Bangminggo

Minho bangkit dari duduknya untuk berpindah dan bersandar pada bagian tembok dekat pintu Ruangan Konseling, kaki kanannya ia ketukan dengan irama yang berantakan untuk setidaknya menetralkan pikirannya yang terasa gusar. Ia mengangkat sebelah tangannya yang menggunakan jam tangan, menunjukan jam pukul 08.37. Sudah tidak bisa berfikir apa yang nanti sekiranya akan guru bahasanya berikan kepada Minho dikarenakan membolos pelajarann setelah mengetahui kalau Chan yang sempat berkelahi dan kini berakhir berada di ruangan Konseling bersama dengan beberapa teman sekelasnya yang katanya ia pukuli.

Minho sendiri tidak tau, kapan lama kiranya Chan akan berada di dalam ruangan itu. Apakah yang akan terjadi. Karena hal yang dilakukannya itu, tentu merupakan pelanggaran yang agak serius jika menyangkut sekolah.

Dirinya benar-benar tidak bisa tenang. Ia kemudian mengarahkan tangannya untuk mendekati mulutnya, dan seketika mulai menggigiti ujung kuku jarinya yang memang sudah mulai memanjang. Namun tak lama setelah itu, pintu yang berada di samping kirinya terbuka. Membuat Minho buru-buru menoleh, dan menemukan tiga sosok laki-laki yang sudah pasti merupakan kakak kelasnya itu seketika juga menoleh ke arah dirinya. Bisa dikatakan, penampilan mereka jauh dari kata baik. Tapi sepertinya, mereka masih bisa dikatakan dalam kondisi yang masih baik-baik saja.

Ketiga sosok kakak kelasnya, yang akhirnya mengetahui bahwa mereka kini sedang bersitatap dengan Minho seketika itu juga langsung mengalihkan pandangannya buru-buru. Wajah mereka terlihat sangat menahan amarah, namun memilih untuk diam dengan bibir terkatup rapat dan segera beranjak pergi dari pintu depan ruangan konseling.

“Minho, lo ngapain?”

Suara yang memanggil namanya, tentu membuat Minho langsung kembali menolehkan kepalanya untuk sekali lagi mengarah ke samping kiri. Menemukan sosok Chan yang wajahnya juga terlihat ada sedikit memar di bagian pipi sebelah kirinya dan juga sedikit luka sobek di bagian ujung bibirnya dan bagian pelipis kirinya.

“Seharusnya gue gak sih yang nanya, lo ngapain?” Tanya Minho balik dengan nada kahwatirnya. “Kena skors berapa hari?”

Pertanyaan yang di jawab dengan menunjukan jari telunjuk dan jari tengah dari sosok di sampingnya.

Minho yang melihatnya, menghembuskan nafas sebelum menarik tangan Chan dan membawanya beranjak dari tempat mereka berada.

Chan hanya terdiam, mengikuti kemana Minho kini menariknya. yang ternyata berakhir dengan sosok itu membawanya ke ruangan kesehatan.

“kenapa kesini?”

“Ya buat obatin luka lo lah kak, emangnya mau ngapain lagi. ngajak orang berantem lagi, iya?” Cetus Minho sambil mendorong tubuh Chan agar duduk di salah satu tempat tidur. Beranjak sebentar dari hadapan Chan untuk mengambil kotak P3K dan juga kompresan.

Laki-laki manis itu menyodorkan kompresan begitu saja, yang tentunya di balas dengan Chan dengan tatapan bingungnya tanpa berniat untuk mengambil kompresan yang di sodorkan. “Ambil kak, kompresin ke pipi lo sambil gue obatin luka-luka kecilnya.”

Membuat Chan langsung melakukan apa yang Minho beritahukan kepadanya saat itu juga. lalu setelahnya, laki-laki manis itu memulai untuk mengobati luka-luka yang ada di wajah Chan.

Hal yang kemudian begitu sukses membuat wajah keduanya berakhir nyaris begitu dekat.

Chan dengan diam memperhatikan bagaimana wajah serius Minho yang berkali-kali lipat lebih cantik ketika dilihat dari dekat, kulit wajahnya yang putih dengan hidung mancung dan terdapat tahi lalat manis di ujungnya, bibir tebalnya dengan warna merah dan yang paling membuatnya terpana adalah matanya yang terlihat bercahaya dengan bulu mata yang lentik.

Minho memang cantik. Namun, Chan tidak menyangka kalau dari jarak sedekat ini kecantikannya menjadi berkali-kali lipat.

“Kak Chan.” Panggil Minho di tengah-tengah kegiatannya yang kini sudah mulai mengobati bagian pelipis kirinya. Panggilan yang di balas Chan dengan deheman pelan, membuat Minho setelahnya melanjutkan. “Besok-besok jangan begini lagi.”

Chan menaikan sebelah alisnya. “Begini gimana? Berantem maksudnya?”

“Iya. Jangan berantem, apalagi kalo alesannya cuman karena mereka ngeledekin lo. Dibiarin aja coba, anggep mereka enggak ada.” Balas Minho. tatapannya yang sedari tadi terfokus pada bagian luka di pelipis Chan, seketika berpindah untuk menatap tepat di kedua bola mata Chan yang memang sudah sedari tadi tertuju kepadanya.

“Gue emang gak masalah kalo misalnya mereka mau ngeledekin gue kaya gimana. Tapi, kalo udah sangkut pautnya sama lo. gue gak bisa buat ngebiarin itu.”

“Jadi beneran ini berantemnya karena gue?”

“iya.” Jawab Chan dengan nada yakinnya. Tangan kanannya yang sedari tadi menganggur tepat di samping badannya, ia arahkan untuk di letakan tepat pada pucuk kepala Minho. Memberikan beberapa kali usapan acak di sana. Dan setelahnya, dapat Minho lihat bagaimana bagian bibir milik Chan yang membentuk lengkungan senyuman lembutnya. Menatap mata Minho dengan tatapan teduh yang demi apapun mampu membuat perutnya tiba-tiba terasa aneh.

Chan melanjutkan, “gue gak pengen temen manis gue bakalan sedih nantinya, cuman karena pikiran jahat orang-orang kaya gitu. Gue gak suka. Jadi, kalo misalnya hal ini bisa bikin mereka buat berhenti sama omong kosongnya itu, gak masalah. gak apa-apa. Yang penting, lonya juga gak apa-apa.”

Pintu besi dari rooftop yang sudah terlihat usang dan berkarat itu mengeluarkan bunyi yang cukup keras ketika Minho membuka pintunya. Dapat dilihatnya pemandangan yang sekiranya ia sempat temui nyaris lebih dari seminggu yang lalu—sosok laki-laki berkulit putih pucat yang tengah membaringkan tubuhnya di atas sebuah bangku beton dengan kedua tangannya yang digunakan sebagai bantalan.

Minho mengalihkan pandangannya sekilas pada tas karton yang ada di genggamannya, lalu memantapkan diri untuk berjalan mendekat ke arah bangku beton itu berada.

Ketika dirasa bahwa terik matahari yang menyoroti Chan menghilang, laki-laki itu langsung membuka kelopak matanya dan menatap langsung pada mata Minho yang juga langsung menatap balik.

Ia mengulurkan tas kartonnya tepat di atas tubuh Chan yang posisinya tidur terlentang.

“Ini kak jaketnya.”

dengan santainya Minho langsung meletakan tas berisi jaket milik Chan di atas perut laki-laki itu. sukses membuat sosok yang masih betah dengan posisi tidurannya, seketika bangkit dan memberikan gerakan untuk menyuruh Minho agar duduk di sebelahnya.

Untuk sesaat tentu hal itu membuat Minho mengernyit bingung, tetapi ia tetap menggerakan badannya untuk duduk di bangku beton sebelah Chan.

dapat dilihatnya Chan yang kini kembali memandangnya dalam diam, terlihat tidak berniat untuk memulai pembicaraan duluan. semakin membuat Minho mengernyit kebingungan.

“kak kenapa ngeliatin gue gitu deh?”

Chan masih terlihat enggan untuk membuka suaranya, sampai ia mengalihkan pandangannya menghadap ke depan melihat pemandangan langit-langit dari ketinggian bangunan sepuluh lantai.

“Jadi lo enggak masalah kalo misalnya bakal diliat deket sama orang kriminal macem gue? orang yang dulunya pernah jadi pengedar, pecandu bahkan bikin nyawa orang ilang?”

Minho mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba untuk mencerna pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan Chan. lalu ia tersadar dengan isi pesan yang sebelumnya ia baca.

membuatnya langsung mendengus kasar.

“Gue enggak masalah sama sekali. kan gue udah bilang sebelumnya, gue itu nyaris sama kaya lo kak. Dalam konteks dipandang sebagai anak yang gak baiknya.” Minho menjeda kalimatnya sejenak, memandang laki-laki yang duduk di sampingnya dengan tatapan menimbang-nimbang. “Bahkan harusnya gue yang nanya, apa lo enggak apa-apa kalo abis ini makin di omongin anak-anak di lingkungan sekolah karena keliatan deket sama gue?”

Chan yang berusaha memfokuskan diri untuk memandang awan yang ada di hadapannya langsung mengalihkan kembali pandangannya kepada Minho. sebelah alisnya terangkat, tanda jika ia penasaran. tetapi tidak terlihat bahwa ia akan melontarkan pertanyaan yang bahkan sudah Minho duga diluar kepala.

maka ia kembali melanjutkan.

“Kak, bahkan walaupun kemaren gue sempet minta lo buat rahasiain kejadian minggu lalu. Sebenernya bukan rahasia umum lagi, apalagi di angkatan gue kalo mereka tau gue ini bisa di bilang laki-laki bayaran.”

dapat Chan lihat bagaimana Minho yang menaikan sudut bibirnya, pandangannya terlihat seperti dirinya tengah meremehkan diri sendiri. sebelum ia mengalihkan pandangannya untuk menunduk memperhatikan bagian kakinya yang terbalut sepatu putih usang.

Minho melanjutkan. “Kerjaan sampingan gue lebih jelasnya, suka nemenin om-om di tempat club malam kaya waktu itu. Tapi konteksnya, gue cuman sebates nemein mereka minum sama ya nerima sedikit perlakukan yang masih bisa gue terima. Cuman kalo lo bisa denger desas-desus gue di antara anak-anak angkatan, yah mereka bilangnya gue udah gak perawan bisa dibilang. Padahal kenyataannya enggak gitu.”

“Kenapa lo ngelakuin itu?” Chan agak merutuki dirinya dalam hati ketika pertanyaan itu langsung keluar dari mulutnya.

Pundak mungil Minho yang di balut seragam sekolah kebesaran itu dapat dilihatnya mengedik ke atas.

“Ibu gue minta tolong dan gue gak punya posisi dimana bisa nolak untuk ngelakuin hal itu. Karena kalo gue tolak, bahkan kayanya gue gak bakalan bisa hidup sampe detik ini.”

Chan memperhatikan bagaimana tangan Minho yang terlihat memiliki beberapa luka yang bahkan terakhir kali ia lihat tidak ada disana. Ia dengan sengaja mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Minho dan mengenggamnya.

Minho yang merasakan tangannya tiba-tiba digenggam dengan lembut tentu langsung berjengit kaget, tetapi ia tidak melakukan hal lebih selain memandang Chan yang memperhatikan tautan tangan mereka.

“Ini apa karena Ibu lo juga? Apa karena lo kemaren keliatan bikin pelanggan ibu lo kesel karena gue nolongin elo dari situasi kemaren?” Tanya Chan lagi sambil mulai mengelus tangan Minho yang ia genggam dengan ibu jarinya. “pasti apa yang dilakuin orang itu, bukan termasuk hal yang bisa lo terima kan?”

