bakuroou

Celana Pendek Biru

“Anjing,” lolong rendah sang kapten basket, pinggang bermain lincah, tabrak telak lelaki manis yang nungging di depannya, “gampang banget sih masuknya, sayang.”

Inginnya balas ejekan Suguru, minimal tarik rambut gondrongnya yang jelas-jelas langgar peraturan sekolah sampai botak, tapi Satoru tak bisa berlaku banyak; badannya dihimpit di antara matras yang bertumpuk dan si gondrong sendiri. Jelas, ia kalah tenaga fisik dengan pemuda di belakangnya. Kelenturan tubuh yang harusnya jadi nilai plus malah merugikannya karena Suguru memanfaatkannya untuk mengangkat sebelah kakinya untuk ikut naik ke matras, buatnya pun mengangkang walau masih dalam keadaan menungging.

“S-suguru tolol- tolol nanti robek- celana gueee.”

Gobak Sodor

Geto Suguru x Gojo Satoru

Warnings: Nsfw for Graphic Sexual Scene, Explicit Sexual Terms

(!) Ditulis dalam bahasa non-eyd dan nyeleneh alias suka-suka.


Biasanya sebelum memulai ritual perkawinan di kos-an, Gojo dan Geto sibuk menata lahan sedemikian rupa; ranjang ditarik menjauh dari tembok biar gak jedag-jedug membentur tembok dan menimbulkan pertanyaan tetangga kos Gojo di sebelah karena ulah Geto yang maju-mundur di atas ranjang.

Mereka gak mau lagi ditegur “Jo, lo lagi ngapain sih anjir ini setengah empat pagi???” di tengah proses keluar-masuk dan akhirnya Geto lemas di selangkangan karena malu dan berakhir Gojo yang ngambek.

Sekarang gak ada lagi ranjang, cuma ada kasur baru yang tebal nan empuk digelar di lantai; sebuah pilihan pintar Gojo yang didukung oleh otak bejat dan bayangan Geto yang ganteng di atasnya. Selain karena males repot, kaki ranjang yang kemarin juga udah reyot.

Gojo gak mau ambil resiko waktu enak-enaknya dirusak lagi. Bayangin, mereka melakukan ritual, ranjangnya gak kuat dan akhirnya menyerah menyangga tumpukan dosa dua adam yang memadu selangkangan dan kasih di atasnya? Cuma kebayang, tapi Gojo malu mampus, gimana pacarnya yang katanya seorang mahasiswa terpandang?

(Terpandang mesum, iya.)

Tanpa kepala ranjang, Geto harus menahan kepalanya agar tak membentur dinding di belakangnya saat Gojo berada di pangkuannya. Pinggangnya luwes, ke kanan dan kiri, menggoda sekali di mata. Tujuan utama sebenarnya bukan cuma menggoda, tetapi permintaan bisu pada Geto untuk masuk lebih dalam atau setidaknya menambah jarinya.

Gimana gak minta nambah? Sekarang yang ada di tengah bokongnya cuma ada jempol Geto yang basah dan lengket, memutari pinggiran pintu masuk agar lebih menganga. Kadang mampir masuk sebentar dengan setengah jari, kemudian mengagetkan Gojo dengan memasuki semua batang jempolnya. Namanya jempol, gak bisa membantu banyak untuk mengeruk lebih dalam mengingat panjangnya yang cuma setengah telunjuk, walau punya pesona sendiri karena tebalnya yang layaknya dua jari.

Gojo menggoyangkan pinggulnya, mengejar jempol pacarnya yang malah mundur-mundur. Tangan mengalung di bahu lebar lelaki di bawahnya. Kadang kalau Geto keterlaluan—

“Ayo lah Gul, lo bilang mau main—”

“Ini lagi mainin lo kan— Aduh?!”

—tangan Gojo akan naik ke pipi Geto yang tirus, mencubit keras kulit wajahnya.

“Tambah jarinya atau jari gue yang masuk ke lo?”

“Wah, gak bisa, sayang. Gak ada pengalaman di pintu belakang. Emang lo tega?”

“Tega. Lo tega sama gue, kenapa gue enggak— SSSUGURU-”

Geto tertawa keras. Kalau paha Gojo gak hampir keram karena bertahan di posisi yang sama sejak tadi, ia bakal betah dengar tawa lelaki favoritnya. 'Suara ketawanya aja ganteng', begitu kesan pertama Gojo saat Geto tertawa kencang tanpa canggung pertama kalinya di awal-awal masa pacaran.

Tetapi gak sekarang, gak saat Geto iseng menarik ulur nafsunya. Gojo inginnya memasukkan jarinya ke mulut pacarnya itu biar diam, biar tawanya yang mengejek gak mencoreng harga dirinya karena Geto yang tiba-tiba mencabut jempolnya dan memasukkan jari, entah yang mana, lurus ke dalam lubang analnya.

Maka ia langsung saja menarik bibir Geto, membukanya lebar dan memasukkan dua jarinya.

Lelaki yang satu mengatupkan bibirnya refleks, menatap Gojo yang sinis dengan hidung yang kembang kempis. Kini impas, ada satu jari di bokong Gojo yang makin menelisik masuk melawan semua otot yang jadi resistensi dan dua jari Gojo bergerak di dalam mulut Geto, menjepit lidah di dalam dan memainkannya.

“Open me up, please?”

Gojo sudah hapal di luar kepala apa-apa aja yang bisa melumpuhkan Geto kalau sifat isengnya di ranjang mulai kumat. Awal sifat Geto yang ini muncul, Gojo gak habis pikir karena asumsinya Geto itu vanilla banget dan gak banyak macam-macam. Straight to the business, sesuai dengan pengalaman pertamanya dengan Geto.

Ternyata Geto jauh dari yang manis-manis. Gak ada vanilla sama sekali. Gojo berani bilang kalau Geto setan di atas ranjang. Lain di kali pertama mereka, kali kedua mereka bergerumul Gojo ingat kepalanya black out beberapa detik karena overstimulasi pada saraf nikmat di dalam tubuhnya.

Hobi pacarnya juga isengi Gojo saat foreplay. Gak mau Gojo semudah itu sampai di ujung. Ia malah bawa Gojo jalan-jalan dulu, naik satu persatu tangga untuk akhirnya sampai di angkasa. Ia juga punya adiksi aneh sama Gojo yang merengek. Gojo mana pernah merengek? partner dan mantan di masa lalunya selalu menuruti maunya tanpa ia banyak meminta.

Geto si kurang ajar malah, “biasa dimanjain ya? pretty little thing kaya kamu gak usah minta tapi orang-orang bakal kasih semuanya ke kamu? Iya? Minta coba sama aku.”

Gojo gatal ingin memberi Geto tamparan sebagai ganjaran dari mulutnya yang kurang ajar, tapi tubuhnya mengkhianatinya; kejantanannya makin keras dan perutnya seakan diremas karena Gojo malah makin pengen.

Dengar Gojo memohon begitu, mana mungkin Geto menolak?

Geto tersenyum, kemudian lidahnya bergerak menyambut ajakan bermain jari pacarnya di mulut.

Lelaki berambut hitam menambah dua jari lagi; total ada tiga jari yang mengeruk Gojo di bawah.

Hmnh— Suguru—”

“Kurang dalem?”

“Cukup. Pas. Begitu— hmmh begitu aja terus.”

“Begini terus?” Geto mengecup pipi di jangkauannya, “pake jari aja nih?”

“Gue pukul lo ya,” satu tamparan melayang di pundak, “ya enggak— hhhh— mana puas— fuuuck jari lo kenapa sih.”

“Enak?”

“Hmmmh.”

Jari Geto telaten mengeruk dalam tubuhnya, buat paru-parunya sesekali meraup oksigen lebih banyak dari normalnya karena kejutan-kejutan yang diberikan ujung jari Geto di analnya.

Gojo percaya bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dengan alasan dan maksud tertentu. Khusus untuk pacarnya, Gojo pikir jari-jari Geto memang dimaksudkan untuk ini; diberi keahlian untuk menciptakan magis di tengah kaki partner di ranjangnya, untuk menjari dalam-dalam tubuh yang berada di bawah kuasanya untuk ditemukan spot-spot manis yang menghantarkan kejut rasa listrik sampai keujung kepala dan buatnya setengah buta.

“Ayo Suguru— ayo cepet langsung aja masuk— hmmmh—”

“Sayang?”

Gojo menatap bengis, pasti mau apa-apa, “apa?”

“Basahin aku pake mulut kamu boleh?”

Gojo gak jadi protes.

Emang ada orang waras yang mau tolak kalau ditawarin makanan favorit?

Tanpa basa-basi lagi, juga karena luapan semangat dan hawa nafsu, Gojo melepas jari Geto dari analnya untuk merunduk di tengah selangkangan Geto. Sweatpants panjang Geto yang sudah melorot dan menyisakan celana dalam hitam yang menggantung berbahaya di bawah garis pinggulnya (ya, ulah Gojo) ditarik mundur oleh Gojo.

Baru aja bebas, kejantanan Geto membentur dagu Gojo. Menerima tantangan yang diletuskan, Gojo menggenggam erat penis di depannya. Ringisan yang terdengar dari atas buat Gojo tersenyum kecil. Ia kemudian menggesekkan kepala penis kesayangannya pada permukaan bibir, memberinya jilatan kecil, berusaha terlihat seperti kucing jinak yang menikmati pelan-pelan hadiah dari tuannya.

Geto menggeram, menarik pelan belakang kepala pacar di tengah kakinya, memintanya menelan langsung segalanya ke dalam mulutnya.

Menurut, penis Geto langsung meluncur masuk ke dalam terowongan gelap yang menjanjikan kenikmatan dunia.

Ini gak berlebihan. Honest review dari pelanggan VVIP alias pacar. Entah kenapa Gojo jago soal makan. Tenggorokannya menyambut dengan baik apa saja yang melewatinya. Rakus. Berkontraksi dengan baik memijat sedemikian rupa sampai Geto tak punya pilihan lain selain memuntahkan apa yang dibawanya sebagai bayaran karena nikmat yang diberikan lelaki di tengah kakinya.

Sinting. Betapa Gojo terlihat menikmati apa yang dikulumnya. Gojo yang semangat mengulum tiap inci batangnya terlihat akan mengantongi uang milyaran setelahnya. Matanya sesekali mengerling ke arahnya, memperlihatkan dirinya menyapu aliran precum yang tak dibiarkan lulus melewati pucuknya.

Geto menghela nafas, menarik keras Gojo di kepala.

“Udah— sayang, udah.”

Bunyi mwah nyaring di telinga. Gojo menjulurkan lidahnya panjang-panjang, menampar penis di tangannya ke permukaan indra pengecapnya.

“Gak mau kayak kemarin?”

“Kemarin apa?”

“Itu loh, keluar di mulut aku?”

Geto menarik nafasnya lagi. Yang benar saja kalau Gojo mau melakukannya lagi; Gojo yang memakan penisnya sampai ia keluar di mulutnya dan tak langsung ditelannya, tapi ia biarkan menggenang di mulutnya untuk ditunjukkan pada Geto. Ia menganga lebar dengan polosnya, menyombongkan hasil kerjanya, hasil dari memeras Geto. Kemudian menelan semuanya dengan tatapan Geto yang memecing ke arahnya.

Pemandangan yang dipikirnya hanya bisa dilihat di layar laptop lewat website porno bisa-bisanya ditonton secara langsung di depannya, dengan penisnya sebagai perkakas utama aktornya.

Gojo didorongnya sampai terlentang, kepalanya di bagian kaki kasur.

“Gausah banyak acara,” tangan kurus Gojo yang sering mampir main-main di pipinya kini ada di genggaman, di atas kepala; Geto menghentikan ruang gerak Gojo, “giliran kamu yang makan enak ya— makan dari bawah.”

Entah teman kos kamar sebelahnya tak dengar atau pura-pura tak dengar, adalah keajaiban malam itu Gojo gak disamper karena berisik menusuk telinga.

Jadian.

-

“Wah, gak karuannya sampe ke rambut gitu ya?”

Yang dimaksud Geto adalah rambut Gojo yang berantakan. Kelihatan seperti habis kebut-kebutan motor gak pake helm, tapi sebenarnya gara-gara Gojo berkali-kali berguling di atas ranjangnya, jatuh sekali dan meneruskan berguling di atas lantai.

Gak jelas, memang, tapi kenyataannya ditembak Suguru Geto seberbahaya itu efeknya.

Gojo yang jedag-jedug di hati dan pusing kepala karena memproses kenyataan kesal lihat Geto datang dengan santai, masih ganteng (kapan gak ganteng?) ditambah mukanya yang sumringah dan kesannya mengejek.

“Lo bacot,” tangan Geto ditarik masuk ke kamar kosnya, pintu ditutup brutal, “mau nonjok lo, serius.”

“Pake bibir?”

Gojo menatap heran pacar berumur tiga belas menitnya. Kenapa setelah status berubah anaknya jadi sok begini?

“Dih, jadi centil banget lo? Kemana Geto gue yang berbudi luhur dan paham sopan santun?”

