amaltheaan

“Felix?”

Felix baru saja memasukan ponselnya ke dalam saku ketika namanya dipanggil. Ia buru-buru memasang wajah seramah mungkin dan mengalihkan pandangannya ke arah suara.

Di sana Changbin berdiri masih dengan jas dokternya tersenyum lebar ke arah Felix. “Tadi Minho minta gue buat susul lo ke sini, dia engga bisa ke sini soalnya ada konsul sama koas, terus kata dia lo engga tahu ruangan kita.”

Felix balas tersenyum sambil menganggukan kepala, mengiyakan pernyataan Changbin. Setelahnya Changbin mengajaknya langsung menuju ruangan mereka.

Selama keduanya berjalan beriringan rasanya ia benar-benar ingin menjitak kepala kakak sepupunya, sebab ia tahu betul kalau kakaknya itu hanya beralasan pada Changbin agar mereka bisa lebih dekat.

“Um... Lo apa kabar?” tanya Changbin berusaha melelehkan suasana antara mereka.

“Baik, kok, hehe. Lo gimana?”

“Baik juga sih.”

Lebih dekat pala lo, Felix mengumpat dalam hatinya, jengkel. Bukannya lebih dekat seperti yang Minho bilang, mereka hanya saling canggung satu sama lain. Apalagi setelah kejadian di kedai minggu lalu, Felix bisa saja memukul wajahnya sendiri tiap kali mengingat kejadian itu, memalukan.

“Di sini,” ucap Changbin sambil menunjuk satu ruangan yang pintunya tertutup. Ia kemudian membuka pintu dan mempersilakan Felix masuk.

“Oh Felix!” sapa Minho saat pertama kali Felix masuk ke dalam ruangan. “Sini, duduk,” katanya sambil menarik satu kursi ke sebelahnya.

Felix kemudian langsung mengambil tempat yang Minho tunjukan. Ada beberapa orang di sana yang sedang berbicara dengan Minho diantaranya memegang pena dan buku di tangan mereka, sepertinya memang benar Minho sedang berbicara dengan beberapa koas. Namun tetap saja kesalnya masih terasa.

Mata Felix melirik Changbin yang ikut menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Laki-laki itu ikut menyimak percakapan antara Minho dan beberapa dokter muda itu. Sementara Felix hanya bisa mendengarkan sambil menghindari mata para dokter muda di depannya.

Setelah beberapa menit, akhirnya Minho menyuruh para dokter muda itu untuk makan siang. Barulah kakak sepupunya itu melirik Felix.

“Jadi lo ngapain ke sini?”

Felix jelas mengernyit, “Lo katanya mau garlic bread yang gue bikin?”

Alis Minho terangkat sebelah, “Serius buat nganterin garlic bread aja? Engga ada yang lain?”

AH, Felix jelas mengerti kemana pembicaraan ini berlangsung. Ia memutar matanya malas. Meskipun Minho tidak sepenuhnya salah, tetap saja rasanya sangat menyebalkan.

“Engga,” jawab Felix singkat. Tangannya membuka goodie bag yang ia bawa mengeluarkan dua buah tempat makanan yang berisi roti itu.

Satu box ia berikan kepada Minho, satunya lagi ia sodorkan pada Changbin yang kini duduk di sebelahnya sambil membaca beberapa dokumen yang Felix tidak tahu isinya.

“Eh?” Changbin menatap Felix heran, “Buat gue?”

“Iya. Gue buatnya banyak, jadi sekalian aja buat lo,” kata Felix. Matanya menatap lamat wajah Changbin yang terlihat sedikit terkejut.

Changbin tersenyum, ah bukan, tertawa kecil. Tangannya membuka box makanan itu dan mengambil satu potong roti dari sana. “Makasih ya! Kebetulan banget gue emang suka garlic bread.”

Jawaban tidak terduga itu membuat Felix mengerjapkan matanya beberapa kali. Apakah artinya Changbin bukanlah Vampire seperti dugaannya?

Hipotesanya salah lagi?

“Oh?”

Felix melirik Changbin yang terlihat sangat terkejut setelah menggigit rotinya. Ia menatap Changbin, jantungnya berdegup kencang. Ia pikir mungkin saja Changbin bereaksi atas bawang putih.

“Waw. I think this is the best garlic bread ever,” katanya sambil mengelap bibirnya yang sedikit berantakan dengan remahan roti.

Tanpa sadar senyum Felix melebar, pipinya terasa sedikit memanas. Ia bahkan meraba nadinya sendiri, sebuah kebiasaan saat ia gugup. “Lo berlebihan,” balas Felix.

Semetara Changbin malah terkekeh sambil meneruskan kegiatannya menghabiskan roti itu dengan wajah senang.

“Ekhem, kayaknya gue engga kelihatan ya di sini?”

Felix mengalihkan perhatiannya pada Minho yang masih di posisinya. Ia memutar matanya malas sebab Minho kini menaik-turunkan alisnya menggoda Felix.

“Gue balik ya? Bentar lagi gue gantian shift sama anak-anak di Aine.”

Changbin yang mendengarnya langsung menutup box makanannya, “Biar gue anter ke depan.”

“Yap, ide bagus, gue mau makan,” kata Minho sambil mulai membuka kotak makannya.

Felix jelas menolak tawaran Changbin, ia bukan anak kecil yang harus diantar ke pintu keluar. Namun Changbin dan Minho tidak akan membiarkannya pergi sendiri, jadi ia hanya bisa pasrah saja atas kemauan dua orang itu.

Baru beberapa langkah Felix dan Changbin keluar dari ruangan, suara ambulance juga bangkar yang didorong terdengar. Changbin dengan cepat berlari menghampiri beberapa perawat yang mendorong bangkar itu, diikuti Felix di belakang.