Minho yang mendengar pertanyaannya langsung memilih bungkam, terasa enggan untuk mengatakan beberapa pertanyaan itu. entah mengapa tiba-tiba saja ada gumpalan besar yang berkumpul di dalam tenggorokannya.

setelah beberapa menit tidak ada jawaban, Chan menggelengkan kepalanya sambil terkekeh pelan. Kembali menatap ke arah Minho yang kini memandang ke arah tautan tangan mereka berdua.

“Minho.” yang namanya dipanggil hanya menganggukan kepalanya sekali, memberikan tanda bahwa ia mendengarkan tanpa harus balik menatap lawan bicaranya.

“Gue gak masalah kalo misalnya abis ini makin dijadiin bahan omongan karena deket sama lo, jadi lo mau enggak buat deket dan jadi temen gue?”

Terdengar pintu dibuka lalu ditutup. Membuat Minho menunggu untuk mendengar langkah kaki mendekat. Tapi yang ada cuma bunyi ketukan jam, berirama, dan memecah keheningan.

Bunyi itu seketika mengecil, terkalahkan sesuatu. Membuat Minho bertanya-tanya apa bunyi yang lain itu akan hilang sepenuhnya. mendadak membuat perasaan takut merayap naik, tak bisa memastikan apa yang menghampirinya.

Suara yang jauh lebih bersemangat melampaui bunyi jam. suara yang menentramkan, seperti pengiring tarian di udara.

sayap” Pikir Minho. “Datang untuk menjemput?

Minho menahan nafas, menunggu, menunggu, menunggu. kemudian bunyi jam kembali dominan. alih-alih semakin pelan, ketukannya malah bertambah keras. Cairan seperti spiral terbentuk di dalam diri Minho, berjalan semakin dalam dan dalam. ia merasa dirinya tertarik ke arus itu. meluncur turun ke sebuah tempat yang gelap dan hangat.

Mata Minho mengerjap ke kerangka kayu di langit-langit yang melengkung di atasnya. sesuatu yang sangat di kenalnya. kamar tidur miliknya sendiri. perasaan tentram merasuki diri Minho, sebelum ia teringat dimana ia sebelumnya. di gimnasium bersama Lucas.

Aliran dingin menjalari bagian kulit Minho.

“Chris?” Panggil Minho dengan suara parau karena lama tak digunakan. ia berusaha untuk duduk, lalu memekik tertahan. Minho merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. setiap otot, tulang, sel, terasa lebam. ia merasakan sakit yang lumayan di sekujur tubuhnya.

Ada gerakan di ambang pintu. Chris bersandar disana. mulutnya tertutup rapat dan kehilangan kesan jenaka yang biasanya tampak. matanya seolah lebih dalam dari yang pernah Minho lihat sebelumnya. mata itu tajam dengan kesan melindungi.

“Hebat banget perkelahian di gimnasium tadi,” Katanya. “Tapi aku pikir kamu bisa lebih jago lagi kalo memperdalam latihan tinju kamu.”

Segalanya terasa kembali kepada Minho seperti aliran ombak. “Apa yang terjadi? Dimana Lucas? gimana bisa aku ada disini?” Suaranya parau karena masih merasa panik. “Seinget aku, aku ngejatuhin diri dari kuda-kuda.”

“Butuh keberanian besar buat ngelakuinnya.” Suara Chris menjadi lebih berat, dan dia melangkah masuk ke dalam kamar. Ditutupnya pintu, dan Minho tahu itu adalah caranya untuk menghalangi segala keburukan. dia meletakan penghalang pada diri Minho dengan segala yang telah terjadi.

Chris mendekat dan duduk di sebelah Minho di atas ranjang. “apa lagi yang kamu inget.”

Minho berusaha menyatukan memorinya, bergerak mundur. teringat akan bunyi sayap mengepak tak lama setelah ia menjatuhkan diri dari kuda-kuda. tak diragukan lagi, Minho tahu bahwa ia sudah mati. ia tahu malaikat datang untuk menjemput rohnya.

“Aku udah mati kan?” Tanyanya pelan, bercampur takut. “Apa aku udah jadi hantu?”

“Ketika kamu lompat, pengorbanan kamu itu yang ngebunuh Lucas. secara teknis, ketika kamu balik dia pun juga harusnya balik. tapi karena dia enggak punya roh, gak ada yang ngehidupin lagi tubuhnya.”

“Aku balik?” Minho agak berdoa semoga ini bukan harapan kosong.

“Aku gak nerima pengorbanan kamu. Aku ngebalikin itu lagi.”

Minho merasa ia membentuk mulutnya dengan kata oh kecil. tapi suaranya tidak keluar. “Apa maksudnya kamu rela enggak mendapatkan tubuh manusia karena... aku?”

Chris mengangkat tangan Minho yang diperban. di bawah balutan kasa, ruas jari miliknya ternyata memar akibat menonjok Lucas. Chris mengecup masing-masing jari, tidak terburu-buru. matanya terus menatap Minho. “Apa gunanya tubuh kalau aku gak bisa ngemilikin kamu.”

Butir-butir air mata menetes ke pipi Minho, dan Chris menariknya ke dalam pelukannya. menyenderkan kepala mungil Minho di dadanya. perlahan-lahan rasa panik itu sirna, dan Minho tahu semuanya sudah berakhir. semuanya akan baik-baik saja.

mendadak Minho menjauh. Kalau Chris menolak pengorbanan itu, maka—

“Kamu udah nyelametin nyawa aku. coba balik badan.” Perintah Minho sungguh-sungguh.

Chris tersenyum santai dan memenuhi permintaanya. Minho mengangkat kaus Chris hingga ke bahu. punggungnya mulus, hanya ada otot-otot yang tampak jelas. Goresan lukanya telah menghilang.

“Kamu gak bisa ngeliat sayap aku,” Katanya. “Karena terbuat dari unsur spiritual.”

“Kamu udah berubah..”

“Iya, secara teknis aku sekarang udah berubah—”

“jadi malaikat pelindung aku?” Minho masih kelewat terpesona untuk menyatukan pikirannya. Tapi pada saat yang sama ia merasa kagum, penasaran... dan bahagia.

That's sounds not bad, Right.

Minho menarik jarinya dari luka Chris. Bulu kuduknya meremang, dan jantungnya berdegup kelewat kencang. Chris memandang, sorot matanya tak yakin.

Ia terpaksa menerima kalau saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengikuti otak logisnya.

“Jadi jelas lo bukan manusia.” Ucap Minho. “Lo itu malaikat terbuang. Mahluk yang enggak baik.”

Sukses membuat Chris tersenyum. “Jadi gue bukan cowok baik?”

“Lo nguasain tubuh... manusia lain.”

Dan Chris mengangguk.

“Apa lo pengen nguasain tubuh gue?”

“Gue tentu pengen ngelakuin banyak hal dengan tubuh lo, tapi itu bukan salah satunya.”

“Emangnya kenapa sama tubuh lo?”

“Tubuh gue mirip kaca. Nyata, tapi bisa mantulin dunia di sekeliling gue. Lo ngeliat dan ngedengerin gue. Ketika lo nyentuh gue, lo ngerasain. Gue gak mengalami hal yang sama kaya lo. Gue gak bisa ngerasain lo. Gue ngalamin semuanya dari lembaran kaca. Dan satu-satunya cara buat nembus lembaran itu ya dari nguasain tubuh manusia.”

“Atau separuh manusia.”

“Pas lo nyentuh luka gue, lo ngeliat Sam?” Tebak Chris.

“Gue ngeliat isi chat lo sama Changbin. Dia ngasih pesan kalo lo nguasain tubuh Sam selama dua minggu setiap tahun, selama Cheshvan. Dia bilang Sam juga bukan manusia. Dia nephilim.” Kata Minho yang meluncur seperti bisikan.

“Sam persilangan antara malaikat terbuang dan manusia. Dia abadi kaya malaikat, tapi punya semua indra manusia. Malaikat terbuang yang pengen ngerasain sensasi manusia bisa ngelakuin itu dalam tubuh seorang nephil.”

“Kalo lo gak bisa merasa, kenapa lo ngelakuin itu sama gue?”

Chris menjalankan jarinya ke sepanjang tulang leher Minho, mengarah ke selatan dan berhenti di jantung. Minho dapat merasakan jantungnya berdegup menembus kulit. “Gue gak kehilangan kemampuan buat ngerasain emosi.” Chris menatap Minho lekat-lekat. “Maksud gue, kami memiliki hubungan emosional.”

Jangan panik, kata Minho di dalam hati. Tapi nafasnya sudah menjadi lebih cepat, dan pendek. “Maksud lo, bisa ngerasa bahagia atau sedih atau—”

“Bergairah.” Sambungnya sambil tersenyum kecil.

“Terus kenapa lo dibuang?”

Chris menatap mata Minho beberapa detik. “Nafsu.”

“Uang?”

Rahang Chris mengencang. Sepertinya Minho mengetahui bahwa laki-laki di hadapannya hanya melakukannya ketika ingin menutupi apa yang tengah dia pikirkan, seolah penyalur pikiran selain mulutnya. Ia berusaha menahan senyuman. “Dan nafsu terhadap yang lain. Gue pikir kalau dibuang, gue bakal jadi manusia. Malaikat yang menggoda bakal dilempar ke bumi. Dan kabarnya mereka kehilangan sayap di sana dan jadi manusia.

Ketika mereka meninggalkan surga, diadakan upacara besar-besaran. Kita semua dibuang. Tapi ada yang ditutupi. Gue gak tau kalo sayap mereka bakal di cabut, atau mereka di kutuk untuk menghuni bumi dengan rasa haus untuk menguasai tubuh manusia. Saat itu gak ada yang pernah mendengar tentang malaikat terbuang. Jadi wajarlah kalau gue berpikir jika dibuang, gue bakal kehilangan sayap dan jadi manusia. Saat itu, gue lagi tergila-gila sama seorang perempuan, dan mempertaruhkan resiko rasanya sepadan.”

“Sana bilang lo bisa ngedapetin sayap lagi dengan nyelametin nyawa manusia. Dia bilang lo bakal jadi malaikat pelindung. Lo gak mau itu?” Minho bingung, kenapa Chris berkeras menolaknya.

“Pilihan itu bukan buat gue. Gue pengen jadi manusia. Keinginan yang lebih besar dari apapun.”

“Gimana soal Sana? Kalo kalian berdua enggak sama-sama lagi, kenapa dia masih ada di sini? Gue pikir dia malaikat biasa. Apa dia pengen jadi manusia juga?”

Chris membisu. Seluruh otot ditangannya menegang. “Sana masih di Bumi?”

“Dia kerja di sekolah. Jadi psikolog yang baru. Gue ketemu dia beberapa kali.” Minho merasa perutnya seperti dililit saat ini. “Setelah gue ngeliat memori lo, gue pikir dia ngambil pekerjaan itu biar bisa lebih deket sama lo Chris.”

“Apa yang dia bilang ke lo pas kalian ketemu?”

“Minta gue buat ngejauhin lo. Dia ngasih tau kalo lo punya masa lalu yang gelap dan berbahaya.” Terdiam selama sesaat. “Ada sesuatu yang enggak beres dalam hal ini kan?” Tanya Minho, merasa bulu kuduk mulai meremang di sepanjang tulang punggungnya.

“Gue harus nganter lo pulang. Setelahnya gue bakal ke sekolah buat meriksa arsip Sana, barangkali bisa nemuin sesuatu yang bermanfaat. Gue bakal ngerasa lebih baik kalo tau apa yang dia rencanain.” Chris merenggut seprai kasur. “Tutup tubuh lo pake ini,” katanya, menyodorkan buntalan seprai kering.

Pikiran Minho masih bekerja keras untuk memahi penggalan-penggalan informasi. Tiba-tiba mulutnya menjadi kering dan lengket. “Dia masih cinta sama lo. Mungkin dia pengen nyingkirin gue.”

