JeJeJJ

Florist Senin , 20 oktober 2019 Semarang-04:30 Pm

Setelah Winata selesai kuliah dan Bright selesai mengajar perkuliahan, Bright memutuskan untuk menuruti kenginan winata, jadilah sekarang mereka dalam perjalanan menuju sebuah panti, panti yang sudah kerap win kunjungi, sebenarnya banyak panti yang winata singgahi namun sore ini ia akan menepati sebuah janjinya pada seseorang disana.

“ini mau kemana win?” Bright bertanya karena ia tak tahu panti yang mana yang akan mereka kunjungi sore hari ini.

“ke panti satu atap mas, win ada hutang sama si kembar disana?”

ucap win tersenyum kearah Bright, memperhatikan Bright yang tengah serius menyetir mobil menjadi sebuah keasikan sendiri untuk winata, tanpa ia tahu jantung Bright seperti menabuh genderang perang, perasaannya tak menentu karena jutaan kupu-kupu kini tengah singgah di perut dan paru-parunya, menyadari diperhatikan oleh insan yang ingin ia kejar cintanya adalah sebuah hal baru dirasakan Bright, rasanya tak sama dan tak akan pernah sama ketika winata yang melakukannya, ia menempati sebuah singgasana special disana, di hati Bright.

Bright tersenyum walau pandangannya masih sibuk melihat jalanan yang mulai padat merayap karena jam pulang kerja.

“si kembar?” tanya Bright begitu tersadar kalau winata mengucapkan kata demikian.

Win mengangguk, membawa pandangannya ke depan melihat jalanan sore ini, sebentar lagi mereka akan menjadi saksi semarang dilangit senja.

“iya mas, disana ada sikembar cantik, win udah janji mau jenguk mereka sejak dua minggu yang lalu tapi belom sempet terus, gapapa kan kalau win ajak mas tengok mereka?” lagi, win memandang Bright, ada senyum disana.

Bright membalas senyuman manis winata, menyebrangkan tangan kirinya dan menggenggam tangan kanan winata, digenggam dan diremas pelan.

“tentu win, tentu boleh. Mas malah seneng kamu ajak ke tempat seperti itu” jawab Bright yang langsung mengalihkan pandangannya pada jalanan yang mulai lenggang.

“makasih ya mas” win membalasa genggaman tangan Bright.

“mas yang makasih win, makasih udah maafin mas dan mau buka lembaran baru sama mas, gak ada yang lebih indah di dunia dari mendapatkan kesempatan kedua, isn’t it?”

win tersenyum

“iya mas, win pikir semua orang layak mendapatkan kesempatan kedua asal dia mau berubah, bukankah begitu mas?” tanya win yang masih memandang Bright yang sibuk dengan jalanan.

Bright tersenyum dan mengangguk, ia tak menjawab karena ia tahu kalau win dari tadi menatapnya, di remasnya pelan genggaman tangan mereka yang saling bertautan sebagai jawaban ketika kata tak lagi terdengar.

“Win mau hubungan kita berhasil mas, jadi…..kalau kedepannya ada masalah atau kesalah-pahaman diantara kita, win mohon untuk kita bicarakan berdua ya mas? Kita selesaikan berdua dan Win mau komunikasi kita lancar, win mau hubungan kita berhasil mas”

Win telah mengucapkannya, kalau secara tak langsung ia berharap hubungan mereka akan berhasil hingga akhir, kalau secara tak langsung winata telah berhenti melakukan pencariannya dan ia telah berhenti dan jatuh pada Bright.

“iya win, mas akan lakukan yang terbaik, mas juga mau hubungan kita berhasil, makasih ya win udah bersikap dewasa dan bahkan lebih dewasa dari mas, mas harusnya malu karena nyaranya mas gak lebih dari seorang bocah yang terjebak di tubuh orang dewasa, makasih udah buat mas berkaca tentang siapa diri mas yang sebenarnya, terimakasih win”

Tautan tangan mereka semakin mengetat, semakin intim menyalurkan afeksi dan kasih sayang masing-masing. Win tersenyum manis sekali saat ini seraya melihat tangannya yang berada dalam genggaman Bright.

“oh iya mas, win harus bawa sesuatu buat mereka nih mas, masa kesana kita gak bawa apa-apa sih mas”

“boleh, sikembar suka dibawain apa win?”

“ummmm….mereka suka bunga, suka boneka princess sama permen sih mas?” jawab win sambil memperlihatkan gelagat seperti berfikir dan mengingat sesuatu.

“got it”

Bright langsung menepikan mobilnya, berhenti disebuah toko bunga, disana ada beberapa florist yang memperhatikan mereka dari luar toko.

“eh, mau kemana mas? Kok nepi?”

“mau bawain bunga buat sikembar, namanya siapa?”

“rara sama lala mas”

Bright tersenyum, sudah terbayang wajah gemas dua anak kembar itu di benaknya.

“yuk, mas mau bawakan bunga buat rara sama lala” ajak bright yang segera turun untuk membukakan pintu mobil untuk winata.

“win bisa sendiri tau mas, lain kali win sendiri yang buka pintunya”

ucap win malu-malu, rasa itu masih ada disana, tidak pernah berkurang sedikitpun apalagi berpindah kelain orang.

“gapapa, mas seneng bisa lakuin ini buat kamu” ucap bright menagkap tangan winata, membawa si manis keluar dari mobil. Mereka berdua melangkah bersama menuju toko bunga, didepan sana seorang florist sudah menunggu mereka.

“selamat sore kak, ada yang bisa saya bantu untuk carikan bunga?” tanya seorang florist cantik dengan lesung pipi yang terukir indah disana.

“sore mbak, boleh saya tahu ada apa ada koleksi orchid disini?” tanya bright yang masih menggenggam tangan winata, mereka benar-benar seperti sepasang kekasih.

“ada kak, ada di kebun belakang”

“boleh saya kesana?”

“oh boleh sekali kak, orchid memang banyak dicari untuk pasangan kekasih kak, seperti kalian misalnya” ucap florist sambil tersenyum ramah.

Tanpa ia tahu kalau ucapan sederhana tadi membuat degub jantung Bright dan Winata terpacu lebih cepat.

“i….iya mbak, boleh diantar?” jawab Bright agak canggung, pasalnya sampai saat ini belum ada kata cinta atau kata pengikat untuk winata dari bibir Bright, mereka bahkan sudah dianggap seperti pasangan kekasih di mata seorang penjual bunga, pasti banyak orang diluar sana ketika melihat mereka seperti ini juga menganggap hal yang sama.

“mari kak”

Mereka mengekor dibelakang sang florist. Ditatapnya winata yang sedang bersemu merah pipinya, ia malu ternyata dan terlihat sangat menggemaskan. Bagaimana bisa ada manusia seindah dan se-menggemaskan winata? Iya, hanya winata yang bisa mengikat Bright dalam pesonanya.

“silahkan kak, dipilih saja dulu, kalau sudah bisa panggil saya kedepan ya kak”

“makasih mbak” jawab win singkat, jika diperhatikan ini kali pertama win bersuara sejak mereka datang di toko bunga ini.

Setelahnya sang florist undur diri untuk kembali kedepan dan meladeni beberapa pembeli yang mencari tanaman ataupun bunga yang dijual di toko ini.

“indah ya mas, banyak banget anggreknya, ini sama semua gak sih mas jenisnya?”

Ujar winata seraya mengedarkan pandangannya diseluruh sudut taman tersembunyi ini, taman anggrek bak surga yang bersembunyi dibalik toko bunga, sungguh sangat indah sekali.

Bright tersenyum, winata jelas tidak tahu menahu tentang jenis-jenis anggrek disini.

“tentu enggak win, semuanya beda dan punya nama masing-masing”

“eh…mas tahu? Mas tahu nama-nama anggrek disini?” tanya win ingin tahu

“tentu mas tahu win, dulu di London ketika musim semi tiba taman dibelakang rumah mas seperti ini indahnya, banyak anggrek dan kaktus yang mas sama papa rawat disana”

jawab Bright seraya mengingat masa-masa indahnya ketika masih di London, menghabiskan sebagian waktunya dengan sang papa, jika hari libur tiba mereka memilih untuk berkebun.

“waahhhhh iyakah? Bisa dong mas kenalin aku sama si cantik ini satu-satu” win menyentuh sebuah anggrek yang sedang memamerkan kecantikan bunganya.

“tentu, ayo sini mas kenalkan kamu ke mereka” bright berjalan terlebih dahulu, kali ini ialah yang akan menjadi guide tour untuk winata, setelah berkali-kali winata menjadi guide tour untuknya di kota lama.

Win tersenyum dan mengekor dibelakang bright, ini akan menjadi tour perdana dan eksklusif untuknya, karena ialah yang menjadi satu-satunya turis disini. Hanya ada Bright dan Winata dan puluhan anggrek yang sedang memamerkan pesonanya.

“yang ini namanya Dendrobium, dia cantik warna bunganya banyak dan paling banyak ditemui di Indonesia setahu mas” kata bright sambil menunjuk sebuah anggrek yang menempel di pohon.

Win hanya diam dan masih tersenyum, mendengarkan dan menyimak baik-baik perkataan sang dosen, ini seperti perkuliahan dilapangan secara langsung.

“kalau yang bunganya besar itu namanya cattleya, dia bunganya besar dan wangi, biasanya dia punya dua warna” lanjut bright.

Win masih mengekor dibelakang dan memperhatikan Bright lekat-lekat, disaat seperti ini mereka berdua dimandikan cahaya senja membuat hati winata menghangat, pesona Bright sangat sulit untuk ia abaikan saat ini, terlihat sangat tampan dan memikat.

“nahhh, win coba lihat yang disebelah sana…”

Bright menunjuk sebuah anggrek yang tidak diletakkan di pot.

“itu namanya anggrek vanda, bunganya besar dan tahan lama, ah anggrek memang tahan lama semua bunganya, tapi yang satu itu spesial win, coba mas tanya apa spesialnya?” bright memperhatikan winata lekat-lekat, senyum itu terpatri disana, mengembang indah seperti dua insan yang dimabuk cinta

“ummmm…kayanya itu deh mas, dia bisa hidup tanpa dimasukin pot mungkin?”

Jawab Win setelah menganalisa dan membandingkan dengan anggrek-anggrek yang sudah dikenalkan oleh Bright.

“itu juga salah satunya, lihat gak akar yang rimbun itu, banyak banget kan? Dia gak perlu di siram tiap hari, yang penting pencahayaan cukup dan sedikit air udah bisa bikin dia hidup” jelas Bright, sedangkan win hanya ber ohh ria.

