sunfloOra07

—148;


Papa dan Mama Mark tidak ada di Bandung, mereka tinggal di Kanada, kota kelahiran Mark Lee. Berita di televisi, internet dan semua sosial media perihal Mark dan Haechan pun sampai ke Kanada juga membuat Papa dan Mama Mark murka.

Mereka tidak tau perihal Mark dan Haechan akhirnya bertemu kembali, karena Mark tau taktik orangtua nya untuk mengintainya bagaimana, sehingga ia memblokir semua akses media sosial intel orangtua nya termasuk orangtuanya sendiri. Mark tau yang mana kawan dan yang mana lawan, Mark lelaki yang pintar dalam urusan IT, sehingga dia pun handal dalam hacker. Ia belajar untuk melindungi dirinya sendiri dari tekanan orangtuanya.

Namun jika berita mereka disiarkan oleh wartawan media, Mark bisa apa? Beritanya menyebar begitu cepat, apalagi identitas Haechan sebagai Mr, HC sang CEO HM Entertainmet terungkap. Mungkin akan beda cerita jika identitas Haechan tidak terbongkar, tidak akan ada media yang memberitakan perihal Haechan dan Mark serta Zeline dan Ody.

Saat itu, Mark dan Haechan baru saja mengantar Ody sekolah dan ingin quality time berdua, jalan-jalan di Menara London untuk bersantai dan mengambil banyak foto.

Entah bagaimana bisa, Papa dan Mama Mark tiba-tiba datang menghampiri mereka disana. Mark dan Haechan tentu saja terkejut setengah mati.

“Mark, Papa ingin bicara sama kamu. Kamu juga, ikut saya.” Ucap Papa menunjuk Haechan, sedangkan Mama Mark hanya diam.

Mark menggenggam erat tangan Haechan dan membawanya mengikuti orangtuanya. Mereka duduk di tempat yang sepi, berteduh dari matahari yang tidak terlalu terik itu.

“Apa-apaan semua berita ini, Mark? Papa dan Mama selama ini sabar menunggu kamu membawakan perempuan cantik sebagai menantu, tidak memaksa kamu lagi untuk mengencani gadis-gadis pilihan kami. Tapi apa hasilnya? Sudah bertahun-tahun Mark, kamu tidak membawa siapapun kepada kami untuk mengenalkannya sebagai calon menantu.”

Haechan menundukkan kepalanya, jemarinya meremat jemari Mark dalam genggaman Mereka, Mama melirik tautan tangan itu dengan helaan nafas.

“Jawab Mark Lee!” Suara Papanya meninggi, untung disekitar mereka sepi.

Tak hanya Mark yang tersentak, Haechan juga.

Mark menatap Papa dan Mamanya dengan berani. “Sampai sini, Papa dan Mama masih nggak ngerti kenapa aku nggak bawa siapa-siapa selama bertahun-tahun untuk dikenalkan? Tau kenapa? Iya, Pa, Ma. Aku nggak bisa mencintai siapapun selain Haechan, aku cuma mau Haechan untuk jadi pendampingku seumur hidup. Papa sama Mama mana tau segila apa aku dan se frustasi apa mencari Haechan selama 6 tahun ini, nggak kan? Aku mati rasa Pa, Ma, cuma dengan Haechan jantung aku mau berdebar merasakan euforia, merasa tertarik, aku nggak tertarik dengan perempuan lagi, Pa, Ma. Bukan berarti aku tertarik dengan cowok juga, aku nggak tertarik sama mereka. Aku cuma tertarik dengan Haechan. Iya, aku gila, udah nggak ada rasa apapun ketika dengan orang lain, secantik atau setampan apapun dia, aku nggak bisa. Selembut apa atau sebaik apapun aku nggak bisa. Di hati aku cuma ada Haechan, tiap mimpiku isinya Haechan, pikiranku isinya Haechan, Haechan dan Haechan. Aku segila itu jatuh cinta dengannya. Bukan obsesi, karena aku mencintai semua yang ada pada Haechan, nggak ada seorangpun yang membuatku nyaman dan merasa sangat dicintai selain Haechan. Dia, satu-satunya orang yang memberiku arti apa itu sederhananya bahagia, arti kehidupan, dia mengajari aku banyak hal, Pa, Ma, yang nggak bisa aku temui di pribadi orang lain.”

Haechan tidak berani mendongakkan kepalanya, ia sangat takut jika ini akan menjadi perpisahan untuk kedua kalinya. Setelah kehilangan Zeline, apakah ia akan kehilangan satu-satunya cahaya dalam hidupnya? Jika iya, ia tak akan sanggup, Ody butuh dirinya dan Mark, Haechan tidak bisa sendirian, bukan karena lemah, ia butuh dukungan dari orang terkasihnya untuk membimbing Ody.

“Papa kecewa sama kamu Mark. Lihatlah dia, Haechan adalah lelaki Mark, dia tidak bisa mengandung. Papa dan Mama ingin cucu dari kamu, Mark Lee. Apa kata dunia jika anak Papa dan Mama tidak bisa menghasilkan keturunan dan justru memilih pria untuk dijadikan teman hidup daripada seorang wanita?”

Mama Mark mengusap-usap pundak suaminya, sebagai Ibu, ia tau sekalut apa Mark saat ini, ia dapat melihat kputusasaan dan kepedihan dari sorot matanya.

“Maaf Pa, aku nggak bisa memberikan keturunan untuk kalian, tapi aku nggak peduli apa kata dunia, aku ingin bangun dunia aku sendiri bersama Haechan. Kalau dunia nggak kasih tempat ke kami, kami akan bangun sendiri, kami nggak butuh orang lain mengakui perasaan kami, karena aku hanya ingin bahagia, hidup bersama orang yang aku cintai, yaitu Haechan.”

“Tapi Haechan memiliki istri, Mark? Apa kamu nggak malu mau merebut suami orang, hah?”

“Pa, aku kenal dengan mendiang istri Haechan. Zeline, bahkan merestui kami, dia memberiku amanah untuk membahagiakan Haechan dan Ody, Zeline menitipkan Haechan dan Ody ke aku, Pa. Aku nggak bisa nolak, karena bagi aku membahagiakan Haechan dan Ody adalah tujuan hidup aku. Pa, Ma, aku sama Haechan cuma ingin bahagia di salah satu bagian kecil dunia ini, kenapa nggak boleh? Banyak orang yang seperti kami mendapatkan bahagianyam tapi kenapa dunia nggak adil sama kami? Apa salah kami, Pa? Kami hanya orang yang jatuh cinta dan memiliki mimpi untuk membangun rumah tangga yang harmonis, saling memberi cinta dan kasih. Apa permintaan kami terlalu serakah, Pa?”

“Mark...” panggil sang Mama.

“Mama nyesel punya anak kayak Mark? Mama, nggak mau lihat Mark bahagia?”

“Mark, udah...” Kata Haechan mengusap lengan Mark untuk menenangkan.

“Enggak Chan, kita harus berjuang kayak apa kata Zeline, kalau Papa dan Mama nggak kasih validasi ke kami, berarti Papa dan Mama emang nggak pernah anggap aku sebagai putranya, aku hanya minta kebahagiaan, dan itu bersama kamu, Chan. Tapi kenapa Papa dan Mama tidak memberikannya?”

“Lee Haechan.” Panggil Papa Mark.

Haechan mendongakkan kepalanya takut. “Iya, Om.”

“Ody itu, anak kamu dengan istrimu?”

Haechan menggeleng. “Bukan, sebelumnya istri saya sudah menikah sampai punya Ody namun bercerai beberapa tahun kemudian. Lalu 4 tahun yang lalu, saya menikahi dia.”

“Kamu menikahi dia, artinya kamu sudah tidak mencintai Mark, kan?”

“Masih, dari dulu hingga sekarang, perasaan saya cuma untuk Mark. Saya hanya mencintai Mark seorang hingga detik ini.”

“Haechan, segitu bercandanya pernikahan kamu? Kamu menikahi istrimu sebagai pelarian? Pelampiasan karena tidak bisa memiliki Mark?”

“Papa!!!” Mark emosi dengan kata-kata kejam Papanya.

Haechan menggeleng lagi. “Saya punya alasan kenapa saya menikahi istri saya. Bukan sebagai pelampiasan dan pelarian, namun saya diberikan amanah yang tak bisa saya tolak untuk menikahi istri saya. Ibunya, memohon pada saya sebelum beliau meninggal dunia, untuk menikahi putrinya. Karena beliau mempercayai saya bisa menjaga putri dan cucunya. Saya tidak punya pilihan lain selain mengatakan iya, Ibu istri saya orang yang baik, saya tidak tega hati menolak permintaan seorang Ibu. Karena semua Ibu ingin anak-anaknya bahagia bukan? Maka, jika Ibunya ingin saya menjadi menantu, maka saya tidak bisa menolaknya. Dan berakhir, saya menikahi istri saya dan menjadi ayah dari putrinya.”

“Istrimu tau jika kamu mencintai Mark?” Tanya sang Mama.

“Dia tau, sejak awal kami berteman, dia tau kalau saya mencintai Mark, ia mau menikah dengan saya juga karena amanah dari Ibunya. Kami, menikah karena sebuah janji yang harus ditepati, tante.”

“Kamu tidak memiliki anak dengan istrimu?”

“Tidak Om, saya tidak bisa menyentuh istri saya ketika saya tidak punya perasaan kepadanya. Saya sudah mencoba melupakan Mark setiap harinya, namun saya gagal. Hati saya tidak bisa berpaling lagi kepada siapapun, hanya Mark yang mampu membuat saya jatuh cinta, dengan Mark, saya merasa bahwa semua akan baik-baik saja asalkan kami bersama.”

Mama menatap Papa, keduanya berbicara lewat mata.

Mama mendekati Mark lalu memeluk putra semata wayangnya itu. “Mark, tidak ada seorang Ibu yang mau melihat anaknya sedih, semua Ibu menginginkan kebahagiaan anaknya, termasuk Mama. Mama ingin Mark bahagia, namun Mama dan Papa salah presepsi selama ini, kami pikir pilihan kami untuk kamu itu selalu yang terbaik, Mark. Kami pikir, dengan kamu jalan lurus menuruti kami, itu akan membuat hidup kamu bahagia, tapi ternyata kami salah ya, Mark? Kamu tidak bahagia dengan keinginan kami, Mark putraku sudah besar ya? Sudah bisa memutuskan jalan kehidupannya sendiri mengarah kemana, kamu nggak perlu Mama dan Papa sebagai kompas angin kamu untuk tau arah kebahagiaan kamu.”

“Mama...”

“Mark, jika kamu bahagia, Mama dan Papa bahagia. Kami minta maaf jika selama ini membuat kamu tertekan, stress dan merasa frustasi. Cara kami salah selama ini, maaf kami tidak berpikiran sejauh itu, yang kami inginkan hanya masa depan cerah kamu tanpa memikirkan perasaan kamu.”

“Mark, kalau kamu sudah memutuskan jalan kamu sendiri untuk bahagia, Mama dan Papa ikhlas Mark, kamu bisa cari dan dapatkan bahagiamu sendiri, Papa dan Mama tidak akan menutup jalannya lagi, kamu bebas Mark, kami melepaskan sangkar yang mengurung kamu selama ini.”

“Ma? Maksud Mama...”

“Iya, Mama dan Papa memberi restu untuk kamu dan Haechan. Kata kamu mau bangun dunia sendiri kalau dunia disekitarmu jahat kan? Sekarang, ada Papa dan Mama yang siap membangunkan kamu dunia untuk kamu dan Haechan.”

Haechan menganga, apa ini mampi lagi? Ini terlalu mengejutkan untuk dirinya. Papa Mark menghampiri Haechan yang tampak terkejut dan syok.

“Kamu nggak usah kaget gitu, Haechan. Sejujurnya saya dan Mama Mark hanya mengetes kalian saja, seberani apa kalian menantang dunia yang kejam ini. Seberapa kuat dan sebesar apa usaha kalian untuk mencari tempat di salah satu bagian dunia ini. Kami menunggu kalian untuk datang dari jauh-jauh hari. Kami sadar, bahwa kehendak kami hanya melukai banyak orang, kami sedang menguji kalian dan menunggu kalian berjuang kembali. Namun bertahun-tahun kami tunggu kok nggak ada apa-apa. Saya cukup terkejut karena berita itu menyiarkan bahwa kamu adalah CEO HM Entertainment dan sudah memiliki istri serta anak.”

Blank

Keduanya merasa linglung mendengarkan penjelasan Papa Mark. Jadi, beberapa lama ini mereka sudah mendapat validasi?

Meski begitu, jika mereka tau pun tak akan bisa diusahakan karena Haechan masih memiliki Zeline.

“Saya ikut berduka cita atas meninggalnya istri kamu 6 bulan yang lalu, Haechan.” Ucap Mama.

“Terimakasih tante.”

“Saya juga turut berduka cita, Haechan. Sekarang, kamu tidak perlu sedih lagi, istrimu mau lihat kamu dan Mark bahagia kan?” Tanya Papa.

“Iya Om.”

“Maka, bahagialah kamu dengan Mark, kami memberi restu. Jika kalian ingin menikah, silahkan ke Kanada dulu, minta izin sama kami ya?” Kata Papa.

Mark memeluk erat Papa nya, diikuti sang Mama yang memeluk Mark. Haechan melihat itu menangis bahagia, ia tidak menyangka hari seperti ini akhirnya datang kepadanya. Mendapat validasi dari dunia.

“Ma, Pa, maafin Mark karena mengecewakan harapan Mama dan Papa. Terimakasih udah ijinin Mark bahagia, Pa, Ma. Aku dan Haechan akan ke Kanada segera, kami mempersiapkan diri dulu ya, Pa, Ma?”

“Iya Mark, kami bisa menunggu. Itu hak kamu dan Haechan ingin membawa hubungan kalian kemana, kalian sudah dewasa, tau arah yang benar kemana.” Ucap Mama.

“Papa ingin lihat Ody, nanti saat ke Kanada bawa Ody ya?”

“Iya, Pa. Aku bawa Ody nanti kesana, sekali lagi terimakasih Pa, Ma. Mark sayang kalian.”

“Kami juga sayang sama Mark.”

“Chan, sini. Kamu nggak mau kami peluk?” Ucap Mama.

Haechan salah tingkah, ia mengusap air matanya. “Boleh, tan?”

“Boleh, sini. Saya juga turut berduka cita atas meninggalnya orangtua kamu, Haechan. Kamu lelaki hebat, baik, kuat. Kamu selalu mengutamakan kebahagiaan orang lain daripada diri kamu sendiri. Mulai sekarang, pikirin bahagia kamu juga ya, Chan? Sekarang, saya juga Mama kamu.”

Haechan menangis lagi, lalu ikut berpelukan dengan keluarga itu. “Hiks makasih banyak Om dan Tante.”

“Panggil saya Papa, kan istri saya jadi Mama kamu, berarti saya ya Papa kamu.”

Haechan mengangguk dan tersenyum simpul. “Terimakasih Ma, Pa.”

Mark tidak bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini, yang jelas, ia berterimakasih dengan Tuhan dan semesta. Ia memeluk Haechan erat yang tengah dipeluk oleh Papa dan Mamanya.

“Haechan, kita berhasil melawan dunia, aku bahagia.” ucap Mark dalam hati.

“Mark, semesta berpihak pada kita, aku bahagia.” Kata Haechan dalam batinnya.

—142;


Mark segera menuju ke rumah sakit Royal Victoria Infirmary setelah check in ke hotel terdekat. Ia menghubungi Dirga untuk bertanya harus ke ruangan berapa untuk bertemu dengan Zeline.

Kata Dirga, Zeline sudah dipindahkan ke ruang inap setelah melewati masa kritisnya.

“Kamar no 520 ya Mark yang VIP, lantai 5.”

“Baik Dok, terimakasih.”

Sambungan telepon itu terputus, Mark sudah ada di lobi rumah sakit ini, ia pun menuju lift dan masuk bersama dengan beberapa orang, dipencetnya lantai 5.

Sejujurnya Mark sangat takut, ia akan menemui Haechan lagi, namun dengan keadaan yang berbeda. Jika di Bandung ia menemui Haechan dengan bahagia, maka disini, ia menemui Haechan dengan kesedihan karena Zeline.

Berjalan beberapa menit, akhirnya Mark sampai di depan pintu kamar 520. Di sekitar unit ini sangat sepi, mungkin karena VIP jadi lebih privasi. Namun yang ia bingungkan, kenapa harus VIP? Biasanya yang rawat inap di unit ini kalangan artis papan atas atau publik figur.

Ini kan istrinya Lee Haechan, tapi mungkin bisa jadi karena Haechan banyak uang akhirnya memilih yang terbaik untuk istrinya. So sweet, Mark agaknya sedikit cemburu.

Perlahan Mark membuka pintu ruang inap itu.

Kriettt

Suara pintu terbuka mengalihkan atensi orang yang ada di dalam ruangan itu. Kedua manik Mark pertama kali menangkap sosok Haechan yang kini juga menatapnya. Pemandangan mengejutkan lainnya yaitu ada Ody yang tidur di pangkuan Haechan.

“Mark? Lo Mark Lee?” Cicitnya lirih, takut membangunkan Ody.

Mark meringis kemudian masuk ke dalam. “Hai.”

“Sebentar, ini gue lagi mimpi atau gimana sih? Masa Mark ada disini? Oh mata gue saking bengkak nya jadi sliwer.”

Ini bukan waktunya Mark untuk tertawa karena gemas dengan Haechan. Suasananya sangat tidak mendukung untuk tertawa. Mark mendekati Haechan lalu mengusap punggung tangannya.

“Haechan, ini gue Mark Lee. Gue bemeran disini, di depan lo.”

Kedua mata cantik Haechan mengerjap. Ia menarik tangannya yang digenggam Mark, kemudian menidurkan Ody di sofa panjang dan lebar.

“Bentar, lo beneran Mark Lee? Kok bisa? Lo nyasar atau apa?”

“Panjang ceritanya, intinya gue kesini tuh atas permintaan Zeline.”

“Zeline? Istri gue?”

Mark mendengus, kenapa Haechan terang-terangan sekali menyebut Zeline istrinya, tak tau apa Mark ini cemburu?

“Iyalah, kan gue datengnya kesini, yakali istri orang lain.”

“Gimana caranya lo interaksi sama Zeline? Kok bisa?”

Karena malas menjelaskan, akhirnya Mark menyerahkan ponselnya yang berisi chat Zeline kepadanya beberapa hari yang lalu. “Lo baca aja deh biar paham.”

Haechan pun membaca chattingan antara Mark dan Zeline dengan pelan, meresapi kalimat panjang yang diketik Zeline untuk Mark. Sedangkan Mark mengambil duduk di samping Haechan sambil menunggu.

Selesai membaca, Haechan memijat pelipisnya dan menyerahkan ponsel Mark kembali kepada pemiliknya.

“Haechan, gue turut berduka cita atas meninggalnya Om dan Tante. Lo tau rasanya gue baca pesannya Zeline? Gue nangis Chan jujur aja, Om sama Tante baik banget ke gue, ketika orang-orang bahkan orangtua gue nggak kasih validasi sama hubungan kita, tapi Tante sama Om kasih cuma-cuma. Maaf Chan, gue tau ini telat, karena gue beneran baru tau. Kemarin di Bandung lo bohong sama gue kalo Om sama Tante ada di Inggris sama lo.”

Thanks Mark, Papa sama Mama meninggal 2 tahun lalu, pesawat yang bawa mereka ke India jatuh di jurang, lo tau juga kan beritanya? Dulu heboh karena semua penumpangnya meninggal dan susah ditemuin karena pesawatnya hancur lebur.”

“Iya tau, cuma beberapa doang yang disebut identitasnya, karena yang lainnya nggak bisa dikenali jasadnya.”

“Papa sama Mama ketemu setelah satu minggu dari kejadian, yang gue yakini itu Papa Mama karena kalung yang dipake mereka sama kayak punya gue, ada ukiran nama LHC di kalung mereka berdua. Papa dan Mama juga hancur, wajahnya nggak bisa dikenali.”