Mata Felix membulat kala menangkap pasien yang ada di atas bangkar itu adalah pasien yang sama dengan dua minggu lalu. Pasien yang sempat ia pikir sudah tiada. Tangannya bergetar saat mata mereka kembali bertemu, mengundang bayangan yang sudah pernah Felix lihat.

Pasien itu akan meninggal setelah Changbin berikan pertolongan, itu akan benar-benar terjadi sekarang.

“What happend?” tanya Changbin pada salah satu perawat yang mendorong bangkar.

“Pendarahan dari luka jahitan minggu lalu.”

Changbin terlihat bingung sebab jika pendarahan biasa tidak mungkin darahnya sebanyak ini. “Pendarahan?”

“Keluarganya bilang dia ditusuk di tempat yang sama seperti kecelakaan dua minggu lalu.”

Mata Changbin membulat, ia kemudian melirik Felix, “Felix, gue kayaknya engga bisa—”

“Gue bisa pulang sendiri,” kata Felix, ia menahan rasa mual dan pusing yang ia rasakan.

Changbin mengangguk kemudian menyusul pasien ke dalam ruangan untuk memberi tindakan.

Sementara Felix meraba-raba tembok di sebelahnya, mencari pegangan sebab kepalanya terasa sangat sakit. Seluruh dunia berputar di kepalanya saat ini. Tubuhnya melemas di salah satu bangku di sana.

Sebisa mungkin Felix mengatur napasnya, mengusir panik yang ia rasa. Tangannya memijit pelan pelipisnya.

“I thought you get used to it after all this time.”

Felix menegang, ia mengenali suara ini. Felix melihat ke arah suara. Matanya menangkap laki-laki tampan yang duduk di sebelahnya.

“Long time no see, Felix.”

Felix mendecih, “Akhirnya kamu muncul juga.”

Sang Kematian tertawa, “Ah, aku tahu beberapa minggu ini kamu mencariku, apa yang mau kamu tanyakan?”

Sebelum sempat Felix membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan sang kematian, Changbin keluar dari ruangan mencuri perhatian Felix. Matanya melihat ekspresi wajah Changbin yang kini sedang berhadapan dengan keluarga pasien tadi, laki-laki bergelar dokter itu terlihat sangat sedih dan kecewa, membuat Felix memejamkan matanya tidak tega.

“Oh, so you already met him?”

Sontak Felix mengalihkan pandangannya pada Sang Kematian. Alisnya berkerut bingung dengan perkataan laki-laki itu.

Sang Kematian tertawa, “Your special one?”

“What?”

Felix keluar dari swalayan kala matanya menangkap sosok tegap dengan badan berotot yang baru saja turun dari mobil. Ia tersenyum dan segera menghampiri laki-laki yang sedari tadi ia tunggu. Kedua tangannya ia masukan ke dalam saku jaketnya guna mengurangi rasa canggung saat keduanya sudah saling berhadapan.

Changbin mengulum senyum sembari menyapa Felix yang sudah berdiri dua langkah di depannya. “Hai!”

“Hai!” jawab Felix. Mata laki-laki itu menyipit dengan kerutan di bawah kantung matanya yang membuatnya terlihat manis.

“Mau langsung pergi?” tanya Changbin dengan gestur menunjuk mobilnya yang terparkir di dekat mereka.

“Oh! Engga perlu naik mobil, kita jalan aja, tempatnya engga jauh kok,” katanya.

Changbin beroh ria, kunci mobilnya ia masukan ke dalam saku hoodie-nya. Ia kemudian mempersilakan Felix untuk berjalan terlebih dulu agar laki-laki virgo itu bisa menunjukan jalan menuju tempat makan yang sebelumnya Felix bilang.

Sementara Felix terkekeh kecil, menetralisir rasa canggung yang mengudara. Ia berjalan dua langkah di depan Changbin, kepalanya sangat berisik memaksanya untuk membuka percakapan guna mengusir hawa tidak enak antara mereka.

“Um... By the way Changbin,” panggilnya sambil memutar tubuhnya hingga ia berjalan mundur di trotoar. “Gue lupa tanya, lo engga masalah sama seafood kan?”

Changbin mempercepat langkahnya agar sejajar dengan Felix, sehingga laki-laki itu tidak perlu memutar tubuhnya, “Engga kok, emang lo mau bawa gue ke tempat makan apa?”

“La Mian” jawab Felix.

“Oh.”

Hening yang mendera setelahnya membuat Changbin sedikit merasa tidak enak karena mungkin reaksinya tidak terlihat senang.

Sedangkan Felix sendiri terhanyut dengan beberapa pikiran yang mendadak memenuhi kepalanya, mengenai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika Changbin memang makhluk abadi. Apa yang akan Felix lakukan kalau percobaan pertamanya dalam mencaritahu ini berhasil?

Apakah ia akan berhenti dan menjauhi Changbin?

OH!

Yang terpenting apa yang akan ia lakukan jika Changbin adalah werewolf dan berniat akan memangsanya malam ini?

“Felix!”

“Hah?” Seluruh bayangan di kepalanya musnah kala sikunya ditarik kencang sampai tubuhnya limbung dan hampir tersungkur jika saja tangan Changbin tidak melingkar di pinggangnya.

“Lampu penyebrangannya masih merah,” bisik Changbin tepat di telinga Felix.

Felix melihat sekitar, ia tepat berada di ujung trotoar di depannya adalah jalan raya yang cukup ramai. Lampu penyebrangan jalan masih berwarna merah. Matanya seketika membelalak, sadar bahwa ia mungkin saja celaka jika Changbin tidak menariknya.

Ia baru saja mau menghela napas ketika ia merasakan keanehan. Tangan Changbin masih melingkar di pinggangnya menarik perhatian beberapa orang yang juga akan menyebrangi jalanan.

Thanks” ucapnya sambil melepas tangan Changbin yang masih melingkar di pinggangnya.

“Ah, sorry.


