. I love you too, I really do, gue sayang juga sama lo, maaf kalo gue sempat raguin perasaan gue, tapi sekarang gue yakin, kalo gue emang cinta sama lo Kak.” Ucapnya lalu mulai menggerakkan bibirnya, memagut bibir tipis Marvin perlahan.

Marvin terkejut, namun ia segera tersadar dan memeluk pinggang Hazen erat, mengikis jarak yang ada hingga tak ada jarak di antara mereka. Mengusap pinggang ramping itu lembut seirama dengan tempo ciuman mereka. Marvin dengan sepenuh hati memagut bibir ranum Hazen, menikmati setiap detik lumatan yang diberikan Hazen kepadanya.

Ciuman itu bukan ciuman nafsu, melainkan ciuman yang menyampaikan sebuah rasa, penyatuan dua hati yang kini telah menemukan rumahnya. Sehingga ciuman yang dilakukan Marvin dan Hazen pun tak tergesa, saling memagut pelan, lembut, penuh penghayatan.

Menelusuri setiap inchi bibir agar basah semua terkena pertukaran saliva mereka. Suara kecupan yang terdengar pun tidak agresif, justru terdengar seperti pagutan mesra penuh cinta dan kasih.

Saat keduanya merasa sudah cukup, Marvin dan Hazen membuka mata bersamaan, manik segelap langit malam namun terang bagai rembulan dan manik secerah madu dan berbinar bagai matahari itu bertemu. Menyelami sorotan mata masing-masing, menemukan setiap kejujuran dan ketulusan perasaan masing-masing disana.

Kemudian keduanya terkekeh saat menemukan sesuatu yang sama, yaitu bayangan mereka berdua yang terlihat tersenyum bahagia di manik masing-masing.

Benar, keduanya bahagia malam ini.

“Thank you so much for coming in my life, then changed my dark world being a colorful world. I love you, and I think I always love you.”

Hazen terkekeh dan mengangguk, kening keduanya masih menyatu. Kedua tangan Hazen mengusap kepala belakang Marvin, sedangkan kedua tangan Marvin mengusap punggung Hazen.

“No need to thank you in a love relationship. I'm happy to be by your side, I'm happy cause I can bring the happiness for you. And I want until later, I'm the only one can make you happy, besides Hevin.”

Marvin mengangguk lalu mengecup kening Hazen lama sembari memejamkan matanya, Hazen pun ikut memejamkan mata. “Tentu, lo sama Hevin adalah alasan gue bahagia dan bisa menikmati hidup di dunia ini. Promise, don't leave me alone. Can you, Zen?

“Hm, gue janji Kak. I'll stay with you, also Hevin too.

“Jadi? Kita sepasang kekasih sekarang?”

Hazen tergelak tawa lalu mengangguk. “Yaa gue rasa gitu.”

Marvin tertawa lalu memeluk erat Hazen dan menumpukan dagunya di pundak Hazen. “Gue sayang banget sama lo sumpah.”

Hazen membalas pelukan Marvin, menyandarkan kepalanya di dada Marvin, karena kekasihnya itu lebih tinggi dari dia. “Gue juga sayang banget sama lo sumpah.”

Lalu keduanya tertawa, merasa konyol namun bahagia.

Tanpa mereka tau, sebetulnya ada seseorang yang beridiri mematung di ambang pintu masuk rooftop dan melihat semuanya.

Seketika hatinya hancur berkeping-keping menjadi serpihan hati.

Raden tersenyum miris, tanpa permisi air matanya jatuh begitu saja. “Gue harap kalian bahagia.” Ucapnya lirih lalu pergi dari rooftop.

@_sunfloOra

Hazen dan Marvin gelagapan karena Hevin terbangun dari tidurnya. Langsung saja Hazen menggendong sang anak dan mendekapnya. Menepuk-nepuk punggung sempitnya sembari menciumi seluruh permukaan wajah si kecil.

“Maafin Mama ya? Maaf, pasti Hevin kaget banget ya denger teriakannya?”

Mmmaaa mama mama hiks hiks maaa

“Iya sayang, ini Mama. Maaf ya jadi kebangun. Tidur lagi ya anak baik.” Ujar Hazen masih setia menepuk punggung dan pantat sang anak bergantian.

Kruyuk kruyuk

Marvin menaikkan sebelah alisnya mendengar suara tak asing itu. “Lo belum makan malam?”

Hazen meringis dan menggeleng. “Belum, dan sekarang gue laper.” Bibirnya melengkung ke bawah.

Marvin menghela nafas lalu mengambil ponselnya. “Mau makan apa?”

“Terserah kak Marvin aja, asalkan jangan sayuran yang nggak berbumbu, gue bisa makan.”

“Oke.” Kemudian Marvin dengan cekatan membuka aplikasi grab nya untuk memesan makanan.

Karena hari sudah cukup larut malam, ia pun memesan makanan cepat saji yang buka 24 jam. Ia memesan KFC saja dengan paket kombo. Tau betul dirinya jika Hazen makannya banyak.

Maaa mammm maammm

“Hevin laper juga? Mau makan?”

Mamm hiks hiks

“Kak, pesen makan apa?”

“KFC, kenapa?”

“Tambah, beli sup jagung. Hevin lapar.”

“Iya.” Untung saja Marvin belum menekan tombol pesan untuk mengecek pesanannya lagi.

Ngomong-ngomong, Hevin sudah bisa makan selain susu karena umurnya sudah 9 bulan, otw 10 bulan, bulan depan. Hevin suka makan pisang, smoothie, bubur bayi, dan puding. Hazen selalu menyediakan itu semua di dalam kulkasnya untuk makanan Hevin. Menyuapi dengan telaten, meski Hevin suka nakal mengotori wajahnya dengan makanan nya.

Hevin akan minum susu ketika akan tidur saja atau saat bepergian sebelum mampir membeli makanan. Ah, terkadang Hevin suka tiba-tiba mencomot makanan Hazen ataupun Marvin dan menelannya. Tadinya sih Hazen dan Marvin takut jika bayi itu akan muntah, sakit atau terjadi sesuatu yang buruk, namun nyatanya Hevin tetap sehat, bugar dan ceria.

Saat Hazen mencari di internet, ia teringat perkataan Yosa katanya umur 8 bulan bisa makan yang lembut-lembut asalkan tidak terlalu banyak mengandung bahan kimia seperti pengawet, pewarna, perasa. Jika hanya bumbu dapur alami, itu tidakpapa.

Mama hiks hiks, maaaaa

“Iya sayang, kenapa hm? Kangen ya 3 hari nggak ketemu?” Goda Hazen sembari menggelitiki leher Hevin dengan menciumi leher nya.

Hihihikkk ngenn maaaa

“Eh, udah bisa bilang kangen? Kak Marv, liat! Hevin bisa bilang kangen!” Seru Hazen dengan wajah girangnya.

Marvin terkekeh lalu mengangguk. “Iya tau, tadi dia juga niruin omongan gue. Waktu gue bilang bobok ya? Hevin bilang bok paa bok, gitu.”

Hazen membulatkan matanya. “Eh yang bener kak??? Demi apa lo?”

“Serius, kayaknya emang udah masa nya Hevin mulai ngomong jelas. Abis pulang dari sini, kita ajarin ngomong aja. Biar perkembangan Hevin nggak terlambat.”

Hazen mengangguk antusias. “Aduh Hevin sayang, pinter banget udah bisa ngomong selain mama, papa dan susu. Hihh gemasnyaaaa.” Kata Hazen memberikan ciuman bertubi-tubi di wajah Hevin.

Hihhihi maaa maaa hihihihik

“Hehehe, geli ya?”

Liii maaaa

Hazen menganga, ternyata benar, anaknya sudah tumbuh menjadi lebih besar. 9 bulan, ia tidak menyangka sudah 3 bulan merawat Hevin sebagai Mama nya. Hazen tiba-tiba menitikkan air matanya.

“Hiks, Hevin hiks hiks kamu hebat banget hiks, Mama seneng banget hiks.”

Marvin mengerlingkan matanya. “Drama king banget.”

Hazen menjulurkan lidahnya. “Biar, gue beneran terharu banget Hevin udah gede hiks hiks jadi nggak rela kalo Hevin nanti diambil orangtuanya.”

“Jangan pikirin yang belum terjadi, Zen.”


“Gue turun dulu, makanan nya udah sampe.”

Hazen mengangguk, ia sedang sibuk bermain dengan Hevin, bayi itu sedang asik memainkan puzzle meski tidak menyusun nya dengan benar. Hazen lah yang membantu menyusunnya, jika kalian bertanya darimana mainan itu? Marvin membelinya tadi sepulang dari acara pernikahan Daddy dan Papa nya. Karena Hevin mulai rewel dan tidak mau bermain dengan piano nya.

Marvin keluar dari kamar hotel dan menuju lobi untuk mengambil makanan nya.

“Sir Marvin, right?” tanya sang grab.

“Yes i'am. Thank you so much sir.” Ucap Marvin menyerahkan uang 10 dollar.

“My pleasure, enjoy the food and good night sir.”

Marvin mengangguk dan pergi dari sana, kembali menuju kamar nya.

Ceklek

Suara pintu terbuka itu mengalihkan atensi Hevin dari mainan puzzle nya.

Papa! paaaaa mammmmm

Hazen terkekeh begitupun juga dengan Marvin.

“Iya ini makanan Hevin udah dateng, ayuk sini makan.” Ucap Marvin.

Hazen pun menggendong Hevin, mendudukkan di pangkuannya sambil duduk bersila di atas karpet. “Ya ampun, lo pesen paket kombo kak?”

“Hm, lo kan makannya banyak. Mana kenyang pake paket normal?”

Hazen mencebikkan bibirnya, namun tidak protes karena itu benar adanya. Ia sih senang-senang saja dikasih makan banyak. “Gratis nggak nih? Apa gue harus ganti uang nya?”

“Diem dan makan, nggak usah banyak nanya.”

Hazen terkekeh lalu menganguk dengan semangat. Ia membuka cup sup jagung milik Hevin. “Sebentar ya sayang, ini masih panas. Ditunggi sebentar lagi biar agak adem.”

Maaammm maaammm

“Sini, biar gue suapin Hevin. Lo makan aja.”

“Tapi lo juga belum makan malam Kak, nggakpapa biar gue aja yang suapin sambil tiupin sup nya biar dingin.”

Kruyuk kruyuk kruyuk

Perut Hazen berulah lagi, karena aroma ayam goreng yang menguar masuk hidung dan menembus usus nya.

“Hazen, makan. Biar gue yang suapin Hevin, nggak usah bantah.”

Hazen mendengus sebal, ia tidak suka diperintah, tapi ia sangat sangat lapar kalau jujur. “Ya udah, jangan lupa ditiupin dulu sup nya.”

“Iya, tau.” Marvin mengambil cup sup jagungnya lalu mengambil alih Hevin dari Hazen ke pangkuannya.

Barulah Hazen berdiri dan pergi menuju kamar mandi untuk cuci tangan.

“Hevin makan sama Papa dulu ya? Mama udah kelaparan soalnya, biar dia makan, oke?”

Keeeee hihihihi papaaa maammmm

Marvin gemas sekali dengan bayi itu kemudian menciumi kedua pipi gembilnya dahulu sebelum menyuapi sang anak. “Hmmm gemes banget, makan yang banyak ya? Biar cepet besar dan pintar.”

Hazen yang baru saja cuci tangan dari kamar mandi pun terhenti di ambang pintu kamar mandi lantas menarik garis bibirnya ke atas membentuk senyuman. “You are a great Papa, Kak Marv.” batin nya yang tak melunturkan senyumnya.

Hevin makan dengan lahap, dengan telaten Marvin meniupi sendok yang berisi sup jagung yang akan masuk ke mulut sang anak. Setelah terasa cukup dingin, Marvin menyuapkannya kepada Hevin. Jika belepotan, dengan sigap Marvin mengelap bibir Hevin agar bersih. Dua tangannya bekerja, memeluk Hevin di pangkuannya dan menyuapi sang anak.

Hazen trenyuh melihatnya, biasanya saat di apart, Hazen lah yang menyuapi Hevin, sedangkan Marvin yang membuatkan susu. Jika Hazen sedang repot, maka Marvin akan menyuapi Hevin yang mudah, seperti pisang yang sudah dilembutkan dengan sendok, dan menyuapinya. Karena dengan makan pisang, Hevin tidak belepotan.

“Kak, makan ya? Gue suapin.”

“Nggak usah, gue bisa makan nanti.”

“Nggak usah ngeyel, lo belum makan dari tadi sore kan?”

“Tapi lo lagi makan.”

“Gue bisa makan sambil suapin lo, lo kan bukan Hevin yang kalo makan belepotan dan berceceran.”

“Terserah.”

Hazen pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangannya, ia akan lanjut makan menggunakan sendok karena harus menyuapi Papa sang bayi juga.

Selesai cuci tangan, Hazen dengan telaten memotong ayam-ayam goreng punya Marvin dengan sendok dan pisau yang disediakan hotel sebagai alat makan.

“Buka mulutnya bayi besarrrr.” Ucap Hazen.

Marvin mengerlingkan matanya lalu membuka mulut, menerima suapan dari Hazen.

“Pinter banget bayi besar.” Ejek Hazen sembari terkikik.

“Sekali lagi lo bilang gitu, gue pukul kepala lo pake sendok sumpah.”

Hazen tergelak tawa, menurutnya seru sekali menggoda Marvin. “Iya iya bercanda, makan yang banyak Kak.”

“Bawel.”

Hazen menyuapi dirinya sendiri dengan sendok lain setelah menyuapi Marvin. Bergantian, antara menyuapi Marvin lalu dirinya. Sedangkan Marvin, jika Hazen tengah makan, ia akan menyuapi Hevin.

“Haus kak, lo nggak pesen minumnya juga?”

“Nggak, gue udah beli minuman tadi. Liat nakas, disana banyak minuman.”

Hazen pun berdiri dan benar ternyata ada keresek putih berukuran sedang, yang berisi berbotol-botol minuman. Ada pepsi, sprite, susu kemasan, minuman isotonik juga ada, dan air mineral.

Paaaa usss usss paaa numm

“Hevin haus juga ya?”

Hevin mengangguk saja.

“Zen, gue taruh botol minumnya Hevin di dalam laci, isiin air mineral nya. Hevin haus.”

“Oke siap.” Ucap Hazen lalu membuka laci, mengisi botol minumnya Hevin dengan air mineral.

“Kak, lo beneran mempersiapkan semuanya dengan baik.” Puji Hazen ketika melihat lacinya ada dot dan susu bubuk Hevin juga.

“Biar Hevin nggak rewel, wajib bawa dot, botol minum, sama susunya.” Kata Marvin menanggapi.

Hazen mengangguk saja lalu kembali duduk bersama Marvin dan Hevin, membawa 2 botol minuman soda dan 1 botol minuman Hevin berisi air mineral.

Punya Hevin yang warna kuning

Marvin meraih botol minuman Hevin dan memasukkannya ke dalam mulut si kecil, Hevin meneguk minumnya dari sedotan botol itu dengan rakus. Terlihat haus memang.

“Ayo kak makan lagi, belum habis ini. Cepet buka mulutnya.”

“Bentar, gue juga haus. Tolong dong, sprite nya.”

Hazen membuka tutup botol sprite nya lalu menaruhkan sedotan disana, karena di dalam plastik tadi memang ada banyak sedotan, yang berjumlah sama dengan botol-botol minuman kemasannya. “Nih.”

Marvin menyesap minuman bersoda itu dengan botol yang dipegang oleh Hazen.

Lalu acara makan-makan pun itu berlanjut hingga makanan ketiganya habis dan merasa kenyang.


Kini, ketiganya tengah berbaring di atas kasur. Dengan Hevin yang ada di tengah. Anak itu bahkan enggan menutup matanya sama sekali, akhirnya Hazen dan Marvin mengajaknya berbicara, dan Hevin dengan cekatan menirukan apa yang dikatakan Marvin dan Hazen, atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Papa dan Mama nya.

“Buah yang biasanya Hevin makan namanya pi...sang.” Eja Hazen sembari menunjukkan gambar pisang dari ponselnya.

Sangggg

“Nah nanti kalo minta makan pisang, bilang gitu aja ya?”

“Coba ulangi, namanya pi???” Kini Marvin yang giliran bertanya.

Sanggg hihihiiii

Marvin dan Hazen tergelak tawa saking gemasnya.

“Ummm apa lagi ya buah kesukaan Hevin selain pisang?” Monolog Hazen.

“Alpukat.” Jawab Marvin.

“Ah iya Alpukat. Hevin juga suka makan Al-pu-kat. Alpukat.” Kata Hazen menjelaskan.

Kattt hihihikkk katt maaa

“Iya betul sekali, Hevin juga suka buah Pir yang dijadikan smoothie. Namanya buah Pir.”

Pilll maaa pill

“Pinter banget anak Papa, nanti kalo udah di rumah belajar nama buah-buahan sama hewan ya?”

Brrrmm paaaa hihihikkkk

Senang dan bahagia, itu yang dirasakan Marvin ataupun Hazen ketika melihat Hevin yang tumbuh cerdas dan cepat tanggap.

“Kak, Hevin kan udah 9 bulan. Gue baca di internet, katanya 9 bulan udah bisa mulai diajarin jalan. Um, pake baby walker dulu sih.”

Baby walker apaan?”

“Ini.” Hazen menunjukkan layar ponselnya.

“Oh, ya nggakpapa, nanti di Indonesia kita beli.”

Hazen terkekeh. “Lihat, Papamu ternyata beneran pelitnya cuma sama Semangka. Kamu nanti kalo udah besar, jangan suka sama Semangka ya? Atau nanti kamu dipukul sama Papa.”

Marvin berdecak. “Nggak usah ngajarin yang aneh-aneh deh Zen.”

“Hahaha tuh kan marah, bilangin ke Papa coba, jangan marah-marah nanti cepat tua.”

Paaaaa papa lahhh tii waaa

Hazen tidak bisa untuk tidak tertawa terbahak-bahak. “Hahaha astaga ya ampun, lucu banget please mau nangis hahaha.”

Hevin ikut tertawa dan bertepuk tangan. Hihihihikk maaa paaa hiihihik

“Udah diem kalian berdua, ini udah larut malam. Hevin waktunya bobok ya?”

Boookkkk bbrmm bookkk

Hazen merubah posisinya, yang tadinya terlentang menjadi miring ke kiri, tangan kanan nya ia gunakan untuk menepuk-nepuk tummy sang anak. Marvin juga ikutan merubah posisi menjadi miring ke kanan, hingga keduanya kini berhadapan. Telapak tangan kanan besarnya ia gunakan untuk mengusap kepala kecil Hevin lembut.

Ku pandang langit Penuh bintang bertaburan

Hazen dengan suara merdunya mulai menyanyikan lagu anak-anak yang sangat ia sukai dulu. Bundanya selalu menyanyikan ini di setiap malam saat Hazen kecil ingin tidur.

Marvin memilih diam dan mengelus kepala sang anak sembari mendengarkan suara Hazen yang bernyanyi. Kedua manik gelapnya menatap lurus ke arah Hazen yang sedang menatap Hevin yang matanya mulai sayu dan mengerjap, mengantuk.

Berkelap kelip Seumpama intan berlian Tampak sebuah Lebih terang cahayanya

Marvin tanpa sadar pun ikut membuka suaranya dan ikut bernyanyi, mungkin bukan hanya Hevin yang terbuai dengan suara Hazen, tetapi dirinya juga.

Itulah bintangku Bintang kejora yang indah selalu Itulah bintangku Bintang kejora yang indah selalu

Marvin dan Hazen mengulangi lagu Bintang Kejora sebanyak 2 kali dari awal sampai akhir, dinyanyikan bersama-sama.

Lagu itu ditutup dengan paduan suara baritone Marvin dan suara countertenor Hazen.

Ajaibnya, Hevin pun telah terlelap dengan pulas. Lantas Marvin dan Hazen menghela nafas lega. Kemudian kedua mata mereka bertemu.

“Kak, gue sayang banget sama Hevin.” Cicitnya berbisik lirih, takut membangunkan sang anak.

“Gue juga.”

“Gue nggak pengen Hevin diambil nantinya.”

“Kalo orangtuanya mau ambil, kita bisa apa? Nggak ada, Hevin pasti juga pengen pulang sama orangtua kandungnya kan?”

Bibir Hazen menekuk ke bawah. “Nggak mau...” lirihnya, memandang tangan kecil Hevin yang menopang diatas telapak tangannya.

“Jangan pikirin itu Zen, yang penting Hevin masih ada sama kita, untuk di masa depan, biar kita pikirkan nanti juga bagaimana ke depannya.”

Hazen mendongak menatap Marvin yang kini juga melihatnya. “Kita tuh kayak bumi dan bulan, Hevin langitnya.”

Marvin mengernyitkan dahinya. “Kenapa begitu?”

“Iya, gue kan Buana, artinya dunia, bisa dibilang gue juga termasuk bumi kan? tempat manusia-manusia di dunia berpijak. Lalu, lo itu Bulan, yang nerangin langit saat malam hari dan membuat bumi juga menjadi terang.”

“Then?”

Hazen terkekeh. “Lo sadar nggak sih semenjak ada Hevin, kita kayak kompak? Lo yang dulunya kemusuhan sama gue, nggak pernah sependapat sama gue, karena Hevin, kita jadi sejalan.”

“Oh, hm ya, I think yes.”

“Hevin kayak langit, penghubung Bulan sama Bumi. Bulan mau nyinarin dunia, butuh langit buat menempatkan diri kan? Sama kayak lo, biar bisa komunikasi dengan benar sama gue, lo butuh Hevin sebagai perantara. Yaaa, gue ngerasa lo bisa melakukan apapun demi Hevin even lo mau menerima apa kata gue yang nggak lo suka.”

“It's not like that either, I'm really happy to do it for Hevin although I have to argue with you first.”

“Kak, soal yang kita janjikan ke orangtua lo dan orangtua gue buat nggak mengecewakan gimana? Gue bingung, kita kan hanya pura-pura.”

Marvin menghela nafasnya. “Let it flow aja Zen, kita tinggal se apart, ngerawat Hevin bersama, itu cukup meyakinkan mereka. Lalu soal hubungan pura-pura ini mau dibawa kemana... pikirin belakangan. Kita nggak ada yang tau masa depan.”

“Misal, kalo Daddy lo nanyain soal pertunangan kita, lo mau jawab apa?”

“Maksud lo kapan kita tunangannya?”

“Iya.”

“Gue bilang menunggu kita berdua siap, dan kita nggak terburu-buru karena mau fokus sama Hevin.”

“Tapi kak—”

“Dan soal menunggu itu, kita beneran nggak akan tau apa yang terjadi Zen. Maksud gue, who knows we will really love each other someday right?

Hazen mengerjapkan matanya beberapa kali lalu berdeham canggung. “Night Kak, gue ngantuk.” Ucapnya langsung memejamkan matanya.

“Sialan, gue salting anjingggggg.” Teriak Hazen dalam hati sembari memejamkan matanya erat. ia tidak mau melihat Marvin.

Marvin terkekeh, lucu saja melihat Hazen malu seperti itu. Padahal tadi dirinya bicara betulan, masa depan siapa yang tau? Ia juga tidak tahu jika suatu hari nanti, kemungkinan akan jatuh cinta dengan Hazen ataupun sebaliknya, Hazen yang jatuh cinta padanya. Atau bahkan dua-duanya saling jatuh cinta. Marvin tidak ingin ambil pusing.

“Zen, lo beneran udah tidur?”

Tidak ada jawaban dari Hazen, lelaki manis itu menutup rapat mulut serta matanya. Hazen belum tidur, ia hanya berusaha menormalkan debaran jantungnya yang bergemuruh di dada.

“Oh udah ya? Ya udah. Night and sleep tight Hevin, Hazen.

Marvin bergumam lirih menyanyikan sebuah lirik lagu, ia menganggapnya sebagai pengantar tidur si bayi besar.

Play this bestie, biar makin uwu ~~~ Hiv! – Bumi dan Bulan

https://www.youtube.com/watch?v=pVDnVf8Bs0w

Bidadari biru berlarut melamun Merajut sendu berlinang embun Mengapa kau membiru menyapa seribu tanya Buat apa, bila tahu jawabnya

Hazen terhenyak mendengar satu bait lirik yang dinyanyikan Marvin. Dahinya yang berkerut pun mulai mengendur, rileks saat suara Marvin masuk ke indra rungu nya. Matanya yang terpejam rapat pun ikut rileks hingga terbuai yang berakhir ia tertidur lelap.

Ooh, kita bagai bumi dan bulan Berpasangan walau tak sejalan Mungkin kita harus belajar pada mereka Tuk tetap bahagia

Marvin melirik Hazen lagi kemudian tersenyum tipis. “Udah tidur beneran ternyata, gue kira pura-pura.”

Ia pun melihat ke arah jemari kecil Hevin yang ada di atas telapak tangan Hazen, saat ia melirik tangannya, ternyata Hazen juga menindih telapak tangannya. Marvin terkekeh dan bingung, sejak kapan kedua tangan bayi itu ada di atas tangannya?

“Sekarang giliran Papa yang nyusul tidur, selamat malam Hevin, Hazen.” Ucapnya lalu mengecup kening Hevin dan mengusap pelan kepala Hazen.

@_sunfloOra

Marvin menoleh ke belakang, melihat Hevin yang duduk di infant car seat sembari menggigiti teether semangka kesukaannya. Marvin menghela nafas panjang.

“Gue harus ngomong apa sama Daddy nanti begitu tiba di Hawaii? Bawa Erin sebagai calon tunangan sih nggak masalah, tapi buat Hevin? Gue mau bilang apa? Adiknya Erin? Tapi aneh banget bawa adik ke acara pernikahan, ntar malah ditanya-tanya lagi sama Daddy dimana orangtua nya Erin.”

Pppaaa paaaaa hihihihi

Marvin terkekeh mendengarnya. “Kenapa Bi Mina pas banget pulang kampung waktu begini sih? Kan jadinya gue juga yang agak repot. Dan kenapa lagi acara Hazen sama keluarganya pas banget sama pernikahan Daddy juga? Kayak aneh dan disengaja.”

Paaaaaa paaaaaa bbbrrrrmmmm hihihi

“Hevin, nanti disana jangan panggil Papa ya? Coba panggil ka—kak.”

Bayi itu mengerjapkan matanya lalu terkikik. “Papa pppaaaa paaaaa”

“Kakak. Ka—kak. Bukan Papa, okey?”

Papa, papa, ppaaabbbrrrmmm hihihi Papa

Marvin menghela nafas dan mengusap wajahnya kasar. “Duh, Hevin masih 7 bulan, susah eja kata selain Papa sama Mama. Semoga Daddy maklumin itu nanti, namanya juga masih bayi.”

“Sudahlah, kita berangkat sekarang ya? Kita jemput Kak Erin dulu.” Ucapnya pada sang anak dan mulai menancapkan gas mobil nya menuju Kafe yang telah disepakati Marvin dan Erin untuk bertemu.

Sesuai janjian Marvin dan Erin, ia menemui Erin di kafe Senja Kopi. Ia mengirim dirrect message kepada Erin untuk memberitahukan bahwa Marvin sudah sampai.

Menunggu selama 5 menit, tak lama kemudian kaca mobilnya diketuk. Marvin menurunkan kaca mobilnya, di luar sana Erin melebarkan senyumnya sembari menunduk. “Gue Erin, lo nggak lupa muka gue kan Vin?”

Marvin menelisik sebentar lantas mengangguk. “Nggak lupa, masuk Rin.”

Kemudian Erin membuka pintu mobilnya dan duduk dengan anggun.

Ppppaaaa papa mmmaaa hihihihi

Erin terkejut mendengar suara bayi, lantas ia menoleh ke belakang dan membulatkan matanya. “Lo bawa adek?”

“Anak gue. Tapi Rin, gue boleh minta tolong nggak?”