Mark mengusap pundak Haechan, ingin ia memeluk pujaan hatinya ini, namun sadar posisi ia ada di rawat inap istri Haechan. Tidak etis rasanya memeluk suami orang di depan istrinya.

“Om sama Tante pasti bahagia di atas sana liat lo udah segede ini dan sekuat ini. Lo harus selalu bahagia, Chan, supaya Om dan Tante juga bahagia liat lo dari atas sana.”

Haechan mendongak dan tersenyum tipis, Kedua mata cantiknya membengkak, ia baru saja menangis lagi karena membahas orangtua nya ditambah ada presensi Mark yang sangat ia rindukan kini duduk di sampingnya. Ingin memeluk tapi tak bisa, kesedihan Haechan berlipat ganda.

“Gue sedang mencoba mencari kebahagiaan gue, Mark. Gimana gue mau bahagia sekarang kalo Zeline begini? Gue nggak bisa liat Ody nangis terus dari kemarin. Ody nangis, gue juga nangis.”

“Itu wajar, Mama nya sakit, anak mana yang nggak sedih liat Mama nya sakit? Lo harus kuat untuk Ody, Chan. Lo yang hibur dia saat begini, kalo lo sedih, Ody makin sedih karena nggak ada yang nguatin dia.”

“Gue lagi kalut Mark, semua yang diomongin Zeline ke gue itu susah gue cerna. Gue bingung harus gimana, gue takut Mark. Gue nggak mau kehilangan lagi.”

“Zeline cewek kuat, dia pasti bisa lawan penyakitnya. Doa yang banyak, siapa tau doa lo bisa buat Zeline bangun.”

“Ayah...” Suara serak khas bangun tidur itu mengintrupsi obrolan Mark dan Haechan.

“Loh, Ody kok udah bangun? Keganggu suara Ayah ya?”

Ody menggelengkan kepalanya. “Lapar, Ayah.” Ia menghampiri Haechan dan memeluk Haechan erat.

Haechan terkekeh dan mengusap surai sang anak. “Ya udah, Ody mau makan apa? Biar Ayah belikan, Ody disini dulu sama Kak Mark ya?”

Ody melirik Mark, mengerjapkan matanya. “Halo, Kak Mark.”

Mark terkesiap, demi Tuhan, Ody tersenyum padanya sambil melambaikan tangan di pelukan Haechan. Gemes, Mark bisa melihat Ody gadis yang lucu dan cantik. “Halo, Ody. Aku Mark, teman Ayah kamu.”

“Aku Ody, anaknya Mama Zeline sama Ayah Haechan.” Jawabnya.

Mark tersenyum simpul dan menghampiri Ody, duduk berjongkok di samping Haechan untuk menyamakan tingginya dengan Ody. “Ody laper ya? Mau makan apa? Biar Kakak aja yang belikan, Ody disini jagain Mama sama Ayah, ya?”

“Eh Mark, gue aja deh. Lo abis landing langsung kesini ya?”

“Naruh tas dulu di hotel, baru kesini.”

“Sebentar kalau gitu, gue chat dokter Dirga dulu buat jagain Zeline. Kita makan bertiga di kantin, lo juga butuh makan, Mark.”

“Nggakpapa emang? Mendingan gue aja yang beli, kalian berdua disini tungguin Zeline.”

“Nggakpapa, dokter Dirga juga mau cek kondisi Zeline sekalian sih tadi. Mangkanya gue tanya jadi kesini nggak nya.”

“Oh ya udah.”

Dokter Dirga datang bersama dengan suster. Dirga terlihat terkejut melihat Mark ada disana. Ia tersenyum ketika melewati Mark, ia harus memeriksa keadaan Zelin, sehingga tidak menyapa Mark dengan benar.

“Kalian mau beli makan? Jika iya, kalian bisa makan dahulu. Zeline biar saya yang jaga, sekalian mantau perkembangannya.”

“Dokter udah makan? Mau saya bungkusin?” Tawar Haechan.

“Saya sudah makan, Haechan. Kalian bertiga saja yang makan.”

“Baik Dok, saya titip Zeline ya? Kabari saya kalau sesuatu terjadi.” Pesan Haechan.

“Iya, Haechan.”

Kemudian Mark, Haechan dan Ody keluar dari ruang inap Zeline menuju kantin rumah sakit.

“Ody mau makan apa nih?” Tanya Haechan ketika mereka sudah sampai di kantin rumah sakit.

“Mau ayam geprek.”

Mark dan Haechan kontan tertawa, demi Tuhan, Ody lucu sekali.

“Kalau mau Ayam Geprek mah di Bandung, sayang. Disini nggak ada, adanya fried chicken.” Ucap Mark.

“Ih, kenapa disini nggak ada Ayam Geprek? Ody kan suka, mau hidup di Bandung aja, makannya enak-enak.”

Haechan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sedangkan Mark terdiam mendengar jawaban lugu Ody.

“Ody mau emang tinggal di Bandung?” Tanya Haechan.

“Mauuuu, Ody sama Mama suka Bandung. Kata Mama, nanti kalo Ody udah besar, pindah ke Bandung aja.”

Haechan tidak kuat mendengar celoteh polos putrinya ini, ia harus apa untuk menjelaskan keadaan Zeline yang sesungguhnya?

“Ayo kita makan, katanya Ody lapar.” Kata Mark mengalihkan topik pembicaraan.

“Ah iya ayo makan, Ayah juga udah laper loh ini.”

“Ayoooo.” Sorak Ody senang.

Beda reaksi, Mark dan Haechan merasa iba kepada Ody.

Akhirnya mereka bertiga memesan nasi goreng karena baunya begitu menggoda untuk dicicipi, padahal rasa nasi goreng ya gitu-gitu aja.

“Dihabisin ya, Ody? Biar sehat, nggak gampang sakit.” Ujar Haechan mengusap pucuk kepala Ody.

“Mama suka makan, tapi kok sakit, Yah?”

Deg

Mark melirik Haechan yang seketika berhenti mengunyah karena pertanyaan Ody.

“Mama kecapekan, mangkanya sakit. Nah, Ody juga jangan capek-capek dalam melakukan sesuatu ya? Biar nggak sakit nantinya.”

“Okey Ayahh.” Ody melanjutkan makannya.

Mark mengusap punggung tangan Haechan di bawah meja, menggenggamnya erat menyalurkan kekuatan. Kedua mata mereka bertemu, Mark melempar senyum tipis, membuat Haechan pun ikut tersenyum.

Saat ketiganya asik makan, tiba-tiba ponsel Haechan berbunyi, menandakan ada telefon masuk. Diambilnya ponsel itu dari saku jaketnya, ada nama Dokter Dirga tertera disana.

“Halo, Dok? Ada ap— “

“Zeline, pengen ketemu kamu sama Mark. Cepat kesini, sebelum terlambat.”

*Tuttt— *

Sambungan itu terputus. Wajah Haechan panik.

“Chan? Kenapa?”

“Mark, Zeline mau ketemu kita sekarang juga. Ayo kembali.”

Mark mengangguk dan meneguk air mineralnya hingga tandas.

“Ody, ayo diminum airnya, Mama udah bangun.” Kata Haechan.

“Mama bangun? Yeayyy.” Sorak Ody dan meminum air mineralnya hingga habis.

“Ayo Yah kita ketemu Mama, Ody kangen sama Mama.”

Lalu mereka bertiga pun berjalan menuju ruang inap Zeline. Jika Ody dengan perasaan bahagia akan menemui Zeline, berbeda lagi dengan Mark dan Haechan. Jantung kedua anak itu berdebar tak karuhan, merasa gelisah, deg-deg an, takut menjadi satu.

Kriett

Haechan membuka pintu ruang inap Zeline, Ody pun lari menghampiri Zeline yang terbaring lemah di atas brankar, namun matanya terbuka. Dokter Dirga juga berdiri di samping brankar Zeline.

“Mamaaaa.”

Zeline menoleh pelan lalu tersenyum. “Hai Ody, habis darimana?” Tanya nya begitu lirih.

“Habis makan nasi goreng!”

“Wah enaknya, sama siapa tadi makannya?”

“Sama Ayah dan Kak Mark!”

Zeline terkekeh. “Kak Mark baik nggak sama Ody?”

Ody tersenyum lebar dan mengangguk antusias. “Baikkk bangetttt. Ody suka Kak Mark.”

Mark yang mendengar itu hanya tersenyum 5 jari.

“Oh ya? Bagus kalo Ody suka sama Kak Mark.”

“Mama mau ngomong sama Kak Mark dan Ayah boleh?”

“Boleh dongggg.”

“Ody ikut dokter Dirga dulu ya jalan-jalan. Mama harus bicara penting sama Ayah dan Kak Mark.”

Dirga menghampiri Ody dan berjongkok. “Mau beli es krim sama coklat nggak?”

“Mauuu dokterrr, Ody mauuu.”

Dirga terkikik lalu mencubit pelan pipi gembil Ody. “Kalo gitu ayo berburu es krim dan coklat!”

“Lezgooooo.” Jawab Ody bahagia, keluar dari kamar Zeline bersama Dirga.

Mark dan Haechan mendekati brankar Zeline, kedua anak adam itu berdiri dengan jarak yang cukup jauh. Zeline tertawa melihatnya.

“Kalian lagi social distancing apa gimana? Jauh amat jaraknya.”

Mengabaikan gurauan Zeline, Haechan mengusap punggung tangan Zeline. “Gimana keadaan kamu? Baik? Mana yang sakit?”

Mark hanya diam melihat itu, tanpa Mark sadari, Zeline memperhatikan setiap ekspresi yang ditampilkan Mark.

“Baik Chan, nggak ada yang sakit kok, kan aku cuma tidur dari kemarin.”

“Sembuh ya, Zel? Dilawan kankernya, jangan dibiarin menang.”

I'll try my best, Chan.”

Zeline melirik Mark. “Hai, Mark. Aku Zeline.” Ia mengulurkan tangannya yang lemas kepada Mark.

Mark menjabat tangan hangat Zeline. “Hai Zel, gue Mark.”

“Kalian deketan dong, aku mau ngomong serius sekarang.”

“Harus banget? Emang nggak bisa gini aja?” Tanya Haechan, Mark tersenyum miris.

“Nggak, suara aku nggak bisa kenceng, Chan. Lemes banget badan aku buat ngomong kenceng.”

Tidak ada pilihan lain, akhirnya Haechan menarik lengan Mark agar lebih dekat dengannya. Zeline mengangguk.

“Aturannya, kalian cuma boleh jawab iya.”

“Maksudnya?” Tanya Mark.

“Nanti, saat aku bertanya, kalian cuma boleh jawab iya, selain itu, nggak boleh.”

“Lah, kok maksa?” Ucap Haechan.

“Iya, aku maksa. Pokoknya kalian harus jawab iya nanti.”

“Tapi Zel— “

“Nggak menerima protes sekecil apapun, oke?”

Mark dan Haechan diam.

“Loh, kok diem? Dijawab dong! Jawabannya cuma iya, nggak ada yang lain.”

Haechan menghela nafas, “Iya.”

“Mark?”

“Iya, Zel.”

Zeline tersenyum senang. “Oke, pertama. Aku mau bilang, aku nggak tau sampe kapan aku bisa bertahan, jadi aku mohon kalian jangan pergi kemana-mana ya? Aku mau liat kalian disini sampe aku boleh keluar dari rumah sakit.”

“Iya.” Jawab Mark dan Haechan.

“Kedua, kalian berdua jangan canggung dan jaga jarak kayak tadi. Aku nggak suka liatnya, bersikap biasa aja kayak kalian biasanya. Oke?”

“Iya.”

“Ketiga, ini adalah amanah, perintah mutlak dari aku. Perjuangin lagi kebahagiaan kalian yang hilang, perjuangin validasi dari orangtua Mark, jangan mundur, be brave, aku yakin kalian pasti bisa melawan dunia yang jahat ini. Aku nggak suka liat kalian menyerah pada takdir, kalian layak diperjuangkan satu sama lain. Hei, wajah kalian jangan kayak gitu. Aku nggakpapa. Mark, Haechan, perasaan kalian masih sama besarnya, lalu buat apa kalian menyangkal dan memilih nyerah? Perjuangin lagi hak kalian untuk bahagia bersama, bangun lagi mimpi-mimpi indah kalian yang tertunda. Jemput bahagia kalian, yaitu jangan berpisah, kalian harus kembali untuk berjuang bersama mendapatkan validasi dunia. Aku restuin kalian, sumpah demi Tuhan, aku bakalan marah dan nangis kalo aku mati nanti, tapi kalian memilih jalan sendiri-sendiri dan mengabaikan perasaan kalian. Tolong, utamain kebahagiaan kalian, jangan mikirin pandangan orang lain. Ya?”

Mark dan Haechan sama-sama terdiam. Tidak tau harus menjawab apa.

“Zel, kamu kenapa gini? Aku nggak mau ya kamu pesimis seakan-akan kamu mau pergi cepet.” Kata Haechan.

No, no, jawabannya cuma iya, nggak ada yang lain.”

“Ya, Mark, Chan?”

Mark dan Haechan saling menatap. “Iya.”

“Yang terakhir, Ody cuma punya aku sama Haechan di dunia ini, kalau aku pergi, dia cuma punya Haechan. Mark, kayak yang aku bilang ke kamu di chat, aku titip Haechan dan Ody ya? Aku yakin Haechan dan Ody bahagia sama kamu, karena aku tau kamu sangat mencintai Haechan sampai detik ini, aku tau kamu pria yang penyayang dan lembut, kamu bisa sayangin Ody seiring berjalannya waktu. Jangan bilang aku berlebihan soal umur, aku ngerasa aku nggak bisa hidup lebih lama lagi, yang tau kadar kekuatan tubuhku seberapa ya cuma aku, dan aku udah nggak kuat lagi, Mark, Chan. Jagain putri kecilku ya? Dia yang paling berharga di dunia ini buat aku, Ody anak yang penurut kok, ceria, lucu, pinter, dia ambisius. And Mark, kalau kamu menyangka Ody adalah anakku dan Haechan, kamu salah besar. Ody adalah anakku dan mantan suamiku, Jung Jaehyun. Dia dipenjara seumur hidup karena kasus pembunuhan berencana. Aku dan Haechan menikah 4 tahun lalu, setelah kami lulus S2 di Oxford. Mark, Haechan sangat mencintai kamu, di hatinya cuma ada kamu. Namaku ngga bisa geser nama kamu di hati Haechan. So, kalian itu harusnya bersama, bahagia, please jangan menyerah sama dunia, kejar bahagia kalian ya? Aku udah ikhlasin Haechan untuk kamu Mark, jangan kecewakan harapan aku ya? Permintaan terakhirku hanya itu, bahagiain Haechan dan Ody ya Mark? Aku cuma percaya kamu, bukan orang lain untuk buat Haechan dan Ody menjadi orang paling bahagia di dunia ini.”

“Zel, kamu— ” Omongan Haechan dipotong oleh Mark.

“Iya, Zel. Terimakasih udah beri gue kepercayaan sebesar itu meski lo nggak kenal siapa gue. Lo perempuan terbaik yang pernah gue temui, gimana bisa lo relain Haechan buat gue Zel? Lo malaikat tanpa sayap, gue berharap buat kesembuhan lo, jangan kalah ya Zel? Haechan masih milik lo sampai saat ini, gue nggak berhak ambil Haechan dari lo. Tapi kalau lo titip bahagianya Haechan dan Ody, tanpa lo minta, gue bisa beri itu. Gue bisa jagain Haechan dan Ody, bukan buat lo aja, tapi buat diri gue sendiri. Karena bahagianya Haechan, bahagia gue juga. Ody adalah bahagianya Haechan, maka gue akan memeluk Ody erat dan jagain dia baik-baik. Gue janji sama lo, Zel. Tapi lo juga harus janji buat sembuh ya? Kita jagain Haechan sama Ody bersama.”

Haechan tak tahan, air matanya sudah mengalir mendengar dua orang terdekatnya ini saling memberi support. Haechan merasa beruntung memiliki Zeline, Ody dan Mark di hidupnya. Mereka bertiga adalah takdir terindah di hidup Haechan.

Zeline tersenyum, lalu menggenggam tangan Haechan dan Mark, kemudian menautkan jemari Mark dan Haechan satu sama lain yang ditangkup oleh tangan Zeline.

“Mark dan Haechan, kalian orang hebat dan baik. Dunia harus baik sama kalian, restu aku seluas langit untuk kalian, semoga dunia mengerti bahwa ada umatnya yang ingin memperjuangkan cinta dan bahagianya. Bahagia selalu ya Mark, Haechan. Aku titip Ody ke kalian. Bilang iya, atau aku nangis?”

“Iya.” Jawab mereka berdua kompak.

Zeline tersenyum lega. Ia menguap karena merasa lelah berbicara sepanjang itu. “Capek juga ya ngomong sepanjang itu, bibir aku agak kram hehe. Aku ngantuk banget, pengen tidur.”

“Iya udah, kamu istirahat aja. Lagian kamu barusan siuman malah ngomong panjang lebar.” Omel Haechan, membenarkan letak bantal Zeline agar lebih nyaman kemudian menarik selimutnya.

“Hehe, soalnya mumpung Mark disini juga sih.”

“Ummm, Mark. Maaf kalau kesannya mengusir, aku boleh berdua aja sama Haechan nggak?”

Mark mengangguk, “Itu hak lo Zel, gue keluar ya? Gue belum mandi juga, mau balik ke hotel buat mandi.”

“Iya, hati-hati ya Mark, jangan lupa balik kesini lagi.” Kata Zeline.

“Oke, gue kesini lagi abis bersih-bersih.”

Kemudian Mark keluar dari ruang inap Zeline. Sisalah sepasang suami istri di ruangan itu.

“Haechan, boleh aku minta sesuatu lagi?”

“Iya boleh, minta apa aja aku turutin, Zel.”

Zeline terkekeh, lalu menggeser tubuhnya sedikit untuk menyisakan ruang di samping nya. “Aku ngantuk banget, boleh nggak aku tidurnya sambil meluk kamu?”

Hati Haechan rasanya ingin mencelos, perasaannya tidak enak. Tangannya gemetar, namun ia tak bisa mengungkapkan betapa kalut, sedih dan takutnya ia. Tak bisa menolak, Haecjan tersenyum tipis dan mengangguk, lantas melepaskan sepatunya dan berbaring di samping Zeline.

“Sini aku peluk, kamu capek banget ya, Zel?”

Zeline meringsut ke dalam pelukan Haechan, tangan besar Haechan mengusap lembut kepala Zeline dengan rambutnya yang sudah tipis sekali, ia dapat merasakan berhelai-helai rambut Zeline rontok di tangannya, namun ia diam saja, menahan sesak d hati, tidak menangis demi Zeline. Ia memendam sakit hatinya sendiri dengan menggigit bibirnya.

“Iya, aku capek. Aku istirahat ya, Chan? Jangan kemana-mana sampai aku tidur pules.”

Mata Haechan sudah berembun, namun ia menahannya untuk tidak menetes. “Iya Zel, istirahat yang nyenyak ya? Semoga pas bangun, sakitnya udah ilang.”

“Heem, makasih Haechan. Sekali lagi, titip jagain Ody ya? Buat dia tersenyum ya?”

“Pasti Zel, tanpa kamu minta, aku udah anggep Ody anakku sendiri. Aku bisa bahagiain Ody, dia juga berlian aku, Zel.”

“Aku lega, makasih banyak ya, Haechan. Aku sayang sama kamu.”

Haechan mengusap lengan Zeline. “Aku juga sayang kamu, Zel.”

“Aku tidur ya, Chan?”

“Heem, sleepwell Zeline.”

Kemudian Zeline memejamkan matanya di pelukan Haechan, menahan rasa sakit yang meremuk redamkan tubuhnya sejak tadi. Zeline menahan sakit di kepala, punggung, dan badannya yang teramat lemas. Ia menahannya agar Haechan dan Mark tidak khawatir.

Namun Dirga tau, bahwa Zeline tengah menahan rasa sakit luar biasa tetapi masih bisa tegar di depan Haechan dan Ody. Bahkan Zeline sudah pamit dengan Dirga, dan memberikan Dirga hadiah berupa satu setel kemeja, jas, celana lengkap dengan sepatu untuk Dirga dan Tara, juga memberikan gaun cantik untuk Prisil.