Lelaki yang dikuncir asal-asalan tertawa menyebalkan, “Oh, Geto gue?”

Poni panjang sebelah Geto ditarik sampai Geto menunduk, tawanya makin besar, buat Gojo makin menjadi-jadi menarik rambut pacarnya itu.

“Sumpah lo jadi resek begini? Pulang aja gih?”

“Jangan lah, belum dapet ciumnya?”

Gojo menghela nafas, berusaha gak luntur cool-nya, padahal jantung udah loncat sana-sini.

Ya udah lah? Memang dia juga mau. Walau tadinya dia cuma ngarep dipeluk atau apalah buat meresmikan kenaikan status, Geto malah nawarin ciuman. Gak waras kalau dia gak mau.

Gojo mendehem, “ya udah, nih cepet ambil.”

Geto ketawa lagi. Gojo yang hampir protes langsung bungkam karena Geto menarik halus tangannya. Gojo kini berdiri memojok Geto yang menyandar di jaket dan tas kuliahnya yang digantung di belakang pintu.

Dirasa rambutnya disisir, Gojo memejam mata, tiba-tiba merasa perawan di bibir padahal dia udah punya berbagai macam pengalaman yang berhubungan dengan bibirnya.

Gojo menunggu Geto datang. Kepalanya penuh bayangan Geto di kesehariannya, yang entah sejak kapan ia perhatikan, terutama bibirnya yang memang tempting; Geto yang bicara, yang ketawa, yang menghisap rokok.

Tapi Geto gak kunjung datang.

Yang berambut abu mengintip dan menemukan Geto begitu dekat dengan wajahnya tapi ngerasa terlalu jauh dari bibirnya.

Maunya Geto menempel sekarang juga, tapi Geto malah mengulum senyum.

“Nungguin ya?”

'Anjing.'

“Geto, lo— bener-bener deh—” “Gak usah jadi lah—”

“Iya, iya ini mau.”

Geto mengecup tiba-tiba Gojo. Bibir saling tabrak cuma sekejap dan langsung hilang. Cup nyaring di telinga karena kosan emang udah sepi malam begini.

Udah, Gojo udah dicium. Geto udah ambil cium dari Gojo. Udah, gitu aja?

Gojo menghela nafas, menarik hidung Geto yang masih betah menatap matanya, senyum lebar di bibir.

“Seneng? Ha?”

“Lo seneng gak?”

“Gak, masa gitu doang?”

“Banyak nuntut juga ya.”

“Lo pulang sana.” Gojo melepas tangan Geto yang melingkar di pinggangnya, mendorong-dorong Geto ke pintunya.

Mungkin Geto juga udah gak tahan, udah cukup mengisengi Gojo karena ia dengan serius mencengkram rahang Gojo. Bibir dan bibir berjarak selembar kertas.

Geto melahap bibirnya tanpa canda, menekan dagu Gojo agar tak mengatup, membuatnya dengan mudah memasangkan celah mulutnya dengan bibir bawah Gojo.

Gojo kewalahan. Geto memperlakukan bibirnya seperti puding; dijilatnya, dihirupnya dan dihisapnya masuk ke dalam mulutnya untuk digigitnya.

Jujur Gojo gak masalah, puas malah. Maka Gojo mengalungkan tangan di kedua bahu pacarnya, meremasnya dengan jari saat Geto menarik terbuka bibirnya untuk mengajak keluar lidahnya. Lenguhan dari Gojo buat Geto menggigit entah apa. Gojo mau marah, tapi malah mengerang saat Geto yang lebih pendek darinya menekan kepala Gojo mendekat untuk tak pergi jauh-jauh.

“Maaf.” Geto mengecup ujung bibirnya, kemudian lanjut menghabisi bibir pemuda yang satu.

Begitu, sampai kaki keduanya kelelahan berdiri, sampai Gojo menarik Geto untuk duduk di ujung ranjangnya, sampai Gojo menduduki pangkuan Geto.

Berantem lagi, pakai bibir.

Gak semaleman karena si tamu harus pulang. Ada kelas pagi yang menunggu besoknya.

“Geto? ternyata sama kaya yang difoto.”

Komentar barusan menyambut Geto tepat di depan pintu kosan yang tak pernah didatanginya. Pintu yang melebar jadi tanda Geto untuk masuk lebih jauh.

“Tapi lo pake kacamata?” lanjut Gojo.

Geto menurunkan ranselnya di lantai, “minus, gak parah sih.”

Layaknya kosan mahasiswa, kosan Gojo gak spesial. Masuk-masuk langsung disambut ranjang berkaki pendek yang kayanya sempit buat berdua. Di sebelahnya ada meja lesehan dengan buku-buku kuliah menumpuk berantakan disana, bareng sama laptop yang setengah terbuka.

Ada spasi lumayan di lantai, mungkin cukup buat tujuh orang. Bagian ini gak asing buat Geto. Seingatnya, Gojo pernah nge-tweet plus foto soal temen se-gengnya yang ketiduran karena lembur nugas di kosannya.

Begitu aja, tinggal 7 langkah dari tempat tidur, tepatnya di pojok ruangan sebelah lemari baju, ada pintu yang ditebak berisi kamar mandi.

“Gue kira lo bakal ngegas.”

Geto mengedip, baru sadar sedari tadi cuma bengong di deket pintu.

Pemuda yang satu ketawa pelan, tepuk-tepuk ranjang yang didudukinya, perintah duduk.

“Tadi lo dm gue cepet banget, gue mikirnya lo emang lagi pengen.”

“Oh,” Geto cuma ngangguk-ngangguk, gak balik tatap Gojo yang perhatikan langkahnya, “gak juga sih.”

“Ya udah,” Gojo keliatan ingin bertanya jauh, tapi entah kenapa rasa penasarannya digubris. Ia malah menaikkan kaki dan menyilang, mendekati Geto yang baru berani menatapnya, “mau gimana?”

“Lo yang maunya gimana? Gue ikut lo aja.”

“Kok?”

“Disini gue nemenin lo,” Geto melepas kacamatanya, wajah Gojo yang memburam di matanya tetap ditatapi, “bukan gue yang ditemenin lo.”

Gojo menggangguk dengan hela nafas, meraih tangan Geto untuk digenggamnya.

“Break me? make me forget things.”

“Oh, pake lagi kacamata lo, gue mau lo liat.”

Living Up the Name: Kitten

-

Bukan hal baru untuk Mingyu, yang rajin memonitori kolom komentar setiap kali konten baru terbit di channel youtube mereka, menemukan komentar dengan 'Wonwoo' dan 'kucing' di kalimat yang sama.

Hal-hal kecil yang dilakukan lelaki berambut legam itu dibanding-bandingkan dengan kelakuan kucing pada umumnya. Gerak terkecil Wonwoo sampai yang berada di ujung dan hampir keluar dari frame tak luput dari kemampuan observasi fans yang gak bisa diragukan lagi. Wonwoo yang duduk dengan kaki menekuk ke belakang, wajahnya yang mengerut saat tertawa, mata yang menyipit sampai hilang, bahkan bersin; semuanya dicocok-cocokkan dengan kucing. Cat behaviour, kata fansnya.

Komentar yang bermacam-macam bentuknya itu membuat bibir Mingyu menipis, perasaan campur aduk dan kepala penuh wajah pacarnya itu. Sedikit kesal karena fansnya terlihat tahu banyak soal Wonwoo dan kecenderungan sifatnya yang mirip kucing.

Jempolnya gatal, sisi posesifnya ingin ikut mengomentari, menekan tombol thumbs up dan thumbs down secara bersamaan; setuju tapi juga menolak setuju dengan teori cocoklogi fans soal pacarnya yang katanya mirip kucing.

Karena seharusnya cuma dia yang tahu betul soal Wonwoo dan peringainya yang mengingatkannya dengan bola bulu itu.

Dari observasi fisik, Wonwoo memang punya fitur yang seharusnya cuma dimiliki kucing. Soal ini bukan cuma Mingyu yang peka.

Satu, sepasang mata pacarnya yang berbentuk setengah bulan. Menukik panjang dan tajam di bagian ekor. Sekilas mirip dengan rubah, tapi matanya yang tenggelam saat menguap atau tertawa sangat kitten-ish. Bulu matanya tak begitu lentik, buat bola matanya punya akses luas menatap intens apa yang ada di depannya.

Cantik, jelas. Pertama kali ditatap sepasang mata seelok itu Mingyu tersandung kakinya sendiri. Fitur di wajahnya yang satu ini beri kesan kuat dan dingin, buat Wonwoo terlihat susah didekati.

Tetapi ini poinnya; Wonwoo mengingatkannya pada kucing di kali pertama bertemu yang belum jinak, tak sembarang manusia bisa mendekatinya. Orang di sekitarnya butuh pemanasan, butuh waktu sampai Wonwoo lengket dan mau diajak bergurau atau mungkin menyandarkan kepalanya ke pundak orang lain.

'Si kucing harus memastikan si manusia itu aman, bukan lagi ancaman.'

(Pertama kali pundak Mingyu disandari, ia sampai menahan nafasnya terlalu lama dan akhirnya terbatuk karena lupa paru-parunya butuh oksigen.)

Dua, hidungnya.

Bukan bentuk hidungnya yang mirip kucing. Aneh untuk menyamakan hidung manusia dengan hidung hewan berbulu itu. Beda dengan kucing, hidung pacarnya menonjol runcing, punya potensial untuk menusuknya kalau lelaki yang lebih tua itu sedang asik menciumi dan mengendusi lehernya.

Masalahnya ada di kerutan hidungnya saat Wonwoo tertawa.

Kalau hatinya terbuat dari balon dan jantungnya berfungsi sebagai pompa, Mingyu pasti sudah meledak tiap kali lihat pacarnya tertawa, kerutan hidungnya muncul tanpa dosa. Ditambah lagi matanya yang ikut menyipit karena menahan agar tawanya tidak terlalu keras.

Mingyu akan menarik nafas, tangan mengepal menahan diri untuk tidak merusak proses syuting dengan mencium Wonwoo sampai kehabisan nafas di depan teman-teman dan para staff. Mingyu akan mencubiti pahanya sendiri agar fokus dengan lelucon Seungkwan di depannya, walau kepalanya berisik mencari ide harus mencium kucingnya dengan gaya apa nanti malam.

(Wonwoo yang bingung akan diciumi dan digigiti semalaman wajahnya oleh Mingyu setelah schedule beres. Banyak erangan karena Wonwoo kesal; seharusnya memakai skincarenya sebelum tidur, malah mendapati bite mark di pipinya.)

Bagian tiga, duh, bibirnya.

Ini bagian favorit Mingyu lagi.

Bibir kesayangannya itu mungil dan tipis, sedikit gemuk di bagian tengah bibir bawahnya. Di tiap ujung bibirnya akan terbit lengkungan tipis saat mengulas senyum. Garis tepi bibirnya tegas, berbentuk gunung yang mancung di bagian atas, seakan menantang yang melihat untuk singgah sebentar disana. Mingyu jadi tamu satu-satunya disana.

Warnanya cantik; pinkish dari lahir, tapi si pemilik kedua belah buah plum itu tanpa sadar suka menyiksa Mingyu. Selain rutin dengan lipcare yang berujung bibir sehat dan kenyal, si pacar punya kebiasaan menjilat bibirnya sendiri. Motifnya gak jelas, tapi akibatnya pasti; Wonwoo akan dibantu Mingyu untuk menjilati bibirnya atau kalau waktunya sedang ekstrem, menggigitnya.

(Wonwoo akan protes tanpa menghentikan Mingyu. “Kenapa tiba-tiba gigit aku, sih?”. Liat pacarnya agak manyun, Mingyu malah makin menggebu-gebu, gak tahan dan menunduk mencium lagi si kucing yang marah. “Salah kamu, pokoknya.”)

Saat sadar kekesalannya (kecemburuan) pada fans tak berarti, pundak Mingyu yang tadinya naik, melonggar. Setelah dipikir-pikir, pada akhirnya, ialah yang bisa menyalurkan kegemasannya langsung pada si kucing sumber masalahnya, si pacarnya itu.

Cuma Mingyu yang bisa ikut masuk ke dalam selimut saat Wonwoo lagi dalam masahibernasi di musim dingin; mendengarkan musik seharian sambil membaca e-book di ponselnya, dikubur selimut tebalnya.

Paha Mingyu biasadijadikan pangkuan kepala sesama rapper di grupnya itu saat asik beramai-ramai menonton film yang tak lagi tayang di bioskop. Pipinya akan menggesek-gesek Mingyu, mencari posisi yang tidak akan menimbulkan sakit leher.

Wonwoo hanya akan mendengung afirmatif saat Mingyu yang menggesekkan jarinya di bagian rahangnya saat Wonwoo mulai mengantuk di tengah break pemotretan. Lelaki yang lebih tua terlihat menikmati kulit jarinya yang padat dan terkesan keras menyentuhnya.

Mingyu tersenyum menyebalkan, merasa menang dari semua orang.

Mingyu 1 – semua-orang-yang-bukan-pacar-Wonwoo 0.