“yuk lanjut lagi”

Mereka melanjutkan untuk melihat-lihat koleksi anggrek lainnya.

“nah coba sekarang kamu lihat yang ada di atasmu win”

Win menurut dan mendongak ke atas, ada sebuah anggrek sangat cantik berwarna ungu yang sedang berbunga rimbun.

“woahhhhh cantik banget mas”

“yang itu namanya cymbidium, cantik kan? Rimbun bunganya”

“iya mas win suka banget, wahhhhh” win sesekali memegang bunga itu, tak berani untuk menekannya karena ia takut bunga yang sangat indah itu rontok.

“yuk, kayanya tinggal satu aja nih yang belum mas kenalin ke kamu” Ajak bright menuju tamu terakhir mereka.

“nah win, yang ini namanya Phalaenopsis atau sering disebut anggrek bulan” tunjuk Bright pada anggrek yang berwana putih dan ungu di ujung sana.

“wahhh kok semuanya cantik-cantik ya mas, win sampe bingung milihnya huhuhu”

Bright tersenyum, melihat win seperti ini dimatanya terlihat menggemaskan sekali.

“ini, yang ini, pegang” Bright mengambil sebuah anggrek bulan berwarna putih.

“ini cocok buat kamu, namanya moonlight, anggrek bulan putih ini sama dengan namamu win, mulya yang berarti suci, lihat bunganya, putih dan bersih bukan? Iya seperti kamu……manis” puji Bright seraya memberikan satu pot bunga itu di genggaman winata.

Winata hanya bisa menerima dan tersenyum malu-malu hingga menundukkan kepalanya, pipinya sedang bersemu saat ini.

“bawa pulang ya nanti? Rawat dia baik-baik” ucap Bright seraya membelai rambut winata.

Sedangkan win? Iya hanya bisa mengangguk dan masih tertunduk malu disana.

“te….terus buat rara sama lala gimana mas?” tanya winata yang masih menundukkan kepalanya.

“disana masih ada satu warna ungu, itu untuk mereka” ujar Bright yang semakin dekat, memangkas jarak diantara mereka berdua, di tempat ini, di taman bunga yang tak seorang pun ada disana kecuali mereka berdua.

Win paham apa yang akan terjadi, ia hanya diam tak bergeming, semakin dekat dan semakin dekat.

Ciuman itu terjadi begitu saja, sangat lembut dan penuh perasaan, Bright sangat hati-hati memperlakukan winata seperti berlian yang akan selalu ia jaga dan ia bawa.

Win diam tak bergeming, membalas ciuman itu sebiasnya, semampunya. Sungguh ciuman ini menjadi ciuman paling romantis sepanjang perjalanan mereka, bagaimana tidak? Lelakimu memberikan ciuman di taman yang penuh bunga yang bermekaran dan dimandikan cahaya senja, siapa yang tak luluh? Winata salah satu insan yang jatuh dan luluh.

“ma adek mau bunga itu”

Mereka berdua terkejut, Bright dan Win langsung menarik diri mereka masing-masing, ada saja yang menjadi penghalang bagi mereka berdua bahkan seorang bocah sekalipun.

“ma…..mas, dia lihat kita huhuhu aku takut” ucap winata memperhatikan bocah cantik nan imut itu.

“gapapa win, Cuma anak kecil kok, dia gak akan bilang yang aneh-aneh”

“tapi….tapi tetep aja dia lihat mas huhuhu” win mengerucutkan bibirnya, terlihat sama menggemaskannya dengan sang bocah di hadapan mereka.

Bright tersenyum merespon winata yang sangsi dengan anak kecil ini. Ia berjalan dan selanjutnya jongkok dihadapan anak kecil itu, menyamakan tinggi mereka.

“halo manis, kamu mau bunga yang apa? Biar kakak yang ambilin” tanya Bright pada bocah perempuan manis itu.

Bocah itu tak menjawab, hanya mengedip-ngedipkan matanya melihat kearah Bright.

Sadar kalau si anak kecil tak menjawab pertanyaannya, Bright berdiri dan mengambil sebuah anggrek Cattleya yang sedang berbunga, diberikannya bunga itu pada sang bocah.

“mau ini ya? Nih kakak kasih, rawat baik-baik ya biar sama cantiknya kayak kamu”

Bright mencubit pipi sang bocah pelan, sungguh menggemaskan seperti winata yang masih berdiri di belakang dan memperhatikan interaksi antara Bright dan sang bocah, perasaan Win menghangat, ia merasa tak salah memilih orang untuk menjatuhkan hatinya.

“loh sayang kok disini, itu pegang bunga apa? Ayo kembalikan ke kakaknya” sang mama terlihat dari depan menuju taman ini, sadar dang anak menggengam sebuah anggrek cantik di tangannya.

“gapapa tante, saya belikan untuk adik ini, namanya siapa cantik?” tanya Bright pada anak manis itu.

“Irene kak” jawab bocah itu dengan nada anak-anaknya sungguh menggemaskan sekali.

“ah gausah nak, Irene Cuma ingin-ingin aja, namanya juga anak kecil” sang mama menolak secara halus.

“tak apa tante, saya belikan buat Irene yang cantik ini, jadi bunganya juga yang cantik kaya Irene kan? Iyakan? Sini tos dulu sama kakak”

Bright memeberikan tangannya untuk bertos ria dengan Irene, sedangkan Irene ia sampai harus berjijit menyambut tos dari Bright.

“terimakasih ya nak, ayo Irene bilang apa dulu sama kakaknya?” ujar sang mama mengajarkan tata karma pada anak cantik itu.

“makasih kakak ganteng” ujar Irene

Hal itu membuat Bright, Winata dan sang mama tertawa terbahak-bahak, bahkan anak kecil polos nan jujur itu mengakui ketampanan Bright saat ini.

“sama-sama Irene cantik, dirawat ya bunganya”

Irene mengangguk heboh, sampai win khawatir kalau leher si anak akan patah.

“yaudah yuk sama kakak kedepan sana yuk? Kita kemas bunganya dulu ya” ajak Bright pada Irene.

“yaudah mama tunggu di depan ya, sepertinya kakak-kakak disini lagi asik sama Irene, lagi nunggu momongan ya?” tanya sang mama melihat kearah Bright dan Win bergantian.

Win langsung menunduk, tak tau harus merespon seperti apa, debaran jantung itu semakin terasa, rasa itu semakin membuncah ketika sang mama dari bocah manis itu berkata demikian.

Bright juga sama terkejutnya, setelah kembali mendapatkan kesadarannya ia tersenyum pada mama dari Irene itu.

“doakan saja ya tante, semoga nanti kami bisa punya yang seperti Irene ini, iyakan manis” ujar Bright sambil melihat Irene di depannya, Irene mengangguk lagi.

“ohhhh yaudah, saya tunggu di depan ya” sang mama pamit meninggalkan anaknya pada Bright dan Winata disana.

“yuk Irene, sama kakak yuk” ajak win menggandeng tangan Irene, sedangkan Bright mengambil anggrek bulan dan Cattleya di tangan Irene agar bisa ia menggandeng tangan Irene yang satunya.

Mereka seperti sebuah keluarga bahagia yang sedang pergi membeli bunga, ada Win yang tersenyum dan memegang Moonlight disana, ada Bright yang membawa dua pot anggrek di gengamannya, ada Irene yang mereka gandeng bersama-sama menuju depan saja, dibawah langit semarang yang sedang senja.

Florist Senin, 20 Oktober 2019-05:00 Pm Bright, Irene dan Winata dibawah senja.

Fake Smile

Kopipedia Minggu, 19 Oktober 2019 05:00 PM

“win, disini ternya...... Ta”

Itu suara Afi, ucapannya terdengar seperti terpotong ketika melihat orang yang didepan winata dan tengah menggenggam tangan sahabatnya itu.

Matanya membelalak ketika melihat sosok yang ia kenal, orang itu adalah orang yang pernah menghabiskan malam bersamanya seminggu lalu. Meski ia lupa namanya, namun Afi ingat betul wajahnya.

Di pertemuan itu ada dua orang yang sedang membelalak tercengang, dan satu orang lainnya terlihat kebingungan melihat secara bergantian wajah Afi dan Bright yang saling bertatapan dengan ekspresi yang tak bisa winata artikan.

Perasaan Bright berkecamuk setelah baru saja merasakan jutaan kupu-kupu mengisi perut dan dadanya kini yang terasa seperti jutaan duri yang siap menusuknya dari segala arah.

Ekspektasinya bisa di banting hancur oleh orang yang baru saja datang ini, hubungannya bisa saja karam dan diam ditempat jika saja sosok yang berdiri diantara dirinya dan Winata ini memberitahukan rahasia kelamnya.

Dada Bright bergemuruh luar biasa, ketakutan luar biasa itu kini melemaskan lututnya, menyerang fisiknya yang mulai menunjukkan gelagat ketakutan.

Tak berbeda jauh dengan Bright, disana ada Afi yang berdiri mematung melihat kearah Bright, Winata dan tangan mereka berdua yang saling bertautan diatas meja, mencoba memproses dan menjadi saksi apa yang barusan ia lihat, Winata dengan partner one night stand-nya? Apakah sudah gila? Apakah dunia memang sesempit itu? Benar-benar di luar prediksi dan diluar ekspektasi.

Dosen yang selalu winata ceritakan, selalu ia banggakan kepintarannya ternyata tak lebih dari lelaki hidung belang yang mencari kesenangan di media sosial. Ternyata tak lebih dari lelaki bodoh yang mencari pelampiasan dan buruknya ia adalah partner one night stand sang dosen kebanggan winata itu.

Sungguh miris? Miris memang. Wajah tak habis pikir Afi sangat jelas terpatri disana, ia bisa menyimpulkan kalau winata sahabatnya bisa saja memiliki 'hubungan' dengan sang dosen yang tengah menggenggam tangan winata diatas meja.

Genggaman Bright pada tangan winata mengetat, dan kini tanpa sadar Bright seperti meremas tangan winata kuat-kuat, luapan emosi itu tanpa sadar ikut keluar dengan remasan tangan yang semakin mengetat.

“awww... Masssss sakit”

Suara Winata membuyarkan semuanya, semua lamunan yang terjadi antara Bright dan Afi, suara pekik kesakitan itu membuat Bright terkejut dan langsung melepaskan genggamannya, secara tak sadar ia telah menyakiti orang yang ia sayangi.

“eh, maaf win, maaf. Mas gak sengaja”

ucap Bright yang menyadari ia meremas tangan winata sedemikian kencangnya.

Sedangkan win hanya mengibas-ngibaskan tangannya mencoba meredakan sakit di buku tangannya.