Dirga sudah menangis tadi saat Zeline memberikan hadiah-hadiah itu dan mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya atas jasa Dirga selama ini untuk merawat Zeline.

Haechan menghela nafas, istrinya tidur nyenyak, deru nafasnya teratur. Haechan menatap langit-langit karena ia tidak bisa tidur saat ini. Jam masih menujukkan sore hari.

Cukup lama Haechan terdiam seperti itu sambil memeluk Zeline, sekitar 20 menit istrinya tidur, Haechan menangis. Sudah tidak dapat lagi tangisnya di bendung, karena dekapan Zeline di pinggangnya mengendur, deru nafas Zeline yang menerpa lehernya pun sudah tak dapat dirasakan, detak jantung Zeline sudah tak bisa dirasakan Haechan yang tengah memeluk erat Zeline.

Zeline Aurora, istrinya beristirahat dengan nyenyak untuk selamanya dan tak akan pernah kembali.

Air mata Haechan turun begitu deras, raganya lemas namun ia memeluk Zeline makin erat. “Zel, sakitnya udah ilang ya? Kamu capek banget ya? Sekarang kamu udah nggak sakit lagi, Zel. Istirahat yang damai, istriku.” Ucap Haechan mengecup kening Zeline.

Ia mengambil sebuah notebook yang ada di bawah bantal Zeline. Sebenarnya Haechan sudah merasa sejak ia berbaring. Namun ia tidak berani mengambilnya karena ada Zeline.

Dibukanya notebook itu, isinya hanya gambar-gambar Zeline. Gambar bunga, gambar Ody dan juga dirinya. Ia terus membuka hingga lembar ke 10, ia menemukan coretan tulisan tangan Zeline. Itu adalah coretan wishlist Zeline. Haechan membacanya dengan lamat-lamat, kemudian ia makin terisak dan merasa sesak setelah membacanya.

“Zel, bahkan kamu udah siap untuk pergi. Kamu keterlaluan Zel, wishlist kamu nomer 3 belum kamu coret Zel, aku coret ya?”

Haechan mengambil bolpoin biru yang ada di kantongnya. Haechan memang selalu membawa bolpoin kemana-mana. Ia pun mencoret wishlist terakhir Zeline; yaitu dipeluk Haechan sampai tertidur selamanya.

“Zeline, aku sayang sama kamu. Maaf dan terimakasih untuk segalanya.” Ucapnya lalu menutup notebook itu, menyimpannya di saku jaketnya dan memeluk Zeline kembali.

Beberapa saat kemudian, pintu ruang inap terbuka.

“Mamaaa.” Panggil Ody dengan nada cerianya, di belakangnya ada Dirga. Haechan yang memunggungi pintu pun melepaskan pelukannya dari Zeline dan menoleh.

“Ody, Mama lagi tidur, jangan teriak-teriak ya?” Mata Haechan sembab.

“Mama tidur lagi? Ih padahal kan Ody mau meluk Mama.”

Dirga bertatapan dengan Haechan, kemudian Haechan menggeleng dan menangis lagi. Dari situ Dirga tau, Zeline sudah pergi dan menyerah melawan takdirnya.

Dirga ikut meneteskan air mata lalu memeluk Ody erat. “Ody anak yang kuat kan? Ody nggak boleh sedih, Ody harus jadi anak yang baik dan hebat setelah ini. Oke?”

“Oke dokter.”

Haechan turun dari brankar setelah membenarkan tubuh Zeline untuk berbaring dengan nyaman, menyelimutinya. Ia berjongkok di depan Ody lalu memeluk sang putri erat. “Ody punya Ayah di dunia ini, Ody jangan sedih ya? Ayah sama Mama sayang banget sama Ody. Tapi Mama udah capek sayang, Mama tidur untuk selamanya. Ody mau meluk Mama?”

Ody masih tidak mengerti. “Tidur selamanya itu apa?”

Haechan terisak lagi, “Ody, Mama udah nggak ada sayang, Mama dipanggil Tuhan ke surga.”

Kalimat itu cukup dipahami oleh Ody yang berumur 7 tahun, karena kata guru sekolahnya, kalau dipanggil Tuhan ke surga artinya tidak bisa membuka mata dan bernafas lagi, atau biasa disebut meninggal.

“Mama? Mama dipanggil Tuhan? Hiks hiks Ayah bohong!!! Hiks, Mama nya Ody nggak dipanggil Tuhan!” Ody menangis sejadi-jadinya.

Mark yang akan masuk ke dalam kamar pun membeku mendengar teriakan Ody. Ia akhirnya memberanikan diri untuk masuk, di hadapannya Haechan dan Ody sedang pelukan dan menangis, sedangkan Dr. Dirga mengusap rambut Zeline sambil menangis juga.

Haechan melihat kedatangan Mark. “Mark...” panggil Haechan lirih.

Langsung saja Mark menghampiri Haechan, berjongkok memeluk Haechan dan Ody bersamaan. Ody makin menangis karena merasakan usapan Mark yang tengah memeluknya.

“Kak Mark hiks hiks Mama udah pergi jauh hiks hiks, Mama nya Ody Kak Mark hiks hiks.”

“Mama pasti bangga punya anak seperti Ody, kata Mama kan Ody harus jadi anak yang kuat, nggak boleh sedih dan penurut. Ody yang kuat ya? Jangan sedih, ada Ayah kamu, ada Kak Mark yang akan jagain Ody dan bahagiain Ody untuk selamanya, ya?” Ucap Mark.

“Huaaaaa hiks hiks Ody kuat kok, hiks hiks kata Mama Ody nggak boleh cengeng hiks hiks, mau peluk Mama hiks hiks.”

Akhirnya Mark dan Haechan melepaskan Ody dan mempersilahkan Ody melihat Zeline. Dirga mengangkat tubuh Ody untuk naik ke brankar. Langsung saja, Ody memeluk Zeline yang sudah tak bernyawa disana.

“Mamaaaa hiks hiks, Mama jahat ninggalin Ody! Hiks, Ody nggak nangis kok hiks hiks cuma sedih hiks, Mama udah di surga ya ketemu Tuhan? Hiks hiks, Mama, Ody sayang sama Mama. Ody janji hiks akan bahagia bersama Ayah hiks hiks. Mama juga bahagia ya? Hiks dada Mamaaa.”

Seruan lugu dari Ody membuat ketiga pria dewasa disana banjir air mata, Mark memeluk Haechan erat dan mengusap kepalanya. Menenangkan pujaan hatinya yang tengah berduka.

“Haechan, kamu nggak sendiri di dunia ini untuk menjaga Ody. Ada aku yang selalu siap sedia lawan dunia untuk kamu dan Ody. Aku akan perjuangin bahagia kita bersama Ody. Haechan, will you allow me to be a part of you and Ody's life?

Haechan mengeratkan pelukannya, menangis dan membasahi leher Mark. “Hiks, of course I will, Mark. Let's fight together for our happiness and Ody.

Mark menangis haru, ia mendapatkan amanah dari mendiang istri Haechan. Maka, ia tak akan keberatan untuk melakukannya. “Together with me, Haechan.”

Dirga memanggil susternya untuk mencatat riwayat kematian Zeline dan membawanya ke kamar mayat

“Haechan, yang tabah ya? Zeline perempuan yang kuat, dia udah nahan ini selama 1 tahun. Kamu harus bahagia biar Zeline tidak punya penyesalan dalam hidupnya. Saya izin bawa Zeline ke kamar mayat ya, Chan?”

Haechan mengangguk. “Hiks terimakasih banyak dokter Dirga sudah membantu Zeline selama ini, terimakasih banyak.”

“Zeline sudah saya anggap seperti adik kandung, saya turut berduka cita, Chan.”

“Terimakasih Dok.”

Dirga melirik Mark, “Kamu Mark Lee?”

“Iya, Dok saya Mark.”

“Zeline memilih orang yang tepat. Kamu harus tepatin janji kamu untuk Zeline, bahagiakan Haechan dan Ody ya, Mark?”

“Pasti Dok, saya akan membuat Haechan dan Ody bahagia, saya mencintai mereka, Dok.”

I know this, Zeline tell me everything about you and Haechan. Dunia jahat ya sama kalian? Selamat berjuang kembali, buat dunia merestui kalian. Bahagia kalian ada di depan mata, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Saya dan Tara mendukung kalian berdua.”

Haechan dan Mark sama sama mengucapkan terimakasih. Kemudian Dirga dan timnya memindahkan Zeline ke ruang mayat. Ody berlari memeluk Haechan dan Mark.

“Ody, mulai sekarang, Kakak Mark akan menjaga Ody. Boleh?” Tanya Mark.

Ody mengangguk dalam tangisnya. “Hiks hiks bo-boleh hiks hiks.”

Haechan dan Mark saling menatap, lantas tersenyum tipis. Di tengah dukanya, ada kebahagiaan lain yang seiring waktu menghampiri dirinya.


Zeline dimakamkan beberapa jam kemudian, Haechan tidak ingin istrinya itu lebih lama di rumah sakit, ia ingin Zeline segera mendapatkan peristirahatan yang layak. Gaun putih yang dipakai foto wedding kemarin yang dikenakan oleh Zeline sekarang, lengkap dengan riasan natural di wajah cantiknya.

Pemakaman Zeline dibantu oleh staff dan karyawan HM Entertainmet kepercayaan Haechan.

Entah bagaimana, setelah beberapa jam dari pemakaman Zeline, berita akan Haechan, Zeline, Ody bahkan Mark sekalipun muncul di berita dan media.

Sebenarnya Haechan sudah bisa menebak, pasti ada satu dua staff dan karyawan yang handal yang memang suruhan wartawan, sehingga berita akan kematian Zeline dan kehidupan pribadi keluarganya pun terkuak, termasuk masa lalu Haechan yang berkaitan dengan Mark.

Mulai sekarang, Haechan akan berani, ia akan menunjukkan diri di depan publik. Ia tidak akan menyembunyikan identitasnya lagi. Sepeti kata Zeline, Haechan harus berani melawan dunia yang bajingan ini, ia akan berjuang demi bahagianya bersama Mark dan Ody.

“Zeline, I will fight for my destiny. Thank you so much, rest in peace my beautiful wife...”

—138;


Haechan dan Zeline baru saja mengantarkan Ody ke rumah temannya untuk belajar kelompok. Hari ini, mereka berdua pergi ke Garden Harlow Carr untuk pemotretan secara mandiri. Haechan membawa tripot dan kamera nya sendiri.

Suasana di Garden Harlow Carr tidak terlalu ramai, mungkin karena ini hari efektif sehingga orang-orang memilih bekerja daripada bersantai di taman seperti ini. Haechan menggunakan kemeja putih dengan jas abu-abu kotak-kotak yang dilengkapi dengan dasi putih. Sedangkan Zeline memakai gaun putih dengan lengan panjang dan rok yang panjang sampai mata kaki. Di kedua jari manis mereka tersemat cincin pernikahan berwarna perak.

Anyway, Zeline memotong rambutnya jadi sebahu. Ia memotong rambutnya karena terus-terusan rontok, apalagi setelah kemoterapi ke 3 nya. Saat ditanya Haechan mengapa dipotong, katanya gerah dan ingin style rambut pendek. Haechan percaya-percaya saja. Toh itu hak Zeline jika ingin memotong rambutnya.

Haechan memberikan sebuket bunga Daisy, bunga favorit Zeline yang diterima dengan senyuman sumringah dari istrinya. Cantik, Haechan tidak munafik jika Zeline wanita yang sangat cantik dan lembut. Tapi namanya hati, mana bisa dipaksa? Ia hanya mencintai Mark Lee.

Zeline mengamit lengan kanan Haechan, mereka berdua berjalan santai menikmati indahnya taman yang sepi sambil mengobrol santai.

“Mau foto dimana Zel?”

“Disitu aja ya?” Zeline menunjuk tempat yang sepi dan luas, dan diangguki oleh Haechan.

Haechan memasang tripot dan mengatur kameranya untuk menyalakan timer. “Zel, agak ke kanan dikit ya?” Katanya sembari melihat figur Zeline dari kamera.

“Disini?”

“Oke mantap. Timer nya 10 detik Zel. Siap-siap ya?”

Setelah mendapat anggukan dari Zeline, Haechan segera berlari untuk berdiri di samping Zeline. Tangan kiri Zeline mengamit lengan kanan Haechan, sedangkan tangan kanan nya memegang buket Daisy.

Keduanya tersenyum lebar menghadap kamera.

Cekrek

Setelah terdengar bunyi membidik, Haechan menghampiri kameranya. “Bagus Zel, mau lagi nggak?”

“Lagi, tapi kamu zoom bagian tangan kita aja ya?”

“Oh, mau foto pegangan tangan?”

Zeline mengangguk sembari tersenyum.

“Okey, 10 detik lagi ya, Zel?”

“Iyaaa.”

Lalu Haechan kembali berdiri di samping Zeline.

“Sini hadep-hadepan, Chan.”

Haechan menurut, kemudian dengan otomatis, Haechan mengangkat telapak tangan kirinya, yang disambut senang oleh Zeline dengan tangan kanannya. Di tangan kiri Zeline masih memegang buket Daisy.

Cekrek

Ketika Haechan ingin melihat hasil fotonya, Zeline menahan genggaman tangan mereka. “Haechan.”

Otomatis Haechan tidak jadi pergi, ia menatap Zeline yang sedang menatapnya lekat. “Iya, Zel. Kenapa?”

“Haechan, pertama-tama, aku mau ucapin makasih banyak buat kamu. Dari awal aku tau Haechan, kenapa kamu mau menikah denganku, aku tau kamu mendapatkan amanah dari Mama aku sebelum meninggal kan? Mama ngomong ke kamu kalau aku sama Ody udah nggak punya siapa-siapa lagi selain Mama, karena suami aku juga ada di penjara, jadi tahanan seumur hidup. Jangan bilang aku salah, karena aku tau aku benar. Kenapa? Aku baca buku diary Mama. Disana, Mama nulis panjang banget tentang kamu, Mama suka sama kamu sejak aku mengenalkan kamu ke Mama sebagai temen kampus aku. Kata Mama, kamu cowok yang sopan santun, baik, dan mengayomi nggak seperti Jaehyun mantan suami aku. Itu ngebuat Mama pengen jadiin kamu sebagai menantunya apalagi setelah Jaehyun di penjara. Mama takut aku sama Ody nggak ada yang jagain soalnya Mama gagal ginjal dan udah parah.”

Ada jeda sejenak sebelum Zeline melanjutkan bicaranya, Haechan diam dan mendengarkan semua kalimat yang akan diucapkan Zeline.

“Maaf ya Haechan, kamu jadi terjebak sama aku gegara Mama. Kamu pasti nggak enak kan mau nolak permintaan Mama apalagi waktu itu Mama baru aja siuman dari kritisnya. Mangkanya kamu menerima amanah Mama untuk nikahin aku dan jadi Ayahnya Ody.”

“Yang kedua Chan, awalnya aku anggep kamu temen aku, karena emang kamu temen aku yang paling baik di kampus, satu-satunya cowok yang enggak jijik sama aku karena aku udah punya anak dan mantan istri narapidana. Saat kita menikah, aku juga biasa aja, aku bilang sama diri aku sendiri untuk jangan jatuh cinta sama kamu, karena apa? Aku tau Haechan, di hati kamu ada orang yang tahta nya nggak bisa digeser siapapun, termasuk aku yang sudah jadi istrimu.”

Deg

Haechan mengerjapkan matanya, ia kaget dengan pernyataan Zeline ini.

“Sebentar bagaimana Zeline bisa tau? Ini yang dimaksud Zeline si Mark bukan ya?” Batin Haechan bertanya-tanya.

“Aku tau darimana? Pasti kamu lagi bertanya-tanya akan hal itu kan? Aku tau dari kamu. Dari awal kita berteman, lockscreen kamu, itu foto kamu sama Mark kan? Jangan kaget aku tau nama dia darimana, karena aku tau langsung dari kamu.”

Haechan makin bingung, bagaimana bisa Zeline mengetahui itu dari dirinya? Bahkan dirinya saja tidak pernah menyebutkan nama Mark sedikitpun selama berteman dengan Zeline.

“Aku tau nama dia Mark ketika kita udah nikah kok. Kenapa bisa? Perlu kamu tau Haechan, kalo pas tidur malam, kamu selalu mengigau dan menyebut nama Mark Lee, kemudian kamu bilang bahwa kamu mencintainya, menyayanginya, merindukannya. Itu setiap malam, Haechan. Aku mendengarnya sering banget tiap malam selama 4 tahun ini.”

Speechless, Haechan bahkan tak sadar jika mengigaukan Mark dalam mimpinya. Karena memang sering sekali Mark Lee datang di mimpinya sejak ia meninggalkan Bandung. Ya benar, selama 6 tahun ini, Mark Lee tidak pernah absen dari bunga tidurnya. Namun ia tak menyangka jika mimpi itu sampai jadi mengigau dan di dengar Zeline.

“Zeline, aku—”

“Kamu nggak salah, nggak ada yang salah sama yang namanya cinta, Haechan. Harusnya aku yang merasa bersalah disini, kamu putus dengan Mark karena kamu menikah dengan aku kan”

Haechan kontan menggeleng. “Bukan, aku udah putus sama Mark sebelum kuliah di Oxford.”

“Aku tebak, karena orang tua kalian tidak merestui?”

“Lebih tepatnya orangtua Mark. Mama dan Papa aku udah kasih validasi ke hubungan kami, tapi Papa Mama Mark nggak mau kasih validasi sedikitpun. Aku capek Zel, orangtua Mark terus ngancem aku mau buat mecat Papa dari kantornya kalau aku tetep pertahanin hubungan kami. Papa kerja di kantor temennya orangtua Mark, jadi mereka pake kekuasaan itu buat ancem Papa aku. Mama nangis mohon-mohon sama aku buat putusin Mark demi kehidupan kami. Saat itu Zel, keluargaku bukan apa-apa, kami hanya orang biasa, Mama cuma punya kafe kecil-kecilan untuk bantu Papa yang kerja sebagai Akuntan di perusahaan temennya orangtua Mark. Aku ngalah Zel, aku nurutin apa kata Mama dan Papa, demi keberlangsungan hidup kami. Aku bingung cara mutusin Mark gimana, karena orangtua Mark mengancamku untuk jangan bilang gegara diancam, atau nanti Papa aku beneran di PHK dari perusahaan itu. Dan secara kebetulan, Mark jarang ada waktu buat aku karena Mark terus dideketin sama cewek oleh orangtuanya, jadi Mark sibuk menuruti permintaan orangtua nya untuk kencan dengan gadis-gadis asing itu. Mark dipantau mereka, jadi kami bener-bener sulit buat interaksi. Mark nggak kasih tau aku alasan dia susah dihubungi atau jarang ketemu sama aku itu apa, padahal aku udah tau. Karena itu, aku jadiin alasan buat mutusin dia. Dengan alasan aku capek karena Mark udah berubah dan nggak punya waktu lagi buat aku, aku bilang kami udah nggak cocok dan lebih baik putus.”

Pedih, hati Haechan pedih menceritakan masa lalunya yang pahit kepada istrinya. Namun apa boleh buat? Zeline sudah mengetahui kebenaran dibalik pernikahan mereka dan juga orang yang menempati hatinya.

“Dunia bener-bener jahat sama kalian berdua. Haechan, kamu pasti tau kan kalau aku sayang sama kamu? Umm—cinta, aku mencintai kamu. Aku melanggar janjiku sendiri untuk nggak jatuh cinta sama kamu, Haechan. Padahal aku tau sejak awal, perasaan ini cuma bertepuk sebelah tangan karena di hati kamu cuma ada Mark Lee, dan siapapun tidak bisa menggantikannya.”

“Maaf, Zel. Aku—nggak bisa Zel, aku udah coba lupain Mark, selama 6 tahun ini aku berusaha Zel, tapi takdir seolah-olah nggak izinin aku hidup tenang. Karena aku nggak bisa lupain Mark bahkan nggak bisa berhenti cinta sama dia.”