Erin langsung menatap Marvin dengan tatapan syok nya. Demi apa Marvin sudah mempunyai anak? Lalu kenapa Marvin tidak mengajak istrinya saja untuk datang ke acara perikahan daddy nya sendiri?

“Bentar deh, gue nggak paham. Lo mau minta tolong apa?”

Marvin menghela nafasnya. “Nanti, saat daddy atau siapapun yang nanya bayi itu siapa, lo bilang aja ini adek lo ya?”

“Kenapa gitu? Ini kan anak lo? Jangan bilang keluarga lo nggak ada yang tau kalo lo punya anak?” Erin menaikkan sebelah alisnya, menatap sanksi kepada Marvin.

“Iya, nggak ada yang tau. Mangkanya gue minta tolong ya Rin? Lo bisa minta apapun sebagai imbalannya.”

Erin terkekeh lantas tersenyum. “Gue bukan cewek matre kok Vin, gue aja bisa ada disini karena Sandra sahabat gue, gue mau bantuin dia. Eh nggak taunya lo adek tirinya Sandra, cowok yang gue suka waktu SMP.”

Marvin tersenyum kaku. “So?, lo mau bantuin gue kan?”

Erin mengangguk sebanyak tiga kali. “Sorry to ask your privacy, but—where's his mom?”

“Hahaha, nggak tau Rin.”

“Maksudnya? Kata lo dia anak lo?”

“Iya, bukan anak kandung gue. Tapi sekarang dia anak gue.”

Erin memperhatikan ekspresi Marvin yang terlihat tak nyaman dan ingin menyudahi percakapan ini, akhirnya Erin menghela nafas lalu mengangguk dan tersenyum simpul. “Oke, gue bantu lo.”

Thanks Rin, lo emang cewek baik dari dulu sampai sekarang.”

“Kalo baik kenapa lo nggak suka sama gue?”

“Gue terlalu sibuk buat urusan perasaan, lagian itu jaman SMP. Lebih baik buat belajar kan daripada ngejalin hubungan asmara?”

“Hm, kalo sekarang? Lo bisa?”

“Bisa apanya?” Marvin mengernyitkan dahinya menatap Erin.

“Ngejalin hubungan.”

“Nggak tau, gue masih belum mikirin itu sampai sekarang, mangkanya gue nggak bisa bawa siapa-siapa sebagai tunangan buat dikenalin ke daddy.”

“Errr—Vin, gimana kalo kita coba aja?”

“Coba ngapain?”

“Daripada gue jadi calon tunangan pura-pura lo, gimana kalo kita mencoba menjalin hubungan? Siapa tau gue beneran bisa jadi tunangan lo? Dan lo nggak perlu takut ketahuan daddy lo kalo kita ini pura-pura.”

Ada hening yang menyelimuti keduanya, Erin mengigit bibir dalamnya menunggu jawaban Marvin.

Pppapaaaa papa ppaaaaa mmama mama ppaaa

Marvin terhenyak dari pikirannya yang terbang kesana kemari karena celotehan Hevin, ia menoleh ke belakang, melihat sang anak yang tengah bermain dengan piano favoritnya, memandanginya dengan tatapan sendu begitu lama, tetiba muncullah suara kambing dan kucing dari piano tersebut. Membuatnya menjadi teringat sesuatu.

“Gue ada Hevin, gue nggak ada waktu buat kencan. Lo nggak akan betah lama-lama sama gue karena gue lebih prioritasin anak gue daripada lo.” Ucapnya masih fokus menatap Hevin.

“Gue bisa jadi Mama nya Hevin, dan gue siap ngerawat dia kayak anak gue bersama lo. Ngebesarin dia, gue bisa Vin.” Ucapnya mencoba meyakinkan lawan bicaranya.

“Mbeeekkk itu suaranya kambing. Suara kam???”

ingggg hihihikkk ingggggg

“Aduh pinter banget anak Mama, mau cium dulu dong sayang, sini.”

Mama mmmaaa mamama tuuu

“Kenapa? Hevin laper? Mau susu?”

Tuuu tuuu mmmaaaa bbrrrmmm hihihihi

“Sebentar ya, Mama bikinin susu dulu. Hevin disini dulu main sama Papa. Oke?”

Bayangan Hazen dan Hevin seketika terputar di otaknya begitu saja tanpa diminta. Gambaran Hazen dan Hevin yang berbicara dan bermain, serta tertawa bersama pun terlintas di memori otaknya.

“Vin!” Erin menepuk pundak Marvin, membuat sang empu menoleh.

Sorry Rin, tapi posisi Mama nya Hevin udah ada yang isi, dan itu nggak bisa digantiin siapapun. Hevin—cuma mau dia buat jadi Mama nya.”

Pundak Erin merosot. “Pacar lo?”

Marvin menggelengkan kepalanya. “Bukan, dia adalah orang yang membantu gue buat jagain Hevin selama ini. Dan Hevin suka manggil dia Mama.”

“O-oh, oke. Kenapa lo nggak ajak dia buat lo kenalin jadi calon tunangan lo?”

“Kalau bisa, gue juga pengen bawa dia aja buat gue kenalin sebagai calon tunangan gue. Tapi gue nggak bisa, karena gue yakin ini nggak akan berjalan dan nggak akan meyakinkan daddy.”

Erin terdiam, membuat Marvin kembali duduk tegak di bangku kemudi. “Udah sore, pesawat kita berangkat 2 jam lagi. Kita berangkat sekarang aja ya?”

“Iya.” Jawab Erin lirih dan menyandarkan diri sembari melihat jalanan dari kaca mobil di sebelahnya.

Marvin melajukan mobil aston martin nya menuju Bandara Soekarno Hatta untuk penerbangan ke Hawaii, Amerika Serikat.


Hazen menatap gumpalan awan di balik jendela pesawat pribadinya. Menggerakkan jari telunjuknya secara abstrak, mengukir nama Hevin disana. Ia merindukan anaknya, padahal masih 1 hari ia tidak melihat Hevin tapi Hazen sudah sangat merindukan sosok kecil itu.

“Huft, kangen Hevin. Dia lagi apa ya sama Bi Mina?”

“Apa dia rewel karena nggak ada gue sama Kak Marvin?”

“Trus tidurnya nanti gimana?”

“Kalo nangis nyariin gue sama Kak Marvin atau enggak ya?”

Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul di pikirannya, menyiksa batinnya.

“Zen, kenapa ngelamun?” Sang Bunda menepuk pundaknya, membuat kesadaran Hazen kembali.

Ia menoleh dan mendapati Bunda nya tengah duduk di sebelahnya sembari tersenyum lembut.

“Hehe nggakpapa Bun, bosen aja.”

Kirana mengusap rambut halus putranya. “Kayak lagi kangen seseorang. Hm, anak bungsu Bunda lagi kangen Sandra ya?” Goda sang Bunda sembari terkikik.

“Ih siapa yang kangen Sandra? Enggak kok, cuma lama nggak terbang jadi pengen ngeliat awan aja.”

“Iya deh percaya. Kamu sama Sandra baik-baik aja kan selama ini?”

Hazen mengangguk, setengah tersenyum kecut bahwa keadaan mereka memang baik-baik saja tapi tidak untuk hubungan perjodohan mereka yang kandas.

“Bagus deh kalo baik-baik aja. Nanti disana temenin Sandra terus ya? Jangan kemana-mana.”

“Kalo aku mau pipis masa nggak boleh Bun?”

Kirana terkekeh lalu mencubit pipi tembam putranya. “Ya boleh, maksud Bunda tuh jangan ditinggalin lama atau kabur kemana gitu.”

Hazen menghela nafasnya. “Nggak kabur Bun, aku bukan anak kecil yang suka kabur-kaburan tau.”

Kirana mengacungkan jempolnya lalu beranjak berdiri. “Ya udah, Bunda tinggal ya? Nanti Ayah kamu nyariin lagi.”

“Iya, pacaran aja terus di kamar. Jangan keras-keras ya tapi teriaknya Bun, aku nggak mau punya adek.”

Kirana memukul pelan lengan Hazen. “Sembarangan aja kamu ngomongnya, Ayah lagi istirahat aja, Bunda mau mijetin Ayah.”

“Iya deh iya, nanti juga keterusan abis pijet.” Ledeknya sembari menjulurkan lidah.

“Dasar kurang ajar.” Kata Kirana terkikik geli lalu pergi dari hadapan Hazen.

Hazen juga tertawa, saat sosok Bundanya sudah tidak kelihatan, ia menghentikan tawanya. Membuka galeri nya yang sudah banyak terisi oleh foto-foto keseharian Hevin di apart Marvin atau saat di asrama dulu.

“Hevin... Mama kangen...” Lirihnya sembari menatap satu persatu foto sang anak.


Perjalanan dari Jakarta menuju Hawaii membutuhkan waktu 2 hari. Selama dalam pesawat, Hevin rewel mencari Hazen, menyebutkan 'Mama' berkali-kali dan menangis.

Marvin kewalahan mendiamkan Hevin, ia sangat sungkan kepada penghuni pesawat lainnya, karena Marvin dibantu oleh ibu-ibu untuk menenangkan Hevin. Karena saat Erin mencoba mendiamkan Hevin pun tidak berhasil dan memberontak dari gendongan Erin, memeluk erat Marvin sembari terus memanggil Hazen—Mama nya.

Akhirnya setelah 2 jam menangis, Hevin bisa diam dan tertidur ketika digendong oleh ibu-ibu dan meminum susu dari dotnya. Untung saja Marvin sekarang sudah jago membuat susu formula.

Marvin memandangi wajah merah sembab sang anak yang ada di gendongannya. Susunya telah habis, Hevin tertidur pulas sehabis capek menangis. “Maafin Papa ya sayang, nanti waktu pulang kita naik pesawat pribadi aja biar cepat sampai rumah dan ketemu Mama.”

Erin tersenyum miris, melihat Marvin begitu menyayangi anak dan sosok Mama yang disebut-sebutnya, ia sedikit cemburu. Namun ia tak bisa melakukan apapun selain diam, karena Marvin memang bukanlah miliknya, dan sepertinya sampai kapanpun tak akan pernah menjadi miliknya, mengingat situasi Marvin sekarang yang sudah memiliki anak dan Mama anak tersebut.

“Vin, kalo lo capek tidur aja. Biar gue yang gendong anak lo.”

“Nggak perlu Rin, nanti kalo dia nangis lagi malah susah. Lo aja yang tidur, masih 8 jam lagi kita sampe Hawaii.”

Akhirnya Erin mengangguk pasrah dan memejamkan matanya, karena kini langit sudah gelap. Ia akan sampai di Hawaii esok pagi. Marvin memasang earpods nya dan memutar playlist lagu yang sudah ia download dari youtube.

Kali ini bukan lagu-lagu 90 an favoritnya yang ia putar seperti biasanya, karena akhir-akhir ini ia suka memutar lagu-lagu lokal. Yang menggaungkan suara selembut kapas dan semanis madu yang sudah 3,5 bulan ini familiar di telinganya.

Lagu itu terputar, yang berjudul 'Atas Nama Cinta'. Marvin memejamkan matanya dan mendengarkan dengan hikmad suara Hazen yang menyapa indra pendengarnya.

Play lagu nya yuk, “Hazen – Atas Nama Cinta”. Biar meleyot baper sampe sumsum tulang T_T pake earphone sih aku sarannya bestie

https://www.youtube.com/watch?v=hqdgzDojmwM

Marvin terkekeh. “Hazen kenapa cocok banget nyanyi lagu melankolis gini ya?” batin nya.


Hazen sudah tiba di hotel Kahala and Resort, tempat dimana pernikahan Om Noah dan Om Jagat akan berlangsung. Tadi juga, Hazen sudah bertemu dengan keluarga Sandra dan calon suami Om Noah.

Saat ini, Hazen dan Sandra sedang duduk bersantai di tepi pantai yang ada di resort ini. Bahkan sudah ada dekorasi pernikahan di tepi pantai ini. Benar, pernikahan Noah dan Jagat bertemakan outdoor dengan pemandangan pantai Kahala Resort.

“Om Noah romantis ya San, nikahnya aja aesthetic banget di tepi pantai.” Ucap Hazen yang memandang lurus ombak pantai yang kecil di depannya.

Sandra terkekeh. “Papa cinta banget sama Om Jagat, jadi ya gitu lah biasa. Orang kalo bucin mah apa aja bisa dilakukan. Iya nggak?”

Hazen ikut tertawa dan mengangguk setuju. “Hm, Om Noah sama Om Jagat pasangan yang serasi, sama sama tampan dan berwibawa. Gue jadi nggak heran sih lo bisa suka sama adek tiri lo, pasti adek tiri lo juga cakep banget kayak Om Jagat kan?”

“Banget sih Zen, bayangin aja gue suka sama dia dari awal kali ketemu dan lagsung dikenalin sebagai calon adek tiri gue. Nggak syok gimana gue? Udah tau bakalan jadi adek gue, tetep aja gue cinta sama dia.”

“Bukan salah lo sih San, cinta juga nggak salah. Kita cuma manusia, nggak bisa prediksi gimana takdir kita yang udah ditulis sama Tuhan. Termasuk dengan kepada siapa hati kita berlabuh, itu juga diluar kehendak kita. Kita nggak bisa milih mau suka sama siapa.”

“Nanti, gue kanalin sama adek gue.”

“Terserah sih, gue juga penasaran kayak apa adek ipar gue yang gagal ini hahaha.”

Sandra melirik Hazen dengan ekor matanya, Hazen tengah memejamkan kedua matanya. Angin sepoi-sepoi pantai menyapu poni nya yang menutupi kening. Sandra tersenyum simpul, tampan dan manis. Itu yang selalu Sandra pikirkan tentang visual Hazen yang sangat candu untuknya.

“Termasuk gue jatuh cinta sama lo. Itu bukan salah gue ataupun perasaan gue kan Zen?”

Hazen membuka matanya dan menoleh, yang ternyata Sandra juga menatapnya. “Maaf San, gue—”

“Hahaha nggakpapa, udah jangan merasa bersalah gitu kali Zen. Kita udah sepakat juga kan untuk selesai?”

“Soal Om Noah, lo udah ngomong tentang ini?”

“Nanti, gue bakalan omong langsung. Teralu beresiko kalo gue ngomong duluan sebelum pernikahan Papa.”

Hazen menghela nafas. “San, kita bisa kan?” Cicitnya sedikit lirih.

“Bisa, gue udah janji sama lo buat akhirin ini semua. Gimanapun caranya, gue akan usaha buat Papa setuju tanpa rugiin keluarga lo, Zen.”

“Gue juga akan berusaha, kita berdua ya San?” Ucapnya sembari menyunggingkan senyum tulusnya kepada Sandra.

“Um, kita berdua.”

“Zen, lo berdiri di sana deh, pemandangannya bagus.”

“Ngapain gue berdiri disana? Mau jadi patung pancoran?”

“Hahaha sialan, bukan gitu bego. Gue mau foto lo.”

“Eitsss, lo ngefans banget sama gue kalo kata gue sih.”

“Iya, fans berat lo. Nah, mangkanya kasih fans lo privilege dengan bebas ambil potret lo dong.”

Hazen terkekeh lalu berdiri sesuai instruksi Sandra. “Nih, gue disuruh gaya gimana?”

“Hmm, itu lo copot blazer lo, terus lo angkat buat jadi pelindung kepala lo.”

“Kayak orang lagi berteduh kehujanan?”

“Haha anjir, iya iya kayak gitu maksud gue.”

Hazen pun menuruti perintah Sandra dan bergaya dengan aesthetic nya.

“Nah bagus, tahan bentar ya, jangan gerak kalo belum ada bunyi kamera dari hp gue.”

“Iya iya bawel, cepet foto gih. Malu gue dilihatin orang-orang.”

“Ya biar sih, mereka terpesona sama lo kali mangkanya pada liatin.”

Hazen mengerlingkan matanya. “Cepetan Sandra, tangan gue pegel nopang blezer nya tau.”

“Iya sabar, oke gue hitung ya, 1....2....3...!”

Cekrek

Hazen memakai blezernya lagi lalu melihat hasilnya. “Kirim dong San, hasilnya bagus, gue cakep soalnya.”

“Hm ya pangerannnnn.”

“Hahaha, eh lo duduk di semak-semak daun itu deh. Gue fotoin.”

“Nanti gue digigit serangga dong anjir.”

“Nggak akan San, yaelah. Cuma duduk atas batu doang, lagian semaknya gak lebat cuma ada daun2 pohon daun kelapa yang jatuh.”

“Yaaa tuan, fotoin yang bagus. Awas kalo jelek!”

“Ya putriiii.”


Marvin dan Erin tidak menginap di hotel Kahala. Ia tidak ingin membuat syok daddy nya sekarang dengan meihat Hevin. Akhirnya ia membawa Erin dan Hevin ke hotel yang tidak jauh dari Kahala Resort.

“Rin, ini kunci kamar lo. Besok jam 8 pagi kita berangkat.”

“Iya, nanti mau jalan-jalan nggak Vin?”

“Enggak deh gue mau istirahat, nanti Hevin rewel juga. Gue mau temenin Hevin aja seharian di kamar. Lo kalo mau jalan-jalan terserah aja sih. Kalo butuh mobil, lo dateng aja ke kamar gue, nanti gue kasih kuncinya.”

“O-oh, oke deh. Gue masuk kamar dulu kalo gitu. Selamat istirahat Vin.”

“Ya, selamat istirahat juga Erin.”

Kemudian Erin berjalan memasuki kamarnya, begitupun juga dengan Marvin yang di gendongannya ada Hevin yang masih tidur.


Suasana Kahala Resort dan Hotel sangat ramai, disewa sehari penuh oleh Noah dan Jagat untuk pernikahan mereka. Tamu undangan mereka dari berbagai manca negara, yang jelas adalah mereka merupakan kolega bisnis dari Noah dan Jagat.

Marvin dengan kemeja hitam satin dan dilapisi oleh white suit, celana putih yang senada serta dasi kupu-kupu yang menghiasi, membuatnya sangat sangat tampan. Sedangkan Erin juga menggunakan gaun putih panjang dengan lengan hanya sebatas lengan atas. Rambutnya ia gulung memperlihatkan leher jenjang nan putihnya, tak lupa gelungan rambut itu ia hiasi dengan pita bunga mekar berwarna putih.

Hevin memakai kaos warna kuning yang dilapisi long coat warna putih, tak lupa ditambah dengan kupluk kuning yang ada telinga beruangnya, menambah kesan menggemaskan untuk seorang Hevin. Baju itu, yang dibeli Hazen waktu itu, dan memang benar, Hazen tidak mengambil 5 setel saja, melainkan 10 setel baju. Dan Marvin lah yang membayarkan. Termasuk dengan car seat yang ada di mobilnya sekarang.

Semua mata tertuju kepada Marvin, Erin dan Hevin. Karena demi apapun, mereka bertiga sangat kompak dengan outfit putih bersih itu. Terlihat seperti keluarga kecil bahagia. Sampai tak terlihat bahwa itu settingan. Karena Erin juga mengamit lengan kiri Marvin, sedangkan tangan kanan Marvin digunakan untuk menggendong Hevin.

“San, lo emang gila, tapi ya nggak sekarang juga sih anjir.” Bisik Hazen kepada Sandra.

“Kenapa sih emang?”

“Baju lo, kenapa transparan begini anjrit. Sumpah deh San, mata orang-orang liatin dada lo terus, bego.”

Sandra melirik sekitar, dan benar saja apa kata Hazen. “Ya di pantai kan panas, enak juga begini sejuk.”

“Duh tapi ini acara resmi San, pernikahan Papa lo anjir. Ganti baju aja gih mumpung belum mulai.”

“Nggak mau, males kemana-mana. Enak duduk gini juga.”

Hazen berdecak, lalu melepaskan black suit nya dan mengulurkannya ke Sandra. “Pake, atau gue paksa seret lo ke toko baju sekarang juga?”

Sandra mendengus dan mengambil paksa jas hitam milik Hazen. “Yaaa, gue pake nih.”

“Pake yang bener, dikancingin semua. Dada sampe perut lo ke eskpos bebas kalo nggak dikancingin semua.”

“Iya bawel, nih udah kan? Udah syar'i kan?”

Hazen terkekeh lalu mengangguk. “Jangan dicopot sampe acara selesai. Awas lo!”

“Iya Zen ya ampun, posesif amat.”

“Posisif pala lo bleduk. Gue kebelet pipis, gue ke toilet bentar ya?”

“Hmm ya, mau gue anterin nggak?”

Hazen mengerlingkan matanya. “Ngaco, udah lo diem anteng disini aja. Tungguin gue balik ke sini.”

“Iya oke.”

Lalu Hazen berdiri dari duduknya dan berjalan menuju toilet.

Saat ketiga orang itu sudah menapakkan kakinya di area tepi pantai, Marvin menghentikan langkahnya tiba-tiba. Ketika kedua manik matanya menangkap sosok Hazen berjalan menjauh dari area pernikahan.

“Rin, lo masuk duluan aja ya? Lo samperin Sandra, dia duduk disana tuh. Gue ada perlu sebentar.”

“Eh, ini Hevin nya lo bawa juga?”

“Iya, nanti dia nangis kayak di pesawat lagi kalo sama lo.”

Erin mencibir lalu mengangguk. “Ya udah gue samperin Sandra duluan.”

Lantas Marvin segera pergi mengikuti Hazen setelah Erin pergi meninggalkannya.


Hazen membuka pintu toilet dan ingin mencuci tangannya. Namun begitu ia membuka pintu, seseorang menariknya keluar begitu saja, membuatnya hampir terjungkal jika Hazen tidak mencengkram baju orang yang menariknya.

Mama! Maaaa maaaaa hihihihi

Hazen langsung mendongakkan kepalanya begitu suara Hevin terdengar memanggilnya. “Loh? Kak Marvin ngapain disini?”

“Yang ada lo ngapain disini? Kata lo 4 hari lalu, mau hadirin pernikahan om lo di Amrik. Kok malah disini?”

“Ya kan Hawaii di Amrik kak, gimana sih lo?”

Marvin menepuk jidatnya, iya juga ya. Dia mendadak lupa.

“Dan lo belum jawab pertanyaan gue. Lo bilang, lo ada acara perusahaan sama daddy lo. Dan ini tempat pernikahan om gue, ngapain lo disini?”

Marvin meghela nafasnya, “Zen, gue mencoba merangkai semuanya apa yang terjadi. Lo jawab jujur ya?”

“Apa?”

“Lo kenal Sandra? Gue liat lo akur banget sama Sandra.”

“Kenal, kenapa emang? Dia anak kolega Ayah gue.”

“Eh tunggu, lo kenal Sandra juga?” Hazen mengerutkan dahinya, begitu menyadari Marvin menyebutkan nama Sandra.

“Ini pernikahan daddy gue sama Papa nya Sandra.”

Duarrr

Hazen mendadak blank mendengar jawaban Marvin. Jika Daddy nya Marvin menikah dengan Om Noah, berarti, berarti—

“Jadi, lo ini adek tirinya Sandra, kak???”

Marvin mengangguk. “Kalo lo bisa tau gue, harusnya gue curiga sama lo. Please lo jujur sama gue Zen. Lo kenal Sandra bukan sebatas hubungan anak kolega doang kan? Karena gue yakin Sandra nggak akan ceritain tentang gue ke sembarang orang. Dan gue juga teringat, Sandra pernah bilang ke gue, kalo dia punya temen cowok satu di Indonesia—

dan dia adalah calon suami Sandra.”

Deg

Hazen terkejut untuk kedua kalinya, dia benar-benar tidak menyangka jika Sandra bahkan cerita dengan adek tirinya yang tak lain dan tak bukan adalah Marvin. Orang yang sangat dekat dengan dirinya selama 3,5 bulan ini.

“K—kak Marv, gue—”

“Kalian batalin ikatan perjodohan kan?”

“Lo tau juga? Sandra cerita ke lo?”

“Semuanya, dia cerita semuanya sama gue, bahkan dia patah hati karena lo juga cerita ke gue.”

“Oh my God, sumpah gue nggak bisa berkata apa-apa lagi kak Marv. Ini semua—terlalu mengejutkan. Alias gue nggak percaya, takdir gue lucu banget, gue mau ketawa tapi nggak bisa.”

“Hazen gue mau—”

“Coba lo bayangin kak, ternyata lo itu calon adek ipar gue. Seumpama, gue sama Sandra gagal batalin perjodohan ini, kita bakal jadi keluarga. Gue beneran nggak bisa bayangin, lo—jadi adek gue kak.”

Marvin mencekal pergelangan tangan Hazen, menariknya sedikit kencang hingga Hazen menubruk dada nya. Di peluknya Hazen erat. “Zen, liat gue.”

Hazen mendongak, menatap kedua manik segelap langit malam itu. “Lo nggak cinta sama Sandra?”

Hazen menggelengkan kepalanya.

“Lo masih mau perjodohan kalian batal?”

Hazen mengangguk.

“Zen, lo sayang sama Hevin?”

“Sayang banget, kok pake nanya?” Ucapnya menggebu-gebu sembari menatap Hevin yang mengigiti jarinya.

“Lo masih inget janji lo waktu malam itu? Di ruang tamu.”

Hazen mengerjapkan kedua matanya lantas mengangguk. “Ingat.”

“Masih mau nepatin nggak? Buat ngejaga dan ngebesarin Hevin sampai dia diambil orangtuanya, bahagiain Hevin kayak anak sendiri? Masih mau nepatin itu nggak?”

“Ma-masih kak...” Ucapnya lirih.

“Hazen, demi Hevin gue bisa bantu lo buat batalin perjodohan lo sama Sandra.”

“Hah? Gimana caranya? Gue sama Sandra juga masih bingung cara ngomong ke Om Noah sama Ayah gue.”

“Lo percaya sama gue kan?”

“Maksudnya?”

“Jawab aja, lo masih mau terus sama Hevin nggak?”

“Mauuuuu.” Rengek Hazen mengerucutkan bibirnya.

Marvin sedikit terkekeh. “Kalo gitu berarti lo percaya sama gue. Apapun yang terjadi setelah ini, ikutin gue ya Zen? Demi Hevin.”

“Sebentar, kasih tau gue dulu lo mau apa. Biar gue nggak kaget dan gagal acting nantinya.”

Marvin mengerlingkan matanya. “Hari ini gue udah janji sama Daddy buat kenalin calon tunangan gue ke Daddy. Dan gue bakalan kenalin lo sebagai calon tunangan gue, dengan begitu perjodohan lo batal, Hevin bisa bersama kita selama mungkin.”

“APA??? LO JANGAN GILA KAK MARVIN!!!”

Ooeeeekkkkkk oeeeekkkkk hiks hiks mmaaaa maaa

“Hazen astaga, jangan teriak-teriak kenapa sih? Nangis kan anaknya.”

Hazen meringis dan mengambil alih Hevin dari gendongan Marvin. “Cup cup sayang, maafin Mama ya tadi kekencengan suaranya. Sssttt anak baik nggak boleh nangis. Diem ya?” Ucapnya menepuk nepuk punggung Hevin.

Hiks hiks mama mmaaaa hiks hiks

“Iya, ini Mama. Jangan nangis ya sayangnya Mama, nanti jelek kalo nangis.”

Hevin memeluk erat leher Hazen, tidak rela melepaskan. Anak itu merindukan Mamanya, 3 hari tak ketemu membuatnya merindukan Hazen.

“Zen, gimana? Terserah lo mau nerima tawaran gue atau enggak. Gue lakuin ini demi Hevin. Dia butuh kita Zen, Hevin rewel dan cengeng nyebut Mama terus, 3 hari doang nggak ketemu lo, dia sedih banget.”

Hazen melihat wajah bulat sang anak yang sembab karena habis menangis. “Hevin...” lirihnya.

Ia menatap Marvin lagi. “Tapi kak, bukannya resiko besar? Kalo gue pura-pura jadi tunangan lo padahal nantinya kita nggak akan tunangan?”

“Bisa dipikir belakangan Zen, ada 1001 cara yang bisa kita lakuin di masa depan. Untuk sekarang, bukannya lo pengen perjodohan ini berakhir?”