Felix kembali setelah memesan makanan dan berbincang dengan Koko pemilik kedai. Ia mendaratkan pantatnya di kursi berhadapan dengan Changbin yang kini matanya sedang menjelajahi kedai kecil itu.

Keduanya sekarang duduk di salah satu meja yang terletak di luar kedai, Felix sengaja memilih meja di luar agar ia bisa dengan mudah membawa Changbin jika asumsinya mengenai Changbin benar.

“Tempatnya oke kan?” tanya Felix dengan nada yang ramah.

Changbin mengangguk, “Oke kok. Cukup rame juga ya?”

“Iya, Koko yang punya udah buka kedainya 30 tahunan. Kedai ini cukup terkenal juga di sini, makanya rame sampe dibukain tempat out door juga.”

Yang lebih tua mengangguk mengerti. Ia masih meneliti sekitar, Changbin sedikit pemilih mengenai tempat makan terutama kebersihan sekitarnya. Ia tidak menemukan sesuatu yang aneh, semuanya terlihat bersih dan aman, maka kini ia menatap Felix yang duduk di depannya.

“Lo udah sering ke sini?” tanya Changbin memecah keheningan.

“Lumayan sering.”

“Sendirian?”

Felix mengernyit, “Engga juga sih, kadang sama Jisung pacarnya Kak Minho, atau sama Kak Minho juga sering.”

Pesanan mereka kemudian datang, Felix mempersilakan Changbin untuk mencicipi makanannya lebih dulu. Ia ingin tahu apakah laki-laki itu menyukai makanannya atau tidak. Matanya menelusuri wajah Changbin meneliti ekspresi yang tercetak di sana kala laki-laki itu mencicipi kuah dari mie yang ia pesan.

“Eum, enak,” ucap Changbin yang mengundang senyum manis di wajah Felix. “Pantes aja kalau lo sering ke sini.”

Keduanya kemudian sibuk menikmati makanan masing-masing sambil sesekali berbincang mengenai hal kecil, entah itu cuaca, musik atau yang lain. Untuk sejenak Felix melupakan tujuan utamanya mengajak Changbin makan malam di sini. Ia terbawa pada pembawaan Changbin yang menakjubkan baginya, sebab untuk pertama kalinya ia tidak perlu merasa mual atau kasihan pada lawan bicaranya tiap kali mata mereka saling bertatap.

Felix merasa nyaman berbicara dengan Changbin.

Ting!

Layar ponselnya menyala, memberikan satu notifikasi dari Jisung. Felix segera membawa benda tersebut dari atas meja dan membaca satu kalimat yang mengingatkannya mengenai misinya malam ini.

Hei, lo oke kan? Kalau ada apa-apa ketik 1. Kalau lo oke, ketik 2.

Jari-jarinya membalas pesan dari Jisung dengan cepat, kemudian ia menyimpan ponselnya ke dalam saku jaketnya sebelum akhirnya ia kembali menatap Changbin.

Felix berdehem untuk menetralisir jantungnya yang mndadak berdetak cepat. Ia gugup untuk menjalankan misinya, kepalanya kembali berisik mengenai kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Felix mendongak menatap langit gelap yang hanya diterangi benda bulat sempurna di atas sana.

“Oh, look! The moon is beautiful,” katanya sambil menunjuk ke langit.

Changbin ikut melihat ke langit sambil mengunyah makanannya.

“Isn't it?” lanjut Felix sambil masih melihat ke langit.

Changbin termenung, dahinya berkerut mendengar kalimat yang keluar dari mulut laki-laki manis di depannya itu. Ia bingung dan kaget dalam waktu yang bersamaan. Saraf-saraf di otaknya saling bersatu menyuarakan hormon adrenalin untuk membuat jantungnya bekerja lebih cepat.

Sementara Felix membeku di tempatnya setelah beberapa saat menyadari ada yang salah dari ucapannya. Pipinya memanas, rona merah muncul menjalar hingga ke kupingnya. Ia bisa merasakan dingin di telapak tangannya.

AH SIAL.

“A— I mean, the moon is beautiful for real. I didn't mean anything—”

Tawa renyah keluar dari mulut Changbin, di matanya Felix terlihat lucu. Laki-laki manis itu terlihat seperti tomat ceri kesukaannya. Menggemaskan. “I get it, Felix. Calm down.”

Felix menundukan kepalanya kala pendeta di ujung sana mulai memberikan khutbahnya di hadapan peti mati berwarna putih itu. Matanya sesekali menyapu pemakaman mencari seseorang yang selalu menemuinya di tempat seperti ini.

Kepalanya sedikit pening sebab beberapa kali orang-orang di sana menatap tepat di matanya. Membuatnya tidak sengaja menyaksikan kematian mereka. Hembusan napas pelan serta gelengan kepala berkali-kali ia lakukan untuk menyingkirkan beberapa bayangan mengerikan dari kematian orang-orang ini.

Matanya masih menyapu sekitar, hingga getaran pelan di dalam saku jaketnya mengalihkan perhatiannya. Ia menjauh dari kumpulan orang-orang tadi dan merogoh sakunya mengambil benda persegi yang bergetar di dalam sana.

“Halo?”

“Lix? Sorry gue baru buka hp, lo gimana?” Suara Jisung di ujung sana terdengar sangat berat, laki-laki gembil itu pasti baru bangun.

“Engga gimana-gimana, gue udah hapusin tweet aneh gue dan acc akunnya Changbin. Lo baru bangun ya?”

“Ji, mau susu apa jus?”

Felix mengernyit kala ia mendengar suara yang sangat ia kenali dari ujung telepon. Ia berdecak pelan, “Oh Kak Minho di sana?”

Jisung terkekeh kecil dari ujung telepon, “Iya, dia nginep tadi malem.”

“Pantesan susah dihubungi lo.”

“Sorry.”

Felix diam. Hening mendera telepon mereka, hingga Jisung dapat mendengar sayup-sayup suara seseorang tengah memimpin doa.