“Kamu nggak salah, Mark juga nggak salah. Dunia aja yang bajingan. Jadi Haechan, cari kebahagiaan kamu ya, Chan? Bersama dengan orang yang kamu cintai. Aku udah ikhlasin kamu, aku bener-bener ikhlasin kamu sama Mark. Kalian harus berjuang untuk dapat validasi dunia? Aku restuin kalian, tinggal satu langkah lagi, orangtua Mark. Aku yakin kamu dan Mark bisa mencari validasi dari mereka. Tuhan maha membolak-balikkan hati, Haechan.”

“Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti.”

“Kita cerai ya, Chan?”

“Nggak! Aku nggak mau, Mark udah masa lalu aku, Zel. Aku nggak bisa balik sama Mark kayak dulu lagi...”

“Bisa, Mark masih menunggu dan mengharapkan kamu, Chan. Dia cuma mau kamu untuk jadi pendamping hidupnya, kamu juga masih cinta sama dia. Jadi untuk apa kalian berpisah? Itu menyakiti hati kalian sendiri, termasuk aku. Aku nggak mau lihat kamu terperangkap sama aku, Haechan.”

“Aku sayang kamu, aku sayang sama Ody.”

“Aku tau, kamu sayang sama kami, terutama Ody. Tapi kamu nggak cinta sama aku, Haechan. Maaf kalau aku serakah, aku ingin dicintai suamiku juga, Chan. Aku nggak bisa kayak gini, memerangkap kebahagiaan kamu yang ada di orang lain.”

“Aku akan belajar lupain Mark, Zel. Jangan cerai, ya? Kasihan Ody kalo kita cerai.”

Zeline terkekeh. “Ody akan ikut kamu pada akhirnya, Chan.”

“Maksudnya? Kamu nyerahin hak asuh Ody ke aku?”

“Bukan, tanpa perlu aku berikan, Ody akan jadi milik kamu nantinya. Milik kamu dan Mark.”

“Maksud kamu apa, Zel?”

Zeline diam lalu menyentuh tangan kiri Haechan, menatap cincin pernikahan yang tersemat di jari manis Haechan. Kemudian, Zeline melepaskan cincin itu dari jari manis Haechan.

“Zel? Kenapa dilepas?”

“Haechan, akan ada banyak hal terjadi di masa depan. Haechan, aku sakit. Umurku nggak panjang lagi, Chan.”

Haechan menganga, ia tidak memahami setiap perkataan Zeline sejak tadi. “Sakit? Anemia sama darah rendah kan?”

“Bukan, maaf aku udah bohong sama kamu. Maaf aku menyuruh dokter Dirga untuk ikut sandiwara ini. Haechan, aku kanker otak stadium akhir, dan waktu aku maksimal sisa 3 bulan.”

Syok, Haechan bagai disambar petir di siang bolong. Berita ini membuat otaknya berhenti berkerja. Ia linglung, istrinya sakit parah tapi ia tak tau sama sekali?

“Kamu bohong ya? Anemia aja kan?”

“Maaf Haechan, aku nggak mau bebanin pikiran kamu, tapi sepertinya ini waktu yang tepat untuk aku bilang. Oleh karena itu, aku meminta cerai, jangan hidup sama orang penyakitan kayak aku Chan.”

“Enggak, aku nggak mau cerai titik. Ayo kita ke rumah sakit, kamu harus diobati sampai sembuh.” Haechan menggenggam jemari Zeline dan akan menariknya, namun ditahan oleh Zeline.

“Haechan, udah. Aku selama ini udah berobat, Haechan. Aku udah kemo 3 kali, aku minum obat kanker tiap hari tanpa sepengathuan kamu. Aku udah nggak ada harapan hidup, Haechan.”

Haechan hancur, meski ia tidak mencintai Zeline, ia sangat menyayangi ibu Ody ini. Ia menarik tubuh Zeline ke dalam pelukannya. Air mata Haechan jatuh begitu saja, menangis dalam pelukan Zeline. Tangisan Haechan membuat Zeline tak bisa menahan tangisnya, air matanya turun dengan deras mendengar isakan pilu Haechan yang menangisi dirinya.

“Zeline, kenapa kamu jahat? Aku suami kamu, Zel. Kenapa kamu baru kasih tau aku akan hal ini?”

“Karena aku nggak ingin membebani kamu Chan, udah cukup kamu terjebak sama aku selama 4 tahun, sekarang saatnya aku melepas kamu pergi, keluar dari sangkar yang aku buat. Haechan, aku ikhlasin kamu, sungguh. Perjuangkan bahagia kamu lagi ya Chan? Dengan Mark Lee, dia masih menunggu kamu untuk kembali ke pelukannya, Chan.”

“Zeline... maaf.”

“Bukan maaf yang mau aku dengar dari kamu, tapi jawaban iya untuk bahagia dan perjuangin Mark lagi. Ya, Chan?”

Haechan diam tidak menjawab pertanyaan Zeline.

“Haechan, ya? Aku tau Mark orang yang baik, aku yakin dia bisa menyayangi Ody nantinya. Ody akan bahagia punya kamu dan Mark. Janji berjuang untuk bahagia kamu dengan Mark ya, Chan?”

Isak tangis Haechan makin keras, sedangkan air mata Zeline semakin deras mebasahi leher Haechan.

“Iya, Zeline.”

—124;


Sebelum datang ke rumah sakit, Zeline sudah di briefing oleh Dirga, termasuk suster pribadi Dirga yang diutus untuk mengarahkan Zeline dan Haechan agar menuju ruangannya saat Zeline daftar pemeriksaan.

Dirga adalah dokter umum, namun ia juga merangkap menjadi spesialis kanker. Sehingga, selain konsultasi perihal kanker, Dirga bisa mengatasi keluhan penyakit lainnya.

“Zeline Aurora.” Panggil sang suster di resepsionis, diikuti Haechan yang mengekori Zeline.

“Silahkan anda ke ruangan Dokter Dirga ya? Ruangannya di samping ruang laboratorium. Ini lurus, lalu belok ke kiri, ruang ke 4.”

“Baik Sus, terimakasih.” Ucap Zeline dan Haechan.

Sepasang suami istri itu pun berjalan menuju ruangan Dirga. Zeline tentu saja hafal sekali dimana ruangan Dokter Dirga, tiap minggu juga kesini.

Haechan membuka pintu ruangan Dirga dengan Zeline yang ada di belakangnya. Dirga berdiri dan tersenyum ramah menyambut keduanya. “Selamat siang, tuan dan nyonya. Silahkan duduk.”

Zeline dan Haechan duduk di depan Dirga. Sebisa mungkin, Dirga dan Zeline terlihat natural, menjalani sandiwara seperti orang asing yang baru pertama kali bertemu.

“Saya Dirga Halmiton. Bisa dipanggil Dirga.”

“Saya Lee Haechan dan ini istri saya Zeline Aurora.”

Dirga mengangguk. “Baik, berdasarkan daftar pasien yang masuk, yang ingin periksa nyonya Zeline, benar?”

Zeline menatap Dirga dan mengangguk. “Iya Dok, saya.”

“Kalau boleh saya tau, keluhan apa yang nyonya Zeline rasakan?”

“Sering mual, pusing terkadang, trus suka capek kalo ngapa-ngapain, nafsu makan saya turun.”

Dirga mengangguk paham. “Baik, mari nyonya Zeline ikut saya ke ruang pemeriksaan.”

Haechan tersenyum kepada Zeline dan mengangguk, bermaksud menyemangati sang istri. Zeline pun berdiri dan mengikuti Dirga, duduk diatas brankar untuk di tensi, kemudian berbaring untuk pemeriksaan jantung, suhu, dan mata.

Haechan melihat semua yang dilakukan Dirga disana, tidak ada kecurigaan sedikitpun akan hal itu. Zeline tampak biasa saja, begitu juga dengan Dirga.

Setelah beberapa menit melakukan pemeriksaan, Zeline duduk kembali di samping Haechan, sedangkan Dirga menyerahkan coretan diagnosa nya kepada suster.

“Sebentar ya? Kami sedang mendiagnosa hasil pemeriksaan nyonya Zeline.” Kata Dirga setelah duduk di hadapan mereka lagi.

Dirga dan Zeline seolah berbicara lewat tatapan mata untuk tetap bersandiwara sampai akhir.

Sambil menunggu surat diagnosa Zeline jadi, Dirga mengajak bicara Haechan dan Zeline. Dirga orang yang ramah, sehingga mencairkan suasana dengan pasien seperti ini sangatlah mudah.

“Saya adopsi anak perempuan juga dengan suami saya, dia seumuran anak kalian karena tahun kelahirannya sama.” Ucap Dirga.

Seketika Haechan tersenyum miris, kenapa dunia begitu baik kepada orang-orang yang seperti dirinya dan Mark tapi tidak berlaku untuk dirinya dan Mark? Kenapa? Dunia tidak adil.

Cerita keluarga Dirga adalah impian Mark dan Haechan juga, menikah dan mengadopsi anak, tinggal di rumah yang sederhana dan cozy namun semua kebutuhan sang anak tercukupi bahkan berlimpah.

“Suami Dokter Dirga juga seorang Dokter?” Tanya Haechan.

“Iya, di rumah sakit ini juga. Dia dokter ahli bedah.” Kata Dirga.

Haechan mengangguk saja, Zeline melirik suaminya, terlihat sekali pancaran kesedihan dan iri disana. Zeline sangat mengerti itu. Oleh karenanya, ia juga memutuskan untuk merelakan Haechan dengan Mark setelah dia pergi dari dunia ini.

Kriett

Suster pribadi Dirga datang dan membawa 1 amplop putih berisi hasil diagnosa Zeline yang sudah di manipulasi tentu saja.

Dirga membuka dan membacanya. “Jangan khawatir tuan Haechan, nyonya Zeline punya anemia dan darah rendah, mangkanya nyonya sering pusing, lemas, lelah, mual dan demam. Nyonya harus rajin makan buah-buahan, sayur-sayuran dan zat besi ya? Trus jangan lupa minum vitamin penambah darah. Saya akan memberikan obat khusus dari resep dokter untuk nyonya.”

Haechan menatap Zeline yang meringis. Masuk akal, itu memang ciri-ciri orang anemia dan darah rendah. Kenapa Haechan tidak berpikiran sampai sana sih?

“Ini resep dokternya, bisa ditebus di klinik rumah sakit ya?”

Haechan menerima kertas berisi resep dokter itu kemudian tersenyum kepada Dirga. “Terimakasih banyak Dokter Dirga, kalau gitu, kami permisi dulu.”

“Sama-sama, jika ada keluhan lain, bisa datangi saya lagi.”

“Baik Dok, terimakasih.” Ucap Zeline yang memberikan senyuman tulus kepada Dirga, berterimakasih atas bantuan yang Dirga berikan, sedangkan Dirga mendengus dan mengerlingkan matanya saat Haechan sudah balik badan dan membuka pintu meninggalkan Zeline di belakang untuk terkekeh melihat respon Dirga.

Haechan dan Zeline langsung menuju klinik untuk menebus obat.

“Tuh kan apa aku bilang, aku tuh cuma anemia sama darah rendah. Penyakit umum ibu-ibu itu tuh.”

“Meski begitu, kalo kamu nggak periksa ke Dokter, mana tau kalo anemia dan darah rendah? Trus makan kamu tetep jadi sembarangan.”

“Iya iya, ih jangan galak-galak gitu dong.” Zeline mengerucutkan bibirnya.

Haechan menghela nafas, “Lain kali, kalo sakit bilang Zel, jangan diem, ya?”

“Iya Haechan, aku sehat kok sekarang.”

“Ya udah kamu duduk disitu aja, aku yang nebus obatnya.”

Zeline menurut dan duduk di kursi tunggu, sedangkan Haechan mengantri untuk mengambil dan membayar obat-obatan Zeline.

“Maaf Haechan, aku nggak mau jadi beban kamu terus, udah cukup kamu baikin aku dan relain bahagia kamu sendiri. Saatnya kamu bahagia dengan pilihan kamu, Haechan. Sebentar lagi Chan, sabar ya? Sebentar lagi kamu dan Mark akan bahagia seperti Dokter Dirga dan Dokter Tara.”

—111;


Zeline memang terasa lemas, namun tidak menjadikan semangatnya turun untuk memasak gule daging untuk suami dan anaknya. Jam 7 malam, masakan Zeline sudah siap, lengkap dengan minumannya. Ia melihat tutorial dari youtube bagaimana cara memasak gule daging.

Ia menghidu aroma masakannya di meja makan, sedap dan harum. Ia juga mencoba sedikit kuah gule nya, dan hasilnya enak sekali. Rasanya mirip rendang, namun tetap beda.

Haechan dan Ody sedang di ruang tengah menonton televisi, lebih tepatnya streaming di netflix sih menonton kartun Disney.

“Haechan, Ody, makan malam udah siap. Ayo kesini makan dulu.” Teriak Zeline menghampiri keduanya.

Kompak, Ayah dan anak itu menoleh, kemudian berdiri menghampiri Zeline.

“Wah, Mama masak apa ini? Baunya enak banget!” Ucap Ody.

“Ini namanya gule daging, makanan Indonesia, Ody.” Jawab Haechan dan menarik kursi untuk Ody.

“Oh, kayak rendang ya bentuknya, Yah?”

“Mirip, tapi rasanya beda. Ody coba deh, enak banget loh. Apalagi kalau Mama yang masak.” Ucap Haechan melirik Zeline yang tersenyum.

Zeline mengambilkan nasi untuk Haechan dan Ody, sekaligus menyiapkan gule nya. “Selamat makan Ody dan Haechan, semoga suka ya? Rasanya enak kok.”

“Selamat makan, Mama.”

“Selamat makan juga, Zel.”

Ketiga orang itupun akhirnya mulai makan malam.

“Ihh beneran enak banget Mahhh. Mama terbaikkk.” Ody mengacungkan 2 jempolnya untuk Zeline.

Haechan dan Zeline tertawa, senang melihat sang putri ceria.

“Kalo gitu makan yang banyak ya, Ody? Biar sehat dan nggak gampang sakit.” Ucap Zeline.

Haechan menatap Zeline aneh, pasalnya Zeline terlihat pucat sekali. “Zel, kamu sakit?”

Zeline menoleh kepada Haechan. “Hah? Sakit? Enggak tuh, kenapa emang?”

“Kamu pucet banget, Zel.”

Zeline auto meraba wajahnya. “Ah ini aku lupa nggak pake lipbalm Chan.”

“Tapi wajah kamu juga keliatan capek banget, kamu sakit kan?”

Zeline menggelengkan kepalanya. “Enggak Haechan, aku baik-baik aja kok, serius.”

“Yang bener? Besok ke Dokter ya?”

“Enggak mau. Aku nggakpapa Haechan. Udah lanjutin makan kamu, keburu dingin itu nasinya.”

Haechan memicing curiga, namun Zeline membalasnya dengan cengiran lebar.


Selesai makan malam, Haechan membantu Zeline membersihkan meja makan.

“Aku yang cuci, Chan. Kamu istirahat aja gih, besok kamu harus ke kantor kan?”

“Aku bantuin, kamu tuh keliatan lemes banget, Zel. Kamu kecapekan kayaknya, kamu yang ke kamar, biar aku yang cuci piring kotornya.”

“Nggak mau, Haechan. Aku baik-baik aja kok, sumpah.”

Haechan memegang bahu Zeline dan menatapnya dalam. “Kamu istirahat sekarang, biar aku yang cuci ini semua. Oke? Nurut ya, Zel.” Katanya dengan suara yang lembut, Zeline jadi tidak bisa berkutik kalau Haechan sudah masuk soft mode.

“O-oke aku masuk ke kamar.”

Haechan tersenyum dan mengusap rambut Zeline. “Iya udah, sana gih. Ody tidur di kamarnya sendiri hari ini?”

“Iya, katanya mau tidur sendiri aja, karena udah besar gitu katanya.” Ucap Zeline sambil tertawa.

“Hahaha ada-ada aja, ya udah kalo gitu. Kamu langsung tidur ya? Kamu capek, butuh istirahat.”

“Iya Haechan, aku naik dulu. Semangat cuci piringnya!!!”

“Heem, night, Zel.”

Night too, Haechan.” Zeline berjalan meninggalkan dapur.

Haechan melihat tangannya yang menggenggam helaian rambut rontok Zeline. “Rambut kamu kenapa rontok sebanyak ini, Zel? Padahal aku tadi cuma usep-usep pelan.”


Sekitar 20 menit Haechan baru selesai cuci piring dan gelas. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, ia menyeruput kopinya, kebiasaan Haechan jika ingin tidur harus minum kopi.

Ia berjalan menaiki tangga menuju kamarnya dan Zeline, ketika Haechan membuka pintu, ia dikejutkan oleh suara orang mual di dalam kamar mandi. Segera, ia masuk ke dalam kamar dan mengecek kamar mandi yang pintunya tertutup.

“Zel? Kamu di dalem kan? Kamu mual, Zel?”

Haechan menunggu di depan pintu kamar mandi sampai Zeline selesai. Ada sekitar 5 menit Haechan menunggu, akhirnya Zeline keluar dari kamar mandi dengan wajah pucatnya.

“Kamu mual?”

“Iya, dikit kok. Kayaknya aku nggak terlalu tawar sama gule.” Dustanya, karena sejujurnya setelah selesai makan, Zeline sering mual, dan ia akan memuntahkannya saat tidak ada Haechan di sekitarnya.

Zeline terbiasa menahan mualnya saat ada Haechan, membuat alasan kebelet pipis lah kebelet BAB lah,padahal ia sedang memuntahkan isi perutnya. Dan hari ini, Haechan memergokinya.

“Ke Dokter ya besok? Takutnya kamu alergi.”

“Nggak usah Chan, aku ada obat kok. Abis minum obat juga sembuh besoknya.”

“Tapi Zel—”

“Haechan... aku mau tidur ya?”

“Ah iya iya, kamu tidur aja. Udah minum obatnya?”

“Ini mau minum, tolong ambilin aku air putih ya, Chan?”

Menurut, Haechan keluar dari kamar menuju dapur untuk mengambilkan air minum. Itu hanya tipu daya Zeline saja agar Haechan tidak melihat obat-obat dokternya.

Zeline langsung meminum ber pil-pil obatnya, ia menyimpan air meneral botol di lacinya. Meneguknya dengan cepat sebelum Haechan kembali.

Berhasil menelan obatnya, tak lama Haechan datang membawa segelas air. Zeline langsung meminumnya membuat Haechan bertanya.

“Lah, obatnya mana? Kok udah minum aja.”

“Udah aku telen sebelum kamu dateng hehe.”

Haechan menghela nafas. “Ada-ada aja kamu. Ya udah sekarang tidur. Get Well Soon, Zel.”

Thanks, Chan.”

Zeline pun membaringkan tubuhnya, sedangkan Haechan menyelimuti Zeline hingga batas dada.

“Zel, kamu nggak lagi sembunyiin sesuatu kan?” Tanyanya dalam hati, yang tentu tidak bisa di dengar Zeline.

“Atau kamu beneran hamil? Tapi mana mungkin? Aku—nggak pernah sentuh kamu, Zel...”

Haechan jadi pusing sendiri, ia memilih menghabiskan kopinya dan ikut tidur menyusul Zeline. Ada guling di tengah mereka, selalu seperti itu posisi tidur Zeline dan Haechan, ada batasan di tengah sehingga saat tidur, mereka tidak pernah terlibat skinship sedikitpun.

—92;


Setelah mengantar Haechan mengembalikan mobil rentalan, kini Mark mengantar Haechan ke Bandara bersama teman-temannya yang lain.

Melewati tol Cipularang, tiga mobil yang mengantar Haechan melaju dengan kecepatan tinggi. Sampai saat ini status mereka masih sebagai sepasang kekasih, karena Haechan menjajikan status mereka berakhir ketika Haechan sudah pergi nanti.

Tangan kiri Mark menggenggam tangan kanan Haechan, di dalam mobil itu diputarlah lagu-lagu kesukaan mereka saat semasa pacaran. Bersenandung bersama dengan penuh senyum dan tawa.