Mata mereka bertemu. “Terlintas dalam pikiran gue.”

Sebuah pikiran dingin dan mengganggu memukul-mukul dalam kepala selama beberapa menit terakhir, berusaha mencari perhatian. Minho seketika berteriak di dalam hati sekarang, mengatakan kalau laki-laki di balik topeng ski bisa saja Sana. Kini ia tak bisa melewatkan kemungkinan perempuan itu telah menipu mereka berdua.

Setelah ke kamar mandi sebentar, Chris muncul dengan kausnya yang masih basah. “Gue bakal ngambil jip.” Katanya. “Dua puluh menit lagi di pintu belakang. Jangan keluar sampe gue dateng.”

2.2k words

Wajah Chris selalu berkabut, dan kapan pun juga Minho tak pernah bisa membaca pikirannya. Tetapi begitu matanya tertuju pada Sana, ia tahu kalau Chris kaget. tapi laki-laki itu dengan cepat mengatasi kekagetannya. seluruh emosinya terkendali ketika sorot matanya menjadi waspada dan hati-hati. “Sana?”

Jantung Minho berdegup dengan kencang. Kalau Minho tertinggal delapan bulan, bagaimana Sana dan Chris saling mengenal. sedangkan mereka berdua sama-sama berada di lingkungan sekolah yang sama?

“Gimana kabar kamu?” Sana bertanya sambil tersenyum manja, melempar lollipopnya ke keranjang sampah.

“Kenapa kamu ke sini?” Mata Chris bertambah waspada, seolah di tidak merasakan 'apa yang kamu lihat itulah yang kamu dapatkan'. dan berlaku pada Sana.

“Aku kabur.” Senyumnya terangkat ke satu sisi. “Aku harus bertemu denganmu lagi. sudah lama aku berusaha, tapi penjagaan—yah kamu pasti tau. gak bisa dibilang longgar.”

“Datang ke sini bukan ide yang bagus.”

“Aku tahu ini sudah lama, tapi aku berharap mendapat reaksi yang sedikit lebih ramah,” Katanya dengan bibir cemburut.

Chris tidak menjawab.

“Aku gak bisa berhenti buat mikirin kamu.” Sana mengubah suaranya menjadi nada rendah dan seksi, sambil perlahan mendekati Chris. “Urusannya enggak semakin mudah. Dahyun menyampaikan beberapa alasan kenapa aku absen. aku mempertaruhkan masa depannya, juga masa depanku. apa kamu setidak ingin itu buat ngedengerin kata-kata yang harus aku sampaikan?”

“Katakan.” Suara Chris tidak menyiratkan rasa percaya.

“Aku belum nyerah buat mendapatkan cinta kamu. selama ini—” Sana tidak meneruskan ucapannya. matanya mengerjap, menahan air mata yang akan menitik. ketika dia berbicara lagi, suaranya lebih tenang tapi masih bergetar. “Aku tahu bagaimana kamu bisa mendapatkan sayapmu kembali.”

Dia tersenyum kepada Chris, tetapi Chris tidak membalas senyumannya.

“Begitu kamu memperoleh sayap kamu kembali, kamu bisa pulang,” Katanya dengan lebih yakin. “Segalanya akan kembali seperti dulu. tak ada yang berubah. walaupun tidak sepenuhnya.”

“Apa imbalannya?”

“Tak ada imbalan. kamu harus menyelamatkan satu nyawa manusia. Bersikap sangat bijaksana, merenungkan kejahatan yang membuat kamu terbuang ke sini.”

“Apa tingkatanku?”

Seluruh keyakinan runtuh dari mata Sana. dan Minho merasa Chris mengajukan pertanyaan yang ingin di hindarinya. “Aku baru saja memberitahumu bagaimana kamu bisa mendapatkan sayap kembali,” Balas Sana sedikit menggurui. “Rasanya aku pantas mendapatkan ucapan terimakasih—”

“jawab pertanyaanku.” Tetapi senyum getir Chris mengisyaratkan kalau dia sudah tahu jawabannya. atau dia punya dugaan yang sangat bagus. Apapun jawaban Sana, dia pasti tak akan menyukainya.

“Baik. kamu bakal jadi malaikat pelindung, oke?”

Chris mendongkakan kepala dan tertawa pelan.

“Apa salahnya menjadi pelindung?” Cecar Sana. “Memangnya itu kurang baik?”

“Aku tahu yang lebih baik.”

“Dengarkan aku Chris. tak ada yang lebih baik. kamu cuman membodohi diri kamu sendiri. Malaikat terbuang mana pun akan melompat gembira kalau mendapat kesempatan untuk memperoleh sayapnya kembali dan menjadi pelindung. kenapa kamu enggak?” Suaranya tercekat dengan rasa bingung, jengkel dan tertolak.

Chris berjalan dari meja biliar. “Senang bertemu denganmu lagi, Sana. Selamat Jalan.”

Tanpa aba-aba, dia mencengkram kemeja Chris, menarik tubuhnya, dan mencium bibirnya. sangat perlahan tubuh Chris beralih ke arahnya, kekakuannya mereda. tangannya terangkat dan mencengkram tangan Sana.

Kerongkongan Minho tercekat. Ia berusaha mengabaikan tusukan rasa cemburu dan bingung di dadanya. sebagian dirinya ingin berpaling dan menangis, sebagian lagi ingin menghampirinya dan berteriak. tapi itu tak akan ada gunanya. Minho tak terlihat. Jelas Bu Sana... Sana.. siapapun dia.... punya kenangan romantis dengan Chris. Apakah mereka masih bersama-sama sekarang—di masa depan? Apakah dia melamar kerja di sekolahnya agar bisa lebih dekat dengan Chris? itukah sebabnya kenapa dia ngotot menakuti Minho untuk menjauhi Chris??

Tapi sepertinya semua pertanyaan itu seketika tersingkir begitu saja, saat pembahasan lain yang kembali di angkat kepermukaan oleh kedua sosok itu membuat kepala Minho seperti habis di hantam keras satu kenyataan yang lebih menyakitkan dan perasaannya yang seketika hancur sehancur-hancurnya.

Jari Minho terangkat dari luka Chris dan hubungan itu terputus. Butuh waktu sejenak untuk memutuskan pikiran. Dan setelahnya Minho merasakan pergelangan tangannya yang di kunci di atas kepala.

“Lo seharusnya enggak ngelakuin yang satu itu.” Ada kemarahan yang teredam di wajahnya, hitam dan mendidih. “Apa yang lo liat?”

Minho mengangkat lutut dan membenturkannya ke tulang iga Chris. “Lepasin—Gue.”

Dia menekan pinggul Minho, menguncinya, sehingga kakinya tidak bisa digerakan. dengan tangan masih terentang ke atas, Minho tak bisa melakukan apa-apa selain menggeliatkan tubuhnya. tenaga Chris terlalu begitu kuat dibandingkan dengan Minho

“Lepasin—gue—atau—gue—bakal—teriak!”

“Lo udah teriak. dan gak ada yang peduli. Tempat ini udah beneran kaya rumah pelacur dibanding sebuah penginapan.” Chris tersenyum sinis penuh kekejaman. “Kesempatan terakhir, Minho. apa yang lo liat?”

Minho berusaha untuk menahan air mata. seluruh tubuhnya bergetar karena emosi yang sedemikian asing sehingga ia bahkan tak bisa menyebutkannya. “Lo ngebuat gue muak!” Katanya. “Siapa lo, siapa sebenernya lo?”

Bibir Chris tambah menyeringai. “Kita semakin dekat.”

“Lo pengen bunuh gue!”

Wajah Chris tak menunjukan ekspresi apa pun, tapi sorot matanya bertambah dingin.

“Jip lo gak bener-bener matikan?” Lanjutnya. “Lo bohong. bawa gue ke sini biar bisa ngebunuh gue. itu yang pengen lo lakuin menurut Sana. Jadi, tunggu apa lagi.” Minho tidak tahu sama sekali ke mana persoalan ini berujung, dan tidak peduli. ia memuntahkan kata-kata untuk menutupi ketakutannya. “Selama ini lo berusaha buat ngebunuh gue. sedari awal. apa lo bakal bunuh gue sekarang?” Minho menatap Chirs, tajam dan tak berkedip, berusaha mencegah air matanya menetes saat ia teringat hari bersejarah saat Chris masuk ke dalam kehidupannya.

“Ide yang cukup menggoda.”

Kembali berkelit di bawah tubuhnya, Minho berusaha berguling ke kanan, kemudian ke kiri. Sampai membuat dirinya tersadar bahwa ia hanya membuang-buang energi dan berhenti berusaha. Chris memandang lurus ke arahnya. matanya lebih hitam ketimbang yang pernah diliatnya.

“Berani taruhan lo lebih menyukai ini.” Kata Minho.

“Taruhan yang cerdas.”

Minho merasa jatungnya berpindah ke kaki. “Lakuin aja kalo gitu,” Kata Minho dengan suara menantang.

“Ngebunuh lo?”

Dijawab oleh Minho dengan anggukan. “Tapi sebelumnya gue pengen tau alesannya. di antara miliaran orang di dunia, kenapa gue?”

“Karena gen yang buruk.”

“Itu aja? cuman itu penjelasan yang bisa lo kasih?”

“Untung sekarang.”

“Maksud lo apa?” Minho meninggikan suaranya. “gue bakal ngedenger cerita lengkapnya setelah lo mukul dan bunuh gue gitu?”

“Gak mesti mukul buat ngebunuh lo. kalo gue pengen lo mati dari lima menit lalu, lo pasti udah mati lima menit lalu.”

Chris menyapukan tanda lahir milik Minho yang terlihat dengan ibu jarinya. Sentuhannya mengandung kelembutan palsu, membuatnya semakin menyakitkan.

“Gimana soal Sana?” Tanya Minho kembali, masih sulit bernafas. “Dia sama kaya lo, kan? kalian berdua—malaikat.” Suaranya tercekat saat mengucapkannya.

sosok yang mengukung Minho itu sedikit melonggarkan tekanan pada pinggulnya. Tapi tangannya masih menekan pergelangan tangan. “kalo gue lepasin, lo bakal dengerin gue?”

“Apa peduli lo kalo gue lari? tinggal nyeret gue balik kesini kan.”

“Gue males kalo sampe jadi tontonan.”

“Sana itu pacar lo?” Dapat dirasakan bahwa Minho memiliki tiap beban yang terangkat dan jatuh dari dadanya. ia tak merasa pasti apakah mau mendengar jawaban dari pertanyaannya atau tidak. bukannya sesuatu yang penting, sekarang Minho tahu kalau Chris ingin membunuhnya, terasa konyol sekali kalau ia masih peduli.

“Dulu. Dulu banget, sebelum gue jatoh ke lembah hitam.” Chris tersenyum getir, berusaha bergurau. “Itu juga sebuah kesalahan.” Dia bagkit, perlahan melepaskan Minho, menguji apakah akan melawan atau tidak. Minho sendiri terbaring di ranjang, tersenggal-senggal, berusaha bangkit dengan bantuan sikunya. setelah menghitung sampai tiga di dalam hati, ia menuburuk Chris sekuat mungkin.

Ditinju dadanya. Tapi Chris hanya bergoyang sedikit, tak bergeser sama sekali. Minho berontak di hadapannya dan mengayunkan kepalan tangan. memukul dadanya sampai bagian bawah kepalan tangan Minho terlihat memerah.

“Udah?”

“Belum!” Menyikut pahanya dengan siku. “Kok lo kaya gak ngerasain apa-apa??”

Minho berusaha berdiri, mencari keseimbangan di atas ranjang, dan menendang perutnya sekuat mungkin.

“Waktu lo tinggal satu menit lagi,” Katanya. “Keluarin semua kemarahan lo. abis itu gue bakal ambil alih.”