“Lo dimana?”

“Gue lagi jogging, kenapa?”

“Jogging sama pendeta lo? Gue jelas denger ada yang berdoa di sana.”

Felix tertawa pelan, “Udah dulu, Ji. Gue harus pergi.”

Setelahnya ia menekan tombol merah dan kembali memasukan ponselnya ke dalam saku. Ia kembali memperhatikan pemakaman di ujung sana, peti mati itu mulai diturunkan. Ia menghela napasnya, dia tidak datang hari ini.

Maka Felix bergegas pergi dari sana sebelum pendeta itu menghampirinya, sebab ia tahu bahwa sang pendeta menyadari kehadirannya.

Felix turun dari motor yang ia naiki, membuka helm yang ia kenakan dan membetulkan tatanan rambutnya sembari melihat dirinya dari kaca spion sebelum akhirnya melangkahkan kaki ke gedung UGD untuk menemui sepupunya.

Ketika sampai di sana, ia segera menghubungi Minho sambil duduk di kursi tunggu yang ada di sana. Berkali-kali ia menghubungi kakaknya itu tidak ada jawaban. Akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri resepsionis rumah sakit untuk menanyakan dokter Minho. Namun yang ia dapat malah jawaban bahwa kakak sepupunya itu tidak ada jaga malam hari ini.

Dengan kebingungannya Felix kembali duduk dan mencoba menghubungi Minho sekali lagi, beharap kakak sepupunya itu akan menjawab.

“Felix?”

Yang dipanggil sontak mendongak guna melihat siapa yang memanggilnya. Hazelnya menangkap sosok tegap yang mengenakan jas putih serta stetoskop yang mengalung di lehernya, Dokter Seo.

Felix tersenyum sopan, “Hai!”

“Lagi nunggu siapa?” tanya Changbin.

“Kak Min, tadi dia minta dianterin brownies ke RS.”

Changbin mengernyit, raut wajahnya terlihat heran. “Kamu yakin dia minta dianterin jam segini? Soalnya Minho udah pulang tadi sore. Dia engga ada jaga malam hari ini.”

Felix mengumpat dalam hatinya, ia yakin ini pasti akal-akalan Minho yang sengaja membuatnya harus bertemu dengan Changbin. Ia menghela napas berusaha untuk tidak terlihat kesal.

“Oh yaudah kalau gitu—”

Suara ambulance disusul dengan bangkar yang dibawa tergesa terdengar keras. Baik Felix maupun Changbin sontak langsung melihat ke arah suara. Di arah pintu masuk terlihat beberapa perawat sibuk mendorong bangkar berisi seorang laki-laki yang berdarah-darah.

Felix memejamkan matanya kala bangkar itu melintas di depannya, sekilas ia dan pasien yang terbaring di sana bertatap. Pusing mendera, Felix bisa mencium bau amis dan rasa sesak dalam dadanya. Bayangan akan kematian orang itu terekam jelas dalam kepalanya. Changbin di sana, di dalam ruangan dengan semerbak obat, pasien itu menghembuskan napasnya yang terakhir setelah Changbin memberikan pertolongan semaksimal mungkin.

“Felix saya harus pergi.”

Sebelum Felix sempat menjawab Changbin sudah pergi dari sana. Ia mendudukan dirinya di kursi tunggu yang ada di sana. Tiap kali ia melihat kematian seseorang terlihat dekat membuatnya sedikit cemas dan sedikit merasa bersalah? Entahlah ada secuil rasa kasihan, dan ingin menolong.

Namun Felix selalu ingat apa yang terjadi kala ia berusaha memperkecil kemungkinan kematian orang lain. Itu tidak akan pernah bekerja.

Felix menghela napas sebelum akhirnya ia berdiri kembali menghampiri meja resepsionis UGD.

“Halo mbak, saya titip ini untuk Dokter Seo ya!” katanya sambil memberikan tas kertas berisi brownies.

“Dari bapak siapa?”

“Felix.”

Setelahnya Felix berpamitan dan pulang.

Felix memperhatikan anjing yang duduk tenang di depan bakery tempatnya membeli sarapan. Sesekali kepalanya melirik sekitar mencari pemilik si anjing yang terlihat menggemaskan sekaligus kasihan karena harus ditinggal oleh pemiliknya di luar, bakery ini tidak ramah untuk binatang peliharaan.

Sekitar tiga menit setelahnya, seorang laki-laki mengenakan hoodie hitam dan masker keluar dari bakery dengan kantung kertas dan cup kopi di tangannya. Laki-laki itu mengelus kepala anjing lucu tadi dan melepas ikatan harness anjing itu pada tiang dan membawanya pergi. Mata Felix tidak lepas dari pergerakan anjing dan pemiliknya itu, ia tersenyum simpul sebelum akhirnya mengemasi roti dan kopi yang ia beli dan pergi dari sana.


Felix memarkirkan sepedanya di taman yang terletak di seberang bakery tadi. Ia berjalan menghampiri laki-laki dan anjing yang tadi ia lihat.

“Um... Halo, aku tadi lihat anjingmu dari bakery, anjingmu lucu, apa aku boleh mengelusnya?” tanyanya ramah pada sang pemilik anjing.

Yang disapa mendongakan kepalanya, “Bole—”

Keduanya saling menatap dengan pandangan terkejut, terutama Felix, ia membeku di tempatnya seraya mencengkram erat cup kopi miliknya. Sementara lawannya tersenyum lebar sambil menepuk tempat kosong di kursinya.

“Ah Felix, sini duduk. Abis olahraga juga ya?”

Felix mengerjap dan balas tersenyum canggung.

“Dokter Seo, apa kabar dok?” tanyanya sambil melangkahkan kakinya dan duduk di tempat yang ditunjukan oleh sang dokter.

Yang ditanya terkekeh pelan, “Panggil Changbin aja, biar lebih akrab. Saya juga sedang tidak bertugas sebagai dokter sekarang.”