Mark memaksakan diri untuk tegar, begitupun juga dengan Haechan. Ia tidak ingin perpisahan terakhir ini menjadi perpisahan yang sedih, apalagi juga ada teman-temannya yang lain.

Lagu Seventeen yang berjudul 'Untuk Mencintaimu' pun terputar. Ini lagu sedih, namun baik Mark dan Haechan sangat menyukainya.

Karna aku mencintaimu Dan hatiku, hanya untukmu Tak akan menyerah, dan takkan berhenti mencintaimu~~~

Ku berjuang dalam hidupku Untuk slalu memilikimu Seumur hidupku, setulus hatiku Hanya untukmu~~~

Mark dan Haechan bersenandung bersama dengan tangan yang masih terpaut. Jempol Mark mengusap punggung tangan halus Haechan. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak skinship seperti ini. Iya, memang lama sekali. Sudah 6 tahun lamanya ia tidak menyentuh Haechan seperti ini.

Lagu itu sebetulnya pengungkapan perasaan untuk satu sama lain, karena tak dapat mengutarakan secara gamblang, maka dengan lirik lagulah mereka menyampaikannya. Mereka tidak bisa berhenti mencintai satu sama lain, karena hati mereka hanya untuk satu sama lain juga, perasaan mereka tulus dan mereka akan berjuang untuk saling memiliki, mungkin?

“Haechan...”

“Iya, kenapa Mark?”

Mark terkekeh dan menggeleng. “Nggak, pengen manggil kamu aja.”

“Dih, kenapa gitu coba?”

“Nama kamu indah, kayak kamu. Yang selalu indah di mata aku. Gimana aku mau deskripsiin kamu ya, Chan? Terlalu banyak poin plus nya kamu tuh.”

Haechan tergelak tawa, “Gombal, masih awet ya gombalan kamu? Kamu tuh sering banget bilang kalau aku indah. Aku bukan patung atau lukisan, indahnya dimana?”

“Emang indah itu harus sebuah karya seni? Kamu indah, karyanya Tuhan. Karya Tuhan paling indah, namanya Lee Haechan.”

Haechan mencubit lengan Mark saking gemasnya membuat Mark mengaduh dan cemberut. “Kebiasaan cubit nya masih aja ya? Sakit banget jujur.”

“Hahaha rasain, mangkanya jangan gombal ah. Udah tua, aku jadi malu banget.”

“Dibilang nggak gombal, aku ini tuh ngomong fakta dan kejujuran.”

“Iya deh terserah Mark Lee aja.”

Mark mengusak rambut Haechan sambil terkikik.

“Ih berantahkan nanti! Udah rapi cakep juga yaelah.”

“Masih cakep atuh Chan, abisnya kamu gemes banget aku mana tahan.”

Haechan mengerlingkan matanya menanggapi Mark, lama-lama ia lelah sendiri.


Perjalanan selama 3 jam dari Bandung ke Jakarta Pusat akhirnya sampai, masih sisa wakta 1 jam pas sebelum keberangkatan Haechan. Akhirnya mereka nongkrong di Sbux yang ada di terminal 3 2F karena Haechan akan berangkat dari terminal 3.

Disana, 7 lelaki tampan itu memesan minuman yang berbeda, Haechan memesan Java Frip Frappucino sedangkan Mark memesan Vanilla Sweet Cream Cold Brew. Renjun membawa UNO kesana, sehingga waktu itu mereka habiskan untuk bermain UNO.

Ke tujuhnya tertawa bahagia seperti tanpa beban, mereka rindu bisa berkumpul dan bermain seperti ini. Hari ini mereka nostalgia lagi, meski tidak bisa selama dulu, yang penting mereka bisa mengenang kembali masa-masa menjadi mahasiswa.

“Jisung sama Chenle belom pacaran?” Tanya Haechan setelah babak 1 selesai.

“Sama-sama jomblo, Chan.” Jawab Renjun.

“Bukan, maksud gue ya mereka berdua pacaran gitu, bukan punya pacar masing-masing.”

“Emang gue ada ngomong bakalan pacaran sama Jisung?” Tanya Chenle sembari menaikkan sebelah alisnya.

“Gini nih Chan, dia galak, gue nggak berani takut dicincang.” Ucap Jisung terang-terangan.

Yang lainnya tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Jisung, sedangkan Chenle sudah memelototi Jisung.

“Astaga, ya udah semangat buat kalian berdua ya? Friendzone bertahun-tahun apa nggak capek?” Tanya Haechan.

Jeno menggeleng sambil tertawa, “Biarin aja lah Chan, dua-duanya cupu dan denial. Nunggu rusa beranak sapi kali baru mau pacaran.”

“Mentang-mentang udah nikah, tersakiti gue dengernya.” Kata Renjun.

“Kenapa lo nggak punya pacar, Ren? Lo secakep dan segemes ini masa nggak punya pacar?”

Renjun mendengus mendengar pertanyaan Haechan. “Mau jadi sultan dulu, Chan. Baru cari pendamping.”

“Halah, bilang aja lo males pacaran,” ucap Jaemin.

“Hehehe ya gitu salah satunya.” Jawab Renjun.

“Chan, cariin Mark pacar gih, kesian itu jomblo bertahun-tahun juga. Padahal banyak yang deketin dia mana cakep dan cantik banget, tapi ditanggepin seadanya doang dan berakhir gagal jadian.” Ucap Chenle.

Mark mengerlingkan matanya sedangkan Haechan tersenyum simpul.

“Lo mau tipe yang kayak gimana, Mark? Temen gue banyak yang cakep sama cantik, siapa tau lo berminat.” Kata Haechan.

“Yang kayak lo ada nggak?” Ucap Mark sembari terkekeh, bermaksud bercanda. Padahal Mark mah maunya Haechan, bukan yang lain.

Haechan ikut tertawa, ia tidak mau suasana jadi canggung apalagi ada teman-temannya. “Emang yang kayak gue tuh gimana? Gue mana bisa menilai diri gue sendiri, Mark Lee.”

“Mulai dah mulai...” Ucap Jeno yang seakan hafal jawaban Mark nantinya apa. Jeno bosan mendengar Mark yang mendeskripsikan betapa dirinya memuja seorang Lee Haechan.

Mark jadi tertawa, “Jangan tanya gue, kalo bagi gue lo tuh ya gitu lah. Coba tanya mereka, lo itu kayak apa. Gue yakin jawaban mereka nggak jauh beda dari gue.”

“Oke stop, artinya jawaban lo gombal banget. Udah hafal gue ya.” Ucap Haechan sambil menggelengkan kepala heran.

“Gini nih Chan, dia kalo ditanya mau nyari pacar kayak apa jawabannya kayak lo terus. Ya masalahnya yang kayak lo tuh ya cuma lo gitu nggak sih?” Jaemin geregetan sendiri tiap mendengar jawaban Mark.

“Nah tuh tau.” Kata Mark santai, berbeda dengan reaksi Haechan yang ingin memukul Mark, kenapa bisa lelaki itu santai-santai saja menunjukkan betapa Mark menyukai dirinya.

“Ntar deh Mark kalau teknologi dunia udah canggih dan bisa duplikat manusia, gue duplikatin Haechan buat lo.” Ujar Renjun.

Haechan tergelak tawa, begitupun yang lain. Mark hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Ia tidak mau duplikat Haechan, ibaratnya jika Haechan punya kembaran sekalipun, Mark tidak mau. Ia maunya Haechan, bukan imitasi atau kembaran Haechan.

“Eh udah jam setengah 3 nih, Haechan buruan check in.” Kata Jisung setelah melihat jam tangannya.

“Ah iya, ya udah kita keluar sekalian aja lah, duduk dan nungguin Haechan boarding.” Kata Mark.

Semua mengangguk setuju dan keluar dari Starbucks untuk mengantarkan Haechan.


Hello, Boarding for Etihad Airways flight number 56K76 to London will commence immediately. Would all passengers please to proceed to gate C2 and have your boarding pass and ID ready. Thank you.

Pengumuman itu terdengar keras menyebar di seluruh Bandara Soekarno Hatta.

Benar, Haechan memberitahu mereka bahwa ia tinggal di Inggris. Mereka paham jika Haechan tidak ingin memberitahu detailnya dimana ia tinggal, hanya mengatakan bahwa Haechan memiliki rumah di Inggris.

Semua memeluk Haechan satu persatu dan memberikan salam perpisahan, juga ucapan dan doa selamat sampai tujuan.

Yang terakhir ada Mark, ia menunggu semua temannya selesai berpamitan dengan Haechan. “Mark, kok diem? Haechan mau boarding.” Tanya Jaemin.

“Kalian disini aja, tungguin gue. Jangan ngikut!” Mark memberikan perintah mutlak kepada 5 temannya. Mereka paham jika begini, Mark butuh privasi bersama Haechan, sehingga mereka mengizinkannya.

“Iyeee dah sono, pisahan yang manis-manis gih.” Ejek Jeno disertai kerlingan mata.

Haechan tertawa melihat ekspresi Jeno, kemudian tangannya ditarik oleh Mark.

Guys thank you yaaa, gue pergi, bye bye.” Teriak Haechan melambaikan tangannya kepada 5 temannya.

Mereka ber 5 juga melambaikan tangannya kepada Haechan yang perlahan menghilang bersama Mark diantara keramaian orang di Bandara.

“Coba tebak, mereka ciuman kagak?” Tanya Jaemin tiba-tiba.

“Lo tau Mark kayak gimana, pasti sih kalau kata gue.” Ucap Jisung.

Renjun yang mengetahui fakta bahwa Haechan sudah punya istri pun hanya mengelus dada. Ingin mengatai Mark dan Haechan bodoh, tapi apa boleh buat? Ia tidak mau ikut campur dengan rumah tangga Haechan, semoga saja istri Haechan tidak tau kelakuan Haechan dengan Mark selama di Bandung.

Tolong putar lagu ini! Duddy Oris 'Laksana Surgaku'

https://www.youtube.com/watch?v=Qyk-vgJmT5o

. . .

Mark membawa Haechan ke dalam toilet yang dekat dengan gate C2. Menarik Haechan untuk masuk ke salah satu bilik dan menguncinya.

“Bisa kalem nggak? Tas gue berat ini, anjir.” Kata Haechan setelah mereka berhasil masuk di dalam toilet.

Keadaan toilet sepi, namun beberapa orang tadi sedang cuci tangan yang kemungkinan akan segera keluar dari toilet. Sedangkan bilik yang tertutup hanya 1, yang artinya ada 1 orang di toilet.

“Iya maaf, nggak ada waktu soalnya. Lagian ini kan tas oleh-olehnya gue bawain.”

“Iya iya, jadi gimana? Ngapain lo bawa gue kesini?”

“Perpisahan.”

“Harus banget disini? Sempit lah ini anying.”

“Iya harus, karena nggak ada tempat yang sedikit sepi selain toilet.”

Ah, Haechan mengerti sampai sini kenapa Mark mengajaknya ke toilet.

“Mupeng banget lo buset, ya udah sini cepet. Gue nggak ada waktu selonggar itu ya Mark Lee, ntar gue ketinggalan pesawat.”

Mark terkekeh, pacaran selama 4 tahun dengan Haechan tentu saja tidak perlu kode-kode jika ingin meminta ini itu. Buktinya Haechan tau apa yang diinginkan Mark sekarang.

Karena mendapat ijin dari Haechan, Mark menghapus jarak yang tersisa di toilet yang tidak seberapa besar ini. Haechan memejamkan matanya ketika bibir Mark menempel di bibirnya.

Kedua tangan Haechan otomatis melingkar di leher Mark saat Mark memeluk pinggangnya. Pergerakan bibir itu dimulai bersamaan, membuka dan menutup untuk melumat bergantian atas bawah.

Jemari kanan Haechan mengusap pipi kanan Mark karena posisi tangan Haechan masih memeluk leher Mark. Pinggang Haechan juga diusap Mark dari balik leather jacket Haechan.

Semakin lama, Mark menaikkan tempo ciuman mereka, lebih dalam dan menuntut, bunyi kecipak basah dan desahan lirih Haechan pun terdengar di indra rungu keduanya.

Karena Haechan membiarkan Mark memperdalam lebih intim ciuman itu, akhirnya Mark pun berani menggigit bibir Haechan dan menyesap saliva yang mengkilap menghiasi bibir Haechan. Tak hanya sampai situ, lidah Haechan dibelit, dilumat dan dihisap juga.

Sungguh, Mark rindu ciuman panas seperti ini dengan Haechan. Mark orang yang setia, sehingga ia tak pernah menyentuh orang lain selama 6 tahun ini, palingan cuma pegangan tangan dan pelukan, untuk ciuman dan menyentuh intim, Mark tidak pernah melakukannya karena di pikirannya hanya Haechan yang ingin ia sentuh seperti itu.

Tangan Mark merambat masuk ke dalam kaos hitam Haechan, mengusap pinggang polos mantan kekasihnya yang sangat di damba itu. Haechan tidak menolak, ia juga merindukan sentuhan Mark di tubuhnya.

“Mmnhh.” Desah Haechan yang merinding karena telapak tangan Mark yang menggerayangi pinggang dan punggungnya, ditambah dengan pagutan bibir Mark yang makin cepat dan dalam. Mengabsen semua gigi rapinya dan memanjakan lidahnya untuk dihisap dan ditelan saliva manis itu.

Haechan merasa bibirnya seperti dimakan habis-habisan oleh Mark, ini nikmat dan Haechan menyukainya. Ia mendesah untuk kesekian kalinya, Mark tersenyum senang mendengar lenguhan Haechan setelah sekian lama tak mendengar.

“Nngghh Mark, udahhmmh, gue ntar telat.” Ucapnya disela-sela tautan bibir itu masih saling melumat.

Mark seolah tersadar dan langsung melepaskan tautan bibir keduanya. Dilihatnya pipi Haechan merah merona, bibirnya basah dan bengkak, karena Mark brutal sekali menggigitnya tadi.

Sorry, gue sampe lupa. Maaf ya?” Ia mengusap pipi Haechan dan merapikan leather jacket Haechan. Mengelap ujung bibir Haechan yang sedikit basah.

“Iya nggakpapa, ayo keluar. Kalo gue ketinggalan pesawat, gue pukul lo sumpah.”

“Nggak akan, ada 10 menit lagi nih sisanya.”

Haechan mengerlingkan matanya lalu keluar dari toilet bersama Mark yang membawakan tas berisi oleh-oleh.

Saat sudah sampai di depan gate C2, Mark menurunkan tas oleh-oleh itu dan memeluk Haechan erat. “Terimakasih untuk waktu 2 harinya di Bandung ya Chan? Gue seneng banget bisa nostalgia sama lo, makasih udah buat gue bahagia selama 2 hari. Safe flight ya.”

Haechan balik memeluk Mark, menyandarkan kepalanya di bahu Mark. “Gue juga makasih udah diajakin jalan-jalan ke Bandung. Lo juga hati-hati pulangnya, jangan ngebut.”

Keduanya merenggangkan pelukan lalu saling bertatapan, mengamati paras masing-masing untuk terakhir kalinya.

“Chan, I love you, I still love you, sorry.

Haechan mengangguk. “I know, you can forget me slowly, Mark.

Mark tertawa kecil, “Iya, semoga ya.”

“Kalo gitu, gue pergi ya, Mark? Bye, Mark Lee. Semoga berhasil untuk hari-harinya!” Haechan melambaikan tangannya kepada Mark dan perlahan jauh dari pandangan Mark.

Mark juga melambaikan tangannya sampai Haechan menghilang masuk ke gate. “Good bye sweetheart. Thank you so much. Gue janji nggak akan cari lo lagi setelah ini, gue akan lupain lo, Haechan.”

—89;


Mark menggendong Haechan ala bridal style, ia tak peduli dilihat banyak orang lalu lalang yang menempati Apartemen. Tempat tinggal Mark ada di lantai 2, jadi tidak perlu kesusahan untuk membawa Haechan menuju kamarnya.

Saat sudah sampai di kamar, Mark membaringkan tubuh Haechan di ranjang, ia duduk di samping Haechan sambil menatap wajah tidur Haechan yang tenang, damai dan polos.

Haechan harus ganti pakaian, tapi Mark tidak tega membangunkannya. “Nggakpapa kan ya gue gantiin bajunya doang? Biasanya dulu juga gitu,” gumamnya.

Iya, dulu. Dulu terus yang diinget.

Mark menghela nafasnya, “Nggakpapa udah, kasian Haechan juga.”

Akhirnya Mark mengambil salah satu piyama bersihnya dari almari, kemudian menggantikan pakaian Haechan. Mark tidak naif, dia lelaki normal, tentu saja melihat lekukan tubuh Haechan itu sangat menggodanya, tetapi ia membentengi dirinya untuk tidak melakukan hal ceroboh.

“Udah jadi suami orang, Mark Lee.” Perkataan Renjun selalu terngiang-ngiang di kepalanya, sial. Renjun mendoktrin pikiran Mark Lee.

Setelah selesai mengganti pakaian Haechan, Mark pun mengganti pakaiannya sendiri, piyama yang sama dengan milik Haechan, hanya beda warna saja. Yang dipakai Haechan berwarna navy sedangkan milik Mark berwarna abu-abu.

Seperti pasangan suami-suami bukan?

Iya, mimpi Mark dan Haechan dulunya juga begitu, tapi sekarang hanya tinggal angan-angan.

Mark mematikan lampu utama dan menggantikannya dengan lampu tidur. Mark tidak suka tidur dengan lampu menyala.

Dilihatnya Haechan sekali lagi, ternyata mantan kekasihnya itu memang sudah tepar karena Haechan tidak terganggu sama sekali saat diganti pakaiannya oleh Mark.

Ia masih memikirkan lockscreen dan pesan-pesan yang tampak di lockscreen Haechan tadi.

Mark masih ingat betul jika nama anak Haechan adalah Ody. Tadi ia melihat kontak bernama 'Princess Ody' mengirimnya pesan. Mark sempat melihat dan membaca dari layar yang menyala itu.

“Anaknya Haechan lucu, kalo nge chat dikasih banyak emotikon.” Gumamnya lirih, membayangkan bagaimana lucunya Ody.

“Kayaknya Ody segemes Haechan kali ya? Ody kayak apa kira-kira? Kayak Haechan banget gitu nggak ya? Atau mirip Ibunya?”

Mark mengoceh sendirian dengan mata yang masih menatap paras manis Haechan di sampingnya. Tubuh Mark bergerak untuk memperkikis jarak, kemudian memeluk tubuh hangat Haechan. “Selamat tidur Haechan, aku sayang kamu.” Katanya, kemudian mengecup puncak kepala Haechan cukup lama.

Setelahnya Mark menyusul Haechan untuk tidur.


Malam pun berjalan, tiba-tiba Haechan mengigau, sepertinya sedang bermimpi. Membuat Mark pun terbangun mendengar suara Haechan.

“Nggak Zel, aku nggak mau cerai please, kenapa kamu minta cerai?”

“Ody, jangan tinggalin Ayah, Ayah sayang sama Ody...”

“Zel, jangan pergi. Aku nggak mau cerai, Zeline.”

“Zeline, Ody. Jangan pergi...”

Haechan mengucapkannya dengan mata yang terpejam, namun meneteskan air mata dan mengalir hingga pipi.

Mark tercekat mendengar racauan Haechan, pujaan hatinya sedang mimpi buruk tentang istri dan anaknya.

Hati Mark sakit mendengarnya, segitu cintanya Haechan kepada istri dan anaknya kah sampai kebawa mimpi nggak mau diceraikan?

Kepala Haechan terus menggeleng dan mengucapkan 'nggak mau', 'jangan pergi' dan 'cerai' berulang kali.

Mark menghela nafas kemudian menarik tubuh Haechan makin dekat dan medekapnya erat, mengusap punggung serta rambut Haechan. “Ssstt, tenang ya Haechan. Mereka nggak pergi kok, ssstt tidur lagi ya?” Ucapnya lembut disertai kecupan kupu-kupu di puncak kepala Haechan.

“Harusnya gue sadar mulai sekarang, gue udah nggak punya kesempatan sedikitpun buat bikin Haechan jatuh cinta lagi sama gue, apalagi mengharapkan dia balik jadi milik gue. Cause he have someone precious in his life.”