“kalian kenapa sih? Kok tatap-tatapan gitu, serem tau gak”

kata win yang dibalas dengan senyum palsu Afi, dari senyum itu banyak sekali tanda tanya yang menuntut jawaban.

“hehehehe gapapa win, ini.... Ini jadinya disini nih win? Beneran?”

Afi bertanya untuk memastikan bahwa mereka tak salah meja dan salah orang.

“ya..... Ya iya, sini duduk sini sebelahku” win menarik tangan Afi dan langsung memaksanya duduk berhadapan dengan Bright, mata mereka bertemu, Bright menatap Afi seolah mengingatkan untuk pura-pura tidak mengenalnya atas perjanjian yang terakhir kali mereka lakukan.

Dan dari tatapan itu Afi paham, kalau lelaki didepannya ini menyimpan rasa pada sahabatnya yang kini sibuk mengoceh tentang mata kuliah pengukuran psikologi.

Afi tersenyum kecut menyadari takdir sedang mempermainkan Bright dan Winata, ada rasa tak rela disana, tak rela sahabat lintas universitas yang memiliki keloyalan tinggi di bidang sosial itu bersanding dengan Bright, lelaki yang mencari kesenangan dan pelampiasan di media sosial. Sungguh saat ini Afi adalah bom waktu bagi Bright, bom yang sewaktu waktu bisa meledak kapanpun, dimanapun.

Bright terlihat resah dan gelisah, ia tak bisa diam, terkadang ia akan mengetuk ngetukkan kukunya di meja, menggerak gerakkan kakinya, sungguh Bright sangat gugup saat ini, berbeda dengan Afi yang terlihat tenang dan kadang membalas tatapan Bright dengan sesekali tersenyum kecut.

“oh iya, lupa. Kalian kan belum saling kenal kan?”

tanya win tiba-tiba karena ia belum mengenal kan keduanya.

Bright maupun Afi saling bertatapan, dari tatapan itu Bright mengisyaratkan untuk menjalankan sandiwara tak saling kenalnya, ia tak mau permasalahan yang sudah ia selesaikan menjadi buntut panjang baginya.

Afi kalah juga, ditatap setajam itu oleh dosen PIO bukanlah hal yang menyenangkan.

“heheheh iya win, belom nih”

“ahhhh.... Ini Fi kenalin, ini mas Bright dosen sama pembimbing Pengukuran Psikologi ku, mas Bright ini Afi sahabat ku, aku ketemu dia pas seminar, keren banget dia mas”

puji winata pada keduanya, perkenalan yang luar biasa canggung dan menegangkan Bagi Bright maupun Afi.

Setelah diperkenalkan, tak ada yang menjabat tangan diantara keduanya. Membuat tanda tanya dikepala winata.

“kalian kenapa sih? Kan udah win kenalin, salaman kek, apa kek, kok diem aja” winata kesal sendiri, seperti ada tabir dan tembok maha besar antara Bright dan Afi.

“ah iya, kenalakan saya Bright Dosennya win” Bright memberitakan tangannya untuk Afi salami.

Sedangkan Afi lagi-lagi tersenyum kecut, menyadari Bright meninggikan dirinya dihadapkan dirinya dan Winata, padahal dibalik sosok dosen itu tersimpan sesuatu yang mungkin saja jika Winata tahu akan terkejut dan tak tahu bagaimana meresponnya.

“gue afi, temennya winata”

Jelas sudah, Afi memberikan perang dingin kali ini, tak ada tutur kata sopan seperti yang digunakan Bright, Afi ber (lo-gue) ria, seperti panggilannya untuk starnger, dan dalam kasus ini Bright memanglah 'stranger' yang singgah padanya semalam.

Afi menjabat tangan Bright dan langsung melepaskannya, tak ingin berlama-lama ber salaman dengan Bright.

“eh win, kayak haus nih, katanya, mana kayanya mau di pesenin Milkshake Melon? Sana pesenin dulu win”

Ucap Afi mengusir winata secara halus, ada hal yang harus ia bicarakan dengan Bright saat ini.

“ihhh gak ah, manja banget sih, kamu pesen aja kesana nanti aku yang bayar”

Winata enggan berdiri dari tempatnya, ia sudah terlanjur nyaman.

Afi langsung menatap bright, memintanya pertolongan untuk membuat winata beranjak dari sini, seakan paham Bright langsung berucap.

“sekalian aja win kamu kesana, mas minta pesenin Cheese cake, boleh kan?”

Tanya Bright mencoba selembut dan sesopan mungkin, terdengar manis di telinga winata, namun terdengar menjijikan dan memuakkan di telinga Afi.

“ummm.....yaudah deh, tunggu disini bentar ya, win kesana dulu”

ujar winata yang langsung berdiri dan hilang diantara meja-meja kafe ini.

Tinggallah hanya Bright dan Afi yang tersisa, kecanggungan itu sangat kentara disana, entah bagi Bright maupun Afi, apakah mereka akan terus berpura-pura seolah tak pernah kenal dan bertemu atau akan membahas semuanya disini.

“gue harap lo tepatin janji lo, kita gak pernah kenal dan gak pernah ketemu sebelum ini, bisa?”

Itu Bright, langsung menyampaikan Poinnya, poin yang sudah lama ingin ia sampaikan pada Afi ketika baru saja datang kemari.

Afi terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala, menyadari seorang dosen yang paranoid jika kedoknya terbongkar.

“well, dari hal sesimpel tadi gue bisa nyimpulin, lo..... Sama winata.... Kalian ada rasa kan?” simpul Afi

Bright hanya diam, tak menyanggah karena memang benar dimikian.

“i don't know if i'm being honest, gue ga siap lihat gimana reaksi winata yang tahu kebusukan lo”

Lanjut Afi, emosi Bright sudah ada di ubun-ubun, jika saja tak ada Winata mungkin ia sudah mengajar afi.

“watch your mouth, i didn't want to hurt u right now”

Bright memberikan peringatannya.

“ah wow, daddy”

Ledek Afi dengan panggilan yang mereka mainkan seminggu lalu.

“fuck” Bright berdecak kesal.

“its ok daddy, gue ga bakal bilang ke win rahasia diantara kita, karena dia sahabat gue, dan lo..... Ummmm i don't know what to say, partner sex terhebat gue maybe?”

Lagi-lagi Afi menguji kesabaran Bright, bisa-bisanya Afi berkata seperti itu disaat kafe tengah ramai-ramainya, bisa saja meja sebelah mendengar perkataan mereka berdua.

” shut your mouth, karena resikonya bukan cuma ada di gue, tapi juga lo”

ujar Bright dengan nada gigi bergemeletukan.

Jika dipikir-pikir ucapan Bright benar juga, jika ia memberi tahu winata tentang dirinya dengan Bright, yang terkena imbasnya bukan cuma sang dosen, namun dirinya juga, dan ia tak siap kehilangan sahabat dan partner sehebat dan seloya winata.

Afi mengangguk setelah mencerna dan menimbang baik buruknya. Keputusan sudah diambil olehnya.

“okay, gue izininin lo deketin winata, but once i heard you hurt him...... Ini akhir dari segalanya”

kata Afi memberikan keputusan dan ancamannya pada Bright.

“deal, now just shut your mouth”

Jawab Bright cepat, ada kesepakatan yang terjadi di sebuah kafe bernama kopipedia, sebuah kafe favorit winata menenangkan diri telah dicemari sebuah janji yang menjadi bom waktu bagi ketiganya.

Kopipedia. Semarang, 19 Oktober 2019 05:30 Pm.

Afterglow

Kopipedia Minggu, 19 Oktober 2019 04:30 Pm

Tepat satu minggu mereka tak berjumpa dan tak bertegur sapa, rasanya seperti puluhan purnama bagi Bright dan Winata.

Sejak masih dirumah, Bright sudah mempersiapkan segalanya, apapun yang akan ia bicarakan pada winata, ia tak akan menyangkal apabila Winata menaruh semua kesalahan itu padanya, pun ia akan menaruh semua malunya dibelakang dan akan meminta kesempatan kedua.

Perjalanan dari Banyumanik menuju kopipedia tak lama, hanya butuh 15 menit, sepanjang perjalanan degub jantung Bright terasa semakin berdebar, inilah penentu hubungan mereka berdua, dan ia tak akan menyia-nyiakannya.

Begitu mobil sudah terparkir, Bright buru-buru merapikan kemeja dan rambutnya, pun ia tak lupa membawa satu buket bunga matahari yang sudah ia persiapkan sebagai ungkapan maaf untuk winata.

Ia berjalan masuk kedalam kedai kopi itu, wangi kopi menyambutnya seakan mengucapkan selamat datang, di ujung ruangan sana ada insan yang ia kenal, walau dari kejauhan ia bisa mengenalinya, insan itu adalah winata.

Dimata Bright, Winata terlihat berkali-kali lipat lebih menawan dan lebih manis sore ini, entah karena sudah satu minggu mereka tak jumpa, atau karena memang pesona winata yang selalu berhasil memikatnya.

Dengan langkah mantab, Bright berjalan menuju Winata, menyunggingkan senyuman yang tertular pada insan yang sedang duduk disana. Sekali lagi, senyum itu adalah senyum yang selalu ingin Bright jaga di sisa hidupnya.

Bright sangsi sendiri, melihat bagaimana Winata masih bisa tersenyum disaat ia sudah melukainya, entah apakah ia pantas untuk mengejar cinta winata.

Ia sampai, tepat didepan Winata ia memaksakan sebuah senyuman canggung.

“hai win” sapa Bright setelah berhasil mengumpulkan seluruh keberaniannya.

“hai mas, sini duduk” win menunjuk kursi di depannya, memberikan Bright isyarat untuk segera duduk dan menatapnya.

Begitu mereka sudah berhadap-hadapan suasana menjadi semakin canggung, tak ada yang memulai pembicaraan disini, membuat Bright sangsi dan bingung untuk memulai dari mana.

“win, mas akan jelasin semu....”

“i know, udah gausah di bahas mas, yang udah lalu biarin dibelakang” potong winata.

“mas bukan satu-satunya orang yang bersalah kok disini, win juga salah, win gak dewasa menyikapi hal ini. Win bawa kebencian day ke mas dan itu menurut win salah, dan win sadar sekarang” lanjut win seraya tetap menatap insan Bright.

Sebuah kopi Americano panas dan segelas milkshake dingin tersaji diatas meja, win sudah memesannya sebelum Bright datang kemari, bahkan ia sudah sangat mengenal Bright sampai ke aitem makanan dan minuman favoritnya.

kopi panas itu mengepulkan asap tipisnya dan milkshake dingin itu membuat gelasnya berembun. Dari hal sesederhana itu winata teringat perkataan sang mama, semuanya masih terekam jelas disana, kalau membicarakan masalah berdua dengan kepala dingin adalah jalan keluarnya.