Felix menganggukan kepalanya. Ia menyeruput kopinya dalam diam merasakan canggung yang mengudara di antara keduanya. Sementara Changbin mengamit sebungkus kecil biskuit untuk anjing dan memberikan satu keping pada anjingnya.

“Oh tadi kamu bilang mau ngelus ya? Mau coba kasih biskuit?” tanyanya pada Felix sembari menyodorkan biskuit anjing yang ia pegang. “Pao ramah kok sama orang, coba aja.”

Felix tersenyum kecil, tangannya meraih satu keping biskuit dan mencoba untuk memberikannya pada anjing milik Changbin. Anjing itu mendongak matanya menatap Felix sembari memiringkan kepalanya, terlihat sangat imut di mata Felix.

Kala mata mereka bertemu, Felix membeku.

“Pao?”

Suara Changbin terdengar panik kala ia melihat sosok Pao terbaring lemas di atas lantai beralaskan karpet tipis. Anjing itu terlihat tidak lagi bernapas.

“Pao?”

Changbin terduduk di depan anjing itu sambil perlahan mengguncang perut sang anjing berharap ada pergerakan dari sang anjing kesayangan. “Please, Pao!”

“Bin?”

Sosok laki-laki muncul dari pintu ruangan menghampiri Changbin yang mulai bersimpuh dengan air mata di pipinya. Laki-laki itu ikut duduk dan berlutut, menarik Changbin dalam pelukan, tangannya mengusap pelan punggung laki-laki itu.

“Felix, Pao...”

“Felix?”

Seluruh bayangan di kepalanya menghilang seiring dengan tepukan pelan yang ia terima dari laki-laki di sebelahnya. Felix memegangi kepalanya yang terasa sedikit pening setelah melihat bayangan kematian peliharaan di depannya itu.

“Are you okay?” tanya Changbin, ia sedikit khawatir sebab laki-laki muda di depannya itu tampak pucat.

Yang ditanya menggeleng, ia tersenyum guna melelehkan atmosfer aneh di antara keduanya, “I'm totally fine!”

Felix melirik anjing coklat yang kini tengah menikmati biskuitnya di depan kakinya. Felix mengelus pelan bulu lebat anjing itu dengan sayang.

“Pao ramah kan?”

Felix mengangguk, “Iya ramah,” katanya pelan.

Ada perasaan sedih dalam hatinya kala ia mengetahui bahwa anjing ini akan meninggal dalam tidurnya. Namun ada yang lebih besar dari itu, rasa penasarannya akan Changbin setelah melihat bayangan kematian anjing peliharaan ini. Satu pertanyaan yang mengudara di kepalanya, kenapa ia ada di sana?

Kenapa Felix di sana? Kenapa Felix memeluk Changbin dan memanggilnya dengan santai?

Kepalanya benar-benar pening. Apa maksud semua ini?

“Hai Lix!”

Felix menyimpan ponselnya lalu menegakan badannya menatap pelanggan yang baru saja masuk dan menyapanyanya. Dapat ia lihat Minho masih dengan baju dinasnya yang tertutup jaket masuk ke dalam swalayan bersama dengan seseorang mengikuti di belakangnya. Pupil mata Felix melebar sejenak barang melihat teman yang Minho maksud adalah Dokter Seo.

“Hai kak!” balas Felix, ia melirik Dokter Seo sekilas dan memberikan senyum tipis.

Minho segera masuk dan berjalan menuju etalase mie instan yang ada di dekat kasir, sementara Dokter Seo melihat-lihat permen yang ada di etalase kasir.

“Halo, Felix, sehat?” tanya Dokter Seo ramah.

Felix terkekeh, ia menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal, “Sehat kok, Dok.”

Dokter Seo ikut terkekeh pelan menemukan gelagat canggung dari laki-laki di depannya. Ia kemudian mengambil beberapa macam permen dengan variant rasa yang berbeda.

“Udah lama kerja di sini?” tanya Dokter Seo sambil menyimpan permen yang dia pilih ke atas meja kasir.

Felix menganggukan kepalanya, “Dari lulus SMA, sih.”

“Gue kan udah bilang dia yang punya Swalayan, lo pake nanya udah lama kerja di sini segala,” kata Minho yang tiba-tiba kembali dengan empat cup mie instan dan dua botol air mineral yang ia simpan di atas meja kasir.

Felix tertawa mendengar perkataan Minho, sementara Dokter Seo terlihat bingung dengan wajah yang bersemu merah. Detik berikutnya Felix mulai melakukan scan pada makanan yang mereka beli, setelahnya Dokter Seo merogoh saku untuk mengeluarkan kartu debit miliknya.

Selesai membayar Dokter Seo segera membawa mie instan yang ia beli ke meja yang disediakan dan mulai memasak mie instan miliknya di sana. Sementara Minho masih berdiri di meja kasir sambil menatap Felix, “Lo belum makan kan?”

“Udah,” jawab Felix sambil kembali memainkan ponselnya.

Mata Minho menyipit curiga, ia tahu kalau Felix berbohong sebab laki-laki itu sama sekali tidak menatap wajahnya saat menjawab. “Bohong lo! Ayok makan bareng gue!”

“Engga ih!”

“Cepetan makan!” katanya sambil masuk ke dalam tempat kasir dan menarik Felix keluar dari sana.


Uap yang semerbak mengepul di tengah-tengah mereka bertiga. Sudah sekitar lima menit sejak mie instan mereka matang, mereka bertiga mulai mengobrol.

Minho membuka percakapan mengenai film yang baru saja rilis di layar lebar, ia sengaja mengangkat topik ringan karena Felix bergabung bersama mereka, ia tidak mau adiknya itu jadi terasing karena tidak mengerti mengenai dunia kedokteran.