Karena usapan-usapan lembut Mark di punggung dan kepala, akhirnya Haechan berhenti meracau dan mulai tenang, deru nafasnya teratur kembali. Haechan sudah berhenti mengigau, melanjutkan tidurnya dengan nyaman di pelukan Mark Lee sambil memeluk Mark erat, seperti takut ditinggalkan jika Haechan melepasnya.

“Mark Lee...” ucap Haechan lirih sekali namun bisa didengar Mark.

Mark terkesiap kemudian menunduk untuk melihat Haechan, namun ternyata Haechan masih tidur. “Dia... mimpiin gue juga atau gimana?” Gumamnya dalam hati.

“Maaf, Mark...”

Lagi, Haechan mengatakannya namun masih tidur.

“Iya Haechan, kamu nggak salah, aku yang salah.” Jawab Mark berbisik di telinga Haechan.

Setelahnya tidak ada lagi suara Haechan meracau, Mark menghembuskan nafas lega.

“Jangan sedih Haechan, good night honey, I love you.” Mark mengecup kening Haechan sebelum memejamkan mata lagi untuk melanjutkan tidurnya.

—68;


Mark mengajak Haechan ke Orchid Forest Cikole, menikmati pemandangan hutan pinus dan duduk bersantai sambil minum kopi dan snack. Berbicara banyak hal untuk menghilangkan kecanggungan yang ada di antara mereka.

Mereka sedang nostalgia, meski harus menahan rasa sesak karena mengingat kenangan manis dan indah mereka dahulu, tetapi kedua anak itu tidak menghentikan obrolannya. Justru mereka tertawa mengingat bagaimana hari-hari mereka saat menjadi sepasang kekasih.

“Kebiasaan lo minum kopi sebelum tidur itu, masih lo lakuin sampe sekarang?” Tanya Mark.

“Masih, gue nggak bisa tidur nyenyak kalo nggak minum kopi. Lo juga tau sendiri kan?”

Mark mengangguk. “Taulah, lo kan dulu suka chat atau telpon gue malem-malem buat nanya gue dimana? Trus berakhir lo nyuruh gue beliin kopi sachetan ber pack-pack karena persediaan kopi lo abis.”

Haechan terkekeh, ia ingat betul Mark selalu menggerutu ketika Haechan menyuruhnya membelikan kopi saat tengah malam tiba, namun Mark tetap datang ke kost an Haechan dan membelikannya kopi, bahkan ditambah beberapa snack juga.

“Kalo lo gimana, Mark? Masih nyetok beng-beng di kamar?”

“Hahaha sial, masih anjir. Itu kebiasaan dari remaja kenapa nggak ilang-ilang deh. Gue agaknya beli ke toserba tuh malu. Pas beli ber pack-pack gitu kan, gue pasti diginiin sama kasirnya 'Wah, pasti anaknya seneng banget dibeliin beng-beng sebanyak ini'. Mentang-mentang gue tua dikira nggak doyan beng-beng apa?”

Haechan terkekeh, namun perkataan Mark membuatnya jadi berfikir. Memangnya Mark belum menikah dan punya anak? Haechan ingin tau, tapi tak berani bertanya. Namun sepertinya Mark belum punya anak, karena Mark bilang ingin mengajak jalan Haechan sampai malam, harusnya si anak akan mencari sosok Ayahnya, tapi Mark terlihat tenang-tenang saja.

Atau mungkin Mark belum menikah? Tapi mengapa?

“Err—Mark, gue boleh nanya?”

“Tanya aja.”

Haechan menggigit bibirnya, ia takut bertanya, ia takut jawaban Mark tidak sesuai ekspetasinya. Tapi jika dirinya bertanya, pasti Mark balik bertanya kan?

“Gue nggak boleh kayak gini, jangan buat hubungan yang membaik ini malah numbuhin perasaan yang dulu. Lo punya Zeline dan Ody di rumah, Haechan. Jangan kayak gini...” sisi malaikat Haechan membisiki hati nuraninya.

“Chan!” Mark menjentikkan jarinya di depan wajah Haechan.

“Hah? Kenapa Mark?”

“Tadi katanya mau nanya?”

Jemarinya mengepal dan diremat-remat di bawah sana. Sedikit bergetar, Haechan benar-benar takut mendengar jawaban Mark.

“Haechan...” panggil Mark lembut, menyentuh dagu Haechan dan mendongakkannya karena Haechan yang menunduk.

“Ada apa? Mau nanya apa, hm?” Mark tersenyum dan mengusap pipi kanan Haechan dengan jempolnya.

“Lo—errr, apa lo... udahmenikah?” Kalimat akhir ia percepat sehingga terdengar seperti gumaman.

“Apa? Udah apa? Lo jangan cepet-cepet ngomongnya, Chan.”

Haechan menghela nafas dan menatap Mark dengan berani. “Lo, udah nikah atau belum, Mark? Sorry kalo ini privasi banget, lo boleh nggak jawab kok.”

“Belum, gue belum menikah.” Jawabnya langsung ketika Haechan selesai berbicara.

“Bohong ya lo?”

“Kenapa gue harus bohong? Emang gue keliatan bohong ya?”

“Nggak tau, kayak—nggak mungkin aja lo belum nikah.”

Mark terkekeh. “Mungkin aja, kenapa nggak mungkin?”

“Ya lo orang sukses, banyak duit, cakep iya, baik iya, lo cowok yang super perhatian, penyayang, friendly, royal, loyal. Duh, kan kayak nggak mungkin aja gitu lo masih belum nikah di umur lo yang udah kepala 3.”

“Hahaha, gue tersanjung. Ternyata gue di mata lo masih kayak gitu ya? Gue terharu.”

Haechan mengerlingkan matanya. “Yang gue lihat selama bertahun-tahun sih gitu, nggak tau juga 6 tahun terakhir ini. Mungkin ada yang berubah dan gue nggak tau itu.”

TOLONG DI PLAY LAGUNYA T_T ; “Duka by Last Child” kalo mau nangis sih :)

https://www.youtube.com/watch?v=ELfjMODb0mM

“Gue banyak berubah Chan, cuma ada satu yang dari dulu sampai sekarang nggak berubah.”

“A-apa? Lo nggak perlu kasih tau kalau lo—”

“Perasaan gue.”

“Hah?” Haechan menaikkan sebelah alisnya, Mark menoleh dan tersenyum kemudian menyentuh jemari Haechan dan menggenggamnya.

“Iya, perasaan gue nggak pernah berubah buat lo dari dulu sampai sekarang.”

Deg

Jantung Haechan berhenti berdetak selama seperkian detik. “Gi-gimana maksudnya?”

“Lo tau nggak, kenapa gue belum nikah sampai sekarang?”

Haechan kontan menggelengkan kepalanya, namun dadanya sakit karena debaran di jantungnya makin menggila. Tidak tau kenapa ia takut mendengar alasan dari Mark. Ia takut.

“Mau tau alasannya nggak?”

Haechan diam, ia bimbang. Haruskah ia tau atau lebih baik tidak usah tau sampai kapanpun?

“Alasannya karena kamu, Haechan.” Mark mengeratkan genggamannya, ia dapat merasakan jemari Haechan meremat jarinya.

“M-maksudnya gimana?” Haechan mengerti, tapi ia terlalu syok sehingga bibirnya otomatis bertanya seperti itu.

“Aku masih nungguin kamu, Lee Haechan. Aku nggak nikah karena aku pengennya nikahin kamu. Aku nggak bisa jatuh cinta sama orang lain Chan, hati aku, raga aku maunya cuma kamu. Aku udah coba berulang kali buat move on dan deketin banyak orang, tapi bener-bener nggak bisa Haechan. Nggak ada yang ngebuat aku merasa berdebar dan jatuh cinta, perasaan aku mati buat orang lain, tapi jantung aku selalu berdebar kalau inget kamu, liat foto kamu, bahkan ketika nama kamu disebut aja aku deg-deg an. Kamu sering dateng ke mimpi aku, dimana masa-masa kita masih bersama, bahagiaaaa banget pokoknya di mimpi aku.”

Haechan menggigit bibir dalamnya, ia menahan untuk tidak menangis. Bagaimana bisa ini terjadi? Haechan tidak tau harus sedih atau bahagia. Di satu sisi ia bahagia karena Mark masih mencintainya bahkan menunggunya sampai detik ini. Namun ia juga sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Mark bahwa dirinya juga masih mencintai Mark sampai sekarang. Ia sedih karena Mark bodoh, kenapa Mark sebegitu yakinnya bahwa Haechan akan kembali padanya? Padahal kenyataan pahit sedang ada di depan mata Mark karena Haechan tidak bisa ditunggu lagi, Haechan sudah terikat dengan orang lain.

“Chan, kalau perasaan kamu gimana? Are you still love me or it's just me who still loves you?

Haechan ingin menangis sekejer mungkin, bagaimana cara mengatakannya kepada Mark? Akan terlihat menyedihkan jika Haechan mengatakan dengan jujur bagaimana perasaannya kepada Mark dengan status sudah menjadi suami orang. Akan terlihat jahat, karena Haechan mempermainkan pernikahan dan istrinya karena masih mencintai Mark.

“Mark...” Haechan mengusap punggung tangan Mark. “I'm sorry, I'v been married. I have a wife, Mark...” katanya sangat lirih dengan bibir yang bergetar, matanya berkaca-kaca namun Haechan menahannya sekuat mungkin agar tidak jatuh.

Hati Mark remuk redam, seperti ditusuk ribuan pisau. Sakit namun tidak berdarah. Yang jelas perasaannya hancur, Mark tidak dapat mencerna kalimat Haechan dengan baik, kalimat itu seperti kaset rusak yang terus berputar di otaknya namun tidak dapat dicerna dengan baik.

“So-sorry...” Haechan menundukkan kepalanya menahan tangisnya, ia tidak boleh menangis di hadapan Mark. Ia harus membuat Mark move on agar semuanya tidak makin rumit. Biarkan perasaannya sendiri terluka, asalkan Mark tidak terus berharap kepada dirinya yang jelas-jelas tidak bisa kembali ke pelukan Mark.

“Kamu udah punya—anak?”

Haechan mengangguk. “I have one daughter.

Sudah jatuh dari tangga, tertimpa tangga pula. Itulah yang dirasakan Mark. Hati Mark luluh lantak, tak bersisa, hancur berkeping-keping seperti pecahan kaca.

Genggaman tangannya di tangan Haechan ia lepaskan, kemudian menunduk dan menyangga kepalanya dengan telapak tangan, memijat pelipisnya yang tetiba berdenyut.

“Mark, I'm sorry...

Mark mengangkat tangannya, menyuruh Haechan berhenti berbicara. Haechan menggigit bibir bawahnya, ia ingin tenggelam di samudra saja, ia tak sanggup melihat Mark seperti ini.

Lama mereka terdiam, Haechan memejamkan matanya dan mendongak agar air matanya tidak menetes. Beberapa menit kemudian, Mark mendongakkan kepalanya. Kemudian menepuk pundak Haechan membuat si empu membuka mata dan menoleh.

Mark tersenyum simpul, senyum kepedihan yang terlihat dipaksakan untuk bahagia. “Congrats for your wedding, Chan. Sorry gue telat ucapinnya. Dan juga—selamat untuk anak pertama lo dan istri lo.”

Haechan tidak kuat, ingin rasanya ia memeluk Mark dan meraung-raung bahwa ia masih mencintai Mark. Ingin mengatakan bahwa Ody bukanlah anak kandungnya, mengatakan bahwa ia tidak mencintai Zeline. Namun apa daya, itu kata-kata haram dan larangan untuk Haechan, ia tidak bisa mengucapkan itu kepada Mark atau siapapun di dunia ini.

Thanks Mark. Ini bukan hak gue buat bilang kayak gini tapi gue nggak mau liat lo kayak gini, Mark. Lo harus cari pengganti gue, karena kita nggak akan mungkin buat kembali, Mark. Dunia kejam sama kita, kita nggak bisa berbuat apa-apa. Just let our story being a beautiful memories, we live each other's lives. It's better, so that you or I don't have to be shackled anymore.

Mark tertawa kecil. “Nggak semudah itu, Haechan. Lo bukan gue, jadi lo nggak tau gimana susahnya gue buat lupain lo. Nggak bisa, Chan. Tapi gue janji, gue akan belajar pelan-pelan buat lupain perasaan gue ke lo. Atau lo juga mau gue lupain lo nya? Kalo iya, lebih baik hari ini jadiin hari terakhir kita ketemu biar gue bisa belajar hidup tanpa adanya lo selamanya.”

Pedih

Haechan sedih mendengar kalimat Mark yang mengatakan akan melupakan sosoknya sekaligus, bukan hanya perasaannya. Tapi bukannya itu lebih baik? Ia ingin Mark bahagia, tidak terbayang-bayang akan dirinya lagi. Ia tidak ingin Mark seperti dirinya, menjadi suami yang bejat karena mencintai orang lain disaat statusnya sudah sah menjadi suami orang.

“Itu hak lo, Mark. Kalo itu bisa buat lo bahagia, gue nggakpapa. Lo boleh lupain gue, gue bisa pergi jauh dari lo dan nggak akan kembali lagi. Besok hari terakhir gue disini, dan setelahnya gue nggak akan pernah balik ke Indonesia lagi. Tomorrow is last day for me.

Mark menatap Haechan dan menghela nafas. “Then, I hope you always happy Haechan, thank you for the beautiful memories for the four years with me.”

Haechan tak berdaya. Ia hanya membalasnya dengan senyuman dan satu tetes air mata yang berhasil lolos dari mata cantiknya yang diusap lembut oleh jempol Mark sembari tersenyum. . . .

“Semuanya telah berakhir, harapan Mark untuk memiliki Haechan kembali sudah patah. Harapannya yang tinggi membutakannya, bahwa Haechan bukanlah miliknya lagi. Sayap Mark patah, bintangnya tidak bisa digapai lagi. Canda tawa, senyum, suara, dan raga Haechan hanya akan menjadi kenangan indah dalam duka untuk Mark. Bahkan setiap rindunya kepada Haechan yang jatuh lewat tetesan air matanya pun terhenti, ia tidak sanggup menangis atas kepergian Haechan secara nyata dari pelukannya. Mark akan mencoba terjaga dari mimpinya, mimpi bahagia bersama Haechan. Ia akan melupakan Lee Haechan untuk selamanya.”

—55;


Mark membaca pesan di grub imess nya yang mengatakan bahwa mereka sedang bersama dengan Haechan. Jeno yang mengatakan itu di grub, tentu saja Jeno bersama dengan Jaemin dan Renjun. Karena Chenle dan Jisung kini bersama dengannya, masih di tempat yang sama yaitu di depan toilet.

Jisung dan Chenle juga membaca pesan yang dikirimkan oleh Jeno itu. Mereka berdua saling menatap, berbicara lewat tatapan mata seperti bagaimana sekarang? Kita harus apa? Bawa Mark kesana?

“Mark...” panggil Chenle menepuk pundak Mark yang melamun menatap layar ponselnya.

“Hah?” Jawabnya, seperti orang linglung tak tau arah.

Chenle berdecak, “Lo beneran kayak orang tolol Mark, sumpah. Bisa biasa aja nggak sih? Gue bingung liat lo kayak gini, bangsat.”

Mark menghela nafas dan mengusap wajahnya kasar. “Nggak bisa Le, lo bayangin deh. 6 tahun dia nggak ada kabar sama sekali, bener-bener hilang tanpa jejak, trus tetiba dia ada di deket gue sekarang. Lo pasti paham lah seberapa syok nya gue? Kayak... nggak percaya antara ini beneran atau mimpi karena saking rindunya gue sama Haechan. Gue takut, terlanjur bahagia, ternyata ini cuma mimpi. Karena kemarin-kemarin pun gue juga halu dan mimpi kalo Haechan dateng ke anniversary party nya Jeno dan Jaemin. Bahkan gue meluk dia erat banget disana. Gila kan?”

Jisung melirik Chenle yang juga meliriknya.

“Iya, gue paham lo syok karena kebanyakan haluin Haechan suatu saat nanti datang ke hadapan lo. Tapi ya panjul, yang ini tuh kenyataan alias nggak halu! Lo mau percaya ini bukan halu? Jangan pukul gue ya tapi kalo sakit.”

Belum sempat menjawab kata-kata Jisung, Mark sudah kaget duluan karena Jisung memukul pipinya lumayan keras.

“Brengsek!” Teriak Mark, memegangi pipinya yang membiru.

Jisung terkekeh, “Udah percaya kalau ini nyata? Sakit kan?”

Mark mendengus, “Enak di lo nya ya tai, pipi gue biru? Trus gimana mau ketemu Haechannya bodoh?”

“Nggak biru, nggak keliatan kok, santai.” Ucap Chenle.

“Yang bener? Awas lo berdua kibulin gue.”

“Iya Mark astaga, ngaca gih di toilet sana kalo nggak percaya.” Ujar Jisung yang sudah lelah menanggapi Mark.

“Oke gue percaya. Sekarang gimana?”

Chenle menepuk jidatnya. “Mboh lah sakkarepmu Mark, gue capek sama lo. Ayo Sung, kita temuin Haechan berdua aja.”

Jisung mengangguk dan menarik tangan Chenle, namun jas kedua lelaki itu ditarik oleh Mark. “Eitsss, sabar dong bro. Gue ini deg-deg an jadi atur nafas dulu.”

“Halah, dari tadi lo ngapain aja buset kalo kagak atur nafas? Alesan aja lu.” Ucap Jisung.

Mark tergelak tawa, hatinya sudah sedikit ringan meski masih deg-deg an luar biasa.

“Ayo, Mark. Kalau lo nggak jalan, beneran gue tinggal.” Ancam Chenle mengibaskan tangan Mark yang memegang jas nya.

“Iya iya, galak amat. Ayo deh, gue udah siap.”

Akhirnya mereka bertiga keluar dari area toilet, berjalan menuju Ballroom, tempat dimana Haechan dan teman-temannya berada.


Mark menghembuskan nafasnya berulang kali sambil mengekori Chenle dan Jisung.

“Chenle, Jisung!” Suara Renjun yang seperti toa ditambah suara Jaemin yang besar pun berhasil menembus ke gendang telinga sang empu di keramaian Ballroom yang super padat.

“Nah itu mereka.” Ucap Chenle menarik tangan Jisung dan Mark yang ada di belakangnya.

Deg deg deg

Deg deg deg deg

Suara detak jantungnya pun berdetak 2 kali lebih cepat dari sebelumnya saat jaraknya dengan teman-temannya semakin dekat. Haechan belum terlihat di matanya, karena Renjun, Jaemin dan Jeno yang menghalangi pandangan Mark.

Deg deg deg deg

Chenle dapat merasakan tangan Mark yang bergetar di genggamannya, ia hanya terkekeh merasakan itu. Apa hal juga ini bapak bapak kepala 3, seperti remaja baru jatuh cinta saja, segala pakai tremor.

Dan—boom!

Ketika Renjun, Jeno dan Jaemin menyingkir memberikan akses jalan untuk Chenle, Jisung dan Mark, kedua iris gelapnya kini bersitatap dengan iris secoklat madu milik mantan kekasihnya; Lee Haechan namanya.

Mark membeku di tempat, karena memang dirinya sudah sampai dan berdiri di samping teman-temannya, dan tepat di depannya, berdirilah Lee Haechan. Lelaki yang selalu menempati hati Mark Lee dari dulu hingga sekarang, tahta seorang Haechan tidak bisa digeser siapapun meski Mark berkali-kali mencobanya.

Sama persis, Haechan sama persis dengan foto yang ada di menfess tadi. Mantan kekasihnya itu sangat tampan, menawan, rupawan dan mempesona. Cantik, itu selalu tersemat pada Haechan bagi Mark, karena menurut Mark, Haechan itu indah dan cantik.

Haechan pun diam, ia juga hanya menatap Mark yang sedang menatap lekat dirinya tanpa kedip. Haechan tak tau harus berbuat apa sekarang, karena lidahnya pun terasa kelu hanya untuk menyapa 'Hai' kepada Mark.

Jeno dan teman-temannya saling lirik melihat keterdiaman mantan pasangan ini. Renjun pun berdeham membuat ajang tatap menatap Mark dan Haechan terputus.