“Iya. Oke, gue mau. Demi Sandra, demi Hevin, gue mau.”


Marvin dan Hazen kembali ke area pernikahan dengan terpisah. Hevin sudah berada di gendongan Marvin. Hazen menghampiri Sandra. Sedangkan Marvin memilih tidak bergabung, ia akan muncul nanti disaat waktunya ia muncul.

Ucapan janji suci antara Noah dan Jagat pun terucap, kemudian saling memasangkan cincin dan berakhir berciuman setelah dinyatakan pendeta bahwa mereka sah menjadi sepasang suami suami.

Riuh tepuk tangan bahagia dan ucapan selamat berdatangan menghampiri pasangan baru menikah itu. Sandra dan Hazen maju untuk mengucapkan selamat.

Marvin menghampiri Erin. “Rin, sebelumnya makasih atas bantuan lo. Tapi sekarang, lo nggak perlu pura-pura lagi untuk jadi calon tunangan gue.” Bisiknya.

“Eh? Kenapa begitu? Daddy lo nggak nanyain emang?”

Marvin tersenyum simpul. “Mama nya Hevin ada disini, gue bakalan ngenalin dia sebagai calon tunangan gue.”

“Apa? Bukannya lo bilang lo nggak bisa sama dia?”

“Tadinya gitu, tapi Hevin meyakinkan gue buat nggak misahin dia dari Mama nya.”

Erin menghela nafas, lalu menatap sendu keramaian di depannya. Semua tamu berkerubungan mengucapkan selamat kepada pengantin. “Jadi? Gue harus ngapain sekarang?”

“Lo duduk aja, nggak perlu temuin Daddy. Maaf Rin.”

“Nggakpapa, gue anggep gue liburan kesini hahaha. Gue boleh keluar nggak? Gue mau nyari udara seger.”

Marvin menganggukkan kepalanya. “Boleh, nanti gue dm kalo acaranya udah selesai.”

“Iya.” Lantas Erin pergi dari area pernikahan itu, keluar mencari udara segar menelan kekecewaannya dalam-dalam.

Marvin menarik napas dalam dan menghembuskannya sebanyak tiga kali. Kemudian menatap bayi gembul di gendongannya yang sedang menggigiti teether Strawberry nya. “Kita jemput Mama ya? Hevin nggak akan kehilangan Mama, Mama nggak akan diambil orang lain, oke?”

Si kecil hanya menatap sang Papa dengan kerjapan matanya.

Hihihihi papa papaaaaa mmmaaa mama!

Dengan langkah kaki mantap, Marvin maju membelah kerumunan untuk bertatap muka dengan Daddy dan Papanya.

Jagat langsung me notice kedatangan sang putra. “My son! Dari mana aja? Kok baru keliatan? Eh? Ini siapa Vin?” Tanya nya menunjuk Hevin.

Noah ikutan menimbrung, sedangkan Hazen yang berada di samping Bunda nya sudah merinding.

“Dad, maaf aku baru kelihatan. Karena aku lagi mikirin cara gimana ngomongnya sama Daddy.”

“Ngomong apa? Mana calon tunanganmu? Katanya kamu mau bawa kesini dan kenalin ke Daddy?”

“Iya aku bawa dia kok, dia ada disini.”

“Mana? Sini kenalin sama Daddy.” Alis Jagat naik sebelah, menantang sang putra.

Dan secara tiba-tiba, Marvin berjalan mendekati Hazen yang tak jauh darinya. Membuat berpuluh-puluh pasang mata menatap heran. Hazen tak bisa berkutik, tubuhnya seakan lunglai dan hanya bisa mengikuti Marvin. Sandra mengerutkan dahinya tak mengerti dengan apa yang dilakukan adek tirinya itu. Sedangkan Kirana dan Kaisar juga hanya diam, bingung dengan apa yang terjadi.

Marvin kini berdiri di depan Jagat dan Noah, menggenggam erat tangan Hazen yang juga menggenggamnya sedikit gemetar.

Daddy, Papa. Aku mau kenalin ke kalian siapa calon tunanganku. Namanya Hazen Aditya Buana. Dan anak ini, adalah anakku dan Hazen.”

Hazen meremat tangan Marvin semakin keras, Marvin sedikit meringis merasakan remasan di tangannya yang kencang. Ada hening yang terjadi, seperti kaset rusak, ucapan Marvin terus berdengung di telinga orang-orang disana.

Plakkk

“Kak Marvin!” Teriak Hazen.

Oooeeeekkkk papa ppaaa papa hiks hiks papaaa

Jagat baru saja menampar Marvin kencang, sampai Hevin kaget.

“Bicara apa kamu? Dimana letak otakmu Marvin? Dia, yang kamu sebut calon tunanganmu adalah calon suami kakakmu! Dia calon suami Sandra, Marvin.” Bentaknya menggebu-gebu.

“Zen, tenangin Hevin dulu ya?”

“Tapi kak—”

Marvin tersenyum simpul. “Nggakpapa Zen, biar gue yang urus ini semua. Kasian Hevin, dia takut.”

Akhirnya Hazen menurut, menggendong Hevin dan membawanya menjauh dari suasana mencekam itu tadi.

“Ssstt udah sayang, ini Mama. Jangan nangis lagi ya?”

Mmaaama mama hiks hiks hiks Papaaa hiks

Kirana dan Kaisar langsung menghampiri Hazen.

“Hazen, apa maksudnya ini? Jelasin ke Ayah sekarang juga.”

“Hazen, ini beneran anak kamu? Tapi—gimana bisa Zen?” Tanya sang Bunda tak percaya.

“Ayah, Bunda maaf. Tapi Kak Marvin benar, dia anak aku sama anak dia.”

“Bagaimana bisa? Kamu sama Marvin hamilin 1 cewek?”

“Bunda, enggak gitu. Hevin anak aku sama Kak Marvin, seseorang ngasih amanah untuk besarin Hevin ke aku sama Kak Marvin. Dan sejak saat itu, aku sama Kak Marvin sepakat buat besarin dan jaga Hevin, menjadi orangtua buat dia.”

“Lalu? Tentang calon tunangan itu?” Tanya sang ayah mencoba sabar.

“Ayah, maaf. Aku mau Ayah nepatin janji Ayah dulu. Aku nggak cinta sama Sandra Ayah, aku dan Sandra sudah sepakat untuk membatalkan perjodohan. Niatnya hari ini kami akan memperjelas semuanya. Tapi aku baru tau Kak Marvin adalah adek tirinya Sandra, aku—aku nggak mau pisah sama Hevin Ayah.”

“Ini masih 3,5 bulan Zen. Wajar kalo kamu belum cinta sama Sandra. Tapi kenapa kamu udah sepakat kayak gitu sama Sandra? Ayah janji lepasin kamu kalo kamu udah ketemu orang yang kamu cinta, bukan seperti ini.”

Hazen menghela nafas, ia harus bohong dan mengatakan ini agar orangtuanya mau melepaskan dirinya dari ikatan perjodohan ini. “Sudah Yah, aku udah ketemu orangnya.”

“Siapa? Bawa kesini.”

“Papanya Hevin, Kak Marvin.”

Marvin beradu tatap dengan Jagat dan Noah, di sampingnya sudah ada Sandra yang menemani Marvin sembari menengakan sang Daddy.

“Apa? Sekarang apa Marvin? Kamu tega sama Jelita? Dia kakak mu Marvin...” Jagat memijat pelipisnya.

“Marvin, karena sekarang kamu anak Papa juga, Papa berhak marah dan mukul kamu kan?” Tanya Noah.

“Papa! Jangan! Kalo sampe Papa mukul Marvin, aku nggak mau ketemu Papa lagi!” Ancam Sandra berdiri di depan Marvin sembari merentangkan tangannya.

“Minggir kamu Sandra, Papa harus menghajar Marvin biar sadar.”

“Papa, dengerin Sandra. Aku mau bicara sesuatu, hal penting yang pengen aku sampein ke Papa sejak beberapa minggu lalu. Tapi aku terlalu takut buat bilang, dan sekarang aku mau bilang.”

“Apa? Bilang ke Papa.”

“Aku sama Hazen udah sepakat buat batalain perjodohan ini, karena kami nggak cocok, kami nggak bisa bersama. Kami nggak punya perasaan untuk masing-masing. Kami ingin perjodohan ini batal.”

“APA MAKSUD KAMU SANDRA??? KAMU MAU MELINDUNGI ADIKMU?” Noah murka.

“Nggak, aku nggak lindungin Marvin. Aku berkata sejujurnya. Kalo Papa nggak percaya, Papa bisa tanya Hazen.”

Noah menggertakkan giginya lalu menghampiri Kaisar dan Kirana yang sedang berbicara dengan Hazen. Diikuti oleh Sandra serta Marvin.

“Hazen, om mau bicara.”

Hazen terkejut dan menoleh. Hevin menyaringkan tangisnya.

Papaaaa pppa ppaa hiks hiks Hevin meraih raih ingin digendong Marvin. Hazen pun menyerahkan Hevin kepada Marvin.

“Iya sayang, Papa disini. Jagoan kecil kenapa nangis? Jangan nangis yaa, Papa disini nggak kemana-mana.”

Interaksi itu dengan jelas dapat didengar oleh orangtua Hazen, orangtua Marvin dan Sandra.

Hiks papa pppaaa papaaa mmmaa mama hiks hiks

“Iya, Mama juga disini. Nggak akan pergi, jadi anak pinter udahan ya nangisnya?” Kata Marvin lembut.

Noah menghela nafas, Jagat makin pusing dan mengusak rambutnya.

“Hazen, om mau tanya. Benar jika kamu sama Sandra sepakat batalin perjodohan?”

“Iya om.” Jawab Hazen mantap, ia tidak boleh ragu. Ia tersentuh melihat perjuangan Marvin mempertahankan Hevin dan dirinya.

“Kenapa? Kalian nggak saling cinta?”

Hazen menatap Sandra dan mendapat anggukan serta senyuman hangat Sandra. “I-iya om, kami nggak saling cinta.”

“Apa kamu nggak pengen kasih Sandra kesempatan lebih lama lagi?”

“Maaf Om, tapi Ayah sudah janji akan melepaskan ikatan perjodohan ni kalau aku sudah menemukan orang yang aku cinta, Om.”

“Dan sekarang kamu menemukannya? Siapa?”

“Kak Marvin, aku cinta sama dia.”

Marvin membulatkan matanya dan menatap Hazen penuh selidik.

“Marvin?”

Ia kaget karena Daddy memanggilnya.

“Ya Dad?”

Daddy mohon kamu jawab dengan jujur, apa kamu mencintai Hazen?”

Hazen mengigit bibir dalamnya, ia takut Marvin akan jujur jika Marvin tidak mencintainya, dan kebohongan ini akan segera berakhir.

Marvin melirik Hazen dan menatapnya sembari tersenyum. “Cinta, aku mencintai Hazen, Mama dari anakku.”

Deg

Rasanya jantung Hazen merosot hingga usus 12 jari. Semua orang juga syok mendengarnya disana. Sandra tersenyum miris, ternyata Hazen akan menjadi adiknya. Kenapa orang yang disukai Sandra harus berakhir menjadi adiknya? Menyedihkan.

Noah dan Jagat saling pandang, Kirana dan Kaisar mendekati Noah dan Jagat.

“Noah, Jagat, jika kalian menentang hubungan ini, kami akan berusaha menyadarkan Hazen, agar bisa kembali bersama Sandra, kami—”

Ucapan Kirana terpotong karena Noah mengangkat telapak tangannya. Meminta Kirana berhenti bicara.

“Cukup.”

“Marvin, Hazen. Jika kalian memang saling mencintai, Om nggak bisa berbuat apa-apa. Itu hak kalian untuk saling mencintai, Om juga nggak akan rela jika Sandra menikah dengan Hazen karena terpaksa, Om nggak mau liat Sandra sedih.”

Jagat mengghela nafas lalu menarik Marvin mendekat, begitupun juga dengan Hazen. “Daddy sama Noah akan merestui kalian, dengan syarat ini semua bukanlah rekayasa kalian semata. Jika ini hanya sebuah drama yang kalian buat, Daddy nggak akan tinggal diam. Daddy akan kirim Marvin ke Canada dan Hazen nggak akan bisa nemuin Marvin lagi.”

Marvin dan Hazen kompak megangguk.

“Aku nggak akan kecewain Daddy, trust me Dad.”

“Om Jagat, terimakasih.” Ucap Hazen.

“Om Noah, orang yang sangat baik, maafkan aku Om sudah mengecewakan Sandra dan Om.”

Noah terkekeh lalu menepuk pundak Hazen. “It's okay, lagian sekarang kan Marvin juga anak Om. Apa bedanya? Kamu tetap akan jadi menantu Om kan?”

“Tapi balik lagi ke orangtua kamu, tanya mereka. Apa mereka merestui kalian?”

Hazen menatap Bunda dan Ayahnya. Kaisar menghela nafas setelah berkode mata dengan istrinya. “Asalkan Hazen bahagia, kami setuju. Jangan kecewakan Ayah sama Bunda ya Zen? Seperti kata Om Jagat, kami harap ini bukan sebuah drama yang kalian ciptakan.”

“Iya Ayah, Hazen nggak akan kecewain kalian.”

Papaaaa Mamaaaa pppaaa mmmaaaaa

“Papa disini sayang.”

“Mama juga disini, senyum lagi yuk anak ganteng.”

Hihihihi ppaaa papa mmma mama!

Marvin dan Hazen saling tatap dan melempar senyum. Itu bukan senyum kepura-puraan semata karena rencana mereka berhasil. Melainkan senyum tulus yang benar-benar melegakan hati keduanya.

Bahkan orangtua Marvin dan Hazen juga ikut tertawa gemas melihat Hevin. Sepertinya Sandra perlu menenangkan diri setelah ini mengobati rasa syok nya.

  • Flo -

kinda 18++, mohon pembaca yang bijak. Aku nggak ngasih trigger biar kejutan :D :P

Hazen duduk selonjoran dan bersandar pada kaki sofa sembari melihat Hevin yang asik bermain dengan Rimie—anjing milik Marvin.

“Hevin, kamu main terus sama Sarimi, masa Mama dicuekin sih?”

Sang anak melirik Hazen sekilas, kemudian kembali mengusap-usap kepala Rimie yang sedang mendusal-dusal kepada Hevin. Bayi itu kini tengah berbaring di karpet tebal berbulu, kedua tangannya meraih-raih bulu Rimie untuk diusap.

“Ish beneran dicuekin anjir, eh Sarimi, jangan dijilatin Hevin nya, dia udah mandi. Nanti kotor lagi bau air liur anjing.”

Gug gug gug

Rimie menggonggongi Hazen dan mengibaskan ekornya, seolah mengejek Hazen.

Hazen mendengus lalu menarik tubuh berbulu itu dan mendekapnya. “Nakal banget dibilangin orangtua, Hevin udah wangi, jangan dibikin bau karena ilermu. Ngerti nggak?”

Gug gug gug—Rimie menggonggong sembari menjilati wajah Hazen penuh semangat.

“Heh, gue juga udah mandi tau! 2 jam lagi gue kuliah, jangan jilat-jilat!”

Yang tidak Hazen tau, sebenarnya Marvin sudah masuk apart sejak 5 menit lalu. Tepat dimana Hazen mengomeli Rimie karena menjilati Hevin. Hanya saja, Marvin memang sengaja tidak langsung masuk, ia berdiri di balik dinding sekat antara pintu masuk menuju ruang tamu atau ruang keluarga itu.

Marvin menggelengkan kepala heran, makin diperhatikan, Hazen itu memang aneh namun membuat dirinya juga tak habis pikir, bisa-bisanya dirinya tertawa karena hal-hal kecil yang dilakukan atau diucapkan Hazen.

Marvin tidak menunjukkan terang-terangan di depan Hazen, namun itu benar dan tidak bohong jika Marvin sering tertawa dan tersenyum diam-diam melihat ke-absurd an Hazen, apalagi jika sudah bersama Hevin. Makin lucu dan menggemaskan. Setidaknya itu yang ada di pikiran Marvin Liam Pradipta saat ini.

Tap tap tap

Suara langkah kaki yang tidak terlalu keras itu cukup menarik atensi Hevin sang anak, yang kini tengah merangkak menghampiri Marvin.

Ppppapa papa papaaa bbbrrmmm hihihihi—celoteh Hevin sembari merangkak.

Marvin terkekeh lalu meletakkan tas nya di lantai dan berjongkok kemudian menggendong Hevin. “Selamat siang anak ganteng.”

Papapapa hihihikkk mmmmbbbrrrpaaa

Hazen yang sibuk gelut dengan Rimie pun akhirnya menoleh setelah mendengar suara Marvin. Ia menyingkirkan Rimie dari gendongannya dan berdiri, menghampiri Marvin.

“Kok udah pulang?”

Marvin melirik Hazen sebentar kemudian berjalan menuju sofa dengan Hevin yang tertawa di gendongan Marvin. “Ada larangan gue nggak boleh pulang? Ini kan apart gue.”

Hazen mendengus kemudian mengambil tas ransel Marvin yang tergeletak di lantai, kemudian mengekori Marvin. “Bukan gitu, kata lo tadi masih 1 jam lagi pulangnya?”

“Jamkos.” Ucapnya sembari mendudukkan diri di sofa.

“Kata lo juga nggak mau bolos jamkos?”

“Suka-suka gue lah, kok ngatur?”

“Anjrit, bilang aja lo gabut di kampus mangkanya pulang.” Ucapnya dan duduk di samping Marvin, memandang Hevin yang sedang berceloteh mengajak Marvin berbicara.

“Permisi mas Hazen, makanan nya sudah siap. Silahkan makan mas.” Tiba-tiba Bi Mina muncul di belakang ketiga nya.

“Eh? Makasih Bi Mina. Maaf saya ngerepotin Bi Mina yang masak dua kali.” Ucap Hazen meminta maaf tulus, ia merasa bersalah dengan Bi Mina.

“Nggakpapa mas Hazen, sudah tugas saya melayani kebutuhan mas nya.”

“Makasih banyak bi, lain kali saya masak sendiri aja ya?”

“Jangan mas, nanti saya nggak dikasih gaji sama mas Marvin.”

Hazen menoleh kepada Marvin yang sedang berbicara kepada Hevin. “Nanti lapor saya aja Bi kalo Kak Marvin nggak mau gaji, biar saya yang pukulin dianya.”

Bi Mina tertawa lalu berpamitan undur diri setelahnya.

“Lo belom sarapan dari tadi?” Tanya Marvin akhirnya.

“Belom.”

“Kenapa? Nggak suka masakan nya Bi Mina?”

“Bukan, gue yang nggak bisa makan menu sarapan tadi.”

“Emang Bi Mina masak apaan buat sarapan? Kayaknya tadi cuma salad sayur kan sama sandwich.”

“Iya justru itu, gue nggak bisa makan sayur yang mentahan gitu.”

“Dih, pemilih.”

“Bukan pemilih anjir, gue bisa sakit kalo makan sayur-sayuran mentah begitu. Gue bisa makan sayur, tapi yang udah dibumbui jadi masakan, bukan yang dijadiin isian di sandwich apalagi dijadiin salad. Huft, ngeri sendiri bayangin perut gue diaduk gegara makan itu.”

“Kalo gitu nanti bilang ke Bi Mina buat jangan masak menu sayur yang mentahan begitu. Daripada lo nyusahin Bi Mina masak dua kali buat gue sama lo.”

“Gue bisa masak sendiri, nggak akan repotin Bi Mina.” Kata Hazen ketus lalu berdiri meninggalkan Marvin dan Hevin menuju meja makan.

Marvin menghela nafasnya, Gue salah ngomong lagi apa ya? Hazen gampang kesinggung banget perasaan.

Ppppaaaaa tuuuu tuuuuu mmmmbbrrr tuuu

“Hevin laper ya?”

Perrrr tuuu tuuuu pppaaaaa

Marvin mengangguk dan mencubit pipi gembil sang anak kemudian berdiri menggendong Hevin, berjalan menuju meja makan. “Ya udah ayo makan, Papa juga laper.”

Seampainya di meja makan, Hazen sedang nikmat menyantap makan siangnya. Bi Mina membuatkan Fire Chicken Fillet dan sambal ati ampela. Tak lupa dengan minumnya Jus Jeruk.

“Susunya dimana?”

“Di kamar gue, gue taruh di atas nakas.”

Ngomong-ngomong, ide untuk pisah kamar dari Hevin tadi pagi akhirnya ditolak oleh Hazen. Karena kata Hazen, Hevin masih bayi, bahaya kalau tidurnya banyak gerak di kasur kalau jatuh bagaimana? Keamanan nya diragukan jika Hevin dibiarkan tidur sendiri. Akhirnya Marvin setuju dengan alasan itu, membiarkan Hevin tidur dengan Hazen.

Kemudian Marvin pergi begitu saja menuju kamar Hazen untuk membuatkan susu. Ia berjongkok sembari menuangkan tiga sendok bubuk susu formula ke dalam dot. Hevin bergerak tak bisa diam dalam gendongan Marvin.

“Sebentar, jangan gerak-gerak kamu, nanti susunya tumpah.”

Baru beberapa detik Marvin berucap demikian, dan benar saja dot nya jatuh dan bubuk susunya tumpah mengotori lantai kamar Hazen.

“Udah gue bilang kan buat jangan gerak? Tumpah susunya!” Ujar Marvin sedikit keras.

Ooooeekkkkk ooooeeekkkk mmmmaaa mamamama oooeekkk hiks hiks hiks

“Dikasih tau malah nangis, jangan nangis dong.”

Ceklek

Hazen dengan wajah paniknya pun berdiri di ambang pintu. Mendengar suara Hevin menangis kencang. Ia menghela nafasnya lalu menghampiri Marvin.

“Lo apain lagi sih kak? Ya Tuhan, gue makan siang aja kagak tenang jadinya.” Ucapnya lalu mengambil alih Hevin dari pangkuan Marvin dan menggendongnya.

“Nggak gue apa-apain, gue cuma buatin dia susu tapi tumpah karena dia gerak terus.”

“Pasti lo marah-marah setelahnya kan? Mangkanya dia nangis?”

“Gue nggak marah, cuma ngasih tau dia kalo susunya tumpah.”

“Tsk, alesan.” Sungut Hazen kemudian mengalihkan perhatiannya kembali pada sang anak.

“Cup cup cup, anak pinter jangan nangis ya sayang, ssstt ada Mama disini, siapa yang nakal? Papa ya? Hm? Papa yang nakal ya?” Ucapnya menenangkan sang bayi sembari menepuk-nepuk punggung Hevin.

Hiks hiks mmmmaaa maaaa hiks hiks pppaaa papaaa

“Wah wah, nanti Mama pukul Papa nya ya? Sekarang Hevin jangan nangis lagi, laper? Minum susu yuk, Mama buatin.”

Hevin masih menangis tersedu-sedu meski tidak sekeras tadi. Hazen mengambil dot nya di lantai serta meraih kaleng susu bubuk itu. “Lo makan siang aja Kak, bibi udah buatin lo makan siang. Biar Hevin gue yang urus.”

Setelah Hazen keluar dari kamar, Marvin menghembuskan nafas lelah. “Pusing banget anjing ngurus bayi, suka banget rewel. Nyusahin banget. Hevin tuh lucu tapi kalo udah nakal dan bikin gue kesel jadi pengen lempar Hevin ke jurang.”


Bi Mina sudah berpamitan pulang kepada Hazen saat Hazen tiba di dapur membuatkan susu untuk Hevin. Tugas Bibi Mina memang hanya membersihkan rumah dan memasakkan sarapan dan makan siang. Karena Marvin memilih untuk memasak sendiri untuk makan malamnya, oleh karena itu jam kerja Bibi Mina hingga siang saja, setelah selesai memasak makan siang, maka tugasnya sudah selesai.

“Nah, susunya udah jadi. Jangan nangis lagi ya? Nanti muka nya jelek kayak Papamu. Ayo buka mulutnya aaaaaaakkk.”

Hevin terkikik meski bulir-bulir air matanya masih berjatuhan, namun ia tetap membuka mulutnya lebar untuk menyesap susu dari dot nya.

“Pinter banget anak Mama, dihabisin ya? Terus langsung bobok siang.”

Hevin tidak menjawab apapun karena sibuk menikmati susunya, perlahan bulir air matanya berhenti, Hazen menghapus jejak air mata itu dengan ibu jarinya. Sesenggukan Hevin perlahan mereda, hingga beberapa menit kemudian kedua kelopak mata belo itu menutup rapat dan nafasnya teratur. Menandakan sang anak mulai tidur.

Hazen lega, ia pun berjalan menuju ruang tamu, dilihatnya jam besar yang berdiri di samping almari hias. 45 menit lagi ia harus berangkat kuliah. “Duh, gue jadi mager kuliah kalo gini, jarak apart nya lumayan jauh dari kampus. Gue harus berangkat sekarang anjir.”

Ting Ting

Ponsel nya berbunyi di saku celana pendeknya. Ia pun mengambil ponselnya untuk mengecek pesan yang masuk. Ternyata ada pesan masuk dari grub mata kuliah Ekonomi Makro kelasnya. Hazen membaca pesan yang baru saja dikirim oleh ketua kelasnya.

Hazen ingin berteriak tapi mengingat Hevin sedang terlelap dalam gendongannya pun ia tidak jadi teriak.

“Anjay, ini yang namanya doa anak Tuhan, langsung dikabulin, padahal gue cuma bilang mager kuliah.”

Memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku, Hazen berjalan menuju kamarnya. Ia sempat terkejut karena lantai kamarnya sudah bersih dari bubuk-bubuk susu yang berceceran tadi.

“Masih peduli juga ternyata, gue kira bakalan ditinggal kotor gitu aja.” Gumamnya lalu menutup pintu kamar dan meletakkan Hevin di kasur. Seperti biasanya, Hazen meletakkan bantal di kanan dan kiri untuk menghadang pergerakan Hevin agar tidak jatuh.

Kasurnya lebih lebar, jadi Hazen tidak seberapa takut menidurkan Hevin, ia menidurkan Hevin tidak di tengah, melainkan minggir dekat dinding agar jauh dari pinggiran kasur, untuk meminimalisir Hevin jatuh dari kasur.

“Gue masih laper, makan lagi lah, tadi makan gue belum habis udah gue tinggal gitu aja.”

Hazen keluar dari kamar tanpa mengunci pintunya, berjaga-jaga jika Hevin menangis lagi. Ia kembali ke meja makan, tadi saat ia selesai membuatkan Hevin susu, belum ada Marvin di meja makan, namun sekarang disana sudah ada Marvin yang sedang menyantap makan siangnya.

Sreettt

Suara kursi ditarik membuat Marvin mendongak dan melirik sedikit, kemudian lanjut makan lagi. Hazen membuka tudung sajinya yang berisi makanan nya yang belum habis.

“Hampir aja gue buang itu makanan lo.”

“Enak aja main buang-buang, belum habis gue makan ya anjir.”

“Mangkanya makan tuh dihabisin, bukannya disisain kayak gitu. Jorok.”

“Ini gara-gara siapa ya anjing? Tolong sadar diri.”

Marvin mendengus dan membiarkan Hazen melakukan apapun, karena ia juga lapar butuh diisi perutnya daripada harus meladeni Hazen.

Hazen juga tak peduli, ia memilih memakan makanannya. Keduanya sibuk dengan dunia nya masing-masing, tanpa bicara hingga Marvin selesai makan duluan.

Marvin menuju ke dapur untuk mencuci piring, tak lama setelahnya Hazen juga selesai, ia berjalan ke dapur, dengan tujuan yang sama yaitu mencuci piring.

“Lama amat nyuci piringnya.”

Marvin tidak menggubris dan tetap meneruskan menggosok piringnya dengan spon yang penuh busa. Hazen bersandar pada kulkas yang terletak di samping wastafel cuci piring. Memandang Marvin yang tengah menggosok piring, gelas, serta sendok garpu bekas makanan dan minumnya.