Proses healing itu tak serta merta terjadi secepat kilat hanya dalam waktu satu minggu, masih ada luka disana namun winata memilih untuk merelakan dan mengabaikannya.

Perkataan Winata membuat Bright terkejut, benar-benar terkejut tentang bagaimana Winata bisa bersikap dewasa dan tidak egois menaruh semua kesalahan yang ada padanya.

Dan itu membuat Bright semakin merasa bersalah tentang beberapa hari lalu secara tak langsung ia berhianat pada winata, tentang One Night Stand itu.

Ditengah terperangahnya Bright, winata berucap.....

“btw, bunganya indah banget mas” ucap winata seraya melirik buket bunga matahari yang sedari tadi ada dalam genggaman tangan Bright.

“eh... Iya, ini buat kamu win, bukan apa-apa hanya tanda permintaan maaf mas”

Bright menyerahkan buket bunga itu dan win menerimanya dengan senyum mengembang disana.

Tangan mereka bersentuhan, getaran itu terasa lagi di hati keduanya, nyatanya dua insan ini masih saling mendamba adalah sebuah benang kusut yang harus segera diselesaikan. Hanya ego masing-masing saja yang saat itu menguasai pikiran mereka hingga menyebabkan kekacauan ini.

Win tersenyum, meski jantungnya berdegup lebih cepat ia mencoba menahan dan mengatur nafasnya.

“makasih mas, win suka”

Win menatap bunga matahari itu, bunga yang melambangkan kesetiaan, ia akan setia mengikuti matahari kemanapun arahnya dan menunggu esok dan esoknya lagi untuk bisa berjumpa dengan sang mentari. Win paham sekali filosofi bunga ini. Dalam diam ia berharap kalau Bright juga akan sama setianya dengan filosofi bunga yang kini tengah ada di genggamannya.

“syukurlah kalau kamu suka win, sekali lagi mas minta maaf karena gak ngasih tahu kamu soal Day, mas benar-benar minta maaf soal itu win”

ada raut penyesalan disana, meski benar ia sudah melakukan kesalahan, bohong jika ia tak berharap untuk bisa kembali seperti sedia kala dengan Winata. Hati kecilnya terus berharap seiring respon positif yang winata berikan padanya.

Bright mengumpulkan seluruh nyalinya untuk melakukan sesuatu setelah ini, sesuatu sederhana yang sudah ia sering lakukan pada winata nyatanya menjadi hal yang asing dan sulit Bright lakukan sekarang, hingga harus mengatur nafas dan menimbang-nimbang kembali apakah ia akan melakukannya atau tidak.

Disisa keberaniannya, Bright menyebrangkan tangannya untuk menggengam tangan winata, harap-harap cemas kalau tangannya akan ditepis seperti terakhir kali mereka berjumpa malam itu.

Namun kenyataannya tidak, winata diam dan membiarkan Bright menggenggam tanagnnya, sekali lagi, getaran itu terasa diantara keduanya, setelah satu minggu membagi perih dan sepi sama rata, kini getaran itu muncul lagi, rasa itu mekar lagi.

Win tersenyum melihat tangan mereka yang saling bertautan. Hati kecilnya juga menjeritkan hal yang sama dengan Bright saat ini.

“tau gak mas? Sebenarnya win susah untuk sekedar memberi maaf ke Day maupun ke mas...” ucap winata seraya menatap tangan mereka yang saling menggenggam satu sama lain diatas meja.

“tapi win mau belajar merelakan semuanya mas, semua yang terjadi dibelakang, entah itu masa lalu mas dan masalalu win itu sudah ada dibelakang, win mau kita ada di lembaran baru, memulai semuanya ada awal lagi”

lanjut win kini menatap mata Bright, binar mata winata yang indah dan sarat akan kejujuran terpancar disana, membuat Bright diserang oleh rasa bersalah secara bertubi-tubi karena pernah melukai dan berkhianat diam-diam dibelakang winata.

“jadi sekarang kita baikan kan win? Iyakan?”

tanya Bright semangat, ia sangat senang mendengar ucapan yang ia dengar dari bibir winata.

Winata tak menjawab, hanya memberikan seulas senyum yang menjawab semua keraguan dan semua tanda tanya di kepala Bright satu minggu terakhir, bahwa winata telah memaafkan dan ingin memulai semuanya dari awal, bahwa kisah mereka baru saja menemui lembaran baru yang bersih dan putih siap untuk mereka warnai bersama-sama.

“lets just go back to the way it was” jawab winata singkat.

Jawaban yang dimengerti keduanya, jawaban yang diartikan Bright sebagai babak baru dari perjalanan mereka berdua, senyum itu terukir disana, di wajah Bright maupun winata dan jangan lupa kalau tangan mereka masih saling bertautan dan saling menggenggam diatas meja.

Semuanya terasa indah, seolah mereka tak pernah salah pengertian sebelumnya, seakan semua masalah yang mereka hadapi telah tertinggal jauh dibelakang.

Hingga….

“win, disini ternya……..ta”

After

Kopipedia Minggu, 19 Oktober 2019 04:30 Pm

Tepat satu minggu mereka tak berjumpa dan tak bertegur sapa, rasanya seperti puluhan purnama bagi Bright tak berjumpa dengan Winata.

Sejak masih dirumah, Bright sudah mempersiapkan segalanya, apapun yang akan ia bicarakan pada winata, ia tak akan menyangkal apabila winata menaruh kesalahan itu padanya, pun ia akan menaruh semua malunya dibelakang dan akan meminta kesempatan kedua.

Perjalanan dari Banyumanik menuju kopipedia tak lama, hanya butuh 15 menit, sepanjang perjalanan degub jantung Bright terasa semakin berdebar, inilah penentu buhungan mereka berdua, dan ia tak akan menyia-nyiakannya.

Begitu mobil sudah terparkir, Bright buru-buru merapikan kemeja dan rambutnya, pun ia tak lupa membawa satu buket bunga yang sudah ia persiapkan sebagai ungkapan maaf untuk winata.

Ia berjalan masuk kedalam kedai kopi itu, wangi kopi memyambutnya seakan mengucapkan selamat datang, di ujung ruangan sana ada insan yang ia kenal, walau dari kejauhan ia bisa mengenalinya, insan itu adalah winata.

Dimata Bright, Winata terlihat berkali-kali lipat lebih menawan dan lebih manis sore ini, entah karena sudah satu minggu mereka tak jumpa, atau karena memang pesona winata yang selalu berhasil memikatnya.

Dengan langkah mantab, Bright berjalan menuju Winata, menyunggingkan senyuman yang tertular pada insan yang sedang duduk disana. Sekali lagi, senyum itu adalah senyum yang selalu ingin Bright jaga di sisa hidupnya.

Bright sangsi sendiri, melihat bagaimana Winata masih bisa tersenyum disaat ia sudah melukainya, entah apakah ia pantas untuk mengejar cinta winata.

Ia sampai, tepat didepan Winata ia memaksakan sebuah senyuman canggung.

“hai win” sapa Bright setelah berhasil mengumpulkan seluruh keberaniannya.

“hai mas, sini duduk” win menunjuk kursi di depannya, memberikan Bright isyarat untuk segera duduk dan menatapnya.

Begitu mereka sudah berhadap-hadapan suasana menjadi semakin canggung, tak ada yang memulai pembicaraan disini, membuat Bright sangsi dan bingung untuk memulai dari mana.

“win, mas akan jelasin semu....”

“i know, udah gausah di bahas mas, yang udah lalu biarin dibelakang” potong winata.

“mas bukan satu-satunya orang yang bersalah kok disini, win juga salah, win gak dewasa menyikapi hal ini. Win bawa kebencian day ke mas dan itu menurut win salah, dan win sadar sekarang” lanjut win seraya tetap menatap insan didepannya.

Perkataan Winata membuat Bright terkejut, benar-benar terkejut tentang bagaimana Winata bisa bersikap dewasa dan tidak egois menaruh semua kesalahan yang ada padanya. Dan itu membuat Bright semakin merasa bersalah tentang beberapa hari lalu secara tak langsung ia berhianat pada winata, tentang One Night Stand itu.

Ditengah terperangahnya Bright, winata berucap.....

“btw, bunganya indah banget mas” ucap winata seraya melirik buket bunga yang sedari tadi ada dalam genggaman tangan Bright.

“eh... Iya, ini buat kamu win, bukan apa-apa hanya tanda permintaan maaf mas” Bright menyerahkan buket bunga itu dan win menerimanya dengan senyum mengembang disana.

“makasih mas, win suka”

ia menatap bunga matahari itu, bunga yang melambangkan kesetiaan, ia akan setia mengikuti matahari kemanapun arahnya dan menunggu esok dan esoknya lagi untuk bisa berjumpa dengan sang mentari. Win paham sekali filosofi bunga ini.

“syukurlah kalau kamu suka win, sekali lagi mas minta maaf karena gak ngasih tahu kamu soal Day, mas benar-benar minta maaf soal itu win”

Bright menyebrangkan tangannya untuk menggengam tangan winata, sekali lagi, getaran itu terasa diantara keduanya, setelah satu minggu membagi perih dan sepi sama rata, kini getaran itu muncul lagi, rasa itu mekar lagi.

Win tersenyum melihat tangan mereka yang saling bertautan.

“tau gak mas? Sebenarnya win susah untuk sekedar memberi maaf ke Day maupun ke mas...”

“tapi win mau belajar merelakan semuanya mas, semua yang terjadi dibelakang, entah itu masa lalu mas dan masalalu win itu sudah ada dibelakang, win mau kita ada di lembaran baru, memulai semuanya ada awal lagi”

“jadi sekarang kita baikan kan win? Iyakan?” tanya Bright semangat, ia sangat senang mendengar ucapan yang ia dengar dari bibir winata.

“kalau itu mau mas, win bisa apa ahahahhaah” win memutar bola matanya berakting seolah ia terpaksa.

Mereka berdua tertawa bersama, seolah tak pernah berseteru sebelumnya, seakan semua masalah yang mereka hadapi telah usai di belakang sana.