“Ups sorry kalau gue ganggu acara saling mengagumi dan rindu kalian. Karena apa? Ya benar sekali, kami pamit undur diri dulu ya? Nanti kita balik kesini lagi. Kita mau nyapa anak-anak lain soalnya. Ya kan guys?” Tanya Renjun.

Kompak, mereka mengangguk.

“Eh tapi bentar, gue mau nyapa Haechan dulu. Kalian kan udah, gue belum.” Kata Chenle dan mendekati Haechan.

“Gue kok canggung banget sih bangsat sama lo, biasa juga dulu cak cok cak cok sama lo.” Ucap Chenle sebagai pembuka membuat Haechan tertawa.

Tawa Haechan untuk Chenle pun berdampak pada kesehatan jantung Mark, karena lelaki itu kini menahan nafasnya melihat senyum manis Haechan dan juga suara tawanya yang menggemaskan.

“Fuckkkkk, gue nggak kuatttt. Rasanya gue pengen duduk, gue nggak kuat berdiri Ya Tuhan...” batin Mark Lee saat ini.

“Hahaha santai aja Le, lo juga tetep bisa kayak gitu kok ke gue. Nggak mau meluk gue, lo? Kata mereka tadi, lo yang paling kangen sama gue.”

“Hoaxxxxx, aku yang paling kangen sama kamu, sayanggg. Mark Lee lah yang paling kangen sama Haechan di dunia ini!!!” lagi-lagi hanya batinnya yang bisa menjerit.

“Iya, gue kangen banget sama lo tai, lo kemana ajasih selama 6 tahun ini?” Tanya Chenle dan kini memeluk Haechan erat.

Haechan menepuk-nepuk punggung Chenle. “Gue pergi jauh pokoknya, maaf ya kalau gue nggak kabarin kalian selama ini. Gue belum siap buat bilang ke kalian kalau gue pergi, ntar kalian malah nyegah gue pergi yang ada.”

“Seenggaknya pas udah pergi tuh ya kasih tau lah kemana perginya lo, biar kita nggak kayak kehilangan lo gitu aja.” Ucap Chenle melepaskan pelukannya.

“Gue lagi cari jati diri Le, gue mau fokus sama tujuan hidup gue dulu, dan sekarang, gue baru berani tunjukin diri di depan kalian.”

“Artinya lo udah nemu jati diri lo, gitu?”

Haechan terkekeh. “Um—entah. Yang gue tau, tekad gue dateng kesini karena pengen ketemu kalian.”

“Le, gantian gue dong. Kasihan Mark nih lo liat, udah kayak patung pancoran dari tadi nungguin lo, suruh dia nafas coba, kayaknya dia nahan nafas dari tadi.” Ucap Jisung membuat Haechan melirik Mark.

Yang dilirik gelagapan dan memalingkan wajahnya. Haechan tersenyum tipis melihat itu. Ia tau jika Mark sedang salah tingkah, Haechan tidak akan pernah lupa kebiasaan Mark, contohnya seperti saat salah tingkah kayak gini, Mark akan memutuskan kontak mata dan memalingkan wajahnya.

Chenle mundur dan memberi jalan kepada Jisung untuk mendekat kepada Haechan.

“Hai, Chan. Nice to meet u again...”

“Hahaha, me too. Nice to see you, Sung.” Kemudian Haechan memeluk Jisung yang lebih tinggi darinya ini.

“Ih kok lo tinggi banget sih Sung? Lo makan apaan di Bandung? Perasaan 6 tahun lalu, lo masih se bahu gue.”

Jisung tertawa dan menepuk puncak kepala Haechan. “Rajin minum susu UHT aja, tinggi dah lo ntar.”

“Hahaha bisaan ae lo.” Haechan tertawa dengan candaan Jisung.

Dan perlu diketahui, setiap senyum dan tawa Haechan sangat membuat Mark Lee ingin jatuh pingsan. Alay memang, tapi yang namanya melihat pujaan hatinya yang makin menawan ada di depan mata sedang tersenyum dan tertawa, siapa yang kuat?

“Ya udah Chan, gue sama yang lain mau ngobrol sama yang lain dulu. Lo—sama Mark lama nggak ketemu kan? Take your time guys, kita pergi dulu. Bye-bye.” Ucap Renjun langsung menarik Jisung dan Chenle pergi dari sana diikuti Jeno dan Jaemin.

Krik krik krik

Seperti terdengar suara jangkrik saat ini padahal di sekitar mereka teramat sangat ramai.

“Sialan, kenapa gue ditinggal sendirian sama Haechan sih? Gue harus apa sekarang panjul???” teriak batin Mark untuk kesekian kalinya.

Haechan pun sama, lelaki manis itu hanya diam sambil matanya bergerak random asalkan tidak melihat Mark. Jantungnya lagi lagi berulah, Haechan dapat merasakan jantungnya seakan-akan ingin keluar dari rongga dadanya.

“Mark.” “Chan.”

Ucap mereka bersamaaan, membuat keduanya kembali saling bertatapan, menyelami manik mata masing-masing, melihat pantulan diri mereka dari manik sang lawan bicara.

Kemudian keduanya tertawa canggung. Demi Tuhan Mark Lee dan Lee Haechan... kalian pernah pacaran selama 4 tahun!!!

“Kamu—apa kabar, Chan?”

“Aaaakkk woi, itu Mark sama Haechan kan? Anjir, beneran ketemu akhirnya? Anjingggg momen langka, cepet foto!!!”

Seketika, Haechan menarik tangan Mark dan membawanya lari dari sana, keluar dari Ballroom. Yang ditarik pasrah saja, karena ia tidak bisa berkutik saat tangannya digenggam oleh Haechan.

Mark Lee lemah jika berhadapan dengan Lee Haechan

Haechan berhasil membawa Mark keluar dari Ballroom, kini keduanya sudah ada di dalam lift berdua saja, tidak ada siapa-siapa. Yah, kembali awkward deh suasananya.

“Lo bawa mobil nggak?” Tanya Haechan tiba-tiba, jantung Mark Lee barusan berasa berhenti berdetak selama 3 detik.

“Mark!” Haechan menggoyangkan lengan Mark yang masih diam saja dan hanya menatap dirinya.

“A-ah iya bawa kok. Kenapa emang?”

“Mau keluar aja nggak? Night drive misal? Atau kemanapun terserah, pokoknya nggak disini.”

Syok, Mark syok karena Haechan mengajaknya dahulu untuk pergi dari sini, menjauh dari keramaian.

“Ini beneran?” Tanya Mark.

Haechan mengernyitkan dahinya. “Beneran gimana?”

“Kam—lo beneran ajak gue pergi dari sini berdua aja?”

“Ya beneran, emang kenapa sih?”

Ting!

Pintu lift pun terbuka, lagi dan lagi Haechan menarik tangan Mark keluar dari lift menuju basement.

“Mobil lo yang mana? Gue males nyetir soalnya, udah agak lupa jalanan Bandung juga.”

Mark mengeluarkan kunci mobilnya dan memencet tombol buka kunci otomatisnya, sehingga mobil Pajero nya pun berbunyi.

“Akhirnya kebeli juga ya Pajeronya.” Kata Haechan sembari terkikik, ia ingat betul jika Mark ingin punya mobil Pajero Sport, dan sekarang Mark sudah mempunyainya.

“Haha ya gitu deh, ayo masuk.” Mark membukakan pintu mobil untuk Haechan yang dibalas dengan senyuman manis serta ucapan terimakasih.

Mark Lee bahagia, setidaknya seperti itu yang ia rasakan saat ini.

Mobil Pajero Sport itu sudah keluar dari Hotel, melintasi jalanan Bandung di malam hari yang indah dan ramai.

“Mau kemana kita, Chan?” Ia menoleh ketika lampu lalu lintas berubah merah.

“Karena gue udah kenyang makan banyak di reunian tadi, gue pengen ke alun-alun aja deh.”

“Oh oke.” Jawab Mark singkat dan melajukan mobilnya saat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.

Karena sunyi, akhirnya Mark memutar musik dengan playlist spotify nya. Terputarlah lagu milik Judika yang berjudul 'Bagaimana Kalau Aku Tidak Baik-baik Saja'.

Putar dulu yuk, sambil baca harus di puter karena pas banget masa lirik sama alur ceritanya T_T mau nangis

https://www.youtube.com/watch?v=Mmey0uqmN7E

Bukan salah Mark, karena ia hanya memutar playlist lagi viral di spotifynya. Haechan mendengarkan setiap lirik yang terdengar masuk ke telinganya.

Tertohok, hati Haechan seperti diremat dengan keras mendengar liriknya. Ia tidak terlalu mendengarkan lagu Indonesia disana, karena ia lebih sering mendengarkan lagu artis-artisnya sekalian buat koreksi rekaman.

Sialan, Mark sendiri juga tertohok, karena lagu ini seperti ditujukan untuk Haechan dari Mark, atau mungkin juga sebaliknya?

Sepanjang lagu Judika itu terputar, keduanya hanya diam. Mark yang fokus menyetir sedangkan Haechan melihat jalanan Bandung dari jendela mobil.

“Mark Lee sialan, kenapa liriknya gini banget? Kenapa? Ini lirik lagu apa isi hati gue sih sebenernya?”

“Bangsat, ini lirik lagu berasa gue yang nyanyi, isi hati gue buat Haechan banget lah.”

4 menit sudah lagu itu terputar dan selesai, kini berlanjut ke lagu yang lain. Terputarlah lagu milik Ndarboy Genk yang berjudul 'Mendung Tanpo Udan'.

Lagi dan lagi, sepertinya lagu viral di spotify ini menggambarkan kisah cinta antara dirinya dan Haechan.

Meski agaknya kedua nya tidak terlalu mengerti artinya, namun mereka tetap paham apa maksud dari lagu tersebut. Yang mana bermakna, mereka pernah bersama dan saling mencintai, menyayangi, senang dan sedih dilalui bersama selama bertahun-tahun sampai mereka merancang masa depan berumah tangga dengan hubungan yang harmonis, romantis dan hangat. Namun kisah mereka hanya tinggal kenangan karena sudah beda jalan alias putus. Begitulah garis besar dari lagu bahasa jawa itu.

Bukankah itu sangat menggambarkan kisah cinta Mark dan Haechan? Iya, benar. Mereka dahulu juga begitu sebelum beda jalan, Haechan ke kanan, Mark ke kiri.

Mark bingung harus mengajak bicara apa, karena ini benar-benar awkward. Sampai lagu ketiga kini mulai terputar yang berjudul 'Roman Picisan' yang dinyanyikan oleh Hanin Dhiya dan Ahmad Dhani. Mark dan Haechan lelah, semua playlist itu seakan-akan mengejek mereka saat ini. Karena apa? Lirik lagu ketiga pun sangat menohok ulu hati keduanya.

“Mark, playlist lo kenapa lagu galau semua sih? Nggak ada yang lain apa?”

Cintaku tak harus... miliki dirimu.... Meski perih mengiris-iris segala janji...

Mark meringis, kenapa liriknya harus seperti itu ketika keduanya akan berbicara? Menyebalkan sekali.

“Itu playlist langsung dari spotify nya Chan, gue mana tau isinya begitu semua? Yang lagi viral lagu galau semua kali.”

Haechan mendengus, dan berakhir pasrah sepanjang jalan mendengarkan banyak lagu galau hingga sampai di alun-alun Bandung.


Mark dan Haechan duduk di salah satu kursi kosong yang ada di alun-alun tersebut, dimana tempat duduknya agak jauh dari area keramaian, hanya ada beberapa orang saja di sekitar mereka berdua. Cocok buat mengobrol santai atau bahkan deep talk.

Kedua anak adam itu masih diam, menatap lurus orang lalu lalang yang bermain, makan, piknik malam, bahkan ngegosip juga.

“Selamat datang di Bandung, Lee Haechan.” Ucap Mark sebagai pembuka, membunuh aura kecanggungan diantara mereka.

Haechan menoleh dan mengangguk kemudian tersenyum tipis. “Thanks, Mark.”

“Lo apa kabar?” Pertanyaan klasik semua orang jika lama tidak bertemu, dilontarkan oleh Haechan.

“Aku nggak baik-baik aja Chan, aku frustasi, sedih, stress banget mikirin kamu, aku berasa mau gila karena kangen sama kamu tiap harinya. Aku gelisah dan nggak tau harus apa karena sekarang aku bisa liat kamu ada di deket aku setelah 6 tahun lamanya aku nggak pernah denger nama kamu.” Inginnya Mark menjawab seperti itu di depan Haechan, namun tenggorokannya terlalu kering hanya untuk berkata jujur tentang keadaannya selama 6 tahun ini tanpa Haechan.

Mark benar-benar tidak baik-baik saja setelah ditinggal pergi Lee Haechan tanpa kabar.

Haechan menoleh lagi karena tidak ada jawaban dari Mark. “Mark?”

Mark tersadar dari lamunannya, ia linglung. Parah, Haechan sangat mempengaruhi fungsi kerja seluruh tubuhnya termasuk otaknya. “E-eh sorry gue nggak fokus. Kabar gue ya? Yang kayak lo liat aja sekarang gimana, Chan. Makin cakep, udah bisa cari duit sendiri, punya kerjaan, tetep temenan sama 5 cecunguk itu, bisa beli Pajero Sport, dan tentunya masih nafas sampai detik ini. Kesimpulannya adalah kabar gue baik.”

Haechan tergelak tawa mendengar jawaban Mark. Benar, yang Haechan lihat juga seperti itu, Mark sangat baik-baik saja.

“Bagus lah kalau gitu, gue ikut seneng dengernya.”

“Lo—sendiri gimana kabarnya, Chan? Selama 6 tahun ini kalau boleh gue tau, lo pergi kemana?”

“Gue baik baik aja as you see right now. Dan selama 6 tahun ini gue nggak tinggal di Bandung. Gue kejar S2 di luar negeri, tapi gue nggak mau kasih tau lo dimana nya.”

Mark terkejut, jadi selama ini Haechan ada di luar negeri? Pantas saja tidak ada yang pernah melihat mantan kekasihnya itu seliweran di Bandung selama 6 tahun.

“Rumah lo yang di Bandung gimana? Tante sama Om juga nggak ada disana kayaknya.”

“Lo sering lewat rumah gue, ya?” Dahinya berkerut mendengar jawaban Mark, kenapa Mark bisa tau jika Papa Mama nya tidak ada di rumah itu?

Mark mengerjapkan kedua matanya, kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Hehe, sering karena kantor gue ngelewatin rumah lo.”

“Ah gitu, lo kerja dimana emang?”

“Gue punya studio desain, Chan.”

“Wah, lo CEO nya dong kalau punya studio?”

Mark mengangguk dan tertawa kecil. “Ya gitu lah.”

“Studio desain apa emangnya? Grafis?”

“Banyak, studio gue ada cabangnya. Jadi mulai studio desain grafis ada, studio desain interior ada, studio desain ilustrasi ada, studio desain typeface buat brand ada, studio web design ada, studio identitas kayak mengacu ke visual branding dan visual merchandising ada. Emm gue juga punya studio foto dan studio musik juga sih.”

Haechan melongo, Mark sesukses itu sampai semua macam studio punya? Wow, speechless, Haechan jadi insecure melihat kesuksesan Mark. Dirinya saja hanya CEO 1 perusahaan Entertainment.

Ah harusnya Haechan tidak heran mengapa Mark mengambil jurusan DKV, ternyata memang Mark menekuni dunia yang berkaitan dengan sebuah desain.

“Wow, lo keren banget, Mark. Gue sampe bingung harus bereaksi kayak apa.”

Mark terkekeh, sejujurnya ia ingin memeluk Haechan saking gemasnya. Tapi sekarang statusnya hanyalah mantan, ia tidak bisa berbuat seperti itu sesuka hatinya seperti dulu.

“Puji Tuhan, Chan. Tuhan baik banget sama gue dalam semua hal. Kecuali satu sih.”

Sebelah alis Haechan terangkat. “Kecuali 1? Apa itu?”

“Kamu, Chan. Tuhan nggak kasih aku kebahagiaan buat milikin kamu.” Mark hanya bisa menjerit dalam batin setiap menjawab pertanyaan Haechan.

“Hahaha, bukan apa-apa. Ada pokoknya.” Jawab Mark kemudian.

Haechan hanya mengangguk, ia tidak akan bertanya jika Mark memang tidak ingin memberitahu.

Dipikiran keduanya saat ini sama, ingin bertanya apakah sudah menikah? Kalau sudah, punya anak berapa? Pertanyaan itu kini bercokol di otak keduanya, namun tak berani mengungkapkannya. Tidak tau kenapa terasa berat untuk bertanya, mungkin Mark dan Haechan takut kecewa mendengar jawabannya nanti?

Karena sudah dapat dipastikan, Mark lah yang akan kecewa dan terluka disini jika Haechan menjawab pertanyaannya yang itu.

Akhirnya, mereka memendam dalam-dalam pertanyaan itu. Mereka takut, takut kecewa karena tidak sesuai harapan.

“Kalau lo sendiri udah lulus S2 kan pasti?” Tanya Mark pada akhirnya.

“Udah, gue langsung ambil S2 waktu pergi dari Bandung.”

“Sekarang lo kerja apa di luar negeri sana?”

“Gue kerja jadi staff di industri musik sih.” Bohongnya, ia tidak ingin ditanya apa nama perusahaan hiburan nya jika menjawab sebagai CEO.

“Oh ya? Pantes sih soalnya lo dulu juga S1 nya ambil Seni. S2 lo juga ambil seni?”

“Iya, jurusan Musik.”

“Lo jadi staff apa?”

“Produser Musik.”

Mark mengaga, demi Tuhan Haechan menjadi produser musik? Artinya Haechan benar-benar multitalent. Ya seperti yang diketahui banyak orang. Pekerjaan produser musik itu tak hanya satu. Seorang produser musik melakukan pencarian bakat untuk menjaring artis, mencari komposer dan penulis lagu, menentukan arah musik, melatih artis dan musisi di studio (perusahaan), mengendalikan proses rekaman, menentukan strategi untuk marketing artis-artisnya.

Haechan tak sepenuhnya bohong. Ia sebagai CEO juga terlibat pekerjaan Produser Musik di HM Entertainment sana. Contohnya pendebutan boy group baru bernama Dreamer kemarin. Haechan turun tangan langsung dalam proses seleksi, menciptakan lagu, dan melatih para trainee Dreamer baik menyanyi ataupun menari berdampingan dengan staff koreografi, teknisi suara, penata musik dan komposer.

“Hebat. Lo keren banget, Haechan, sumpah. Maaf kalau gue kesannya kepo, tapi—lo kerja di perusahaan mana?”

“Hahaha rahasia, nanti ya Mark kalau gue udah siap kasih tau kalian semua dimana gue tinggal, gue bakalan kasih tau kok.”

“Ah okey...”

Suasana menjadi diam lagi, keduanya sama-sama sibuk berpikir, apa yang akan dilakukan selanjutnya.

“Chan, kita masih sama kan?”

Pertanyaan ambigu itu sukses keluar dari bibir tipis Mark.

“Sama lah. Lo sama gue tetep manusia.”

Mark terkadang geregetan dengan candaan Haechan ketika dirinya sedang serius.

“Bukan gitu Haechan, maksud gue—kita tetep bisa kayak dulu nggak? Maksud gue berteman baik.” Mark bingung sendiri, padahal niatnya ingin memperbaiki hubungan canggung keduanya, pelan-pelan, Mark tidak ingin membuat Haechan makin menjauhinya jika dirinya terang-terangan mendekati Haechan lagi.

“Kan kita emang berteman baik, Mark. Kapan kita musuhan sih?”

Mark menghela nafas kemudian menyerongkan tubuhnya untuk menghadap ke Haechan sepenuhnya. “Hubungan kita renggang selama 6 tahun, Haechan... kita nggak baik-baik aja dalam 6 tahun ini, aku masih nggak ngerti kenapa kamu mutusin aku waktu itu, Chan ketika kamu pernah ngomong bakalan siap hadapin semuanya bersama, just tell me why, Chan.” nada nya melirih, kedua matanya terlihat sendu saat mengatakannya membuat Haechan pun menolehkan kepala, menatap Mark.