Dasarnya Hazen memang jahil, ia pun tersenyum miring kemudian mencolekkan busa sabun colek di pipi Marvin. Marvin terkejut dan mengusap pipinya dengan punggung tangannya yang basah.

“Maksud lo apaan?”

“Lama, gue gabut nungguinnya.”

Marvin pun tak mau kalah, ia mencolekkan sabun colek ke pipi kanan Hazen.

“Heh kok sabunnya? Gue tadi cuma busa nya anjir!”

“Terserah tangan gue lah, yang penting impas.”

Hazen tidak terima, karena baginya itu tidak adil. “Impas darimananya? Gue pake busa, gak kotor banget sedangkan lo pake sabun colek, alias ini beneran kotor anjir.” Hazen pun mencolekkan sabun colek itu ke pipi Marvin.

“Zen, ngajak ribut banget sih?”

“Lama gak ribut sih, mau ribut hah?” Hazen mendongakkan dagunya, menantang Marvin.

Marvin menghela nafas lalu mematikan keran air nya. Menatap kedua manik hazel Hazen serius. “Lo nggak kuliah apa? Berangkat sana, apart ini lumayan jauh dari kampus.”

“Libur, dosen gue ada seminar.”

“Masih ngajak berantem nggak?”

“Masih.” Jawab Hazen mantap.

Tanpa aba-aba, Marvin mengunci leher Hazen kemudian mencoleki seluruh wajah Hazen dengan busa sambil terkikik.

Hazen meronta-ronta dari dekapan erat Marvin. “Kakkk, leher gue sakit ih.” Hazen dengan sekuat tenaga melepaskan diri, ketika berhasil ia membalas Marvin dan mengoleskan busa dengan brutal ke seluruh wajah Marvin.

“Wah, lo beneran ngajak gue berantem ya?”

“Kan lo yang setuju, gue jabanin lah.”

“Oke Zen, gue buat lo kapok setelah ini udah berani ngerjain gue kayak gini.”

Marvin menarik tangan Hazen sedikit menjauh dari kulkas, karena takut menyenggol nya. Marvin masih kasihan dengan Hazen jika nanti Hazen terbentur kulkas, kan sakit.

Mulailah perang busa dan sabun colek antara dua remaja laki-laki itu, sambil saling memiting dan mengunci pergerakan. Mereka memang perang, tapi sambil bermain—sepertinya. Karena Marvin dan Hazen tertawa terbahak-bahak.

“Rasain, biar muka sok kegantengan lo tertutupi busa!” Ucap Hazen sibuk mengolesi wajah Marvin dengan busa.

Mereka berdua tidak sadar, bahkan posisi mereka sudah guling-guling di lantai dapur. Untung dapurnya luas, jadi mereka tidak terpentok meja ataupun kursi. Posisi kini Hazen ada diatas, sedangkan Marvin di bawah. Hazen masih tertawa puas karena berhasil mengotori seluruh wajah Marvin dengan busa yang ada di tangannya.

Marvin memeluk pinggang ramping Hazen dan menggulirnya ke samping sehingga posisi berbalik, Hazen berada di bawah sedangkan Marvin di atas. Tangan Marvin sudah bersih dari busa, ia jadi tidak bisa membalas Hazen yang nakal ini. Enak saja hanya dirinya yang kotor, ia ingin Hazen juga sekotor dirinya. Ia memikirkan cara bagaimana membalas Hazen.

Ting

Suara ide muncul itu datang dalam benak Marvin. Ia menyeringai setelah mengunci kedua pergelangan tangan Hazen dengan satu genggaman tangannya. Mengangkat kedua tangan Hazen yang ia kunci di atas kepala Hazen.

“Anjrit kak, apa-apaan ini tangan gue ada diatas kepala gue? Lepasin gak? Gue nggak ngunci tangan lo sama sekali loh!” Protes Hazen sembari mendengus.

“Lo nakal, liat! Muka gue busa semua, muka lo masih belum sepenuh gue. Nggak adil.”

“Lo lambat, kok gue yang disalahin?”

“Mangkanya biar gue bales dendam sama lo!”

“Nggak mau, minggir atau gue tendang adek lo?”

“Eitss, nggak ada main kasar. Gue udah sabar diemin lo bertindak sepuasnya ngerjain gue ya anjir.” Marvin mengikis jarak yang ada antara keduanya, hembusan nafas Hazen terasa hangat menerpa kulitnya.

“Heh, lo mau ngapain deket-deket gue? Kak Marv!” Teriak Hazen melengoskan wajahnya ketika jaraknya dengan Marvin hanya setengah jengkal.

“Zen.” Panggil Marvin dengan suara deep baritone nya.

Jujur saja kini badan Hazen meremang hanya karena suara Marvin yang memanggilnya seperti itu.

“A-apa?”

Marvin menggesekkan pipinya di pipi Hazen sehingga busa yang menempel di wajahnya pun berpindah mengotori Hazen.

“Kak Marvinnn, anjir geli anjing kak.” Hazen tertawa kegelian karena Marvin mendusal-dusal di area pipi dan hidungnya untuk mengusap busa yang ada di wajah Marvin.

“Hahaha rasain, gue balikin nih busanya ke lo.”

“Kak sumpah geli anying, minggir sana lo.” Hazen mengibaska wajahnya ke kanan dan kiri menghindari Marvin.

“Zen diem, nanti malah salah sasaran, bodoh!”

“Gimana gue bisa diem kalo ini geli? Dongo.”

Hazen mengumpulkan tenaga kuda-kudanya ingin mendorong Marvin. Memang sih kedorong, Marvin jatuh. Tapi sialnya, Marvin menarik pinggang Hazen sehingga keduanya jatuh bersama, Hazen menindih Marvin.

Akibat dorongan Hazen yang kuat serta tarikan Marvin yang tak kalah kuat, kening Hazen pun terkantuk dengan kening Marvin. Bukan itu saja, bahkan kedua hidung bangir mereka berbenturan.

Dug

Sakit, itu yang mereka rasakan. Ngilu di kepala serta hidung yang nyut-nyutan. Pening. Mungkin karena keduanya masih menetralisir rasa sakit nya, sehingga keduanya pun tak berpindah posisi.

Hazen ingin beranjak dari atas Marvin, menggunakan kedua tangannya untuk bertumpu di lantai, namun sialnya lagi karena tangannya berbusa membuat nya tergelincir saat tangannya menyentuh lantai. Dan akhirnya ia terjatuh lagi di atas Marvin and—boom!

Jatuh dengan spot yang indah

Marvin membelalakkan matanya saking ia terkejut dengan kejadian yang tiba-tiba.

Untuk kali kedua, bibir mereka menempel. De javu, baik Marvin maupun Hazen jadi teringat kejadian 1 bulan lalu.

Dengan cepat Marvin menggulir tubuhnya, menjadikan Hazen berpindah posisi di bawahnya, mengungkungnya. Bibir keduanya sudah terlepas, namun keduanya terdiam, hanya saling menyelami kedalaman manik mata masing-masing.

Putar lagunya dulu bestie, “Dari Mata by Jaz”, mari meleyot bersama-sama T_T

https://www.youtube.com/watch?v=jieBCHsHg3A

“Zen.”

“Hm...” Gumam Hazen lirih, ia bingung mau merespon seperti apa. Dadanya sakit karena jantungnya berdetak begitu kencang, seperti menggedor-gedor ingin keluar saja jantungnya.

“Kenapa sih hobi banget nempelin bibir?”

“Dengkul lo hobi! Nggak sengaja, kecelakaan anjir.”

“Sebulan lalu, itu—first kiss lo?”

“Kepo amat, itu privasi.”

“Gue tebak itu first kiss lo.”

“Sok tau.” Hazen mengerlingkan matanya.

“Ciuman lo berantahkan, tapi lumayan.”

Hazen membelalakkan matanya. “Anyingg, lo mesum banget Kak sumpah. Pergi lo, lo berat banget sial. Sadar diri dong badan lo gede anjrit.” Hazen meronta dan mendorong-dorong Marvin, kedua tangannya menumpu tubuhnya agar bisa berdiri, namun ia salah langkah, lagi

Karena kini Hazen terpeleset dan hampir saja kepalanya terbentur lantai jika Marvin tidak segera menggulingkan tubuhnya, merubah posisi. Sehingga yang terbentur lantai menjadi Marvin, Hazen ada di atasnya.

“Kak Marv, lo tuh daritadi bolak-balikin badan gue, lo kira gue ini karung be—”

Ucapan Hazen tak terselesaikan, karena Marvin sudah membungkam mulut cerewetnya dengan bibir penuhnya. Memagut bibir semanis madu itu pelan, Hazen hanya diam.

Ketika Hazen tersadar, ia mendorong kepala Marvin menjauh, namun kedua tangan kekar Marvin lebih kuat menahan kepala Hazen agar tidak bergerak ribut.

“Gue ajarin lo cara ciuman yang nggak berantahkan, biar ntar lo nggak malu-malu amat waktu ciuman sama pacar lo.” Ucapnya di sela-sela memagut bibir Hazen.

“Brengsek.” Umpat Hazen, ia tidak diterima dibilang skill ciumannya berantahkan meski mungkin memang—iya. Ia pun meladeni Marvin dan ikut melumat bibir Marvin. Mengikuti tempo yang dimainkan oleh lelaki itu, ia ingin membuktikan bahwa dia bisa berciuman, skill nya tidak berantahkan seperti yang Marvin bilang.

Lama kelamaan keduanya terlarut dalam pagutan manis dan candu itu, sehingga keduanya pun tak berniat menghentikan untuk saling menyicipi bibir sang lawan.

Kedua telapak tangan Hazen mengusap kedua lengan berotot Marvin yang ada di bawahnya, terkadang sedikit memberi rematan kepada lengan baju Marvin untuk menyalurkan kenikmatan.

Marvin pun tak hanya diam, jemarinya mengusap tengkuk leher Hazen dan memijatnya pelan, jemari yang lain menyisir helaian rambut Hazen, menyingkirkan semua poni yang menjuntai yang menutupi wajah manis Hazen.

Keduanya memejamkan mata ketika ciuman itu sedikit berubah tempo lebih cepat. Marvin berguling ke kiri, merubah posisi menjadikan Hazen di bawahnya, ia tau Hazen lelah menyangga tubuhnya di atas.

Telapak tangannya ia gunakan untuk melindungi kepala Hazen agar tidak terbentur, tangan Hazen merambat dari meremas-remas lengan baju Marvin menjadi mengalung di leher Marvin.

Ugh, Hazen maupun Marvin sama-sama tenggelam dalam kenikmatan yang terasa begitu memabukkan bagai candu. Marvin merasa bibir Hazen sangat manis, ia pun mencoba memainkan lidahnya, mengetuk akses bibir Hazen agar terbuka lebih lebar.

Tanpa ragu, Hazen membuka mulutnya lebih lebar untuk mengizinkan lidah Marvin masuk menjelajahi rongga mulutnya, menyesap pertukaran saliva dan berperang lidah.

“Ummhh Kak Marv...”

Lenguhan pertama yang Hazen keluarkan dan Marvin dengar, membuat tubuh Marvin merinding disko dan makin kepanasan. Ia pun menyesap saliva yang mulai mengalir keluar dari sudut bibir Hazen. Ia tidak peduli itu tadi punya siapa, karena rasanya manis, jadi ia telan saja lelehan saliva itu.

“Kak, ugh—gue kehabisan nafas uummhh....” Erang Hazen menjambak helaian rambut Marvin.

Barulah Marvin melepaskan pagutannya, ia mengelap sudut bibir Hazen yang ternodai saliva dengan ibu jarinya.

Hazen di bawahnya terlihat berantahkan, matanya mengembun dan sayu, seluruh wajahnya memerah apalagi di bagian pipi, hidung dan telinga. Sedangkan bibirnya—sedikit membengkak dan basah sekali karena ulahnya.

Marvin mengusap keringat yang bercucuran di pelipis Hazen dengan punggung tangannya. “Udah selesai belajarnya, lo udah lumayan.”

Dada Hazen naik turun, ngos-ngosan meraup oksigen yang banyak. Rasanya ia ingin memukul orang brengsek di atasnya ini, tapi ia sendiri juga menikmati permainan setengah panas itu tadi. Jadi ia menahannya.

“Minggir, lo berat.” Ucapnya mendorong Marvin.

Marvin terkekeh dan menyingkir, barulah Hazen berdiri dan mencuci tangannya. Diikuti oleh Marvin.

Sebetulnya, keduanya sangat malu sekarang, Hazen juga bisa melihat kedua telinga Marvin yang sangat merah. Tapi Hazen tidak mau mengungkit apapun, karena ia pasti di ejek balik kalo ia mengejek Marvin sekarang.

Ooooeeekkkk oooooeeeeekkkkk mmmmaaaa pppppaaaaa

Marvin dan Hazen berpandangan lalu keduanya berlari bersama menuju kamar Hazen.


Tolong putar lagu ini T_T resapi liriknya bestie, niscaya anda akan meleyot gedubrak brak brak. “Takkan Kemana by The Overtunes”. Dengarkan sampai lembar terakhir ya...

https://www.youtube.com/watch?v=PnPbo6umcSc

Hevin kini sedang digendong koala oleh Marvin, sedangkan Hazen menimang-nimang sang anak dengan lelucon receh. Hevin mulai berhenti menangis, karena tepukan Marvin di punggungnya serta Hazen yang mengajaknya bercanda.

Hevin mulai tertawa melihat tingkah konyol Hazen.

Hihihikkikik mmmaaa bbuuuurrrmmmm

“Hevin turun ya? Kita bermain di lantai aja, Papa capek gendong kamu.” Kata Marvin.

Hevin mengangguk, memahami maksud sang Papa. Akhirnya Marvin menurunkan Hevin di karpet berbulu yang hangat di ruang tamu. Hazen yang sejak tadi membawakan tas berisi mainan-mainan Hevin pun ikut duduk lesehan bersama Hevin yang sedang tengkurap. Hazen mengeluarkan mainan-mainan Hevin.

“Kok mainan Hevin tambah banyak aja perasaan.” Ujar Hazen mengernyitkan dahinya melihat mainan-mainan Hevin.

“Gue beli beberapa hari lalu. Masa mainan nya itu-itu aja, dia perlu banyak mengenal banyak benda kan?”

Hazen tersenyum lebar, ternyata Marvin pengertian juga. “Iya, gue juga ada rencana mau beliin Hevin mainan, tapi lupa terus.”

Marvin mendengus dan ikut bergabung duduk lesehan, menemani Hevin dan Hazen.

“Hevin capek tengkurap ya? Mau duduk?” Tanya Hazen melihat pergerakan Hevin yang ingin bangkit tetapi tidak bisa.

Mmmmaaaa dddduuuukk

Hazen terkekeh lalu mengangkat tubuh kecil sang anak, mendudukkan tubuh mungil itu, Hazen ada di belakang Hevin sebagai sandaran sang bayi. Karena ia tau, di umur Hevin yang otw 7 bulan masih perlu sanggahan untuk bisa duduk.

Darimana Hazen tau? Dia baca dari internet tentu saja, ia sudah mempelajari apa saja tumbuh kembang sang bayi dari umur 6 bulan hingga 1 tahun. Jadi Hazen sudah bersiap untuk mengajari banyak hal kepada Hevin nantinya disaat usianya sudah mencukupi untuk belajar.

Hevin duduk bersandar pada dada Hazen, ia sedang bermain dengan Marvin yang ada di depannya. Hevin mengajaknya bermain piano. Mainan favorit Hevin karena setiap di pencet muncul suara.

Mbeeek mbeeek mbeeekkk

Suara yang keluar dari piano tersebut ketika Hevin asal memencet. Ia tertawa cekikikan mendengarnya.

Mmbbbrrrr eeekkkk mmmbbburrrrr, celotehnya dengan air liur muncrat kemana-mana.

Marvin yang ada di depannya auto mengusap wajahnya yang terciprat air suci barusan. Hazen tergelak tawa melihatnya.

“Hahaha ya ampun lucu banget, kamu kenapa hobi nyembur Papa mu kayak dukun gitu sih sayang?”

Hevin tertawa cekikikan lagi, sedangkan Marvin mengerlingkan matanya. “Hevin, kamu sekali-kali sembur Mama mu itu, jangan Papa terus. Kamu pilih kasih emang, nanti Papa nggak mau beliin kamu mainan lagi loh!”

Hihhihikikikik pppapaaa ppapaaaa hihihihik, tangan sang bayi mengudara ingin menggapai wajah Marvin.

Marvin pun memajukan wajahnya, membiarkan sang anak menyentuhnya. Ia pikir, Hevin akan menepuk-nepuk dan menampar wajahnya ternyata bukan. Bayi itu mengusap lembut wajah Marvin, seolah-olah membersihkan cipratan air liurnya tadi dari wajah sang Papa.

Hazen yang melihat itu terhenyak. Tanpa sadar ia menyunggingkan senyum nya. “Anak pintar.” Gumam nya lirih.

Marvin menatap lekat kedua manik mata belo sang anak kemudian tersenyum juga. Ia meraih tubuh mungil Hevin lalu mengangkatnya sedikit tinggi sampai atas kepala Marvin.

Menimang tubuh Hevin ke atas, ke bawah dan dilakukan berkali-kali seolah-olah Hevin sedang naik wahana Hysteria. Hevin tertawa senang diayunkan seperti itu oleh Marvin.

“Kak hati-hati, jangan kenceng-kenceng nanti pusing anaknya.”

“Iya, nggak kenceng kok.” Kata Marvin lalu berdiri, meneruskan aksinya mengangkat sang anak.

Tak hanya menaik turunkan di udara, kini Marvin mengayunkan Hevin ke kanan dan ke kiri saat ia gendong koala.

Hihihihikkk papa pppapaaa hihihi

Suara tawa riang dan senang Hevin menjadi pengisi keheningan apartemen besar itu. Hazen hanya memandang Marvin dan Hevin dengan senyuman yang lebar.

Demi Tuhan, Hazen tidak bohong. Suara ketawa Hevin yang bercampur suara tawa Marvin itu terasa menyenangkan di dengar. Bahkan Hazen saja ikut tertawa melihat itu semua.

Marvin memang berniat sekali malam ini mengajak anak itu bermain, karena kini Hevin ia naik turunkan dalam gendongan koalanya. Ketika Marvin membungkuk, maka Hevin akan ikut terlentang ke bawah, namun tubuh Hevin masih dipeluk erat oleh Marvin, sehingga bayi itu tidak jatuh.

“Kak, hati-hati.” Peringat Hazen ngeri melihat itu, dia hanya takut Hevin jatuh.

“Tenang aja Zen, Hevin aman kok.”

Hihihihkk ppaaa giiii giiii kikikik

Ternyata Hevin sangat senang diajak bermain Marvin. Sesuai permintaan Hevin, Marvin melakukannya lagi. Kali ini sembari menggelitiki perut Hevin dengan hidung mancungnya.

“Hmmm wangi banget anak ganteng.” Ucap Marvin menggelitiki perut tummy Hevin dengan hidungnya berkali kali.

Pppaaa hihihikkk bbrrrmmm papapapapa

Hazen tertawa terbahak-bahak, ia terkejut bukan main melihat sisi Marvin yang ini. Ia sangat bingung darimana Marvin belajar menimang dan bermain dengan bayi seperti ini?

“Mumumumum hmm Papa gelitikin perut kamu nanti kalo masih rewel dan nangis.”

Hihihihi pppaaaa papapapapa

“Udah-udah Kak, capek ketawa itu Hevin nya. Turunin gih, biarin main di bawah.” Hazen menghampiri Marvin lalu mengambil alih Hevin.

“Besok lagi ya mainan ekstrim nya? Nanti kamu pusing kalo lama-lama. Sekarang main di bawah aja. Oke?”

Mmmaaa mmamaaama hihihihi

Akhirnya Hevin bermain di bawah, Marvin ternyatav membelikannya poster berisi gambar-gambar Hewan dan Buah beserta namanya. Hazen membeber poster itu, lalu menunjuk satu persatu gambar dan menyebutkan namanya.

Posisi sekarang, mereka bertiga duduk bersila di lantai. Hevin ada di tengah, diapit Marvin dan Hazen. Hevin duduk dan disangga oleh Marvin dan Hazen. Marvin memeluk bahu Hevin sedangkan Hazen memeluk pinggang Marvin. Di depan Hevin ada poster gambar Hewan yang dibeber Hazen.

Hazen menunjukkan gambar beruang dengan telunjuknya. “Ini namanya Be-ru-ang. Beruang.”

Bbrrrmmmm angg anggg hihihihi

Meski Hevin tidak bisa mengejanya, namun bayi itu mendengarkan seksama setiap perkataan Hazen yang mengenalkan nama-nama hewan padanya. Marvin terkekeh saja melihat respon Hevin yang sama setiap nama hewan yang diejakan oleh Hazen.

Marvin mengambil piano mainan Hevin lalu memencet asal, keluarlah suara kucing.

meong meong meong

Hevin langsung menoleh begitu mendengar suara itu. Marvin memencetnya lagi, Hevin tergelak tawa.

“Ini suara kucing, meong meong adalah hewan kucing.” Kata Marvin menjelaskan kepada Hevin.

Hihihihikkkkk iiingggg hihihihihi

Hazen dan Marvin tertawa terbahak-bahak karena Hevin terus memencet pianonya yang mengeluarkan suara kucing.

Mbeeeekkk mbeeek mbeeeekkkk

“Nah kalo ini suaranya kambing, mbeeeekkkk itu suaranya kam???” Tanya Hazen.

inggggg bbbrrruummmm ingggg hihihhi

“Aduh aduh gemasnyaaaa, pinter banget sih anak Mama hmm, sini cium dulu.” Ucap Hazen mendekatkan bibirnya di pipi gembil Hevin, mencuri 1 kecupan di pipi kiri sang anak.

“Mau juga dong, Papa cium satu juga ya?” Marvin terkekeh lalu mendekatkan diri dan mencium pipi kanan Hevin.

Hihihihikkk ppppaaaa mmmaaaa hhmmuuuhhhhh

Marvin dan Hazen saling pandang lalu tertawa terbahak-bahak. Karena Hevin menepuk-nepuk pipinya sendiri setelah dicium Papa Mama nya.

Kemudian, Hevin sibuk dengan dunianya sendiri, berceloteh setiap suara hewan berbeda keluar dari piano.

“Zen.”

“Hm...”

Keduanya berbicara tanpa bertatapan, karena fokus keduanya tertuju kepada sang bayi yang asik bermain.

“Kita udah berbulan-bulan barengan dan gue sadar banyak hal yang berubah dalam hidup gue, sejak adanya lo dan Hevin. Lo pasti sadar kan perubahan gue akhir-akhir ini?”

Hazen menoleh, kebetulan juga Marvin sedang menatapnya. Hazen jadi sedikit gugup namun ia pasang poker face nya. “Iya, gue sadar banget. Lo—keliatan lebih warm dan banyak ketawa, sama Hevin sih. Kalo sama orang lain kayaknya lo sama aja, masih dingin.

Marvin terkekeh dan mengangguk. “Gue ketawa, senyum kalo gue emang seneng. Artinya, Hevin bikin gue seneng. Gue nggak tau kenapa, tapi tiap denger ketawanya Hevin tuh gue seneng aja dengernya dan pengen terus denger. Lo ngerasain gitu nggak?”

“Rasain kok, gue suka denger suara tawanya Hevin. Lucu, and feeling healing too liat dia ceria, ketawa, riang dan lincah bermain sana-sini. Apalagi kalo dia udah celoteh dan ngomong nggak jelas, haha itu lucu banget.”

Marvin tersenyum. “Gue mau, kita rawat dan jaga Hevin dengan benar bareng-bareng. Dia butuh Papa Mama nya, yaitu kita. Kayak kata lo, dia dibuang sama orangtuanya bahkan dititipin ke kita, gue rasa Hevin perlu kasih sayang orangtua. Kalo bukan kita, siapa lagi?”

Hazen terhenyak dengan ucapan Marvin, ini—benar Marvin kakak tingkatnya yang seperti kulkas itu bukan? Kok terasa aneh?

“Kak, lo kerasukan demit mana gue tanya?”

Marvin mendengus. “Jangan bercanda, gue serius.”

Hazen terkekeh, kemudian tersenyum lembut menatap obsidian gelap Marvin. “Iya, kita besarin Hevin bersama ya Kak? Entah nanti ortu nya inget buat ambil dia atau enggak, kita yang jadi orangtua nya sampai dia dijemput. Oke?”

Marvin menghela nafas dan mengangguk setuju. “Biar waktu yang atur semuanya, kita cukup menerima apapun yang terjadi dan jalanin dengan ikhlas. Gue nggakpapa kalo harus habisin waktu sama Hevin.”

“Gue juga. Gue—beneran sayang banget sama Hevin, Kak.”

I think me too, Hevin kayak membawa kebahagiaan lain yang entah gimana caranya gue nggak ngerti, tapi gue mulai sayang sama dia.”

Keduanya bertatapan kembali lalu saling melempar senyum.

Flo·ᴥ·

Marvin menguap lebar dan menggelengkan kepalanya, berjalan sedikit cepat menuju asramanya. Di tangan kanan nya sedang menenteng plastik indomaret yang berisi 3 pack bye bye fever.

Ia memasukkan kuncinya lalu memutar knop pintu dan masuk. Tak lupa ia menguncinya kembali. Begitu ia masuk asrama, lagu berjudul 'Melukis Senja' menyapa indra pendengarnya.

“Masih waras ternyata diputerin lagu kalem, gue kira bakalan muter musik nya One Direction.” Gumam Marvin sembari berjalan pelan menuju kamar Hazen.

Ngomong-ngomong, Marvin mengetahui kebiasaan Hazen memutar lagunya One Direction karena hampir setiap hari ia mendengar lagu-lagu One Direction diputar dari kamar Hazen jika sedang menenangkan Hevin di siang sampai sore hari. Tadinya Marvin ingin memarahi Hazen, karena itu melanggar aturan asrama, dimana mengganggu kedamaian karena berisik.

Tetapi mengingat tujuan Hazen memutar musik untuk apa, ia mengurungkan niatnya untuk memarahi Hazen. Karena bagaimanapun juga, dirinya tidak bisa membuat Hevin diam, hanya Hazen yang bisa.

Tok tok tok

“Zen, ini bye bye fevernya, gue taruh di gagang pintu kamar lo ya?”

Belum sampai Marvin mengalungkan plastik indomaret itu di gagang pintu, pintunya pun terbuka dan menampilkan sosok Hazen yang menggendong Hevin dengan kompresan kain dingin di kening si bayi serta Hevin yang masih menangis meski tidak keras.

“Siniin.” Ucap Hazen mengulurkan tangan kanan nya.

Marvin memberikan plastiknya. Hazen mengangguk dan tersenyum tipis. Marvin memperhatikan raut wajah Hazen yang terlihat sekali bahwa lelaki itu sangat mengantuk, kedua matanya sayu, rambutnya sedikit acak-acakan. Khas orang bangun tidur paksa sekali.

“Makasih kak Marv.” Ucap Hazen lalu menutup pintu kamarnya setelah mendapat anggukan dari Marvin.

Marvin masih setia berdiri di depan pintu kamar Hazen, terdengar suara tangis Hevin dan juga suara Hazen yang mencoba menenangkan Hevin.

“Sebentar ya sayang, habis ini nggak sakit lagi oke? Kakak punya ramuan ajaib nih, kak Marvin tadi beliin kamu plester demam. Semoga cepat sembuh anak baik.” Ucap Hazen sayup-sayup yang dapat didengar Marvin meski sedikit teredam lagu Melukis Senja.

Marvin mengacak rambutnya, dalam hati jujur saja ia sangat kasihan melihat Hazen menjaga Hevin sendirian seperti ini. Apalagi dua minggu ini, Hazen terlihat sangat kelelahan, namun anak itu tidak mengeluh kepada Marvin. Hanya bilang suruh jagain Hevin ketika Hazen sedang sibuk atau ada urusan, padahal tanpa Hazen minta, Marvin sadar diri jika Hazen sibuk maka dirinyalah yang akan menggantikan peran Hazen untuk Hevin.