Sebenarnya Felix juga tidak terlalu mendengarkan obrolan mereka. Ia lebih tertarik untuk menatap mata Dokter Seo sambil menunggu bayangan mengenai kematian laki-laki itu muncul di kepalanya. Sambil sesekali memuji wajah Dokter Seo yang terlihat menarik di matanya.

Berkali-kali mata mereka bertemu, berkali-kali pula Felix mengernyit sebab benar-benar tidak ada bayangan yang mucul di kepalanya. Ia menggigit bibirnya ada rasa kesal yang menggelung sedikit di dadanya, sebab ini adalah hal yang aneh. Apa mungkin pemikirannya di rumah sakit dulu benar?

Is he immortal?”

Tapi makhluk apa dia kalau dia benar-benar abadi?

“Lo ada rencana mau nonton, Lix?”

Yang ditanya masih sibuk bergelung dengan pemikirannya sendiri, wajahnya tampak tidak santai dengan jari jempol yang ia gigit pelan.

“Woi!”

Minho menggerakan tangannya di depan wajah Felix, yang langsung membawa Felix ke dunia nyata. Laki-laki paling muda itu mengerjab kemudian tersenyum lebar menampilkan gigi-giginya yang rapih. “Kenapa kak?”

Minho memutar bola matanya seraya menghela napas malas. Sementara Dokter Seo terkekeh. “Itu Lix, tadi Minho tanya lo mau ada rencana nonton Spiderman engga?”

“Oh...” Ia berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Tadi sih anak-anak sama part-timer bilang mau nonton bareng, mungkin kalau engga sibuk gue ikut.”

Minho mengangguk-anggukan kepala sambil membuka botol mineral miliknya dan menegaknya. “Eh, Bin, yuk berangkat, kasian anak koas yang jaga kalau kita lama.”

Dokter Seo mengangguk dan membereskan meja mereka kemudian berpamitan pada Felix dan segera meninggalkan Swalayan. Sementara Felix memperhatikan mereka hingga keduanya hilang dari parkiran swalayan.

Felix kembali ke meja kasir menunggu pelanggan lagi sembari membuka ponselnya. Sesekali ia memijit kepalanya yang sedikit pening, kepalanya masih penuh dengan pertanyaan mengenai Dokter Seo.

Kenapa kematiannya tidak terlihat?

Apakah ia abadi?

Makhluk apa dia sebenarnya?

Dan kenapa mereka harus bertemu?

Sebab jika benar Dokter Seo itu abadi, kenapa dari sekian banyaknya populasi makhluk abadi di bumi hanya Dokter Seo yang pernah ia temui?

Felix menggelengkan kepala mengenyahkan segala pemikiran yang membuatnya mual. Ia menghela napas dan memutuskan untuk kembali fokus menjaga swalayannya.

Felix baru saja merebahkan dirinya di atas ranjang ketika seseorang datang ke ruang rawat inapnya. Ia berniat memejamkan matanya saja, ia tahu kalau kakak sepupunya itu pasti akan mengomelinya habis-habisan karena ia bisa tiba-tiba sakit seperti sekarang.

“Halo Felix!” suara rendah yang tadi pagi ia dengar kembali menyapanya. Felix sontak membuka mata dan menegakan badannya guna memastikan siapa yang datang.

“Gimana? Pusingnya sudah hilang?” tanya dokter yang memeriksanya tadi pagi.

Felix tersenyum canggung, ia mengangguk pelan. “Udah mendingan kok, Dok,” jawabnya.

Ah. Ini kesempatannya untuk memastikan bahwa penglihatannya tadi pagi sedikit meleset. Ia menatap wajah sang dokter yang kini sedang mengecek tensi tubuhnya.

Dokter Seo yang merasa diperhatikan segera membalas tatapan mata Felix.

Hazel bertemu Onyx. Beberapa detik keduanya saling bertatap dalam diam.

Beep

Tatapan mereka terputus. Dokter Seo memeriks aangka-angka yang muncul pada alat pengukur tensinya. “Oh tensinya normal, kok.”

Felix menunduk, heran, ia masih tidak melihat bayangan apapun ketika keduanya saling bertatapan. Ini sangat aneh, seharusnya Felix dapat melihat kematian Dokter ini sejak pertama kali mereka bertemu.

“Felix?”

Minho membuka pintu ruang rawatnya, ia melihat sosok Jisung yang tertidur di atas sofa. Ia kemudian mendekat ke arah ranjang tempat Dokter Seo yang sedang memeriksa Felix juga Felix yang masih terbaring.

“Gue engga ngerti lagi sih, kok lo bisa-bisanya dehidrasi?” tanya Minho dengan nada yang terdengar galak di telinga Felix.

Yang ditanya hanya tersenyum lebar menampilkan barisan gigi putihnya dengan sangat canggung. Mata mereka bertemu, sontak saja bayangan mengenai kematian Minho datang ke kepalanya membuatnya sedikit pusing dan mual.

Dengan cepat ia mengalihkan tatapannya pada mata Dokter Seo. Ia masih tidak mendapat penglihatan apapun.

“Tadi pagi tensinya tinggi, sekarang sudah normal.”

Minho sontak menatap Felix, “Lo tuh kalau sakit bilang jangan diem-diem aja. Tau-tau pingsan.”

Felix memutar bola matanya malas, sementara Dokter Seo terkekeh. “Jangan dimarahin lah, Min, kalau dimarahin justru jadi makin males bilang kalau dia sakit.”

“Engga gitu, Bin, dia anaknya emang agak bandel,” jawab Minho sambil melirik ke arah Felix. “Jadi dia udah baikan kan?”

“Udah kok, keadaannya baik, kalau besok kondisinya stabil gini, boleh rawat jalan.”

Felix menghela napas lega, ia merasa senang akan kembali ke rumah.

“Sudah tidak ada yang ingin ditanyakan lagi?” tanya Dokter Seo pada Felix dan Minho yang kini saling meledek lewat tatapannya.