Lagipula, lagipula, ada satu hal lagi, hal terpenting, yang cuma Mingyu seorang di dunia ini yang tahu.

Kapan dan dimana sifat kekucingan Wonwoo menjadi-jadi— berada di puncak-puncaknya.

Mau tebak-tebakan?

Yang jelas, ini bukan konsumsi umum; bukan hal yang akan Wonwoo perlihatkan saat di depan kamera atau di depan teman-temannya.

-

“Halo? Gimana, dapet?”

Biasanya Mingyu tidak akan mengangkat telepon. Mematikan ponsel atau mengaktifkan mode silent sudah seperti aturan tak terucap di antara mereka di saat-saat begini.

Jangan salahkan Mingyu, tapi ini benar-benar penting; Minghao sudah berbaik hati mau menggantikannya mengikuti lelang online kamera idamannya yang sialnya jadwalnya bertabrakan dengan janji dadakannya dengan sang pacar. Ia hanya tinggal duduk dan menunggu konfirmasi dapat atau tidak.

Walaupun pacarnya sekarang bersimpuh di lantai— di tengah kakinya, ia tidak bisa tidak mengangkat teleponnya.

Wonwoo sedikit melotot, kenapa diangkat?

Mingyu tersenyum penuh merasa bersalah. Jarang-jarang Wonwoo semangat begini dan Mingyu malah merusaknya. Tangannya menangkup sebelah pipi Wonwoo dan mengelusnya, sebentar, penting.

Minghao di seberang teleponnya meminta maaf karena gagal, tapi juga menawarkan kamera lain yang punya spesifikasi yang sama dan— ini itu ini itu.

Suara Minghao di seberang hampir tak terdengar lagi.

Fokus Mingyu agak terganggu lihat pacarnya menyandarkan pipinya ke pahanya yang terbalut celana jeans. Pipinya bergeser, menggesek-gesek, mata sayunya tatap balik Mingyu tapi ia bersumpah lihat Wonwoo sesekali melirik apa yang ada di tengah kakinya.

Mingyu menarik nafas. Kesabarannya bagai layang-layang yang dikendalikannya di tengah gulungan angin; bisa putus kapan saja.

Yang lebih tua kelihatan lunak diapit pahanya. Sangat bukan Wonwoo yang agresif di atas panggung, memukul rata bagian rapnya tanpa masalah. Wonwoo di tengah kakinya terlihat penurut— pasrah, malah. Rasa-rasanya ia akan menerima apapun yang diberikan oleh Mingyu.

Tapi karena Mingyu tak kunjung memberi apa yang dinanti, Wonwoo berinisiatif sendiri, menolak menjadi kucing penurut untuk Mingyu. Wonwoo menusuk kulit jeans Mingyu dengan hidungnya untuk kemudian menggigit lumayan keras disana— di paha Mingyu. Giginya menarik kain di kaki Mingyu, tapi kulit pahanya pun kena imbas gigitan.

Layang-layang yang susah dikendalikan Mingyu akhirnya putus.

“Tutup dulu, nanti lagi—” potong Mingyu entah pada kalimat Minghao bagian mana.

“Hah? Terus gimana? Yang ini agak mahal—”

“Beli aja.”

Mingyu tak peduli lagi soal tabungannya, ada kucing manja yang tersenyum kecil saat Mingyu melempar ponselnya entah kemana.

“Jadi gitu mainnya?”

“Main apa?”

“Kak—”

“Habis kamu—” satu kecupan menempel di paha Mingyu, “—bisa-bisanya ninggalin aku begini.”

Mingyu berusaha terlihat cool di saat nafasnya sudah keras-keras lewati hidungnya karena gak sabar.

“Begini gimana?” Goda Mingyu, jempolnya yang betah di pipi lelaki yang satu turun dan sampai di bibir yang agak mencebik.

Tanpa jeda Wonwoo menjepit jempol dengan bibirnya. Gak keras, tapi cukup jadi spoiler gimana rasanya nanti diapit oleh Wonwoo di mulut. Terasa kering di bibir, Wonwoo memberikan jilatan kecil dengan ujung lidahnya. Pemanasan, sebelum merasakan Mingyu dengan seluruh permukaan indra perasanya.

Mingyu menggeram, jempolnya maju menekan lidah sang pacar, menekan-nekannya, sampai lenguhan terseret keluar dari tenggorokan Wonwoo. Mingyu tak peduli jempolnya kini dibanjiri saliva sang pacar. Sudah biasa. Wonwoo selalu terlalu basah di bagian mulutnya, buat apapun aktivitas yang berhubungan dengan mulutnya akan menjadi berantakan. Make out di belakang panggung selalu berakhir dengan bagian kerah baju keduanya menggelap basah.

Ini bukan protes. Mingyu malah terlalu menyukainya. Tau apalagi yang bisa dibuat basah oleh mulut kecil pacarnya?

Setelah mengitari permukaan giginya, jempol di mulutnya menghilang. Juntaian kental saliva dibiarkan begitu saja menetes. Wonwoo dibawa mendekat, tangan Mingyu di belakang lehernya, menuntun Wonwoo ke bagian pusat tubuh Mingyu. Hidung runcingnya menusuk Mingyu di tengah, masih dengan lidah yang keluar melewati bibirnya karena pergerakan tiba-tiba.

“Ya udah, mulai.”

Wonwoo memang mau, tapi— “kaki aku pegal, Gyu.”

Mingyu memutar bola matanya, “kok?”

“Lutut aku—” Wonwoo mengecup bukit di depan bibirnya, “—maaf.”

Mingyu tanpa banyak protes membantu pacarnya bangkit, mengangkat Wonwoo di pinggangnya dan dibawa mundur ke ranjangnya.

Keresahan pasti tercetak jelas di wajahnya karena Wonwoo tertawa kecil. Punggungnya mundur sampai kepalanya menabrak halus kepala ranjang.

“Lucu? hah?” Mingyu menghela nafasnya tak habis pikir, “kamu 'tuh gak biasa di lantai kayak tadi ngasih blowjob,” dumel Mingyu, kakinya memerangkap tubuh bagian atas Wonwoo. Tangannya bergerak tak sabaran membuka kausnya, “emang harus aku yang ngasih.”

“Lagian tumben, kenapa 'sih?” lanjut Mingyu.

Keheranan Mingyu sebenarnya beralasan. Wonwoo bukannya gak antusias soal aktivitas ranjang. Salah besar. Pada dasarnya mereka berdua sama aja, tetapi Wonwoo lebih suka action daripada bicara dengan mulutnya.

Biasanya saat mau, Wonwoo akan tidur lebih mendempet dan pelan-pelan menekan pinggulnya dengan selangkangan Mingyu. Kecupan selamat malam yang biasa dicetak di leher akan bertengger lebih lama (tidak di muka, keduanya selalu sudah terpoles skincare sebelum tidur. Ya, idol life). Tangan Wonwoo akan tiba-tiba menggerayangi dadanya manja, mengerik dengan kukunya yang pendek.

Tapi tadi sore, selesai recording untuk Ellenshow, dengan keringat yang masih hangat dan baju yang merekat tak nyaman di kulit, Wonwoo tiba-tiba menarik tangannya ke belakang pintu saat member lain belum sampai di ruang ganti. Staff pergi entah kemana.

“Malam ini ada acara?”

Mingyu hampir bilang iya, ingat jadwal lelang yang harus diikutinya dan niatnya memakai semalaman komputer di ruang tengah.

Tapi lihat Wonwoo yang kelihatan menggebu-gebu dengan pertanyaannya, Mingyu akhirnya menggeleng. Pikirnya pacarnya mau quality time. Misalnya naik ke atap apartemen buat ngobrol berduaan setelah beli jajanan sampai pagi atau streaming Netflix semalaman pakai akunnya karena Wonwoo malas beli.

Apa aja, yang pasti Mingyu gak beranggapan ini:

“Hm,” Wonwoo mengangguk, terlihat agak puas. Bibirnya mengulum sebelum meremas pinggang Mingyu, “aku mau kamu—”

“Mau— apa?”

“Want to suck you off.”

Mingyu mengedip, tak percaya dengan telinganya sendiri, “h-hah?”

Derap kaki ramai milik teman-temannya buat Wonwoo menepuk pundaknya, “nanti malam, ya?”

Dan meninggalkan Mingyu kebingungan, masih gak percaya. Sampai riasannya dihapus dan baju performance-nya lepas pun Mingyu masih meragu.

Sampai Wonwoo menyela ajakan group dinner Seungcheol dengan “gue sama Mingyu gak ikut, mau langsung balik aja ke dorm.”

Ya, Wonwoo serius ternyata. Mingyu yang masih waras harus menghentikan Wonwoo yang hampir menelanjanginya di pintu masuk apartemen dan menariknya ke kamar.

“Kamu—”

“Aku?”

Wonwoo menggigit bibirnya, menatap Mingyu yang matanya jauh di atas. Tangannya naik ke paha Mingyu yang menjeratnya, meremas Mingyu disana. Setelah bekas gigitan, Mingyu yakin pahanya akan memerah karena jari-jarinya.

“Seksi— Mingyu, hari ini kamu— seksi? Ganteng? Ya kamu emang ganteng tapi gak tahu kenapa hari ini...” pacar di bawahnya menggaruki pahanya, gugup, “apa karena rambut kamu? gak tau— tadi habis monitoring dan liat kamu pas intro aku panas sendiri? You have a nice hip and thighs and legs and you know ityou are a walking sex and you know it— terus—”

Wonwoo membasahi bibirnya, menarik nafas untuk melanjutkan, “terus aku ngebayangin kalau kamu— punya aku? Cuma aku yang bisa lihat kamu dari bawah sini— aku di bawah kamu— in your mercy—”

“Kamu ngebayangin hal begitu di lokasi syuting,” Mingyu melontarkan pernyataan, bukan pertanyaan, “ada temen-temen kita, staff—”

“I—iya,” Wonwoo memerah padam, tak menyangkal, “aku kepikiran tarik kamu ke toilet buat— buat a quick blow job atau jari kamu di dalam aku—”

“Fuck kitten,” Mingyu kasar-kasar menghela nafas, tangannya ribut membuka sabuk longgar di pinggangnya dan menurunkan resletingnya, “gila kamu— gila.”

Wonwoo menaikkan kepalanya, langsung menggigit tak sabar kejantanan Mingyu yang masih dibalut kain terakhir. Jarinya erat di kaki Mingyu, seolah berpegangan, walau kendali dirinya sudah lama terlepas dari tubuhnya sejak masuk ke apartemen dan dengan ceroboh mencium pacarnya.

“Lepas dulu— Mingyu, buka semuanya—”

“Sabar, sayang.” padahal sama saja, Mingyu juga gak sabar memenuhi kerongkongan kesayangannya.

Celana turun sampai ke lutut, penis Mingyu yang memukul halus dagu Wonwoo tidak dibiarkan merasakan dingin karena langsung masuk ke dalam mulut panas yang menunggunya.

“Hmm.” desau Mingyu puas, jemarinya menyisir rambut lelaki yang pipinya bulat sebelah karena bentuk penisnya. Satu lagi kebiasaan Wonwoo yang menarik keluar reaksi ganda darinya; gemas, tapi ingin juga menyumpal penuh mulut kesayangannya dengan benda yang kelihatan begitu disukainya.

Wonwoo menghirupnya dalam-dalam. Matanya memejam-terbuka-memejam, bagai menikmati culinary terenak sedunia. Bisa jadi memang iya; memang Mingyu nikmat di lidahnya atau nafsunya mencabuti akalnya sehingga apapun bagian Mingyu akan diterima sesuka hati olehnya. Wonwoo tidak pernah menyangka akan begitu menyukai sebuah tonggak di dalam mulutnya dan masih saja kehausan bahkan saat tonggak itu memenuhi mulutnya.

Mingyu benar-benar merubah segalanya.

Setelah jilatan pada ujung kepala dan kecupan-kecupan yang sampai pangkalnya, lelaki yang lebih tua melepas bibirnya. Sekujur penis Mingyu sudah basah semua. As expected from Wonwoo and his mouth. Kepalanya terbanting ke belakang setelah lehernya naik sedaritadi menggapai Mingyu.

“Ke-kesini,” pinta Wonwoo di tengah nafasnya, “fuck my mouth, terserah, aku capek kalau harus kayak tadi.”

Wonwoo memang lebih suka diberi daripada harus berusaha mengambil apa yang dimaunya. Maunya dimanja pacarnya, tak mau menggerakkan jarinya. Maunya hanya tertidur di atas ranjang, terima apapun yang mau pacarnya berikan. Maunya dengan membuka mulut dan kakinya, geloranya terpenuhi.

Pillow princess— atau Wonwoo lebih cocok dijuluki pillow kitten.

Mingyu terkekeh, “kayak kamu bisa aja, you can barely take me whole, kitten.”

Lelaki di bawahnya mengeryit, “aku bisa—”

“Lihat aja,” matanya yang basah diusap, akibat memaksa masuk semua Mingyu ke tenggorokkannya, “kamu kesulitan, sayang. Aku gak mau.”