“Duh, gimana ya? Gue mau bantuin, tapi nggak tau gimana cara ngomongnya.” Batin Marvin ribut dan menggerutu.

“Udahlah, dia nggak minta tolong juga ke gue, berarti dia bisa sendiri.” Monolog nya dan bergegas masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Oooeekkk ooeekkk ooooeekkk

Marvin yang sudah terbaring di kasurnya namun enggan menutup mata pun gelisah mendengar suara tangis Hevin yang tak kunjung reda.

“Bayi kalo sakit emang nyusahin ya anjir, udah dikasih obat tetep aja nangis.” Gerutu Marvin menutup kedua telinganya dengan bantal yang ia himpitkan di kedua telinganya.

Ooooeeekkk oooeeekkk oooeeekkk

“Arghhh, Hevin bisa diem nggak sih?” Jeritan hatinya meraung-raung.

Marvin beranjak dari rebahannya, kemudian membuka pintu kamar. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, ia langsung membuka pintu kamar Hazen. Saking fokusnya Hazen menimang-nimang Hevin sembari mengipasi bayi itu dengan buku, bahkan Marvin masuk pun Hazen tidak dengar.

Posisi saat ini, Hazen memunggungi Marvin, menghadap ke jendela kamar yang Hazen buka tirainya untuk melihat langit yang masih gelap. Lagu memang masih terputar dari bluetooth speaker milik Hazen, namun suara merdu Hazen lebih mendominasi menyanyikan lirik lagu 'Risalah Hati'.

Seperti biasa, putar lagu di bawah ini sampai lembar terakhir, mari menikmati suasana yang tercipta. “Risalah Hati by Dewa 19”

https://www.youtube.com/watch?v=SjFxNgmh-D8

Sembari menepuk-nepuk pantat Hevin dan menimang, menggoyangkan pelan ke kanan dan ke kiri, bibirnya menyanyikan lagu. Membuat Hevin perlahan memelankan tangisnya.

Jiwaku berbisik lirih Ku harus milikimu

Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku Meski kau tak cinta kepadaku Beri sedikit waktu Biar cinta datang karna telah terbiasa

Marvin masih mematung di belakang Hazen, dekat pintu kamar lebih tepatnya. Bahkan pintu kamar Hazen belum ditutup oleh Marvin. Berapa kalipun Marvin mendengar suara Hazen saat bernyanyi, sebanyak itu pula juga ia mengagumi suara Hazen. Seperti sekarang, tak hanya Hevin yang tersihir nada melankolis yang dinyanyikan Hazen, melainkan Marvin juga ikut tersihir.

“Ssst ssstt tidur ya anak Mama yang baik, nanti sakitnya sembuh kalo Hevin cepet tidur. Oke?”

Cup ; Hazen mencium kening Hevin yang tertempel plester demam. “Get well soon, Hevin.”

Marvin membelalakkan matanya melihat dan mendengar itu semua. Demi Tuhan, Hazen yang berucap lembut dan teduh, menyebut dirinya sebagai Mama, ditambah dengan kecupan singkat kepada Hevin membuatnya terhenyak. Hatinya bergetar aneh, perutnya tergelitik seperti ada kupu-kupu terbang di dalam sana.

Lelaki itu sibuk dengan pikirannya, sampai ia tak sadar jika Hazen sudah berbalik badan dan ikut kaget melihat Marvin yang berdiri dekat pintu kamarnya.

“Kak Marvin?”

Barulah Marvin tersadar dan mengerjapkan matanya. “Huh?”

Hazen menghampiri Marvin, digendongannya masih ada Hevin yang sesenggukan namun sudah memejamkan mata. “Kakak ngapain disini? Masuk kamar tanpa ketok pintu pula.” Bisiknya lirih, takut membangunkan Hevin.

“Errr—gue nggak bisa tidur karena suara tangisnya Hevin kenceng dan kedenger sampe kamar gue.”

“Um, maaf ya kak, lo pasti keganggu banget. Tapi Hevin emang susah buat diem karena sakit.” Hazen memasang wajah merasa bersalahnya, jujur saja ia tidak enak dengan Marvin. Laki-laki yang lebih tua darinya ini pasti lelah, Hazen tau seberapa banyak tugas-tugas Marvin.

“Nggakpapa, mata lo—menghitam. Lo perlu tidur.”

“Hevin belum tidur nyenyak, gue nggak bisa tidur gitu aja. Lagian ini udah pagi juga, nanggung.”

Marvin melirik jam dinding di kamar Hazen. “Masih jam 4, lo bisa tidur sampe jam 6. Lo masuk jam 7 kan?”

“Iya.”

“Ya udah lo tidur aja, biar gue yang gantian jagain Hevin.”

“Emang lo bisa? Nanti kalo dia nangis lagi gimana coba?”

Marvin mengerlingkan matanya. “Ngeremehin gue, lo?”

“Nggak ngeremehin, ya lo liat aja selama ini. Yang diemin dia siapa? Gue kan?”

“Belagu, sini biar gue gendong aja. Lo tidur sana.” Ucapnya sembari mengambil alih Hevin dari gendongan Hazen.

Baru saja Marvin mengangkat tubuh Hevin dari tangan Hazen, bayi itu membuka mata lagi dan menangis.

Oeeeekkkk ooooeeekkk ooooeeeekkk

“Tsk, tuh kan! Dibilang Hevin cuma mau diem kalo sama gue. Lo sih ah ganggu dia, jadi kebangun anaknya.” Gerutu Hazen dan menarik tubuh Hevin lagi ke dalam pelukannya, menjauh dari Marvin menuju kasurnya. Duduk disana sembari menimang ke kanan dan ke kiri, menepuk-nepuk pantat Hevin.

Marvin menghela nafas, apa salahnya? Kenapa Hevin tidak mau disentuh dirinya? Padahal kalau tidak sedang rewel, Hevin selalu menempeli Marvin. Jika sudah rewel begini, maunya cuma sama Hazen.

“Dasar bocil, pemilih.” Batin Marvin dan menghampiri Hazen, ikut duduk di kasur.

“Ngapain lo masih disini? Lo balik ke kamar aja, tidur. Lo pake earphone aja biar nggak kedengeran suara Hevin.”

“Gue bantuin, nggak usah banyak bacot.”

“Bantuin ngapain anying? Lo cuma diem dan duduk liatin gue doang. Lo kata itu bantuin?”

Marvin mendekati bluetooth speaker Hazen. “Puter lagu yang tadi lagi cepet.” Ucapnya mengulurkan ponsel Hazen.

“Lagu mana? Gue muter banyak lagu dari tadi.”

“Yang lo nyanyiin ini tadi, pas Hevin udah mulai nggak nangis.”

“Risalah Cinta?”

“Nggak tau judulnya gue, kayaknya itu kali.”

“Lo buka sendiri ajalah anjir, hp gue nggak ada sandi nya.”

“Ini barang privasi, gue nggak mau ngutak-atik barang penting punya orang.”

Hazen menghela nafas. “Nggak ada yang aneh-aneh, hp gue aman, bersih dan suci. Udahlah lo buka aja di playlist youtube gue yang judulnya Healing and Relaxing.”

Marvin menurut saja karena ia sudah mendapatkan izin. Hazen memang membuat playlist healing nya dari youtube, karena ia suka memasukkan lagu-lagu cover orang lain atau bahkan memasukkan coveran Golden Boyz ke dalam playlist healing.

Maka terputarlah lagu Risalah Hati.

“Kontribusi lo apaan? Muterin lagu doang?”

“Lo nyanyi lagi, dan soal kontribusi gue apaan biar gue yang atur. Yang penting Hevin denger lo nyanyi lagi biar tidur.”

Hazen mendengus namun ia tak membantah, ia menyanyikan lagu Risalah Hati. Marvin memang tidak tau judul lagu ini, tetapi ia sering dengar ketika pergi keluar atau nongkrong bersama teman-temannya.

Jadi ia cukup familiar bagaimana nadanya, ia membuka ponselnya untuk mencari lirik lagu tersebut di google.

Hidupku tanpa cintamu Bagai malam tanpa bintang Jiwaku tanpa sambutmu Bagai panas tanpa hujan Jiwaku berbisik lirih Kuharus milikimu

Hevin masih menangis namun sudah tidak sekencang tadi, sedikit memelan tetapi belum berhenti tangisannya.

Saat Hazen melanjutkan menyanyi bagian reff, ia sedikit terhenyak karena Marvin ikut bernyanyi. Suara bariton dan countertenor pun menyatu membentuk harmonisasi indah. Hazen terkejut sih, tapi ia tetap melanjutkan menyanyi bersama dengan Marvin.

Aku bisa membuatmu Jatuh cinta kepadaku Meski kau tak cinta kepadaku Beri sedikit waktu Biar cinta datang karena telah terbiasa

Hingga lagu berakhir, Marvin dan Hazen bernyanyi bersama. Benar-benar ajaib, Hevin sudah tidak menangis, tinggal sesenggukan kecil namun matanya sudah menutup, nafasnya mulai teratur.

Hazen mengelap sisa air mata Hevin di pipi gembilnya dengan ibu jari. “Tidur yang nyenyak malaikat kecil, jangan sakit ya? Semoga besok Hevin sudah sehat dan tertawa lagi kayak biasanya.” Bisik Hazen lirih, namun dapat didengar Marvin tentu saja.

Kemudian Hazen menidurkan Hevin di atas kasurnya, tepat di tengah agar tidak jatuh.

Hoammmm

Hazen menutup mulutnya dan menguap, kedua matanya berat, ingin sekali tidur.

“Hevin udah tidur, lo bisa balik ke kamar dan tidur juga kak.”

Marvin mengangguk dan berdiri dari kasur, namun—

Oooeekkk ooooeekkk pppaa ppaaa oooeekk

Hazen terkejut tentu saja, Hevin membuka matanya lagi, tangannya mengudara dan menatap Marvin sembari menangis.

“Loh kok bangun lagi? Kenapa sayang?” Tanya Hazen dan menggendong Hevin lagi.

Pppaa papa oooeekkk

Marvin dan Hazen saling menatap.

“Um kak, kayaknya Hevin pengen lo gendong deh.”

“Tapi ntar kalo nggak bisa diem gimana?”

“Coba aja dulu, dia yang minta digendong sama lo duluan. Siapa tau dia mau diem karena lo gendong kan?”

Marvin menghela nafas dan mengambil Hevin dari tangan Hazen. Menggendong sang anak dan menepuk-nepuk lembut punggungnya. “Jangan nangis anak baik, ayo merem. Kasian Kak Hazen nya harus bobok juga, tapi kamu nangis terus jadi gak bisa bobok Kak Hazen nya.”

Hazen terkekeh, pengucapan Marvin sudah sedikit berubah. Dulu-dulu, ia memanggil Hevin dengan 'lo – gue', tapi lihat sekarang. Sudah pake kakak kamu an.

“Ketawa lo? Apanya yang lucu?” Sinis Marvin saat mendengar kekehan Hazen.

“Lo yang lucu kak. Hahaha agak cringe diliat tapi ngademin juga. Jangan galak-galak sama Hevin seterusnya, biar dia nggak takut sama lo.”

Marvin diam dan memilih menenangkan Hevin lagi. Anak itu masih menangis, menatap Hazen.

Mama mamamamamam hiks hiks hiks

“Kenapa? Mau digendong Mama?” Tanya Marvin.

Hazen mendengus, ia memang sudah biasa memanggil dirinya sendiri Mama di depan Hevin, tapi kalau Marvin yang memanggilnya begitu, Hazen jadi merinding dan ingin muntah.

Papa papapapapa hiks hiks hiks

“Jadi gimana? Mau sama Papa atau Mama?” Tanya Marvin lagi.

Demi Tuhan, Hazen mendadak ngilu mendengar Marvin berbicara seperti itu. Like—how strange to hear, makes Hazen's stomach feel like it's churning. Tapi Hazen memilih diam demi Hevin, karena anak itu memang suka sekali mendengar Hazen dan Marvin memainkan peran Mama Papa saat bersamanya.

Dasar bayi nakal

Mama Papa Mama Papa hiks hiks

“Mau sama Papa Mama sekaligus?” Tanya Hazen kali ini.

Hevin menangis sesenggukan dan mengangguk lemah. Perlu diketahui, bayi mulai umur 6 bulan sudah mengerti sedikit-sedikit apa omongan maksud orang meski tidak bisa menjawab secara signifikan. Maka Hevin hanya meresponnya dengan mengangguk dan menangis sesenggukan.

“Kak, gimana ini?”

Sebelah alis Marvin terangkat. “Gimana apanya?”

“Ishh ya ini loh, Hevin nggak mau ditinggal kita berdua. Maunya ada kita berdua.”

“Ya udah.”

“Maksud lo ya udah? Please yang jelas, jangan ambigu.”

Marvin memijat pangkal hidungnya. “Ya udah, kita disini aja sama Hevin. Gue nggak balik ke kamar, lo juga tetep disini. Paham?”

“Hah? Gimana-gimana? Trus kita mau ngapain? Diem doang?”

“Duh, lo kalo bego jangan pagi-pagi gini dong. Gue jadi pengen jorokin kepala lo ke dinding anjir.”

“Ya habisnya mau ngapain disini?”

“Buat Hevin tidur lah, masih pake nanya!” Marvin emosi jadinya, Hevin makin nangis kejer.

Ooooeekkkk oooeeeekkk mmaaaama pppaapapa oooekkkk

“Sssttt Hevin sayang, kita nggak kemana-mana kok. Liat, Papa Mama disini. Oke? Bobok yuk, jangan nangis terus. Nanti demam nya nggak turun-turun.” Ucap Hazen mengambil alih Hevin dari gendongan Marvin.

Hazen membawanya ke kasur lalu menidurkan Hevin disana. Hazen ikutan tiduran di samping Hevin dan memiringkan tubuh menghadap Hevin, menepuk-nepuk perut Hevin serta mengelus kepala sang anak.

Sedangkan Marvin masih berdiri seperti patung buddha di tempat yang tadi.

Papa pppa papapa hiks hiks hiks

“Ish Kak sini, ngapain berdiri kayak patung pancoran disitu sih? Hevin nggak berhenti nangisnya ini loh.”

“Sina-sini, gue mau lo suruh dimana?”

“Ya di kasur sini sama gue dan Hevin. Mau dimana lagi?”

“Anjing, itu sempit bodoh tempatnya. Mana muat?”

“Muat, jangan banyak cingcong deh, sini buruan. Baringan tuh di samping kanan Hevin. Masih sisa, muat kan tubuh lo tiduran miring disana?”

Marvin tampak mempertimbangkan permintaan Hazen.

“Yaelah kelamaan mikir lo kak, kayak disuruh mikir mau jatuhin hukuman ke pidana aja.”

Marvin melirik Hazen dan mengerlingkan matanya malas. “Bacot, lo agak minggir dikit, sekalian Hevinnya juga. Gue nggak muat kalo segitu doang. Samping lo masih lebar juga lagian.”

“Iya iya bawel.” Hazen menggeser tubuhnya sedikit, Hevin yang masih menangis meronta-ronta pun ia tarik juga agar Marvin bisa menyelinap bergabung tiduran di kasur single itu.

“Udah.”

Marvin mengangguk lalu ikut bergabung ke atas kasur. Menghimpit Hevin di tengah-tengah. Marvin di sebelah kanan menempel dinding sedangkan Hazen sebelah kiri menempel nakas.

Ooeeekk oooeeekkk tuuu tuuu hiks hiks

“Apa? Kamu laper?” Tanya Marvin.

Tuuu tuuuu hiks tuu hiks hiks

“Dia bilang mau susu. Laper dia, wajar kalo sakit jadi laper gini. Bentar, gue bikinin susu sebentar.” Ucap Hazen kemudian keluar dari kamar menuju dapur untuk membuatkan susu.

“Sebentar ya, susu nya masih dibuatin Mama.” Kata Marvin menepuk-nepuk kepala Hevin.

Pappppapapapapa hiks hiks hiks

“Iya, Papa disini.”

Marvin terkekeh geli, ia menyebut dirinya sendiri sebagai Papa. Terasa—aneh namun familiar dan terdengar menggemaskan baginya.

Tak lama, Hazen datang dengan sebotol susu formula hangat dan kembali berbaring miring di samping Hevin. “Ayo buka mulutnya anak ganteng, makan dulu biar cepet sembuh.”

Begitu Hazen menyodorkan dot ke mulut Hevin, anak itu langsung meraup dot nya dan menegaknya rakus. Marvin dah Hazen terkekeh bersama melihat Hevin yang kelaparan.

“Laper banget kayaknya.” Kata Marvin.

“Iyalah, nangis sejak jam 3 pagi, abis tenaganya buat nangis jadi laper, ditambah kesehatannya ngedrop gini.” Jawab Hazen menanggapi.

Hevin meredakan tangisnya, karena Hazen masih terus menepuk perutnya sedangkan Marvin menepuk pucuk kepala Hevin. Perlahan, deru nafas Hevin teratur, kedua matanya sayup-sayup mulai menutup namun bibirnya masih aktif menyesap dot nya.

Barulah Hazen dan Marvin menghela nafas lega.

“Masih jam setengah 5, lo tidur aja. Masih sempet tuh tidur sampe jam 6.” Ucap Marvin lirih kepada Hazen.

“Emang lo nggak tidur? Lo bisa balik ke kamar lo sekarang dan tidur juga.”

“Nggak usah, gue nggak ngejamin Hevin nggak nangis lagi. Dia nggak sehat, pasti dia ngerasa ngapa-ngapain nggak enak. Kalo lo tidur, gue tidur, siapa yang mau nenangin dia?”

“Iya juga ya. Gue rebahan aja, kalo nanti ketiduran ya syukur kalo nggak bisa tidur yaudah, gue tidur di perpustakaan ntar.”

“Terserah lo.”

Tanpa merubah posisi yaitu memiringkan tubuhnya untuk memegangi dot Hevin, Hazen menutup kedua matanya. Sehingga kini posisi Marvin dan Hazen saling berhadapan.

“Zen.”

“Hmmm.” Gumamnya tanpa membuka mata.

“Gue aja yang pegang dot nya, lo mana bisa tidur kalo tangan lo masih megang dot?”

Hazen membuka matanya, menatap Marvin yang kini menatapnya juga. “Bisa, lo tidur juga kak. Lo capek, gue tau itu. Kalo Hevin kebangun, kita pasti kebangun kok. Tidur ya?”

“Nggakpapa, gue nggak ngantuk.”

“Tsk, batu banget dibilangin. Terserah lo aja deh.” Hazen menutup matanya kembali.

Marvin menepuk-nepuk perut Hevin memakai tangan kanan nya sedangkan tangan kirinya menepuk kepala Hevin. Bayi itu tertidur pulas karena afeksi Marvin yang banyak. Marvin menatap wajah Hazen yang ada di depannya, tidak terlalu dekat namun cukup dekat menurutnya.

“Zen, lo—pernah nggak merasa nyesel dan pengen udahan buat rawat Hevin yang ngerepotin kayak gini?”

Ternyata Hazen belum tidur, karena ia menjawab pertanyaan Marvin meski tidak membuka matanya. “Nggak, gue nggak pernah ngerasa nyesel buat jagain Hevin. Capek iya, tapi gue nggak keberatan sama sekali.”

“Kenapa gitu? Bukannya lo awalnya juga marah waktu dia datang?”

“Emang, tapi itu dulu sebelum gue tau kenyataan bahwa Hevin nggak diinginkan orangtua nya. Waktu liat Hevin ketawa, nangis, senyum, bahkan celoteh nggak jelas, itu ngebuat gue kek ngerasa udah kewajiban gue buat jagain Hevin. Cuma gue yang bisa selametin anak ini dari pahitnya dunia. Intinya, gue ikhlas lakuin semua ini buat Hevin.”

Marvin tidak menjawab, membuat Hazen membuka mata. “Kapan gue bisa tidur kalo lo ajakin ngomong terus?”

“Maaf, lo lanjutin tidurnya. Gue diem.”

Hazen mengangguk lalu menutup kedua kelopak mata cantiknya lagi. Sedangkan Marvin masih sama seperti tadi, menepuk-nepuk serta menatap Hevin yang tertidur pulas.

“Lo bener-bener orang yang tulus Zen, lo mengajari gue banyak hal, padahal ini masih belum genap 2 bulan lo tinggal disini, tapi gue udah banyak dapat hal baru dari lo. Gue ngerasa dunia emang gila, nggak ada angin nggak ada hujan, tetiba kehidupan gue yang sunyi, tenang dan damai pun berubah dalam sekejap mata menjadi—ramai karena lo. Dan lebih gilanya lagi, sekarang ada Hevin yang bergabung sama kita di asrama ini. Gue kira, gue bakalan gila dan depresi hidup satu atap sama lo dan Hevin. Ternyata—nggak sampe kayak gitu. Sadar atau enggak, gue mulai terbiasa dengan adanya lo dan Hevin, dengan keributan dan keramaian karena ulah kalian berdua. Tadinya gue emang kesel, merasa pengen marah. Tapi nggak bisa, gue nggak tau kenapa. You two changed my situation in my daily life during this time.”

“Terimakasih Hazen, lo udah beri gue gambaran dan ajarin gue apa itu ketulusan dan ikhlas. I promise from now on, lo nggak sendiri lagi buat jagain Hevin. Gue—ada bersama lo untuk membesarkan Hevin bersama-sama.”

Beberapa menit, suasana pun sunyi. Deru nafas teratur Hazen dan Hevin menjadi satu-satunya suara yang didengar Marvin. Ia menatap wajah Hazen yang sudah menuju alam mimpinya. Marvin hanya menatap wajah tidur Hazen tanpa melakukan apapun lagi, tangannya masih stay nangkring di atas perut dan kepala Hevin.

Hingga 5 menit berjalan menatap Hazen, entah bagaimana Marvin juga ikut memejamkan matanya. “Sleepwell Hazen, Hevin.” Gumam nya lirih dan menutup matanya sempurna. Bergabung ke alam mimpi bersama Hevin dan Hazen.


Sinar matahari masuk melalui celah jendela, Marvin yang mudah peka dengan sinar matahari pun perlahan membuka matanya. Perlahan, kedua obsidian gelap itu terbuka lebar. Ia melihat jam dinding menunjukkan pukul 5.50 WIB.

Marvin melirik ke samping untuk melihat Hevin. Bayi itu masih tertidur pulas sampai bibirnya terbuka, dot nya sudah tidak ada entah kemana, sepertinya menggelinding di samping Hazen sana. Marvin terkekeh melihat Hazen dan Hevin yang masih tidur pulas.

Yang bayi Hevin, tapi setelah Marvin amati, tak hanya Hevin yang lucu dan menggemaskan ketika tidur.

Hazen, juga terlihat seperti bayi saat tidur. Wajahnya polos, damai dan meneduhkan. Tidak terlihat rese', tengil, jahil, berisik seperti saat membuka mata.

“Dasar bayi besar.” Gumam Marvin.

Ketika ia ingin bangun dari tempat tidur, ia merasa ada yang aneh. Ada yang menahannya untuk bangkit dari kasur. Ia pun melirik tangannya dan—boom.

Marvin terkejut bukan main. Karena ternyata, tangan kanan nya sedang bergenggaman dengan tangan kiri Hazen di atas perut Hevin. Sedangkan tangan kirinya yang ada di atas kepala Hevin pun sudah pindah di atas bantal yang digunakan Hazen, parahnya lagi telapak tangan kiri Marvin ditindih oleh telapak tangan kanan Hazen.

Wow, posisi bagun tidur macam apa ini? Marvin sungguh tercengang, kalau saja Hazen melihat posisi mereka yang seperti ini, apa tidak teriak heboh itu Hazen nya?

“Duh, kenapa bisa gini deh? Perasaan tadi sebelum gue merem nggak ada kayak gini.”

Marvin pun perlahan menarik kedua tangannya yang digenggam dan ditindih tangan Hazen. Namun saat baru saja bergerak, Hazen malah mengeratkan genggamannya dan bergumam tidak jelas.

“Bentar Bun, 5 menit lagi.” Gumam Hazen begitu lirih seperti bisikan.

“Bun? Lah? Ini anak ngigo gue Bundanya?”

“Zen, udah jam 6. Bangun, nanti lo telat ke kampusnya.” Ucap Marvin mengguncang kaki Hazen dengan kaki nya.

“Tsk, bentar Bun, Hazen masih ngantuk.” Erangnya manja.

Marvin melongo, apa-apaan itu tadi? Apa baru saja ia mendengar rengekan manja seorang Hazen?

“Ban bun ban bun, Hazen bangun kebo!!” Ucapnya mendorong betis Hazen keras hingga Hazen berubah posisi menjadi terlentang dan hampir jatuh.

Hazen yang kaget karena hampir jatuh pun membuka matanya, bersamaan dengan Hevin yang menangis.

Ooooekkk oooeeekkk ooooeeekkk

“Astaga, kepala gue pusing anjirrrrrr.” Teriak Marvin frustasi.

“Anjing kak, gue mau jatuh gedubrak di lantai loh ini. Kasar amat sih bangunin orang?”

Ooooeekkkk ooooeeekkk oooooeeeekkkk

“Aduh aduh maaf ya Hevin sayang jadi kebangun, salahin Papa mu tuh yang berisik banget pagi-pagi.” Ucap Hazen menggendong Hevin.

“Berisik pala lo, udah jam 6. Lo kan kuliah pagi bego!”

“Tapi kan bisa bangunin yang baik-baik dan kalem biar Hevin nggak kebangun!”

“Kalem tuh gimana? Cium bibir lo gitu maksudnya?”

Hazen melongo. “Mesum lo anjingg, keluar lo dari kamar gue!” Ucapnya memukuli Marvin dengan bantal.

“Orang gila!” Maki Marvin dan segera lari keluar dari kamar Hazen.

Hazen menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya sebanyak 3 kali.

Hihihihi bbrrmmmm maammmaaamama

Suara tawa Hevin mengalihkan atensi Hazen. “Loh kok ketawa? Tadi kan masih nangis?”

Kikikiiikkk papapapapaaaa mmammmamamam hihihihi

Hazen menepuk jidatnya, Hevin sepertinya sudah gila. Bisa-bisanya dia berhenti menangis setelah melihat dirinya dan Marvin saling maki dan teriak.

Di sisi lain, Marvin pun merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamar. “Aneh, bener-bener aneh.”

“Jantung gue deg-deg an, bangsat.”

Flo ´•ᴥ•`


Seperti janji, kini Raden sedang menunggu Hazen selesai dengan kelasnya di parkiran kampus Neo Dream. Raden sudah hafal yang mana si babon alias motor KLX hijau milik Hazen, bahkan helm full face nya Hazen saja, Raden hafal sekali. Oleh karena itu, ia menunggu sembari duduk di atas motor Hazen.

Tadi Raden sudah mengirim pesan kepada Hazen, mengabari jika dirinya sudah menunggu di parkiran. Hazen bilang, kelasnya akan selesai 15 menit lagi.

Raden melihat layar ponselnya, jam menunjukkan pukul 10.55 WIB, artinya 5 menit lagi, kelas Hazen sudah selesai. Sembari menunggu Hazen datang, Raden melihat-lihat isi galeri ponselnya, kemudian tersenyum, terkekeh, terkadang tertawa cekikikan, dan terkadang menghela nafas sendu.

Jika kalian ingin tau apa yang dilihat Raden, ia sedang melihat foto-foto Hazen yang ia jadikan folder dalam galerinya, menamainya dengan Beruang Madu. Itu Rahasia, tentu saja tidak ada yang tau kecuali dirinya, Raden mengunci akses masuk ke galerinya, sampai-sampai Hazen pernah mengira jika Raden koleksi video bokep.