Tak tahu dengan apa yang dimaksud Chris dengan 'mengambil alih', dan Minho tidak berniat untuk bertanya. ia melompat dari tempat tidur, menuju pintu. Chris menangkapnya dan mendorong ke dinding, kakinya menempel pada kaki Chris, berhadap-hadapan.

“Gue pengen tau yang sebenernya,” Kata Minho, berjuang menahan tangis. “Apa lo dateng ke sekolah buat ngebunuh gue? itu rencana lo sedari awal?”

Rahang Chris terlihat menegang. “Ya.”

Minho menghapus air mata yang berani-benarinya menetes. “Apa lo ketawa di dalam hati? itu yang lo pengen? ngebuat gue percaya sama lo biar bisa dipermaluin!” Ia tau kemarahannya terasa tidak rasional. seharusnya dirinya ketakutan dan cemas. seharusnya ia melakukan apa pun untuk melarikan diri. dan yang paling tidak rasional di antara segalanya adalah bahwa dirinya masih tidak mau percaya bahwa Chris berniat untuk membunuhnya. betapapun keras usahanya, ia tidak bisa menghapus sepenggal kepercayaan yang tak logis itu.

“Gue ngerti lo marah—,” Sambung Chris.

“Aku hancur!” Teriaknya.

Tangan Chris terangkat ke leher Minho, memberikan pancaran kehangatan. ia menekankan ibu jarinya dengan lembut ke tenggorokan Minho, mendorong kepalanya. merasakan kembali bibirnya menekan birir Minho begitu keras hingga nama yang sekiranya ingin disebut tidak jadi keluar. tangannya turun kebahu, membelai tangan putih Minho, dan bersandar di punggungnya. sepercik rasa panik dan kenikmatan menjalar dalam tubuh. Chris berusaha menarik orang yang di ciumnya itu ke tubuhnya, namun Minho segera mengigit bibirnya.

Chris menjilat bibirnya dengan ujung lidahnya. “Kamu gigit bibir aku?”

“Apa semuanya lelucon buat kamu?”

Dia menjilat bibirnya dengan lidahnya lagi. “Tidak semuanya.”

“Misalnya?”

“Kamu.”

keseluruhan malam ini terasa ganjil. sulit sekali menarik kesimpulan dengan seseorang yang acuh tak acuh seperti Chris. Ah bukan, tapi sangat terkendali. Hingga ke sel terakhir dalam tubuhnya.

Minho kemudian dapat mendengar suara dalam kepalanya. santai aja. percaya sama aku.

“Astaga,” Minho seolah baru tersadar. “Lo ngelakuin itu lagi kan? ngacauin pikiran gue.” Ia teringat artikel yang diliat ketika mencari malaikat terbuang. “lo gak cuman bisa masukin kata-kata ke dalam kepala gue, ya kan? lo bisa masukin gambaran-gambaran secara nyata.”

Dan Chris tidak menyangkal.

“Archangel,” Kata Minho, akhirnya paham. “Lo berusaha buat ngebunuh gue malem itu kan? tapi ada sesuatu yang gak beres. Terus lo ngebuat gue berpikir kalo ponsel gue mati, jadi gue sama sekali gak bisa nelpon Jungwoo. lo berencana ngebunuh gue dalam perjalan pulang? Gue pengen tahu gimana lo ngebuat gue tau apa yang lo pengen!”

Wajah sosok di hadapan Minho tetap tanpa emosi. “Aku masukin kata-kata dan gambaran ke dalam pikiran kamu. tapi apakah kamu mau percaya atau enggak, tergantung diri kamu sendiri. kaya misteri. gambaran tumpang tindih sama realita. dan ya kamu harus nentuin mana yang realitas, mana yang bukan.”

“Apa ini kekuatan kusus seorang malaikat?”

Chris menggelengkan kepala. “Hanya malaikat terbuang. malaikat lainnya tak menyusup ke dalam privasi, meskipun mereka bisa.”

Karena malaikat yang lain baik, dan Chris tidak.

Ia menempelkan tangannya ke dinding di belakang Minho, masing-masing di samping kepalanya. “Aku yang masukin pikiran ke dalam benak pak jung buat ngubah posisi tempat duduk karena harus deket sama kamu. Aku yang ngebuat kamu berpikir kalau kamu jatuh dari archangel karena aku pengen ngebunuh kamu. tapi aku gak bisa ngelanjutinnya. hampir aja. tapi nyatanya, aku berhenti. Aku malah kahwatir sama kamu. Terus aku yang ngebuat kamu berpikir kalo ponsel kamu emang mati karena emang pengen nganterin pulang. pas aku mampir ke rumah, dan ngebantuin masak aku angkat pisau kan? karena aku pengen ngebunuh kamu saat itu.” Suaranya melembut. “Tapi kamu beneran ngerubah pikiran aku.”

Minho menghela nafas panjang. “Gue gak ngerti sama lo. pas gue bilang kalo ayah gue dibunuh, lo keliatan kaya menyesal. pas ketemu mama gue lo juga bersikap manis.”

“Manis,” Kata Chris mengulang. “Itu rahasia antara kita berdua.”

kepala Minho mendadak berputar lebih cepat, dan ia bisa merasakan denyutan di pelipisnya. Minho pernah mengalami kepanikan yang luar biasa seperti ini. sepertinya dia membutuhkan zat besi. entah benar begitu, atau Chris yang membuatnya berpikir bahwa ia membutuhkannya.

Minho mengangkat dagu dan menyipitkan mata. “Keluar dari kepala gue. Sekarang!”

“Aku gak lagi ada di dalam pikiran kamu, Minho.”

Ia membungkuk, menekankan tangan ke lutut, mencoba mengirup udara. “Bohong. gue ngerasain ada lo. jadi, ini yang lo lakuin? ngebuat gue seakan kecekik?”

Laki-laki berambut kecoklatan itu berusaha mengisi paru-paru, tetapi sepertinya tak ada udara. Dunianya menjadi miring, dan Chris bergeser ke samping dalam pandangan. Minho menempelkan tangan ke dinding untuk menyeimbangkan badannya. semakin ia berusaha menghisap udara, semakin kerongkongannya tercekik.

Chris mendekati Minho, tapi ia mengusirnya dengan tangannya. “Pergi!”

Dia menyandarkan sebelah bahunya ke dinding. bibirnya menunjukan bahwa ia merasa cemas.

“Pergi—dari gue.” Minho tersenggal.

Tapi yang diminta pergi tidak bergeser.

“Gue—gak bisa—napas!” Minho tersedak, sebelah tangan menekan dinding, sebelah lagi mencengkram tenggorokannya.

Mendadak Chris memeluk Minho dan menggendongnya ke kursi di seberang ruangan. “Letakin kepala kamu di antara lutut,” Katanya sambil menundukan kepalanya.

Minho menunduk, tersenggal-senggal, berusaha memasukan udara ke dalam paru-paru. perlahan-lahan ia merasakan oksigen mengalir kembali dalam tubuhnya.

“Lebih baik?” Tanya Chris setelah semenit.

Minho mengangguk, sekali.

“Bawa zat besi?”

Kali ini Minho menggelengkan kepala.

“Nunduk terus dan tarik nafas panjang.”

setelah mengikuti intruksi, Minho merasa sesak yang ada di dadanya terasa melonggar. “Terima kasih,” Katanya pelan.

“Masih gak percaya sama motif aku?”

“Kalo gue pengen percaya sama lo, biarin gue buat nyentuh luka lo lagi.”

Chris mengamati sejenak tanpa bicara. “Itu bukan ide yang bagus.”

“Kenapa?”

“lo gak bisa ngendaliin apa yang bakal diliat.”

“Itu maksud gue.”

Dia teridam beberapa detik sebelum menjawab. suaranya pelan, emosinya tidak terbaca sama sekali. “Lo tau kalo gue nyembunyiin beberapa hal.” ada keraguan di sana.

Tentu Minho tahu, Chris menjalani kehidupan dengan ruang tertutup dan menyimpan rahasia. Minho sendiri tak cukup angkuh untuk berpikir bahwa separuhnya melibatkan dirinya. Chris menjalani kehidupan di dunia yang berbeda dengan dunia yang dijalaninya saat bersama Minho. lebih dari satu kali ia berspekulasi, seperti apa kehidupannya yang lain.

Bibir Minho gemetar. “Beri gue alesan buat percaya sama lo.”

1k words

Minho merogoh sakunya, berniat untuk kembali mengabari Jungwoo bahwa ia sudah dekat dan menyuruhnya untuk menunggu. Tapi laki-laki manis itu baru teringat, bahwa ponselnya tertinggal di saku hoodie yang sebelumnya digunakan sebagai bayaran untuk mendapati petunjuk ke mana ia harus pergi ke tempat tujuannya kepada seorang laki-laki berpenampilan lusuh yang baru beberapa menit lalu berpisah dengannya.

Bagus.

Mungkin sekiranya Minho memutuskan bahwa pengorbanannya setidaknya sepadan. dan saat ia menoleh, sebuah mobil hitam mengkilat berjalan di ujung jalan kecil ini. lalu berhenti secara tiba-tiba.

Secara naluri, Minho menyingkir ke tempat gelap.

dari tempatnya ia dapat melihat pintu mobil yang terbuka dan terdengar bunyi senjata dikokang, disusul dengan dua kali tembakan. pintu mobil dibanting dan mobil hitam itu berderit menjauh. Minho mengigit bagian dalam bibirnya, begitu merasakan degup jantungnya yang keras bercampur dengan suara kaki berlari. sejenak kemudian ia tersadar, bahwa itu adalah suara kakinya. ia berlari kembali ke tempat yang tak jauh dari tempat awal ia bertemu dengan laki-laki lusuh itu.

dan ia menemukan tubuhnya kemudian tergeletak di trotoar.

Minho bergegas menghampiri dan berlutut di sampingnya. “Apakah anda baik-baik saja?” Tanyanya panik, sambil membalik tubuhnya. Mulutnya menganga dan matanya kosong. Cairan pekat mengalir ke hoodie yang dikenakannya beberapa menit lalu.

Ia merasakan dorongan untuk berlari dari tempatnya, tapi memaksakan diri untuk merogoh saku hoodienya. mencari ponselnya, walaupun ia tidak menemukannya sama sekali.

Terlihat sebuah kotak telepon umum di ujung seberang jalan. Minho berlari ke sana dan menghubungi kontak bantuan darurat. sembari menunggu operator mengangkat telepon, Minho mendapati jasad laki-laki itu tidak ada. dan saat itulah, semburan adrenalin dingin mengalir di tubuhnya.

dengan tangan gemetar Minho memilih untuk menutup telepon. Ia merasakan ada bunyi langkah kaki yang mendekat, tapi ia tidak bisa memastikan apakah langkah itu mendekat atau menjauh.

Tak tak tak

“Dia ada disini.” Gumam Minho pelan. “Laki-laki bertopeng ski itu.”

Minho kembali memasukan koin ke telepon dan menggenggam gagang telpon dengan erat. berusaha mengingat berapa nomor ponsel Chris. sembari memejamkan mata erat-erat, Minho mengingat urutan nomor yang ditulis Chris dengan pena merah di tangannya pada hari pertama mereka bertemu. sebelum benar-benar memastikan, ia menekan angka-angka itu.

“Siapa?” Tanya Chris dari seberang panggilan.

Minho nyaris membenturkan kepalanya ke depan karena merasakan sebagian dirinya siap untuk mengeluarkan air mata. Bisa didengar bunyi bola biliar meluncur di atas meja, dan Minho mengetahui bawha ia berada di tempatnya. Dan itu artinya Chris bisa menghampirinya sekitar dua puluh sampai tiga puluh menit lagi.

“Ini gue.”

“Minho?”