“I want you,” pinggang Mingyu ditarik turun, “want you deep—”

“You are supposed to take what i give,” Mingyu tak menurut, memilih menggenggam penisnya, menggesekannya pada pipi pacarnya dan turun ke mulutnya, membasahinya dengan precum dan salivanya sendiri, “kalau aku gak mau, berarti enggak.”

“Mingyu—”

“Lagian,” Mingyu beranjak mundur, tak lagi menaungi Wonwoo tepat di mukanya, “I will give you deep, kitten. But not in your mouth.”

Sweatpants Wonwoo dilonggarkan, tungkai kaki yang telanjang diciumi Mingyu, terus digigiti sampai kaki Wonwoo bengkok di atas pundak Mingyu yang bibirnya terus naik ke pahanya. Rambut Mingyu diremas kucingnya saat si penjelajah dengan sengaja menggigit Wonwoo dengan taringnya, menyeretnya, membuat jalan sampai ke pinggangnya yang telanjang karena bajunya yang tersingkap.

“Mi-Mingyu—”

“Hmm,” kecup, kecup, kecup, “kenapa, sayang?”

Kepala Mingyu ditarik ke atas saat pusarnya digigit dan disapu dengan lidahnya.

“Ma-mau cium.”

“Ini aku lagi cium kamu, sayang.”

“Bukan- hmmh—” tubuh Wonwoo berjengit saat Mingyu lolos masuk ke dalam kaos besarnya dan mengigit putingnya keras, “mulut aku.”

Cup, “Mulut atas apa bawah?”

Kurang ajar. Mingyu dan mulutnya yang kurang ajar buat Wonwoo tanpa sadar menyipitkan kedua kakinya yang masih memeluk Mingyu.

Dengar Mingyu melayangkan kepalanya ke ingatan sebulan lalu saat keduanya bereksperimen (ide Mingyu, walau akhirnya diiyakan oleh Wonwoo setelah seharian dibujuk) untuk menjawab pertanyaan berapa kali Wonwoo akan keluar cuma dengan mulut dan lidah Mingyu?

Jawaban: 4 kali, dengan orgasme kering di kali ketiga.

Yang membuat rahang Mingyu sakit dan harus libur les vokal besoknya.

Bukannya waktu itu pertama kalinya, tetapi ass play mereka tak pernah seintens itu, tak pernah buat Wonwoo buta sedetik saat orgasme terakhirnya terpental keluar dari tubuhnya, buat kakinya gemetar dan Mingyu harus menenangkannya yang overwhelmed.

“Sayang,” Mingyu memanggilnya mengejek, bibirnya kini naik mengecup dagunya, “you love the idea, hm? You want me to eat you out now?”

Mau.

Begitu maunya Wonwoo, tapi malam ini Wonwoo ingin digapai sedalam mungkin, ingin merasakan Mingyu di perut bawahnya dan lidah Mingyu tak akan menggapainya sampai puas.

Wonwoo menjilat sisi bibir lelaki di atasnya sebagai jawaban, menagih apa yang sebenarnya dituntutnya tadi, yang bukan soal pantatnya.

Yang satu memenuhi maunya dengan senyuman menjengkelkan, menciumi Wonwoo dengan antusias yang sama sampai katup bibir sama-sama terbuka, bermaksud menghabisi satu sama lain. Mingyu mengais dalam-dalam mulutnya, menggali pusat mata air liur yang jadi langganan pribadinya. Pijatan banyak di lidah Wonwoo dan ia akan banjir di dalam mulutnya, tak bosan-bosan dihirup Mingyu.

“Mmh— Mmihg—”

Jeratan jemari di rambut Mingyu mengerat lamat, malah menjentik hasratnya untuk meminum Wonwoo lebih rakus lagi, mengigit bibir pacarnya untuk tetap terbuka.

Sampai satu cubitan tanda permintaan darurat untuk berhenti di perut si pemburu membuat Wonwoo terbebas. Mingyu turun dan terkekeh, mengecup rahang korban santapan di bawahnya.

“J-jorok Mingyu.” protes Wonwoo yang hampir habis nafasnya, aliran saliva membentang dari sisi bibirnya.

“Kan gak jadi makan pantatnya,” satu kecupan mendarat di dagu Wonwoo, menghentikan laju air liurnya, “so i went for the mouth?”

Wonwoo menggeram kesal, hendak mengambil bantal untuk menutupi wajahnya sampai Mingyu menghentikannya.

“Belum apa-apa kamu mau ngumpet,” tangan Mingyu menangkup kejantanan Wonwoo yang masih tersimpan di celana dalamnya. Mingyu mengusapnya di antara jari-jarinya, buat Wonwoo mendesah, merapatkan pahanya. Bagian sana sejak tadi tak dapat perhatian, “bagian ini belum, sayang.”

Setelah seluruh kain dari tubuh mereka terkumpul jadi satu di lantai, Mingyu menaungi pacarnya kembali yang terbaring pasrah siap untuk dijelajahi lagi, menunggu Mingyu mengabulkan permintaannya yang lain, sampai dalam.

Mulutnya memang tak banyak terbuka, tak banyak merengek meminta ini-itu dari Mingyu, tapi Wonwoo benar-benar terlihat menginginkannya; apapun bagian Mingyu yang ingin diberikannya. Matanya menatap antisipatif dengan bolanya yang bergerak kesana-kemari mengitari tubuh Mingyu yang transparan tanpa sehelai benangpun yang menutupinya.

Mingyu tau ia atraktif, sang pacar juga tak pelit mengingatkannya dengan pujian, tetapi Wonwoo harus tau pemandangan yang dilihatnya menyaingi bahkan matahari yang terbenam di pinggir pantai; Wonwoo mempesona, ciptaan Tuhan yang bisa Mingyu puja-puja sampai kakinya, terutama saat berada di bawahnya dengan nafas yang satu-satu.

Kulit suci Wonwoo memerah karena malu juga lelah akibat stimulasi tanpa henti dari Mingyu pada hawa nafsunya. Dadanya yang dititiki gigitan Mingyu naik turun dengan cepat mengais udara yang panas di sekitar mereka. Rambutnya lembab, merambah pasrah ke bantal di belakang kepalanya. Matanya berkabut, dibutakan keinginannya untuk dibolak-balikkan kewarasannya oleh Mingyu, untuk digerogoti sampai ke dalamnya.

Gila, betapa Wonwoo menatapnya dengan percikan api membentuk bintang di matanya dengan lidah yang sesekali membasahi bibirnya yang merekah dan memang sudah basah; Wonwoo menunggu, mendambanya.

Tapi bukan Mingyu kalau ia langsung memberikannya begitu saja.

Mingyu mengocok botol pelumas di tangannya, tanpa sadar ikut menjilat bibirnya, “kamu mau prepare sendiri?”

Wonwoo menggeleng, kakinya terbuka mengundang lelaki yang lebih muda.

“Kamu. Kamu aja.”

“You act like princess.”

Gumaman kecil jadi balasan, Mingyu memaksa Wonwoo mengulanginya.

“Y-your princess.”

“Fuck, right,” Mingyu menghela nafas keras, menyesal kenapa penisnya tidak masuk dari tadi ke dalam tubuh Wonwoo supaya ia bisa menghajarnya masuk lebih dalam sebagai balasan karena berbicara konyol seperti itu dan berhasil menyiram bensin pada kobaran api di perutnya, “a fucking princess who loves to take me in while lying down, without moving a hand.”

Mingyu hampir meledak, hampir merobek celana dalam Wonwoo yang sedang ditariknya saat pacarnya itu mengangguk lemah, mata setengah bulannya balik menatapnya.

Jari basah sempurna, pelumas yang tinggal setengah, Mingyu yang di tengah kaki Wonwoo.

Here you go, sayang.”

Jari Mingyu memang bukan standar wet dream material dengan tulang panjang atau bagaimana, tapi Wonwoo selalu terbaring sangat puas setelahnya.

Jari Mingyu yang dibilang orang sturdy; kokoh dan gemuk di lekukan yang pas. Kukunya yang rutin dipotong membuka Wonwoo dengan mudah tanpa khawatir menyakiti, ditambah dengan bakat menjarinya, mengeruk Wonwoo, seakan jari Mingyu memang dibuat untuk menjari. Wonwoo yang suatu hari dijari Mingyu di toilet acara akhir tahun pernah bersumpah bisa saja basah seperti perempuan.

“Deeper— y-ya— Minm— Gyu—”

Banyaknya pengalaman, Mingyu tak lama sampai menambah jari ketiga, buat lelaki di bawah ampunannya makin resah, mengayuh kakinya di atas ranjang.

“You okay?”

“Y-ya, mmh- lagi?”

“Satu jari lagi?”

“Hmm.”

“Tiga aja ya? Four is too much, i want it tight.”

Wonwoo mengangguk, pinggangnya ikut bergerak mengejar jari Mingyu yang menjarinya halus.

Lelaki di atasnya terkekeh, mencium pipi pujaannya berkali-kali, “thought you don't want to move, princess?”

Helaan nafas, “w-want you-” kecupan di dagu Mingyu, “ayo Mingyu— kurang, mau kamu—”

“Apanya?”

“Ka-kamu— Mingyu, mau kamu.”

“Tell me, princess. What do you want?” rambut yang menempel di dahi sang putri disisirnya bersamaan dengan peluhnya dan Mingyu tak meragu mengecupnya tepat dimana harusnya tersemat sebuah mahkota di kepala pacarnya, “You know i will give everything for you.”

Wonwoo begitu butuh, begitu lemah kelaparan karena hawa nafsu yang tak kunjung dipenuhi. Panggilan princess yang diam-diam disukainya membangunkan remang di kulitnya.

Dan Mingyu lupa memperhatikan reaksi pacarnya; saat ia tak sengaja mengeraskan jarinya dan mengusik sebuah titik di dalam sana, Wonwoo mengerang keras di telinganya, tanda sampai pada orgasme pertamanya.

“Fuck, Princess. Really?” Mingyu seketika melepas jarinya saat lengan Wonwoo naik ke pundaknya, “just from my fingers? I don't even put much effort on it.”

Dengan kaki yang gemetar karena orgasme pertama, Wonwoo menempeli Mingyu, menjadikan Mingyu sebagai pegangannya— yang membuatnya tetap berpijak di bumi, “M-mingyu—” erangnya.

“Ssh, Gak apa-apa,” dengan perhatian Mingyu mengelus penis Wonwoo yang masih sensitif, menjempoli ujungnya yang dilumeri cairannya sendiri, “kita lanjut pas kamu udah siap lagi.”

Gelengan diterima Mingyu di lehernya. Nafas Wonwoo yang berat tepat di telinganya anehnya buatnya bangga; bisa-bisanya buat Wonwoo begini hanya dengan jarinya.

“Kosong— Mingyu, kosong—”

Mingyu menggigit bibirnya, bisa saja merobek dirinya sendiri. Pacarnya yang manja di masa sensitif begini selalu melanturkan hal yang begitu kotor, meninju tinggi nafsu Mingyu yang berusaha ditekannya.

“Kosong?”

“Kosong,” kata Wonwoo pasti, “mau kamu— dipenuhi kamu, Mingyu,” pegangan lengan Wonwoo di pundaknya mengerat, “want your cock, Mingyu— want you d-deep, want to feel y-you so deep inside me.”

“You will be the death of me,” Mingyu membaringkan Wonwoo lurus di tengah rumpunan bantal dan selimut yang kusut, tak biarkan Wonwoo menempeli tubuhnya lagi, “your wish will be granted, princess.”

“Hurry,” Wonwoo mengundang pangerannya ke tengah kakinya yang makin meluas, “Mingyu—”

“Kamu gak mau nungging? It will make my cock reach deeper—”

Wonwoo menggeleng, “t-try reaching me deeper like this— i d-don't know, Mingyu— do something.”

“Ngapain juga aku nanya,” Mingyu menggelengkan kepalanya tak heran, “manja.”

Mingyu melumuri pedangnya dengan pelumas sebanyak mungkin, karena rumah pedangnya begitu menyukainya yang basah. Bunyi telapak tangan dan penis Mingyu yang beradu buat lelaki di bawahnya makin risau, walau kaki lagi-lagi makin melebar.

Ujung penis Mingyu mengetuk-ngetuk halus pintu yang akan dimasukinya, memutari pinggirannya untuk memastikan pacarnya rileks di bawah sana.

“Ready, kitten?”

Tak mempercayai suaranya akan bagaimana, Wonwoo mengangguk antusias.

Laju Mingyu ke dalam yang berhasil melewati perlawanan Wonwoo menghasilkan desahan kembar dari kedua pemuda di mabuk animo; ingin dipenuhi dan memenuhi, ingin dijejaki dan menjejaki sedalam-dalamnya. Inginnya malam itu kenyang sampai bekas malam itu teringat di tubuh masing-masing berhari-hari.