Darimana Raden mendapatkan foto-foto Hazen? Tentu saja hasil pap dari Hazen sendiri yang selalu dikirimkan ke Raden. Ada hasil dari paparazzi Raden sendiri, dan juga ada hasil mencuri dari sosmed-sosmed Hazen. Instagram dan Twitter contohnya.

Katakan Raden gila, tapi yang namanya sedang jatuh cinta, bukankah menyimpan foto orang yang dicintai itu wajar kan? Apalagi jika ia mendapatkan foto itu langsung dari orangnya? Jadi Raden tidak salah, bukan penguntit atau psikopat. Ingat itu.

“Hahaha anjir, kenapa lo lucu banget sih? Tsk, pengen cubit pipi lo deh.” Ujarnya ketika melihat foto Hazen yang sedang makan sampai pipinya mengembung.

Darrr

“Anjingggg.” Teriak Raden reflek dan ponselnya pun terjatuh tengkurap. Ia menoleh ke samping, ternyata pelakunya setan kecil; siapa lagi jika bukan Hazen?

“Hahaha dih kok ngegas? Liatin apa hayoo, kok ketawa-ketawa?”

“Kepo deh.”

Hazen melihat ke bawah, melihat ponsel yang tergeletak tak berdaya, ber case tokoh kartun moomin. Hazen inisiatif menunduk ingin mengambilkan, tetapi belum sempat Hazen menggapai ponsel itu, Raden sudah mengambilnya dan memasukkan ke dalam saku blazer nya.

“Kenapa sih? Nggak gue curi juga hp lo.”

“Ya kenapa sih? Orang gue pengen ngambil hp gue doang.”

Hazen memicingkan matanya. “Curiga nih gue, lo lagi liatin konten aneh-aneh ya?”

Plakk

“Anjrit kok dipukul sih?” Protes Hazen mengusap lengan kirinya yang baru saja dipukul Raden.

“Mulut lo dijaga mangkanya kalo ngomong, gue cuma liatin foto-foto anak beruang di instagram tadi.”

“Gue heran deh, lo tuh sukanya sama beruang, tapi barang-barang lo serba moomin? Moomin kan kudanil.”

“Suka-suka gue lah. Lagian nih ya, Moomin tuh peri, bukan kudanil!”

“Peri darimananya sih? Kagak ada sayap, peri mah langsing semua, nah itu gembrot amat.”

“Lo kok Moomin rasisme sih?”

Hazen tergelak tawa, sumpah demi apapun Raden itu lucu. Dia bisa sekesal dan semarah ini hanya karena Hazen menggodanya dengan menjelekkan Moomin.

“Ya Tuhan, Raden.... lo kok lucu banget sih? Hahaha gemes deh.” Ucapnya mencubit hidung Raden dan menariknya.

“Aaaaaa Hazen gendeng, gue nggak bisa nafas pekok!” Teriaknya memukuli punggung tangan Hazen berkali-kali.

Hazen masih tertawa terbahak-bahak, tak lama setelahnya ia melepaskan tangannya dari hidung Raden. “Biar makin mancung kayak pinokio.”

“Orang gila, kalo gue mati, gue tuntut lo ya bangsat.”

“Masih hidup kan? Berarti nggak jadi dituntut.”

Raden mengerlingkan matanya lalu berdiri dan menyingkir dari motor Hazen. “Ayo cepat, udah panas banget ini mah.”

“Nggeh ndoroo.” Kata Hazen dan memakai helm full face nya. Raden juga memakai helm nya.

“Mari naik ndoro.”

Sekali lagi, Raden memukul bahu Hazen. “Brisik, gue lakban juga ya mulut lo lama-lama.”

Hazen terkekeh di balik kaca helm nya. Kemudian motor KLX 250 itu melaju keluar area kampus menuju kediaman Tuan Kaisar—rumah Hazen.


Hazen melepas helm nya kemudian menyisir rambutnya menggunakan jari-jarinya sembari bercermin. Raden yang sudah turun dari boncengan Hazen hanya mengerlingkan matanya. Padahal dalam hatinya sudah berantahkan melihat Hazen seperti itu. Karena apa? Cakep kebangetan, hati Raden berantahkan.

Sialan, maksud lo apaan Hazen bangsat? Lo mau bikin gue mati berdiri atau gimana sih? Sok cakep banget anjing.”

Itu suara hati Raden yang menjerit kesal, namun juga senang mendapat pemandangan se indah itu di depan matanya. Kalau kata Raden, Hazen itu kayak sprite; nyatanya nyegerin.

“Woi Den, bengong-bengong bae. Ayo masuk.” Ucap Hazen melambaikan tangan nya di depan wajah Raden.

Raden mengerjapkan matanya dan menatap Hazen. “O-oh maaf, ayo.”

Kemudian kedua anak adam itu berjalan menuju pintu rumah besar dan mewah ini.

Benar kata Hazen, Ayah dan Bunda nya ada di rumah. Karena begitu Hazen memencet bel rumah, Bunda nya lah yang membukakan pintu, lalu langsung memeluk erat sang putra.

“Hazen anak Bunda, kok nggak bilang-bilang kalau pulang, nak?”

Karena teriakan sang Bunda, maka Ayah nya yang tengah bersantai di ruang tamu pun kaget dan menghampiri sang istri.

“Loh, Hazen kok tumben pulang? Udah dua minggu ini kamu nggak pulang.” Kata sang Ayah.

Hazen meringis lalu merenggangkan pelukannya dengan sang Bunda. “Iya maaf Bun, mendadak soalnya.”

“Hehe, maaf Yah, lagi hectic banget, jadi nggak sempet pulang.”

Bunda dan Ayah tersenyum saja, kemudian sang Bunda melirik ke belakang tubuh Hazen. “Eh, ada Raden juga.”

Raden melongokkan kepalanya dari belakang Hazen, karena jujur saja Hazen ketinggian, jadi tubuh kecilnya sampai tertutupi. “Hehe, selamat siang Bunda.”

“Siang Raden, ayo masuk dulu. Panas-panas begini mending ngadem di dalem.” Ucap Bunda.

Raden mengangguk saja lalu mengekori Hazen dan kedua orangtuanya masuk ke dalam rumah.

“Kalian belum makan siang kan?” Tanya Bunda.

Hazen dan Raden kompak menggelengkan kepala.

“Makan dulu gih, Bunda udah masak. Mumpung Raden disini, Bunda mau buatin puding coklat kesukaan kamu ya?”

“Eh Bunda nggak perlu repot-repot, aku sama Hazen setelah ini mau keluar kok.”

Kaisar yang duduk sembari menyesap teh herbalnya memicingkan mata. “Panas-panas gini mau kemana? Enak juga istirahat disini ngadem, main PS sampe sore kan?”

Tawaran menggiurkan untuk Hazen sebetulnya, ia sudah lama tidak main PS sejak tinggal di asrama. Tapi ia sudah punya rencana apik hari ini mau mengajak Raden ke suatu tempat.

“Nggak, Yah. Aku mau jalan-jalan sama Raden, menghibur diri dari hectic nya tugas-tugas.”

“Makan dulu ya tapi? Nggak Bunda ijinin keluar kalau nggak makan siang dulu.”

Hazen melirik Raden, kemudian Raden tersenyum dan mengangguk.

“Kalau Raden setuju aku ya nggakpapa sih. Aku juga laper hehe.”

Kaisar terkekeh begitupun juga Kirana. Raden hanya haha hihi aja, Hazen memang seperti itu, jadi ia tidak heran lagi menjadi sahabatnya sejak masa SMP.

Selesai makan siang, kedua lelaki itu berpamitan dan mencium tangan Ayah dan Bunda bergantian.

“Bawa mobil, Zen?” Tanya sang Ayah.

“Iya Yah, nggakpapa kan?”

“Nggakpapa lah, tadi Ayah mau nyuruh kamu bawa mobil aja, kayaknya agak mendung juga.”

“Aku bawa Audi putih nya ya Yah?”

“Terserah kamu ajalah, kan mobilnya punya kamu. Mau kamu bawa yang Jaguar, Porsche, Ferrari, Aston Martin, Land Rover, atau BMW pun nggak masalah.”

Raden dalam hati menjerit, demi Tuhan ia baru tau jika mobil milik Hazen sendiri sudah sebanyak itu? Seingatnya dulu waktu wisuda SMA, ia menghitung mobil milik Hazen sendiri ada 4. Sekarang sudah 7 saja mobilnya. Dan perlu diingat, itu milik Hazen sendiri. Ayah dan Bunda nya memiliki mobil sendiri yang sama banyaknya juga.

“Ini keluarga keknya buka jasa dealer mobil deh.” Batin Raden tak habis pikir.

“Hehe makasih Ayag, kalo gitu aku sama Raden berangkat dulu ya?”

“Hati-hati nyetirnya Hazen.” Ucap sang Bunda.

“Siap Bunda, dadaaa.” Kata Hazen melambaikan tangan dan menarik tangan Raden untuk segera keluar dari rumah.

Raden mengekori Hazen yang masuk ke garasi, dan benar saja di dalam garasi itu terjejer 7 mobil mewah dan 1 motor Ninja 4 tack warna hitam. Hazen menekan tombol buka kunci otomatis pada remote control kunci nya.

“Ayo masuk, keburu sore. Gue harus balik asrama sebelum jam 5.”

“Kenapa?”

“Biasalah, ntar Marvin mencak-mencak kalo gue kelayapan dan ngebuat dia nggak ngunci pintu karena gue masih di luar.”

Raden mengangguk saja, Hazen memang menceritakan kepada Golden Boyz jika Marvin suka marah-marah jika Hazen pulang terlambat karena artinya Marvin tidak bisa mengunci pintu meski Marvin sudah ingin tidur.

Mobil Audi R8 putih itu keluar dari kediaman Tuan Kaisar. Hazen memutarkan lagu-lagu One Direction.

Sudah menjadi rahasia umum, jika Hazen ini sangat menyukai One Direction. Raden pun juga ketularan suka dengan lagu-lagu One Direction karena Hazen mencekoki telinganya sejak SMP.

Saat ini, sedang terputar lagu berjudul Perfect. Btw, Raden sangat menyukai lagu ini juga.

Hazen mengetukkan jari telunjuknya di setir mobilnya ssembari bersenandung mengikuti lirik lagu. Omong-omong, aksen bahasa Inggris Hazen itu bagus. Raden saja sampai terperangah setiap Hazen menyanyi lagu Western.

But if you like causing trouble up in hotel rooms And if you like having secret little rendezvous If you like to do the things you know that we shouldn't do Then baby, I'm perfect Baby, I'm perfect for you

Suara selembut madu itu masuk ke dalam rongga rungu Raden, membuatnya terbawa suasana. Hingga pada bait selanjutnya, Raden ikut menyanyikan itu bersama Hazen.

And if you like midnight driving with the windows down And if you like going places we can't even pronounce If you like to do whatever you've been dreaming about Then baby, you're perfect Baby, you're perfect So let's start right now

Kemudian keduanya tertawa setelah berhasil menyelesaikan Reff bersama.

“Lo masih aja ya anjir dari jaman SMP maniak lagunya One Direction.”

Hazen terkekeh, “Iyalah, favorit itu mah. Kalo One Direction ngadain konser lagi, gue pengen nonton. Udah lama mereka nggak gelar konser.”

“Mau nonton sama siapa lo? Kayak punya temen aja.”

“Lo kan? Ya kali lo nggak mau nemenin gue konseran, bro?”

“Don't bro me. I'm your enemy.”

“Hahaha, musuh model apaan kalo tiap harinya nempel kek perangko?”

“Idih, itu dulu ya bangsat. Sekarang kan nggak.”

“Ya juga sih, lo udah beda. Lo udah jadi cowok hebat dan berani. Gue bangga sama lo.” Ucap Hazen dan menepuk pucuk kepala Raden dengan telapak tangan kirinya sembari menyunggingkan senyum.

Raden terdiam beberapa saat, ia tersadar setelah tangan Hazen sudah tidak di atas kepalanya lagi.

“Lo gimana sama Kak Marvin?”

“Gimana apanya?”

“Ya—kalian nggak akur. Udah 1 setengah bulan kalian tinggal bareng.”

“Nggak gimana-gimana sih, gue sama dia udah buat peraturan asrama. Jadi gue tinggal patuhi aturan itu aja kalo nggak mau diusir dari sana.”

“Kak Marvin emang segalak itu Zen? Se ngeselin itu? Gue—agak speechless.”

“Hm, nggak juga sih. Tergantung aja, dia itu cuek, dingin, susah ditebak, misterius banget pokonya. Dia marah kalau gue debatin dia aja, selebihnya enggak kok.”

“Kalo lo nggak nyaman tinggal sama dia, lo sama gue aja gimana? Kak Arjun punya apart kecil, gue bisa nyuruh dia balik kesana trus bagi kamar sama lo.”

Hazen menghela nafas, “Harusnya, lo tawarin itu ke gue dari dulu, bukan sekarang.”

“Kenapa emang?”

“Karena sekarang gue nggak bisa tinggalin Kak Marvin sendiri, ada Hevin yang harus gue jaga bersama dia.”

“Ya—gue udah belajar adaptasi aja sama cara kerja hidupnya kayak apa. Dan gue udah mulai terbiasa sekarang.”

Raden mengangguk saja. Keduanya pun bercerita random membahas apapun untuk mengisi kekosongan selama perjalanan.

“Lo mau bawa gue kemana sih? Kok nggak nyampe-nyampe?”

“Hm ada deh, gue mau ajakin lo berpetualang.”

“Hah?”

Hazen terkekeh dan membelokkan setirnya. “Bentar lagi nyampe, kalo lo inget, kita pernah kesini sebelumnya waktu SMA.”

Raden menoleh menatap jalanan di balik kaca mobil, ia mencoba mengingat jalan ini. “Zen, ini—”

“Iya, gue ajak lo liat galaksi bima sakti. Liat indahnya bintang kejora diantara ribuat meteor di langit.”

Raden tersenyum tipis sembari menatap pantulan dirinya di kaca mobil, kedua pipinya bersemu merah, sehingga ia tidak berani menoleh untuk melihat Hazen.


Hazen membawa Raden ke Planetarium Jakarta. Dulu saat SMA, Raden bilang ingin sekali melihat bintang kejora secara jelas, dan saat itulah Hazen membawanya kemari untuk melihat bintang kejora lebih dekat. Ketika itu, Raden bahagia sekali, di tempat ini Raden tersenyum begitu lebar.

Tapi—tidak tau untuk hari ini. Apakah senyum lebar dan tawa dari Raden bisa Hazen lihat lagi.

Raden dan Hazen berjalan memutari Planetarium, Raden mengambil banyak gambar disana. Menyuruh Hazen untuk memotretnya, Hazen menuruti saja asalkan Raden bahagia.

“Zen, sebenernya gue ngajak lo keluar gini ada tujuan.” Ucap Raden memasukkan ponselnya dan melirik Hazen yang tengah berdiri membaca horoskop zodiak yang terpampang di dinding.

“Aries memiliki lambang domba dan berelemen api. Sifat murah hati dari Aries sering kali menjadikannya sosok panutan. Meskipun memiliki sifat yang keras, Aries selalu rela untuk berkorban bagi orang terdekatnya.” Ucap Hazen membacakan horoskop zodiak milik Raden.

“Hazen, gue ngomong sama elo loh ini...”

Hazen menoleh kemudian menatap Raden serius. “Jangan berkorban terlalu banyak Raden, pikirin kebaikan diri lo sendiri sebelum berkorban buat orang lain. Termasuk perasaan lo, jangan dikorbanin. Lo berhak bahagia, okey? Jangan berkorban buat orang yang udah jelas nggak akan bisa bales pengorbanan hati lo.”

“Maksud lo?” Raden termangu dengan ucapan Hazen, ia jadi over thinking jika Hazen sedang menyuruhnya mundur sebelum ia bisa mengutarakan perasaannya.

“Katanya lo ngajak gue pergi karena ada tujuan kan? Apa itu?”

Jantung Raden berdegup begitu kencang, karena saat ini kedua manik hazel Hazen sedang menatapnya begitu intens. Nyali Raden mendadak ciut lagi.

“Den...”

“Bentar, bisa nggak lo balik badan dulu?”

“Hah? Kenapa gitu?”

“Jangan banyak nanya deh, cepetan atau gue nggak akan ngomong apapun?”

“Ish, iya iya.” Ucap Hazen memutar badannya memunggungi Raden.

Raden menyiapkan hatinya, ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya, ia melakukannya sebanyak 3 kali.

“Den, ngapain kok lama? Gue lo suruh ngapain sih ini?”

“Bacot amat, bentar deh.” Raden melihat sekitar; sepi.

Raden memantapkan langkahnya untuk mendekati Hazen, dengan tangan yang gemetar dan jantung berdegup kencang, Raden memeluk Hazen dari belakang.

Grep

Kedua tangan kecil Raden mengunci tubuh besar Hazen, memeluk erat perut Hazen dn menyandarkan kepalanya pada bahu lebar Hazen.

Hazen terhenyak dengan pergerakan Raden tiba-tiba, namun Hazen tidak bergerak sedikitpun, ia membiarkan Raden melakukan apapun sesuka hatinya.

“Den?”

Terdengar helaan nafas Raden, pelukannya makin mengerat. “Lo diem dulu, dengerin gue ngomong sampai selesai ya?”

“Iya.”

“Hazen, gue tau ini kurang ajar, gue tau nggak harusnya gue begini ke lo. Gue tau kalo gue udah ngelewatin batas dan mengotori title persahabatan kita. Tapi—I can't handle it Hazen. Gue bingung, gelisah, frustasi kayak orang gila tiap mikirinnya. Gue takut, lo pergi dari hidup gue kalo gue bilang apa yang selama ini gue rasain ke lo. Gue lebih baik gila sendirian daripada harus kehilangan lo dari hidup gue. Lo tau kan kalau lo itu pahlawan di kehidupan gue yang kacau? I means, gue nggak akan bisa buat ditinggal pergi sahabat kayak lo sampai kapanpun—

Sorry for say this Hazen, but—I love you, I really do. I love you more than friend, maaf.” Suaranya memudar di akhir kata, ia sedang menguatkan hatinya untuk mendengar jawaban Hazen.

Hazen mengusap punggung tangan Raden kemudian melepas paksa pelukan Raden. Kemudian ia berbalik sehingga ia berhadapan dengan Raden, tanpa aba-aba, Hazen menarik tubuh yang lebih kecil untuk dipeluknya erat. Mengusap rambut lurus Raden dengan lembut.

Terdengar helaan nafas keluar dari bibir Hazen. Ia dapat merasakan detak jantung Raden yang berpacu cepat, ia jadi ikut deg-deg an. Raden masih diam dalam dekapan Hazen, ia menghirup wangi floral yang menyegarkan, wangi dan manis sekaligus.

Biasanya Raden suka bau maskulin, tetapi kalo Hazen, ia sangat menyukai bau cowok lembut macam floral seperti ini. Seperti healing saat menghidu bau tubuh Hazen. Membuatnya betah lama-lama ada di dekapannya.

“Raden Bintang Kejora, listen to me, okay?

Raden mengangguk tanpa menjawab. Dia sudah siap-siap tertolak, meski nantinya berujung dirinya yang patah hati, tapi sejujurnya ia tetap ingin mendengar jawabannya langsung dari Hazen.

“Lo itu berarti banget buat gue, demi apapun deh asli, gue nggak bohong. Ibaratnya, kalo gue disuruh milih kehilangan ribuan temen atau cuma kehilangan lo, gue bakalan milih kehilangan ribuan temen daripada harus kehilangan lo. Jadi—gue nggak akan kemana-mana atau ninggalin lo kayak yang lo takutin.

tapi Den—maaf buat ngomong ini ke lo, bagi gue, lo itu sahabat terbaik gue, adek gue yang lucu, abang gue yang bisa arahin gue, nasehatin gue, nenangin gue disaat gue butuh support orang terdekat selain Ayah, Bunda dan Mas Devon. Lo—sahabat gue yang paling tau luar dalem nya gue kayak apa, Den. Kesimpulannya adalah, sorry, I can't loving you more than as best friend, as an adorable lil brother or as a wise big brother. You're my family, my best partner in this world until whenever. I love you Raden, but not as my lover. I'm so sorry. I can't reciprocate your feelings. Sorry I broke your heart. I'm bastard, Raden.”

Tolong banget ini mah, putar lagu Cinta Tak Mungkin Berhenti dari Tangga, mari patah hati bersama Raden dan kesedihan Hazen

https://www.youtube.com/watch?v=mjP1HOwEhr8&list=RDmjP1HOwEhr8&index=1

Deg

Hati Raden patah menjadi serpihan kaca. Pelukan eratnya di pinggang Hazen terlepas. Bahkan tubuhnya hampir saja limbung jika Hazen tidak memeluknya begitu erat. Hazen dapat merasakan perubahan tubuh Raden yang melemas. Ia pun mengeratkan pelukannya pada tubuh kecil sang sahabat.

“Maaf, Raden. Gue masih Hazen yang sama, Hazen sahabat lo. Gue nggak akan ninggalin lo ataupun jauhin lo karena ini. Gue berterimakasih banget lo udah mau jujur sama gue. Meski jawaban gue nggak sesuai ekspetasi lo. But please Raden, don't leave me. Lo boleh marah sama gue sesuka hati lo, lo boleh maki-maki gue sepuas lo. Lo bisa pukul dan tonjok gue sekarang, gue nggak keberatan. Gue emang bajingan, cuma bisa nyakitin hati lo doang. Marah Den, ayo marah sama gue.”

“Gue jadi beban buat lo ya Zen?”

Hazen menggeleng ribut dan mengusap kepala Raden. “Bukan sama sekali, lo itu anugerah buat gue. Perasaan lo nggak salah Raden, siapapun berhak jatuh cinta kepada siapapun juga. Nggak ada keharusan buat lo naruh rasa sama orang, bahkan termasuk ke gue sekalipun, atau ke sahabat kita yang lainnya. Kalo bisa Den, gue pengennya juga jatuh cinta sama lo aja, serius. Gue beneran sesayang dan senyaman itu sama lo. But, gue nggak bisa, bagaimanapun caranya gue nyoba. I can't.

“Gue mau marah sama lo dulu ya? Gue butuh sendiri, lo cinta pertama gue asal lo tau, dan pastinya lo ngerti kan rasanya perasaan sepihak?” Ucapnya melepaskan diri dari pelukan Hazen.

“Iya, gue ngerti. Lo bisa katain gue brengsek, bajingan, bangsat ataupun itu. Gue pantes menerimanya, lo orang yang baik Den, tapi gue justru ngebuat lo sedih. Maaf.”

“Hazen, lo brengsek. Karena lo buat gue nyaman dengan semua treatment lo ke gue yang bahkan gue tau, lo lakuin itu juga ke semua orang terdekat lo. Nggak cuma orang terdekat, lo sebaik dan setulus itu sama semua orang. Gue benci, gue kesel, gue marah karena lo terlalu baik jadi orang. Gue benci diri gue yang terbawa perasaan karena hal-hal kecil yang lo lakuin buat gue. Jadi stop salahin lo sendiri. Disini gue yang salah karena baperan dan terlalu nyaman sama lo. Nggak gue pungkiri kalo gue sakit hati, marah dan pengen maki-maki lo pake ribuan nama hewan. Tapi gue sadar diri, it's not your fault. You just be yourself as it should be.”

“Lo orang baik Zen, tapi orang-orang lemah kayak gue gini gampang terlena sama kebaikan hati manusia kayak lo. Itu bahaya banget, mungkin yang keliatan cuma gue, tapi lo nggak tau kan seberapa banyak orang yang naruh hati sama lo? Gue harap lo sedikit ngerti dan mulai waspada sama orang-orang. Dengan kebaikan lo ini, gue takut banget Hazen, gue takut jika ada orang jahat yang manfaatin kebaikan lo di luar sana. Jangan terluka, jangan hilang dari gue ya Zen—

Kayak yang lo bilang, gue bakalan usaha buat semuanya terlihat baik-baik aja, balik ke keadaan semula. Tapi beri gue waktu ya? Gue nggak bisa lihat lo, atau gue bakalan nangis.”

Hazen menyunggingkan senyumnya dan mengangguk. “Take your time as well, Raden. I'm waiting you.”


Setelah perbincangan tentang perasaan, Hazen dan Raden memutuskan untuk mengalihkan pikiran dengan menonton galaksi bima sakti, sesuai janji Hazen kepada Raden.

Bayangan Raden tadi, ia akan bahagia dan tersenyum lebar seperti awal keduanya datang kemari. Namun kali ini tidak, dalam sedikit cahaya remang-remang dan layar monitor besar yang menunjukkan galaksi bima sakti, menunjukkan tata surya dan meteor-meteor serta milyaran bintang dan sapuan aurora, Raden meneteskan air matanya.

Tangan kirinya digenggam erat oleh Hazen, hatinya bergemuruh merasakan pedih.

“Raden, lo berhak bahagia. Lo istimewa dengan cara lo sendiri, gue yakin akan ada orang yang bisa mencintai lo lebih dari gue. Yang mencintai lo setulus hati dan menjadikan lo sebagai semestanya, bukan kayak gue yang cinta sama lo sebagai anugerah indah yang Tuhan kasih buat gue. I'm sorry and thank you, Raden Bintang Kejora.”

“I will try my best to let you go. Semoga lo bahagia, Zen. Dengan ini, disini, mulai saat ini, gue ikhlasin lo. Good bye, Hazen Aditya Buana—my first love.”

Bintang Kejora nya sedang menangis sore ini, karena Buana tidak mengizinkan Kejora untuk tetap mendampingi sampai usai jagat raya ini berputar

Flo·ᴥ·

Puter lagu “Ada Cinta” di bawah ini bestie, if u want to baper meleyot dugun-dugun

https://www.youtube.com/watch?v=Xyh-9Z8csCg&list=RDGMEMQ1dJ7wXfLlqCjwV0xfSNbAVMOT5msu-dap8&index=26

note : cw // kissing boleh di skip jika tidak ingin meleyot dan melumer.


“Gimana Kak? Udah bilang ke temen-temen lo buat batalin janji?”

Saat ini Hazen sedang duduk lesehan depan televisi bersama Hevin yang sedang bermain teether semangka yang Hazen beli kemarin saat mampir Mall belanja bulanan.

Hazen kepikiran beli itu karena saat belanja, ia menemukan seorang ibu menggendong bayi dan berbicara katanya si bayi harus melatih gigi nya agar kuat menggigit dengan mainan itu. Akhirnya Hazen membelinya setelah ibu-ibu itu pergi darisana.

Kepikiran semangka, karena Hazen akhir-akhir ini jadi suka semangka karena Marvin selalu menyediakan semangka di kulkas. Tentu saja Hazen dilarang makan, tapi bukan Hazen namanya jika tidak bisa mendapatkan apa yang dia mau.

Debat dengan Marvin adalah salah satu keahliannya, dan memenangkan perdebatan antara dirinya dan Marvin adalah salah satu prestasi besarnya.

Marvin yang sedang memotong buah semangka yang baru saja dikeluarkan dari kulkas pun melirik Hazen. “Udah.”

“Lo bilang apa ke mereka buat batalain?”

“Kepo.”

“Ishh, gitu terus buset.” Hazen mengerucutkan bibirnya, “Kak, bagi semangka nya kalo udah selesai ngupas ya?”

“Nggak.”

“Kok pelit? Kan di aturan udah ditulis kalo kita saling masakin, saling kasih makan. Gimana sih?”

“Except watermelon, I can't share this with everyone, including you.”

Hazen berdiri dan menghampiri Marvin, dan dengan sigap ia mengambil satu potong buah semangka. Hazen pikir, ia akan lolos setelah berlari kabur, namun sepertinya Marvin sudah hafal kelakuan Hazen yang se atap dengannya selama 1,5 bulan ini.

Karena begitu Hazen mengambil satu potong buah semangka, Marvin segera menarik lengan Hazen. Spontanitas Hazen juga bagus, ia menggerakkan tangannya ke sembarang arah menghindari tangan Marvin yang berusaha merebut buah semangka itu.