Enchanted

Winata Aditya POV

Pernahkah kalian merasa seperti 'tersihir' saat bertemu dengan seseorang?, merasa tersihir dalam pandangan pertama, merasa tersihir seakan kalian akan bertaruh apapun untuk mendapatkan cintanya, merasa tersihir seakan kalian sanggup menghadapi segala risiko untuk mendapatkannya, meskipun ia adalah orang asing.

orang asing yang mungkin kalian tidak pernah temui sebelumnya, orang asing yang bahkan kalian tak pernah bertegur sapa, orang asing yang tidak kalian ketahui akan mengubah pandangan kalian tentang dunia dan cinta, iya. Aku pernah, bahkan sampai saat ini 11 tahun berlalu. Sejauh apapun jarakku dengannya, sekeras apapun aku berusaha untuk melupakannya, nyatanya aku akan tersihir sekali lagi dan mungkin berkali-kali lagi ketika melihatnya, nyatanya perasaan yang aku kubur dan aku pendam dalam-dalam akan bersemi dan bermekaran kembali ketika ingatanku mencoba untuk mengenangnya.

Bian Bagaskara, satu-satunya insan yang dapat menyihirku dan tak bisa lepas dari mantranya, menyihir otak dan hatiku secara bersamaan, melemahkan seluruh inderaku ketika bersamanya, darinya aku belajar banyak hal salah satunya adalah bagaimana cara kita memaknai apa itu arti dari 'cinta'.

***

“dasar lemah, gara-gara lo kelas kita kalah kan dari tim lawan!” bentak 1 anak.

“ga ada gunanya emang lo ya selain jadi beban dan nyusahin orang” cemooh yang lain.

“otak lu boleh berlian, tapi selain itu lu itu sampah tau gak!” olok yang lainnya lagi.

Win hanya bisa menatap ketakutan, bullying seakan sudah menjadi hal yang lumrah ia hadapi dari awal sekolah hingga sekarang duduk di kelas 8 smp. Namun kali ini dengan suasana yang berbeda yang membuat ia lebih ketakutan karena ia adalah sebab dari kekalahan taruhan sepak bola antar kelas.

***

” i-iya win minta maaf.... na-nanti win ganti uang taruhannya. Maafin win ya” jawabku terbata-bata.

Meskipun harus mengganti uang taruhan dengan uang tabungan yang aku punya tapi aku akui bahwa akulah penyebabnya, akulah yang patut disalahkan, aku memang tidak becus, aku memang lemah, aku benci diriku yang lemah ini.

” mentang-mentang lu anak orang kaya lu bisa seenaknya gitu? Ini bukan masalah uang gob*ok! Harga diri kelas kita mau di taroh dimana! Lu harus dikasih pelajaran kayanya ya biar kapok” kalimat terakhir itu membuatku takut.

“lu memang lemah dan gak berguna win” timpal yang lain.

Dan untuk kesekian kalinya win merasakan sakit, sakit yang sama seperti yang ia akrabi bertahun-tahun belakang. Tidak, ini lebih sakit dari biasanya. 10 orang teman-temannya mengeroyoknya di belakang sekolah seusah pertandingan selesai, ia hanya bisa pasrah karena selama ini ia merasa bahwa dirinya memang hanyalah sebuah beban, beban bagi orang lain dan siapapun yang ia temui.

Ditengah pasrahnya, ada sepasang bola mata yang melihat kejadian itu dan segera berlari memanggil beberapa guru untuk meminta pertolongan.

“HEY....KENAPA ITU RAMAI-RAMAI” teriakan itu sukses mengakhiri penderitaan win kala itu, ya setidaknya untuk saat itu. 10 orang itu lari kesegala arah karena takut akan dihukum oleh gurunya.

“win... win bangun nak. Bian tolong bantu bapak bawa win ke UKS segera ya, bapak akan panggil guru bk untuk ngurus masalah ini” perintah salah seorang guru yang brian panggil untuk ia mintai pertolongan.

“iya pak, win biar saya aja yang bawa ke UKS....win..win ayo ke UKS, lecet sama memar ini pasti sakit”

“i-iya....“jawab win lemah.

Kedua anak itu tergopoh-gopoh menuju UKS, yang lebih tua memapahnya dan anak yang lebih muda melilitkan tangannya keleher yang lebih tua seraya menahan sakit yang ia rasakan.

***

“ah sudah bangun ternyata”

Ketika membuka mata, yang win ingat hanya sakit...sakit karena lecet dan memar di beberapa bagian badannya yang tidak bisa disembunyikan perihnya, tapi ia juga ingat ada seseorang yang menolongnya, orang itu memapahnya ke UKS sebelum pandangan matanya menjadi gelap.

“i-iya , ma-makasih ya udah nolongin” jawab win canggung

“bukan masalah besar kok, ga perlu berterimkasih” bian menanggapi

“lain kali kalau kejadian lagi kaya tadi tuh dilawan...kamu cowo kamu harus kuat. Setidaknya kalau gak bisa ngelawan ya lari cari bantuan, jangan pasrah-pasrah aja kaya tadi” lanjutnya lagi

“aku....aku...”

“aku yakin kamu gak lemah...kamu gak lemah seperti yang orang lain pikirkan. Aku tau kamu kuat...lain kali kalau ada kejadian kaya tadi lebih baik dilawan oke?”

“aku takut.....”

“apa yang kamu takuti? Teman-temanmu? Mereka bukan temanmu win.... sadar. Teman gak akan melakukan hal bodoh seperti ini ketemannya”

Sadar yang lebih muda tertunduk dan menahan tangisnya, brian duduk di ranjang tepat sebelah win untuk merengkuhnya dalam peluk. Diperlakukan sedemikian rupa membuat tangis win pecah... ia menangis sejadi-jadinya saat itu.

“sampai kapan kamu memandang dirimu lemah win?” bisik brian yang masih memeluk win dalam peluknya.

“kamu itu kuat, kamu itu hebat.... Siapa yang bisa memenangkan olimpiade matematika dan fisika 2 tahun berturut-turut? Itu kamu win. Siapa yang selama ini selalu menjadi siswa terbaik setiap semester? Itu kamu win. Kamu kuat. Kamu hebat. Lebih hebat dari mereka... anggap saja mereka hanya iri gak bisa hebat kaya kamu win, kapan kamu bisa memandang dirimu sebagaimana orang lain memandang dirimu itu hebat?” jelas bian (Kapan kamu bisa memandang dirimu sebagaimana aku melihatmu win).

Win tahu, anak laki-laki ini sedang berusaha memberinya semangat, sedang mencoba memberinya motivasi. Tapi benarkah kalau ia sehebat itu? Seperti yang dikatakan anak laki-laki yang sedang memeluknya dan menjadi sandaran saat ini?

“aku- aku hanya takut tidak punya teman” jawab win yang masih terisak.

Bian melerai pelukan mereka dan menatap mata anak bergigi kelinci dengan sangat dalam sebelum berkata-kata.

“mulai hari ini aku akan jadi teman kamu okay? Aku mau kamu sadar kalau kamu itu hebat dan berharga, setidaknya untuk orang-orang yang kamu sayangi, untuk keluarga, untuk sekolah ini pun kamu sangat berharga win” jelas bian.

Yang sedang ditatap hanya bisa menatap dengan ekspresi bingung yang kemudian menjadi seulas senyum, tersipu kah ia?

“ah iya namaku Bian Bagaskara, kelas kita sebelahan.... Kamu bisa panggil aku bian, gimana masih sakit kah lukanya? Nanti aku antar pulang ya”

Di detik itu juga win merasa 'tersihir' karena dipertemukan oleh seseorang yang dapat melihat dirinya sebagai manusia, sebagai seseorang yang kuat, sebagai pribadi yang hebat dan yang lebih dari segalanya adalah kenyataan bahwa ada yang menganggap dirinya berharga.

“i...iya makasih ya”

jawab win yang kemudian mengalihkan pandangannya ke penjuru ruangan, ia tersipu. Tidak, ia tersihir lebih tepatnya, tersihir dan tak berani menatap mata itu lagi.

“aku win.... Winata aditya” lanjut anak yang lebih muda

“iya tahu kok... aku rasa satu sekolah juga kenal kamu kan. Siswa terbaik yang selalu menang lomba dan olimpiade. Aku heran. Kamu kok bisa pinter banget sih... aku aja ngerjain al-jabar rasanya otakku uda panas kaya mau meledak. Apalagi ngerjain fisika yang isinya Cuma rumus-rumus dong. Kok bisa sih win?” cerocos bian tanpa jeda, yang sedang ditanyai hanya bisa tersenyum.

tanpa sadar ada perasaan yang menghangat....entah hanya kepada satu anak atau mungkin keduanya?

***

KRIIIIIIINGGGGGGG

Suara yang memekakan telinga sudah terdengar, jam sekolah telah usai dan siswa berbondong-bondong untuk pulang. Berbeda dengan 2 insan yang berada di sebuah ruangan ini, yang lebih muda terjaga dari tidurnya karena suara tadi sedangkan yang satunya tertidur dalam kondisi terduduk dan kepala berada di samping badan win sekarang ini.

Win memperhatikannya dengan lekat dan hati-hati, sangat hati-hati kalau brian tiba-tiba terbagun dari tidurnya, sesaat tadi brian sangat keras kepala untuk menjaganya di UKS dan memaksa guru yang berjaga di UKS untuk diijinkan berada disini bersamanya. Padahal ia tahu kalau kalau brian sangat benci matematika dan ia memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur dari kelas? Begitukah? 'ah tidak tidakkk win. Dia udah berbaik hati menolong dan menjagamu bukankah kau berhutang budi padanya?' setidaknya itulah yang ada di kepala win saat itu.

“kak.... Kak bian. Bangun kak”

“eeemmmhhhh iya gimana win? mau peluk lagi? sini”

“apaan si kakkk... enggak...itu kayanya bel pulang sekolah udah bunyi deh kak”

“aaahhhhhhhhh iya-iya . eh jangan panggil kak dong. Kan kita satu angkatan dan selisih 6 bulan aja”

“ahahahha gapapa, win lebih nyaman panggil kakak aja”

“yaudah lah...eh ayo pulang, aku antar ya. Bentar aku ambilin tas kita dulu ya dikelas”

setelah itu bian buru-buru menuju kelas untuk mengambil tas mereka. Padahal win tahu kelas mereka terpisah tapi bian sangat baik saat ini. Kenapa? Mengapa?

Sungguh perkenalan yang tak terduga untuk win, perkenalan secara tak sengaja yang saat ini sukses membuat hatinya menghangat dan tersenyum.

“yuk win pulang.... Bisa jalan kan?”

“bisa kak.. tapi pelan-pelan ya kaki win agak sakit”

“iya ayo aku temenin sampe rumah kok”

Yang lebih muda hanya bisa mengangguk dan menyampaikan terimakasihnya

“makasih ya kak, win ngerepotin terus dari tadi”

“hey enggak kamu ngga merepotkan. Oke? Kita uda bicara banyak tadi, ingatkan?”