Mingyu tak asal-asalan menabrak masuk ke dalam. Prioritasnya menggali dengan penisnya, menghancurkan dinding yang menahan untuk penisnya masuk lebih dalam, yang penting Wonwoo merasakan dirinya sampai ke bawah perutnya. Dilakukannya tak begitu keras, cukup sampai buat Wonwoo nikmat. Tulang selangkangannya menabrak bokong sang kekasih yang ototnya berkali-kali berjengit karena Mingyu begitu tepat dengan sasarannya.

“Mmmim— Ming— Gyu— ah, hmm

“Enak?”

“Iya— iya—”

“Am I reaching you deep?”

Anggukan tak beraturan, “s-so deep— God— ah, ah, hm”

Kepuasan terlukis nyata di wajah si kucing di bawah. Matanya terpejam begitu menikmati, tapi sesekali terbuka penasaran, menonton bagaimana Mingyu menembus dirinya, bagaimana tubuhnya terbuka sukarela bahkan menelan rakus penis Mingyu. Bibirnya bebas terbuka, menyanyikan desauan yang cuma bisa didengar di video porno, memuji betapa dalamnya Mingyu menggapainya, betapa Mingyu yang besar merenggang tubuhnya dengan nikmat, bagaimana ia begitu menyukai penis Mingyu.

Mingyu tertawa, menyisir rambutnya yang basah dengan keringat ke belakang, “you love it that much?”

“Want me to reach you deep even more? My balls deep inside you?”

“Open up more kitten— yes, like that— let me in, kitten.”

Wonwoo yang dimanja begitu dalam mengerang puas, hampir menjerit tinggi, jarinya meremas punggung dan paha lelaki yang bergerak maju mundur lebih keras di atasnya.

Mingyu merintih; dijepit terlalu ketat di dalam sana, juga akibat kuku Wonwoo yang makin menekan dalam. Yakinnya bekas cakaran dimana-mana akan menyambutnya di pagi hari.

Benar-benar terlihat seperti habis bergerumul dengan kucing.

Ahn— hmmh Mingyu— keluar— hng— mau keluar—”

“Aku juga— fuck, i will let it out inside, yeah?

“Ya— iya— di dalem Gyu— ahh—

whiny

kosong

mingyu in control wonwoo like it. Kucing seharusnya

Tapi juga beneran bersikap bagai kucing

jadikan ending: Kapan dan dimana sifat kekucingan Wonwoo menjadi-jadi— berada di puncak-puncaknya.

The beginning: Mates to Eternity

Getou Suguru x Gojo Satoru

Content Warning: omegaverse, m-preg theme


Di umur ke-26 tahun, dengan jubah mandi di tubuh dan sisa-sisa air hangat yang menjentik di tubuh, Getou tiba-tiba menumpu lututnya di lantai dengan kotak belundru biru pekat di telapak tangannya.

Gojo mengedip, perhatikan Getou yang menatapnya serius. Pupil matanya bergetar diterpa lampu kamar yang kuning redup.

Sebagian kecil—kecil sekali, Gojo bisa meraba apa yang sedang dilakukan oleh Getou saat ini, tetapi ia meragu. Tak menyangkanya sama sekali karena beberapa menit lalu mereka masih berdebat soal siapa yang tidur di sebelah kanan tempat tidur.

Kalau dipikir, semuanya akan menjadi jelas mengapa Getou mengantarnya ke salah satu kamar pintu hotel milik kakeknya daripada apartemennya. Alasan adanya kelopak bunga mawar di kamar mandi yang belum sempat ditanyakan pun kini terjawab.

“Satoru,” sebut Getou setelah menarik nafas keras, tangannya bergetar di udara namun berusaha tetap tegap, dengan yakin tawarkan apa yang ada di tangannya.

“Satoru,” sebutnya sekali lagi, “Gimana ini?”

Sekali lagi hembusan nafas, “Aku tau gak bakal ada yang berubah setelah ide aku ini.”

“Mau ada status resmi atau enggak, aku tetap milik kamu.”

“Terserah kamu mau ejek aku karena kesannya besar kepala, tapi aku tau kamu juga milik aku.”

“We are in this together, am i right?“

Getou yang tak melanjutkan kalimatnya buat Gojo mengangguk, merasa harus meyakinkan Getou dengan pertanyaannya.

“Gak ada yang bakal bener-bener berubah. Kita masih maraton film-film yang bukan horor.”

“Aku yang masih gak bisa naik skateboard dan kamu yang cuma bisa buat roti bakar dan sereal.”

“Kita yang masih cari jajanan malam dan kamu yang janji nge-gym besoknya tapi ketiduran sampai siang.”

Gojo ingin menjewer telinga lelaki di depannya, tapi tangannya sibuk menempel kaku di pangkuannya.

“Tapi Satoru, aku lebih milih pacaran sama kamu dengan cincin melingkar di jari manis tangan kanan kamu.”

“Aku mau orang-orang lihat yang digenggam sama aku bukan cuma tangan kamu, tapi kamu.”

Memang Getou yang habis bersuara, namun Gojo ikut merasa kering di lidahnya. Salivanya yang sedikit turun lewati tenggorokannya dan menyirami bunga di dadanya. Kebun bunga disana bermekaran, penuhi dada, buat Gojo kesulitan bernafas.

“Kamu mau, Satoru?”

Getou membuka kotak beludrunya, menyajikannya pada Gojo di depannya.

“Nikah? Sama aku?”

Sepasang cincin. Desainnya sederhana dan tipis. Berlian kecil sebening biru mata Gojo melekat disana, tak menonjol dari permukaan lingkarannya.

Sepasang cincin. Bukti sepasangnya perasaan. Tanda dari sebuah kesetiaan yang dipegang berdua, komitmen besar yang akan dijalani bersama, sebuah janji untuk masa depan yang belum bisa diraba bagaimana jadinya.

Gojo tanpa ragu meraihnya, tanpa ragu terima tawaran masa depan yang disajikan Getou.

Kedua belah tangannya menangkup tangan Getou yang masih tegap di udara.

“Mau, Suguru.”

“Aku mau, nikah sama kamu.”

Dua-tiga detik keheningan dan keduanya tertawa. Terasa kering dan kaku, berbanding dengan dua pasang mata yang basah dengan air mata bahagia.

Masih dengan tangan yang saling menggenggam, Getou memajukan tubuhnya, menggapai Gojo yang duduk di atas kasur untuk kecupan-kecupan di pipinya, deraskan riam di mata yang biru.

“Kenapa kamu ngelamar aku pakai jubah mandi begini?”

Getou tertawa, masih dengan bibir yang sibuk gelitiki Gojo di pipinya, dahinya, rahangnya, sampai mengusal di rambutnya.

“Biar bisa langsung ke perayaan di ranjang.”

Getou benar besar kepala, hampir tak punya ragu dengan keputusan sang calon suami yang bisa saja menolaknya.

Gojo mengibaskan jemarinya, “pakaikan dulu cincinnya terus kita lanjut ke acara selanjutnya.”

Malam itu, pertama kalinya terdengar dentingan cincin yang beradu di antara jemari yang menggenggam di tengah pergerumulan mereka.

-

Awal mula Gojo menyadari keinginan dari naluri terdalamnya, entah omeganya atau memang dirinya sendiri yang berbicara, ia terheran-heran tak percaya.

Waktu itu hari Minggu, tepat di hari belanja untuk persediaan makanan dan toiletries. Inspeksi mingguan di hotel kakeknya, tempat Getou bekerja menjadi Hotel Manager Assistant, sudah dilakukan Sabtu kemarin dan Getou bisa mendapatkan liburnya. Gojo, yang seorang Hotel Advisor, baru akan berangkat besok lusa menemui kliennya di luar kota.

Getou belok ke sebuah toko sepatu. Aku mau beli sandal, pengganti yang hilang kemarin katanya. Gojo di belakangnya mengikuti, sesekali berhenti saat melihat alas kaki yang menarik untuknya, sekalian membantu Getou dengan pilihannya.

Disana, Gojo tak sengaja terikat perhatiannya dengan sepatu berukuran kecil yang sedang diskon setengah harga. Tipikal sepatu untuk anak kecil dengan desain yang sederhana; tanpa tali melainkan perekat. Terlihat mudah dipakaikan atau dilepas dari kaki. Warnanya kuning mustard dengan sol yang empuk.

Gojo membawa sepatu itu ke tangannya, mengukurnya yang bahkan tak sampai sebesar telapak tangannya. Tiba-tiba membayangkan makhluk sekecil apa yang muat dengan sepatu sekecil ini?

“Hei,” tepukan di pundaknya mengejutkan, “kamu aku panggil daritadi gak nengok.”

“Oh, maaf—” nafas Gojo tercekat, di depannya Getou yang biasanya, tapi kini ia menggendong sesuatu yang tak biasa, “Suguru—”

“Sato, anak ini kayaknya kepisah dari orang tuanya.”

Digendongan Getou kini ada sejenis makhluk kecil yang dipikirkannya sejak tadi. Datang tiba-tiba bagaikan jawaban yang ditanyakan oleh kepalanya.

Anak laki-laki di depannya berkulit pucat. Rambutnya tipis, rapi tersampir sampai keningnya. Pipinya dan hidungnya berwarna kembar; kemerahan karena menangis, walau sudah berhenti. Tubuhnya benar-benar kecil dibanding lengan Getou yang besar.

Rasa-rasanya anak tadi cocok dengan sepatu yang masih digenggam tangannya.

Salah satu tangan Getou menepuk-nepuk punggung anak kecil tersebut. Tubuhnya naik-turun, berusaha menenangkan.

“Kita ke bagian kasir, ya? Ada tempat duduk. Aku mau bilang staff disana buat bikin pengumuman.”

Tak banyak bicara, Gojo mengangguk dan sekali lagi mengikuti Getou di belakangnya.

Getou terlalu fokus berbicara dengan staff disana dan tanpa bertanya menyerahkan anak kecil itu ke pelukan Gojo. Duduk disana katanya di jeda pembicaraannya dengan staff.

Diberi tanggung jawab baru, ia tak tahu harus apa. Gojo tak pernah familiar dengan anak kecil. Tangannya kaku menggendong si anak kecil yang dikira-kiranya bahkan belum berumur 4 tahun. Si kecil tak berbicara, mengoceh di tengah isakan kecil.

Gojo memutar kepala, bingung harus apa selain menggendong si anak kecil dengan kaku. Kepalanya mengingat Getou yang mengayun kecil tubuhnya, mengingat telapak tangan suaminya yang mengusap punggung anak kecil ini. Gojo menirunya, berusaha sebaik mungkin.

Mata bulat dengan retina coklat kayu menatap ke atas, tepat bertemu dengan mata biru Gojo.

Gojo mengedip karena samar merasakan dadanya di ketuk keras. Merasa retakan di jantungnya turun ke perutnya untuk kemudian teraduk. Anehnya ia tak merasa mual. Perasaan yang ia rasakan tak sepenuhnya tak menyenangkan.

Anak kecil itu menyamankan diri, menyenderkan penuh tubuhnya pada dada Gojo yang sedang berantakan. Tubuhnya bereaksi dan Gojo refleks menenggelamkan anak yang bahkan ia tak tahu namanya ke dalam tubuhnya.

“Satoru, orang tuanya udah datang.” Tanpa menunggu komentar Gojo, makhluk kecil itu dilepaskan begitu saja dari tubuhnya, diangkat oleh Getou.

Getou menjulang di depannya, mengusap kepala anak kecil yang kembali digendongannya. Gojo tiba-tiba tak bisa mendengar, kemungkinan besar Getou menirukan suara anak kecil.

“Bilang dadah dulu?”

Tapi Gojo tak bisa peduli.

Yang direkam matanya hanya Getou yang terkekeh di depannya sambil menggendong si anak kecil. Tangan besarnya bermain dengan tangan yang jauh lebih kecil. Menggoyangkannya.

Dadah katanya.

Perutnya makin mengaduk. Tanda gigitan yang menjadi bukti pernikahannya dengan sang alpha di belakang lehernya tiba-tiba terasa menjengit kulitnya.

Getou membawa anak kecil itu pergi. Sepasang pria dan wanita yang masih muda menunggu disana, memeluk anaknya yang dikira hilang.

Selesai dengan urusannya, Getou berjalan kembali, hampiri Gojo dengan tangan kosong.

“Ayo cari sandal lagi.”

Getou tersenyum lebar ke arahnya, tapi sebelah sepatu yang masih berada di genggaman Gojo terasa berat di tangannya.

  • End of Beginning: Mates to Eternity

Mates to Eternity

Getou Suguru x Gojo Satoru

Content Warning: nsfw, explicit sexual scene, omegaverse and m-preg theme Tags: male pregnancy, dirty talk, nipple play, mention of male lactation.


Perasaan itu kembali lagi. Terasa menyenangkan, tapi buat Gojo gelisah sampai ke perutnya.

Rasanya sama seperti saat berbelanja bersama Getou beberapa waktu lalu.

Sekelebat angan-angan tergambar di kepala, buat tubuhnya meremang karena kebahagiaan yang terasa tak dapat ditampung tubuhnya; Getou yang menggendong anaknya, Getou yang tertidur dengan darah dagingnya di pelukannya, Getou yang mencurahkan kasih sayangnya bukan hanya padanya tapi juga keturunannya.