Adegan itu berlanjut kejar-kejaran karena Hazen bisa lepas dari cekalan Marvin, lari-larian memutari sofa. Hevin hanya melihat setengah tidak peduli, ia asik sendiri bermain dengan piano mainan, memncetnya asal setengah memukul lebih tepatnya asalkan bunyi.

“Hazen, gue bilang nggak mau berbagi ya nggak mau!”

“Yaelah satu doang ini mah, jangan pelit dong!”

“Sekarang satu, entar ngelunjak nyolong lagi sampe 7 buah.”

“Dih, hiperbola amat. Gue nggak se-maniak lo kali kak sama semangka.”

“Halah bilang nggak maniak, tapi pas malem-malem suka buka kulkas terus nyomot. Jangan lo pikir gue nggak tau kelakuan nakal lo ya Hazen...”

Hazen tergelak tawa renyah, itu benar. Hazen biasanya malam hari suka haus, dan semangka segar di dalam kulkas menggoda imannya untuk mencomot meski sudah dilarang Marvin.

Ia pikir, selama ini Marvin nggak pernah tau mangkanya nggak pernah marahin, ia terkejut juga perbuatan biadab nya diketahui sang pemilik semangka.

“Haus kak, semangka nya menggoda iman buat dicicipi di malam hari.”

Dan mereka masih terus kejar-kejaran, memutari sofa dan meja. Untung saja Hevin tidak keinjak mereka.

“Namanya tetep nyuri kalo nggak bilang!”

“Nggak nyuri, kan yang di dalem kulkas milik bersama.”

“Kecuali semangka, itu punya gue sendiri.”

“Pelit, ntar kuburan lo sempit tau rasa!” Hazen menjulurkan lidahnya sembari melihat Marvin di depannya yang terhalang oleh sofa di tengah. Mereka saling mengepung.

“Udahlah serah lo aja, gue capek.” Ucap Marvin dan kembali ke meja dapur untuk meneruskan memotong buah semangkanya.

Hazen bernafas lega, ia ngos-ngosan juga berlarian sejak tadi menghindari Marvin. Jadi dengan tenang, ia duduk di sofa. Saat ia membuka mulutnya ingin memakan buah semangka, tiba tiba Marvin mencekal tangannya.

“Nah, kena lo.” Senyum licik terpancar dari bibir Marvin.

Hazen melongo, “Gue ini lagi dikibulin Marvin? Bangsat.”

Saat Marvin ingin mengambil buah semangka dari tangan Hazen, Hazen menarik tangannya mundur dengan kencang agar terlepas dari cekalan Marvin. Namun, bukan seperti perkiraan Hazen yang terjadi, justru ini adalah keadaan dimana tak pernah terbayangkan oleh Hazen maupun Marvin.

Tenaga Hazen yang kuat untuk menarik tangannya mundur dan berusaha melepaskan diri dari cekalan Marvin, membuat tubuh Marvin limbung dan menubruk tubuh Hazen di bawahnya.

Semangkanya terlempar ke lantai, sedangkan Hazen sedang dikungkung Marvin.

Tak sampai disitu, karena ini betulan gila asal kalian tahu. Tidak tau apa karena Hazen seorang atlet judo sehingga tenaganya memang sebesar itu? Karena Marvin jatuh menimpanya tak hanya sebatas badan, melainkan—bibirnya juga.

Bibir tipis Marvin menempel diatas bibir ranum Hazen, bahkan diantara mereka tidak ada jarak sama sekali, sejengkal pun tidak. Benar-benar definisi jatuh yang sesungguhnya, karena Marvin tidak bisa menjaga tubuhnya untuk tetap bertahan saat tertarik Hazen.

Jika kalian ingin tahu, tak hanya bibir yang menempel. Kening mereka, hidung mereka—bahkan hembusan nafas masing-masing bisa dirasakan menerpa permukaan kulit wajah mereka.

Seperti tersihir sebuah mantra, kedua manik mata hazel dan gelap itu bertemu. Saling memandang dan menelusuri begitu dalam keindahan keduanya dari pancaran kedua manik mata mereka.

Suara televisi yang mengisi asrama 119 itu terasa tak terdengar sama sekali, yang mereka dengar hanyalah degub jantung masing-masing yang sama keras dan ributnya.

Deg deg deg deg deg deg

Bunyi detak jantung keduanya seirama, sama-sama keras dan bikin dada sesak. Berpacu membentuk melodi dan gelenyar aneh di hati masing-masing.

Entah keduanya juga tidak mengerti, kenapa mereka tidak ada yang ingin mengakhiri posisi ini. Posisi yang luar biasa ambigu.

Ingatlah, bahwa mereka tetaplah remaja; yang dimana hormon sedang melambung dengan tingginya. Jika sudah seperti ini, tentu akal sehat hilang entah kemana. Tak peduli itu siapa, dimana atau bahkan kenapa.

Tidak tau siapa yang berinisiatif, karena keduanya memang sudah hilang akal—sepertinya. Terbawa suasana yang mendukung, memang iblis itu jika mengganggu kewarasan manusia paling pintar. Karena kini yang berawal dari hanya menempel, sudah tidak lagi sekedar itu.

Kedua belah bibir itu bergerak perlahan. Bersamaan menutup kelopak mata. Tangan yang semula diam, kini juga ikut bergerak mengikuti insting. Tangan Hazen merambat ke bahu Marvin kemudian dengan sempurna mengalung cantik di leher Marvin.

Sedangkan telapak tangan Marvin sudah menyentuh kedua pipi gembil Hazen, kedua ibu jarinya mengusap lembut pipi berisi dan lembut itu.

Bibir mereka bergerak tidak tergesa, perlahan namun pasti. Membuka dan menutup untuk menyamakan gerak. Melumatnya bergantian, saat Marvin sedang mencumbu bibir bawah Hazen, maka Hazen melumat bibir atas Marvin.

Bergantian selama beberapa kali, karena mereka merasa nyaman dan ingin terus mencumbu. Tak ragu mereka bertukar saliva dengan saling menyesap lidah yang bergerak dalam rongga mulut keduanya.

Bunyi kecipak basah khas orang ciuman kini beradu dengan suara televisi.

Jika kalian bertanya bagaimana Hevin? Bayi itu hanya melihat dua remaja itu dengan mengerjapkan mata tak mengerti sembari menggigiti teether semangkanya.

Tangan Hazen memang nakal, karena terlalu terbuai dengan pagutan bibir Marvin di bibirnya, telapak tangan kecilnya itu mengusap rambut Marvin dengan gerakan konstan, sama dengan gerak bibir mereka yang saling memagut mesra.

Marvin juga terbawa suasana, tangan kanannya mengelus helaian rambut Hazen yang menutupi kening. Menyisir dengan jemarinya untuk menyingkirkan helaian rambut Hazen. Mengusap lembut pelipis kanan Hazen.

Hihihi pppaaaa mmmaaa brmmm kikikikik

Suara heboh Hevin yang bertepuk tangan berkali-kali dan tertawa cekikikan sembari berceloteh membuat keduanya tersadar dari buaian yang begitu nikmat itu.

Hazen dengan reflek mendorong dada Marvin hingga Marvin terdorong jatuh dari sofa—maksudnya jatuh dari atas tubuh Hazen.

Bug

Bunyi gedebug pun tak bisa terhindari, Marvin mengerang mengusap pantat dan punggungnya yang nyeri, karena jujur saja Hazen mendorongnya sangat keras. Pake sekali. Sudah sangat, sekali pula. Artinya apa? Benar, sakit sekali permisa.

Hevin yang melihat Marvin tersungkur malah tertawa terbahak-bahak dan merangkak menghampiri Marvin, menaiki perut Marvin dan memuku-mukulkan tangan mininya di dada Marvin sembari terkikik.

Brrrmmm papapapa hihihihihi mmmmmburrrr

Namanya juga bayi, suka tidak tau diri jika ludahnya itu banyak dan menyembur keluar sembarangan.

“Hevin, air liurnya kesembur ke gue semua, jangan jorok deh!” Kata Marvin menyentuh badan Hevin dan mengangkatnya menjauh dari perutnya. Meletakkan Hevin di sampingnya sembari mendudukkan tubuhnya yang tersungkur akibat ulah Hazen.

Hihihi papapapa bbbrmmmmm mamamamama

Ucap Hevin yang kini melihat Hazen dan merangkan menghampiri Hazen yang sudah duduk tegak di sofa, namun wajahnya melengos menatap ke arah jendela asrama yang menunjukkan panorama malam hari kota Jakarta dari lantai 3.

Sungguh, Hazen masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi dan apa yang ia lakukan bersama Marvin. Otaknya ngebul, panas, mendidih dan pening mengingat kelakuan biadab nya beberapa menit lalu.

Namun pergerakan training yang dipakainya membuatnya melirik dan menunduk. Ternyata Hevin sedang berusaha memanggil Hazen dengan menarik-narik training di bagian bawah—dekat mata kaki.

Hazen menghela nafas sebentar dan melirik sedikit Marvin yang sudah berdiri dan berjalan menjauhinya. Sepertinya Marvin menuju ke dapur. Lantas Hazen memukul kepalanya sendiri, tidak keras tapi cukup untuk membuat otaknya kembali bekerja normal. Ia mengangkat tubuh Hevin dan mendudukkan bayi itu di pangkuannya tanpa bicara apapun. Membiarkan Hevin berceloteh sesukanya.

Marvin sedang mengambil air putih dan meneguknya rakus, karena ia merasa panas saja. Ia perlu menyegarkan otak dan akal sehatnya.

“Hazen, lo sinting, lo gila. Barusan lo ngapain sama Marvin, sialan? Arghhh gue malu banget anjing, mau pasang wajah dimana gue kalo begini? Mana Marvin juga diem aja kagak ngomong apa-apa.”

“Hazen.”

“Kak Marv.”

Sepertinya kedua remaja ini memiliki ikatan batin yang kuat, sehingga memanggil satu sama lain pun bisa barengan.

Keduanya kikuk, Hazen menggaruk tengkuknya yang tetiba merinding. Sedangkan Marvin berdeham canggung.

“Kenapa? Lo dulu aja.”

“Lo aja deh Kak.”

“Gue bilang lo dulu, ya lo dulu.”

“Kak Marvin aja.”

Keduanya terdiam lagi selama beberapa saat.

“Sorry.”

“Maaf.”

Oke, bersamaan lagi untuk kesekian kalinya.

Hazen dan Marvin menghela nafas bersamaan. Hazen masih duduk di sofa dan memangku Hevin yang bersandar pada dadanya, sepertinya anak itu tertidur. Sedangkan Marvin bersandar pada dinding ruang tamu, berjarak 3 meter dari Hazen.

“Lupain yang tadi, anggap aja tadi mimpi.” Ucap Marvin.

“Hm iya, gue juga mau bilang kalo itu bukan kemauan gue, itu nggak sengaja. Cuma terbawa suasana aja dan gue pengen lo lupain itu.”

Marvin menghela nafas lega, “Bagus kalo gitu, gue harap lo beneran lupain ini.”

Hazen mengerlingkan matanya, “Iya gue lupain, lagian ngapain juga gue inget-inget bangsat? Merinding dan ngeri juga gue ingetnya.”

“Halah, bilang aja lo kesenengan juga trus ketagihan kan? Nggak usah ngelak, lo sangat menikmati ci—”

Stop it, lagak lo kayak lo nggak suka aja. Lo juga terbuai dan nikmati permainannya. Jangan munafik deh.”

“Apa?! Gue nggak, tadi khilaf terbawa suasana aja.”

“Ya udah sama! Gue juga kebawa suasana, jadi nggak usah diungkit-ungkit lagi.”

Oeekkk oooeekkk oooeekkk

Hevin yang tadinya sudah mulai terlelap pun terbangun karena suara Hazen yang sedikit kencang.

“Eh Hevin astaga, maafin kakak yaa. Kekencengan ya suara kakak?” Ucapnya lalu menimang Hevin dan menggoyangkan tubuh kecil Hevin di pelukannya pelan serta mem puk-puk punggung dan pantat Hevin bergantian.

Mammmm mamamama

“Iya iya, Mama disini sayang. Ssstt jangan nangis ya? Nanti gawat kalau tetangga kamar denger.”

Oooeeekkk mmmaa mmmaa mamama

Hazen berdiri dan membawa Hevin ke kamarnya. Lebih baik ia menenangkan Hevin di kamar, setidaknya suaranya bisa lebih teredam dan tidak sampai keluar asrama.

“Kak, udah ya bahasan tadi selesai sampai sini. Selamat malam, gue mau nenangin Hevin.” Ucapnya melewati Marvin begitu saja.

Marvin tidak menjawab apapun dan hanya menghela nafas sembari menyentuh dadanya. Asal kalian tau, detak jantung Marvin masih sama cepatnya seperti tadi.

“Anjing, gue lagi stroke atau gimana sih? Kok tetep kenceng banget detak jantung gue? Apa karena gue terlalu syok mangkanya gini?” Batinnya mendumal.

Setelahnya, Marvin memutuskan kembali ke kamarnya. Ia akan menyelesaikan semua tugasnya yang bahkan masih dikumpulkan 2 minggu lagi. Ia ingin mengalihkan pikirannya dari kejadian tadi yang masih terbayang-bayang sampai sekarang.

Saat melewati pintu kamar Hazen, kaki nya terhenti. Bukan karena pintu kamar Hazen tidak ditutup lagi, melainkan karena suara Hazen terdengar jelas hingga ke telinganya.

Itu suara Hazen, sedang bernyanyi. Menyanyikan Hevin sebuah lagu, yang Marvin tak tau judulnya apa. Tapi yang jelas—sangat indah dan merdu.

Bintang malam katakan padanya Aku ingin melukis sinarmu di hatinya Embun pagi katakan padanya Biar ku dekap erat waktu dingin membelenggunya

Tahuakah engkau malam ini Ku ingin bertemu membelai wajahnya Ku pasang hiasan angkasa yang terindah Hanya untuk dirinya

Lagu rindu ini kuciptakan Hanya untuk bidadari hatiku tercinta Walau hanya nada sederhana Ijinkan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan

Marvin tersenyum tipis, “Oh lagu cinta, kayaknya Hazen rindu his someone special. Raden maybe?”

Kemudian Marvin meneruskan langkahnya dan masuk ke kamarnya sendiri.

Flo·ᴥ·

Hazen dengan usaha kerja kerasnya akhirnya berhasil mengganti popok sang bayi, untung saja orangtua bayi ini memberinya perlengkapan bayi komplit. Popok pun sudah disediakan sebanyak 1 pack. Bahkan ada gendongan bayi nya juga.

Huft, akhirnya beres juga. Nggak usah ganti baju dulu ya? Kamu belum mandi soalnya.”

Sang bayi hanya mengerjapkan matanya, kedua tangan mungilnya masih meraih udara, keinginannya untuk menyentuh Hazen masih ada.

Hazen mengalah, ia pun mengambil gendongan bayi berwarna abu-abu itu dan mengaitkannya pada tubuhnya. Seingatnya, Bunda pernah bilang, jika menggendong bayi akan terasa lebih ringan jika memakai gendongan bayi.

Oleh karena itu, Hazen memilih memakainya saja, ia tidak mau lengannya kebas lagi di pagi hari seperti ini. Hazen mengangkat tubuh kecil sang bayi dan memasukkannya ke dalam gendongan bayi. Hazen mengeratkan pengikat gendongan bayinya pada pundaknya agar posisi sang bayi enak, tidak merosot ke bawah.

“Gue berasa ibuk-ibuk lagi gendong anak pake gendongan bayi segala, Ishh apa kata dunia Hazen yang keren dan cool abis malah gendong bayi?”

Hikhikhik kikikikik Ma....

Hazen menaikkan sebelah alisnya, bayi di gendongannya ini sedang tertawa dan berceloteh entah apa. “Apa? Kenapa liatin gue terus? Iya tau gue ganteng, tapi nggak usah kayak gitu juga liatinnya.”

Hihihikikiki bbbrrrmmm ma...maa maa maa kikikik

“Anjay, ini liur nya jangan nyembur-nyembur ah. Gue udah mandi jangan diludahin elah.” Gerutu Hazen ketika air liur sang bayi muncrat ke wajahnya.

Namun bayi itu malah makin tertawa dan berceloteh tidak jelas. “Astaga, kamu harus mandi! Bau ih, bentar ya tunggu es batu selesai mandi.”

Hazen mengambil peralatan mandi si bayi yang ada di tas bayi. Mulai dari handuk kecil, sabun cair, dan sampo. Kemudian ia keluar dari kamarnya untuk menunggu Marvin selesai mandi.


Ceklek

Bunyi pintu kamar mandi terbuka mengalihkan atensi Hazen yang sedang mengajak sang bayi berbicara. Ia menoleh ke belakang dan Marvin sudah terlihat segar dengan balutan bathrobe nya.

“Kak, jangan ganti baju dulu deh.” Ucap Hazen tiba-tiba saat Marvin ingin berjalan ke kamarnya.

“Kenapa emang?”

“Bantuin gue lah.”

“Untuk?”

“Mandi.”

“Hah?” Marvin tidak mengerti, dia yang salah dengar atau emang Hazen memang mengucapkan demikian.

Tsk, maksud gue bantuin mandiin nih bayi. Sekarang juga, jadi daripada baju lo basah lagi, mending nggak usah ganti baju.”

“Kenapa gue bantu mandiin? Gue nggak tau cara mandiin bayi.”

“Lo pikir gue ngerti? Hellooo kak Marvin yang terhormat, disini kita sama-sama awam ya, jadi jangan banyak alasan buat kabur dari tanggung jawab ini.”

“Ngapain tanggung jawab? Dia bukan anak gue, bukan kerabat gue, bukan siapa-siapa gue.”

“Trus lo pikir dia anak gue? Kerabat gue? Buat mandiin nih bayi tuh ya nggak perlu status hubungan, jangan banyak cing cong, bantuin gue atau gue bakal nyuruh lo bawa dia ke kampus nanti?”

Marvin menganga, Hazen sedang mengancamnya saat ini. Benar begitu? Wah, Marvin tak habis pikir. “Lo ngancem gue?”

“Iya, gue ngancem lo! Please kak, anak ini diserahin ke kita. Jadi ayo kita mandiin dia, dia bau pesing meski udah gue ganti popoknya.”

Tsk, nyusahin bener pagi-pagi. Udah ayo buruan jangan lama-lama.”

Hazen mencebikkan bibirnya lalu membawa sang bayi ke dalam kamar mandi diikuti oleh Marvin.

“Kak, itu isiin bath up nya sama air anget.”

Tanpa banyak kata, Marvin menyalakan air hangat untuk mengisi bath up nya. Menunggu sekitar 5 menit, akhirnya bath up terisi setengah.

“Udah kak jangan penuh, nanti tenggelem anaknya.”

Marvin mematikan kran air nya, lalu Hazen mencopot ikatan gendongan bayinya. “Kak, pilih gendong atau yang lepasin baju-bajunya?”

“Nggak dua-duanya.”

“Ishh Kak! Ayo dong serius, mau cepet selesai nggak?”

Marvin mengerlingkan matanya, lalu mengambil alih sang bayi di gendongannya. “Buruan.”

Hazen mendengus lalu mulai mencopot kain yang menempel di tubuh sang bayi satu persatu. Si baby masih bergumam dan berceloteh tak jelas di tengah kesibukan Hazen menanggalkan pakaiannya.

BBbrrrmmm paaa....bbrrrr iikikkikikik

Marvin memalingkan wajahnya ke samping, karena ia bernasib sama dengan Hazen seperti tadi. Benar, terkena semburan maut air liur nya.

“Heh jorok amat bocah, jangan disembur pake air liur dong! Gue udah wangi dan bersih tau!” Kata Marvin memarahi sang bayi.

Ada hening sejenak, sebelum badai menyapa gendang telinga Marvin dan Hazen di dalam kamar mandi itu.

Ooeeekkkk oooeeekkk hiks hiks hiks

“Heh kok nangis sih? Kan lo emang salah, nggak sopan nyembur orang!”

Ooooeekkkk ooooeeekkkk oooooeeekkk

“Kak Marvinnnnn Ya Tuhan, bisa nggak sih lo itu manusiawi dikit? Ye jelas aja dia nangis kalau lo bentak kayak gitu, bodoh.”

Hazen mengambil alih sang bayi setelah bayi itu telanjang bulat. Hazen menepuk-nepuk pantat dan mengusap punggung sang bayi, menyandarkan kepala si bayi di bahunya. “Cup cup cup anak ganteng, jangan nangis ya? Nanti aku cubit kakak yang nakal itu ya? Sekarang waktunya mandi biar wangi. Oke ganteng?”

Hiks hiks hiks bbbrrmmmaaa maaa

Oceh bayi itu sesenggukan namun sudah berhenti menangis, meneruskan celotehan tidak jelasnya. Marvin sempat heran, kenapa bayi itu menurut sekali dengan Hazen?

“Zen.”

“Apa?!” Jawabnya galak.

“Jangan-jangan ini anak lo ya? Ngaku lo!”

Rahang Hazen terjatuh seketika, demi apa Marvin menuduhnya?

“Sembarangan! Gue aja nggak pernah pacaran, mau hamilin siapa? Angin?”

“Abisnya ini bocah nurut banget sama lo.”

“Nurut darimana nya njir, lo nggak tau aja struggle gue kemarin malem buat dia diem dan tidur. Tulang gue rasanya pisah dari raga.”

Mmmmman mmaaan bbrrmmmiiii Ucap sang bayi sembari menepuk-nepuk pipi berisi milik Hazen dengan jari-jari mungilnya.

“Iya iya mandi, ayo kita mandi cussssssss.”

Bayi itu tergelak tawa dan bertepuk tangan, merasa Hazen itu lucu. Sedangkan Marvin masih mencerna sebenernya dia ini ngapain di pagi hari yang cerah ini harus memandikan bayi bersama Hazen?

“Kak, kok bengong sih? Sini bantuin!”

Marvin terbangun dari lamunannya lalu segera menghampiri Hazen dan ikut berjongkok. Sang bayi sudah Hazen letakkan dalam bath up.

“Selanjutnya apa?” Tanya Marvin.

“Pegangin bayinya kak, biar gue yang sabunin dan sampoin dia.”

“Dipegang gimana maksudnya?”

“Ya—pegangin bahunya atau punggungnya biar dia bisa duduk tegak nggak jatuh pas gue sabunin dan gue sampoin.”

Marvin mengangguk mengerti lalu ia pun memegang tubuh kecil sang bayi, meletakkan telapak tangan besarnya untuk menyentuh lengan kecil sang bayi. “Udah.”

“Oke, tahan terus sampai selesai ya kak.”

“Hm.”

Kedua tangan Hazen mulai beraksi, ia membasuh tubuh sang bayi dengan air hangat menggunaka gayung yang ada di kamar mandi, menyiramnya pelan-pelan.

Si bayi aktif, menepuk tangannya di kubangan air bath up, bermain air istilahnya. Air itu menciprati Hazen dan Marvin.

“Kamu diem dikit ya bayi, jangan dicipratin. Baju aku basah kuyup ntar.” Keluh Hazen masih memegang gayung.

Bukannya menurut, si bayi makin berulah, semakin gencar menyiprati Hazen dengan air.

“Kak, bentar ya gue ambil bathrobe dulu.”

“Ya, jangan lama-lama.”

“Iyaaa.” Hazen keluar dari kamar mandi menuju kamarnya untuk berganti pakaian.

Bbrrrrr bbbrrr paaa mmmbbrrrr paa

“Apasih? Gue nggak ngerti lo ngomong apa, jadi diem aja okay?” Marvin dongkol sendiri mendengar celotehan bayi ini lama-lama.

Hihihihikkkk puuuurrr bbbrrmmm

Tak lama setelahnya, Hazen sudah kembali dengan bathrobe yang membungkus badannya.

“Nah, sekarang waktunya pakai sabun, jadi kamu jangan gerak-gerak ya? Biar cepet selesai.” Ucap Hazen memperingati.

“Emang dia ngerti lo ngomong apaan?”

“Mana gue tau? Gue nggak bisa baca pikiran orang.” Kata Hazen sembari menuangkan sabun cair ke telapak tangannya.

Ia mendekat ke bayinya, lalu mulai mengusap kulit lembut dan rentan sang bayi dengan sabun. Dengan telaten, Hazen mengusap lembut seluruh badan sang bayi tanpa terlewati.

Marvin hanya diam memperhatikan setiap gerakan Hazen yang menyabuni sang bayi. Rasanya—Marvin tidak mengerti. Pemandangan Hazen yang diam dan sibuk mengusap tubuh sang bayi dengan sabun secara perlahan namun disertai senyuman, bahkan mengajak si bayi berbicara meski jawaban sang bayi hanya brrrmm dan maaa tapi Hazen tetap saja mengajak bicara ini seperti menyihirnya. Kedua manik tajamnya tidak ingin beralih sedikitpun untuk memandangi Hazen dan sang bayi bergantian.

“Hmmm wanginyaaa, dibilas ya? Diem aja kamu, nanti nggak bersih kalo kamu gerak-gerak.”

Dalam diam, ia merindukan Mommy nya, Marvin ingat betul saat ia masih umur 6 tahun pun masih sering dimandikan ibunya seperti ini. Hazen mengingatkannya pada masa kecilnya dulu.

“Kak, baringin bayinya, gue mau sampoin biar samponya gak masuk ke mata dia.”

Tidak ada jawaban dari Marvin, lelaki itu menatap Hazen dengan pandangan kosong.

“Kak.”

“Kak.”

“Kak Marv!” Panggil Hazen sedikit keras karena Marvin tidak menggubris panggilannya.

“Ha? Kenapa?”

“Jiwa lo kemana deh? Gue bilang, baringin anaknya.”

“O-oh dibaringin gimana?”

“Tumpu kepalanya trus pegangin lengannya.”

“Oke.”

Marvin menjalankan instruksi Hazen. Saat posisi sang bayi sudah terbaring nyaman, Hazen menuangkan sampo di kepala sang bayi.

“Kamu jangan banyak gerak ya? Nanti kalo masuk mata perih, jadi diem aja okay?”

Brrrmmmm maa hihihi

Hazen ikut terkekeh mendengarnya, ia mulai memijat kepala sang bayi pelan dan mengusap helaian rambut tipis sang bayi dengan sampo.

“Kata lo nggak pernah mandiin bayi? Tapi kok lagak lo kayak orang pro.”

“Ilmu insting dan modal nekat ini mah, gue kemarin sempet liat youtube cara mandiin bayi.”

“Lo—nerima dia disini? Maksud gue lo mau rawat dia gitu?”

“Dia dititipin ke kita kak, ortunya percayain dia ke kita.”

“Orang gila, orangtua mana yang nitipin anaknya ke orang asing? Dan lagi, kita nggak ada pengalaman buat ngurus bayi, bukannya lebih bagus kalo dikasih ke panti asuhan aja?”

Hazen menghela nafas. “Kak, abis ini gue kasih tau lo sesuatu. Dan coba lo pikirn solusi terbaiknya apa. Kalo lo berpikiran sama kayak gue buat jaga amanah orangtuanya dia, lo masih manusia.”

“Jangan lo pikir gue nggak kesel juga tiba-tiba dititipin bayi kayak gini, gue kesel banget tapi abis gue liat dia—gue kasian.”

“Kasian kenapa?”

“Nanti lo bakalan tau sendiri, mangkanya ayo selesaiin acara mandi ini dengan cepet biar lo bisa ngerti apa maksud gue.”

Marvin hanya diam dan mengangguk sebagai jawaban. Lalu acara memandikan bayi itu berlanjut, Hazen dan Marvin berhasil memandikan bayi itu dengan bersih dan harum. Meski Hazen dan Marvin harus basah karena ulah sang bayi yang aktif menyipratkan air bath up kepada mereka berdua.

“Bantuin gue lagi, jangan kabur lo.”

“Apalagi sekarang? Kan udah gue bantu mandiin.”

“Ya bantuin makein bajunya lah! Lo pikir gue bisa sendiri?”