“Gue ada di daerah timur pinggir kota. Lo bisa jemput gue gak? ini urgent banget.”

Minho sedang meringkuk di pojokan bilik telepon umum, menggumamkan lagu-lagu yang sering di dengarnya, berusaha tetap tenang, ketika sebuah jip Commander hitam meluncur ke sudut jalan. Chris membuka pintu telepon umum dan berjongkok di ambangnya.

Ia melepaskan baju luarannya—T-shirt hitam lengan panjang dan hanya mengenakan kaus dalam warna hitam. Chris memasukan T-shirt ke kepala Minho dan tak lama kemudian menarik tangannya keluar dari lengan baju. kaus itu entah mengapa malah membuat Minho terlihat semakin mungil, lengan bajunya terlalu panjang, melewati ujung jarinya. ada aroma rokok, air soda, dan sabun mint. semua itu mengisi ruang kosong dalam diri Minho dengan rasa aman seketika.

“Ayo, kita ke mobil.” Ucap Chris. Dia membantu laki-laki dihadapannya untuk berdiri, dan tiba-tiba Minho merengkuhkan tangan ke lehernya dan membenamkan wajah ke bagian ceruk lehernya.

“Rasanya gue udah bener-bener gak enak badan,” cicit Minho. Dunianya seolah berputar, termasuk saat melihat Chris barusan. “Gue harus minum pil zat besi.”

“sshh,” Chris mengelus pelan bagian punggung dan mendekap Minho lembut. “Semuanya bakal baik-baik aja. Gue ada disini.”

Minho berusaha mengangguk.

“Ayo kita pergi.”

“Lo gak mau nyeritain kejadian apa yang nimpa lo beberapa waktu lalu?” Tanya Chris setelah beberapa saat keheningan melingkupi keduanya.

Minho masih menimbang-nimbang apakah akan menceritakan kepada Chris atau tidak. ia bisa mengatakan kepadanya bahwa setelah ada sosok laki-laki yang ditemui sebelumnya mengambil hoodienya, orang itu ditembak. Minho bisa mengatakan kepadanya kalau pelurunya ditunjukan kepadanya. kemudian ia bisa berusaha menjelaskan kepadanya bahwa jasad laki-laki itu lenyap di telan angin secara misterius.

Tapi sekiranya Minho sedang malas dipelototi dan ditertawakan. tidak oleh Chris. tidak sekarang.

“Gue kesesat, dan ada laki-laki gelandangan yang ngajak gue ngobrol,” Jelasnya. “Dia ngebuat gue ngelepas hoodie...” Menyeka hidung dengan punggung tangan dan bersin. “Orang itu ngambil topi gue juga.”

“Emangnya lo ngapain sampe jauh-jauh kesini?”

“Pengen nyusulin Jungwoo, katanya diajak ke pesta gitu.”

Mereka berdua sudah berada di separuh jalan kembali ke pusat kota, di jalan raya yang sepi dengan rimbunnya pepohonan. mendadak asap mengepul dari kap jip. membuat Chris menginjak rem dan menepikan kendaraannya.

“Tunggu bentar.” Katanya, beranjak keluar. membuka kap jip, dan menghilang dari pandangan.

Semenit kemudian ia menurunkan kap. dengan tangan digosokan ke celana, dia menghampiri jendela yang berada di sebelah Minho, memberi isyarat untuk menurunkannya.

“Ada kabar buruk,” Kata Chris lagi. “Mesinnya ada yang rusak.”

Minho berusaha terlihat maklum dan memahami. Tapi rasanya ekspresinya kosong.

Chris mengangkat sebelah alis dan berkata, “Semoga dia mati dengan tenang.”

“Gak bisa buat dijalanin?”

“Enggak, kecuali kalo mau di dorong. mungkin.”

Dari sekian banyaknya mobil, Minho tidak menyangka kalau yah mobil Chris akan memiliki yang ternyata cukup butut.

“Ponsel lo deh coba mana?”

“Ilang.”

“Biar gue tebak. Pasti ada di saku hoodie kan. laki-laki itu beneran beruntung.”

keluar dari mobil Jip, Minho menutup pintu dengan gerakan yang cukup keras. sebelah kakinya menendang ban kanan mobil. berusaha mengeluarkan kemarahan untuk menutupi ketakutan akan kejadian yang dialaminya hari ini. begitu sendirian, ia yakin ia akan menangis seperti bayangan yang paling dibencinya.

“Kayanya ada penginapan di dekat tembusan berikutnya gak sih. gue bakal c-coba nele-pon taksi.” Kata Minho, giginya berkeletuk semakin keras. “T-tunggu di jip.”

Chris memberikan senyuman kecil, tapi tidak tampak senang. “Gue gak bakal ngebiarin lo pergi jauh. lo keliatan agak pucat, angel. kita pergi sama-sama.”

Sembari menyilangkan tangan di dada, Minho berdiri tepat di depannya. “Gue gak bakal pergi ke sana bareng lo.”

“Menurut lo kita berdua dan penginapan pinggir kota bakal ngebuat suatu hal berbahaya?”

Menurut Minho dalam hati, tentu saja.

laki-laki berbadan lebih besar dari Minho itu bersandar pada jipnya. “Kita berdua bisa duduk di sini dan asik debat.” Ia menyipit ke langit yang bergemuruh. “Tapi bentar lagi badai bakal dateng.”

Seolah memberikan persetujuan akan ucapan terakhir Chris, langit kemudian menunjukan gumpalan awan tebal dan mulai mengucurkan hujan.

Minho menatap tajam ke arah Chris, dan menghela napas kasar.

seperti biasanya, sosok di hadapannya ini berkata benar.

1k Word

“Gue belom pernah main pool.” Kata Minho mengaku.

“Ambil tongkatnya.” Chris menunjuk ke rak tongkat biliar yang berderet di dinding. Membuat Minho berjalan untuk mengambil satu dan membawanya ke meja.

Chris menutup mulut untuk menahan senyum.

“Apa?” Minho memincingkan sedikit matanya kepada Chris.

“Dalam permainan gak ada home run.”

Minho mengangguk sebagai jawaban. “Gak ada home run. Paham.”

Senyum laki-laki dihadapannya mengembang. “Lo megang tongkat kaya megang raket.”

Ia menunduk untuk melihat tangannya. Apa yang dikatakan Chris memang benar adanya . “Nyaman aja kalo megangnya kaya gini.”

Chris melangkah ke belakang Minho, meletakan tangan pada pinggulnya dan memosisikan diri di depan meja biliar. Lalu tangannya diselipkan kesamping tubuhnya yang lain untuk memegang tongkat biliar.

“Kaya gini,” Katanya, menggeser posisi tangan kanan Minho beberapa inci. “Dan... ini,” Chris melanjutkan, meraih tangan kiri laki-laki yang berada dalam rengkuhannya untuk membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuknya. Kemudian ia menempatkan tangan kiri Minho di meja biliar, seperti tripod. Didorongnya tongkat biliar melewati lingkaran itu dan melewati ruas jari telunjuk. “Tekuk pinggang lo.”

Minho mencondongkan badan ke meja biliar, dengan napas hangat Chris yang berada tepat di belakang lehernya. Ia menarik tongkat kembali, kemudian diluncurkan melewati lingkaran.

“Lo mau bola yang mana?” Tanya Chris, menunjuk segitiga berisi bola yang sudah tersusun di meja. “Yang kuning di depan itu keliatan bagus.”

“Gue suka warna merah.”

“Okelah.”

Chris mendorong tongkat maju-mundur melewati lingkaran jari Minho, membidik bola pendorong, dan melatih untuk mengayunkan tongkat.

Minho menyipitkan mata ke bola pendorong, lalu ke segitiga bola di ujung meja. “Meleset sedikit,” Ucapnya.

dapat Minho rasakan senyuman dari sosok di belakangnya. “Berani taruhan berapa?”

“seratus ribu.”

Chris menggelengkan kepalanya. “Jaket lo.”

“Lo pengen jaket gue?”

“Gue pengen jaketnya dilepas.”

Tangan Minho terdorong ke depan, dan tongkat biliar melewati jarinya, menabrak bola pendorong. Bola pendorong itu melaju, menabrak bola merah, dan membuat bola-bola dalam segitiga tercerai ke segala arah.

“Oke,” Kata Minho segera membebaskan diri dari rengkuhan Chris, melepas jaket jins yang dikenakannya. “Gue agak terkesan.”

Chris memperhatikan setelan kemeja baby blue yang dikenakan Minho. Ekspresinya terlihat serius. “Manis.” Lalu ia memutari meja, memperhatikan bola-bola biliar yang bertebaran.

“Taruhan seratus lima puluh ribu, lo gabisa masukin bola biru strip satu.” Minho jelas memilih targetnya dengan sengaja, bola itu terhalang dari bola pendorong putih oleh sekumpulan bola warna-warni.

“Gue gak pengen uang lo,” Balas Chris santai. Mata mereka terkunci satu sama lain, dan Minho dapat melihat lesung pipit kecil tampak di pipinya.

Dan Minho berani taruhan, suhu tubuhnya tiba-tiba naik beberapa derajat.

“Lo pengen apa?” Tanyanya berusaha terlihat biasa.

Chris menurunkan tongkat biliarnya ke meja, berlatih satu pukulan, dan memukul bola pendorong. lalu bola itu menyentuh ke bola hijau, dan menabrak bola delapan, yang berakhir mendorong bola berstrip ke lobang.

Minho tertawa gugup dan berusaha menutupinya dengan sedikit mengigit jari, kebiasaan buruk yang sepertinya belum bisa ia hilangkan. “Oke, mungkin gue lebih terkesan dari sebelumnya.”

Chris masih membungkuk di atas meja, mengangkat wajahnya untuk menatap Minho yang berada di sebrang. tatapannya itu membuat kulit Minho semakin panas.

“Kita gak pernah akur kalo urusannya taruhan.” Kata Minho, menahan desahan untuk mengubah posisi tubuh. Tongkat di tangannya terasa lengket akibat tangannya yang basah, dan diam-diam menyeka tangannya ke paha.

Seolah belum cukup banyak keringat yang mengucur di tubuhnya, Chris berkata, “Lo utang sama gue. gue nanti pasti bakalan minta.”

Minho tertawa, dan terdengar sumbang. “Apaan, enak aja.”

Tiba-tiba terdengar langkah kaki seseorang menuruni tangga dengan keras. Seorang laki-laki berbadan kekar namun lebih pendek dari Chris dengan rambut under cut berwarna hitam. pertama ia menatap Chris, lalu menatap Minho. Ia menyeringai, melangkah mendekat dan mengambil bir milik Minho yang ia letakan di pinggir meja.

“Maaf banget nih, tapi itu—,” Ucapan Minho terputus.

“Lo ga bilang kalo matanya beneran selembut itu,” Ucapnya kepada Chris, ia menyeka mulut dengan punggung tangan. Suaranya berat dan terdengar cukup gelap.

“Gue juga gak bilang ke dia kalo lo itu tergila-gila sama tipe mata yang kaya gitu,” balas Chris dengan mulut membentuk cengiran.

laki-laki yang berdiri tak jauh dari sebelah Minho itu bersandar pada meja biliar dan ia mengulurkan tangan. “Gue Changbin, tapi kalo lo mau bisa di panggil sayang.”

Dengan malas Minho menerima jabatan tangannya. “Minho.”

“Apa gue ganggu?” Tanya Changbin, menatap Minho dan Chris bergantian.

“Enggak.”

“Ya.”

Jawab Minho dan Chris bersamaan.