Getou juga akan menjadi seorang ayah yang baik. Asal keahliannya dalam mengendalikan anak kecil masih misteri, tetapi tak dapat diragukan. Lelaki itu akan berisik soal nutrisi keseharian anaknya, akan mendandani anaknya dengan baju dan aksesori berwarna monokromatik yang jadi kesukaannya juga akan dengan mudah mengangkat tinggi-tinggi anaknya ke udara.

Tanda kepemilikan di belakang lehernya terasa menggigit kulitnya. Tubuhnya menghangat, mulai mengikuti perintah otaknya. Siklus biologinya sebagai omega dan nalurinya untuk dibuahi secara otomatis berkembang karena ikatan pernikahan dengan sang alpha secara fisik dan batin.

Suara pintu depan terbuka dan Gojo mengabaikannya. Tubuhnya mulai terasa lemas karena omega di dalam dirinya gembira dengan gambaran angan-angan soal Getou dan calon anaknya yang bahkan belum ada.

“Sato— kamu kenapa?” Getou dengan terburu-buru menghampirinya.

Kasur berderik dengan beban yang baru. Keningnya diusap halus oleh suaminya dan Gojo refleks menutup matanya, menikmati perhatian sang alpha.

Heat kamu udah mulai kerasa? Tadi masih gak apa-apa?”

Gojo mengangguk dengan mata sayu menatap lurus serius lelaki yang masih dengan kemeja kerjanya.

“Aku— ada yang mau aku omongin sama kamu.”

Getou mengedip bingung, “boleh, sekarang? Kamu udah mulai lemes begini.”

“Hm, ada alasannya aku begini.”

“Oke,” lelaki di depannya menggangguk, tangannya bergerak mengikat rambutnya, “aku mandi sebentar ya?”

“J-jangan, aku mau ngomong sekarang. Sekalian— kayanya kamu harus temenin heat aku sekarang juga.”

Getou yang langsung mengerti membantu Gojo membetulkan posisi tubuhnya yang memakan spasi di ranjangnya.

Sang alpha menempatkan omeganya di pangkuannya saat Gojo meminta berhadapan wajah.

Melihat Gojo yang serius dengan topik yang akan diangkat buat Getou berikan perhatiannya, terlihat siap mendengarkan apapun yang ingin dikatakan suaminya.

Tangan satu saling menggenggam dan yang satu mengusap pinggang yang juga sebagai penyokong Gojo untuk tetap tegap.

“Aku belum mandi gak apa-apa?”

Gojo mengangguk tak masalah. Getou selalu tercium menarik untuk hidungnya dan omega di dalamnya terlalu menyukainya.

“Jadi... apa?”

Akhirnya. Saat yang paling dikhawatirkannya. Obrolan soal kehamilan tak pernah dibicarakan selama ini setelah terbiasa lebih dari enam tahun bergantung dengan pil dan pengendalian diri di saat mating.

Sudah lima bulan status di antara mereka menapak selangkah; bukan lagi pacar, mereka adalah sepasang suami. Legal di atas kertas dan resmi dengan sepasang bite mark merah di leher. Memiliki anak adalah langkah besar dalam sebuah hubungan dan banyak perhitungan yang harus dipikirkan mengingat Gojo adalah male omega.

“Satoru?”

Gojo menarik nafas, “aku mau punya anak.”

Lelaki yang memangkunya mengedip, terlihat kaget dengan topik yang diangkat Gojo barusan.

“Oh—oh ya?”

Gojo mendengung. Tangannya menggenggam balik tangan alpha yang melingkarinya.

“Aku mau punya anak dari kamu,” ulangnya lagi, “gimana menurut kamu?”

“Satoru,” Getou mendekatkan Gojo ke tubuhnya, buat tubuh bagian depan mereka lebih dekat, “apa yang buat kamu mutusin hal ini?”

“I saw you,” mulai Gojo, “aku suka lihat kamu sama anak-anak, Suguru. You handle them good, you are good at humoring them dan aku suka— suka lihat kamu, tapi aku cemburu.”

“Karena yang kamu gendong, yang kamu ajak ketawa bukan anak kita.”

“Dan— dan ini bukan soal kamu aja. Aku— aku suka mereka. Aku asing sama anak kecil tapi perasaan pas gendong manusia berukuran kecil gitu— i— i love it more than i thought i would.

“Kamu inget anak yang hilang di mall waktu itu? Itu pertama kalinya aku mikir soal anak. Pas dia aku gendong dan aku ngeliat dia nyaman di tangan aku, aku ngerasa— ngerasa dibutuhin? Aku tau ini juga karena insting omega aku tapi— tapi aku suka, Suguru.”

Usapan Getou di punggung memotivasinya untuk terus berbicara. Lemas tubuhnya dan wangi Getou yang makin menjadi-jadi berusaha diabaikan.

“Bayangin, kita punya power untuk punya kebahagiaan itu, Suguru. Kamu dan aku, bisa punya anak. Seorang anak manusia yang mirip sama kamu atau aku atau campuran dari kita berdua.”

Dua detik dan Gojo menghembuskan nafasnya, sedikit berbisik di bagian ini, ”—and the thought of bearing your children in my body just excites me.”

Getou tersenyum, tangannya naik ke rambutnya, “Satoru?”

“Y-ya?”

“Kamu pikir aku bakal nolak?”

Gojo hampir tergagap, hampir bilang ya, tetapi lihat senyum terbit di wajah suaminya buat senyumnya sendiri muncul.

“Is that a yes?”

Getou menggeleng tak habis pikir, “iya lah? Aku mau.”

Mata biru membulat, genggaman tangannya dengan Getou dibawanya mendekat pada bibirnya untuk dikecupi asal.

“Serius?”

Getou mengangguk, mendekap pinggang lelaki dipangkuannya lebih dekat dan akhirnya Gojo menyandarkan kepalanya di pundaknya.

“Memang ada alpha yang nolak pas omeganya minta hamil?”

Pinggang sang alpha dicubit buat Getou mengaduh dan kemudian tertawa.

“Bercanda. Aku sebagai Getou Suguru juga mau, Satoru—” pelipis sang omega dikecup sayang, tubuh hangat dipangkuannya diusap, ”—I love you, satoru and you know how i like children. Having my own children with you? That's... insane. I really love the thought of it.”

Tubuh Gojo menegak, ingin melihat ekspresi Getou saat mengatakan itu semua, saat suara Getou terdengar bergetar karena bersemangat dengan pembicaraan ini.

Sang alpha menangkup wajahnya, mempelajari wajahnya seakan itu pertama kalinya berjumpa dengan sang omega.

“Aku mau anak kita nanti punya mata sebiru kamu, Satoru—” Getou mengusap tulang pipinya, menatap pada dalamnya retina Gojo yang selalu menjadi favoritnya, “They are the prettiest things and I want my children to experience that.”

Gojo terkekeh, tak bisa menutupi bahwa kalimat tersebut membuatnya tersipu walau sudah mendengarnya beratus-ratus kali selama hidupnya mengenal Getou.

“Aku juga suka mata kamu, Suguru. It's okay if our children took after yours.”

Menggeleng, “Gak ada yang spesial sama mataku...”

“But i fell for them anyway.”

Getou menegak, mengejar bibir Gojo yang tak siap dengan serangan tiba-tiba.

“Hmmh—”

Ciuman mesra dibagi di antara keduanya. Gojo dikulum bibir yang lebih tipis. Isi mulutnya berhasil dijajah oleh lidah sang alpha dan sang omega menyambutnya untuk bergulat.

Tangan Getou naik dan turun. Mengendurkan celana pendeknya yang ketat di bagian tubuh paling sekalnya dan menyingkap kaus yang kendor di tubuh bagian atasnya.

Getou melebarkan jarinya untuk menangkap dan meremas lebih banyak bagian tubuh Gojo. Disentuh begitu buat lelaki berambut terang merintih.

“Satoru?” panggil Getou yang kedua tangannya kini menangkup bagian dada suaminya. Jempolnya menekan di bagian putingnya.

“Nanti anak kita minum asi?”

Pertanyaan itu buat bulu kuduk sang omega berdiri. Bukannya menjauh dari pijatan di dadanya, Gojo makin menyerahkan tubuhnya, menggesekkannya ke kedua belah tangan Getou yang kini meremasnya.

“Satoru? Aku nanya, loh.”

Gojo menggeleng, “gak- gak bisa. Male omega gak punya asi.”

“Masa? Belum dicoba aja kali?”

“Su-suguru—”

“Aku coba buat keluar ya?”

“Hnn— Su-suguru—”

Gojo dipaksa menopang tubuhnya dengan lututnya sendiri untuk memudahkan Getou. Ia kesulitan karena sang alpha menstimulasi hebat dadanya; menjilatinya, menciumnya dan menariknya dengan bibir.

“Kamu sensitif banget disini, Satoru. Aku kira kamu bisa.”

“Tapi kayanya bener gak bisa ya?”

Sang omega tau bahwa alphanya paham. Getou berpura-pura hanya untuk mempermainkannya.

Gojo bergerak gelisah di udara. Kakinya yang menumpu tubuhnya bergetar lemas.

Sampai satu hisapan kuat di dada kanannya membuat Gojo ambruk, duduk lemah di atas paha Getou.

Sang pelaku tersenyum kecil. Sekilas bagai pengampun, tapi Gojo tau betul bahwa Getou tak lebih dari penghukum yang senang bermain dengannya.

Tapi Getou Suguru tetaplah seorang suami yang perhatian. Lihat Gojo tak membalasnya dan malah bernafas tersenggal buat Getou meraih wajahnya.

Panas. Gojo terasa panas di kulitnya. Keringatnya meluncur dari dahi. Wajahnya memerah dan ini sama sekali bukan karena demam.

Gojo masuk masa heatnya dan Getou mengenalnya; heat kali ini berbeda dari yang biasanya.

“S-satoru?”

Tak menjawab, Gojo gelisah di atas pangkuannya. Pinggulnya bergerak memutar menggesek pahanya. Kaki Getou yang terasa keras di balik celana kainnya buat Gojo menggigit bibir.

“A-ayo al-alpha—” nafas Gojo satu-satu, menatap Getou dengan matanya yang sayu, “breed me— make me preg-pregnant.”

Permohonan Gojo bagaikan saklar yang menyalakan hal berbahaya di dalamnya, insting alphanya. Serigala di dalam Getou mengaum, siap menyanggupi permohonan kelinci di depannya.

Lama ditanggapi, Gojo langsung saja menuruni singgasananya, menuju bukit di antara selangkangan Getou.

Gojo menggigit, Getou mengerang.

“Sa-satoru—”

Yang dipanggil lebih peduli dengan kain yang dikecupinya sampai basah. Tangannya membuka lapis demi lapis kain sampai tonggak yang menjadi tujuannya berhasil digenggam.

Lidah menelusuri panjangnya, bibir menguncupi ujungnya dan akhirnya mulutnya melahap segalanya.

“Ah— Sa-satoru—”

Omega di bawah bergeming bahkan saat kedua tungkai di sisi kiri kanannya bergetar, saat Getou berusaha menggapai rahangnya, sampai jari jempolnya ikut menyelip di bibir Gojo.

Sebenarnya Getou tak mempermasalahkannya. Tak mungkin menolak Gojo Satoru yang susah payah mengulum kejantanannya dengan bibirnya yang cantik, tapi ia tahu seberapa besar dirinya dan hal terakhir yang diinginkannya adalah melukai suaminya.

Gojo memasukkan lebih jauh, menelan lebih dalam.

Tak tahan lagi, Getou dengan keras mengangkat tubuh besar lelaki yang satunya, membuatnya mengangkangi selangkangannya.

Getou menghela nafas keras sekali, berusaha tak hilang kesadarannya, “kalau begitu langsung aja, ya?”

Sang alpha kini berbaring dengan sang omega menaunginya. Getou kini dapat melihat jelas kedua kaki Gojo yang berkilat basah dan jemarinya langsung saja menyelip masuk ke sumber riamnya. Dua jari masuk dan keluar dari sana, menghasilkan bunyi derasnya cairan kawin sang omega diaduk jarinya.

“Hmmg— Suguru—”

Gojo mengejar jarinya, menggerakkan tubuhnya di udara. Seluruh tubuh Gojo matang memerah, bagai buah yang siap untuk dinikmati oleh pecintanya dan Getou langsung saja mengarahkan tubuh kekasihnya untuk dijajal kejantanannya.

“Ahnn— al-alpha— alpha— Suguru—”

Getou berhasil masuk menembusnya dan tubuh Gojo jatuh menimpa alpha di bawahnya. Ia bergetar di seluruh tubuhnya dan Getou menyadari basah di perutnya lah yang menjadi alasannya.

“Just like that, Satoru? You came just like that? Just from me entering you?”

Gojo yang kini memeluk kepala lelaki di bawahnya menggeleng malu. Aneh karena pinggulnya sekarang malah bergerak gelisah, merasakan gumpalan besar di lubangnya yang penuhinya.

Sang alpha memaksa pinggul yang kecil untuk bergerak lebih keras, menggesekkan penisnya dengan dinding yang memijatnya.