“Zen...”

“Kak please.” Hazen melengkungkan bibirnya ke bawah, tanda putus asa membutuhkan pertolongan.

Marvin mengalah, ia menurut pada akhirnya. “Gue harus apa?”

Hazen tersenyum sumringah. Nih gendong dulu dedeknya, gue mau ambilin baju sama popok dan skincare nya dulu.”

“Hm, jangan lama-lama.”

“Ya bacot.”

Hazen sedikit berlari kecil menuju kamarnya untuk mengambil keperluan sang bayi.

Tak berapa lama, Hazen kembali. “Kak baringin dia di sofa, ini perlak nya jadiin alasnya.”

Marvin mengambil perlaknya dan membeberkannya di atas sofa lebar asramanya. Kemudian meletakkan sang bayi berbaring disana. “Udah selesai kan tugas gue?”

“Enak aja!! Masih belum mulai, bantuin masangin semua pakaiannya.”

Hazen berjongkok , Marvin juga. Tangan Hazen mulai menuangkan minyak telon di telapak tangannya.

“Itu apaan?”

“Minyak telon, ada tulisannya, mohon dibaca.” Sewot Hazen dan mulai mengoleskan minyak telon di perut sang bayi dan telapak kaki serta telapak tangan bayi itu.

“Gak keliatan.”

Hazen mencibir lalu mengambil bedak tabur.

“Itu apaan?”

“Udah jelas ini bedak tabur bodoh, pake nanya. Lo kira ini garem?”

“Gue kan nggak tau, apa salahnya nanya?”

“Udah kakak diem aja, biar gue selesaiin pakein semua skincare nya dulu.”

Marvin memilih diam dan melihat semua gerak-gerik Hazen mendandani sang bayi. Hazen membubuhkan bedak taburnya ke perut sang bayi, ke leher dan juga ketiak.

“Nah, kak sekarang bantuin gue makein pakaiannya. Gue pasang popok dan celananya, lo pasangin bajunya.”

“Ya.”

Marvin dan Hazen bekerja sama sekarang, Marvin yang mencoba sabar memasukkan lengan kecil sang bayi ke dalam baju bersusah payah karena bayinya bergerak terus.

“Diem kek, ini tangan lo masuk dong elah.” Gerutu Marvin kesal.

Bbbrrrmmmm hihihihi parrmmm

“Idih malah ketawa, nakal banget.”

Hazen terkekeh, demi Tuhan ini lucu. Melihat Marvin jengkel karena ulah sang bayi.

“Hahaha jangan diomelin kak, nanti dia nangis malah repot. Kalo sampe dia nangis, gue suruh lo buat dia sampe diem.”

Marvin bergidik ngeri, membayangkannya saja merinding. “Gak banget.”

“Mangkanya diem aja, udah sana cepet dipakein baju. Gue udah selesai nih.”

Marvin melirik kerjaan Hazen, popok dan celana panjang warna putih sudah terpasang rapi.

“Ya sabar.”

Perjuanhan selama 15 menit itu akhirnya selesai.

“Sentuhan terakhir biar makin wangi, pakai collogne ya dedek.”

Bayi itu tertawa dan bertepuk tangan. Hazen mengoleskan collogne ke seluruh tubuh si bayi hingga bajunya. Kemudian Hazen mendekatkan hidungnya pada pipi sang bayi. “Hmm wangi bener dah. Cium boleh ya?”

Kedua tangan mungil sang bayi meraba-raba wajah Hazen. Menepuk hidung, kening, kedua pipi Hazen bahkan bibir Hazen.

“Ishhh masih bocil udah bisa modus aja kamu.” Kekeh Hazen lalu mencium pipi, kening, hidung dan bibir si bayi bergantian.

Marvin mengerjapkan matanya melihat itu, baru saja entah bagaimana Marvin merasa jantungnya berhenti berdetak satu detik saat melihat adegan mencium Hazen kepada sang bayi.

Ia menyentuh dadanya yang berdetak kencang. “Anjir ini kenapa gue deg-deg an banget? Cuma karena liat si bayi yang kesenengan dicium Hazen? Seriously?”

Sang bayi bertepuk tangan senang, tangannya meremas udara.

Mmmmaaa maaaa

“Hah? Apa? Kamu mau makan?”

Marvin menatap bayi itu, karena sang bayi juga sedang menatapnya. “Apa liat-liat?!”

Pppaaa paaaa

“Iya, apaan? Kok malah balik nanya?”

Hazen pening, kenapa Marvin mencak-mencak begitu. “Kak bisa diem nggak? Aku buatin susu dulu, kayaknya dia laper.”

“Mama.” Ucap sang bayi saat Hazen hendak pergi.

Hazen berbalik badan lalu berjongkok di samping sang bayi. “Apa? Kamu bilang apa? Makan?”

“Mama mama mama.” Ucap bayi itu sambil menunjuk Hazen.

Tak yakin dengan yang ia dengar, Hazen pun menayakan kembali. “Ma—ma? Aku?”

Bayi itu bertepuk tangan dan tertawa, “Mama, mama, mama.”

Marvin tertawa. “Kata dia, lo Mama.”

“Papa brrrrmm papa!” Bayi itu kini menunjuk-nunjuk Marvin.

“Hah? Papa? Gue Papa?” Tanya Marvin.

Lagi, bayi itu tertawa dan mengangguk serta bertepuk tangan. “Papa, Mama, Papa, Mama.”

Marvin dan Hazen saling pandang setelahnya, setelah beberapa detik kemudian pandangan itu terlepas.

“Anjritt ngeri banget dah, dek jangan panggil kita Papa Mama ya? Panggil Kak aja.” kata Hazen setelahnya, mencoba memberi paham kepada si bayi.

“Mama, Papa.” Eyel si bayi tak mau menuruti Hazen.

“Ka—kak. Bukan Mama ya? Tapi kakak.”

“Mama, mama, mama.”

“Astaga, bisa-bisanya gue cowok macho gini dibilang Mama! Jangan ngadi-ngadi kamu ya bayi.”

Marvin tidak peduli, ia membiarkan bayi itu berceloteh sesuka hati. Lagian namanya masih bayi, kosakata Mama dan Papa wajar disebut ketika sudah bisa berbicara.

“Mamaaa.”

“Zen, anaknya minta gendong deh kayaknya. Gendong aja tuh.”

Tsk, kalo gitu lo buatin susu nya.”

“Gue nggak bisa, kemarin nggak diminum kok sama dia.”

“3 sendok bubuk susunya, air angetnya jangan penuh, sisasin sepertiga dari botolnya.”

“Kalo nggak enak jangan salahin gue!”

“Hm, atau lo yang gendong? Biar gue yang bikin susunya?”

“Nggak, gue aja yang bikin susunya, lo yang gendong.”

Marvin segera kabur ke dapur untuk membuat susu formulanya setelah mengambil bubuk susu dan dot yang ada di meja ruang tamu. Hazen tadi yang membawanya bersamaan baju.

“Mama mama mama.”

Hazen melirik sang bayi dan menghela nafas. “Serah dah, nanti kalo udah gede, aku ajarin manggil kakak.”

Karena jam sudah menunjukkan pukul 9 artinya satu jam lagi mereka harus berangkat ke kampus, akhirnya Haze menggendong sang bayi dengan gendongan bayi sembari membuatkan sarapan untuk dirinya dan Marvin. Hanya sarapan sederhana yaitu sandwich telur dan mayo. Sedangkan Marvin membuat jus semangka untuk dirinya dan Hazen. Sang bayi asik menyesap susu formula di dotnya.

Pagi itu, keadaan asrama 119 sangat ramai. Ramai dengan gelak tawa, tangis dan teriakan si bayi dan suara frustasi Hazen yang meladeni sang bayi. Sedangkan Marvin hanya diam duduk di sofa sembari menonton televisi sambil menikmati sarapannya.

“Kak, lo baca ini. Baca dengan bener, dan ambil keputusan harus kita apain ini bayinya.” Hazen menyerahkan amplop surat kepada Marvin.

Marvin menerimanya, dan membaca dengan cermat. Setelah beberapa menit membaca ia menghela nafas berat. Cobaan hidupnya sungguh berat kali ini, benar-benar berat.

“Zen.”

Then?

Marvin menatap serius kedua manik hazel milik Hazen. “Ok, but—

But?

Try it 1 years.

Flo

Dengan kecepatan tinggi, Hazen menancapkan gas pada motor KLX kesayangannya menuju asrama. Ia tak habis pikir, ini Marvin sedang mengajaknya bercanda agar dirinya pulang cepat atau memang betulan ada bayi di asrama mereka?

Pikiran Hazen bercabang, berpikir betapa anehnya jika memang ada bayi di dalam asrama mereka. Secara, Hazen dan Marvin selalu mengunci pintu dari luar, hari ini seingat Hazen, Marvin bilang akan berada di kampus sampai malam untuk mengerjakan tugas kelompok juga seperti dirinya.

Tapi kenapa Marvin sudah kembali ketika ini masih pukul 3 sore?

Dan lagi, kenapa bisa ketika pintu dikunci, ada yang bisa menerobos masuk ke dalam asrama mereka untuk menaruh bayi? Bukannya asrama Neo Dream itu pengamanannya ketat? Tidak ada yang bisa masuk asrama tanpa tanda pengenal asrama.

Benar, setiap penghuni asrama diberi kartu identitas asrama, ketika masuk gerbang asrama, satpam akan meminta kartu identitas nya untuk mengecek, jika tidak memiliki, maka tidak diperbolehkan masuk demi menjaga keamanan.

Kecuali, jika penghuni asrama datang menjemput orang itu sampai gerbang dan bilang bahwa orang itu memang disuruh datang oleh penghuni asrama, satpam akan meloloskannya. Setidaknya ada konfirmasi dari pihak penghuni asrama jika orang luar itu memiliki kepentingan dengannya.

Maka dari itu, Hazen ingat betul, ia tidak memiliki janji dengan siapa-siapa untuk bertemu orang di asrama. Lagian, sudah tercatat di dalam peraturan asrama 119 bahwa Hazen tidak boleh membawa orang masuk ke asrama tanpa seizin Marvin.

Atau memang Marvin punya janji dengan seseorang? Tapi jika iya, kenapa Marvin pun panik melihat bayi itu di dalam asrama mereka?

Ah tidak tahu, Hazen mulai pusing sekarang menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Ia mempercepat laju gas nya agar cepat sampai, ia sudah sangat penasaran dengan peristiwa apa yang datang kepadanya tiba-tiba seperti ini.


Hazen menyandarkan tubuhnya di pojokan lift yang mengantarkannya menuju lantai 3—tempat tinggalnya sejak satu bulan lalu.

Ting

Bunyi pintu lift terbuka membuat Hazen segera melangkahkan kakinya sedikit tergesa menuju ruangan 119.

Ketika ia sampai di depan pintu 119, ia mencoba memutar knop pintunya, barangkali tidak dikunci oleh Marvin karena Marvin ada di dalam.

Dan benar saja, pintu itu langsung terbuka setelah Hazen memutar knop nya. Hazen membulatkan mata dan membeku di tempatnya berpijak, ketika pertama kali ia masuk, gendang telinganya langsung menyerap bunyi tangisan bayi yang begitu keras dan memilukan.

“What the fuck? Jadi ini beneran? Kak Marvin nggak lagi kibulin gue kalau ada bayi disini?” Batinnya masih mencerna suara tangisan bayi yang memenuhi indra pendengarnya.

“Duh, bisa diem nggak? Gue nggak ngerti kenapa lo nangis? Jangan protes dong kalau misal emang gue gendong nya nggak enak! Gue nggak pernah gendong bayi tau!”

Please, lo diem dong bayi, gue pusing banget ini udah 30 menit dengerin lo nangis dan gendong lo! Pegel buset tangan gue, lo agak berat juga anjay.”

“Arghh, Hazen mana si? Kok lama banget nyampenya. Awas aja kalo itu bocah tengik nggak balik dalam 10 menit, gue buang semua baju dan kopernya ke sungai belakang asrama!”

Begitulah yang di dengar Hazen di tengah tangisan bayi, yang sudah bisa Hazen tebak itu pasti suara Marvin yang sedang mengomeli bayi.

Hazen mendadak pusing, ia memijat pelipisnya dan menggerakkan kembali kedua kakinya yang terpaku di ambang pintu untuk menghampiri Marvin setelah mengunci pintu.

Tap tap tap

Oeeeek oeeeek oeeekk

Oh My God, Hazen makin pusing saat kini dirinya ada di belakang Marvin beberapa meter. Karena suara tangisan bayi itu makin kencang dan merusak gendang telinganya.

“Gue bilang jangan nangis, susu nya kurang enak? Kok nggak lo minum sih? Ya maap kalo susunya nggak enak, gue nggak ngerti caranya buat susu bayi!”

Marvin masih belum tersadar jika Hazen sudah ada di belakangnya, mungkin karena suara tangisan bayi itu sangat kencang sehingga seluruh atensi Marvin ada pada bayi itu dan tidak menyadari jika Hazen pulang.

“Ya Tuhan, gue harus balik ke kampus buat nerusin kerja kelompok, please lo berhenti nangis dan tidur ya? Tunggu Hazen pulang, kalo dia udah pulang lo boleh nangis lagi sepuas lo, minta gendong sama Hazen.”

Hazen menganga seketika mendengar monolog Marvin kepada sang bayi. “Kurang ajar, bisa-bisanya lo mau tumbalin gue dengan sengsara sendirian? Apa gue keluar aja dan nggak usah pulang sampe besok? Biar Marvin urus tuh bayi sendirian?”

Pikiran jahat Hazen melalang buana setelah mendengar ucapan Marvin beberapa detik yang lalu.

Tapi sekali lagi, Hazen orang yang baik. Hatinya terlalu baik dan tidak akan pernah tega untuk melihat orang lain menderita ketika dirinya bisa menolong. Meski Hazen juga sama-sama 0 tentang ilmu menjaga bayi, tapi dengan modal nekatnya, ia akan membantu Marvin.

Kasihan sekali kakak tingkatnya itu, semester 3 sudah lumayan hectic dengan tugas menumpuk, tidak seperti dirinya yang tugasnya bisa dikebut dalam semalam dan tak terlalu banyak karena masih maba.

Menghela nafas dalam, akhirnya Hazen memutuskan untuk mengalah dan membantu Marvin. Ia mendekati Marvin dan menepuk pundak lelaki yang lebih tua.

“Kak Marv!”

Marvin terlonjak sedikit dan menoleh, ia tampak terkejut dengan kehadiran Hazen yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya. “Lo kapan datengnya? Kok gue nggak denger ada orang masuk?”

Oeekkkk oooeeekkk oooeekkk

Hazen berdecak, sungguh demi Tuhan, suara tangisan bayi itu sangat kencang. Bahkan Marvin sampai bergidik ngeri.

“Gimana mau denger kalo aja yang lo gendong nangis sekenceng ini dari tadi?”

Marvin menghela nafas lelah, “Tangan gue kesemutan, cepet gendong dia. Gue udah 30 menit kayak gini dan dia masih aja nangis, udah gue kasih susu tapi nggak mau diminum sama dia.”

“Zen, gue harus balik ke kampus. Juan udah mencak-mencak dari tadi karena gue ijin balik buat ambil flashdisk, bukan buat urusin bayi nangis.” Tanpa meminta persetujuan Hazen, Marvin langsung menyerahkan sang bayi itu ke dada Hazen.

Dengan spontan, Hazen pun memeluk bayi yang ada di dekapannya. “Heh jangan gila, kalo ini bayi jatuh gimana? Bilang dulu dong kalau mau ngasih bayinya!”

“Lo lama, dibilang gue buru-buru juga.” Ucap Marvin memijati kedua lengannya bergantian karena kebas menggendong bayi itu selama 30 menit.

“Kenapa ini bayi ada disini Kak?”

Marvin yang sedang berjalan menuju kamarnya pun diekori oleh Hazen yang menggendong bayi menangis.

“Mana gue tau? Gue masuk asrama tetiba udah ada nih bayi di sofa abis itu tetiba nangis pas liat gue.”

“Lo ada janjian sama orang nggak sebelumnya? Siapa tau ini anak orang yang ada janji sama lo?”

“Nggak ada, gue nggak pernah ijinin siapapun bertamu di asrama gue kecuali Tristan and the genk.”

Marvin berhenti di ambang pintu kamarnya lalu menoleh ke belakang. “Ngapain?”

Hazen menaikkan sebelah alisnya. “Apanya yang ngapain?”

“Ngapain lo ngekorin gue kayak anak ayam sampe kamar? Lupa aturan?”

“O-oh, ya nanya aja sih karena penasaran.”

“Gue nggak tau ini anak siapa, lo urus dulu dia sampai gue pulang. Langkah selanjutnya apa biar kita pikir abis gue pulang.”

“Anjir kak tapi gue juga ada tugas dan belum selesai, gue udah bilang ke Yosa kalo ntar malem udah gue kumpulin!!!”

“Ya udah, lo sambil ngerjain tugas aja kalo gitu.”

“Hah? Gimana bisa fokus gue kalo dia nangis terus????”

“Ntar kalo capek dan suaranya mau habis juga diem sendiri.”

“Bangke, nggak berperi kemanusiaan banget lo!”

Marvin menendang pintu kamarnya sedikit kencang.

Brakk

Hazen terlonjak kaget dan tangisan bayi di gendongannya makin kencang.

Ooeekkk oeeekk oeeeekkk

“Kak! Kenapa pake nendang-nendang pintu segala sih? Liat, bayinya kaget dan makin nangis, brengsek.”

“Zen, please turutin apa kata gue tadi. Gue beneran harus balik ke kampus, besok gue ada praktek dan kerjaan kelompok gue belum jadi untuk praktek besok, tolong ngertiin gue. Hari ini gue hectic banget Zen, gue capek. Jangan buat gue makin marah karena lo yang nggak mau nurut dan toleransi sama keadaan gue.”

Hanya ada suara tangisan bayi yang masih kencang yang mengudara di suasana mencekam ini. Hazen tidak marah kok, ia hanya kesal karena kelakuan Marvin tadi membuat bayi ini makin tidak bisa diam. Hazen kasian melihat bayinya yang sudah memerah hampir biru mukanya karena lama menangis, bahkan suaranya pun sudah serak-serak. Dan seenak jidatnya, Marvin membuat bayi ini makin nangis.

Fine, nggak usah pulang sekalian nggakpapa, gue urus bayi ini sendirian. Lo urus aja tuh tugas penting lo.” Ucap Hazen akhirnya meninggalkan Marvin berdiri sendirian di depan pintu kamar.

Seusai kepergian Hazen, Marvin terdiam sebentar. “Gue salah? Apa salahnya gue lebih mentingin tugas yang emang buat kebaikan gue? Arghh udahlah bodoamat, Hazen pundung juga nggak ada pengaruhnya buat gue.”


Hazen sedang duduk di sofa, di lengannya ada sang bayi yang masih sesenggukan sembari meminum susu formula dari dot. Serta telapak tangan kirinya yang menepuk-nepuk pantat si bayi agar bisa lebih tenang.

Seingat Hazen, Bunda nya pernah cerita dulu bagaimana nakal dirinya yang susah berhenti menangis saat bayi jika tidak ditepuk-tepuk pantat, lengan, punggung atau kepalanya. Ingatan itu membawa keberuntungan untuk Hazen saat dimasa-masa ini.

Karena berkat perkataan Bundanya, Hazen bisa menidurkan si bayi rewel ini meski masih tersisa sedikit sesenggukan.

Semua tangannya bekerja, tangan kanan nya ia gunakan untuk membalas pesan-pesan penting yang masuk, serta digunakan untuk mengetik keyboard laptop demi meneruskan tugas kelompok bagiannya.

Hazen itu jenius, dia bisa mengetik hanya menggunakan 5 jari kanan nya. Meski tidak bisa secepat saat menggunakan 10 jarinya, tapi Hazen tidak terlalu kesusahan untuk mengetik dengan 5 jari saja.

Ngomong-ngomong soal susu formula, Hazen membuatkan yang baru. Karena si bayi tidak mau minum yang dibuat oleh Marvin, setelah Hazen perhatikan susu formula itu, ternyata memang bukan seperti susu, karena Marvin terlalu sedikit menuangkan bubuk susunya sedangkan airnya sampai penuh. Tentu saja rasanya hambar, mana mau si bayi meminumnya?

Hazen menghela nafas kasar. Benar-benar gila, orang gila mana yang menaruh bayi di asrama Marvin? Apa orang itu ingin bayi ini wafat dengan cepat setelah berada di tangan Marvin?

Tubuh Hazen lelah, ia menunduk untuk memperhatikan wajah si bayi yang tengah tertidur lelap. Wajah nya sudah tidak memerah karena si bayi sudah tidak menangis.

“Ini bayinya cewek apa cowok ya? Lucu banget, cantik lagi. Putih bersih juga.”

“Kira-kira ini umurnya berapa? Kok rambutnya udah lebat dan udah nggak pakai gedong bayi.”

“Um—6 bulan deh kayaknya. Soalnya mirip foto-foto bayi gue pas umur 6 bulan. Gedenya juga segini.” Ujarnya mengingat album foto masa kecilnya yang disimpan oleh Bunda.

Bundanya itu, suka sekali menunjukkan foto-foto bayi Hazen kepada dirinya. Kata Bunda begini, “Zen, kamu waktu bayi loh gembul banget kayak bakpao itu. Mana nggak punya hidung karena hidungmu ketutup kedua pipi kamu yang tumpah-tumpah. Tapi bibir kecil kamu cantik banget Zen, bentuknya hati gitu haha. Pas udah gede gini, hidung kamu maju, pipi kamu ngempes dikit tapi bibirnya masih tetep bentuk hati. Ih gemes banget pokoknya kamu waktu bayi, sekarang udah ganteng dan dewasa aja bayi nya Bunda”

Begitu kata Bunda kepada Hazen beberapa kali saat Bunda menunjukkan foto-foto masa kecilnya.

“Tangan gue tremor duh, capek juga gendong bayi. Padahal beratnya kek nya gak ada 5kg tapi kenapa capek banget ya? Jadi gini yang dirasain Bunda dulu waktu rawat gue?”

Hazen jadi merindukan Bundanya, kangen cuddle bersama sang Bunda jika begini. Hazen ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada Bunda karena sudah membesarkan Hazen hingga saat ini.

“Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia.”

Hazen tetiba bersenandung lagu itu dengan lirih, dan yang ia dengar selanjutnya adalah hembusan nafas teratur bayi di gendongannya, sudah tidak ada sesenggukan lagi, alias benar-benar tidur terlelap karena dot nya pun terlepas dan jatuh di lantai.

“Lah, cepet banget pulesnya, tadi perasaan masih sesenggukan.” Ucapnya sembari melihat fitur wajah sang bayi.

Hazen mengambil dot yang jatuh lalu berdiri dan berjalan menuju kamar miliknya. Ia capek menggendong bayi itu selama satu jam lebih, karena bayi nya sudah tidur nyenyak, maka Hazen akan membaringkan si bayi di kasur saja agar tidurnya lebih nyaman.

Hazen meletakkan bayi nya di tengah-tengah, lalu menghalangi sisi kanan dan kirinya menggunakan bantal agar si bayi tidak jatuh saat bergerak. Kepala sang bayi, Hazen ganjal dengan selimut yang ia lipat kecil membentuk bantal.

“Huft, nidurin bayi aja deg-deg an banget. Kayak gini bukan sih cara nidurin bayi biar aman? Harusnya aman, bantal kanan kiri ini lebih berat daripada bayinya.”

Selesai menidurkan sang bayi, Hazen meregangkan tangan dan pinggang nya. Sampai leher pun ia lakukan peregangan. Karena jujur saja, tubuh Hazen rasanya macam remuk redam.

“Oke, sekarang aman. Saatnya gue balik ngambis, atau ntar Yosa bakalan mukul gue kalo nggak selesai ntar malem.” Hazen keluar dari kamarnya tanpa mengunci pintu, agar jika sang bayi menangis, Hazen bisa mendengarnya.

Saat Hazen ingin duduk kembali di sofa mengerjakan makalahnya, ia tidak sengaja tersandung sesuatu hingga ia jatuh tersungkur dengan tidak aesthetic nya di lantai.

Tidak terlalu keras sih, jadi Hazen tidak merasakan sakit kebangetan, ya—hanya nyeri dikit di lutunya. “Bangsat, siapa yang jegal kaki gue sih? Setan asrama? Muncul lo setan! Gue nggak takut sama lo, gue punya Tuhan!”

Ucapnya sedikit menurunkan volume suara, mengingat di dalam sini tidak hanya ada dirinya, ada bayi yang tengah tidur lelap di kamarnya.

Hazen menggaruk tengkuknya, ia merasa gila sekarang. Mana mungkin ada hantu asrama? Harusnya Hazen juga bisa lihat sejak pertama kali datang jika memang ada hantu. Fyi, Hazen anak indihome guys—salah. Indigo maksudnya. Dan hanya keluarga serta 5 sahabatnya yang tahu soal ini.

Ia berdiri dan merunduk untuk melihat benda apa yang menyandungnya tadi. Dan tepat di bawah kaki meja ada sebuh tas besar berwarna abu-abu. Hazen berjongkok dan menariknya keluar dari bawah meja.

“Ini perlengkapan bayi ya?” Tangannya mulai mengeluarkan satu persatu barang yang ada di dalam tas besar itu.

“Wow, hahaha lucu-lucu banget.” Ucapnya ketika ia mengeluarkan beberapa setel baju, sepatu bayi, kaos kaki bayi.

“Eh ada boneka juga. Dikasih perlengkapan mandi sama apaan dah ini? Minyak telon? Parfum? Ooooh skincare bayi tuh gini bentukannya?” Tanyanya pada nyamuk yang terbang di atasnya.

Image

Hazen memembawa tas bayi itu beserta isi-isinya ke dalam kamarnya. Daripada ia dimarahi Marvin karena berantahkan, lebih baik berantahkan di kamarnya saja, Marvin tidak akan melihatnya.

Saat Hazen ingin menata kembali baju-baju dan peralatan bayi yang ada di dalam tas, sebuah amplop jatuh mengenai punggung kaki nya dari celah-celah baju yang terlipat.

Hazen mengernyitkan dahinya dan mengambil amplop itu dan membuka nya. Hazen pikir, ini amplop akan berisi uang tunai atau surat tes DNA mungkin, untuk menunjukkan siapa orangtua bayi ini, namun ternyata Hazen salah.

Bukan itu isinya, melainkan sebuah surat yang ditulis tangan dengan rapi. Hazen membaca nya dengan teliti.

Beberapa menit setelahnya...

“Anjrit, apa-apaan dititipin? Dikira ini asrama panti asuhan?” Cicitnya lirih, takut membangunkan si bayi.

Hazen keluar dari kamar dengan masih membawa surat itu di tangannya.

“Ini udah gila kalau kata gue, orangtua macam apa nitipin anaknya sama orang asing? Dan lagi—dia nitipin ke mahasiswa? Yang nggak pernah megang bayi sama sekali? Heol, beneran sinting in bapaknya.”

“Dia kenal kak Marvin pasti kalau sampe bisa bobol nih asrama. Ck, harus bicarain ini nanti sama Kak Marvin buat langkah selanjutnya.”

Hazen menyandarkan punggungnya di sofa setelah mendudukkan tubuhnya, menatap layar laptop nya yang menyala, menunjukkan deretan kalimat yang belum terselesaikan.

Benar, tugas makalahnya.

“Aish, apa ini feeling yang gue bilang ke Marvin beberapa hari lalu? Seriously? Ya masa dapet bayi si anjir, gue berharapnya tadi dapet emas batangan gitu kek.”

Drrtt Drrt Drrrt

Getaran ponsel di sakunya pun menyadarkan dirinya dari mengomel sendirian, ternyata sahabat-sahabatnya lah yang membuat ponselnya bergetar terus menerus.

ོ ┌ ꒰⍉꒱─ ➤ Flo ༘`⍜´ˎ-