Haechan dapat melihat dan merasakan sorot sendu dari mata Mark. Sialan, Haechan ingin menangis saja rasanya, tapi dirinya tidak boleh terlihat lemah di depan Mark, atau semuanya akan kacau.

“Kita udah nggak cocok Mark, jadi gue pengen kisah kita berakhir. Udah gitu aja.”

“Nggak cocok kata kamu? 4 tahun kita ngapain, Haechan? Kenapa kamu baru nemuin ketidakcocokan diantara kita setelah 4 tahun kita pacaran? Bahkan kita udah merancang masa depan, kita baik-baik aja selama 4 tahun, kita udah janji lawan dunia yang nggak restuin kita bersama, tapi pada akhirnya kamu yang nyerah dan ninggalin aku. Aku bingung, aku nggak bisa temuin dimana letak ketidak cocokan kita, Chan.”

“Lo nggak akan ngerti, Mark. Lo nggak ngerti.”

“Mangkanya jelasin ke aku, Haechan!” Nadanya meninggi, emosi Mark keluar karena pertanyaan sejak 6 tahun lalu akhirnya dapat diutarakannya di depan Haechan.

Para pengunjung alun-alun yang ada di sekitar mereka ikut terdiam, memusatkan perhatian kepada mereka berdua karena suara Mark. Haechan berdecak, ia tidak suka dijadikan pusat perhatian ketika suasana bertengkar seperti ini.

Haechan berdiri dan menarik tangan Mark pergi dari sana, menjauh ke area yang lebih sepi. Ia membawa Mark ke dalam mobil kembali.

“Kenapa kita di mobil? Kenapa nggak disana aja?” Tanya Mark setelah duduk di samping Haechan. Mereka berdua duduk di jok belakang.

“Dilihatin banyak orang, lo tuh bisa nggak jangan emosi duluan? Malu tau diliatin banyak orang kayak tadi.”

Mark mengusap wajahnya kasar kemudian menggenggam jemari Haechan. “Maaf, gue nggak sadar udah bentak lo kayak tadi. Gue kalut, Haechan.”

Haechan menatap tangannya yang digenggam Mark, rasanya masih sama. Hangat dan mendebarkan, jantung Haechan masih sama seperti dulu, selalu ribut jika bersama Mark.

Ia mengusap punggung tangan Mark kemudian tersenyum lembut. “Mark, kita nggak cocok, percuma kita terusin hubungan kita kalau banyak faktor yang nggak ngedukung kita buat bersama.”

“Tapi kan ini hidup kita, Haechan. Siapapun atau apapun nggak bisa ikut campur dalam pilihan hidup kita, kan? Dan kamu juga janji sama aku untuk lewatin semuanya bersama, kamu lupa?”

“Aku enggak lupa, Mark. Sama sekali nggak lupa, tapi nggak semua janji bisa ditepatin kan? Salah satunya janji aku buat kamu yang bisa lewatin semua pertentangan dunia terhadap hubungan kita. Nyatanya, aku nggak bisa, Mark. Dan kamu nggak ngerti apa yang aku rasain. Kamu nggak akan ngerti.”

“Kenapa aku nggak akan ngerti? Kamu bisa jelasin semuanya kan? Kita berdua Haechan, kamu nggak berjuang sendirian lawan dunia ini, ada aku yang dampingin kamu. Kenapa kamu nggak yakin sama kita dan memilih mundur?”

“Kamu nggak ngerti karena kamu bukan aku, Mark. Kamu bukan aku, kamu nggak tau posisi aku dalam melawan dunia ini, hal apa aja yang harus aku hadapi buat bisa terus sama kamu, kamu nggak ngerti dan nggak akan pernah bisa ngerti.”

Mark frustasi, Haechan terus mengatakan bahwa dirinya tidak akan mengerti. Bagaimana dirinya bisa mengerti jika Haechan tidak memberitahunya apa itu?

“Iya, aku nggak akan ngerti karena aku bukan kamu, tapi setidaknya kalau kamu kasih tau aku, aku bakalan ngerti, Chan. Tapi kamu putusin aku gitu aja karena merasa hubungan kita udah nggak bisa dipertahanin. Aku butuh alasan, kenapa kamu merasa hubungan kita nggak bisa dipertahanin? Karena Papa Mama aku? Iya?”

“Bukan, udah Mark jangan dibahas lagi. Kita udah selesai, udah 6 tahun lamanya kisah kita berakhir. Kamu dan aku punya kehidupan masing-masing, harusnya kamu tau itu. Kita bukan apa-apa lagi, Mark Lee. Hanya teman, itu aja.”

Sakit, hati Haechan sakit saat mengatakannya bahkan ia menahan getaran bibirnya yang ingin menangis. Matanya saja sudah berkaca-kaca dan Mark dapat melihatnya.

Mark tidak tau kenapa Haechan menahan tangisnya, apakah karena Haechan kesal padanya yang terus menanyakan alasan dirinya diputuskan atau menangis karena sedih, Mark tidak tahu. Akhirnya ia memilih untuk menarik tubuh Haechan ke dalam pelukannya.

Haechan tidak menolak, justru ia balik memeluk Mark, ia bisa merasakan debaran jantung Mark yang kencang seperti miliknya. Mark juga bisa merasakan debaran jantung Haechan, seirama dengan miliknya.

“Kamu sampai kapan di Bandung?”

“Sampai Senin, Selasa nya aku balik ke luar negeri.”

“Rumah kamu di Bandung, udah nggak dipakai?”

Haechan menggelengkan kepalanya, “Nggak, itu udah dijual.”

“Trus Om sama Tante tinggal sama kamu disana?”

“Iya.”

“Kamu tinggal dimana sekarang? Hotel kah?”

“Heem.”

“Dimana?”

Grand Mercure Bandung Setiabudi.

“Kenapa nggak di InterContinental sekalian sih? Kan reuni kita disitu.”

“Biar bisa jalan-jalan keliling Bandung yaelah.”

Mark terkekeh. Ia mengusap lembut rambut Haechan. “Aku udah bilang belum, kalau kamu makin manis, ganteng, memukau dan cantik?”

Haechan mendengus dan mencubit perut Mark, membuat si empu mendesis kesakitan. “Udah tua, gombal mulu. Malu sama umur.”

Mark tertawa kecil. “Lah aku beneran tau, itu pujian bukan gombal.”

“Iya deh makasih, kamu juga.”

“Aku juga kenapa?”

“Makin—cool maybe?

“Makin ganteng nggak?”

Haechan berdecak, “Hmm.”

Lantas keduanya tertawa, sejenak melupakan ketegangan yang baru saja terjadi.

“Chan, boleh aku minta waktu kamu yang tersisa disini selama 2 hari?”

“Mau ngapain?” Haechan mendongakkan kepalanya, itu membuat jarak wajah diantara mereka dekat sekali, bahkan hembusan nafas Mark menerpa kulit wajah Haechan.

Kedua mata mereka terpaku, dari jarak sedekat ini keduanya dapat melihat jelas bagaimana paras rupawan satu sama lain setelah 6 tahun lamanya tak pernah tau.

Glek

Tolong diputar lagunyaaa, pleaseee T_T kalau punya lagunya juga lebih mantap. “Jalan Tengah by Naura Ayu”

https://www.youtube.com/watch?v=3j5l33XMP7Y

Jantung Mark dan Haechan berdetak makin cepat. Ketika Haechan ingin melepaskan pelukannya, Mark menahan pinggang Haechan erat, tidak membiarkan Haechan lepas dari pelukannya.

“Haechan, aku rindu, banget. 6 tahun Chan aku nahannya. Aku masih nggak percaya sekarang kamu ada di hadapan aku, rasanya kayak mimpi yang biasanya aku alamin. Ketemu kamu, dan ketika aku bangun, semuanya hilang dan ternyata itu cuma mimpi. Se kangen itu aku sama kamu, Chan. Sampai kebawa mimpi hampir tiap hari.”

Kedua mata cantik Haechan mengerjap mendengarkan kalimat panjang dari mantan kekasihnya ini.

“Bukan cuma aku yang rindu sama kamu, tapi Bandung juga rindu liat kita berdua main kesana kemari menjelajahi Bandung.”

Haechan bingung harus menjawab apa, karena ia juga sangat merindukan Mark. Tidak hanya Mark yang selalu terbayang-bayang akan dirinya, tetapi Haechan juga, Mark sering menghantui alam mimpinya.

“Aku juga rindu, Mark. Bandung dan kamu.”

Mark menggigit bibirnya, menatap bibir pink alami Haechan. “Chan, boleh?”

Haechan tidak bodoh untuk tau apa maksud pertanyaan Mark, ia hafal gelagat Mark apalagi sekarang sedang menggigit bibir seperti itu. Haechan tidak munafik ia merindukan skinship dengan Mark. Biarkan sekali ini saja, ia tidak mempunyai banyak waktu bersama Mark sebelum dirinya kembali ke Inggris dan tak akan pernah kembali ke Indonesia lagi, yang artinya ia tidak akan bertemu Mark lagi setelah ini.

Tanpa menjawab pertanyaan Mark, Haechan mendorong tengkuk Mark dan menempelkan bibirnya di bibir tipis Mark.

Kedua mata mereka terpejam bersamaan, Mark mengangkat tubuh Haechan agar duduk di atas pahanya, memeluk erat pinggang ramping mantan kekasihnya itu sedangkan Haechan memeluk leher Mark.

Bibir mereka bergerak bersama, saling memagut lembut dengan tempo yang sedang. Menyalurkan rasa rindu yang terpendam selama 6 tahun. Kini mereka tumpahkan hari ini dengan pelukan dan ciuman mesra tanpa diikuti nafsu. Hanya penyaluran rindu yang teramat, membuncah menjadi letupan kembang api di dalam hati masing-masing dengan detak jantung yang seirama, sama-sama berdentum begitu cepat.

Telapak tangan kiri Mark mengusap tengkuk Haechan sedangkan tangan kanannya mengusap punggung. Sedangkan jemari Haechan menyisir rambut Mark dengan lembut dan pelan seirama dengan ciuman mereka.

Saliva manis itu perlahan tertukar, kepala miring bergantian untuk mencari posisi ternyaman untuk memperdalam ciuman. Menyesap lidah dan bibir kenyal itu untuk menambah kenikmatan berciuman di malam hari ini. Untung saja film kaca mobil Mark berwarna hitam, sehingga dari luar tidak terlihat apa-apa.

Ciuman itu berlangsung selama 5 menit, mungkin saking rindunya, mereka tidak merasa lelah untuk terus saling memagut bibir. Ciuman itu diakhiri dengan menempelkan dahi kemudian saling menatap disertai tawa kecil, tawa bahagia.

“Sekali lagi, selamat datang di Bandung, kota penuh kenangan antara aku dan kamu, Haechan.”

Haechan mengangguk dan memeluk Mark erat, menghidu aroma tubuh Mark yang menenangkan. “Terimakasih lagi, Mark Lee. Bandung masih indah.”

Mark mengusap rambut Haechan. “Iya, sekarang makin indah soalnya kamu ada disini.”

Haechan tergelak tawa, Mark masih sama. Kata-kata manisnya selalu membuat Haechan geleng-geleng kepala karena salah tingkah.

Drrrttt Drrrttt

Ponsel Mark bergetar terus menerus di saku jas nya.

“Hp kamu tuh geter terus.” Kata Haechan merenggangkan pelukannya.

“Tsk, siapa sih ganggu banget.”

Haechan tertawa lagi, “Cek aja dulu, siapa tau penting.”

Posisi Haechan masih duduk di atas paha Mark dan masih memeluk leher Mark.

Mark pun membuka ponselnya, ternyata ada pesan grub dari teman-temannya.

“Astaga ternyata 5 semprul, Chan.”

“Hahaha, oh iya mereka masih disana. Kita kembali aja ya?”

“Nggak usah, kita jalan-jalan lagi aja. Mereka bisa pulang sendiri lagian.”

Haechan mengerlingkan matanya. “Terserah lah, bales dulu itu mereka, biar nggak khawatir.”

“Iya, aku bales ini.”

Dan berakhir, Mark membawa Haechan night drive dan menikmati pemandangan kota Bandung di atas puncak Bukit Bintang.

—46;


Mark turun dari mobil Pajero nya yang ia parkirkan di basement. Banyak sekali mobil-mobil mewah yang berjajaran parkir disana. Ia berjalan menuju lift yang akan mengantarkannya pada Ballroom InterContinental Bandung Dago Pakar.

Saat memasuki lift, ternyata banyak juga alumni NCIT yang mengenal dirinya, buktinya mereka menyapa dan mengajak salaman Mark di dalam lift itu, bahkan mengajak bicara.

Mark bukanlah manusia anti sosial, temannya banyak sekali kok. Hanya saja tak semua mahasiswa NCIT angkatan 15 mengenal dirinya, namun mayoritas mengenal siapa itu Mark Lee. Dan tentu saja dengan pasangannya, Lee Haechan.

Pasangan populer yang banyak sekali pendukung dan fansnya. Iya, Mark dan Haechan pernah sepopuler itu di NCIT karena hubungan mereka yang terlihat adem ayem, romantis dan penuh cinta.

Sebenarnya memang begitu kok, hanya saja ya... ada sesuatu yang tidak diketahui publik apa yang terjadi dengan pasangan populer ini. Yang mereka tahu, Mark dan Haechan putus baik-baik karena merasa tidak cocok lagi dan memilih jalan masing-masing.

Kepergian Haechan tanpa kabar itu juga menghebohkan NCIT angkatan 15, berita dimana Haechan tidak bisa dihubungi oleh siapapun, termasuk anak-anak NCIT pun menyebar. Mempertanyakan, ada apa sebenarnya? Apakah Mark dan Haechan putusnya tidak baik-baik saja sehingga Haechan memilih pergi tanpa jejak?

Haechan benar-benar meninggalkan Bandung tanpa sisa, meninggalkan semuanya, pergi tanpa jejak dan bau. Menghilang begitu saja bagai di telan bumi.

Haechan adalah CEO di perusahaan musik Inggris yang terkenal, tapi mengapa tidak ada yang tau dimana Haechan?

Karena Haechan meminta wartawan atau jurnalis dan semua pembawa berita di media menyembunyikan identitasnya. Singkatan dari HM itu pun tidak pernah dijabarkan apa kepanjangannya, jika ditanya maka jawabannya ya memang HM saja.

Bagaimana jika Haechan rapat dan wawancara? Tidak ada satu kamera pun atau perekam suara yang bisa masuk, penjagaan HM Entertainment sangat ketat, sehingga wartawan handal pun tidak dapat meliput siapa CEO HM Entertainment, tidak tau bagaimana wajahnya, siapa namanya, yang mereka tau nama CEO nya adalah Mr. HC.

Haechan selalu menutup dirinya jika di perusahaan, menggunakan masker, topi bahkan kacamata. Sehingga figurnya tak dapat ditangkap kamera. Pernah ada pegawai HM yang tertangkap diam-diam memotret Haechan karena disuruh wartawan pun berakhir di pecat, ponsel karyawan tersebut dihancurkan sampai tak berbentuk oleh Haechan.

Ia benar-benar menutup dirinya dari publik. Termasuk siapa istri dari Lee Haechan, yang orang tau, Ody adalah anaknya Haechan bukan anak CEO HM. Identitas istrinya tidak pernah terkuak, yaitu Zeline Aurora.

Jika kalian bertanya, siapa followers Haechan di twitter? Itu hanyalah teman-teman kuliah Haechan di Oxford. Haechan mengambil jurusan Musik S2 di Oxford. Dan teman-teman Haechan pun tak ada yang tau jika Haechan menjadi CEO HM Entertainment, yang mereka tau, Haechan memiliki istri dan anak, yaitu Zeline dan Ody.

Ting!

Lift terbuka, Mark dan teman-temannya segera keluar dari sana dan berjalan menuju Ballroom. Dapat Mark lihat Jaemin, Jeno, Renjun, Chenle dan Jisung menunggunya di depan pintu.

“Mark! Sini.” Teriak Renjun dan melambaikan tangannya.

Mark pun menghampiri sahabatnya dan ber tos ala-ala genk begitu. “Udah lama?”

“Lama banget panjul, lo dandan dulu apa gimana dah?” Tanya Jeno.

“Iya dandan, siapa tau ketemu Haechan.” Ucapnya sambil terkekeh.

“Halah, palingan kalau Haechan beneran dateng kesini, lo nya lari ngibrit.” Ejek Jaemin.

Mark tertawa kemudian merangkul Renjun. “Udahlah, ayo masuk. Gue sengaja kosongin perut biar bisa makan sepuasnya disini.”

Jisung dan Chenle mencibir. “Orang kaya berlagak gembel lo.” Ucap Chenle yang dibalas dengan juluran lidah dari Mark.

Saat mereka memasuki Ballroom, semuanya terlihat berpakaian rapi. Banyak sekali yang memakai pakaian formal seperti kemeja dan jas. Karena memang mereka sudah berkepala 3, pakaian formal saat reuni tidak resmi seperti ini sudah hal biasa, menunjukkan wibawa masing-masing bahwa mereka bukanlah lagi remaja kuliahan yang gayanya young, free and wild.

Berpakaian rapi adalah image mereka sekarang di usia seperti ini, saling pamer kesuksesan lewat kemeja dan jas mahal yang melekat pada tubuh mereka. Termasuk Mark dan teman-temannya, mereka juga menggunakan kemeja dan jas yang rapi. Rambut ditata sedemikian rupa menujukkan paras menawan dan wibawanya.

“Orang-orang rapi amat, sukses semua kayaknya ya?” Kata Jisung.

“Siapa tau beli jas dan kemeja buat hari ini doang. Lo mana tau? Kan buat pencitraan dan berbual kalo mereka sukses dan kaya raya.” Kata Chenle yang suudzon.

“Hus jangan gitu, kita juga mana tau kalau ternyata mereka emang sesukses itu?” Ucap Mark.

“Udahlah, ayo kita berburu makan, baru setelah makan kita nyantai dan ngobrol sama yang lain.” Usul Renjun yang diangguki oleh mereka semua.

Mereka ber 6 benar-benar berburu makanan dan minuman yang tersedia. Meski ini bukan reuni resmi, namun fasilitas dan makanan yang tersedia sangat mewah. Kata presma mereka, itu pakai sisa uang kas BEM dan uang danusan dulu yang tidak habis. Ditambah dibiayai oleh beberapa donatur kampus yang anaknya angkatan 15.

Memang beginilah kampus swasta, berisi manusia-manusia berdompet tebal dan sendok emas.

“Cuy, gue mau ke toilet ya.” Mark mengatakan itu sambil lari karena ia sudah tak tahan, entah teman-temannya dengar atau tidak, ia tak peduli. Karena teman-temannya pun lebih menikmati hidangan yang tersedia dengan hikmad.

“Aakkkk, itu Lee Haechan???”

Teriakan itu membuat 5 lelaki yang sedang menyantap makanannya pun auto berhenti mengunyah, menoleh ke sumber suara, dimana para perempuan berbondong-bondong mengerubungi satu subjek, namun mereka ber 5 tidak dapat melihat apapun disana.

“Haechan?” Ucap mereka ber 5 bersamaan dan saling pandang.

“Beneran Haechan ada disini? Mana?” Tanya Renjun yang sudah berdiri, matanya mengedar kesana kemari, namun nihil. Ia tidak menemukan sosok yang dicarinya.

“Ngibul apa kali ya tuh cewek-cewek? Halu kali liat orang mirip Haechan.” Ucap Jaemin.

“Tapi itu apaan rame amat?” Tanya Jeno.

“Auk dah, cewek-cewek lagi gibah kali. Biasalah ciwi-ciwi lama nggak ketemu kalau ketemu ujung-ujungnya buka forum gibah.” Ucap Chenle.

Mereka ber 4 tertawa karena jawaban Chenle.

“Anjingggggg.” Teriak Jisung tiba-tiba.

“Kenapa, Sung?”

“Haechan beneran ada disini bangsat!!” Kata Jisung menatap teman-temannya.

“Hah?” Teriak mereka kompak.