Felix kembali menatap mata Dokter Seo memastikan sekali lagi bahwa ia benar-benar tidak melihat apa-apa.

“Udah kok, nanti kalau dia mendadak kenapa-kenapa ada gue,” jawab Minho.

Setelah mendapat jawaban, Dokter Seo segera berpamitan dan meninggalkan ruang rawat inap Felix.

“WHAT THE FUCK?”

“APAAN?”

Felix memegang kepalanya yang terasa pening, bukan karena rasa sakitnya kembali, melainkan karena kenyataannya ia tidak dapat melihat sedikitpun kematian Dokter Seo. Itu aneh dan sangat mengganggunya.

“Lix? Sakit lagi?” tanya Minho yang kini mengambil tempat duduk di ujung ranjang Felix.

Felix menghela napasnya, ia menatap Minho, “Tuh kan gue bisa liat kematian lo!”

“ANJING!” umpat Minho sambil mendorong bahu Felix pelan. “Maksud lo apa? Gue udah tau lo bisa liat kematian gue, engga usah lo ingetin lagi dong!”

“Bukan gitu kak,” jawab Felix, ia meringis pelan sambil memijat pelipisnya, “Gue engga bisa liat kematiannya Dokter Seo.”

Minho mengernyitkan dahinya, ia kemudian tertawa, “Ngaco lo! Pasti lo salah.”

“Udah berkali-kali gue liat matanya, Kak, engga ada yang muncul di kepala gue! Aneh banget.”

Minho mendecak ia kemudian membetulkan posisi bantal Felix, “Mendingan lo tidur, deh, ya? Lo capek, engga usah mikirin yang engga penting begitu.”

Felix memajukan bibirnya, sebenarnya itu bukan hal kecil baginya. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya ia menemukan orang yang tidak bisa ia lihat kematiannya. Bukankah itu sangat aneh?

Namun ia juga malas untuk beradu argumen dengan kakak sepupunya itu. Maka ia segera merebahkan dirinya dan menarik selimut, menuruti perintah sang kakak.

Hazel itu terbuka perlahan setelah terasa benda dingin menyentuh dadanya. Ia mengerjab berkali-kali menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Pening adalah hal pernama yang Felix rasakan di kepalanya kala matanya sudah mulai bisa melihat dengan jelas.

“Oh sudah sadar?”

Suara rendah dari seseorang yang berdiri di sebelah ranjangnya mencuri seluruh perhatiannya. Jas putih, stetoskop, dan kaca mata. Jelas saja Felix tahu bahwa laki-laki yang berdiri di sebelahnya ini adalah seorang dokter.

Ia menghela napasnya, agak kesal karena lagi-lagi ia harus berakhir di rumah sakit setelah bertemu dengan 'kematian'. Terakhir kali ia bertemu dengannya, ia masuk rumah sakit karen asam lambungnya tiba-tiba naik dan mengharuskannya rawat inap selama beberapa hari kerena ia tidak bisa makan. Sekarang apa?

“Ada keluhan yang terasa?”

Lagi-lagi dokter di sebelahnya itu bertanya padanya, Felix seketika menatap wajah dokter itu. Matanya refleks menatap ke dalam mata dokter muda itu.

Felix mengernyitkan dahinya, ia sedikit bingung sebab tidak ada bayangan yang muncul di kepalanya setelah mereka saling bertatap. Dokter itu tersenyum simpul melihat wajah Felix yang kebingungan.

“Masih pusing, ya?” tanyanya sekali lagi.

Felix masih terus menatap mata dokter itu lekat-lekat. Tidak ada sekilas pun bayangan yang muncul di kepalanya. Ia menyentuh kepalanya sendiri, seakan-akan pening yang dirasanya tadi menghilang. Sebuah konklusi muncul di kepalanya, dengan yakin Felix menjerit.

“GUE NORMAL?”

Abian menatap Yoffie dan beberapa temannya yang mengobrol mengenai beberapa urusan bisnisnya yang Abian tidak mengerti, oh bukan, lebih tepatnya ia tidak tertarik. Sebenarnya jika boleh jujur ia ingin tidur lebih lama, efek jetlag yang ia alami masih sangat terasa, meski pun perbedaan waktu antara Indonesia dan Australia hanya tiga jam, tapi perjalanan selama 19 jam membuat kepalanya cukup pening.

Matanya iseng menyapu seluruh ruangan restoran, tidak ada yang menarik selain pemandangan yang disuguhkan dari jendela yang menghadap langsung ke Sydney Harbour Bridge. Hingga seseorang yang masuk bersama seorang pelayan mencuri seluruh perhatiannya.

Laki-laki dengan kemeja hitam dan rambut pirangnya itu mengambil tempat duduk yang tidak jauh dari mejanya saat ini. Ia tersnyum kecil, sepertinya Sydney cukup kecil untuk mereka berdua?

Abian memperhatikan Felixiano dari tempatnya duduk, laki-laki cantik itu tampak ramah berbicara pada waitress yang mencatat pesanannya. Abian bisa melihat kerutan halus yang tampak di sekitar mata Felix kala laki-laki itu tersenyum. Masih selalu sama, senyum Felixiano, sama cantiknya seperti dua tahun lalu, bedanya ia tidak bisa melihatnya dari dekat.

Felixiano memperhatikan pemandangan di luar jendela. Sesekali ia membuka ponselnya, yang membuat Abian jadi yakin kalau laki-laki cantik itu tidak akan datang sendirian.

Sepuluh menit berlalu, Abian masih diam-diam memperatikan Felixiano dari tempatnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa seseorang akan datang untuk menemani laki-laki itu, maka dalam hatinya Abian bertaruh, jika dalam lima menit Felixiano masih duduk sendirian, ia akan menghampiri laki-laki itu.

Terdengar gila. Tapi rasanya lebih gila lagi kalau orang yang membuatnya jauh-jauh mengejar USYD ada di dekatnya tanpa bisa ia ajak bicara.