Mendadak Changbin pura-pura maju menantang Chris dan mereka berdua terhempas ke lantai, berguling dan saling menonjok. Lalu terdengar suara tawa yang cukup keras, bunyi tinju yang saling dilayangkan, dan robekan baju, seketika membuat Minho dapat melihat punggung Chris yang telanjang. Ada dua goresan yang dalam dan tampak panjang mulai dari dekat ginjal dan berakhir di tulang belikat. Goresan itu melebar hingga membentuk Huruf V terbalik. Luka yang sangat mencengangkan hingga membuat Minho nyaris berteriak kaget.

“Oke oke udah ah, lepasin gak.” Pinta Changbin.

Chris melepaskannya, dan ketika berdiri ia melepas kausnya yang robek. dilemparkannya kaus itu ke keranjang sampah yang ada di sudut ruangan. “kaos lo siniin.” Pintanya pada Changbin.

Changbin mengedikan bahu, melirik ke arah Minho sambil mengedipkan matanya. “Gimana Minho? apa harus gue kasih?”

Chris sekali lagi berpura-pura menantang maju, dan tangan Changbin refleks menahan bahunya.

“Kalem kalem.” Celetuknya, melangkah mundur. ia melepas sweater yang dikenakannya dan melemparkannya kepada Chris. sekarang Changbin hanya menggunakan kaus putih yang menempel terlalu pas di badannya.

Saat Chirs menurunkan sweater itu ke perutnya, hal itu cukup untuk membuat jantung Minho berpacu lebih cepat, Changbin kembali bersuara kepada Minho. “Dia ngasih tau ga kalo dia punya nama julukan?”

“Apa?”

“Ah bukan hal penting sih. Tapi sebelum sobat kita Chris ini tergila-gila sama permainan biliar, dia itu salah satu fans berat tinju tangan kosong di daerah sini.”

Chris menatap Minho dan menebar senyum seperti orang yang baru saja memenangkan perkelahian di bar. Seringaiannya itu sudah cukup menakutkan. Tapi entah mengapa, minho dapat melihat di balik penampilan luarnya yang kasar, tersimpan pesan keinginan. malah bisa lebih dari sekedar pesan.

Chris mengayunkan kepalanya ke tangga dan meraih tangan Minho. “Ayo kita pergi.”

“Ke mana?” Tanya Minho yang merasa perutnya seperti turun ke lutut.

“Liat aja entar.”

Saat mereka menaiki tangga, Changbin berteriak kepada Minho, “Semoga beruntung sama si bajingan itu, Kitten.”

Minho bergegas secepat mungkin ke kamar mandi ketika mengetahui kalau Chris ternyata sedang berada di tempat kerjanya sekarang ini. sial

Di sana ia mengunci pintu, menarik napas beberapa kali dengan punggung menempel ke pintu, lalu ke wastafel dan memercikan air dingin ke wajahnya. Chris pasti tau Minho sedang memata-matai dirinya. sosoknya yang mencolok menjamin hal itu. Bisa dibilang perbuatannya tadi terlihat buruk karena, memang memalukan. Tapi bagaimana lagi, Chris sangat tertutup. Orang tertutup tak suka kalau kehidupannya diawasi. Bagaimana reaksinya jika tau Minho sedang melakukan hal seperti ini?

Dan sekarang ia meragukan alasannya melakukan ini semua. Karena di lubuk hatinya, ia tak percaya kalau Chris-lah laki-laki bertopeng ski itu. Boleh jadi dia punya beberapa rahasia kelam yang menggangu, tapi berkeliaran dengan topeng ski bukan salah satunya.

Minho mematikan keran, dan menengadah. wajah Chris berada di dalam cermin membuat Minho refleks berbalik dengan nafas tertahan.

Chris tersenyum, tapi jelas kelihatan tidak senang.

“Lo ngapain ada disini?”

“Ya, gue kerja disini.”

“Maksud gue di sini. kenapa bisa lo beneran tau kalo gue—”

“Gue mulai berpikir kalo lo yang sebenernya buntutin gue. setiap kali gue balik badan, lo selalu ada.”

“Gue mau ngajak Jungwoo jalan-jalan.” Minho mencoba menjelaskan. “Dia baru keluar dari rumah sakit.” Dan bodohnya terdengar sangat defensif. “Gue gaada niatan buat ngejar lo atau gimana. gue cuman taunya lo hari ini libur. dan apa maksud lo barusan? setiap kali gue yang balik badan, malah lo yang ada.”

Tatapan Chris tajam, mengintimidasi, dan menuntut.

“Mau jelasin soal penampilan jelek lo itu?” Chris bertanya.

“Mau jelasin lo ke mana aja? lo ga sekolah dua hari terakhir ini.”

Minho hampir yakin Chirs berniat untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Tapi dia berkata, “Main di arcade. Kenapa lo ada di bar?”

“Ngobrol sama bartender. apa itu sebuah tindak kejahatan?” bertumpu di atas konter, Minho mengangkat kaki untuk melepas sepatu bagusnya dan saat itulah kertas daftar meluncur keluar dari kantong kemeja satinnya dan jatuh ke lantai.

Ia berusaha untuk mengambilnya, tapi Chris lebih cepat. ia mengangkat kertas sambil memundurkan badannya, sementara Minho berusaha untuk mengambilnya.

“Balikin!”

“Apa Chris pernah di skors?” Ia membaca. “Apakah Chris seorang kriminal.”

“Balikin—Kertasnya!” bentak Minho dengan marah.

Chris tertawa kecil, dan Minho tau ia sudah membaca pertanyaan berikutnya. “Chris udah punya pacar?”

Chris menyelipkan kertas itu ke saku belakangnya, dan Minho tidak ada niatan untuk mengambilnya sama sekali mengingat lokasinya.

Ia menyilangkan tangan di depan dada dan bersandar. “Kalo lo emang niat mau nyari informasi kan bisa langsung tanya sama gue.”

“Daftar itu cuman main-main. bukan gue yang bikin.”

Chris terkekeh. “Gue tau dengan sangat jelas tulisan lo Lee Minho.”

“Well, oke,” Balas Minho, mencoba mencari jawaban yang lebih masuk akal. tapi ia terlalu lama dan kehilangan kesempatan.

“Gak pernah di skors,” Jawabnya. “Bukan kriminal.”

“Pacar?” apapun jawabannya, gue gak bakal peduli.

“Bukan urusan lo.”

“Lo nyoba nyium gue,” Minho mengingatkan. “Jadi itu jelas urusan gue.”

Sekilas senyum miring menghiasi bibirnya. Minho mendapat kesan kalau ia sedang mengingat kejadian detail kejadian yang nyaris berakhir dengan ciuman itu, termasuk desahannya.

“Mantan-pacar.” Katanya setelah diam beberapa saat.

Perut Minho mulas begitu sebuah pikiran mendadak muncul dalam benaknya. Jangan bilang kalau orang yang ada di taman bermain dan toko yang ia kunjungi bersama Jungwoo adalah mantan Chris...

Dan kemudian Chris melanjutkan, “Tapi dia enggak ada disini.”

“Apa maksud lo gak ada disini?”

“Dia udah pergi, dan gak bakal balik lagi.”

“Maksudnya... dia udah meninggal?” Tanya Minho ragu.

Chris tidak menyangkalnya.

Perut Minho terasa berat dan serasa diremas. Ia sama sekali tidak menduga. Chris punya pacar walaupun ia sudah meninggal.

Pintu kamar mandi berbunyi—seperti ingin dibuka namun tidak bisa. Minho lupa kalo ia tadi sempat mengunci pintunya, dan hal ini jelas membuatnya terheran-heran karena, bagaimana Chris bisa masuk kedalam. Mungkin dia punya kunci sepertinya, atau ada penjelasan lain. Penjelasan yang jujur tak ingin Minho bayangkan. Misalnya menembus ke pintu begitu saja.

“Gue harus balik kerja,” Kata Chris. Ia memperhatikan penampilan Minho, dan pandangannya terkunci pada bagian dada Minho yang sedikit terekspos. “Sebenernya penampilan lo gak sepenuhnya jelek. Bajunya bagus, tapi sialnya—gue gasuka pokoknya.” Ia menepuk pipi Minho pelan dan berjalan melewati Minho setelah berbisik. “Soalnya jadi bukan cuman gue yang liat seksinya elo.”

Minho mengerucutkan bibir, entah mengapa rasa kesal kini melingkupi dirinya. Bagaimana tidak? Ketika ia melihat kekasihnya dengan mudah menerima makanan pemberian orang lain dan akan terlihat senang dengan hal itu. Minho benar-benar tidak suka.

Tapi bagaimana, laki-laki itu sama sekali tidak bisa mengutarakan kekesalannya karena bagaimanapun pacarnya itu pasti akan berbicara bahwa makanan yang diterimanya hanya sebatas, “Kan kamu Tau sedekat apa aku sama dia, aku nerima makanannya cuman karena menghargai kok.

Dosen yang sedari tadi entah menjelaskan tentang apa di depan akhirnya menutup sesi pembelajarannya, membuat seluruh mahasiswa menghembuskan nafas lega. Minho semakin merenggut, menangkupkan wajah pada lipatan tangannya yang ada di atas meja.

Kak gak usah dipikirin terus sih, yang ada bikin kesel sendiri doang.” Celetuk seungmin yang sedari tadi asyik berkutat dengan bukunya—yang jelas bukan untuk mencatat apa yang sedari tadi dijelaskan Dosen.

Minho mengintip dari celah tangannya. “Tapi Seung gue gak suka banget. Cuman lo taukan Chan tuh kaya gimana.

Seungmin mengedikan bahunya, sibuk dengan kegiatannya yang masih asik dengan buku di hadapannya. “Yaudah kalo gitu kenapa gak lo coba aja bikinin kak Chan kue gitu atau apa? Seenggaknya ya impas, kak Chan juga makan makanan buatan lo. kalo perlu bikin sespecial-specialnya kak.

Lo tuh mau ngasih solusi apa mau nyindir gue sih? elah deh.” Protes Minho sambil menoyor kepala Seungmin pelan. Seungmin mendelik tidak suka, tapi dibalas pelototan balik oleh laki-laki berambut oranye tersebut.

Ya belajar kak coba. Semua itu harus ada usahanya, jangan cuman ngeluh mulu deh. Lagi lo mau kak Chan lebih suka makan makanan orang lain?

Ya enggak lah. Lo liat aja sekarang nih gue uring-uringan begini karena apa coba.

Nah yaudah.” Seungmin memasukan barang-barangnya ke dalam tas, beranjak dari tempat duduknya. “Mending sekarang kita isi perut deh, karena gue udah laper banget beneran. Masalah lo mau belajar masak, gampang. Nanti gue minta tolong sama kakak gue deh buat ngajarin.

Minho menatap Seungmin dengan mata berbinar. “Bener nih Seung lo mau bilang ke kakak lo buat ngajarin gue masak? Walaupun lo tau gue sebebel dan seteledor apa orangnya kalo masalah masak?

Iya udah beneran entar gue bilang ke kakak gue, sekalian gue bantuin juga nanti. Udah ayo ah kak buruan.” Balas Seungmin sambil menarik tangan Minho gemas agar beranjak dari tempatnya. Minho hanya terkekeh dan mengikuti Seungmin dengan berbagai rencana yang sudah tersusun rapih di kepalanya.

Minho benar-benar melakukan keinginannya untuk setidaknya belajar memasak, untungnya kakak Seungmin bersedia untuk mengajarinya walaupun Seungmin sudah mewanti-wanti sedari awal betapa luar biasa teledor dan payah temannya yang satu itu.

Terbukti dengan nyaris tiga hari melakukan percobaan dengan satu resep makanan manis dan satu makanan utama, banyak kejadian gaduh yang terjadi. untungnya kakak Seungmin sangatlah sabar dan mau mengajari Minho setidaknya sampai apa yang telah di ajarinya bisa diikuti oleh Minho.