“Ja-jangan— Su-suguru— aku baru keluar—”

“You told me you want my kids, right?” bokong Gojo dicubitnya sebelum berhenti membantu pinggulnya bergerak, “then pursue it yourself, baby.”

Omega di atasnya tak terima, mengerang kesal karena merasa alphanya menghianatinya, tapi Gojo menurut untuk bergerak, memasukkan penis sang alpha jauh lebih dalam lagi.

Gojo yang bergerak frustasi mengejar nikmat di atasnya adalah pemandangan paling amoral sedunia. Saat Getou mengatakan bahwa kekasihnya bagai bintang porno profesional, ia tak bercanda. Siapa lagi yang akan terlihat secantik ini dengan lidah yang terjulur keluar dan saliva yang menjejak berantakan?

Hal ini menyulut Getou, membuatnya ikut mengangkat dirinya, membenturkan dirinya pada liang Gojo.

“You want it that bad? Impregnated by me?”

Yang ditanya mengangguk, pinggang semakin ribut naik dan turun, buat penis sang alpha dengan urat yang bercabang makin intens bergesekan dengan dindingnya.

“Agh— fuck— Satoru— omega—my prettiest omega—”

Sang omega mendesau. Pelupuk matanya basah karena ekstasi yang menembus sampai kepalanya, butakan pandangannya.

Gojo, dengan sisa-sisa kekuatannya menyelami leher kekasihnya, menjilat tanda kepemilikan yang berbekas di leher Getou untuk kemudian menggigitnya keras-keras.

Rintihan keras robek dari tenggorokan sang alpha. Bekas gigitan yang kembali diukir buat kulitnya meradang. Taring giginya yang tersembunyi muncul perlihatkan bentuk aslinya.

Getou dipaksa masuk masa rutnya. Pheromone yang mampu memikat kewarasan omega terlepas ke udara dalam jumlah banyak dan Gojo meneguk semuanya.

Daya pikir keduanya menumpul, sedangkan api birahi makin menajam. Yang tersisa hanya insting untuk menggagahi dan digagahi.

Mau alpha hanya omeganya. Mau omeganya untuk menerima apa yang akan dibenamkannya jauh-jauh ke dalam tubuhnya.

Mau omega hanya alphanya. Mau alphanya dengan murah hati menyiram tubuhnya dengan cairan cintanya.

Knot alphanya mulai terbentuk dan Getou langsung saja membalas apa yang dilakukan omeganya padanya; gigitan keras diterima oleh omeganya tepat di luka kepemilikan di lehernya dan Getou dihadiahi jeritan dari sang omega.

Orgasme menabrak keras tubuh keduanya. Cairan alpha berhasil menjelanak larut ke dalam tubuh sang omega.

Nafas keduanya saling mengejar, kembang kempis saling berebut dengan jarak sedekat ini. Walau masih dengan kepala yang sama-sama tenggelam di rasa nikmat dan puas, Getou berusaha bergerak, mengelus punggung Gojo untuk menenangkan tubuhnya yang masih tegang.

Gojo berbisik di tengah rintihannya, “panas— panas di dalam sini, Suguru.”

Tangan besar Getou tuju bagian perut sang omega untuk dibelainya. Keduanya masih belum bisa bergerak karena knot alphanya yang belum mereda di dalamnya, masih buat sesak Gojo di dalam.

“Satoru? Aku bantu bergerak ya? Biar kamu tiduran di samping aku aja.”

Pikir Getou, gelengan Gojo berarti sang omega tak bisa bergerak, tapi suaminya itu kembali mengejutkannya.

“Kurang—”

Gojo dengan tangan yang hampir tidak bisa menopang dirinya sendiri berusaha duduk, kembali menyamankan diri dengan penis sang alpha masih di dalamnya.

”-Ma-masih kurang, Suguru. Gak mungkin aku bisa langsung hamil kalau kamu cuma sekali keluar disini.”

Tangan Getou diarahkannya meniti perut di depannya. Kulit Gojo belum mereda suhunya, masih sanggup membakarnya.

“Satoru—”

Hembusan nafas Gojo panas mengepul di udara. Semburat warna cherry masih padamkan pipinya. Terkesan malu-malu padahal kalimat selanjutnya yang keluar dari bibirnya berhasil bawa Getou terjatuh ke dalam palung gairah yang bergelora.

“Lagi, Suguru. Sampai aku penuh sama cairan kamu.”

Dan siapa Getou untuk menolak keinginan Gojo?

  • end of Mates to Eternity.

sugusato: friends to mates ii

Getou Suguru x Gojo Satoru

warning: nsfw, explicit sexual scene, mention of mpreg and blood.


Sesampainya di kos-an, Gojo disambut oleh dua tangan yang mengambil alih kantung belanjaannya untuk dibawa terburu-buru ke atas meja dapur.

Ia yang kebingungan tiba-tiba diangkat tinggi-tinggi. Gojo digendong di bagian paha buat wajah Getou sejajar dengan perutnya.

Gojo tertawa, “Lah apa nih? Belum juga digodain, udah mulai aja?”

“Belum,” Getou menggumam di atas kain tepat di perut pacarnya, “habis kamu, godain aku. Mau bawa kamu ke kamar.”

Lelaki yang berambut putih benar-benar dilempar ke atas ranjang.

Awalnya Gojo diciumi punuk tangannya. Bunyinya keras, bising terpantul dinding kamar Getou yang gak bisa dibilang besar.

Berbeda dengan kamarnya yang penuh wangi campuran Cedar Shavings dan Mugwort dari Potpurri yang dibelikan oleh pacarnya sendiri, bau Marlboro Ice Blast menyengat di kamar Getou. Ditambah campuran parfum Invictus yang punya kandungan Guaiac Wood and Patchouli yang gak Gojo paham apa. Yang Gojo tau, harusnya dia gak betah sama wangi begini. Menyengat dan pahit walau tak sampai lidahnya, tapi wangi ini punya Getou; Gojo malah hirup banyak-banyak.

Cup, cup, cup.

Getou naik ciumi pipinya, gigiti hidung dan dagunya. Tangan besarnya bawa Gojo mendekat tempeli tubuhnya, sesekali menyelip di bawah kausnya dan mengelusi kulit dingin di bawahnya. Diam-diam mengukur apa pinggang sang pacar muat untuk dicengkram oleh lima jarinya.

Kuncir di atas kepala meluncur lewati rambut hitam dan kini Gojo leluasa menarik rambut lelaki di atasnya. Getou ditarik untuk mencium bibirnya. Tawa kecil merayap di telinga dan Gojo dibalas dengan jilatan besar; Gojo merasakan rasa pahit yang kental dan juga sedikit coklat dan margarin dari roti panggang pagi.

“Kamu ngerokok habis sarapan tadi?”

“Hm,” Getou menarik bibir Gojo untuk lebih terbuka, “buat pengalihan.”

Ya, pengalihan yang gagal total.

Semua obrolan soal omega breeding dan bite mark benar-benar mengganggu kepala Getou. Jadwal rutnya yang diperkirakan besok malah sudah terasa di perut bawahnya saat ini.

Insting alpha-nya mendambakan hal-hal tersebut; secara resmi menjadikan Gojo sang omega sebagai miliknya dengan menggigit belakang lehernya dan membuat omega tersebut mengandung anak-anaknya; Tanda fisik bahwa Gojo memang miliknya.

Ditambah ia sebagai Getou Suguru juga begitu menginginkannya. Ingin menjadikan Gojo Satoru miliknya seutuhnya, fisik-rohaninya, sampai omega jauh di dalamnya.

Tapi hal itu masih diangan-angan; Getou masih harus sabar hanya dengan pengandaian.

Belitan lidah terlepas dan tawa Gojo tiba-tiba nyaring di telinga.

“Hei, ini kayanya kamu udah mulai rut-nya.”

Pernyataan, bukan pertanyaan. Semuanya jelas dengan Getou di atasnya bernapas pendek-pendek dan keringat yang hinggapi pelipisnya. Gojo merasakan kejantanan sang alpha keras di kakinya.

“Mulai sakit?”

Getou berdengung, mengecupi pergelangan tangan Gojo yang naik ke atas mengusapi keringatnya.

Sang omega membaringkan sang alpha setelah mengangkat piyamanya sampai terlepas. Dengan penuh hati-hati, Gojo mengikat kembali rambut Getou karena helaian panjangnya akan menganggu apa yang akan dilakukan Gojo kemudian.

Pundak kokoh sang alpha dihirupi, dikecupi dan dijilati. Gojo naik, menggesekkan leher menjulang sang alpha dengan leher miliknya. Buntalan scent gland dekat tulang selangka saling menggesek untuk memanas kemudian memancarkan pheromone asli alpha dan omega di dalamnya.

“Hmmh—”

Scent marking. Hal ini bukan hal baru untuk Getou dan Gojo. Biasanya setelah masa rut Getou atau heat Gojo, mereka akan menggesekkan scent gland satu sama lain. Bentuk penenang saat sang alpha atau omega masih haus oleh afeksi setelah bertarung sendirian di musim kawin.

Dilakukan sebelum mengatasi rut dan heat begini memberikan efek yang berbeda. Gojo dan Getou saat ini memberikan sinyal mating, menandai teritori satu sama lain. Gojo untuk alpha Getou dan Getou untuk omega Gojo. Pheromone yang memekat di udara penuhi akal dan memberikan fantasi bahwa saat ini dunia hanya milik berdua untuk dinikmati.

Sang alpha mencium lagi aroma manis fruktosa terbakar.

Sedang sang omega meneguk aroma arang dan air laut yang teraduk.

Dirasa gesekkan Gojo melemah dan tarikan nafasnya makin mengeras, Getou meraih pinggang sang omega, membantunya.

“Sa- satoru?”

Yang dipanggil bergeming, tetapi jarinya kuat mencengkram kulit yang memanggilnya.

“Satoru?”

“B-basah—” kuping dijangkauannya digigit, “Sugu— aku basah.”

Tubuh yang sudah menempel makin melekat lengket. Jari saling membelit dan aroma pekat satu sama lain yang menusuk hidung berbelok ke dua arah; ke otak untuk menumpulkan daya pikir dan ke selangkangan untuk menajamkan reaksi untuk perkawinan.

“Heatnya kerasa? hei—” Getou yang sama-sama kewalahan dengan reaksi tubuhnya sendiri berusaha untuk mengendalikan Gojo, “—Satoru?”

“Sugu— aku mau bantu kamu— maaf— you really smell good— aku—aku suka wangi kamu—” Gojo mengecup bibir sang alpha, “maaf—”

Shhh gak apa-apa.”

Hal ini tak masuk perhitungan mereka; secara naluriah omega di dalam Gojo tunduk di depan alpha— alphanya, yang juga familiar dan punya ikatan batin dengannya.

Niat Gojo membantu Getou terlupakan sekejap. Sang omega malah ikut terseret masuk kubangan yang terasa menyenangkan; untuk dipuasi insting persatuannya dengan sang dominan.

Walau Gojo masih bisa berpikir, omega di dalamnya mengendalikan reaksi tubuhnya yang akhirnya menjadi panas dan lemas, yang buat titik rapat tubuhnya menganga dengan sungai yang menganak deras.

Kini Gojo yang berada di bawah kukungan. Nafas keduanya berat dan pendek-pendek, mengepul hangat di tengah keduanya.

Dengan kaki terbuka, Gojo mengais wajah sang alpha untuk diciumi kembali. Bukan oksigen yang dibutuhkan saat ini tetapi jamahan kulit, bibir yang saling membingkai dan pusat tubuh yang bergesekan.

“Su-sugu, celana—”

Tanpa melihat bawahnya, keduanya meloloskan kain terakhir di kulit. Getou dalam hati meledak-ledak. Untuk pertama kalinya omeganya mempersembahkan dirinya untuknya, untuk berbagi kasih, untuk bersenang-senang bersama di puncak nirwana.

Tubuh Gojo memerah padam, kaki terbukanya bergetar malu di bawah penilaian mata tajam sang alpha.

Kiranya tubuh Gojo yang tergeletak di atas ranjangnya akan terlihat bagai hamparan padang pasir putih yang Getou siap mengubur diri di dalamnya, tapi bukan— Gojo di bawahnya terlihat bagai hamparan awan bersih yang telah dicumbu bukannya oleh para malaikat tapi para penghianat Tuhan; Gojo benar-benar terlihat bagai dosa di matanya. Terlihat indah untuk dicecap dan Getou yakin ia akan terbakar saat menikmatinya.

Salah satu jari Getou merangsek masuk ke dalam dan Gojo mendesah keras.

“Su-s-suguru—”

“Kamu basah, Satoru—” Getou makin menekan, makin masuk, “—ini karena aku?”

Untuk pertama kalinya disentuh disana yang bukan dengan jarinya sendiri buat Gojo tak mampu berkata. Ia mengangguk, alihkan pandangan dari Getou.

Satu digit, kemudian dua, dan tiga.