Abian menyingsingkan lengan kemeja yang ia pakai membuatnya lebih mudah untuk melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Matanya dengan tajam memperhatikan jarum detik di sana sambil sesekali melirik ke arah Felixiano yang masih duduk seorang diri.

Lima.

Empat.

Tiga.

Dua.

Satu.

Jarum jam itu melalui angka 12 untuk yang kelima kalinya. “Fi, gue ke toilet bentar, ya?”

Yoffie hanya menoleh lalu mengangguk tanpa mengatakan apa-apa, ia masih sibuk membicarakan pekerjaannya.

Abian dengan yakin melangkahkan kakinya mendekati meja Felixiano, sementara Felix menundukan kepalanya sibuk dengan ponselnya. Jantungnya berpacu kencang, ada rasa rindu dan kalut yang berkumpul di dalam dadanya, dan dalam setiap langkahnya rindu yang ia rasa bertambah.

“Sorry cupcakes! Aku terlambat sedikit.”

AH! Semua perasaan yang ia rasakan meletup kala matanya menangkap laki-laki jangkung yang datang dan mengecup pipi Felixiano lembut lalu duduk di depan laki-laki cantik itu.

Abian terkekeh pelan, ia langsung mengabil langkah cepat menuju toilet.


Pemilik pupil coklat itu terpejam sembari menghela napas lega. Ia melirik sosok tegap yang baru saja melalui mejanya. Dari cara berjalannya, punggungnya, semuanya, Felixiano masih sangat hafal siapa yang baru saja berpapasan dengannya. Ada ketir yang terasa di mulutnya sebab sejak tadi ia menggigit bibirnya berusaha mengalihkan rasa gugup.

Dalam hati ia berterima kasih karena Harel datang tepat waktu.

“Kenapa? Ada yang ganggu kamu?” tanya Harel sambil menangkup pipi Felixiano, laki-laki itu menangkap raut tidak biasanya di wajah Felix.

Yang ditanya menggeleng, tangannya menggengam tangan Harel yang masih mengelus pipinya, “Engga apa-apa, kok. Engga usah khawatir.”

Felix menatap lurus laki-laki tampan yang kini berdiri di ambang pintu setelah turun dari kereta kudanya. Laki-laki itu balas menatapnya dengan senyum kecil yang tampak pada bibirnya.

Felix mengalihkan pandangannya ke sekitar, mencoba melihat reaksi orang-orang di sekitarnya kala laki-laki tampan itu mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah duka. Ia menelan ludahnya susah payah, sebab ia tidak menemukan satu orang pun yang sadar akan kedatangan laki-laki tampan tadi.

Tangan Felix mengepal di sebelah lipatan celananya, ia menahan mati-matian untuk tidak mengumpat. Felix tidak takut dengan laki-laki yang menyebut dirinya kematian itu, hanya saja entah kenapa tiap kali laki-laki itu datang, Felix selalu merasa tidak nyaman. Kehadiran “kematian” sering kali membuatnya lelah, ia merasa energinya terserap oleh sang kematian.

Laki-laki tampan itu semakin dekat dengan dirinya, seiring dengan langkah lebar yang laki-laki itu ambil.

“Long time no see, Felix,” sapa kematian kala ia sampai tepat di sebelah Felix.

Tubuh Felix bergetar, “Long time no see, Death.”

Kekehan timbul setelah laki-laki tadi menangkap getaran dari suara Felix. “I thought you weren't afraid of me.”

“I'm not afraid of you.”

“Lalu kenapa badanmu bergetar?”

Felix menghela napasnya, tidak menjawab pertanyaan laki-laki tadi, “Anyways, why did you come here?”

“You know, if I come to someone's funeral, it's mean the person who died is special for me.”

Felix menganggukan kepalanya sebagai tanda bahwa ia mengerti.

Kemudian laki-laki itu menggulung lengan jubah yang ia gunakan dan menampilkan setangkai mawar hitam yang ia genggam. Ia lalu berjalan mendekati peti mati yang belum ditutup di tengah-tengah ruangan, disimpannya mawar itu ke dalam peti mati dan kembali menghampiri Felix.

“Kamu tahu apa artinya mawar hitam?”

“Duka?”

Laki-laki itu terkekeh, “Kamu memang pintar. Aku turut berduka dengan kematian manusia spesial ini, aku mungkin akan merindukannya.”

Felix sontak menatap laki-laki tampan itu dengan raut wajah bingung, “Maksudmu dia juga sering bertemu denganmu seperti aku?”

“Tidak. Kamu tidak perlu cemburu, kamu adalah manusia paling spesial untukku. Mungkin dipemakamanmu nanti, aku akan memberikan ribuan bunga mawar untukmu.”

Mata Felix membulat, bulu romanya meremang mendengar soal kematiannya sendiri. “Aku tidak pernah tahu bagaimana diriku mati.”

Laki-laki it tertawa seolah yang Felix ucapkan adalah lelucon. “Kamu tidak perlu tahu, itu berbahaya untukmu.”

Tubuh Felix menegang, ia menghela napas, ada benarnya ucapan laki-laki ini, ia tidak perlu tahu bagaimana dirinya sendiri mati.

“Aku harus pergi sekarang,” ucap sang kematian sambil tersenyum, detik berikutnya kereta kuda miliknya mendekat ke arah pintu menghalangi jalan masuk. “Senang bertemu denganmu, Felix. Sampai jumpa lain waktu.”

Tanpa menunggu jawaban dari Felix, laki-laki itu berjalan keluar dengan langkah pasti. Kepala Felix terasa sangat pening, pandangannya mulai kabur seiring dengan langkah sang kematian. Napasnya tercekat dan tubuhnya terasa lemas.

“Lix?”

“Felix?”

Wajah khawatir Jisung adalah hal terakhir yang Felix lihat sebelum akhirnya gelap melingkupi dirinya.