“ingat.... Sekali lagi makasih ya kak”

“udah ah makasih mulu ayo cepetan kita pulang” bian segera masuk uks dan membantu win untuk berjalan.

Begitulah mereka, dipanas teriknya matahari. Ada 2 anak yang jalan beriringan menuju jalan pulang ,pelan-pelan dengan perasaan yang menghangat.... Entah untuk win atau untuk brian? Atau bisa saja keduanya.

***

“in-ini beneran rumah kamu win?” tanya brian setelah itu ber wow ria.

“i-iya kak... mampir yuk, mama pasti seneng win bawa temen kerumah” ajak win sangat antusias.

Yang diajak hanya bisa mengangguk-ngangguk sambil mengedarkan pandangnnya keseluruh penjuru halaman. Rasa-rasanya ia bisa bermain sepak bola hanya di halaman rumahnya win. Masih dengan rasa kagetnya karena selama ini win tidak pernah menunjukkan kalau ia adalah anak dari orang yang berada. Brian berpikir kenapa win capek-capek jalan kaki kalau bisa di antar dengan mobil-mobil mewah yang ada di garasi tadi?.

“mamaaa win pulaaaang.....” seru win pada wanita yang tengah menonton tv

“ah iya anak mama udah pulang....loh loh ini kenapa kok muka sama badan ada memar-memar gini win?”

“eummmmm tadi win jatuh dari tangga mah... lalu ditolongin temen win... ah iya mah ini kak bian” jelas win pada mamanya, meski bian tahu kalau win berbohong.

“siang tante” yang di perkenalkan langsung maju dan menyalami mama dari temannya degan sopan.

” ah iya nak....akhirnya temen win ada yang main kerumah ya... selama ini win ga pernah tuh bawa teman-temannya kerumah. Win itu muka udah di kasih obat belum? Ajak bian ke atas setelah itu makan siang ya... nak bian makan sekalian ya, ga ada penolakan pokoknya”

“iya tante.... Makasih tante”

“tante yang makasih uda nolongin si win”

“yuk kak....” Ajak win agak canggung.

Sesampainya di kamar win langsung masuk kamar mandi untuk mencuci muka, tangan dan kaki, setelahnya segera mengganti seragam dengan pakaian rumahan yang menurutnya nyaman.

“kenapa kamu bohong ke mamamu soal tadi?”

Yang di tanyai tertegun dan sempat hening beberapa saat

“mama ga boleh tahu kak tentang hal yang sebenarnya terjadi... win gamau mama khawatir dan gamau kejadian win di SD harus terulang lagi dan akhirnya win pindah-pindah sekolah....capek kak”

Setelah mendapat jawaban begitu rupa bian hanya mengangguk-ngangguk

“terus kenapa kamu sekolah malah jalan kaki? Kan lumayan jauh, Kenapa ga minta di antar pakai mobil aja? Jujur loh aku kaget rumah kamu gede banget gini... tapi kamu gak pernah tuh kaya disekolah keliatan anak orang kaya raya gini”

“ahahhah kak apaan sih... engga win lebih nyaman jalan kaki aja..sehat tau jalan kaki”

'wiiiiinnnn.....turun nak ayo makan siang dulu. Bian diajak sekalian yaaa....”

Suara mamanya dari bawah sangat nyaring sekali sampai kamar win padahal win di lantai 2.

“iya maahhhh...” balas anak bergigi kelinci .

“yuk kak makan dulu kebawah” ajak win

Bian hanya mengekor kebawah, sungguh makan siang hari itu adalah salah satu makan siang terindah yang pernah win lewati, penuh canda tawa antara brian, win, maupun mamanya. Karena antara brian dan mamanya pun sangat suka bercanda dan nyambung.

“makasih ya kak udah nolongin win.... Makasih untuk semuanya” ucap win dengan senyum di kalimat akhirnya. Kini ia mengantar brian ke halaman depan rumahnya.

“iya aku juga makasih...besok ketemu di sekolah ya. Inget kita uda resmi temenan kan hari ini” jawab brian berhasil membuat win kikuk.

“ah – iya kak iya hehehhe”

“sini boleh pinjem hapenya?” tanya brian yang direspon dengan wajah bingung si anak gigi kelinci di depannya.

Kelamaan, brian langsung menyahut HP milik win dan segera mengirimkan pesan ke ponselnya sendiri.

“nanti aku kabarin ya kalau uda sampai rumah”

Sampai dititik ini win paham kalau brian mencoba meminta nomor ponselnya walau dengan caranya yang tergolong unik tersebut.

“iya kak... hati-hati ya dijalan” responnya dan di akhiri dengan senyum lebar yang sangat menawan.

“pasti... aku gabakal tuh jatuh dari tangga dan nyungsep sampe memar-memar hhahahhahaha” jawab brian mengaitkan kebohongan win sedari tadi.

Yang di sindir hanya mengtupkan mulutnya memperlihatkan reaksi kesal, anehnya bagi brian wajah itu nampak lucu dan apa namanya ? imut ? iya sangat imut sekali.

“yaudah... aku pulang ya win”

“iya kak makasih”

Dan mereka pun berpisah...anak yang berbadan lebih kecil memandang punggung anak yang berbadan lebih besar perlahan-lahan menjauh dari pandangan matanya.

***

Mama Waduk Sempor 07:00 Am

Winata dan sang mama ada disana, di pinggir sebuah waduk indah. Padahal win tak meminta untuk dibawa kemari, namun itulah sang mama, ia paham tiap kali sang putra tengah menghadapi masalah maka ia akan bawa ke pinggir waduk ini.

“Ma, win gapapa kok, win gak ada masalah ma”

Mereka sama-sama memegang pagar dan menghadap pada derasnya air yang mengalir dibawah sana.

“nak, pikiran itu seperti parasut, kalau ia tidak terbuka sempurna, maka sia-sia” sang mama tak menanggapi ucapam winata namun langsung memberinya nasihat.

Win hanya diam, sebayak apapun ia berkata kalau ia baik-baik saja, ia tak akan bisa membohongi sang mama yang sudah sangat mengenalnya.

“hidup ini memang kejam dek, tapi di tengah dunia yang kejam ini, jadilah orang baik ya?” sang mama menoleh dan melihat Winata yang menatap ke arah air yang mengalir deras.

Win masih diam, dicernanya tiap kalimat sang mama.

“mama tahu adek lagi ada masalah kan? Iya nak, bukan hidup kalau isinya cuma bahagia saja, hidup itu tentang waktu......”

sang mama membelai rambut anaknya yang di terbangkan angin dan mengacaknya, baginya Winata tetaplah anak balitanya yang masih harus ia jaga dan ia rawat sepenuh hati.

“hidup itu tentang waktu sayang, waktu yang adek habiskan untuk berbagi ataupun menyimpan rasa, waktu yang adek habiskan untuk memberi atau menerima dan waktu yang adek habiskan untuk membenci atau mencintai”

Sang mama memeluk anaknya dari samping, dan winata reflek membalas pelukan itu, pelukan ini adalah rumah bagi winata setelah lelahnya menghadapi pesoalan hidup, pelukan ini adalah tempat kembali bagi winata setelah lelahnya menapaki perjalanan. Begitu damai, begitu menenangkan, pelukan ibunda bisa mengobati segalanya.

“ma, kalau kita dihadapkan di situasi yang sama dua kali, apa yang haris kita lakukan ma?”

tanya winata dalam peluk sang mama, sedangkan sang mama tersenyum dan membelai rambut hitam sang anak, tersenyum karena akhirnya sang putra menceritakan dan membagi beban hidupnya.

“kalau dua kali, berarti adek pernah dihadapkan disituasi yang sama kan?”

Win mengangguk

“coba jujur sama mama, di situasi pertama keputusan apa yang adek ambil?”

“win benci orang itu ma, win benci sama dia ma” win mulai terisak di pelukan sang mama, pikirannya berkecamuk mengingat kembali apa yang day lakukan padanya.

“lalu? Kira-kira anak mama yang manis ini bisa gak maafin dia?”

Win menggeleng dan sang mama tersenyum melihat respon anaknya, ia paham win masih harus dibimbing dan diberi tahu tentang gambaran hidup.

“win sayang, dengerin mama ya?”

Win mengangguk, air mata sudah ada dipelupuk matanya.

“maaf itu gunanya bukan buat mereka sayang, maaf itu gunanya buat adek, buat kamu, buat diri kamu sendiri. Kenapa begitu? Maaf itu bukan tentang melupakan kejadian yang sudah terjadi sayang, maaf itu untuk merelakan apa yang sudah terjadi dan karena kamu pantas mendapatkan ketenangan, kedamaian hidup. Coba jujur sama mama, dengan membenci apa yang adek dapet? Gak ada kan? Yang ada hanya rasa benci dan dendam semakin besar kan? “

Win sudah berairmata dipelukan sang mama, ia mengangguk.

“nah sayang, mulai sekarang jika adek dihadapkan pada hal yang sama kira-kira apa yang harus adek lakukan?”

Win tak menjawab, ia menangis dalam diam, sehancur apapun ia, sekuat apapun ia menyembunyikan masalah, nyatanya sang mama adalah orang nomor satu yang akan menyadarinya meski tak ada satu patah kalimatpun yang terucap.

“sini lihat mama sayang”

sang mama melepaskan pelukannya dan membuat dirinya berhadap-hadapan dengan sang putra, mata sembab winata berbicara semuanya padanya, tak perlu sang putra menceritakan semuanya padanya karena mata tak akan pernah berdusta.

“mama tanya sama adek, adek udah tahu kan kalau membenci itu gak ada gunanya dah bahkan bisa jadi penyakit hati, nah karena adek udah pernah dihadapkan disituasi yang sama, kira-kira keputusan apa yang adek harus ambil sekarang?”

Ia membelai rahang sang putra, ia seperti berkaca sekarang, Winata yang sekarang adalah dirinya ketika masih muda dulu, begitu muda dan rapuh hanya karena masalah hidup yang sebenarnya tak seberat itu.

“maaf ma, win akan maafin untuk kali ini” jawab win seraya menghapus airmata yang masih tersisa.

Sang mama tersenyum dan melebarkan tangannya sebagai tanda untuk kembali memeluk anaknya.

“winata sayang, iya mama paham kalau memberi maaf itu berat dan sulit, tapi bukan berarti tidak bisa.....”

“mama sudah hidup lebih lama dari adek, mama sudah menghadapi manis pahitnya kehidupan. Mama mau dari nasihat mama tadi, kamu gak pernah salah untuk ambil keputusan”

Winata kembali terisak, ia menangis dalam pelukan sang mama.