Chan sendiri tidak mengetahui kalau Minho sedang berusaha belajar memasak, Minho berbohong bahwa ia sedang mengerjakan tugas kelompok bersama dengan Seungmin yang membuatnya harus menginap. Chan bukan tipikal orang yang akan curiga sama sekali dengan apapun yang dilakukan oleh Minho, asal Chan tau dimana dan dengan siapa Minho berada.

saat Sabtu malam, Minho tersenyum sumringah memasuki apartemen yang ditinggalinya bersama dengan Chan.

Ia sudah mengabari Chan sebelumnya dan mengetahui kalau pacarnya tersebut akan pulang sebelum jam makan malam. Minho mengecek jam tangannya, bergegas ke arah dapur untuk membuat hidangan makan malamnya.

Minho benar-benar kelewat senang, bahkan luka-luka di tangan yang didapatinya selama belajar memasak selama tiga hari tidak dihiraukannya sama sekali dan ia tetap melakukan aktifitasnya untuk membuat makan malam.

Dengan susah payah, Minho melakukan apa yang sudah diajarkan. Tapi karena mungkin cowok manis itu takut Chan akan pulang sebelum hidangannya selesai Minho jadi mengerjakannya tidak sepelan saat ia pelajari kemarin dan malah membuat luka baru di tangannya.

yang lebih fatal sekarang adalah, Minho tidak sengaja menjatuhkan panci berisi sup kerangnya. Isinya tumpah mengenai lengannya. satu tangannya yang lain dengan refleks juga memegang sisi panci yang panas dan membuatnya langsung mengaduh kesakitan. Minho terduduk di lantai bersamaan dengan bunyi panci yang jatuh dan pintu depan apartemen yang tertutup dengan keras.

Minho!! Kamu ngapain??!” Teriak Chan tiba-tiba. Minho mendongkakan wajahnya, melihat Chan yang terlihat panik dan kesal bercampur menjadi satu. “Astaga.

Chan berjalan cepat menghampiri kekasihnya. Direngkuhnya tubuh Minho, membawa tubuh mereka berjalan ke arah westafel, menyalakan keran dan mengarahkan lengannya di bawah aliran air.

Tahan sebentar.” Ucapnya sambil menahan Minho yang siap menjauhkan lengannya.

setelah selesai, Chan membawa Minho duduk di kursi meja makan. Meninggalkannya di sana untuk mengambil kotak P3K yang ada di kamar mereka. Saat ia kembali, Minho mengigit bagian dalam pipinya ketika memperhatikan raut datar Chan, menatap luka bakar di lengan Minho juga beberapa luka dan plester kecil di tangan dan jari-jari manisnya.

Laki-laki itu diam selama sesaat, sebelum akhirnya memulai kegiatannya dengan melepas plester-plester di tangan Minho dan mulai mengobati lukanya.

Sebenarnya Minho ingin menjerit karena merasa sakit, namun karena tidak ingin memperkeruh suasana akhirnya Minho benar-benar berusaha untuk menahannya. Chan menggenggam tangan Minho erat namun lembut, dengan telaten memberikan salep luka bakar pada bagian lengan Minho walaupun pacarnya itu selalu refleks menarik lengannya karena merasa kesakitan.

Setelah selesai, Chan mengembalikan semua peralatan obat-obatan kembali ke tempatnya. Ia letakan kotak P3K di samping meja tempat Minho duduk. Minho sedari tadi diam memperhatikan gerak-gerik Chan, sampai akhirnya laki-laki itu tepat memperhatikan manik mata Minho yang kini kelihatan takut-takut.

Aku tanya, kamu ngapain?” Kata Chan buka suara, tatapannya untuk sessat masih tidak bisa Minho artikan. “Kamu tau kan kalo kamu itu gak bisa masak? Kenapa kamu malah masak?? terus liat tangan kamu jadi banyak lukanya gini coba.

Minho seketika menunduk, enggan bertatapan dengan Chan. “Minho, gamau di jawab pertanyaan aku??? Hmm?

Minho menggelengkan kepala, entah mengapa air mata sudah bergumul di pelupuknya. Minho tidak pernah suka ketika melihat Chan bersikap seperti ini di depannya.

Chan menghela napas, tahu betul tabiat pacarnya yang satu ini. Ia menetralkan segala emosi yang berkecamuk pada dirinya sebisa mungkin.

Ketika dirasa emosinya sudah mereda, Chan memajukan badannya untuk melihat wajah Minho dari bawah. diulurkan salah satu tangannya untuk memegang pipi gembilnya. “Hey, udah aku gak marah oke? tapi tolong di jawab pertanyaanku. aku tuh cuman kahwatir min.

Aku.. aku cuman pengen... pengen buatin Chan makanan.. buatan aku..” Cicit Minho yang untungnya masih bisa di dengar Chan. “Chan belum pernah makan makanan buatan Ino sendiri.. tapi Chan sering makan makanan buatan orang lain.

Chan tidak memberikan respon apapun, membuat Minho mengalihkan tatapannya ke arah Chan yang masih menatapnya lembut di bawah sana. Ia mengelus pipi Minho pelan.

Aku kemarin udah sempet belajar kok, aku udah bisa. Cuman kayanya tadi kurang hati-hati makannya gak sengaja jatohin panci sama isi-isinya.” Lanjut Minho yang kini sesenggukan, entah sejak kapan ia mulai menangis.

“Hey kok jadi nangis.” Chan berdiri dari posisi jongkoknya, segera merengkuh tubuh Minho yang semakin menangis. Ia ambil salah satu tangannya untuk dikecup pelan agar Minhonya tidak merasa sakit. “tangan kamu yang luka-luka ini karena kamu abis belajar masak kan? Terus nginep dirumah seungmin buat ngerjain tugas itu ternyata bohong yaa? Kenapa ga mau bilang jujur kalo mau belajar masak??

Channn... Ino minta maaf..” Rengek Minho yang suaranya agak teredam karena wajahnya sedang berada di perut Chan.

Chan kembali pada posisinya semula, memandang Minho yang masih sesenggukan. Ia baru saja ingin melanjutkan perkataannya ketika merasa mencium bau terbakar.

Minho juga menyadarinya, dan tangisnya yang hampir saja reda harus kembali karena ia mengingat sesuatu.

Channn... Kue buatan aku gosong huaaa....

Minho menekuk wajahnya, melihat Chan yang tengah sibuk dengan kegiatannya membuat pancake. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri, ketika melihat Chan yang akhirnya harus membuatkan menu makan malam mereka, walaupun pancake bukanlah jenis makanan yang bisa disajikan untuk makan malam. Karena ya, hanya makanan itulah yang bisa di buat olehnya.

Udahan cemberutnya, nih special buat kamu.

Chan meletakan piring berisi pancake buatannya ke hadapan Minho, mengusak surai rambutnya gemas dan menarik kursi agar bisa duduk berdekatan dengan Minho.

Harusnya kan aku yang bilang gitu.” Balas Minho dengan suara memelas membuat Chan tertawa. ia raih garpu yang ada di piring dan mulai menyuapi Minho lalu bergantian dengan dirinya. Minho menerima suapannya dengan pasrah, karena bahkan saat ia ingin menggantikan Chan untuk membuat pancake pacarnya itu melarang dan mengatakan Minho tidak boleh memegang apapun karena tangannya yang masih terluka.

Lagi kamu tuh ya bisa gak sih pelan-pelan gitu, yang hati-hati. Ini alasan aku tuh gapernah ngebiarin kamu masak yang berat-berat atau ada megang pisau gitu-gitu. kamu tuh kalo apa-apa terlalu excited jadinya malah ga hati-hati. liat kan tangan kamu jadi gimana, gak inget pengalaman kamu tuh.

Ish tapi kan yang waktu itu beda sama sekarang.

Beda darimana kalo ujung-ujungnya kamu jatohin dan numpahin isi masakan kamu yang akhirnya bikin lengan tangan kamu abis kebakar gitu? beneran gak kapok ya?

Minho mengatupkan bibirnya rapat, kembali menundukan wajahnya. Ia paham betul Chan sangat mengawahtirkan dirinya, tapi entah mengapa ia merasa kalau pacarnya ini seperti tidak bisa mempercayai Minho untuk belajar melakukan sesuatu yang ia tidak bisa.

Aku bukan gak percaya Min.” Lanjut Chan sangat mengetahui apa yang sedang dipikirkan laki-laki di hadapannya. Minhonya ini memang terlalu transparan untuk dibaca. “Aku cuman pengen kamu gak kenapa-kenapa. Kalo kamu izin dan janji sama aku buat belajar masak pelan-pelan dan yakin sebisa mungkin gak ngelukain diri kamu sendiri aku pasti ngebolehin kok. Lagi masih banyak banget waktu buat aku muji masakan kamu min, gak mesti sekarang kan.

Kalo ini ada kaitannya sama aku yang suka nerima makanan dari Sana, sebenernya aku gak pernah loh makan makanan yang dia kasih. yang sering makan tuh ya anak-anak, aku bagian nerima aja.

Minho menatap Chan yang kini kembali menyodorkan potongan pancake padanya. “Tapi kenapa aku denger kakak kalo ditanya gimana makanan kak Sana jawabannya selalu yang emang abis makanan makanan yang udah dikasih dan kaya sesuka itu?” Tanyanya setelah menelan makanannya.

Satu fakta kecil terkait Minho, jika ia sudah benar-benar dalam mode manja laki-laki penyuka kucing tersebut akan kembali memanggil Chan dengan panggilan honorificnya.

Ya aku minta anak-anak buat ngasih pendapat lah, terus biasanya sama Changbin di tambah-tambahin. abis itu aku ikutin aja kaya apa yang mereka bilang.

Aku gak tau kalo kakak sampe segitunya...

Chan menyunggingkan senyuman, lalu memajukan wajahnya untuk meraih mulut Minho yang terlihat sedikit belepotan madu dengan bibirnya. ia lumat bibir Minho dan merasakan bibir ranum itu yang menjadi manis dua kali lipat. Sesaat kemudian Chan menarik wajahnya, ketika dirasa kesayangannya itu berniat untuk membalas ciumannya. Chan langsung tertawa melihat wajah Minho yang kembali merenggut.

Ya harus segitunya lah, biar kesayanganku gak makin bete. yah walaupun tetep bete juga sih.” Chan kembali mencium bibir Minho sepersekian detik. “Ngomong-ngomong kamu sama aja kaya pancake, sama-sama manis.

Kak chan.” Minho merentangkan tangannya mengisyaratkan Chan untuk menghampirinya agar bisa di peluk. Chan tak habis fikir bagaimana bisa pacarnya bisa terlihat semenggemaskan seperti saat ini. “Ino saaayaaaangggg baaanggget sama kakak.

Iya, kakak lebih lebih sayangnya sama ino.” Dikecupnya ujung kepala Minho berkali-kali. “pancakenya di abisin dulu ya, abis ini kita movie marathon sambil cuddle oke?

boleh sambil makan coklat?

Jangan banyak-banyak tapi, kalo enggak kakak cium kamu terus-terusan.

Yaudah gapapa.

Ino..

hehehe kakak juga suka jadi gapapa.

Chan melepaskan pelukan mereka, mengacak rambut Minho gemas dan kembali menyuapinya.

Minho merasakan hatinya menghangat saat memikirkan bagaimana Chan sebisa mungkin selalu memperlakukannya dengan cara manis. Ia sendiri sebisa mungkin menanamkan satu pemikiran mulai dari sekarang, bahwa bagaimanapun kekurangan yang dimilikinya, ia yakin Chan akan sebisa mungkin memaklumi dan menerima segala kekurangan yang ada sama seperti Minho yang juga akan menerima segala kekurangan yang ada pada diri Chan.

Karena terkadang, cinta memang semudah itu untuk menerima kekurangan satu sama lain bukan.

1.3 Words

“Kayanya mereka udah pergi,” Ucap Chris dengan tatapan senang di matanya. “Lo butuh tumpangan mungkin.”