Gojo terasa makin menjepitnya, menelan jari-jarinya masuk. Bayang-bayang bukan jarinya yang ditelan buat Getou makin gelisah. Ditambah digit-digitnya yang kini bersimbah cairan sampai telapaknya buat kepalanya berputar-putar, buat kekeringan di dalamnya menjadi-jadi. Inginnya meneguk Gojo langsung dengan mulutnya, ingin siram gurun pasir di perutnya oleh cairan sang omega.

Sang alpha menyandarkan wajahnya ke lutut sang omega yang terlipat, menggigiti tungkai yang gemetar.

“You smell wonderful here, Satoru.”

“Di-diem—”

Getou tertawa kecil. Tanpa melepas tangannya di bawah, tubuhnya naik, raih leher Gojo yang panjang karena sang omega mengadah tinggi ke atas. Dikecupinya disana, digelitiknya Gojo dengan hidungnya dengan endusan.

“Kamu takut?”

Kaki Gojo berterbangan di udara dan hinggap di punggung Getou. Sang omega mengerang serak. Matanya membuka terpejam merasakan jari tengah Getou makin merambat masuk tembus dinding-dinding pertahanannya.

Gojo menggeleng, memeluk Getou dengan satu kakinya, mendekatkan diri dengan sang alpha.

Rambut putih dan hitam bergesekan menghantarkan listrik. Ciuman yang dibagi terasa kotor, berantakan dengan saliva yang tak dipedulikan. Ingatnya hanya memenuhi dahaga masing-masing. Keduanya saling membentur, berbagi suhu tubuh yang sama-sama panas, yang sama-sama mendamba sentuhan afeksi.

“Satoru?”

“Hmmm?”

“Sekarang?”

Gojo menggeram, digigitnya rahang berkeringat sang Alpha, “Hnm.”

Sang alpha menegakkan tubuhnya dan menarik jarinya yang basah dan mengolesinya ke kejantanannya sendiri. Gulungan kulitnya terasa keras dan mengacung tinggi di selangkangannya.

Kepala tonggaknya mengecup pintu ruang yang akan dimasukinya. Memutari kulit memerah yang dipaksa melebar. Dipengaruhi sang tuan rumah yang senang hati menyambut tamunya, pintunya terbuka mudah walau dengan sedikit penetrasi.

“Hng— Su-suguru—”

Gojo tersedak saat sang tamu memasuki ruangnya.

“Satoru?”

Hembus nafas sang omega tersendat. Dengan dada membusung dan jari yang mengoyak kain, Gojo terlihat kacau.

“A-alpha— alpha— a— alpha—”

Omega di dalamnya bereaksi senang. Takdirnya untuk digagahi oleh seorang alpha—terlebih dengan ikatan batin di antaranya—terpenuhi.

“Su-suguru—”

Getou menunduk, memberikan tubuhnya untuk sang omega dan Gojo langsung saja mendekapnya. Tubuh bagian depan yang dibanjiri keringat keduanya melebur jadi satu. Tak lagi merusuhi kain di bawahnya, Gojo menjadikan punggung Getou sebagai pengganti; mengoyak kulitnya yang panas dengan kukunya.

Bukan hanya Gojo, Getou sama kewalahannya.

Ia tak mempermasalahkan geretan kuku yang menusuknya, tapi Gojo yang menjepitnya erat di bawahnya menyiksa, tak mau biarkan Getou melakukan gerakannya. Ditambah Gojo yang mulai kehilangan akalnya buat Getou harus memaksa diri menajamkan insting manusianya daripada alphanya. Sebagai dominan di antara dua buatnya bertanggung jawab untuk mengendalikan laju mereka.

Getou harus berkali-kali memejam, menghilangkan wajah sang omega yang tunduk padanya dari pandangan.

Omeganya begitu memikat, terlihat begitu cantik walau dengan rintik-rintik hujan basahi wajahnya. Bulu matanya yang lebat membingkai pemandangan sepasang mata yang sebiru laut di siang hari namun mampu menghanyutkannya bagai air laut di malam hari. Semu di pipinya layaknya warna langit yang dicium matahari sore. Bibirnya merekah merah karena digigiti, melolongkan desah nikmat dengan nama Getou menyelip disana.

Semua itu karena Getou, sang alpha.

Seluruh bagian tubuhnya berteriak bangga karena mampu membuat omeganya bertekuk lutut di bawah kuasanya, di bawah usahanya menyenanginya. Ia ingin menerjang sang omega, ingin menjejaki tanda jelas di hamparan tubuh cantik itu bahwa ia adalah miliknya.

Untungnya akal sehatnya memenanginya.

“Hmmh— Su-suguru—”

Getou menarik untuk menghunus jauh kejantanannya ke dalam dan Gojo meninggikan kepalanya karena nikmat.

“Is it that good, sweetheart?”

Dengung serak Getou di kupingnya dibalas anggukan ribut. Pinggul Getou bergerak menabraknya, mengusal tepat di titiknya yang paling sensitif.

“Gimana— gimana kalau pagi ini aku berhasil hamili kamu?”

“Satoru, mau punya anak-anakku?”

“You are so pretty, you will be the prettiest dad to our children.”

Bisikan Getou makin menajamkan insting omega di dalam Gojo dan membuatnya resah. Tak mau mendengar lagi, Gojo menyelinapkan jemarinya di antara kedua belah bibir sang alpha, menyumpal kata-katanya.

Getou menggeram, menjilat dan mengigitinya dengan taring-taring yang mulai tumbuh di antara gigi manusianya, memancing darah segar dari sela jari-jarinya.

Sang omega merintih. Laju pinggang Getou tak bisa buatnya menghela nafas. Kejantanannya kasar menyeret-nyeret di dalamnya, mengoyak jalur di dalam untuk terbuka luas sekaligus mengoyak logikanya.

Tangan Getou memeta perut sang omega, terus turun dan akhirnya menggenggam penis sang omega.

“Ah— Su-suguru—”

“Aku dekat— bareng?”

Telapak tangan Getou mengusapnya, menekan-nekannya di titiknya yang paling peka. Gojo makin dekat, jari kakinya menguncup di bawah.

“Suguru— Suguru di luar— jangan—”

“Ya— ya— tahu, tahu— sebentar—”

Getou merenggut paksa penisnya dari dalam Gojo yang mendekapnya erat. Ia membawanya menggesek dengan penis sang omega untuk saling mencumbu.

Pagi itu, pertama kalinya mereka mengarungi langit bersama-sama dan keduanya berhasil menembus langit ke-tujuh.

Friends to Mates

cw: nsfw


sejak awal, getou paham besarnya pengaruh gojo untuknya.

gojo di kesehariannya biasa punya wangi manis. bagai lilin nilam dan kayu manis yang dinyalakan. tak begitu menyengat, tapi sulit untuk diabaikan dan dianggap tak ada.

aromanya bukan buat birahi getou memuncak; insting dirinya sebagai getou dan alpha inginnya mengusak, menghirup dalam-dalam aroma gojo sampai penuhi paru-parunya. rasanya bagai ingin berbaring di atas kapuk yang dijemur di bawah terik matahari. getou ingin menenggelamkan diri dikelilingi aroma sahabatnya di udara.

tetapi, gojo yang di puncak heat berefek sangat lain.

ini pertama kalinya untuk getou mencium wangi gojoㅡ atau omega, di masa heatnya. terlebih gojo saat ini berada di puncak. di puncak rasa ingin dikawini. gojo di matanya ingin dikorek sedalam-dalamnya untuk digaruk gatalnya. tubuh omeganya memanggil alpha di dalam dirinya untuk menggenggamnya, untuk menyelimutinya. gojo mendamba dingin tubuh alpha yang bisa tenangkan panas tubuhnya, tapi juga ingin disundut hangus sedalam-dalamnya oleh kejantanan alpha.

getou menggigit lebih keras kain di mulutnya.

aroma gojo bagai fruktosa yang dibakar di atas kobaran api.

manis manis manis.

memabukkan.

peluh gojo atau peluh getou, tidak ada yang tahu.

“al-alphaㅡ suguruㅡ alpha s-suguㅡ”

gojo berpeluh karena birahinya yang disulut panas.

getou berpeluh dingin, menahan diri untuk tetap pada kesadarannya.

di depannya adalah temannya, sahabatnya. bukan omeganya.

sang omega memeluk sang alpha di dekatnya. merengek dan meracau. wajahnya mengusal dingin dari batang leher getou. mengecupinya.

getou dengan tangan gemetar terus mengganti handuk yang lagi-lagi hilang dinginnya karena bersentuhan dengan kulit gojo.

gojo sudah diminumkan obat dan getou harus menunggu sampai gojo kembali ke akalnya untuk melakukan ritualnya sendiri.

tanpa sang alpha tahu, aromanya yang menguar malah memperlambat gojo untuk kembali ke kesadarannya.

Pupus

Junpei Yoshino featuring ItaFushi


Junpei kira, Yuuji memegang rasa yang sama.

Ini bukan omong kosong; Junpei dengan percaya diri bisa menjabarkan banyak alasan.

Pertama, Yuuji banyak bicara di telepon.

Dua puluh persen membicarakan hal penting seperti pekerjaan rumah dan sisanya hal-hal yang gak penting. Misalnya, mengoceh soal kucing dengan suara mengeong yang aneh atau mengeluhkan warung nasi favoritnya yang tutup sementara di masa liburan sekolah saat Yuuji membutuhkannya.

Junpei mendengarkan, lebih banyak tertawa daripada menanggapi. Apalagi saat Yuuji ribut karena jemurannya lupa diangkat, sedangkan hujan sudah turun selama lima belas menit.

Yuuji niatnya menutup telepon, tapi Junpei yang rakus menawarkan makan malam di rumahnya. Masakan ibunya jadi iming-iming. Yuuji dengan gembira setuju dan Junpei kembali mendapatkan Yuuji di meja makannya tertawa konyol bersama ibunya.

Hal di atas bisa dijadikan alasan kedua karena Yuuji terlihat nyaman di rumahnya. Ia bahkan sesekali menengok ke arahnya untuk melihat apakah ia tertawa karena kekonyolannya.

Ketiga, temannya itu tak paham apa itu ruang pribadi.

Saat berjalan kaki sepulang sekolah, pundaknya bertubrukan dengan Yuuji berkali-kali. Dihitung-hitung bisa sampai dua belas kali. Awalnya Junpei biasa; Yuuji memang agak ceroboh.

Sampai telapak tangan Yuuji tanpa permisi menggenggam tangannya, menarik ponsel Junpei saat ia asik membaca review film di Rotten Tomatoes.

Panas tangan Yuuji menjalar jauh sampai pipi Junpei. Jantungnya ikut meronta kala temannya tertawa.

“Mau nonton film ini gak? Minggu gue free!”

Kata Yuuji masih dengan tangan yang bersentuhan dan wajah berjarak minim. Jadikan ini alasan keempat karena setahunya, ia satu-satunya yang diajak Yuuji nonton film.

Yuuji pasti menyukainya.

Junpei makin yakin saat Yuuji tanpa ba-bi-bu menyandarkan kepalanya di pundaknya saat menonton Ada Apa dengan Cinta bagian 2, tepat pada dialog:

“Saya Cinta Kamu.”

Yuuji pasti balas menepuk tangannya.

Junpei begitu yakin, wajahnya bersemu senang.

Sampai Megumi, murid kelas sebelah yang suatu hari diajak Yuuji pulang bersama.

Dari dua menjadi tiga.

Kepercayaan diri Junpei menurun, kemudian habis, sampai akhirnya berantakan terkubur di bawah sepatunya.

Yuuji juga membicarakan hal tak penting dengan Megumi, tapi ada afeksi yang terselip disana. Ada Yuuji yang memuji wangi shampoo yang digunakan Megumi dan tangan yang menggesek diujung rambut Megumi yang legam.

Tak hanya tertawa dengan Megumi, mata Yuuji memperhatikan tiap gerak Megumi. Megumi yang mengeluhkan soal ujian fisika ditatapi seksama, penuh takjub. Megumi mengembalikan tatap dan Yuuji menghindari tatapannya.

Yuuji salah tingkah; hal yang tak pernah sekalipun diperlihatkan temannya itu padanya.

Miris, Yuuji yang bersama Megumi terasa familiar. Yuuji bersikap layaknya dirinya sendiri; Junpei saat menghadapi Yuuji.

“Ada film seru nanti Minggu, mau lihat gak?”

Junpei tersedak di kerongkongannya.

Kalimat yang biasa ditujukannya tiba-tiba berbelok dan tak menghampirinya.

“Boleh, Junpei gimana?”

Junpei teraduk di perutnya. Tak mau lagi merasakan mual lebih lama, tak mau lagi makin dihadapi kenyataan bahwa perasaan Yuuji bukan miliknya.

“Gue ada acara nanti Minggu, kalian berdua pergi aja.”

Yuuji tak menyadari jahatnya, tak menyadari senyumnya lebih lebar dari beberapa saat lalu.

Harapan Junpei resmi pupus di saat indahnya matahari jingga sore memanja mata.

Perasaannya bertepuk sebelah tangan.

Junpei kini tahu, Yuuji tak memegang rasa yang sama.