“iya sayang, kamu anak hebat, kamu anak mama paling kuat dek, makasih udah bertahan sejauh ini ya sayang, makasih sudah bertahan di dunia yang kejam seperti ini, kamu punya mama”

Tangis winata semakin pecah dan menjadi jadi mendengar perkataan sang mama. Perkataan sederhana yang bisa menguatkan dan melapangkan dadanya.

“adek gak harus memberi maaf itu sekarang, bisa nanti seiring berjalannya waktu. Setikdanya untuk saat ini adek sudah tahu kan keputusan apa yang harus di ambil agar tak terulang lagi hal yang sama?”

Winata mengangguk.

“jadi sayang, dengerin mama baik-baik, meski susah dan meski tak mudah, tetaplah jadi winata yang mama kenal ya? Jadilah anak mama yang riang dan pemaaf, mama tahu winata anak baik, mama tahu winata anak mama paling kuat dan paling tegar, adek gak harus pendam semua masalah sendiri sayang, ada mama ada siwi ada kak mesa dan masih banyak lainnya kan” ucap sang mama

“memang win, terkadang ketika manusia mendapat masalah ia akan menyalahkan orang lain atau bahkan menyalahkan keadaan tanpa mau melihat pada dirinya sendiri, lalu gimana cara mama evaluasi diri ketika dulu masih seumuran kamu?”

“mama akan pergi melihat alam dan akan merenung disana, lihatkan dek waduk besar yang ada di depan kamu”

perintah mama dan di turutin winata, ia mengalihkan padangannya pada waduk yang membentang luas didepannya. Begitu indah ciptaan yang maha kuasa.

“lihat dan amati sayang, betapa kecil dan tidak berharganya kita di hadapan alam semesta, jadi? Untuk apa sih hidup untuk membenci, gak ada gunanya kan? Mulai sekarang kalau anaknya mama paling manis ini ada masalah, dibicarakan berdua, di selesaikan dengan kepala dingin”

nasihat itu didengar dan direkam oleh otak winata baik-baik, ia menyimpannya sebagai memori yang tak akan pernah ia lupa.

Win tersenyum melihat dirinya yang begitu kecil dihadapan semesta, ia pernah menyalahkan takdir atas kejadian ini, namun sekarang ia sadar bahwa ialah satu-satunya yang bisa mengubah takdir itu.

“makasih ma” ucap winata dan kembali memeluk sang mama tercinta.

Begitulah, kita memang begitu kecil dan tak berharga dihadapan alam semesta, lalu mengapa memilih untui membenci dari pada saling mencintai dan saling memiliki?

Waduk Sempor Senin, 13 oktober 2019 07:30 Am

.

Take me home Slawi 12 oktober 2019 08:00 Pm

Winata terbangun dengan keadaan kepala yang masih nyeri, sekelibat wajah bright dan day masih ada dipikirannya kian membuatnya pusing sendiri, ia terbaring di sebuah kamar dan di sofa sana ada orang yang ia kenal namun ia ragu untuk mengenalinya, apakah itu bright atau day?

Jam menunjukkan pukul 8 malam, selama itu winata tak sadarkan diri karena shook yang ia alami, jika bisa ia sudah berlari dan pulang menggunakan taksi saat ini, namun tubuhnya masih lemas bahkan sekedar menggerakkan kaki rasanya masih berat.

Winata mencoba mengingat kembali apa yang terjadi, samar-samar yang muncul di ingatannya adalah bagaimana day menipu dan memanipulasinya ketika di kamar mandi, ia merasa terbodohi, ia merasa jijik dengan dirinya sendiri, ia merasa tak pantas untuk siapapun, jadilah ia menangis disana, diatas ranjang winata menangis dan menertawai takdir yang terus mempermainkannya.

Winata terisak, isakannya kian terdengar meski ia mencoba menangis dalam diam, rasa sakit dan perihnya seakan menjadi luka baru lagi, Bright yang tertidur disofa samar-samar mendengar isakan itu, membuatnya terbangun dari tidur dan langsung sadar kalau itu adalah isakan winata.

“win? Win udah bangun? No, don’t cry”

ucap bright yang langsung bangkit dari sofa dan mendekat ke ranjang, diambilnya kursi di sebelah nakas dan ia duduk disebelah ranjag, tepat disamping winata.

Win yang tengah berairmata itu melirik pada Bright, hanya jas hitam itulah caranya membedakan antara bright dan day.

“mas…”

“iya win, iya mas ada disini”

jawab Bright seraya membawa tangan winata dalam genggamannya. Namun yang terjadi selanjutnya membuat Bright tercengang, winata menarik tangannya yang tengah ada dalam genggaman bright, menarik dan menepis kembali ketika bright akan menyentuh tangannya.

“win mas bisa jela….”

“take me home mas” ujar winata membuang pandangannya kearah berlawanan dengan bright.

“win kita bisa pulang besok”

“no, take me home right now” jawab winata dengan isakan disana.

Rasa sakit dan perih itu terus menghancurkannya hingga berair mata. Bright mengangguk, ia paham kalau ia telah melakukan kesalahan fatal. Kesalahan yang ia tak tahu bagaimana menebus dan meminta maafnya.

***

Perjalanan pulang itu terasa sangat lama, berbanding terbalik dengan perjalanan mereka ketika berangkat, perjalanan kali ini tak ada tawa dari bright maupun winata, tak ada obloran-obrolan hangat, hanya tersisa sunyi dan diam diantara mereka berdua serta dinginnya suasana.

Ada winata yang membuang pandangannya kearah jendela dan ada bright yang tak tahu menjelaskan dari mana. mobil mereka melaju kencang dari Slawi menuju Semarang, mengantarkan winata untuk segera pulang sesuai keinginannya.

Pukul 10:20 malam mereka sampai di pelataran Graha Estetika, mesin mobil dimatikan dan tertinggal sunyi yang menggantung diantara mereka berdua.

“sejak kapan?” suara win memecah kesepian diantara keduanya.

“maaf win, mas gak bermaksud untuk nutupin ke kamu soal i….”

“but you did it mas, sejak kapan? Just tell me the truth even it hurts for me mas, just tell me”

winata menahan air mata yang terbedung di pelupuk matanya, ia memandang keluar jendela dan enggan menatap bright yang kini menatapnya dengan tatapan bersalah.

“sejak sebulan lalu win, maaf mas gak berani ngasih tahu kamu, mas hanya takut kalau kamu menjauh ketika kamu tahu mas bright kakaknya Day, maaf win” bright mencoba meraih tangan kanan winata, namun lagi-lagi winata menepisnya.

“I should know it at the first place, kalian sama, kalian identik, dan harusnya win udah tahu sejak awal but I don’t know why im still surprised mas, this shit really fucked me up” win berairmata disana, isakannya membuat Bright semakin teriris dan rasa bersalah itu kian dalam, wajah penyesalan bright yang tak berani menjelaskannya dari awal, wajah penyesalan bright mengapa ia tak mendengarkan perkataan Gawin hari itu.

Bright terdiam dalam duduknya, ia tertunduk lesu menyadari ia lah penyebab dari kekacauan hari ini, penyebab kekacauan hubungan yang sudah mereka berdua bangun dua bulan terakhir.

“udah ya mas, win pulang”

ucap win pamit, ia membuka pintu dan siap melangkah keluar, namun ketika kakinya baru saja akan melangkah keluar mobil tanganya di genggam dan ditahan oleh bright.

“win kita harus bicarain ini berdua win, mas butuh kamu buat dengerin penjelasan mas”

ucap bright lemas, sedangkan win tak mau repot-repot melihat kearah bright yang terlihat memohon padanya.

“its so funny how we thought the future seem so bright right?, but now? I don’t know how to said it”

“win please, mas bright butuh kita bicarain ini berdua baik-baik win”

Air mata win jatuh juga, air mata dan isakan yang sedari tadi ia tahan-tahan kini mengucur keluar, hatinya terasa semakin tersayat tak bisa membedakan rasa sakit karena membenci day dan rasa sakit karena mencintai bright.

“win kira ketika mas bilang untuk sama-sama saling mengenal satu sama lain itu benar adanya mas, ternyata win salah, ternyata Cuma win yang mencoba terbuka dan jujur sama mas ya? Ternyata selama ini win berjuang sendirian ya mas? hahahahhah”

isakan itu bercampur tawa yang perih untuk didengar, seperti sedang menertawai takdir yang bermain-main dengan mereka.

“win udah kasih waktu untuk mas bright sebanyak mungkin yang mas mau, namun nyatanya sampai sekarang tak ada kejelasan diantara kita kan mas?” lanjut win susah payah menyelesaikan ucapannya karena hanya isakan saja yang kini terdengar.

“win bukan gitu maksud mas win, mas Cuma ma…”

“no, I can’t. untuk sekarang gantian win ya yang minta waktu sama mas? Win minta waktu buat nenangin diri dan nenangin hati win dulu”

tangis campur isakan itu semakin menjadi jadi. Membuat hati bright semakin sakit ketika mendengarnya dan semakin menyakitkan ketika ialah penyebab dari tangis itu.

“win mas mohon jangan gini, kita bisa perbaiki semuanya ya?” mohon bright yang masih meminta dan menggenggam pergelangan tangan winata.

“makasih mas”

ucap win yang langsung menepis tangan bright yang meggenggamnya, membuat kekosongan itu semakin nyata.

Setelahnya win berjalan dalam isak dan tangis yang semakin sakit ia rasakan, dingin dan sepi itu kini mereka rasakan bersama, membaginya sama rata dan sama perihnya untuk mereka ratapi sendiri-sendiri, dibawah langit semarang kini terasa dingin dan asing bagi bright maupun winata.

Bright rasanya ingin meledak atas kebodohan yang ia perbuat, andai saja dari awal ia jujur pada winata, andai saja dari awal ia berani menceritakannya, andai saja ia tak bodoh seperti ini, melihat winata berjalan dan semakin jauh dalam jangkauannya adalah sebuah perih tersendiri bagi bright, menyadari winata berjalan dengan isak tangis dan airmata karenanya.

Semarang,12 oktober 2019. dibawah langit semarang yang menjadi saksi antara bright dan winata.

Realized

Ciuman itu terasa semakin panas, ciuman day semakin menuntut winata untuk terus memacu mereka kehilangan kendali. Hingga win sudah tak sanggup lagi karena rasanya sangat berbeda, ciuman kali ini penuh paksaan dan dominasi, tidak sepeti bright yang ia kenal.

“mas udah....ahhhh...hahhhh....udah mas”

“kenapa hmmm? Gak mau lagi?” tanya orang yang masih belum winata sadari sosoknya.