“Jungwoo gak bakal ninggalin gue,” Kata Minho, berusaha melihat ke arah kerumunan dengan kaki berjingkat melewati puncak kerumunan. “Mereka mungkin main hockey meja.”

Minho berjalan ke samping, menembus kerumunan, sementara Chris mengikuti di belakang sambil menyeruput kaleng soda yang di belinya di mesin minuman. Ia sempat menawari Minho namun sepertinya bahkan ia tidak memikirkan apakah bisa memasukan sesuatu dalam mulutnya atau tidak saat ini.

Tak ada jejak Jungwoo dan Hyunjin di hockey meja.

“Barangkali mereka sedang bermain Pinball,” Terka Chris. Jelas sedang meledek Minho.

Wajahnya memerah, Jungwoo dimana sih?

Chris mengulurkan kaleng sodanya. “Yakin gak mau minum?”

Minho menatap dari kaleng ke Chris. Cuma karena darahnya tiba-tiba menghangat lantaran terpikir bahwa ia akan meletakan mulutnya di tempat yang telah tersentuh mulut Chris bukan berarti harus memberitahunya secara gamblang.

Ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel. Layar telponnya mati dan tak mau dihidupkan. padahal Minho yakin terakhir kali ia menggunakan ponselnya untuk mengirim pesan dengan Chris batrainya masih banyak. ditekannya tombol on berulang kali, tapi percuma saja.

Chris kembali membuka suara, “Tawaran gue masih berlaku.”

Sepertinya Minho berpikir akan lebih aman kalau ia meminta tumpangan dari orang asing. ia masih terguncang akibat kejadian di Archangel tadi. Kejadian itu adalah yang paling menakutkan yang pernah dialaminya. Sepertinya ia adalah satu-satunya orang yang menyadari kejadian itu. Bahkan Chris yang duduk persis di sebelahnya tidak menyadarinya.

Minho menepuk dahinya. “Mobilnya. Siapa tau Jungwoo nunggu gue di parkiran.”

Tiga puluh menit kemudian ia menyisir seluruh parkiran, tapi tidak ada dilihatnya mobil Jungwoo disana. Bagaimana bisa Jungwoo pergi begitu saja. Tapi mungkin saja ada kejadian darurat, dan Jungwoo sempat mengabarinya tetapi tentu Minho tidak bisa memeriksa pesan yang masuk ke ponselnya. Minho berusaha mengendalikan emosi, tapi bohong kalau tidak ada sedikit gumpalan kemarahan yang ada karena menemukan Jungwoo yang pergi meninggalkannya.

“Ada pilihan lain?” Tanya Chris kemudian.

Minho mengigit bibir, memikirkan pilihan yang lain. Tapi ia tak punya pilihan. Sayangnya ia tak yakin apakah siap menerima tawaran Chris atau tidak. Pada hari-hari biasa saja sosok itu bahkan memancarkan aura berbahaya, apalagi sekarang. Malam ini adalah perpaduan bahaya, ancaman dan misteri yang bercampur menjadi satu.

Menghela napas dan berdoa dalam hati, Minho berharap kalau ia tidak berbuat kesalahan.

“Langsung anter gue kerumah.”

“Ya, kalo itu yang lo mau.”

Begitu sampai di rumah Minho, Chris menepikan motornya ke jalan masuk, mematikan mesin, lalu turun. Minho melepaskan helm, menyeimbangkan di kursi depan dengan hati-hati, lalu siap membuka mulut untuk mengucapkan kalimat Terimakasih atas tumpangannya, sampe ketemu besok senin

Tapi kata-kata itu menguap begitu saja saat Chris menyebrangi jalan masuk dan menuju anak tangga.

Ia tidak bisa menahan dugaan tentang apa yang dilakukannya. mengantarkan sampai ke pintu? Sangat tidak mungkin.

Minho menaiki anak tangga di belakangnya dan menjumpainya di pintu. dengan pikiran terbagi antara kebingungan dan kekahwatiran yang hebat, ia mengawasi Chris mengeluarkan serangkaian kunci yang dikenalnya dan memasukannya ke lubang kunci.

“Kok? Itukan kunci gue. Kenapa bisa sama lo? Balikin gak,” Kata Minho, jengkel karena tak mengetahui bagaimana bisa kuncinya bisa berpindah tangan seperti itu.

“tadi jatoh pas di arkade, pas lo mau ngehubungin Jungwoo.”

“Gue gak peduli dimana gue ngejatohin kuncinya. kembaliin.”

Chris mengangkat kedua tangannya, mengisyaratkan kalau dia tak bersalah lalu mundur dari pintu. Dia menyandarkan sebelah bahunya ke dinding dan memperhatikan Minho yang melangkah ke pintu. ia berusaha membuka kunci pintunya. Macet

“Lo ngapain sih, sengaja bikin susah apa gimana?” Minho berusaha menggoyangkan kunci, ia mundur selangkah. “Silahkan, coba aja. kuncinya macet.”

seiring bunyi klik yang keras, dia memutar kunci dengan tangan tetap pada pegangan pintu, Chris menaikan alis matanya seolah mengatakan silahkan masuk

“Yaudah sekarang pergi deh, lo ga boleh masuk. gue dirumah sendirian.”

“Semaleman?”

“Bukan urusan lu kan?”

“Gak ada niatan buat ngundang gue masuk?” Dia bertanya.

Minho mengerjap.

Chris melanjutkan, “Udah larut.” Matanya menatap Minho, memancarkan kilau membangkang. “Lu pasti laper.”

“Enggak. Ya. Maksud gue, ya, Tapi—”

Mendadak dia masuk.

setelah makan malam, Chris membawa piring-piring ke bak cucian. “Gue yang nyuci, biar lu yang ngeringin.” dia melemparkan serbet ke arah Minho sambil bercanda.

“Gue beneran pengen nanya,” Kata Minho. “Lu itu beneran ngebuntutin gue pas di perpustakaan...”

Ucapannya terhenti. Chris menyandarkan badannya dengan santai ke meja dapur. rambut hitamnya menjulur dari balik topi bisbolnya. seulas senyum dapat dilihatnya. dan disaat pikiran Minho terhanyut, ada sebuah pikiran baru yang muncul begitu saja.

Dia ingin menciumannya sekarang.

Chris mengangkat alis. “Apa?”

“Emm—enggak. Enggak jadi. Lo nyuci, gue yang ngeringin.”

tak butuh waktu lama untuk membereskan peralatan makan yang kotor. setelah selesai, mereka mendapati diri sama-sama berimpitan di dekat bak cuci. Chris bergerak mengambil serbet dari Minho, dan tubuh mereka bersentukan. Tak ada yang bergerak. Masing-masing bertahan pada sebuah gerakan rapuh yang menyatukan mereka.

Minho mundur lebih dulu.

“Takut?” Gumamnya.

“Enggak.”

“Bohong.”

Degup jatung Minho bertambah dua kali lipat. “Gue gak takut sama lu.”

“yakin?”

Minho berbicara tanpa berpikir. “Mungkin gue cuman takut kalo—” ia memaki dirinya sendiri karena memulai kalimat seperti itu. Sekarang, apa yang harus dikatakan? Minho benar-benar hampir mengakui kalau segala seuatu pada diri Chris membuatnya takut. Tentu kalimat itu akan memberinya kesempatan untuk lebih terpancing. “Mungkin gue cuman takut...”

“Bakalan suka sama gue?”

“Ya.” Jawab Minho kelewat lega karena tidak harus menyelesaikan kalimatnya sendiri, namun setelah itu ia sadar bahwa apa yang barusan ia ucapkan lebih parah lagi. “Maksud gue, Enggak! bukan itu yang mau gue bilang!”

Chris tertawa halus.

“Sebenernya, kaya sebagian dari diri gue ngerasa gak nyaman kalo ada di deket lo Chris.” Minho berusaha melanjutkan.

“Tapi?”

Ia mencengkeram meja di belakangnya untuk menguatkan diri. “Tapi pada saat yang sama, gue ngerasain ada ketertarikan yang sialnya beneran bikin gue takut sama lo.”

Chris kini menyunggingkan cengiran.

“Tuhkan, lo tuh terlalu angkuh.” Ucap Minho, menggunakan tangannya untuk mendorong Chris selangkah.

Chris menangkap tangan Minho dan meletakkannya di dada lalu menurunkan lengan baju hingga ke pergelangan tangan sehingga tangannya tertutup, dan melakukannya pada lengan baju Minho yang lain dengan cepat. memegang ujung lengan bajunya, sehingga tangan Minho terkunci. ia ingin membuka mulutnya untuk protes, namun tertahan.

Chris menarik Minho ke arahnya, dan tak berhenti sampai ia persis di depannya. tiba-tiba ia menggendong Minho ke atas meja. Wajahnya jadi sama tinggi dengan wajah Chris. Ia menatap Minho dengan senyum nakal yang mengundang. Saat itulah Minho menyadari gambaran yang selalu ia sangkal yang terus menari-nari di sudut fantasinya selama beberapa hari ini.

“Lepas topinya.” Kata Minho sekali lagi tanpa berpikir apa-apa.

Chris memutar topi yang dikenakannya, sehingga lidah topinya berada di belakang.

Minho bergeser ke ujung meja, kakinya berayun di salah satu sisi tubuh Chris. sesuatu dalam dirinya menyuruhnya untuk berhenti—tapi kusingkirkan suara-suara itu jauh-jauh ke ujung pikirannya.

Dia merentangkan salah satu tangannya di atas meja, persis di samping pinggul Minho. Sembari memiringkan kepalanya ke satu sisi, ia mendekat. Aroma tubuhnya seperti dari kedalaman bumi yang gelap.

Minho menghela napas dua kali, tidak. Ini tidak benar. Tidak dengan Chris. Dia benar-benar menakutkan, tetapi dalam arti baik. tapi tentu juga dalam arti buruk.

“Chris lo harus pergi,” Ujar Minho pelan. “lo beneran harus pergi.”

“Ke sini?” Mulutnya berada di bahu Minho. “Atau ke sini?” Sekarang Mulutnya berada di lehernya.

Otak Minho tak bisa sudah benar-benar tidak bisa memproses satu pikiran logis. Ia dapat merasakan sensai gelitik di sekujur tubuhnya saat merasakan sensasi basah di bagian lehernya. “Chris, gue gak mau pake turtle neck

“Kita bisa ngatasinnya.” Balas Chris sambil memegang pinggang Minho, namun ia menarik kepalanya dan memindahkannya tepat di hadapan wajah Minho. mereka saling beradu napas satu sama lain.

Hanya satu gerakan lagi, satu gerakan sebelum mendadak ponsel Minho berbunyi. Ia melompat kaget dan mengeluarkannya dari saku.

“Hai sayang,” Sapa ibu Minho ceria.

“Ma bisa telfon aku nanti?”

“Iya boleh. tapi kenapa?”

Minho menutup panggilannya. “Lo harus pergi,” Katanya kepada Chris. “Sekarang.”

Dia membalikan posisi topinya lagi. yang hanya bisa dilihat mulutnya di bawah topi itu, yang melengkung membentuk senyum nakal.

“Semoga mimpi indah.”

“Tentu. Ya gak masalah.” Dia bilang apa?

“Tentang ajakan besok malam...”

“Bakal gue pikirin,” Kata Minho susah payah.

Chris menyelipkan secarik kertas ke dalam saku. sentuhannya menimbulkan sensasi panas hingga ke kaki Minho. “Ini alamatnya, gue tunggu. Dateng sendirian.”

Minho merasakan pipinya benar-benar panas dan sepertinya sudah semerah tomat saat ia mendengar pintu depan yang tertutup. Hampir aja pikirnya sambil mengelus bagian dadanya yang sudah tidak karuan.