“not here mas, tujuan kita kesini kan mau ke nikahan adeknya mas kan? Yuk keluar aja”

Win tersenyum dan langsung menggandengnya ke tempat resepsi dilaksanakan.

Langkah nya semakin terasa berat, kakinya semakin kehilangan kemampuan untuk melangkah ketika Winata melihat Bright di ujung sana masih menggunakan jas hitamnya, otaknya menipu dirinya, membuat dirinya bingung sendiri, tak terhitung Winata menatap bergantian antara Bright yang ada diujung sana dengan orang yang ia genggam tangannya.

Kepala winata berdenyut sakit, semua kemungkinan buruk itu terus muncul di pikirannya hingga ia beranikan untuk melepas genggamannya.

“da...... Day?” ujar win pelan namun bisa di dengar oleh insan yang tadinya ia genggam tangannya.

“ya? Kenapa? Do you miss me bunny?” respon Day yang langsung menusuk ulu hati Winata, sakitnya tak terkira mengingat apa yang telah mereka lakukan tadi.

Win berhenti melangkah, mereka menjadi perhatian semua orang yang menjadi tamu undangan, tak terkecuali Bright yang terkejut karena Win lebih dulu menemui Day sebelum ia mengenalkannya terlebih dahulu.

Maka dari itu Bright mendatangi mereka berdua dan kini Winata dihadapkan oleh dua orang yang memiliki wajah dan fisik yang sama.

Kepalanya semakin sakit berdenyut, ia kesulitan mengatur nafas karena sesaknya pernafasan.

“win ini....” ucapan bright teropong ketika win menempatkan jari telunjuknya tepat di mulut bright sebagai isyarat untuk diam.

Dipandanginya antara Bright dan Day bergantian, ia masih tak percaya dengan apa yang ia saksikan, ia tak tahu harus memberikan respon seperti apa, ia terlalu bingung bahkan untuk berfikir dan mencerna keadaan sekalipun.

“loh day sayang, kok disini. Eh ada winata? Win datang mau lihat day nikah ya? Ohhh datang sama Bright ya tadi dari semarang?” itu suara yang Winata kenal, ketika dulu masih di semarang ia dekat dengan sang mama dari Day, kekasihnya.

“i.... Iya tante” win tak tahu lagi skenario yang sedang dijalankan tuhan untuk mengerjai dirinya saat ini.

“ohhh, udah tahu kan kalau Bright itu kakaknya Day? Ya baguslah kalau kalian udah bisa saling merelakan”

Ia terlalu shook untuk memproses apa yang sebenernya terjadi, kepalanya terlalu sakit karena mengingat semua kejadian di masa lalu antara dirinya dengan Day, dan ia masih belum percaya kalau Bright yang ia kenal adalah kakak dari Day, orang yang meninggalkannya tanpa alasan dua tahun lalu.

Winata mendengar namun rasanya seperti tak mendengar, semua suara bising di ruangan ini terasa sunyi di telinganya, nafasnya semakin terasa sesak, lututnya tak mampu lagi menompang beban tubuhnya, matanya kini menggelap. Dan yang terjadi selanjutnya ada Winata terjatuh tak sadarkan diri di tengah pesta pernikahan yang terus berjalan.

Dejavu

Semarang – slawi.

Mereka berangkat dari Semarang menuju Slawi, seperti biasa, dua jam perjalanan tak akan terasa lama bagi mereka berdua, karena mereka habiskan untuk mengobrol banyak hal.

Winata terlihat tampan kali ini, dengan tuxedo putih membuat dirinya semakin bersinar dan menjadi pusat perhatian, pun dimata bright yang selalu curi-curi pandang.

Sepanjang perjalanan mereka penuh canda tawa dan senyum yang terus mengembang.

“kamu manis banget win pagi ini” ujar bright ketika lampu lalulintas sedang memerahkan warnanya.

Win tersenyum dan tersipu malu.

“apasih massss” win mencubit paha bright yang selanjutnya bright berakting seolah mengaduh sakit.

“awww sakit winn aww” ia membuat ekspresi kesakitan semeyakinkan mungkin, membuat win yang tadinya tersipu malu kini langsung panik.

“eh.. Maaf mas huhuhu maaf, ini ya yang sakit? Iya mas?” tanya winata seraya mengusap usap paha insan di sebelahnya.

Bright menggenggam tangan Winata yang sibuk mengusap pahanya agar diam disana.

“nah sekarang udah gak sakit” ucap bright menahan senyum jahilnya.

“ihhhhh dikerjain lagi ihh, sebel nih rasian rasainnn” Win mencubit paha itu berkali kali untuk meluapkan rasa kesal dan gelinya karena dikerjai terus – terusan

“ahahhahha ampun win ahaha ampunnn”

Bright tertawa lepas disana, di lampu merah itu terdengar tawa dua anak manusia yang tengah di mabuk cinta.

***

Mobil mereka sudah sampai disini, di tempat resepsi pernikahan. Pernikahan menggunakan gedung besar dengan warna putih polos ini membuat win sangsi sendiri karena ia pasti akan bertemu dengan ibu dari Bright.

Gugup itu kini semakin menjadi jadi, jadi yang dilakukan winata sebelum ia semakin gugup ialah pergi ke kamar mandi.

“mas, win mau ke kamar mandi dulu boleh?” tanya win pada bright yang dari tadi menggandeng tangannya.

“oh boleh win, mau mas anterin gak?” tanya Bright pada win.

“gausah mas, kamar mandinya dimana ya mas?” tanya win yang sudah berkeringat dingin.

“kamu pakai kamar mandi yang dalam aja ya? Jangan yang buat tamu, itu kamu lurus aja, sebelah kamar rias itu kamu belok kiri”

“oke makasih mas”

Setelah nya win buru – buru pergi ke kamar mandi.

***

Di dalam kamar mandi win sibuk mengatur nafasnya, mengelap keringat dinginnya dengan tissue dan kembali menggunakan parfum. Hingga suara pintu kamar mandi terbuka....

“win? Winata?”

“iya mas? Mas bright kenapa? Kok kaya bingung gitu?”

Tanya win pada orang yang ia sangka adalah bright.

Orang itu menutup pintu dan menguncinya dari dalam.

“kamu manis banget win” ujar orang itu yang semakin mendekat dam membelai rambut Winata.

“mas kan udah bilang tadi di mobil, udah ah gombalnya, eh kok ganti jas sih? Tadi kan pake hitam, kok sekarang pake abu-abu? Emang mas bawa stok jas ya di mobil?” tanya winata yang mencoba mengingat ingat apakah bright membawa jas cadangan atau tidak.

“ssshhhhhh, jangan banyak bicara win, lemme taste you” ujar orang itu seraya mengusap bibir merah muda Winata.

“ih mas bright , ini di kamar mandi loh, udah yuk ah keluar”

Win mendorong orang yang ia kira bright itu, namun yang selanjutnya terjadi adalah ia terpojok dan mereka berciuman.

Entah bagi win, rasa ciuman ini berbeda namun tak asing baginya.

Di dalam kamar mandi itu win merasakan dejavu, di dalam kamar mandi itu ada insan bernama day sedang mencium dan menikmati bibir indah Winata dengan berlindung dibalik sosok bright, kakaknya.

Pillow talk

Kamar Winata 20:15 Pm

Setelah Bright sampai, mereka langsung masuk dan duduk di sofa kamar, hanya kesunyian yang ada disana, tak ada sepatah kata dari Winata.

“sini sama mas” ujar bright memecah sepi itu, menepuk-nepuk ranjang milik winata sendiri.

“ngapain? Gak mau lagi-lagi kaya gitu ah mas” win masih teringat kejadian tadi siang rupanya.

Bright tersenyum manis, ia paham kalau winata pasti masih memikirkan hal itu.

“iya makanya sini dulu, ada yang mau mas omongin ke kamu.... Sini” bright menepuk ranjang agar win mau duduk disebelahnya.

“gak mau ah, nanti kaya tadi siang hufff” win masih kesal, terlihat jelas dari raut wajahnya, namun terlihat sangat menggemaskan sekali.

“engga, mas janji. Pillow talk yuk?” ajak Bright membujuk winata yang masih terdiam di sofa

“janji ya? Ga ngapa – ngapain kan? Janji duluuuu” win dengan lagak seperti anak kecil inilah kelemahan mutlak bagi Bright.

“iya-iya mas janji, sini”

Dengan begitu win mulai berjalan dan naik ranjang, merebahkan dirinya di sebelah insan yang mengisi hari-harinya satu bulan terakhir.

“mau ngomongin apa mas? Soal tadi siang?” tanya win yang menatap langit – langit kamar, ia belum berani menatap bright. Sesekali ia bermain dengan ponselnya agar mengalihkan perhatiannya dari insan disebelahnya.

“sini lihat mas” ucap bright

Winata mengacuhkan ucapan itu.

“sibuk amat sama ponselnya sini liat mas” winata kalah juga, akhirnya ia akan menatap mata itu, mata tajam bright yang selalu berhasil menghipnotisnya.

“hmmmm iya deh iya, win dengerin ini” ucap win kalah

Sedangkan bright kini tersenyum melihat betapa menggemaskannya Winata malam ini.

“he.em, jadi semuanya udah mas jelasin ke Gawin, kamu gak perlu khawatir ya? Gak perlu overthinking lagi, gak perlu di pikirin sampe bad mood gini” bright mentoel pipi winta, membuat win reflek tersenyum.

“ya gimana huhuhu win malu sama pak Gawin, canggung juga kalau ketemu dikelas pasti mas” win memiringkan badannya, kini mereka saling menatap

“gak perlu, Gawin udah kalau dia bakal pura – pura gak tahu kok win, jangan dipikirin lagi ya? Sini deketan” Bright mendekat dan memposisikan kepala winata tepat didadanya.

Dalam posisi seperti ini win bisa mendengar degub jantung Bright, yang berirama dengan degub jantungnya.

“jangan dipikirin lagi, sekarang bobo yuk? Besok kamu masuknya siang kan?”

Win mengangguk, pipinya sudah memerah, nyatanya ia tak akan pernah bisa berlama lama untuk bersikap dan menjaga jarak dengam Bright. Ia akan jatuh lagi dan lagi.

“ummm Tapi mas, jangan gini ya bobonya? Win nyaman hadap kesana” win menunjuk adah beralawanan dengan arah tidurnya yang condong ke bright sekarang.

“boleh, sambil di peluk mas dari belakang ya?”

Alih-alih ingin terlepas dari peluk bright, kini malah ia dipeluk dari belakang oleh bright, bohong jika win tak tersenyum sepanjang malam. Bohong kalau mereka berdua tak menginginkan satu sama lain.

Senin, 26 September 2019 Kamar winata. 20:30 pm